Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PEMBERANTASAN DAN PENCEGAHAN KORUPSI DI


INDONESIA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan dan Budaya Antikorupsi

Dosen Pengampu : Tri Wiji Lestari, S.ST, M.Kes

Disusun Oleh :

1. Ayu Puspaningrum (P1337424417017)


2. Elvia Amalia Yuanti (P1337424417024)
3. Nisma Nur Oktaviana (P1337424417048)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN SEMARANG DAN


PROFESI BIDAN SEMARANG
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Pemberantasan Dan Pencegahan
Korupsi Di Indonesia” .

Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan


dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam
pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari
jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian,
penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki
sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, tim penulis dengan rendah
hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna
penyempurnaan makalah ini.

Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi


seluruh pembaca.

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perang terhadap korupsi merupakan fokus yang sangat signifikan dalam


suatu negara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan
suatu pemerintahan. Salah satu unsur yang sangat penting dari penegakan
hukum dalam suatu negara adalah perang terhadap korupsi, karena korupsi
merupakan penyakit kanker yang imun, meluas, permanen dan merusak
semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk perekonomian
serta penataan ruang wilayah.
Di Indonesia korupsi dikenal dengan istilah KKN singkatan dari
korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang
menular di setiap aparat negara dari tingkat yang paling rendah hingga
tingkatan yang paling tinggi. Berdasakan laporan tahunan dari lembaga
internasional ternama, Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
yang bermarkas di Hongkong, Indonesia adalah negara yang terkorup nomor
tiga di dunia dalam hasil surveinya tahun 2001 bersama dengan Uganda.
Indonesia juga terkorup nomor 4 pada tahun 2002 bersama dengan Kenya.
Sedangkan Pada tahun 2005 PERC mengemukakan bahwa Indonesia masih
menjadi negara terkorup di dunia.
Korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru dan menjadi endemik
yang sangat lama semenjak pemerintahan Suharto dari tahun 1965 hingga
tahun 1997. Penyebab utamanya karena gaji pegawai negeri dibawah standar
hidup sehari-hari dan sistem pengawasan yang lemah. Secara sistematik telah
diciptakan suatu kondisi, baik disadari atau tidak dimana gaji satu bulan
hanya cukup untuk satu atau dua minggu. Disamping lemahnya sistem
pengawasan yang ada memberi kesempatan untuk melakukan korupsi.
Sehingga hal ini mendorong para pegawai negeri untuk mencari tambahan
dengan memanfaatkan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi walau
dengan cara melawan hukum.
Selain itu, sistem peradilan pidana Indonesia tidak berjalan efektif
untuk memerangi korupsi. Sehingga pelaku korupsi terbebas dari jeratan
hukum.Menurut Bank Dunia bahwa korupsi di Indonesia terjadi dimana-
mana di berbagai level golongan pegawai negeri sipil, tentara, polisi dan
politisi bahkan sudah melanda beberapa kelembagaan seperti Kepolisian,
Kejaksaan, Peradilan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya
bertugas untuk memberantas korupsi.

Kejadian tersebut di atas menyebabkan protes dan penolakan dari


masyarakat luas terhadap pemerintahan Suharto maupun para penggantinya.
Adanya korupsi dimana-mana dan timbulnya perasaan jengkel karena
keadilan yang dinantikan masyarakat tak kunjung tiba, ditambah lagi
keadaan ekonomi rakyat kian parah. Indonesia Corruption Watch
mengemukakan bahwa hal tersebut di atas menghasilkan krisis ekonomi di
Indonesia yang berujung dengan kejatuhan rezim Suharto.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah


sebagai berikut :

1. Apa yang menyebabkan terjadinya korupsi?

2. Apa saja akibat-akibat yang ditimbulkan dari korupsi?

3. Bagaimana strategi yang tepat untuk pemberantasan korupsi di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa saja penyebab terjadinya korupsi.


2. Untuk mengetahui apa saja akibat-akibat yang ditimbulkan dari korupsi.
3. Untuk mengetahui bagaimana strategi pencegahan korupsi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

Korupsi berasal dari bahasa latin Cooruptio yang artinya suatu


perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral
menyimpang dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
memfitnah. Menurut UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001, pelaku korupsi
(koruptor) didefinisikan sebagai setiap orang yang secara sadar melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri/orang lain/suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
Negara.

Tindakan korupsi hadir dalam bentuk yang beragam. Mulai dari


menyalahgunakan sarana yang ada padanya karena jabatan/ kedudukan,
menggelapkan uang, sampai menerima hadiah atau janji karena
kewenangan/ kekuasaan jabatannya. Pelakunya pun tak hanya
penyelenggara negara, bisa juga orang per orang, pegawai negeri kelas
’teri’, ahli bangunan, hakim, dan lain-lain.

Peraturan Perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi


di Indonesia telah muncul sejak 53 tahun silam melalui Peraturan
Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat No.PRT/ Peperpu/ 013/
1958. Berbagai tim bentukan Pemerintah dalam upaya pemberantasan
korupsi pun terus bermetamorfosa mulai dari Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (2000-2001), Komisi Pemberantasan Korupsi (2002-
2003) hingga Tim Koordinasi Pemberantasan Tipikor (2005), Satuan Tugas
Pemberantasan Mafia Hukum (2009). Namun hingga saat ini, korupsi masih
tumbuh subur di Negeri ini.

Korupsi merupakan permasalahan universal yang dihadapi oleh


seluruh negara dan masalah yang pelik yang sulit untuk diberantas. Hal ini
tidak lain karena masalah korupsi bukan hanya berkaitan dengan
permasalahan ekonomi semata melainkan juga terkait dengan permasalahan
politik, kekuasaan, dan penegakan hukum.

Dilihat dari sudut pandang sejarah, korupsi telah dilakukan sejak dulu
hingga kini. Korupsi dilakukan oleh seluruh tingkat usia (kecuali anak-
anak). Bila dilihat dari sudut manajemen maka korupsi terjadi mulai dari
tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga tahap pengawasan kegiatan.
Korupsi bila bersinggungan dengan penegakan hukum maka akan sulit
untuk diberantas karena secara otomatis akan bersinggungan dengan orang-
orang yang memiliki kekuasaan dan uang. Pada dasarnya pelaku korupsi
merupakan orang-orang yang berpendidikan dan yang memiliki jabatan.
Dengan demikian dengan mudah pelaku korupsi dapat mengerahkan massa,
membentuk opini, dan menyuap penegak hukum melalui kekuasaan dan
uang.

Upaya pemberantasan korupsi tidaklah semudah membalikkan telapak


tangan. Di Indonesia, upaya untuk memberantas korupsi bukanlah
merupakan suatu program yang baru dimulai oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dengan kebijakan pemberantasan korupsinya. Upaya
pemberantasan korupsi telah mulai dilakukan oleh pemerintahan-
pemerintahan sebelumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya
peraturan yang dikeluarkan sehubungan dengan permasalahan korupsi.

Selain pembentukan peraturan perundang-undangan, pembentukan


lembaga pengawasan baik yang bersifat internal maupun eksternal telah
banyak dibentuk dan dibubarkan. Demikian pula halnya dengan kajian-
kajian mengenai korupsi, oleh karena itu makalah ini lebih ditujukan kepada
peninjauan secara yuridis terhadap permasalahan korupsi.

Peninjauan yuridis dalam makalah ini adalah peninjauan dari sudut


peraturan perundang-undangan, Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No.31 tahun 1990, Undang-Undang No.31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan yang
didasarkan pada hasil-hasil penelitian mengenai korupsi yang dilakukan
oleh World Bank, OECD (Organization for Economic Co-Operation and
Development), dan Norad (The Norwegian Agency for Development
Cooperation).

Pengertian tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-undang Nomor


20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi lebih luas
seperti yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan, dihukum karena tindak pidana
korupsi, yaitu :

1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya


diri sendiri atau orang atau suatu badan yang secara langsung atau tidak
langsung dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian
negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan
tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada atau yang karena jabatan atau kedudukan, yang secara
langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan
perekonomian negara.

3. Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal 209, 210,
387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan Pasal 435 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.

4. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti
dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau
sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya
atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan itu.

5. Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan
kepadanya seperti yang tersebut dalam Pasal 418, 419 dan Pasal 420
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tidak melaporkan pemberian atau
janji tersebut kepada yang berwajib.

Pengertian tindak pidana korupsi berdasarkan undang-undang tentang


pemberantasan tindak pidana korupsi lebih luas lagi yaitu dengan
dicantumkan korporasi sebagai subjek hukum. Pengertian korporasi sendiri
tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan, bahwa
korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Selain itu terdapat beberapa peraturan pelaksana yang mengatur tentang


pemberantasan korupsi di Indonesia, antara lain:

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 tentang


Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000 tentang


tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian
penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 1999 tentang


Tata Cara Pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara.

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1999 tentang


Tata Cara pemantauan dan Evaluasi pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Komisi Pemeriksa.

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1990 tentang


Tata Cara Pelaksanaan Peran serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Negara.
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2006 tentang
Hak Keuangan, kedudukan Protokol, dan perlindungan Keamanan
Pimpinan komisi Pemberantasan Korupsi.

7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2003 tentang


Pembentukan Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1999 tentang


Pembentukan komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dan
Sekretaris Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara.

9. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang


Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang ada tersebut,


pemberantasan korupsi tidak akan berjalan efektif jika tidak ada komitmen
yang kuat, tulus dan ikhlas dari pemerintah, penegak hukum, dan
masyarakat.
Korupsi merupakan suatu bentuk kejahatan sosioekonomi dan
kejahatan jabatan yang sangat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa
dan bernegara, bagaikan virus ganas yang mematikan. Virus ini sangat
mudah menyerang birokrasi pemerintah terutama di negara-negara
berkembang. Indonesia dari dahulu hingga kini berjuang memberantas
korupsi, baik secara prefentif, edukatif, maupun represif. Bahkan tidak
sedikit perangkat hukum yang telah dibuat untuk menjerat para koruptor.
Tetapi mengapa Indonesia masih selalu menjadi “juara bertahan”
dalam soal korupsi? Korupsi jangan lagi digolongkan sebagai kejahatan
biasa tetapi harus digolongkan sebagai kejahatan luar biasa. Begitupun
dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dilakukan secara biasa, tetapi
harus dengan cara-cara yang luar biasa.

Menurut David Bayley (1995), akibat-akibat buruk yang ditimbulkan


oleh korupsi adalah sebagai berikut:

1. Korupsi mengurangi efisiensi biaya penyelenggaraan negara karena


banyaknya pos-pos anggaran yang digerogoti oleh para koruptor untuk
keuntungan pribadi.

2. Korupsi menyebabkan kenaikan biaya administrasi. Seberapa jauh


pelipatgandaan biaya tambahan tergantung pada kemampuan pasaran.
Orang-orang yang sekaligus menjadi wajib pajak dan dipaksa untuk
memberi sogokan, menjadi berlipat ganda membayar untuk suatu jasa
negara.

3. Jika korupsi terjadi dalam bentuk “komisi”, akan mengakibatkan


berkurangnya jumlah dana yang seharusnya dipakai untuk keperluan
masyarakat umum. Ini merupakan pengalihan sumber-sumber
kepentingan umum untuk keperluan perorangan. Contohnya, seorang
pejabat pemerintah menyetujui suatu proyek atau kontrak dengan harga
tertentu,tetapi menerima ”komisi” 10% sebagai balas jasa penyetujuan kontrak
tersebut, maka dana yang terpakai untuk kepentingan umum tinggal 90% karena
yang 10% telah masuk ke keuntungan pribadi.

4. Korupsi berpengaruh buruk pada pejabat-pejabat lain dari aparat


pemerintah. Karena korupsi menghancurkan keberanian orang untuk
berpegang teguh pada nilai-nilai sopan santun yang tinggi. Moral dan
akhlak merosot karena sebagian orang tidak lagi mengindahkannya.

5. Korupsi menurunkan martabat pejabat dan menurunkan kepercayaan


masyarakat terhadap tindakan adil pemerintah.

6. Para ahli politik dan pegawai negeri adalah kelompok elit dalam suatu
masyarakat. Kalau golongan elit saja bersikap korup, maka rakyat kecil
pun tidak memliki alasan untuk tidak melakukan apa saja yang membawa
keuntungan bagi dirinya, sebab para elit yang dijadikan panutan toh juga
demikian.
7. Keberanian yang laur biasa sukar didaptkan dari pemimpin-pemimpin
yang korup. Sebab bagaimana mungkin mereka akan memperjuangkan
kebenaran dan keadilan, sedangkan hal itu akan membatasi ruang
geraknya sendiri untuk melakukan korupsi.

8. Korupsi menyebabkan keberpihakan pejabat pada kepentingan orang


yang memberikan sogokan dan kurang keberpihakannya kepada
kebenaran dan kepetingan masyarakat.

9. Korupsi bisa menimbulkan fitnah, dakwaan-dakwaan serta sakit hati


yang mendalam. Sebab orang-orang yang tidak mau berbuat korupsi
boleh jadi akan dituduh di depan umum oleh temannya sendiri sang
koruptor yang sesungguhnya.

10. Korupsi mengakibatkan keputusan akan dipertimbangkan


berdasarkan uang pelicin dan bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Roda organisasi perlu diminyaki dengan uang, tanpa pelumas itu roda birokrasi
tidak akan berputar.

Menurut Andi Hamzah (2005:249), strategi pemberantasan korupsi


bisa disusun dalam tigas tindakan terprogram, yaitu Prevention, Public
Education dan Punishment. Prevention ialah pencerahan untuk
pencegahan. Publik Education yaitu pendidikan masyarakat untuk
menjauhi korupsi. Punishment adalah pemidanaan atas pelanggaran tindak
pidana korupsi.

1. Strategi Preventif

Strategi Preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan


cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau
peluang terjadinya korupsi. Konvensi PBB Anti Korupsi, Uneted Nations
Convention Against Corruption (UNCAC), menyepakati langkah-
langkah untuk mencegah terjadinya korupsi. Masing-masing negara
setuju untuk: “...mengembangkan dan menjalankan kebijaksanaan anti-
korupsi terkoordinasi dengan mempromosikan partisipasi masyarakat dan
menunjukkan prinsip-prinsip supremasi hukum, manajemen urusan
publik dan properti publik dengan baik, integritas, transparan, dan
akuntable, ... saling bekerjasama untuk mengembangkan langkah-
langkah yang efektif untuk pemberantasan korupsi”.

2. Public Education

Public Education atau pendidikan anti korupsi untuk rakyat perlu


digalakkan untuk membangun mental anti-korupsi. Pendidikan anti-
korupsi ini bisa dilakukan melalui berbagai pendekatan, seperti
pendekatan agama, budaya, sosioal, ekonomi, etika, dsb.

Adapun sasaran pendidikan anti-korupsi secara garis besar bisa


dikelompokkan menjadi dua:

a) Pendidikan anti korupsi bagi aparatur pemerintah dan calon aparatur


pemerintah.

b) Public education anti korupsi bagi masyarakat luas melalui lembaga-


lembaga keagamaan, dan tokoh-tokoh masyarakat. Semua itu
dilakukan untuk meningkatkan moral anti korupsi. Publik perlu
mendapat sosialisasi konsep-konsep seperti kantor publik dan
pelayanan publik berikut dengan konsekuensi-konsekuensi tentang
biaya-biaya sosial, ekonomi, politik, moral, dan agama yang
diakibatkan korupsi.

3. Strategi Punishment

Strategi Punishment adalah tindakan memberi hukuman terhadap


pelaku tindak pidana korupsi. Dibandingkan negara-negara lain,
Indonesia memiliki dasar hukum pemberantasan korupsi paling banyak,
mulai dari peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum era
eformasi sampai dengan produk hukum era reformasi, tetapi
pelaksanaannya kurang konsisten sehingga korupsi tetap subur di negeri
ini.

Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan anti-korupsi yang


ada, salah satu yang paling populer barangkali UU Nomor 30/2002
tentang KPK. KPK adalah lembaga negara yang bersifat independen
yang dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya bebas dari kekuasaan
manapun.

Tugas-tugas KPK adalah sebagai berikut:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan


pemberantasan tindak pidana korupsi,

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan


pemberantasan tindak pidana korupsi,

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak


pidana korupsi,

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan


melakukan monitor terhadap penyelengaraan pemerintahan negara.

Di dalam Perpres Stranas PK 2018 ini terdapat tiga fokus pencegahan


yang dicanangkan, yakni: (1) Perizinan dan Tata Niaga; (2) Keuangan
Negara; (3) Penegakan Hukum dan Reformasi Birokrasi.Kebijakan anti
korupsi ini lahir di tengah situasi Indonesia yang sedang menghadapi
praktik korupsi politik yang mengakar, dimana arena korupsi berlangsung
secara masif dan sistematik di bidang perizinan usaha, kebijakan tata niaga
dan pengelolaan keuangan negara. Dalam praktik korupsi politik ini, pejabat
publik tingkat tinggi yang korup bekerja sama dengan birokrat korup dan
pengusaha korup.Ekosistem korupsi politik inilah yang mendorong sistem
politik berbiaya tinggi.

Selain itu, dalam Perpres ini juga mengamanatkan pembentukan Tim


Nasional Pencegahan Korupsi yang beranggotakan Komisi Pemberantasan
Korupsi, Kementerian Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
PAN RB dan Kantor Staf Kepresidenan. Timnas PK ini diharapkan mampu
mengorkestrasi gerakan pencegahan korupsi di Kementerian, Lembaga dan
Pemerintah Daerah. Harapannya, dengan masuknya KPK ke dalam Tim
Nasional kali ini akan terbangun keterpaduan langkah pencegahan antara
pemerintah dan KPK dan sekaligus juga mampu memberikan dorongan
politik yang lebih kuat bagi lembaga-lembaga pemerintah untuk
menjalankan program-program pencegahan korupsi.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, hari ini, kami hadir di KPK untuk


menyerahkan usulan dan saran kami terkait program aksi yang seharusnya
menjadi fokus kerja dua tahun ke depan.Beberapa rekomendasi penting
yang kami sampaikan kepada KPK dan TImnas adalah sebagai berikut:

a. Mengingat begitu masifnya praktik korupsi di daerah dan sebagian


besar pelaksanaan program ini ada di daerah, maka Timnas harus betul-
betul mengawal program ini di daerah dan mampu menghindari praktik
formalitas birokrasi dalam merespon program anti korupsi.

b. Salah satu fokus Stranas PK adalah pembenahan sektor penegakan


hukum. Sektor termasuk sektor yang tidak mudah dibenahi tata
kelolanya. Oleh karena itu, dukungan politik yang besar presiden dan
DPR untuk ikut mengawal langsung pelaksanaan Stranas ini sangat
dibutuhkan.

c. Perlunya segera dikembangkan model keterlibatan para pemangku


kepentingan di dalam pengelolaan Stranas PK dan program-program
aksinya di pusat maupun di daerah. Jika diperlukan ada kebijakan
Timnas Stranas PK yang sifatnya lebih mewajibkanpemerintah daerah
untuk menerapkan model keterlibatan para pemangku kepentingan di
daerah agar pengelolaan Stranas PK lebih inklusif dan memiliki
legitimasi politik yang lebih kuat
Program Kementerian Kesehatan dalam Upaya Pencegahan Korupsi

Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional


(Stratanas) Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK),
diimplementasikan ke dalam 6 (enam) strategi nasional yang telah
dirumuskan, yakni:

1. Melaksanakan upaya upaya pencegahan


2. Melaksanakan langkah langkah strategis dibidang penegakan hokum
3. Melaksanakan upaya upaya harmonisasi penyusunan peraturan
perundangundangan di bidang pemberantasan korupsi dan sektor terkait
lainnya
4. Melaksanakan kerja sama internasional dan penyelamatan aset hasil
Tipikor
5. Meningkatkan upaya pendidikan dan bidaya antikorupsi
6. Meningkatkan koordinasi dalam rangka mekanisme pelaporan pelaksanaan
upaya pemberantasan korupsi.

Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012


tentang Strategi Nasional (Stratanas) Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
(PPK), Kementerian Kesehatan telah melaksanakan upaya percepatan
reformasi birokrasi melalui berbagai cara dan bentuk, antara lain:

1. Disiplin kehadiran menggunakan sistem fingerprint, ditetapkan masuk


pukul 8.30 dan pulang kantor pukul 17.00, untuk mencegah pegawai
melakukan korupsi waktu.
2. Setiap pegawai negeri Kemenkes harus mengisi Sasaran Kinerja Pegawai
(SKP), dan dievaluasi setiap tahunnya, agar setiap pegawai mempunyai
tugas pokok dan fungsi yang jelas, dapat diukur dan
dipertanggungjawabkan kinerjanya.
3. Melakukan pelayanan kepada masyarakat yang lebih efisien dan efektif
ramah dan santun, diwujudkan dalam pelayanan prima.
4. Penandatanganan pakta integritas bagi setiap pelantikan pejabat di
kementerian kesehatan. Hal ini untuk mewujudkan Wilayah Bebas
Korupsi (WBK), Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM).
5. Terlaksananya Strategi Komunikasi pendidikan dan Budaya AntiKorupsi
melalui sosialisasi dan kampanye antikorupsi di lingkungan
internal/seluruh Satker Kementerian Kesehatan.
6. Sosialisasi tentang larangan melakukan gratifikasi, sesuai dengan Pasal 12
b Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999, menyatakan “Setiap gratifikasi
kepada pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan kewajiban atau tugasnya”.
7. Pemberlakuan Sistem Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Secara
Elektronik (LPSE).
8. Layanan Publik Berbasis Teknologi Informasi seperti seleksi pendaftaran
pegawai melalui online dalam rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil
(PNS) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT).
9. Pelaksanaan LHKPN di lingkungan Kementerian Kesehatan didukung
dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 03.01/
Menkes/066/I/2010, tanggal 13 Januari 2010.
10. Membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi, berdasarkan Surat Keputusan
Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan Nomor
01.TPS.17.04.215.10.3445, tanggal 30 Juli 2010.
11. “Tanpa Korupsi”, “Korupsi Merampas Hak Masyarakat untuk Sehat”,
“Hari Gini Masih Terima Suap”, dll.
BAB III

Kesimpulan dan Saran

Uraian mengenai fenomena korupsi dan berbagai dampak yang


ditimbulkannya telah menegaskan bahwa korupsi merupakan tindakan
buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi serta orang-orang yang
berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-
kelemahan yang terdapat pada sistem politik dan sistem administrasi negara
dengan birokrasi sebagai prangkat pokoknya.

Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi.


Seperti halnya delik-delik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut
korupsi di Indonesia masih begitu rentan terhadap upaya pejabat-pejabat
tertentu untuk membelokkan hukum menurut kepentingannya. Dalam realita
di lapangan, banyak kasus untuk menangani tindak pidana korupsi yang
sudah diperkarakan bahkan terdakwapun sudah divonis oleh hakim, tetapi
selalu bebas dari hukuman. Itulah sebabnya kalau hukuman yang diterapkan
tidak drastis, upaya pemberantasan korupsi dapat dipastikan gagal.

Meski demikian, pemberantasan korupsi jangan menjadi “jalan tak


ada ujung”, melainkan “jalan itu harus lebih dekat ke ujung tujuan”. Upaya-
upaya untuk mengatasi persoalan korupsi dapat ditinjau dari struktur atau
sistem sosial, dari segi yuridis, maupun segi etika atau akhlak manusia
Daftar Pustaka

Dirjosisworo, Soedjono. 1984. Fungsi Perundang-undangan Pidana Dalam


Penanggulangan Korupsi Di Indonesia. Bandung: CV Sinar Baru.

Gunawan, Ilham. 1993. Postur Korupsi di Indonesia: Tinjauan


Yuridis, Sosiologis, Budaya dan Politis. Bandung: Angkasa.

http://klikbelajar.com/pelajaran-sekolah/korupsi-dan-upaya-pemberantasan-
korupsi-di-indonesia/

http://mgtabersaudara.blogspot.com/2010/03/pemberantasan-korupsi-di-
indonesia.html

http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/tinjauan-yuridis-mengenai-
peranan- komisi-pemberantasan-korupsi-kpk-dalam-pemberantasan-tindak-
pidana-korupsi- di-indonesia/

Adwirman dkk. 2014. Buku Ajar Pendidikan Dan Budaya Anti Korupsi.
Jakarta: Pusat Pelatihan dan Pendidikan Tenaga Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai