Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KORUPSI YANG MASIH MENJADI


PERMASALAH DI INDONESIA
Makalah ini diajukan untuk memenuhi mata kuliah Otonomi dan Desentralisasi Daerah
Dosen:Drs.Asmungi,SH,M.Si

Oleh:
DIAN ENJELIN SAFITRY
G4/TRIP/30.0231

FAKULTAS MANAJEMEN PEMERINTAHAN


PRODI TEKNOLOGI REKAYASA INFORMASI PEMERINTAHAN
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
KAMPUS REGIONAL SUMATERA BARAT
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, korupsi adalah tindakan
setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Korupsi juga diartikan sebagai tindakan setiap orang yang dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Juga
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Pemerintah sangat menjunjung tinggi perlindungan hukum bagi setiap warga
negaranya, sehingga diperlukan pemantapan-pemantapan terhadap sarana dan prasarana
yang diperlukan guna menopang pembangunan di bidang hukum. Dalam upaya untuk
mencapai keberhasilan pembangunan bidang hukum perlu didukung adanya peningkatan
sarana dan prasarana serta peningkatan pendayagunaannya, pemantapan, kedudukan dan
peranana badan-badan penegak hukum merupakan pihak yang berhubungan langsung
dengan proses penegak hukumnya. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa antara
pembangunan dan kejahatan atau pelanggaran hukum ada hubungan yang erat. Oleh
karena itu, perencanaan pembangunan harus meliputi juga perencanaan perlindungan
masyarakat terhadap pelanggaran hukum.
Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, sudah dalam posisi yang sangat
parah dan begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan praktek
korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah kerugian
keuangan negara maupun dari segi kualitas yang semakin sistematis, canggih serta
lingkupnya sudah meluas dalam seluruh aspek masyarakat. Meningkatnya tindak pidana
korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan
perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada
umumnya. Maraknya kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, tidak lagi mengenal
batas-batas siapa, mengapa, dan bagaimana. Tidak hanya pemangku jabatan dan
kepentingan saja yang melakukan tindak pidana korupsi, baik di sektor publik maupun
privat, tetapi tindak pidana korupsi sudah menjadi suatu fenomena.
Perkembangan korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi, sedangkan
pemberantasannya masih sangat lamban. Romli Atmasasmita menyatakan bahwa korupsi
di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebar ke seluruh tubuh pemerintahan
sejak tahun 1960-an langkah-langkah pemberantasannya pun masih tersendat-sendat
sampai sekarang. Selanjutnya, dikatakan bahwa korupsi berkaitan pula dengan
kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya
untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kroninya.
Korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik, massif dan terstruktur sehingga
bukan saja merugikan kondisi keuangan Negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak
social dan ekonomi masyarakat secara luas. Sesuai pendapat Lord Acton (John Emerich
Edward Dalberg Acton) dalam suratnya kepada Bishop Mandell Creihgton menulis
sebuah ungkapan yang menghubungkan antara Korupsi dengan Kekuasaan yakni “Power
tends to corrupt, and absolut Power corrupts absolutely” bahwa kekuasaan cenderung
untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut. Ungkapan tersebut
adalah kondisi yang terjadi saat ini di Indonesia. Jika melihat perjalanan pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi saat ini, maka tidak dapat kita pisahkan dari peran penting
Lembaga Peradilan dalam penegakan hukum di Indonesia. Hakim sebagai penegak
hukum mempunyai tugas pokok di bidang yudisial, yaitu menerima, memeriksa,
memutusakan dan menyelesaiakan setiap perkara yang ditujukan kepadanya, tugas
seperti itu dapat dinyatakan bahwa Hakim merupakan pelaksanaan inti yang secara
fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Kekuasaan Kehakiman.

1.2 Identifikasi Masalah


1. Undang-undang tentang korupsi yang masih belum tegas
2. Sifat tamak dan rakus serta kurangnya moral dari aparat pemerintah
3. Kurangnya kontrol yang cukup serta belum tegasnya hukum tentang korupsi di
Indonesia
4. Adanya budaya yang tertanam di dalam lingkup organisasi juga terdapat celah bagi
seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi
5. Tidak ada pengawasan dari masyarakat karna kurangnya ketransparansian pemerintah
6. Gaji pegawai yang kecil serta didukung pola hidup yang konsumtif
7. Sifat manusia yang tidak puas akan sesuatu yang dimiliki dan kurangnya penanaman
ilmu anti korupsi di dalam diri

1.3 Batasan Masalah


“Kurangnya kontrol yang cukup serta belum tegasnya hukum tentang korupsi di
Indonesia”

1.4 Rumusan Masalah


“Apa yang menyebabkan korupsi masih menjadi masalah yang tak terselesaikan di
indonesia?”

1.5 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui penyebab mengapa kasus korupsi masih menjadi permasalahan
besar di Indonesia
2. Untuk mengetahui solusi dalam menyelesaikan permasalahan korupsi di Indonesia
3. Untuk mengetahui kebijakan apa yang dapat di buat pemerintah dalam mengatasi
permasalahn korupsi di Indonesia

1.6 Manfaat Penelitian


1. Agar mengetahui penyebab mengapa kasus korupsi masih menjadi permasalahan
besar di Indonesia
2. Agar mengetahui solusi penyelesaikan permasalahan korupsi di Indonesia
3. Supaya mengetahui kebijakan apa yang dapat di buat pemerintah dalam mengatasi
permasalahn korupsi di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 LANDASAN TEORITIS
2.2.1 PENYEBAB KASUS KORUPSI MASIH MENJADI PERMASALAHAN BESAR
DI INDONESIA
Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak lama dengan
menggunakan berbagai cara, sanksi terhadap pelaku korupsi sudah diperberat, namun
hampir setiap hari kita masih membaca atau mendengar adanya berita mengenai korupsi.
Berita mengenai operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pelaku korupsi masih sering
terjadi. Yang cukup menggemparkan adalah tertangkap tangannya 41 dari 45 anggota
DPRD Kota Malang oleh KPK. Kemudian, tidak kalah menggemparkannya adalah berita
mengenai tertangkap tangannya anggota DPRD Kota Mataram yang melakukan
pemerasan terkait dengan dana bantuan rehabilitasi fasilitas pendidikan yang terdampak
bencana gempa bumi Lombok, NTB. Di bawah ini akan diuraikan mengenai penyebab,
hambatan, solusi dan regulasi korupsi di Indonesia.
Indikator korupsi di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terlihat dari
menurunnya skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 yang dikeluarkan
Transparency International (TI). Negeri ini hanya mengantongi 37 poin, lebih rendah tiga
poin dari 2019. TI menggunakan skala 0-100 dalam mengukur IPK. Skor nol
menunjukkan sebuah negara sangat korup. Sebaliknya, skor 100 menunjukkan sebuah
negara sangat bersih dari korupsi. Dengan skor saat ini, berarti permasalahan korupsi di
Indonesia masih mengkhawatirkan. Dari 180 negara dunia dalam penilaian TI, IPK
Indonesia bertengger di peringkat ke-102 pada 2020, selevel dengan Gambia yang punya
skor sama. Ini adalah sebuah ironi, mengingat Gambia baru lebih kurang empat tahun
lepas dari 22 tahun masa kepemimpinan rezim Yahya Jammeh yang korup. Indonesia
sudah 22 tahun mengalami reformasi sejak tumbangnya rezim Soeharto pada 1998. Salah
satu hasil dari reformasi adalah terbentuknya UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian berubah menjadi UU Nomor 20
Tahun 2001.
TI menyebut perkembangan anti-korupsi di Gambia sangat signifikan. Dalam
artikel bertajuk The Gambia’s Seven-Point Improvement in CPI Comes After End of
Decades-Long Autocratic Rule, terdapat tujuh poin perkembangan anti korupsi yang
signifikan. Salah satunya membentuk Komisi Kebenaran, Rekonsiliasi, dan Repatriasi
yang mulai aktif pada Januari 2019. Komisi tersebut menyelidiki aset-aset hasil korupsi
Yahya Jammeh yang tersimpang di luar negeri dan mengembalikannya ke negara.
Jumlah korupsi Yahya Jammeh, menurut laporat TI, hampir US$ 1 miliar yang setara
dengan setahun PDB dan dua kali lipat utang luar negeri Gambia. Di tingkat Asia
Tenggara, peringkat IPK Indonesia turun satu menjadi kelima pada 2020. Sementara,
peringkat lama Indonesia ditempati Timor-Leste yang mengantongi skor 40. Menurut
laporan TI, IPK Timor Leste meningkat 10 poin dibandingkan pada 2013 dan termasuk
yang paling signifikan di Asia Pasifik. Keberhasilan Timor-Leste, menurut TI, lantaran
dalam tujuh tahun ke belakang mampu menguatkan integritas lembaga-lembaga
negaranya dan lembaga anti-korupsinya. 
Peneliti Transparansi Internasional Indonesia (TII) Wayan Suyatmiko dalam
keterangan resmi di situs TII pada 28 Januari 2021, menyebut penyebabnya adalah
penurunan skor pada lima dari sembilan indikator penyusun IPK. Pertama, Global
Insight (GI) Country Risk Ratings yang terkait tingkat risiko individu atau perusahaan
dalam menghadapi praktik suap atau korupsi lainnya. Indikator ini turun 12 poin menjadi
35 poin. Kedua, Political Risk Service Corruption (PRS) yang terkait suap dalam
pelayanan publik. Skornya merosot 8 poin menjadi 50 poin. Ketiga, IMD World
Competitiveness Yearbook yang terkatit dengan keberadaan praktik penyuapan. Skornya
juga turun 5 poin menjadi 43 poin. Keempat, Political and Economic Risk Consultancy
(PERC) Asia Risk Guide yang terkait persepsi masyarakat atas persoalan korupsi di
negara tempatnya bekerja. Skornya turun tiga poin menjadi 32 poin. Kelima, indikator
Varieties of Democracy (VDem) Project yang terkait korupsi politik juga turun dua poin
menjadi 26 poin. Hasil survey TII menguatkan hal ini, yakni satu dari tiga responden
mengaku pernah ditawari untuk menjual suaranya dala pemilu.
2.2.2 SOLUSI DALAM MENYELESAIKAN PERMASALAHAN KORUPSI DI
INDONESIA
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin
mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa
dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari
jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means).
Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab. Ada
beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing
memandang dari berbagai segi dan pandangan.

Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi


korupsi sebagai berikut :

a. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan


sejumlah pembayaran tertentu.
b. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
c. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah
pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan,
wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling
bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara
jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
d. Dengan jalan meningkatkan ancaman sebagai bentuk dorongan mengurangi
kasus korupsi.
e. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan
korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar
beban korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar
sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk
mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya
perubahan organisasi.

Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized)


tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal
dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk
kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi
haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan
dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman
hukuman kepada pelaku-pelakunya.

Di Indonesia sendiri ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah korupsi,diantaranya:

1. Mereformasi administrasi publik dan manajemen keuangan


Reformasi yang berfokus pada peningkatan manajemen keuangan dan
memperkuat peran lembaga audit di banyak negara telah mencapai dampak yang lebih
besar daripada hanya melakukan di sektor publik dalam mengendalikan korupsi.
Bahkan salah satu reformasi tersebut merupakan pengungkapan informasi anggaran,
yang dimana upaya ini dilakukan untuk mencegah pemborosan dan penyalahgunaan
sumber daya. Misalnya, dengan melakukan transparansi dan partisipatif , dimana cara
ini juga melatih masyarakat setempat untuk mengomentari anggaran yang diusulkan
pemerintah daerah mereka. Namun harus diakui cara ini belum bisa diterapkan di
banyak negara, karena ada dampak yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan.
2. Mengenali jenis korupsi
Korupsi tidak hanya menyangkut suap, tapi juga bicara mengenai masyarakat
ekonomi lemah, yang masih sering menjadi sumber daya yang perannya belum
maksimal di tengah suatu ngara. Itulah mengapa sangat penting untuk memahami
berbagai jenis korupsi untuk mengembangkan respons yang cerdas, dan sesuai dengan
kebutuhan negara tersebut.
3. Memaksimalkan kekuatan masyarakat
Kontribusi masyarakat di setiap aspek bagian negara yang masih relevan,
dapat membantu pemerintahan. Untuk itu dalam hal ini sangat perlu untuk melakukan
identifikasi prioritas, masalah, dan menemukan solusi. Setiap kontribusi yang
diberikan masyarakat akan sangat bermanfaat untuk kemajuan suatu negara, meskipun
hanya dapat dilakukan dalam skala kecil. Misalnya saja dengan melakukan inisiatif
pemantauan masyarakat dalam beberapa kasus berkontribusi pada deteksi korupsi,
mengurangi kebocoran dana, meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan publik.
4. Menggunakan Jalur Komunikasi Alternatif
Saat membacanya mungkin Anda merasa kebingungan, namun dalam hal ini
kita sedang berbicara tentang bagaimana menyatukan proses formal dan informal,
yang dimana berarti Anda dapat melakukan kerjasama dengan pemerintah dan
kelompok non-pemerintah atau organisasi, untuk mengubah perilaku dan memantau
kemajuan.
5. Memanfaatkan teknologi
Bersyukur saat ini sudah teknologi yang menunjang segala aktivitas
masyarakat, menjalin komunikasi serta untuk membangun pertukaran yang dinamis
hingga berkelanjutan antara pemangku kepentingan utama baik pemerintah, warga
negara, bisnis, kelompok masyarakat sipil, media, akademisi dll.

Bahkan dengan teknologi seperti internet siapapun dapat melakukan tindakan


pencegahan baik di tingkat global dan lokal, yang dapat disesuaikan dengan skala dan
ruang lingkup itu sendiri. Sehingga sangat disarankan untuk masyarakat dapat
memanfaatkan teknologi dan ikut terlibat dengancara yang bijaksana.
6. Memberikan kontribusi
Sebagai masyarakat berinvestasilah dalam institusi dan kebijakan yang di
ambil oleh pemerintah. Meskipun sifatnya sangat terbatas dan tentunya disertai
dengan berbagi aturan yang sudah ada sebelumnyaa. 
7. Menutup celah Internasional
Salah satu yang menyebabkan korupsi susah untuk dilacak adalah saat pejabat
publik melakukan pencucian uang dan menyembunyikannya di negara lain. Sehingga
sangat perlu bagi pusat keuangan untuk memiliki sistem yang maju, dan mampu
menghentikan transaksi gelap yang terjadi.
8. Menetapkan Standar
Jika bicara soal korupsi maka tentunya tidak akan terlepas dari melakukan
analisa kekuatan pasar, perilaku, dan sosial. Karena semua aspek yang telah
disebutkan  mengadopsi standar integritas yang baik, maka hasil yang diberikan juga
akan positif.
9. Menetapkan langkah yang tepat
Saat mengambil sebuah keputusan dan strategi tentunya harus ada evaluasi
yang nantinya dapat menjadi tolak ukur mengenai langkah langkah yang sudah
diambil, juga melakukan antisipasi saat situasi di lapangan berubah.

Dengan kerja sama dari semua pihak termasuk masyarakat, setidaknya kita
mampu menurunkan angka korupsi. GreatPeople, Ayo bersama-sama menjadikan
Indonesia negara bebas korupsi
2.2.3 KEBIJAKAN YANG DAPAT DI BUAT PEMERINTAH DALAM MENGATASI
PERMASALAHN KORUPSI DI INDONESIA

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/87/M.


PAN/8/2005 ini digunakan sebagai pedoman bagi pegawai negeri terutama pimpinan
instansi pemerintah atau unit kerja untuk acuan dalam menyusun pedoman teknis dalam
upaya meningkatkan efisiensi, penghematan dan kedisiplinan kerja, dengan sistem
pengawasan dan pengendalian yang diharuskan memperhatikan prinsipprinsip: (a)
mengaktifkan sistem pengawasan internal yang lebih obyektif, transparan, dan
institusional, (b) partisipatif, dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait, (c)
berorientasi pembinaan dalam rangka perbaikan sistem, metode, dan perubahan
tingkahlaku Aparatur Pemerintah menuju kepada sasaran yang diharapkan, (d) brusaha
lebih banyak menggunakan pendekatan reward daripada punishment. Penjatuhan
hukuman diberikan dalam kaitan mendidik (secara edukatif).

Diterapkannya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:


PER/87/M.PAN/8/2005 tentang Pedoman Peningkatan Pelaksanaan Efisiensi,
Penghematan dan Disiplin Kerja didukung dengan adanya harapan atau keinginan
segenap komunitas UNY akan adanya transparansi keuangan dan pengawasan yang baik
dalam penggunaannya, serta perlu adanya pedoman teknis atau panduan kerja yang baku,
sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya penyalahgunaan wewenang atau korupsi di
unit-unit kerja masing-masing agar ada keamanan dan kenyamanan dalam bekerja,
menunjukkan bahwa kebijakan penanggulangan korupsi yang diinginkan di UNY adalah
kebijakan penanggulangan korupsi Model Rasional. Demikian pula dukungan
diterapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil yang berisi kewajiban dan larangan bagi Pegawai Negeri Sipil menguatkan
alasan harapan atau keinginan digunakannya Model Rasional dalam mengeluarkan
kebijakan penanggulangan korupsi di UNY.

Model Rasional menekankan pada aspek efisiensi maupun ekonomis.


Tuntutan Sumber Daya Manusia Aparatur Pemerintah dalam melaksanakan
tanggungjawabnya untuk wajib melakukan perubahan sikap, tindakan, dan perilaku ke
arah budaya kerja efisien, hemat, disiplin tinggi, dan antikorupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN) serta berupaya secara sistematis dan berkelanjutan menjadi panutan dan teladan
dalam lingkungan masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/87/M.PAN/ 8/2005 lebih menguatkan
kesimpulan bahwa model kebijakan penanggulangan korupsi yang diinginkan di UNY
adalah Model Rasional.

Di era pemerintahan jokowi ada beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan dalam
rangka memberantas korupsi,kolusi dan nepotisme. Diantaranya:

I. Inpres pencegahan korupsi


Presiden Joko Widodo menandatangani Instruksi Presiden Nomor 10
Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Menteri
PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menegaskan, kementerian,
lembaga, dan pemerintah daerah wajib mengimplementasikan Inpres tersebut.
Inpres untuk 2016 dan 2017 itu fokus pada dua hal, yakni soal pencegahan tindak
pidana korupsi dan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi. Kedua
fokus tersebut diimplementasikan dalam tujuh sektor. Ketujuh sektor itu, yakni
industri ekstraktif/pertambangan, infrastruktur, sektor privat, penerimaan negara,
tata niaga, BUMN dan pengadaan barang dan jasa. Inpres itu bertujuan untuk
memperbaiki indeks persepsi korupsi, memperbaiki ease of doing bussiness, dan
transparansi pemerintahan.

II. Tolak remisi koruptor dipermudah


Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sempat melontarkan
rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam draf revisi PP
No 99/2012, ketentuan justice collaborator (JC) sebagai syarat remisi bagi pelaku
tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika, dihilangkan. JC adalah saksi
pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar
keterlibatan pelaku lainnya. Namun, reaksi keras datang dari berbagai kalangan,
karena revisi PP 99/2012 dianggap mempermudah remisi bagi koruptor dengan
hilangnya syarat menjadi JC. Jokowi menyatakan menolak revisi yang tengah
disusun Kementerian Hukum dan HAM. Hal itu diungkapkan Jokowi saat
bertemu para pakar hukum di Istana Merdeka, Jakarta, pada September 2016.
III. Perpres pencegahan korupsi
Pada Juli 2018, Jokowi meneken Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. Perpres mengamanatkan
pembentukan Tim Nasional Pencegahan Korupsi. Tim bertugas
mengkoordinasikan pelaksanakan strategis nasional pemberantasan korupsi
sekaligus menyampaikan laporan kepada Presiden. Melalui Perpres ini, setiap
menteri, pimpinan lembaga dan kepala daerah, juga wajib melaporkan aksi
pencegahan korupsi kepada Tim Nasional Pencegahan Korupsi setiap tiga bulan.
Perpres ini fokus pada tiga hal yakni perizinan dan tata niaga, keuangan negara
dan penegakkan hukum dan reformasi birokrasi. Tiga hal itu dinilai sebagai
sektor yang rawan korupsi.
Perpres ini juga semakin mengukuhkan peran KPK sebagai
koordinator dan supervisi yang akan melibatkan kementerian dan lembaga
pemerintah lainnya, misalnya Bappenas, Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi, dan
Kepala Staf Presiden. Perpres itu diyakini memperkuat upaya pemerintah dalam
pencegahan tindak pidana korupsi sejak hulu, tanpa mengurangi kewenangan,
dan independensi lembaga penegak hukum yang sudah ada.

IV. Menunda RKUHP


Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dibuat DPR
RI memasukkan delik tindak pidana khusus, salah satunya tindak pidana korupsi.
Hal ini menjadi persoalan, karena mendapat penolakan dari KPK dan sejumlah
aktivis antikorupsi. KPK tetap berargumen bahwa dimasukkannya pasal tipikor
dalam RKUHP dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal itu juga sangat
berisiko bagi kerja KPK ke depan. Dimasukannya delik korupsi dalam RKUHP
berpotensi menimbulkan praktik transaksional atau korupsi dagang pasal. Hal itu
terjadi karena terdapat perbedaan ancaman pidana dan sanksi denda kasus korupsi
dalam RKUHP dengan ketentuan yang diatur di Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

V. Pelapor korupsi bisa dapat Rp200 juta


Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2018 tentang
tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan PP 43/2018
tersebut, masyarakat yang memberikan informasi kepada penegak hukum
mengenai dugaan korupsi akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk piagam
dan premi yang besarannya maksimal Rp 200 juta. Pasal 17 ayat (1) PP 43/2018
menyebutkan, besaran premi diberikan sebesar dua permil dari jumlah kerugian
keuangan negara yang dapat dikembalikan kepada negara. Sementara untuk
pelapor tindak pidana korupsi berupa suap, besar premi yang diberikan sebesar
dua permil dari nilai uang suap dan/atau uang dari hasil lelang barang rampasan
dengan nilai maksimal Rp 10 juta. Peraturan tersebut diteken Presiden Joko
Widodo dan diundangkan oleh Kementerian hukum dan HAM pada 18
September 2018. PP 43/2018 itu telah masuk dalam lembaran negara RI tahun
2018 nomor 157.
BAB III

PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Korupsi berkaitan dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa
dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan
kroninya. Korupsi selalu bermula dan berkembang di sector public dengan bukti-bukti
yang nyata bahwa dengan kekuasaan itulah pejabat public dapat menekan atau memeras
para pencari keadilan atau mereka yang memerlukan jasa pelayanan dari pemerintah.
Korupsi di Indonesia sudah tergolong kejahatan yang merusak, tidak saja keuangan
Negara dan potensi ekonomi Negara, tetapi juga telah meluluhlantakkan pilar-pilar sosial
budaya, moral, politik dan tatanan hokum dan keamanan nasional.

Upaya pemberantasan kejahatan korupsi melalui penegakan hukum yang


berkeadilan saat ini tampak masih memerlukan perjuangan berat. Karena kejahatan
korupsi merupakain kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang berbeda dari
kejahatan pidana biasa, maka upaya yang harus dilakukan memerlukan sistem yang
terpadu dan luar biasa pula. Sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)
pemberantasan korupsi, memerlukan kemaun politik luar biasa sehingga Presiden
sebagai kepala Negara menjadi figur penting dalam menggerakan dan mengordinasikan
peran Polisi, Jaksa, Pengadilan, dan KPK menjadi kekuatan dahsyat, sehingga praktek
KKN, seperti penyogokan, penggelembungan harga, gratifikasi, dan penyalah gunaan
kewenangan lainnya dilakukan oknum aparat PNS atau pejabat negara, baik di tingkat
pusat maupun daerah dapat dipersempit ruang geraknya melalui cara-cara penegakan luar
biasa dan terpadu.

3.2 SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi melengkapi dan menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah. 2006. Korupsi Di Indonesia, Masalah Dan Pemecahannya Cetakan II.
Bandung: PT Gramedia Pustaka Utama.
Danil, Elwi. 2016. Konsep Tindak Pidana dan Pemberantasannya. Jakarta: Rajawali Pers.
Darwan Prinst. 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung : Citra Aditya
Bakti.
Efendi Marwan. 2013. Korupsi & Strategi Nasional Pencegahan Serta Pemberantasannya.
Jakarta: Referensi (GP Press Group).
Wibawa, S. 1994. Kebijakan Publik Proses dan Analisis. Jakarta: Intermedia.

Anda mungkin juga menyukai