Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PELAKSANAAN HUKUM CAMBUK DI ACEH

DISUSUN OLEH :

Nama : Dicky Prayoga

NPP : 30.0013

Absen : 07

Kelas : G4

PRODI TEKNOLOGI REKAYASA INFORMASI


PEMERINTAHAN
FAKULTAS MANAJEMEN PEMERINTAHAN
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
KAMPUS REGIONAL SUMATERA BARAT
KATA PENGANTAR

Rasa syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
saya dapat menyusun makalah ini dengan baik dan selesai secara tepat waktu. Makalah ini saya
beri judul “Pelaksanaan Hukum Cambuk di Aceh”.Penyusunan makalah ini bertujuan untuk
memberikan tambahan wawasan bagi kami sebagai penulis dan bagi para pembaca.

Saya selaku penulis tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada dosen
pengampu.Tidak lupa pula bagi berbagai pihak lain yang telah mendukung penyusunan makalah
ini saya juga mengucapkan terima kasih.

Terakhir, saya menyadari bahwa makalah ini masih belum sepenuhnya sempurna. Maka
dari itu saya terbuka terhadap kritik dan saran yang bisa membangun kemampuan saya, agar
pada tugas berikutnya bisa menulis makalah dengan lebih baik lagi. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Jatinangor, 9 Oktober 2021

Dicky Prayoga
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1

1.2 Identifikasi Masalah………………………………………………………...5

1.3 Batasan Masalah ................................................................................................ 5

1.4 Rumusan Masalah .............................................................................................. 5

1.5 Tujuan Penelitian................................................................................................. 5

1.6 Manfaat Penelitian………………………………………………………….5

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 6

2.1 Pelaksanaan Hukum Cambuk di Aceh ............................................................. 6

2.2 Sudut Pandang HAM terhadap Hukum Cambuk yang

diterapkan dalam Masyarakat.......................................................................... 9

2.3 Dampak Hukum Cambuk bagi Kehidupan Sosial Masyarakat................... 10

BAB III PENUTUP .................................................................................................... 12

3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 12

3.2 Saran ................................................................................................................. 12


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Homoseks yaitu suatu perasaan yang timbul pada diri seseorang dengan ketertarik kepada
sesama jenis atau jenis kelamin yang sama sebagai orientasi seksual, yang mana perasaan itu
timbul kepada orang-orang yang memiliki kepribadian berbeda pada umumnya, rasa romantis,
kasih sayang yang diberikan, perhatian, dengan jenis kelamin yang sama.

Dikutip didalam jurnal Hukum Kedudukan Qanun Dalam Sistem Pemerintahan Daerah
Dan Mekanisme Pengawasannya “Pengertian Qanun Sendiri Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia dikenal dengan nama Kanun, yang artinya adalah, kitab undang-undang, peraturan,
undang-undang, hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dan kaidah. Adapun pengertian qanun
menurut bahasa Arab adalah: undang-undang kebiasaan atau adat. Jadi dapat disimpulkan
pengertian qanun adalah suatu aturan hukum yang diberlakukan disuatu daerah melalui undang-
undang yang disahkan oleh pemerintah aceh.

KUHP atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu salah satu undang undang yang
mengatur tentang tindak pidana di Indonesia dan KUHP merupakan sumber dari hukum kolonial
Belanda yang berlaku di Indonesia.

Masyarakat sangat mencemaskasn dengan adanya isu homoseks atau LGBT dimana
mereka menggap bahwa LGBT merupakan penyakit yang dapat menular kepada anak-anak
mereka, dan LGBT merupakan perilaku yang berdeda dengan masyarakat tidak sesuai dengan
orang-orang biasanya. Adanya prokontra didalam masyarakat mengenai LGBT, orang yang pro
terhadap LGBT yaitu mengakui bahwa kita dilindungi oleh HAM dan yang kontra terhadap
LGBT mengganggap bahwa mereka menderita penyakit seksualitas yang dapat disembuhkan dan
dipandang haram oleh agama, adapun pengertian LGBT adalah sebagai berikut: Lebian yaitu
ketertarikan secara seksual terhadap sesama jenis perempuan Gay yaitu perilaku seksualitas
antara jenis kelamin pria tertarik terhadap jenis kelamin pria Biseksual yaitu keadaan seseorang
yang tertarik terhadap jenis kelamin yang sama dan jenis kelamin yang berbeda bisa disebut
orang yang mempunyai rasa ketertarikan terhadap berbeda jenis kelamin dan sesama jenis
kelamin. Transgender yaitu orang yang tidak puas dengan alat kelaminnya sendiri bahkan
mereka jiji dengan alat kelaminnya dan mereka dapat mengubah alat kelaminnya. Adapun sanksi
yang diberikan kepada pelaku homoseks menurut qanun jinayah aceh dan KUHP berbeda.
Dalam KUHP Pasal 292 yang berbunyi” Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan
cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa
belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun” sedangkan didalam
Qanun Jinayah Aceh liwath diatur dalam Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang hukum
jinayat dirumuskan pengertian “liwath adalah perbuatan seorang laki-laki dengan cara
memasukkan zakarnya kedalam dubur laki-laki yang lain dengan kerelaan kedua belah pihak”.

Hukuman atau jarimah atas tindak pidana liwath di tentukan dalam pasal 63 yaitu:

1. Setiap orang dengan sengaja melakukan jarimah liwath diancam dengan uqubat ta’zir paling
banyak 100 kali cambuk atau denda paling banyak 1.000 gram emas atau penjara paling lama
penjara 100 bulan

2. Setiap orang yang mengulangi perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di ancam
dengan uqubat ta’zir cambuk 100 kali dan dapat ditambah dengan denda paling banyak 120 gram
emas murni atau penjara paling lama 12 bulan.

3. Setiap orang yang melakukan liwath dengan anak, selain diancam dengan uqubat ta’zir
sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 dapat di tambah cambuk paling banyak 100 kali atau
denda paling banyak1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan”,

1.2 Identifikasi Masalah

1. Pelaksanaan Hukum Cambuk di Aceh belum terlaksana dengan baik dan adil.

1.3 Batasan Masalah

Pelaksanaan Hukum Cambuk di Aceh.

1.4 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan hukuman cambuk di lembaga pemasyarakatan?

2. Bagaimana sudut pandang HAM terhadap hukum cambuk yang diterapkan dalam masyarakat?

3. Apa dampak hukum cambuk bagi kehidupan sosial masyarakat?

1.5 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pelaksanaan Hukum Cambuk di Aceh

2. Untuk mengetahui sudut pandang HAM terhadap Hukum Cambuk yang diterapkan dalam
masyarakat

3. Untuk mengetahui dampak hukum cambuk bagi kehidupan social masyarakat.

1.6 Manfaat Penelitian

1. Supaya mengetahui pelaksanaan Hukum Cambuk di Aceh


2. Agar mengetahui sudut pandang HAM terhadap Hukum Cambuk yang diterapkan dalam
masyarakat

3. Agar mengetahui dampak hukum cambuk bagi kehidupan social masyarakat.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teoritis

2.2.1 Pelaksanaan Hukum Cambuk di Aceh

Hukuman cambuk sebagai salah satu sanksi hukum bagi pelaku kejahatan telah dikenal di
berbagai negara di dunia, antara lain Iran, Arab Saudi, Malaysia, Sudan, Pakistan, Singapura dan
sebagainya. Secara etimologis kata cambuk sebagai terjemahan dari akar kata bahasa Arab yaitu
jald. Derivasi kata jald adalah jalada, yajlidu, jaldan yang berarti memukul di atas kulit atau
memukul dengan cambuk berasal dari kulit. Dalam terminologi Islam hukuman cambuk dikenal
dengan hukuman jilid. Hukuman ini dikenakan kepada pelaku kejahatan yang tidak termasuk
dalam kategori hudud dan qishah (Muslim Zainuddin, 2011: 9). Praktik Rasulullah saw., dalam
melaksanakan hukuman cambuk sebagai sanksi kepada pelaku jarimah dengan jumlah pukulan
bervariasi. Dalam kasus tertentu dilakukan dengan jumlah sedikit, sedangkan pada kasus lainnya
diberi sanksi dengan jumlah yang banyak, tetapi jumlahnya tidak melebihi dari 40 kali
cambukan. Sedangkan Khalifah Abu Bakar ra., menerapkan hukuman cambuk bagi pelaku
jarimah minuman khamar sebanyak 40 kali cambukan (A. Djazuli, 2000: 99).

Dasar hukum (legalitas) hukum cambuk di Provinsi Aceh adalah peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan otonomi khusus keistimewaan Aceh dan pelaksanaan syariat
Islam di Aceh. Beberapa qanun yang berkaitan dengan tindak pidana khamar, maisir dan khalwat
ditetapkan dengan (1) Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Larangan Minuman Khamar dan
Sejenisnya; (2) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian); dan (3) Qanun Nomor
14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum). Tindak pidana yang dapat dikenai sanksi hukum
cambuk tercantum dalam Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Larangan Minuman Khamar dan
sejenisnya diatur dalam Pasal 26 (ayat 1), “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 diancam dengan `uqubat hudud 40 (empat puluh) kali cambuk”. Dalam
Pasal 5 disebutkan secara normatif, bahwa “setiap orang dilarang mengkonsumsi minuman
khamar dan sejenisnya”. Hal ini karena pada Pasal 4 dinyatakan bahwa “minuman khamar dan
yang sejenisnya hukumnya haram”.

Pelaksanaan hukuman cambuk diatur dalam qanun ini disebutkan di dalam Pasal 33
bahwa “uqubat cambuk dilakukan di tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri
Jaksa Penuntut Umum dan Dokter yang ditunjuk” (ayat 1). Pencambukan dilakukan dengan
rotan yang berdiameter 0,75 sampai 1 (satu sentimeter, panjang 1 (satu) sentimeter dan tidak
mempunyai ujung ganda atau belah” (ayat 2). Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh
kecuali kepala, muka leher, dada, dan kemaluan” (ayat 3). “kadar pukulan atau cambukan tidak
sampai melukai” (ayat 4). Kemudian posisi hukuman cambukan dibedakan antara laki-laki dan
perempuan diatur sebagai berikut “terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa
penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat, sedangkan perempuan
dalam posisi duduk dan ditutup kain atasnya” (ayat 5). Pencambukan terhadap perempuan hamil
dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan” (ayat 6). Selanjutnya
dalam Pasal 34 disebutkan bahwa apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang
membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan
ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan. Pasal ini menjelaskan tentang penundaan
pelaksanaan hukuman jika terhukum dalam keadaan sakit. Kemudian di dalam Qanun Nomor 13
Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dalam Pasal 23 disebutkan hukuman cambuk dengan
jumlah pukulannya, yaitu “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 diancam dengan hukuman cambuk di depan umum paling banyak 12 (duabelas) kali dan
paling sedikit 6 (enam) kali”. Dalam Pasal 5 disebutkan juga secara normatif, bahwa “setiap
orang dilarang melakukan perbuatan maisir”. Karena “maisir hukumnya haram” sebagaimana
disebutkan di dalam Pasal 4. Pelaksana hukuman cambuk diatur di dalam Pasal 28 yaitu “uqubat
cambuk dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum” (ayat 1). “Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Jaksa Penuntut Umum harus
berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam qanun ini dan/atau ketentuan yang diatur dalam
qanun tentang hukum formil” (ayat 2).

Selanjutnya di dalam Pasal 30 diatur tentang tempat, alat, dan cara yang digunakan dalam
pelaksanaan hukuman cambuk sebagai berikut: “uqubat cambuk dilakukan di tempat yang dapat
disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan Dokter yang ditunjuk” (ayat
1). Pencambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameter 0,75 sampai 1 (satu sentimeter,
panjang 1 (satu) sentimeter dan tidak mempunyai ujung ganda atau belah” (ayat 2).
Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka leher, dada, dan kemaluan”
(ayat 3). “kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai” (ayat 4). Kemudian posisi
hukuman cambukan dibedakan antara laki-laki dan perempuan diatur sebagai berikut “terhukum
laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis
yang menutup aurat, sedangkan perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain atasnya” (ayat
5). Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang
bersangkutan melahirkan” (ayat 6).

Selanjutnya dalam Pasal 31 disebutkan bahwa apabila selama pencambukan timbul hal-
hal yang membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa
cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan. Pasal ini menjelaskan tentang
penundaan pelaksanaan hukuman jika terhukum dalam keadaan sakit. Selanjutnya di dalam
Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum) mengatur tentang hukuman cambuk,
yaitu pada Pasal 22 yang berbunyi “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 diancam dengan uqubat tazir berupa dicambuk paling banyak 9
(sembilan) kali dan paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000
(sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus rupiah)”. Karena dalam
Pasal 4 disebutkan secara normatif, bahwa “halwat (mesum) hukumnya haram. Kemudian di
dalam Pasal 5 disebutkan “setiap orang dilarang melakukan khalwat (mesum)”. Pelaksana
hukuman cambuk diatur di dalam Pasal 26 yaitu “uqubat cambuk dilakukan oleh petugas yang
ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum” (ayat 1). “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur
dalam qanun ini dan/atau ketentuan yang diatur dalam qanun tentang hukum formil” (ayat 2).

Selanjutnya di dalam Pasal 28 diatur tentang tempat, alat, dan cara yang digunakan dalam
pelaksanaan hukuman cambuk sebagai berikut: “uqubat cambuk dilakukan di tempat yang dapat
disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan Dokter yang ditunjuk” (ayat
1). Pencambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameter 0,75 sampai 1 (satu sentimeter,
panjang 1 (satu) sentimeter dan tidak mempunyai ujung ganda atau belah” (ayat 2).
Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka leher, dada, dan kemaluan”
(ayat 3). “kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai” (ayat 4). Kemudian posisi
hukuman cambukan dibedakan antara laki-laki dan perempuan diatur sebagai berikut “terhukum
laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis
yang menutup aurat, sedangkan perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain atasnya” (ayat
5).

Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang
bersangkutan melahirkan” (ayat 6). Selanjutnya dalam Pasal 29 disebutkan bahwa apabila selama
pencambukan timbul hal-hal yang membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang
ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan. Pasal ini
menjelaskan tentang penundaan pelaksanaan hukuman jika terhukum dalam keadaan sakit.
Berdasarkan peraturan dan perundang-undangan tersebut pemerintah Aceh diberi kewenangan
khusus oleh pemerintah pusat dalam menyelenggarakan kehidupan beragama, khususnya
pelaksanaan syariat Islam secara kaffah. Untuk mengatur kehidupan yang lebih tertib, aman dan
adanya kepastian hukum pemerintah Aceh telah mengatur masalah yang berkaian dengan hukum
pidana syariat Islam yaitu larangan minuman khamar (minuman/obat/alat dengan segala
bentuknya yang memabukkan), maisir (perjudian dengan segala bentuknya), dan khalwat (yang
mendekati ke arah perzinahan).

2.2.2 Sudut Pandang HAM terhadap Hukum Cambuk yang diterapkan dalam Masyarakat

Pada dasarnya HAM dibagi menjadi dua definisi ada dalam pandangan hukum Islam dan
hukum Barat. Rumusan HAM dalam pandangan Barat yaitu rumusan universal. Perkembangan
ini dapat terlihat dalam Dokumen Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB yang
ditertibkan pada 10 Desember 1948. Dokumen ini memiliki dua poin penting. Poin pertama
adalah setiap orang berhak akan hidup, merdeka, dan mendapatkan keamanan bagi dirinya.
Adapun poin kedua adalah tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman tahanan, atau
pembuangan yang sewenang-wenang 12 . Pengertian HAM dalam rumusan Barat tersebut,
cenderung pada perspektif asal muasal dari HAM, belum menyentuh secara subtansial yang
dapat dijadikan pegangan normatif atau secara yuridis dari pengertian HAM itu sendiri. Oleh
karena itu, ada baiknya jika pengertian HAM dirujuk dari UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Mengapa demikian karena rumusan pengertian HAM dalam UU. HAM dimaksud tersebut,
merupakan hasil adopsi dari konvenan HAM. bahwa rumusan HAM dalam dokumen PBB yang
kemudian diadopsi oleh hukum positif di Indonesia menerangkan HAM adalah hak yang sudah
didapat oleh setiap manusia sebagai konsekuensi ia dilahirkan manjadi manusia. John Locke
menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang
Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia
yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan
kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dalam kehidupan
manusia.

Senada dengan itu dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 1 juga disebutkan bahwa: “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.

Kemudian dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disahkan pada 10 Desember
1948 pada pasal 5 disebutkan bahwa Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara
kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina. Pasal ini lah yang
menjadi dasar rujukan para penentang hukum cambuk Aceh untuk mengemukakan kritik keras
atas pelaksanaan hukum cambuk. Semenjak Aceh di proklamirkan sebagai Negeri Syari‟at dan
mulai diterapkannya hukum cambuk beberapa tahun silam, berbagai tantangan dan rintangan
terus berdatangan terhadap penerapan syariat Islam di Aceh, baik datang dari pihak non muslim
maupun dari pihak muslim yang sekuler. Protes-protes yang diberikan dengan berbagai macam
alasan yang sudah disebutkan di atas. Yang menjadi pokok persoalan paling kontroversial dalam
penerapan Qanun Jinayat di Aceh adalah mengenai ketentuan uqubat cambuk tersebut.

Apabila di kumpulkan, ada beberapa reaksidari publik tentang „uqubat cambuk ini. Seperti,
menolak Qanun jinayah yang masih mencantumkan hukuman yang di nilai melanggar Hak Asasi
Manusia (HAM) dan merendahkan martabat kemanusiaan, kelompok ini biasanya diwakili oleh
para aktivis HAM. Menurut mereka, ketentuan hukuman badan seperti cambuk bertentangan
dengan HAM Internasional dan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia khususnya
UndangUndang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Adapun pandangan barat yang mengatakan hukuman dalam hukum pidana Islam itu melanggar
HAM, dikarenakan perbedaan yang mendasar dari cara memandang HAM itu sendiri. Menurut
pendapat Saifuddin Bantasyam (Pakar Hukum Internasional dan HAM Universitas Syiah Kuala)
penerapan hukuman cambuk dalam Qanun Jinayah di Aceh dari sisi HAM tidak melanggar sama
sekali, karena hanya perbedaan pada cara pandang saja. Mengenai rasa sakit dan penderitaan
dalam hal eksekusi hukuman itu merupakan muncul dari atau karena sanksi hukum yang
dilaksanakan dengan benar, adil, berdasarkan bukti-bukti yang cukup, disertai dengan
penghormatan terhadap hak-hak terdakwa. 83 HAM dalam versi barat bersifat antroposentrisme
yang menekankan kepada hak individu dan melepaskan manusia dari setingnya yang terpisah
dengan Tuhan.

Sedangkan dalam Islam, HAM bersifat theosentris yang memiliki sifat ketuhanan.Dalam
pengertian demikian, manusia bekerja sesuai dengan kesadaran dan kepatuhan kepada Allah, dan
bahwa HAM adalah anugerah Tuhan, dan setiap orang bertanggung jawab terhadap Tuhan.

Selain Saifuddin Bantasyam, Amin Suma selaku ahli hukum syariah dari Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah juga memberi penegasan mengenai kritikan sejumlah kalangan
terhadap penerapan hukuman cambuk di Provinsi Aceh. Ia mengatakan bahwa pelaksanaan
hukuman cambuk di Aceh untuk sebagian kalangan merupakan langkah maju dalam rangka
meng-kongkritkan penerapan syariat Islam yang telah lama diperjuangkan oleh masyarakat
Aceh. Namun, untuk sebagian kalangan yang lainnya, pelaksanaan hukuman cambuk justru
dipandang kontraproduktif dengan alasan upaya penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) di
Indonesia.

Menanggapi tudingan ini, Amin memandang perlu diberi batasan tegas apa yang dimaksud
dengan pelanggaran HAM. Menurut Amin, suatu tindakan dapat dipandang sebagai pelanggaran
HAM apabila tindakan tersebut ditujukan kepada orang yang tidak bersalah. Penerapan hukuman
cambuk merupakan ganjaran bagi orang-orang yang terbukti bersalah dan sudah ada aturan
mainnya. Pendapat Amin Suma diatas juga sudah penulis uraikan pada bab dua tentang syarat-
syarat penjatuhan hukuman cambuk. Bahwa salah satu syaratnya, hukuman harus bersifat
perorangan. Hal ini mengandung makna kalau hukuman harus dilakukan kepada pelaku yang
melakukan tindak pidana itu sendiri dan tidak boleh mengenai orang lain yang tidak melakukan
pelanggaran. Dan syarat ini menjadi salah satu dasar dan prinsip yang ditegakkan dalam syariat
Islam.

2.2.3 Dampak Hukum Cambuk bagi Kehidupan Sosial Masyarakat.

Berbagai pandangan yang sifatnya kon-tradiktif atas pengesahan Qanun No. 6 Tahun 2014
menimbulkan dilematika dalam proses penegakannya. Sebagian masyarakat mengganggap dan
cenderung khawatir bahwa pemberlakuan Qanun tersebut hanya untuk golongan “kecil”,
sebagaimana cerminan atas keberlakuan Qanun sebelumnya. Qanun Jinayat juga dianggap
sebagai diskriminasi dan pelanggaran hak asasi (Fadlia, F., & Ramadani, 2018). Hal terse-but
turut serta menimbulkan dinamika dalam masyarakat yang cenderung kurang mengerti akan
tujuan disahkannya Qanun No. 6 Tahun 2014 tersebut. Qanun No. 6 Tahun 2014 diatur jenis
jinayah berikut dengan sanksi yang diberikan kepada para pelanggar.Asas yang dianut dalam
pelaksanaan hukum jinayat mencakup (a). keismlaman; (b). legalitas; (c). keadilan dan keseim-
bangan; (d). kemaslahatan; (e). perlindungan hak asasi manusia; (f). Pembelajaran kepada
masyarakat (tadabbur). Adapun cakupan jenis jinayat yang terdapat dalam Qanun tersebut
adalah: (a). khamar; (b). maisir; (c). khalwat; (d). ikhtilath; (e). Zina; (f). Pelecehan seksual; (g).
pemerkosaan; (h). Qadzaf; (i). Liwath; dan (j). Musahaqah. Adapun bentuk hukuman yang akan
diberikan kepada pihak yang melakukan pelanggaran terhadap syari’at Islam adalah hu-kuman
cambuk; denda berupa emas atau pen-jara (Mahdi, 2011). Banyaknya cambuk atau denda
ditentukan oleh tingkat kesalahan yang dilakukan oleh para pelanggar syari’at Islam.

Paling ringan sepuluh kali atau denda 100 gram emas atau penjara 10 bulan dan paling berat
adalah 150 kali atau denda 1.500 gram emas atau penjara 150 bulan (Ulya, 2016).Proses
hukuman cambuk sebagai salah satu bentuk penerapan Qanun Jinayat memberikan pandangan
dan penilaian yang berag-am. Hukuman cambuk ini juga banyak menuai pro dan kontra di
berbagai kalangan baik akademisi, praktisi maupun masyarakat biasa.
Hal ini tidak hanya muncul di daerah, tetapi juga menjadi permasalahan nasional bahkan
internasional. Penerapan hukuman cambuk diharapkan mampu mengurangi terjadinya
pelanggaran syari’at Islam di Aceh, namun pelak-sanaan hukuman cambuk menimbulkan reaksi
yang berbeda-beda pada masyarakat. Respon inilah yang kemudian membentuk persepsi atau
pandangan dan penilaian terhadap suatu objek atau peristiwa.

Penolakan dan pertentangan terhadap pembelakuan Qanun Jinayah di Aceh karena banyak pihak
belum memahami dengan benar tentang hukum jinayah, tujuan penghu-kuman dan ketertiban
serta syari’at yang ingin diwujudkan dengan hukum jinayah. Konstruksi hukum yang sedang
dalam proses ini diupayakan untuk memenuhi kebutuhan masa depan yang semakin rumit dan
kompleks, serta tidak tersandung pada tuduhan mengabadikan hak asasi manusia (HAM) dan
kesetaraan gender (Dinas Syari’at Islam Aceh, 2015). Bagi masyarakat dan pemerintah Aceh,
penerapan hukum bagi pelanggar syari’at Islam merupakan jalan agar terwujudnya kedamaian,
ketenangan, ke-bahagian dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

Latar belakang terbentuknya Qanun hukum Jinayat agar Qanun dapat dilaksanakan
dengan baik maupun secara kaffah, serta Qanun hukum Jinayat juga dibentuk melengkapi
Qanun-qanun yang ada sebelumnya. maka Qanun Aceh berwenang mengatur hukuman cambuk
bagi pelaku Jinayat. Rumusan hukuman cambuk yang diatur dalam Qanun merupakan hasil
sebuah usaha yang sungguh-sungguh (ijtihad) dan telah menjadi hukum positif nasional,
sehingga dalam penegakkannya memerlukan kekuasaan negara melalui aparat penegak hukum
yaitu institusi kepolisisan, kejaksaan, mahkamah syari’at dan advokat serta lembaga lain terkait.

3.2. Saran

Pemerintah Aceh sebaiknya mempertimbangkan baik buruknya hukuman cambuk yang


dibuat dalam Qanun hukum jinyat iniyang tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan,
walaupun hukuman itu dibuat untuk membuat yang sipelaku merasa jera.
DAFTAR PUSTAKA

http://journals.ums.ac.id/index.php/indigenous/article/download/6482/5364

https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/legitimasi/article/view/7331

http://pkm.uika-bogor.ac.id/index.php/prosiding/article/download/57/45/

Anda mungkin juga menyukai