Anda di halaman 1dari 21

PIDANA CAMBUK

Mata Kuliah: Kapita Selekta Hukum Pidana Islam


Dosen Pengampu: Prof. Dr. Hamzah Hasan M.H.I

Oleh

Nama:
1. Haisyah (10200120086)
2. Andi Muh. Khaliq Nur Hersyah (10200120045)
3. Muh. Rhefykasyah Gowardhani Arief (10200120068)

Kelas: HTN-B

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah swt yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, penulis
panjatkan puja dan puji Syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan Rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
“Pidana Cambuk”.

Makalah ilmiah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu, penulis
menyampaikan dalam kalah ini penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, penuliss menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekuarangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan
segala kekuarangan dalam makalah ini penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga mkalah ilmiah tentang “Pidana Cambuk” dapat
menambah ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat maupun isnpirasi terhadap pembaca.

Samata, 31 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI
SAMPUL .................................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii
BAB I ....................................................................................... Error! Bookmark not defined.
PENDAHULUAN ................................................................... Error! Bookmark not defined.
A. Latar Belakang Masalah .................................................. Error! Bookmark not defined.
B. Rumusan Masalah............................................................ Error! Bookmark not defined.
C. Tujuan .............................................................................. Error! Bookmark not defined.
BAB II...................................................................................... Error! Bookmark not defined.
PEMBAHASAN ...................................................................... Error! Bookmark not defined.
A.Pengertian Pidana Cambuk .............................................. Error! Bookmark not defined.
B. Penerapan Tindak Pidana Cambuk dalam Syariat Islam ................................................... 7
C. Kriteria Tindak Pidana yang diancam Tindak Pidana Cambuk ......................................... 8
D. Konsep Pidana Cambuk dalam Islam .............................................................................. 14
E. Implementasi Pidana Cmabuk di Indonesia..................................................................... 16
BAB III .................................................................................................................................... 18
PENUTUP ............................................................................................................................ 18
Kesimpulan........................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 21

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum pidana Islam dalam khazanah fiqih dikenal dengan fiqh jināyāt. Kata jināyāt
merupakan bentuk masdar dari kata janā. secara etimologi janā berarti berbuat salah atau dosa
sehingga istilah jināyāt adalah perbuatan salah dan dosa. Selain demikian, di dalam buku
Ahmad Wardi Muslich yang mengutip perkataan Sayid Sabiq, memberikan devinisi Jināyāt
yaitu “setiap perbuatan yang dilarang oleh syara, maka dilarang untuk melakukanya, karena
adanya bahaya terhadpap Agama, jiwa, akal, kehormatan, atau harta benda.

Abdul Qadir Audah mengategorikan tindak pidana Islam (Jarimah) dibagi menjadi 3,
yaitu jarīmah hudud, Jarīmah Qisas-Diyat, dan Jarīmah Ta’zir. Berfokus pada jarimah yang
terakir yaitu ta’zir, hukuman ini bersifat pengajaran dan semacamnya yang tidak ditentukan
hukumanya dan hukumanya diserahkan pada kebijakan penguasa (hakim). Dalam pelaksanaan
hukuman, yang berhak menetapkan dan melaksanakan adalah seorang penguasa, sebagaiman
yang dikatakan oleh Ahmad Wardi Muslich “pelaksanaan hukum pada jarimah ta’zir yang
sudah diputuskan oleh hakim, juga menjadi hak penguasa negara atau petugas yang ditunjuk
olehnya. Hal ini oleh karena hukuman itu disyariatkan untuk melindungi masyarakat, dengan
demikian hukuman tersebut menjadi haknya dan dilaksanakan oleh wakil masyarakat.

Hukuman ta’zir jumlahnya cukup banyak, mulai hukum yang paling berat hingga
hukum yang paling ringan. dalam penyelesaian perkara jarīmah ta’zir hakim diberi wewenang
untuk memilih diantara kedua hukum tersebut, mana yang paling sesuai dengan jarīmah yang
dilakukan oleh pelaku. Jenis-jenis hukuma ta’zir tersebuat adalah, hukum mati, hukum jilid
(cambuk), hukum kawalan, hukum pengangsingan, hukum salib, dan hukum pengucilan.

Jarīmah ta’zir yang paling efisien untuk diterapkan adalah hukum jilid (cambuk), sebab
hukum jilid lebih banyak berhasil dalam memberantas para penjahat yang telah biasa
melakukan tindak pidana, sehingga biaya pelaksanaanya tidak merepotkan keuangan negara,
karena setelah dicambuk langsung dilepaskan. Di samping itu hukuman tersebut tidak
menganggu kegiatan usaha terhukum, sehingga keluarga tidak terlantar, karena hukum jilid
dapat dilakukan seketika dan setelah itu terhukum bisa bebas, dengan hukum jilid, pelaku dapat
terhindar dari akibatakibat buruk hukum penjara, seperti rusaknya akhlak dan kesehatan.

Salah satu hukum pidana Islam yang di terapkan di Indonesia adalah ta’zir, hal tersebut
dapat kita temui di Aceh, sebab mendapat keistimemaan tersendiri dari negara Indonesia.

4
Hukum cambuk di perkenalkan di Aceh setelah provinsi ini mendapat izin untuk melaksanakan
Syariat Islam melalui tiga buah undang-undang yaitu UU No.44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, UU No.18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, dan UU No.11/2006 tentang Pemerintah Aceh.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka disusunlah makalah yang


menyinggung permasalahan terkait dengan “Pidana Cambuk”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pidana cambuk?
2. Apa saja tujuan penerapan pidana cambuk dalam syariat Islam?
3. Apa kriteria tindak pidana yang diancam pidana cambuk?
4. Bagaimana konsep pidana cambuk dalam Islam?
5. Bagaimana implementasi pidana cambuk di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang pidana cambuk
2. Untuk mengetahui tujuan penerapan pidana cambuk dalam syariat Islam
3. Untuk mengetahui kriteria tindak pidana yang diancam pidana cambuk
4. Untuk mengetahui konsep pidana cambuk dalam Islam
5. Untuk mengetahui implementasi pidana cambuk di Indonesia

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pidana Cambuk
Pidana dalam Islam dari segi pengertian fiqih dapat disamakan dengan Istilah jarimah
yang diartikan sebagai larangan syarah yang dijatuhi sanksi oleh pembuat syariat (Allah)
dengan hukuman had atau ta’zir. Para fuqaha menggunakan kata jinayah untuk istilah jarimah
yang diartikan sebagai perbuatan yang dilarang. Hukum pidana islam merupakan syariat allah
yang mengandung Kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat,
syariat yang dimaksud secara materil mengandung kewajiban asasi syariat, yaitu menempatkan
Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun pada orang lain.

Menurut Jimly Asshiddiqie, penggunaan istilah “pidana” dipahami sebagai sanksi


pidana. Untuk pengertian yang sama, kadang-kadang juga dipergunakan istilah “hukuman”,
yang berasal dari kata “hukum”, dan seakar dengan kata “menghukum” dan “penghukuman”
yang mempunyai ruang lingkup lebih luas dan tidak terbatas kepada pengertian hukum pidana
saja. Hukuman dalam hukum syariat Islam disebut al-Uqubaah yang meliputi baik hal-hal yang
merugikan maupun tindak kriminal. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata ‘uquba
artinya mengiringnya dan datang di belakangnya. Dalam pengertian yang mendekati
pengertian istilah, lafaz tersebut bisa diambil dari lafaz ‘aqoba artinya membalasnya sesuai
dengan apa yang dilakukannya. Abdul Qadir Audah , mendefinisikan hukuman adalah
pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya
pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara.

Cambuk dalam KBBI adalah alat untuk melecut binatang (kuda, kerbau, dan
sebagainya), berupa jalinan tali dari serat tumbuhan, benang, atau kulit yang diikatkan pada
sebuah tangkai; cemeti besar. Dalam bahasa Arab, cambuk disebut dengan Jald dari akar kata
jalada yang berarti memukul di kulit atau memukul dengan cambuk yang terbuat dari kulit.
Dalam kamus Al-Munjid dijelaskan:

“As-Sauth (cambuk) adalah apa-apa yang digunakan untuk mencambuk baik yang
terbuat dari kulit yang dipintal (diikat) atau sejenisnya. Dinamakan demikian karena
mencampurkan darah dengan daging. Sedangkan As-Syaith sepotong kulit yang
merusakkan diserupakan dengan cambuk (As-Siyath) yang digunakan untuk
memukul.“

6
Jadi, dapat dipahami bahwa pidana cambuk adalah bentuk hukuman dengan
melontarkan suatu alat terbuat dari kulit yang dipintal (diikat) atau sejenisnya kebagian-bagian
tubuh sesuai ketentuan, seperti dibagian punggung, lengan, dan kaki.

B. Tujuan Penerapan Pidana Cambuk dalam Syariat Islam

Memahami Islam tidak akan lengkap bila kita tidak mengetahui hukumhukumnya.
Melalui hukumlah aturan yang berasal dari nilai-nilai Islam dapat dilaksanakan. Dalam Islam
ada dua macam: hukum taklifi dan hukum wadh‟i. Hukum taklifi adalah hukum yang
menjelaskan tentang perintah, larangan dan pilihan untuk menjalankan atau meninggalkan
suatu kegiatan/pekerjaan. Sebagai contoh: hukum yang menyangkut perintah seperti shalat,
membayar zakat dll. Hukum wadh‟i adalah hukum yang menyangkut sebab terjadinya sesuatu,
syarat dan penghalang. Sebagai contoh: hukum waris. Dalam syari‟at Islam, penetapan dan
implementasi hukuman, baik hukuman cambuk atau yang lainnya, mempunyai beberapa
maksud dan tujuan, yaitu:

a. Pencegahan
Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak
mengulangi perbuatan jarimahnya. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga
mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan
jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga
akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.
Menurut Ibnu Hammam dalam Fathul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah
sebelum terjadinya perbuatan (preventif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan
(represif).
b. Perbaikan dan Pendidikan
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah agar ia
menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana
perhatian syari‟at Islam terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan
akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena
takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap
jarimah serta dengan harapan mendapat rida dari Allah Ta‟ala.
c. Kemaslahatan Masyarakat
Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan bukan berarti
membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan

7
oleh Ibnu Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-
Nya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh
karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain
atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya.

Hukuman ini diterapkan sebagai usaha untuk mengubah sikap dan perilaku jarimun
agar tidak mengulangi kejahatannya. Abdul Qadir Audah6 mengatakan bahwa prinsip
hukuman dalam Islam dapat disimpulkan dalam dua prinsip pokok, yaitu menuntaskan segala
perbuatan pidana dengan mengabaikan pribadi terpidana dan memperbaiki sikap terpidana
sekaligus memberantas segala bentuk tindak pidana. Memberantas segala bentuk tindak pidana
bertujuan untuk memelihara stabilitas masyarakat, sedangkan untuk pribadi terpidana
bertujuan untuk memperbaiki sikap dan perilakunya. Oleh sebab itu, menurutnya hukuman
bagi segala bentuk tindak pidana yang terjadi harus sesuai dengan kemaslahatan dan
ketentraman masyarakat yang menghendaki.

C. Kriteria Tindak Pidana yang Diancam Pidana Cambuk

Adanya ketentuan hukuman cambuk sesuai dengan ketentuan dalam syari’at Islam yang
berdasar pada Al-Qur‟an, Al-Hadits, serta Ijma (konsensus) para ulama. Ketentuan hukuman
cambuk ini sebagaimana yang telah diuraikan yaitu hukuman yang terdapat dalam had dalam
qodzaf (menuduh zina tanpa bukti), pezina ghoiru muhson (belum menikah), peminum khamer,
dan ta’zir.

1. Hukuman Cambuk Bagi Pezina Ghoiru Muhson


Zina secara harfiah berarti fahsiyah, yaitu perbuatan keji. Zina dalam pengertian
istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang Perempuan yang
satu sma lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan. Para fuqaha (ahli hukum Islam)
mengartikan zina, yaitu melakukan hubungan seksual dalam arti memasukkan zakat
(kelamin pria) ke dalam vagina Wanita yang dinyatakan haram, bukan karena syubhat,
dan atas dasar syahwat.
Hukum pidana Islam telah menetapkan tiga jenis hukuman untuk jarimah zina
yaitu:
a. Dera
b. Pengasiangan (taghrib)
c. Rajam

8
Hukuman dera dan pengasiangan ditetapkan untuk pelaku zina ghair muhshan,
sedangkan hukuman rajam ditetapkan untuk pelaku zina muhshan. Apabila pelaku zina
itu kedua-duanya ghair muhshan maka keduanya dijilid dan diasingkan. Akan tetapi,
kalau kedua-duanya muhshan msks keduanya dikenakan hukuman rajam. Apabila yang
satu muhshan dan satu lag ghair muhshan maka yang muhshan dan satu lagi ghair
muhshan maka yang muhshan dirajam dan ghair muhshan dijilid dan diasingkan.
Ketentuan hukuman cambuk yang berupa hukuman had hanya diperuntukkan
bagi pezina ghoiru muhson dan qodzaf. Hukuman had bagi pezina yaitu hukuman dera
merupakan hukuman cambuk yang jumlahnya seratus kali, didasarkan kepada firman
Allah dalam QS an-Nur/24: 2
َ‫َّللا إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ت ُؤْ مِ نُون‬ ِ ‫الزانِي فَاجْ ِلدُوا ُك َّل َواحِ ٍد مِ ْن ُه َما مِ ائ َةَ َج ْل َد ٍة ۖ َو ََل تَأ ْ ُخ ْذ ُك ْم ِب ِه َما َرأْفَةٌ فِي د‬
ِ َّ ‫ِين‬ َّ ‫الزانِيَةُ َو‬ َّ
َ‫طائِفَةٌ مِ نَ ا ْل ُمؤْ مِ نِين‬ َ ‫عذَابَ ُه َما‬ َ ‫ش َه ْد‬ ْ َ‫اَّلل َوا ْليَ ْو ِم ْاْلخِ ِر ۖ َو ْلي‬
ِ َّ ‫ِب‬
Terjemahan:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka cambuklah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali cambukan, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”
Hukuman jilid (dera) dijatuhkan untuk mengimbangi (memerangi) factor
psikologis yang mendorong dilakukannya jarimah zina, yaitu keinginan untuk
mendapatkan kesenangan. Factor psikologis penentangnya merupakan hal yang
menyebabkan seseorang meninggalkan kesenangan tersebut adalah ancaman sengsara
(rasa sakit), yaitu yang ditimbulkan oleh 100x cambukan. Dengan demikian diharapkan
hukuman tersebut dapat menghalangi perbuatannya. Hukuman pengasingan yang
dijatuhkan untuk zina gair muhsan lamanya adalah 1 tahun. Ketentuan ini didasarkan
kepada hadis Nabi saw. Dari ‘Ubadah ibn Shamit bahwa Rasulullah saw bersabda:
“…jejaka dan gadis hukumannya jild serratus kali dan pengasingan selama satu
tahun…”
Menurut Ibnu Katsir rahimahullah dan Ahli Tafsir lainnya bahwa yang
dimaksud pezina dalam ayat ini adalah pezina ghoiru muhshan (belum menikah).
Sedangkan untuk pezina muhshan (sudah menikah) maka hukumannya adalah had
rajam. Selain hukuman cambuk seratus kali, bagi pezina ghoiru muhson juga dihukum
dengan pengasingan selama satu tahun.
2. Qadzaf
9
Qadzaf menurut bahasa adalah melempar. Menurut istilah syara‘ adalah
menuduh orang lain telah berzina (baik yang dituduh itu laki-laki atau perempuan),
seperti perkataan; hai penzina, atau dengan perkataan; ‫ لست ألبیك‬artinya kamu bukan
anak bapakmu, perkataan seperti ini tuduhan bukan ditujukan kepada yang
mendengarnya (mukhatab) tetapi kepada ibunya. Qadzaf (penuduh zina) dengan tidak
mendatangkan empat orang saksi dijilid delapan puluh kali berdasarkan surat an-Nur 4.
Terjemahan:

‫شهَا َدةً أَبَدًا ۚ َوأُو َٰلَ ِئكَ ُه ُم‬ ُ ‫ت ث ُ َّم لَ ْم يَأْت ُوا بِأ َ ْربَعَ ِة‬
َ ‫ش َهدَا َء فَاجْ ِلدُو ُه ْم ث َ َمانِينَ َج ْل َدةً َو ََل ت َ ْقبَلُوا لَ ُه ْم‬ َ ْ‫َوالَّ ِذينَ يَ ْر ُمونَ ا ْل ُمح‬
ِ ‫صنَا‬
َ‫سقُون‬ِ ‫ا ْلفَا‬

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)


dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Hukuman untuk jarimah qadzaf (penuduhan zina) dalam hukum pidana Islam
ada dua yaitu:
a) Hukuman pokok, yaitu jilid (dera)
b) Hukuman tambahan, yaitu pencabutan hak sebagai saksi
c) Menjadi orang fasik
Berbeda dengan jarimah zina, hukuman jilid (dera) untuk qadzhaf ini hanya 80
kali cambukan. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah swt dalam QS An-
Nur/24:4 sebelumnya. Banyak factor yang mendorong dilakukannya jarimah qadzaf,
antara lain rasa dengki, balas dendam, dan persaingan. Akan tetapi, kesemuanya itu
bermuara pada satu tujian, yaitu menghina korban dan melukai hatinya.
Dengan jarimah qadzaf pembuat bermaksud menimbulkan derita kejiwaan
dengan jalan menjatuhkan nama baiknya, dan oleh karenanya Tindakan tersebut harus
diimbangi pula dengan derita badan yang ditanggung oleh pembuat jarimah, disamping
derita kejiwaan yang harus diterimanya dari Masyarakat, yaitu dinyatakan hilang
kejujurannya, sehingga ia tidak bisa menjadi saksi serta dicap sebagai orang fasik dalam
hidupnya. Penetapan hukuman bagi penuduh zina ada persyaratan yang harus dipenuhi
yaitu ia dijatuhi hukuman apabila tidak bisa mendatangkan empat saksi.
3. Peminum Khamar
Meskipun hukuman cambuk bagi peminum minuman keras tidak terdapat
dalam Al Qur’an. Semua Ulama Fiqih sepakat bahwa meminum minuman keras

10
merupakan jarimah yang hukumannya adalah had. Alasan penetapannya tidak terlepas
dari konsekuensi pengharamannya dalam nash. Dalam perkembangannya ketetapan
hukuman cambuk bagi peminum minuman keras bisa dilihat dari nash yang menetapan
keharamannya. Menurut Ibnu Qoyim , hikmah ditasyri’kannya hukuman had bagi
peminum minuman keras berdasarkan ayat Al Qur’an surat Al Maidah/5 ayat 90:
ِ‫اْلَ ْز ََل مِ ر ْج سِ م ْنِ عَ َم لِ ال شَّ يْ طَان‬
ْ ‫اْلَنْ صَ ابِ َو‬
ْ ‫ْم يْ س رِ َو‬ َ ‫َيِ أَيُّ هَ اِ ا لَّذ‬
َ ‫ينِ آمَ ن واِ إ ََّّنَاِ ا ْْلَ ْم رِ َو ا ل‬
َِ‫اج تَ ن ب وهِ لَعَ لَّ ك مِْ ت فْ ل ح ون‬
ْ َ‫ف‬
Terjemahan:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.”
Hukum untuk jarimah minum minuman keras adalah 80 kali jilid (dera).
Menurut Imam Syafi’I, hukuman untuk jarimah syurbul Khamr ini adalah 40 kali dera
sebagai hukuman had. Sedangkan 40 kali cambukan lainnya tidak termasuk had
melainkan takzir yang hanya dijatuhkan apabila dipandang perlu oleh hakim.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa 80 kali cambukan tersebut semuanya
merupakan hukuman had. Larangan untuk meminum keras jelas tercantum dalam QS
al-Ma’idah/5: 90 diatas.
Menurut pendapat yang kuat (rajih), tidak ada ketentuan yang pasti mengenai
kadar hukuman untuk minuman keras ini, kecuali pada masa Umar ibn Al-Khattab.
Ketika itu Sayyidina Umar mengadakan musyawarah dengan para sahabat untuk
menetapkan hukuman had bagi peminum khamr. Ali bin Abi Thalib mengusulkan
delapan puluh kali dera dengan mengiaskan kepada jarimah qadzaf. Para sahabat itu
dianggap sebagai ijma’. Akhirnya, Umar menetapkan hukuman bagi pemabuk dengan
delapan puluh kali dera berdasarkan ‘ijma sahabat. Dengan demikian, dapat
dikemukakan bahwa sumber larangan minuman keras adalah al-Qur’an dan As-Sunnah,
sedangkan hukuman bersumber dari ijma’ sahabat.
Faktor yang mendorong seseorang untuk minum khamr adalah keinginanna
untuk melupakan penderitaan jiwanya dan kenyataan hidupnya guna menuju angan-
angan dan hayalan yang diakibatkan lezatnya khamar. Faktor pendorong inilah yang
diperangi oleh hukum pidana Islam dengan menerapkan hukuman jilid yang selain
menimbulkan derita kejiwaan juga menimbulkan derita badan.

11
Ibnu Qoyyim memberikan penjelasan terkait hikmah dibalik penetapan
hukuman cambuk dalam had bagi peminum minuman keras. Disamping untuk
membersihkan pelaku dan pelajaran baginya, juga untuk menjadi pelajaran untuk yang
lain. Dalam hal ini Ibnu Qoyim dipihak yang mengatakan bahwa Syari‟ah ditetapkan
sebagai pembeda dari dua hal yang sama dan penyatu bagi dua hal yang berbeda. Hal
tersebut untuk menetapkan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras tidak
sampai kepada hukuman mati, karena sesungguhnya disyariatkannya sesuatu sesuai
kemadaratan dan kerusakannya. Karena ketetapan hukuman cambuk bagi peminum
minuman keras tidak terdapat dalam Al Qur’an. Maka kita harus mencari ketentuan
yang didapat atau ditemukan dalam sunnah Nabi. Sumber mutlak yang bisa dijadikan
rujukan untuk mengetahui ketetapan Rasul adalah riwayat hadits. Sehingga dalam
pembahasan penerapan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras lebih spesifik
kepada penafsiran riwayat hadits yang berkaitan .
Dari Abdullah bin Amr berkata Rasululloh SAW bersabda : Barang siapa yang
meminum minuman keras maka cambuklah dia, apabila mengulangi maka
cambuklah dia, apabila mengulangi cambuklah dia , Apabila masih megulangi
maka bunuhlah dia. Abdullah berkata : “hadapkan kepadaku seorang lelaki
peminum minuman keras yang keempat kalinya maka aku akan
membunuhnya.” (HR. Ahmad)
Sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadit atas bahwa ketentuan hukuman
bagi peminum minuman keras pada zaman nabi adalah Cambuk. Hadits diatas sekaligus
menerangkan bentuk ketentuan had bagi peminum minuman keras yang dalam al-
Qur’an tidak disebutkan bentuk hukumannya berbeda dengan hal tersebut, bagi pezina
atau yan lainnya dari ketentuan hudud yang hukumannya telah ada dalam al-Qur’an.
Dalam Islam selain ditetapkan hukumnya minuman keras (khamar) juga ditetapkan
hukumannya terhadap seseorang yang mengonsumsinya. Hukuman bagi peminum
khamar dikemukakan oleh H. Hamka Haq sebagai berikut: “Hukuman peminum
khamar adalah hukuman dera sebanyak 40 kali dera samai 80 kali dera”
4. Ta’zir
Hukuman jilid dalam jarimah hudud, bak perzinahan maupun tuduhan zina telah
disepakati oleh para ulama. Adapun hukuman jilid dalam pidana takzir berdasarkan al-
Qur’an, hadis dan jimak. QS al_Nisa’/4: 34.
Sanksi takzir dalam ayat tersebut tidak djatuhkan oleh ulil amri tetapi dijatuhkan
oleh suami. Meskipun demikian ayat ini menjadi dasar dilakukan hukuman jilid sebagai
12
salah satu bentuk hukuan takzir. Sementara hadis yang menjadi dasar dibolehkan
hukuman takzir dalam bentuk hukuman jilid adalah hadis dari Abu Burdah yang
mendengar langsung bahwa Rasulullah saw berkata: “Seseorang tidak boleh jilid lebih
dari sepuluh kali cambukan kecuali dalam salah satu dari had Allah swt”.
Adapun menurut pendapat Zainuddin Ali (2012) kejahatan-kejahatan yang
dihukum dengan hukuman takzir dalam bentuk jilid:
a) Pemalsuan stempel Baitul mal pada zaman Umar bin Khathab
b) Percobaan perzinahan
c) Pencurian yang tidak sampai nisab
d) Kerusakan akhlak
e) Orang yang membantu perampokan
f) Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman had, tetapi pada kejahatan itu
terdapat syuhbat.
Delik-delik yang diancam hukuman cambuk dalam kategori jarimah ta’zir
adalah sebagai berikut:
a. Khalwat. Secara etimologi khalwat berarti sunyi atau sepi. khalwat adalah istilah
yang digunakan untuk keadaan tempat seseorang yang tersendiri dan jauh dari
pandangan orang lain. istilah khlawat dapat mengacu kepada hal-hal yang negatif,
yaitu seorang pria dan wanita berada di tempat sunyi dan sepi serta terhindar dari
pandangan orang lain, sehingga sangat memungkinkan mereka berbuat maksiat.
Dan dapat pula mengacu kepada hal-hal yang positif, yaitu seseorang sengaja
mengasingkan diri di tempat sepi untuk mensucikan diri dan beribadah sebanyak
mungkin dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Dari dua pengertian
khalwat di atas, yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pengertian yang pertama,
yakni khalwat adalah seorang pria dan wanita berada di tempat sunyi dan sepi serta
terhindar dari pandangan orang lain, sehingga sangat memungkinkan mereka
berbuat maksiat. Lebih lanjut khalwat/mesum adalah perbuatan yang dilakukan
oleh dua orang yang berlawanan jenis atau lebih tanpa ikatan nikah atau bukan
mukrim pada tempat tertentu yang sepi yang memungkinkan terjadinya perbuatan
maksiat di bidang seksual atau yang berpeluang pada terjadinya perbuatan
perzinaan. Dasar hukum larangan khalwat adalah firman Allah swt. dalam surat al-
Isra’ ayat 32.
b. Maisir/Judi. Istilah judi dalam bahasa arab disebut al-maisir. Secara etimologi
berarti “mudah” atau “kekayaan”. Sedangkan menurut terminologi yaitu suatu
13
bentuk permainan yang engandung unsur taruhan dan yang menang berhak
mendapatkan taruhan tersebut. Sedangkan dalam fiqih dijelaskan maisir merupakan
taruhan, satu bentuk permainan untung-untungan dalam masalah harta benda yang
menimbulkan kerugian dan kerusakan pada semua pihak, dan hukumnya haram
atau tidak dibenarkan menurut Al-Qur’an, Hadist dan Ijma’ Ulama. Menurut
jumhur ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hanbali berpendapat bahwa
unsur penting dari al-maisir adalah taruhan. Dalam pandangan mereka, adanya
taruhan ini merupakan sebab bagi haramnya maisir tersebut. Oleh karena itu maisir
termasuk salah satu perbuatan jarimah yaitu perbuatan terlarang yang diancam
dengan ta’zir yang berupa hukuman badan yang dikenakan atas terhukum karena
melakukan perbuatan terlarang.
c. Saksi palsu
Saksi palsu termasuk perbuatan yang dilarang oleh syara‘, hal ini sesuai dengan
firman Allah surat al-Hajj ayat 30. Demikianlah (perintah Allah). Ayat ini, Allah
mengaitkan perkataan dusta dengan kejahatan berhala karena sama-sama dihitung
najis dan haram. Dengan demikian, saksi palsu adalah kejahatan yang berat dan
bertentangan dengan prinsip keadilan dan kejujuran yang harus ditegakkan. Namun,
al-Qur’an dan hadits tidak menentukan hukuman bagi saksi palsu, dengan demikian
perbuatan ini dikategorikan ke dalam jarimah ta‘zir, yang penentuan hukumannya.
Khalifah ‘Umar ibn Khattab pernah menjatuhkan hukuman 40 kali jilid kepada
saksi palsu, kemudian dicat mukanya dengan warna hitam serta dicukur rambutnya,
lalu beliau menyuruh keliling pasar. Fuqaha’ lain mengatakan bahwa saksi palsu
hukumannya ialah tidak boleh menjadi saksi selama-lamanya, tetapi jika ia tobat,
maka terserah kepada Allah.
Mengenai pelaksanaan hukuman cambuk, ulama menyebutkan ukuran cambuk
tersebut mu’tadil, tidak kecil juga tidak besar. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari
Rasulullah akan mencambuk seseorang. Beliau diberikan cambuk yang kecil, tetapi
beliau meminta cambuk yang lebih besar. Lalu diberikan kepada beliau cambuk lain
yang lebih besar. Menurut beliau, cambuk itu terlalu besar dan beliau meminta
cambuk yang pertengahan (antara cambuk kecil dan cambuk besar). Atas dasar
inilah, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa untuk mencambuk harus digunakan
cambuk yang sedang, karena memang sebaik-baiknya perkara adalah yang
pertengahan.

14
Adapun sifat dari hukuman cambuk dalam jarimah ta’zir adalah untuk memberikan
Pelajaran dan tidak boleh menimbulkan kerusakan. Apabila si terhuum itu laki-laki,
maka baju yang menghalangi sampainya cambuk ke kulit harus dibuka. Sementara
itu, apabila si terhukum itu Perempuan, maka bajuannya tidak boleh dibuka, karena
auratnya akan terbuka. Hukuman cambuk diarahkan ke punggung, tidak boleh
diarahkan ke kepala, wajah, dan farji. Karena apabila diarahkan ke tiga bagian itu,
dikhawaturkan akan menimbulkan cacat, bahkan tersangka bisa meninggal dunia.
D. Konsep Pidana Cambuk dalam Islam

Konsep Hukuman Cambuk Dalam Syariat Islam Ada lima hal yang perlu diperhatikan
dalam hukuman cambuk.

1. Pertama, Al-Jalid (Orang yang mencambuk). Dalam hal ini orang yang berwenang atau
diberi wewenang oleh seorang sultan atau khalifah. Adapun persyaratan bagi seorang
yang mencambuk diantaranya harus mempunyai porsi tubuh yang sedang-sedang saja.
Bukan yang terlalu kuat ataupun sebaliknya terlalu lemah. Orang tersebut mempunyai
pengetahuan tentang seluk beluk hukuman cambuk. Diriwayatkan bahwa Umar
memilih porsi seorang algojo untuk mencambuk yaitu Ubaidullah Ibnu Abi Malikah.
2. Kedua, As-Sauth (cambuk), seperti halnya syarat orang yang mencambuk, cambuk
yang dipergunakan haruslah yang biasa saja dan diusahakan lentur. Tidak terlalu pendek
atau sebaliknya terlalu panjang dan keras. Adapun tujuannya supaya tidak menyakiti
orang yang dicambuk. Hal ini diurakan dalam riwayat yang lain, yaitu ketika Umar
akan melaksanakan hukuman had. Dibawakan baginya cambuk, Umar berkata;
“Bawakan aku cambuk yang lebih lentur”, merasa kurang pas Umar meminta cambuk
yang lebih keras. Kemudian Umar berkata : “Pukullah dan jangan sampai terlihat
ketiak, berikanlah setiap anggota sesuai haknya.
3. Ketiga, Al-Majlud (orang yang dicambuk atau terpidana), bisa dikarenakan terkena had
ataupun terkena ta’zir. Meskipun seorang itu sedang dalam keadaan sakit, maka
ketetapan hadnya sama yaitu dicambuk. Sebagaimana dalam salah satu riwayat bahwa
Umar menghukum sahabat Qudamah dengan had khamr meskiun dalam keadaan sakit.
Berbeda dengan had, ketika seorang mendapat hukuman ta‟zir, maka tidak boleh
dilaksanakan sampai seseorang tersebut sehat.
4. Keempat, sifat al-jild (sifat hukuman cambuk), ada beberapa syarat ketika seseorang
melaksanakan hukuman cambuk. Diantaranya, tidak diperkenankan untuk memukul
dengan sangat keras sehingga mencelakakan dan mengoyak kulit. Dalam sebuat

15
riwayat, Umar mengirimkan seseorang untuk dicambuk kepada Mu’thi Ibnu Aswad Al-
Adawi. Ketika Umar melihat hukuman yang dikenakan sangatlah keras, Umar berkata
: “Apakah kamu mau membunuhnya, berapa kalikah kamu memukulnya?”. “delapan
puluh” jawab Mu’ti. Kemudian Umar menyuruh untuk menghentikan pukulan dan
jadikan pukulan yang keras itu sebagai pengganti dari dua puluh sisanya.
5. Kelimat, al-makan li iqomat al-Jild (tempat hukuman jild dilaksanakan). Tempat untuk
melaksanakan hukuman cambuk bisa dilaksanakan dimana saja, kecuali tempat yang
tidak diperbolehkan untuk pelaksanaan hukuman had.

Lain dari pada itu, bagi hukuman had diharuskan membedakan antara bagian tubuh
yang menerima hukuman cambuk, sebaliknya dalam ta’zir tidak terdapat aturan. Disyaratkan
pula hukuman cambuk berdasarkan kemaslahatan bukan berdasarkan ingin menolong yang
menyebabkan tidak objektifnya hukuman cambuk. Dalam kitab Al-kafi ketentuan mencambuk
lebih spesifik kepada peminum minuman keras dengan hukuman 80 kali cambukan. Terhukum
yang dicambuk harus melepas pakaian, akan tetapi tanpa dipenjara ataupun diusir dari
kampung halaman.

Untuk ketentuan dalam pelaksanaan hukuman cambuk juga perlu memperhatikan


beberapa ketentuan. Diharapkan pukulan diantara pukulan yang keras dan pukulan yang pelan.
Cambuk yang dipakai cambuk pertengahan tidak terlalu besar maupun kecil. Diambil dari
musim antara panas dan dingin, posisi terhukum harus duduk tidak ditali kemudian dipukul
bagian punggungnya dan dua pundak tidak semua anggota tubuh. Untuk wanita disamakan
dengan laki-laki yaitu dengan keadaan duduk, perbedaannya terletak penutup aurat yang harus
menyeluruh. Sebelum pelaksanaan diharap untuk memaparkan ketentuan dalam penerapan
hukuman cambuk.

Untuk waktu pelaksanaanya tidak dipisah antara hari pelaksanaan dan besoknya,
kecuali ditakutkan akan membahayakan terhukum. Untuk selanjutnya tidak mencambuk
seorang terhukum dalam keadaan mabuk sampai dia dapat merasakan sakit juga tidak dalam
keadaan sakit. Untuk wanita hamil ditunggu sampai melahirkan, untuk yang meminum pada
bulan Ramadhan ditambah dengan ta‟zir pada bulan itu juga. Sebagaimana yang telah
dilaksanakan oleh Amir Ibnu Zubair, bagi orang yang menghukum diharapkan tidak orang yang
terlalu kuat juga tidak terlalu lemah.

E. Implementasi Pidana Cambuk di Indonesia

16
Dalam bingkai hukum positif di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat
2 menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Implementasi hukuman cambuk merupakan salah satu bentuk ibadah secara umum yaitu
mengamalkan ajaran Islam yang termaktub dalam Al-Qur‟an maupun Al-Hadits. Oleh karena
itu, dasar undang-undang ini bisa dijadikan payung hukum untuk mengamalkan bentuk ibadah
ini, baik diamalkan dalam ranah pendidikan atau yang lainnya.

Hukuman ini juga tidak termasuk kategori tindak kekerasan dalam perspektif hukum
pidana sebagaimana tersebut dalam KUHP Pidana pasal 351 tentang penganiayaan atau pasal
170 tentang pengeroyokan atau pasal lainnya karena berbeda prinsip dan tujuan. Analogi ini
didasarkan bahwa tindak kekerasan dalam perspektif olahraga seperti tinju maupun sosial
budaya seperti Tiban juga tidak dapat dimasukkan ke dalam perspektif hukum pidana. Dalam
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab I pasal 1 point
16 juga disebutkan bahwa Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan
berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai
perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.

Seperti dapat dilihat di Aceh, yang mana daerah tersebut memberlakukan hukumnya
sendiri. Aceh dikenal sebagai provinsi berstatus Daerah Istimewa yang memilik keistimewaan
yang berbeda dengan daerah lain. Salah satu keistimewaan itu adalah penerapan hukum-hukum
Islam dalam kehidupan sosial di Provinsi Aceh. Di antara hukum-hukum Islam yang diterapkan
di Aceh adalah hukum cambuk. Hukuman ini diberikan kepada seseorang yang melakukan
perzinahan atau hubungan intim secara ilegal. Pembahasan tentang hukuman cambuk di Aceh
tidak dapat dipisahkan dari pengaruh ajaran Islam di Bumi Rencong sendiri. Islam sebagai
agama sudah dianut oleh mayoritas suku dan masyarakat di Aceh. Sementara syariat Islam
sendiri sudah diterapkan di Aceh sejak abad ke-17 Masehi. Syariat Islam itu kemudian menjadi
landasan perundang-undangan yang diterapkan sehingga melahirkan masyarakat dan budaya
Aceh yang Islami.

Meski demikian, syariat Islam di Aceh pernah ditinggalkan pada abad ke-20 sebagai
konsekuensi kehidupan berbangsa dan bertanah air. Syariat Islam di Aceh mulai diterapkan
kembali pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie. Saat itu masyarakat Aceh mengusulkan
penerapan syariat Islam di wilayahnya kepada pemerintah pusat. Presiden Habibie lantas
merespons usulan itu dengan pemberlakuan UU Nomor 4 Tahun 1999. Setelah itu, pemerintah

17
Aceh mengatur pelaksanaan syariat Islam seperti aturan tentang khamar, perjudian dan
perbuatan mesum. Saat ini, Aceh memiliki Qanun Aceh Nomor 14 tahun 2014 tentang hukum
jinayah yang menjadi dasar pelaksanaan syariat Islam. Adapun setelah berakhirnya kerajaan
Islam, hukuman cambuk di Aceh pertama kali dilakukan pada 24 Juni 2005 di depan Masjid
Agung Bireuen.

Hukuman cambuk di Aceh diberikan dengan menyesuaikan pelanggaran yang


dilakukan. Secara umum, tujuan dari hukuman ini ada dua, yaitu secara fisik dan psikis. Secara
fisik, hukuman cambuk bertujuan untuk memberikan rasa sakit dan menimbulkan ketakutan
bagi pelaku atau masyarakat yang menyaksikan. Sedangkan tujuan secara psikis berkaitan
dengan rasa malu karena pelaku dihukum di depan masyarakat luas. Sedangkan tujuan secara
psikis berkaitan dengan rasa malu karena pelaku dihukum di depan masyarakat luas. Selain itu,
hukuman ini juga bertujuan agar menimbulkan efek jera, sehingga masyarakat berpikir dua kali
untuk melakukan tindakan tidak senonoh.

Namun karena Negara Indonesia maupun negara lainnya sangat mengedepankan HAM,
maka pidana cambuk dilarang keras dibeberapa negara. Hukuman cambuk dalam Qanun
Jinayat telah memperkuat legitimasi penggunaan hukuman terhadap badan/tubuh (Corporal
Punishment) di Indonesia. Padahal sistem pemidanaan di Indonesia secara tegas melarang
penggunaan hukuman cambuk. Penggunaan hukuman cambuk merupakan penyiksaan,
hukuman kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Melanggar hukum internasional
tentang penyiksaan, dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau tidak bermartabat lainnya.

Dalam catatan ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) ada beberapa kali eksekusi
cambuk yang mengakibatkan luka psikis dan fisik, disamping perlakuan kejam tidak
manusiawi dan merendahkan martabat karena cambuk dilakukan secara terbuka dan di depan
umum. Contohnya dapat dilihat ketika pada 2 Februari 2017 di Kutaraja, seorang terpidana LD
(21 Tahun) mengalami psikis shock, sehingga cambuk harus dihentikan. 27 Februari 2017, Z
(25 Tahun) hanya dicambuk 4 kali karena kondisi kesehatan yang menurun. H (19 tahun) pada
14 Juli 2017 Pingsang dua kali berturut turut karena dicambuk sebanyak 50 kali.

ini menunjukkan bahwa hukuman cambuk yang dulunya dianggap bisa menunjukkan
sanksi sosial untuk mempermalukan dan digadang-gadang dapat menimbulkan efek
penggentar, kini bergeser tidak hanya untuk mempermalukan semata, namun juga untuk
menyakiti secara psikis dan fisik, yang jelas jelas dilarang secara tegas dalam hukum Nasional
Indonesia dan Hukum HAM.

18
Untuk itu, ICJR menegaskan bahwa Pemberlakuan hukuman cambuk tidak
menimbulkan dampak positif sama sekali sebagaimana diharapkan ketika aturan itu
diberlakukan. Hukuman cambuk telah gagal karena jumlah tindak pidana yang terjadi tetap
tinggi. Khususnya pada tindak kejahatan perjudian, dan minum-minuman keras. Sehingga
anggapan skema pidana cambuk ini sebenarnya gagal mencapai tujuannya, sehingga harus
dievaluasi. Atas dasar itu, maka ICJR tetap mendorong Pemerintah Indonesia segera
mengambil langkah-langkah evaluasi untuk menghapuskan segala bentuk pidana badan,
(corporal punishmen) dalam peraturan perundang-undangannya, khususnya hukuman cambuk
yang terbukti tidak bermanfaat. Pidana Cambuk juga mencoreng wajah Indonesia yang
memiliki komitmen untuk melindungi dan menghormati hak asasi manusia.

19
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pidana cambuk adalah bentuk hukuman dengan melontarkan suatu alat terbuat dari kulit
yang dipintal (diikat) atau sejenisnya kebagian-bagian tubuh sesuai ketentuan, seperti dibagian
punggung, lengan, dan kaki.

Dalam syari‟at Islam, penetapan dan implementasi hukuman, baik hukuman cambuk
atau yang lainnya, mempunyai beberapa maksud dan tujuan, yaitu: pencegahan, perbaikan dan
Pendidikan, dan kemaslahatan masyarakat.

Ketentuan hukuman cambuk ini sebagaimana yang telah diuraikan yaitu hukuman yang
terdapat dalam had dalam qodzaf (menuduh zina tanpa bukti), pezina ghoiru muhson (belum
menikah), peminum khamer, dan ta’zir.

Konsep Hukuman Cambuk Dalam Syariat Islam Ada lima hal yang perlu diperhatikan
dalam hukuman cambuk: Pertama, Al-Jalid (Orang yang mencambuk), Kedua, As-Sauth
(cambuk), Ketiga, Al-Majlud (orang yang dicambuk atau terpidana), Keempat, sifat al-jild
(sifat hukuman cambuk), dan Kelimat, al-makan li iqomat al-Jild (tempat hukuman jild
dilaksanakan).

Aceh dikenal sebagai provinsi berstatus Daerah Istimewa yang memilik keistimewaan
yang berbeda dengan daerah lain. Salah satu keistimewaan itu adalah penerapan hukum-hukum
Islam dalam kehidupan sosial di Provinsi Aceh. Di antara hukum-hukum Islam yang diterapkan
di Aceh adalah hukum cambuk.

20
DAFTAR PUSTAKA
Ablisar, Madiasa. “Relevansi Hukuman Cambuk sebagai salah satu bentuk Pemidanaan dalam
Pembaharuan Hukum Pidana”. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 14, No. 2 (2014)
Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2012)
Faezah, Nur laeli. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pelaksanaan Hukum Taz’ir Cambuk
Di Pondok Pesantren Dar Al-Qolam. Skripsi Hukum Pidana islam Universitas Islam
Negeri Walisongo Semarang (2020)
Hartanto, Dwiyana Achmad. “Kontribusi Hukum Islam dalam Pembaharuan Hukum Pidana di
Indonesia”. Al-ahkam Jurnal Ilmu Syar’iah dan Hukum. Vol. 1, No. 2 (2016)
Hasan, Hamzah. Hukum Pidana Islam 1 (Makassar: Alauddin University Press, 2014)
Irfan, Nurul dan Masyrofah. Fiqh Jinayah (Jakarta: AMZAH, 2019)
Misran. “Mekanisme Pelaksanaan Hukuman Cambuk dalam Sistem Hukum Pidana Islam”.
Jurnal Fakultas Syar’iah dan Hukum UIN Ar-Raniry.
Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2016)
Santoso, Topo. Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016)
Suparyanto, Agus. “Implementasi Hukuman Cambuk Dalam Perspektif Pendidikan Islam”.
Jurnal Tadarus: Jurnal Pendidikan Islam. Vol. 4, No. 2 (2015)
Widjaja, Abdi. Penerapan Hukum Pidana Islam menurut Mazhab Empat (Telaah Konsep
Hudud) (Makassar: Alauddin University Press, 2013)

21

Anda mungkin juga menyukai