Anda di halaman 1dari 19

SIYASAH DUSTURIYAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Siyasah Kontemporer


Dosen Pengampu : Dr. Kutbuddin Aibak, S.Ag., M.H.I.

Disusun Oleh :
Addriana Della Nasution (1860103225319)
Della Febi Wulandari (126103211032)

HTN 5A
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas izinnya kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Sholawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Beserta
keluarganya, sahabatnya dan seluruh umatnya yang senantiasa istiqomah hingga
akhir zaman. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Fiqih Siyasah Kontemporer yang berjudul “Siyasah Dusturiyah”.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis mendapatkan bantuan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya ucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag selaku Rektor UIN SATU Tulungagung
2. Bapak Dr. H. Nur Efendi, M.Ag selaku Dekan FASIH.
3. Bapak Ahmad Gelora Mahardika S.IP., M.H. selaku koordinator progam
studi Hukum Tata Negara.
4. Bapak Dr. Kutbuddin Aibak, S.Ag., M.H.I. selaku dosen mata kuliah Fiqih
Siyasah Kontemporer.
5. Semua pihak yang ikut berpartisipasi sehingga makalah ini dapat
terselesaikan
Dalam penulisan makalah ini, saya menyadari bahwa sesuai dengan kemampuan
dan pengetahuan yang terbatas, maka makalah yang berjudul “Siyasah Dusturiyah”
ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak sangat saya harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini,
saya berharap dari makalah yang saya susun ini dapat bermanfaat dan menambah
wawasan bagi saya maupun pembaca. Aamiin.

Tulungagung, 16 September 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2

1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3

2.1 Pengertian Siyasah Dusturiyah ................................................................. 3

2.2 Tentang Piagam Madinah ......................................................................... 4

2.3 Konsep Siyasah Dusturiyah...................................................................... 5

2.4 Paham Konstitusionalisme Modern.......................................................... 9

BAB III PENUTUP............................................................................................... 15

3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Siyasah Dusturiyah merupakan istilah yang umum dikenal dalam kajian
pemikiran politik Islam dan disiplin yang serumpun. Selain itu juga dikenal
dengan istilah sederhana oleh masyarakat akademisi sebagai politik Islam.
Biasanya di Indonesia disiplin ilmu tentang ini selalu dijadikan paradigma ilmu
pembanding dengan ilmu hukum positif yang berlaku di Indonesia, seperti asas-
asas dalam tubuh Pancasila dan Undang-Undang hierarki di bawahnya. Jika
semangat prinsip nilai-nilai islam dan semangat asas-asas hukum positif yang
berlaku di Indonesia sejalan, maka secara otomatis pula ruh perundang-
undangan di Indonesia mempunyai kompatibilitas dengan semangat yang
dicita-citakan dalam Islam.

Sejatinya siyasah dusturyah merupakan tolak ukur atau kepanjangan


dalam konsep ilmu syariah (maqasid syari'ah). seperti yang dikenal dengan
istilah kulliyatul khamsah. Syariah islam sederhananya mempunyai lima
semangat pemeliharaan, meliputi: hifdz al-din, hifdz al-nafs, hifdz al-nasl, hifdz
al-aql, hifdz al-amal. Sikap Al-Quran dan Hadits dalam menyikapi persoalan
kemanusiaan, tentunya bisa dikatakan "quite dynamic" asal tidak melanggar
dari lima semangat pemeliharan tersebut.

Pertanyaan sederhana dalam melihat prinsip dan asas hukum yang berlaku
di Indonesia adalah, apakah didalamnya ada unsur yang melanggar prinsip-
prinsip Islam. Seperti melarang warga negara untuk beragama atau tidak
mengakomodasi hal peribadatan (hifdz al-din), melanggar Hak Asasi Manusia
(hifdz al-nafs wa al-nasl), hak berpendapat (hifdz al-aql), dan melarang warga
untuk membuat usaha dan mencabut ha katas kepemilikan tanah, rumah, dan
harta benda lain (hifdz al-mal). Namun jika semua itu justru diperjuangkan dan
di akomodasi oleh negara dan hukum, justru negara yang di duduki sekarang ini
lebih pantas disebut sebagai religious nation state. Artinya, sebuah negara yang
tidak sekular maupun negara yang menjadikan salah satu agama sebagai dasar

1
negara, melainkan sebuah negara yang beragama dan mengakomodasi tiap-tiap
warga negara yang beragama untuk hidup berdampingan dan menjalankan
kehidupan spiritual sebagai mana mestinya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud Siyasah Dusturiyah?
2. Bagaimana konsep Siyasah Dusturiyah serta kaitanya dengan Piagam
Madinah?
3. Bagaimana paham konstitusionalisme modern?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Siyasah Dusturiyah.
2. Untuk mengetahui konsep Siyasah Dusturiyah serta kaitanya dengan
Piagam Madinah.
3. Untuk mengetahui paham konstitusionalisme modern.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Siyasah Dusturiyah


Kata fikih secara etimologis (bahasa) berasal dari kata faqaha-yafqahu-
fiqhan yang berarti paham yang mendalam. Imam Turmudzi menyebutkan
bahwa “fikih tentang sesuatu” berarti mengetahui batinnya sampai
kedalamannya. Fikih merupakan ilmu hukum yang tidak pasti (dzanni).1

Kata fikih secara terminologis (istilah) adalah:

‫العم بااالحكام الشرعىه العملىه المستنبطه من ادلتها التفصلىه‬

Ilmu atau pemahaman tentang hukum-hukum syariat yang bersifat


amaliyah yang digali dari dalil-dalil yang rinci (tafsili).

Kedua definisi di atas dapat dipahami bahwa pengertian dari kata fikih
adalah upaya sungguh-sungguh para ulama (mujtahid) untuk menggali hukum-
hukum syara’ agar bisa diamalkan oleh umat Islam. Karena fikih merupakan
hasil dari upaya para mujtahid menggali hukum-hukum syara’, maka fikih
bersifat ijtihadiyah. Oleh karena itu pemahaman terhadap hukum syara’ tersebut
juga mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan perubahan dan
perkembangan kondisi dan situasi yang ada.2

Dusturiyah secara menurut Bahasa berasal dari bahasa Persia. Awalnya


bermakna seseorang yang memiliki otoritas baik dalam bidang politik maupun
agama. Pada perkembangannya kata dustur digunakan untuk menunjukkan
anggota kependetaan pemuka agama Majusi. Setelah mengalami penyerapan
dalam Bahasa Arab, kata dustur berkembang pengertiannya menjadi asas, dasar,
atau pembinaan. Menurut istilah, dustur berarti kumpulan kaidah yang

1
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (jakarta: Prenamedia
Group, 2014).
2
Ibid.

3
mengatur dasar dan hubungan kerja sama antara sesama anggota masyarakat
dalam sebuah negara, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.3

Siyasah Dusturiyah merupakan bagian fiqh siyasah yang membahas


masalah perundang-undangan negara. Dalam bagian ini dibahas antara lain
konsep-konsep konstitusi (undang-undang dasar negara dan sejarah lahirnya
perundang-undangan dalam suatu negara), legislasi (bagaimana cara perumusan
undang-undang), lembaga demokrasi dan syura yang merupakan pilar penting
dalam perundang-undangan tersebut.4 Tujuan dibuatnya peraturan perundang-
undangan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dan untuk
memenuhi kebutuhan manusia.

2.2 Tentang Piagam Madinah


Konsepan awal Piagam Madinah adalah kesepakatan (jalan tengah) untuk
menghindari konflik dan juga tidak memihak pihak tertentu di Madinah pada
abad ke-7 Masehi, karena Madinah terkenal dengan masyarakat yang
Multikulturalnya dan Multi-religi. Piagam Madinah juga disebut sebagai
konstitusi negara pada saat itu karena dibuat untuk mempersatukan golongan
Yahudi dan Bani Qoinuqo, Bani Nadhir dan juga Bani Quraidlah, yaitu
masyarakat yang ada di Madinah pada masa itu yang langsung di bentuk oleh
Nabi Muhammad SAW, untuk membentuk suatu perjanjian yang isinya
melindungi hak-hak asasi manusia dan hidup rukun berdampingan antar umat
Beragama ada pula maksud dan tujuan dari dibentuknya piagam madinah ini
misalkan komunitas muslim diserang oleh komunitas lain dari luar maka
komunitas Yahudi harus membantu dan begitu pun sebaliknya.

Pluralitas masyarakat Madinah tersebut tidak luput dari pengamatan Nabi.


Beliau menyadari, tanpa adanya acuan bersama yang mengatur pola hidup
masyarakat yang majemuk itu, konflik-konflik diantara berbagai golongan itu
akan menjadi konflik terbuka dan pada suatu saat akan mengancam persatuan
dan kesatuan kota Madinah. Piagam Madinah yang dibuat Rasulullah mengikat

3
Bernard Lewis dkk., The Encyclopedia of Islam, (Leiden: , 1978) (Leiden: E.J. Brill, 1978).
4
Muhammad Iqbal, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Kencana, 2014).

4
seluruh penduduk yang terdiri dari berbagai kalibah (Kaum) yang menjadi
penduduk Madinah.

Sebelum di nabi hijrah ke Madinah terjadi konflik di Yasrib maka


dimintalah nabi hijrah untuk mendamaikan konflik tersebut dan membuat
konstitusi Madinah atau Piagam Madinah, konstitusi Madinah ialah sebuah
dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan
perjanjian formal semua masyarakat di Yastrib (Kemudian bernama Madinah).
Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan untuk menghentikan
pertentangan sengit antara Bani `Aus dan Bani Khazraj di Madinah.5

Ditetapkannya piagam tersebut merupakan salah satu siasat Rasul sesudah


hijrah ke Madinah, yang dimaksud untuk membina kesatuan hidup berbagai
golongan warga Madinah. Dalam piagam itu, dirumuskan kebebasan beragama,
hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup, dan
lain-lain. Hijrahnya Nabi ke Yastrib disebabkan adanya permintaan para
sesepuh Yastrib dengan tujuan supaya Nabi dapat menyatukan masyarakat yang
berselisih dan menjadi pemimpin yang diterima oleh semua golongan. Piagam
ini disusun pada saat Beliau menjadi pemimpin pemerintah di kota Madinah.

Sebagian orang mungkin meyakini kenabian Muhammad, tetapi


kenyataan bahwa dia bukan seorang Yahudi menjadi problematik bagi mereka
yang menganut teologi Yahudi dengan tegas. Perpecahan antara kaum Yahudi
yang meyakini dirinya bangsa terpilih oleh Tuhan dan kaum muslim yang
mendukung persatuan umat manusia akan menimbulkan ketegasan serius di dua
kelompok ini, dalam konteks itulah Piagam Madinah menemuan fungsinya
yang paling hakiki.

2.3 Konsep Siyasah Dusturiyah


Menurut ulama fikih siyasah, pada awalnya pola hubungan pemerintah
dengan rakyat ditentukan oleh adat istiadat, sehingga masing-masing negara
memiliki pola yang berbada-beda. Karena adat istiadat tidak tertulis, maka
dalam hubungan tersebut tidak terdapat batasan-batasan yang tegas mengani

5
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005).

5
hak dan kewajiban masing-masing pihak. Akibatnya pemerintah yang
memegang kekuasaan tidak jarang bersikap absolut dan otoriter terhadap
rakyat. Hal demikian mendorong untuk dibuatnya suatu aturan dasar yang
tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara
maupun antar sesama warga negara.6

Usaha mengadakan undang-undang dasar tertulis dirintis di Eropa sejak


abad ke-17 M. Seperti Amerika Serikat tahun 1771 dan Prancis tahun 1791 dua
tahun setelah Revolusi Perancis.7 Sedangkan di dunia Islam pada tahun kedua
Hijriyah atau pada abad ke-7 Masehi, Nabi Muhammad pemimpin Madinah
ketika itu telah mengundangkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan
dan hubungan antar komunitas negara Madinah yang heterogen. Menurut
Munawir Sjadzali, Piagam Madinah meletakkan landasan bagi kehidupan
bernegara dalam masyarakat yang majemuk.8 Sehingga Piagam Madinah bisa
dikatan sebagai konstitusi atau aturan dasar yang tertulis. Di samping Piagam
Madinah Al Qur’an dan sunnah juga digunakan sebagai aturan dalam berbagai
permasalahan.

Piagam Madinah tidak berlangsung lama, karena kaum Yahudi Madinah


kemudian melanggar aturan yang tertuang dalam Piagam Madinah. Setelah
Rasulullah wafat tidak ada lagi konstitusi tertulis yang ditetapkan. Umat Islam
dari zaman ke zaman menjalankan roda pemerintahan dengan berpedoman pada
prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Al Quran dan sunnah Rasul. Baru pada
abad 19 M, ketika dunia Islam mengalami penjajahan Barat, muncul pemikiran
di antara ahli tata Negara di berbagai dunia Islam untuk membuat konstitusi.9

Negara Islam yang pertama kali mengadakan kembali konstitusi adalah


Turki Usmani tahun 1876 yang ditandatangani oleh Sultan Abdul Hamid yang
terdiri dari 12 bab dan 119 pasal. Pada konstitusi tersebut disebutkan bahwa
Sultan Usmani adalah pemegang kekhalifahan Islam yang menjadi pelindung

6
Ibid.
7
G. H. Sabine, A History of Political-Thouhgt (New York: Collier Book, 1959).
8
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, Dan Pemikiran (Jakarta: UI Press,
2003).
9
Mujar Ibnu Syarif, Fiqh Siyasah (Doktrin Dan Pemikiran Politik Islam) (Jakarta: Erlangga, 2008).

6
agama Islam. Konstitusi merupakan produk dari al sulthah al tasyri’iyyah
(kekuasaan legislatif). Al Sulthah Al Tasyri’iyyah adalah kekuasaan pemerintah
Islam dalam membuat dan menetapkan hukum. Ketentuan dan ketetapan al
sulthah al tasyri’iyyah akan dilaksanakan oleh lembaga eksekutif dan
dipertahankan oleh lembaga yudikatif. Orang-orang yang duduk di al sulthah al
tasyri’iyyah adalah para mujtahid dan ahli fatwa (mufti) serta para pakar dalam
berbagai bidang.10 Karena menetapkan syariat adalah wewenang Allah, maka al
sulthah al tasyri’iyyah hanya berwenang menggali dan memahami al Qur’an
dan sunnah serta menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
Disamping itu al sulthah al tasyri’iyyah juga berwenang menetapkan aturan-
aturan kenegaraan yang bersumber dari al Qur’an dan sunnah (ijtihad).

Bentuk kekuasaan al sulthah al tasyri’iyyah pada berbeda-beda dalam


sejarah. Pada masa Nabi, otoritas yang membuat tasyri’ adalah Allah SWT
disamping Rasulullah sendiri yang menjabarkan ayat-ayatal Qur’an yang masih
bersifat global. Pada masa khulafaur Rasyidin kekuasaan al sulthah al
tasyri’iyyah dipegang oleh khalifah dan dibantu sahabat-sahabat senior. Pada
masa bani Umayyah al sulthah al tasyri’iyyah masih berada ditangan khalifah
dan masih merujuk pada al Qur’an dan sunnah serta dalam penafsirannya
meminta bantuan kepada penasihat-penasihat kerajaan (fuqaha) dan pejabat
pemerintah yang sesuai dengan kepentingan khalifah sendiri.11

Bani Umayyah mulai memisahkan kekuasaan agama dan Negara.


Kekuasaan Negara dipegang oleh khalifah, sedangkan kekuasaan agama
diserahkan kepada fuqaha. Baru ketika Umayyah hancur oleh Abbasiyah,
timbul pemikiran agar Negara melakukan unifikasi hukum Islam dalam suatu
legislasi. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan praktik hukum yang
berkembang di kalangan umat Islam. Oleh karena itu Ibn al Muqaffa’, seorang
sekretaris Negara masa itu menulis surat pada khalifah al Manshur (754-775 M)
untuk mensistematisasikan hukum Islam dan mengadakan ijtihad sendiri
terhadap al Qur’an dan sunnah. Akan tetapi ide tersebut belum terlaksana karena

10
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul Al-Fiqh (al-Kuwait: Dar al-Qalam, 1978).
11
Mujar Ibnu Syarif dkk., Fiqh Siyasah…, h. 164-165.

7
masih susah menyatukan perbedaan praktek keagamaan di kalangan umat
muslim saat itu.12

Masa khalifah Harun al Rasyid (786-809 M) rencana penyusunan dan


legislasi hukum Islam baru terlaksana. Murid Abu Hanifah yang bernama Abu
Yusuf diminta khalifah untuk menulis buku tuntunan yang bisa dijadikan
sebagai pegangan tentang perpajakan. Buku ini kemudian diberi nama al
Kharaj. Buku ini ternyata tidak hanya membahas tentang perpajakan, tetapi juga
permasalahan-permasalahan lain berdasarkan hukum Islam. Maka kitab inilah
yang kemudian dijadikan pegangan khalifah Harun al Rasyid dalam
menjalankan pemerintahan Bani Abbas.13

Perkembangan selanjutnya, kitab-kitab lain dari berbagai madzhab


semakin banyak ditulis. Tetapi khalifah hanya menggunakan kitab yang sesuai
dengan madzhabnya, sehingga sering terjadi pergantian kitab rujukan dalam
legislasi hukum Islam ketika khalifah yang berkuasa berbeda madzhab.
Meskipun demikian kitab-kitab tersebut cukup membantu pelaksanaan tugas-
tugas legislatif Negara.14

Masa pemerintahan bani Umayyah sebenarnya ada proses legislasi.


Pemerintah membuat suatu lembaga hukum di Cordova yang beranggotakan
ulama fikih yang bertugas mengonsep dan legislasi hukum Islam. Pada abad
kesebelas lembaga ini menerbitkan kodifikasi hukum Islam yang berjudul
Diwan al Hukm al Kubra yang merupakan himpunan fatwa selama abad ke-10
sampai abad ke-11 M dan menjadi rujukan khalifah dalam menjalankan
pemerintahan dan administrasi Negara.

Masa pemerintahan Turki Usmani legislasi hukum Islam dalam bidang


perdata dilakukan sebuah komisi yang bernama Jam’iyah al Majllah yang
beranggotakan ahli-ahli hukum dan berhasil membuat buku kodifikasi yang
berjudul Majallah al Ahkam al ‘Adliyah. Sedangkan masalah ibadah, pidana,
dan perkawinan tidak diatur dalam undang-undang ini.

12
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Delhi: Adam Publisher, 1994).
13
Ibid., h. 2
14
Mujar Ibnu Syarif dkk., Fiqh Siyasah…, h. 166.

8
Pemerintahan Republik Turki setelah runtuhnya Turki Usmani kemudian
mengadosi hukum Barat secara besar-besaran. Musthafa Kemal Pasya
melakukan gerakan sekularisasi dan mengahpus institusi keislaman Negara.
Hukum Islam merupakan praktek masing-masing pemeluknya dan tidak boleh
diatur oleh Negara. Dia menggantikan hukum Islam dengan hukum sipil Swiss.
Turki juga menghapuskan Islam sebagai agama resmi Negara. 21 Beberapa hal
tersebut di atas dapat dipahami bahwa jauh sebelumnya praktek ketatanegaraan
Islam juga mengakomodir konsep-konsep perundang-undangan, legislasi, dan
lembaga legislatif yang dipraktekkan oleh dunia modern saat ini. Lebih dari itu,
konsep-konsep tersebut didasarkan pada sumber-sumber hukum Islam yakni al
qur’an dan sunnah.

2.4 Paham Konstitusionalisme Modern


2.3.1 Pengertian Konstitusionalisme
Konstitusionalisme merupakan sarapan dari bahasa belanda yang
berarti suatu konsep atau gagasan yang berpendapat bahwa kekuasaan
pemerintah perlu dibatasi agar penyelenggaraan negara tidak sewenang-
wenang atau otoriter. Ide konstitusionalisme ini kemudian diadopsi oleh
para Founding Father's Amerika Serikat sebagai dasar mereka
merumuskan dasar negara yang demokratis. Sesuai dengan istilahnya
konstitusionalisme diartikan sebagsi paham atau kepercayaan tentang
substansi dari konstitusi yaitu paham atau kepercayaan yang digunakan
dan dijalankan dalam bernegara. Paham dan kepercayaan ini berkembang
seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat manusia. Oleh
karena itulah konstitusionalisme tidak dapat hanya diketahui dari
dokumen konstitusi tetapi juga bagaimana praktik kehidupan bernegara
apalagi untuk mengetahui konstitusionalisme di masa lalu.
Konstitusionalisme juga banyak dipahami sebagai paham
pembatasan kekuasaan, karena hanya kekuasaan yang terbatas lah yang
memiliki konstitusi dan sebaliknya keberadaan konstitusi adalah untuk
membatasi suatu kekuasaan. Wujud pembatasan kekuasaan tersebut
berkembang dan berbeda-beda antara satu jaman ke jaman yang lain, mulai
dari hanya menentukan tujuan bernegara hingga pembatasan hukum. Jimly

9
Asshiddiqie menjelaskan bahwa perkembangan konstitusionalisme
memulai dari masa Yunani kuno berupa negara kota dengan demokrasi
langsung, konstitusionalisme romawi berupa monarki republik dan
aristokrasi, konstitusionalisme pertengahan berupa feodalisme dan
imperium, konstitusionalisme masa renaissance berupa despotisme dan
konstitusionalisme modern yang bercorak nasional dan demokratis.15
Konstitusionalisme modern adalah paham pembatasan kekuasaan
yang didasarkan pada dalil bahwa berlakunya konstitusi sebagai dasar
hukum yang mengikat dan didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip
kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara tersebut menganut
paham kedaulatan rakyat maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah
rakyat. Sumber legitimasi tersebutlah yang memiliki kekuasaan tertinggi
yang membentuk negara sebagai constituent power yang merupakan
kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya.
Oleh karena itulah negara harus dijalankan untuk mencapai tujuan dan
dengan cara seperti yang telah ditentukan oleh constituent power di dalam
konstitusi.16
Pada pokoknya paham konstitusionalisme modern ini mengangkut
prinsip pembatasan kekuasaan atau yang lazim disebut sebagai prinsip
limited government yang artinya dalam paham konstitusionalisme,
kekuasaan melarang dan prosedur ditentukan sehingga kekuasaan
pemerintah menjamin pemerintahan yang tidak sewenang-wenang dan
pemerintah yang bertanggung jawab. Gagasan mengatur dan membatasi
kekuasaan ini secara ilmiah muncul kata-katanya kebutuhan untuk
merespon perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat.17
Namun ada beberapa dari peradaban manusia yang menunjukkan
bahwa kekuasaan yang diberikan kepada negara sering disalahgunakan

15
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).
16
Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, ke-3 (London: Blackstone
Press, 1997).
17
Bactiar, “Esensi Paham Konsep Konstitualisme Dalam Konteks Penyelenggaraan Sistem
Ketatanegaraan,” Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum Dan Keadilan 6, no. 1
(2016): 122, https://doi.org/10.32493/jdmhkdmhk.v6i1.342.

10
untuk kepentingan pemegang kekuasaan negara sendiri dan bukan untuk
kepentingan rakyat nya, bahkan dapat berbalik menjadi kekuasaan yang
melintas rakyat. Oleh karena itulah kekuasaan negara harus dibatasi karena
tanpa adanya pembatasan pasti akan disalahgunakan. Inilah yang dimaksud
paham konstitusionalisme, yang mana paham ini mengharuskan kekuasaan
dibatasi agar subuah negara dapat dijalankan sesuai dengan tujuan
pembentukan negara tersebut. Sebab tanpa adanya batasan kekuasaan
konstitusi akan kehilangan ruh konstitusionalismenya dan hanya akan
menjadi legitimasi bagi kekuasaan negara yang tak terbatas.

2.3.2 Lahirnya Konstitusionalisme Modern


Paham konstitusionalisme berawal dari dipergunakannya konstitusi
sebagai hukum dalam penyelenggaraan negara untuk mengatur pelaksanaan
rule of law atau supermasi hukum dalam hubungan individu dengan
pemerintahan. Konstitusionalisme lahir dari keinginan rakyat tepatnya pada
Abad Pertengahan atau Middle Ages di Eropa, di mana saat itu feodalisme
dan monarkisme masih berjaya. Kemudian ada tuntutan untuk adanya
perlindungan atas hak-hak warga negara yang kemudian tertuang dalam
piagam hak asasi pertama di dunia yaitu Magna Charta. Meskipun belum
sempurna tetapi piagam Magna Charta dianggap sebagai sebagai awal
gagasan tentang konstitusional semua paling awal dalam sejarah peradaban
manusia.
Pada Mulanya, di Inggris juga ada sebuah perjanjian yang dibuat
oleh kalangan bangsawan dengan kerajaan Inggris yang kemudian diberi
nama Charter of English Liberties, yang kemudian di proklamirkan oleh
Raja Henry I. Piagam tersebut kemudian menjadi salah satu tonggak sejarah
berdirinya monarki konstitusional di Britania Raya. Kemudian pada tahun
1215 muncul lagi deskan dalam perlindungan hak-hak sipil yang saat itu
Raja John dipaksa oleh beberapa golongan bangsawan untuk mengakui
beberapa hak mereka, antara lain Raja John harus menjamin bahwa
pemungutan pajak tidak akan dilakukan tanpa persetujuan dari yang
bersangkutan atau wajib pajak. Pada waktu yang sama juga disetujui bahwa

11
penangkapan atas seseorang yang dituduh bersalah harus melalui proses
pengadilan sebagaimana yang telah tercantum dalam piagam Magna Charta.
Dalam Charter of English Liberties, Raja John menjamin bahwa
pemungutan pajak tidak akan dilakukan tanpa persetujuan dari yang
bersangkutan dan bahwa tidak akan diadakan penangkapan tanpa peradilan.
Meskipun belum sempurna piagam Magna Charta di dunia barat telah
dipandang sebagai awal dari gagasan konstitusional wisma serta pengakuan
terhadap keabsahan dan kemerdekaan rakyat.
Adanya konstitusionalisme akan menghadirkan situasi yang dapat
memupuk rasa aman karena adanya pembatasan terhadap wewenang
pemerintah yang telah ditentukan terlebih dahulu yang mengemban the
limited state (negara terbatas) agar penyelenggaraan negara di bidang
pemerintahan tidak sewenang-wenang dan hal yang dimaksud telah
dinyatakan serta diatur secara tegas dalam pasal-pasal konstitusi. 18 Ide
pokok dari konstitusionalisme sendiri adalah bahwa pemerintah sebagai
penyelenggara negara perlu dibatasi kekuasaannya agar tidak sewenang-
wenang dalam pemerintah. Konstitusionalisme menganggap bahwa suatu
undang-undang dasar atau konstitusi adalah jaminan untuk melindungi
rakyat dari perilaku semena-mena pemerintah. Dengan demikian
konstitusionalisme akan melahirkan suatu konsep lainnya yang disebut
sebagai negara konstitusional atau the costitutional state, yang mana
undang-undang dasar menjadi instrumen yang paling efektif dengan
menjalankan konsep Rule of Law atau negara hukum Rechsstaat.

2.3.3 Tokoh Paham Konstitusionalisme Modern


Ada beberapa tokoh pendukung paham konstitusionalisme era modern,
yaitu:
1. Carl J. Friedrich
Menurut Carl J. Friedrich di dalam bukunya yang berjudul
Constitutional Government and Democracy, konstitusionalisme

18
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara, Jakarta, Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2014, hlm. 17

12
merupakan gagasan bahwa pemerintah adalah suatu kumpulan
kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi
yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan
menjamin kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan tersebut
tidak disalahgunakan oleh orang yang mendapat tugas untuk
memerintah.19
2. Richard S. Kay
Menurut Richard konstitusionalisme adalah pelaksanaan
aturan hukum rule of law dalam hubungan individu dengan
pemerintah. Konstitusionalisme menghadirkan situasi yang dapat
memupuk rasa aman karena adanya pembatasan terhadap wewenang
pemerintah yang telah di tentukan terlebih dahulu. Jadi, konsep rule
of law dan rechtsstaat merupakan inti dari konstitusionalisme yang
nantinya akan melahirkan demokrasi konstitusional.20
3. Andrew Heywood
Andrew Heywood melihat konstitusionalisme dari dua sudut
pandang. Dalam arti sempit konstitusionalisme menurutnya adalah
penyelenggaraan pemerintah yang dibatasi oleh sistem perundang-
undangan, dengan kata lain konstitusionalisme ada apabila lembaga-
lembaga pemerintahan dan proses politik dibatasi secara efektif oleh
aturan-aturan konstitusi. Sementara dalam arti luas menurut beliau
adalah konstitusionalisme merupakan perangkat nilai dan aspirasi
politik yang mencerminkan adanya keinginan untuk melindungi
kebebasan dengan melakukan pengawasan (checks) internal maupun
eksternal terhadap kekuasaan pemerintah. 21 Jadi dalam pengertian
luasnya dapat disimpulkan bahwa konstitusionalisme adalah bagian
penting dari demokrasi konstitusional.

19
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Imu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008).
20
Ibid, hlm 172
21
Andrew Heywood, Politics, edisi ke-2 (New York: Palgrave, 2002).

13
2.3.4 Prinsip-Prinsip Konstitusionalisme
Konstitusionalisme sebagai prinsip dapat didefinisikan sebagai
gagasan yang berkaitan erat dengan kekuasaan penguasa dan perlindungan
terhadap rakyat. Hal ini sebagaimana dikemukakan muka kan oleh Prof.
Jimly Asshiddiqie tentang pengatur kekuasaan negara bahwa
konstitusionalisme adalah gagasan untuk mengatur dan membatasi
kekuasaan untuk tujuan to keep government in order.22 Berdasarkan definisi
gramatikal serta pendapat para ahli tentang konstitusionalisme, setidaknya
terdapat dua prinsip utama di dalam konstitusionalisme yakni:
1. Pembatasan kekuasaan lembaga negara; dan
2. Melindungi dan menjamin hak-hak warga negara.
Kedua elemen tersebut yang harus ada dalam setiap konstitusi
sebuah negara yang menganut gagasan konstitusionalisme.
Konstitusionalisme dalam prinsip-prinsip nya harus diatur di dalam
konstitusi negara sebagai aturan hukum tertinggi sekaligus fundamental
dalam suatu negara yang merupakan instrumen utama dalam bukti nyata
penerapan konstitusionalisme. 23
Implikasi dari eksistensi
konstitusionalisme pada suatu negara jelaskan memberikan perbedaan
dengan negara tidak mengenakan konstitusionalisme di dalamnya. Konsep
negara hukum atau Rechtsstaat yang salah satunya menghendaki
perlindungan hak asasi manusia bagi warga negaranya jelas memerlukan
konstitusionalisme sebagai prinsip yang menjiwa negara tersebut. Hal ini
jelas berbeda dengan negara kekuasaan belaka atau Machtsstaat yang
cenderung bersifat tirani dan mengesampingkan rakyatnya dibanding
urusan penguasa.

22
Jimly Assilddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta: 2004, hlm. 20
23
Himas El Hakim, “Prinsip Konstitusionalisme Dalam Piagam Madinah Dan Relevansinya Bagi
Konstitusi Indonesia,” Journal of Islamic Law Studies 2, no. 2 (2021).

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Siyasah Dusturiyah merupakan bagian fiqh siyasah yang membahas
masalah perundang-undangan negara. Dalam bagian ini dibahas antara lain
konsep-konsep konstitusi (undang-undang dasar negara dan sejarah lahirnya
perundang-undangan dalam suatu negara), legislasi (bagaimana cara perumusan
undang-undang), lembaga demokrasi dan syura yang merupakan pilar penting
dalam perundang-undangan tersebut. Tujuan dibuatnya peraturan perundang-
undangan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dan untuk
memenuhi kebutuhan manusia.

Piagam Madinah merupakan konsep konstitusi pertama di dunia. Konsep


awal Piagam Madinah adalah kesepakatan (jalan tengah) untuk menghindari
konflik dan juga tidak memihak pihak tertentu di Madinah pada abad ke-7
Masehi, karena Madinah terkenal dengan masyarakat yang Multikultural dan
Multi-religi.

Paham konstitusionalisme berawal dari dipergunakannya konstitusi


sebagai hukum dalam penyelenggaraan negara untuk mengatur pelaksanaan
rule of law atau supermasi hukum dalam hubungan individu dengan
pemerintahan. Konstitusionalisme lahir dari keinginan rakyat tepatnya pada
Abad Pertengahan atau Middle Ages di Eropa, di mana saat itu feodalisme dan
monarkisme masih berjaya. Kemudian ada tuntutan untuk adanya perlindungan
atas hak-hak warga negara yang kemudian tertuang dalam piagam hak asasi
pertama di dunia yaitu Magna Charta. Meskipun belum sempurna tetapi piagam
Magna Charta dianggap sebagai sebagai awal gagasan tentang konstitusional
semua paling awal dalam sejarah peradaban manusia.

15
DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar


Grafika, 2011.
Bactiar. “Esensi Paham Konsep Konstitualisme Dalam Konteks Penyelenggaraan
Sistem Ketatanegaraan.” Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah
Hukum Dan Keadilan 6, no. 1 (2016): 122.
https://doi.org/10.32493/jdmhkdmhk.v6i1.342.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Imu Politik. Jakarta: Gramedia, 2008.

Hakim, Himas El. “Prinsip Konstitusionalisme Dalam Piagam Madinah Dan


Relevansinya Bagi Konstitusi Indonesia.” Journal of Islamic Law Studies 2,
no. 2 (2021).

Heywood, Andrew. Politics. Edisi ke-2. New York: Palgrave, 2002.


Ibnu Syarif, Mujar. Fiqh Siyasah (Doktrin Dan Pemikiran Politik Islam). Jakarta:
Erlangga, 2008.
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. jakarta:
Prenamedia Group, 2014.
———. Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Kencana, 2014.

Khaliq, Farid Abdul. Fikih Politik Islam. Jakarta: Amzah, 2005.


Khallaf, Abdul Wahab. Ilm Ushul Al-Fiqh. al-Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Lewis dkk., Bernard. The Encyclopedia of Islam, (Leiden: , 1978). Leiden: E.J.
Brill, 1978.
Rahman, Fazlur. Islamic Methodology in History. Delhi: Adam Publisher, 1994.
Sabine, G. H. A History of Political-Thouhgt. New York: Collier Book, 1959.
Sjadzali, Munawir. Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, Dan Pemikiran.
Jakarta: UI Press, 2003.
Thompson, Brian. Textbook on Constitutional and Administrative Law. Ke-3.
London: Blackstone Press, 1997.

16

Anda mungkin juga menyukai