Disusun Oleh :
Addriana Della Nasution (1860103225319)
Della Febi Wulandari (126103211032)
HTN 5A
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas izinnya kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Sholawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Beserta
keluarganya, sahabatnya dan seluruh umatnya yang senantiasa istiqomah hingga
akhir zaman. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Fiqih Siyasah Kontemporer yang berjudul “Siyasah Dusturiyah”.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis mendapatkan bantuan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya ucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag selaku Rektor UIN SATU Tulungagung
2. Bapak Dr. H. Nur Efendi, M.Ag selaku Dekan FASIH.
3. Bapak Ahmad Gelora Mahardika S.IP., M.H. selaku koordinator progam
studi Hukum Tata Negara.
4. Bapak Dr. Kutbuddin Aibak, S.Ag., M.H.I. selaku dosen mata kuliah Fiqih
Siyasah Kontemporer.
5. Semua pihak yang ikut berpartisipasi sehingga makalah ini dapat
terselesaikan
Dalam penulisan makalah ini, saya menyadari bahwa sesuai dengan kemampuan
dan pengetahuan yang terbatas, maka makalah yang berjudul “Siyasah Dusturiyah”
ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak sangat saya harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini,
saya berharap dari makalah yang saya susun ini dapat bermanfaat dan menambah
wawasan bagi saya maupun pembaca. Aamiin.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pertanyaan sederhana dalam melihat prinsip dan asas hukum yang berlaku
di Indonesia adalah, apakah didalamnya ada unsur yang melanggar prinsip-
prinsip Islam. Seperti melarang warga negara untuk beragama atau tidak
mengakomodasi hal peribadatan (hifdz al-din), melanggar Hak Asasi Manusia
(hifdz al-nafs wa al-nasl), hak berpendapat (hifdz al-aql), dan melarang warga
untuk membuat usaha dan mencabut ha katas kepemilikan tanah, rumah, dan
harta benda lain (hifdz al-mal). Namun jika semua itu justru diperjuangkan dan
di akomodasi oleh negara dan hukum, justru negara yang di duduki sekarang ini
lebih pantas disebut sebagai religious nation state. Artinya, sebuah negara yang
tidak sekular maupun negara yang menjadikan salah satu agama sebagai dasar
1
negara, melainkan sebuah negara yang beragama dan mengakomodasi tiap-tiap
warga negara yang beragama untuk hidup berdampingan dan menjalankan
kehidupan spiritual sebagai mana mestinya.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Siyasah Dusturiyah.
2. Untuk mengetahui konsep Siyasah Dusturiyah serta kaitanya dengan
Piagam Madinah.
3. Untuk mengetahui paham konstitusionalisme modern.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kedua definisi di atas dapat dipahami bahwa pengertian dari kata fikih
adalah upaya sungguh-sungguh para ulama (mujtahid) untuk menggali hukum-
hukum syara’ agar bisa diamalkan oleh umat Islam. Karena fikih merupakan
hasil dari upaya para mujtahid menggali hukum-hukum syara’, maka fikih
bersifat ijtihadiyah. Oleh karena itu pemahaman terhadap hukum syara’ tersebut
juga mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan perubahan dan
perkembangan kondisi dan situasi yang ada.2
1
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (jakarta: Prenamedia
Group, 2014).
2
Ibid.
3
mengatur dasar dan hubungan kerja sama antara sesama anggota masyarakat
dalam sebuah negara, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.3
3
Bernard Lewis dkk., The Encyclopedia of Islam, (Leiden: , 1978) (Leiden: E.J. Brill, 1978).
4
Muhammad Iqbal, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Kencana, 2014).
4
seluruh penduduk yang terdiri dari berbagai kalibah (Kaum) yang menjadi
penduduk Madinah.
5
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005).
5
hak dan kewajiban masing-masing pihak. Akibatnya pemerintah yang
memegang kekuasaan tidak jarang bersikap absolut dan otoriter terhadap
rakyat. Hal demikian mendorong untuk dibuatnya suatu aturan dasar yang
tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara
maupun antar sesama warga negara.6
6
Ibid.
7
G. H. Sabine, A History of Political-Thouhgt (New York: Collier Book, 1959).
8
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, Dan Pemikiran (Jakarta: UI Press,
2003).
9
Mujar Ibnu Syarif, Fiqh Siyasah (Doktrin Dan Pemikiran Politik Islam) (Jakarta: Erlangga, 2008).
6
agama Islam. Konstitusi merupakan produk dari al sulthah al tasyri’iyyah
(kekuasaan legislatif). Al Sulthah Al Tasyri’iyyah adalah kekuasaan pemerintah
Islam dalam membuat dan menetapkan hukum. Ketentuan dan ketetapan al
sulthah al tasyri’iyyah akan dilaksanakan oleh lembaga eksekutif dan
dipertahankan oleh lembaga yudikatif. Orang-orang yang duduk di al sulthah al
tasyri’iyyah adalah para mujtahid dan ahli fatwa (mufti) serta para pakar dalam
berbagai bidang.10 Karena menetapkan syariat adalah wewenang Allah, maka al
sulthah al tasyri’iyyah hanya berwenang menggali dan memahami al Qur’an
dan sunnah serta menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
Disamping itu al sulthah al tasyri’iyyah juga berwenang menetapkan aturan-
aturan kenegaraan yang bersumber dari al Qur’an dan sunnah (ijtihad).
10
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul Al-Fiqh (al-Kuwait: Dar al-Qalam, 1978).
11
Mujar Ibnu Syarif dkk., Fiqh Siyasah…, h. 164-165.
7
masih susah menyatukan perbedaan praktek keagamaan di kalangan umat
muslim saat itu.12
12
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Delhi: Adam Publisher, 1994).
13
Ibid., h. 2
14
Mujar Ibnu Syarif dkk., Fiqh Siyasah…, h. 166.
8
Pemerintahan Republik Turki setelah runtuhnya Turki Usmani kemudian
mengadosi hukum Barat secara besar-besaran. Musthafa Kemal Pasya
melakukan gerakan sekularisasi dan mengahpus institusi keislaman Negara.
Hukum Islam merupakan praktek masing-masing pemeluknya dan tidak boleh
diatur oleh Negara. Dia menggantikan hukum Islam dengan hukum sipil Swiss.
Turki juga menghapuskan Islam sebagai agama resmi Negara. 21 Beberapa hal
tersebut di atas dapat dipahami bahwa jauh sebelumnya praktek ketatanegaraan
Islam juga mengakomodir konsep-konsep perundang-undangan, legislasi, dan
lembaga legislatif yang dipraktekkan oleh dunia modern saat ini. Lebih dari itu,
konsep-konsep tersebut didasarkan pada sumber-sumber hukum Islam yakni al
qur’an dan sunnah.
9
Asshiddiqie menjelaskan bahwa perkembangan konstitusionalisme
memulai dari masa Yunani kuno berupa negara kota dengan demokrasi
langsung, konstitusionalisme romawi berupa monarki republik dan
aristokrasi, konstitusionalisme pertengahan berupa feodalisme dan
imperium, konstitusionalisme masa renaissance berupa despotisme dan
konstitusionalisme modern yang bercorak nasional dan demokratis.15
Konstitusionalisme modern adalah paham pembatasan kekuasaan
yang didasarkan pada dalil bahwa berlakunya konstitusi sebagai dasar
hukum yang mengikat dan didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip
kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara tersebut menganut
paham kedaulatan rakyat maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah
rakyat. Sumber legitimasi tersebutlah yang memiliki kekuasaan tertinggi
yang membentuk negara sebagai constituent power yang merupakan
kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya.
Oleh karena itulah negara harus dijalankan untuk mencapai tujuan dan
dengan cara seperti yang telah ditentukan oleh constituent power di dalam
konstitusi.16
Pada pokoknya paham konstitusionalisme modern ini mengangkut
prinsip pembatasan kekuasaan atau yang lazim disebut sebagai prinsip
limited government yang artinya dalam paham konstitusionalisme,
kekuasaan melarang dan prosedur ditentukan sehingga kekuasaan
pemerintah menjamin pemerintahan yang tidak sewenang-wenang dan
pemerintah yang bertanggung jawab. Gagasan mengatur dan membatasi
kekuasaan ini secara ilmiah muncul kata-katanya kebutuhan untuk
merespon perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat.17
Namun ada beberapa dari peradaban manusia yang menunjukkan
bahwa kekuasaan yang diberikan kepada negara sering disalahgunakan
15
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).
16
Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, ke-3 (London: Blackstone
Press, 1997).
17
Bactiar, “Esensi Paham Konsep Konstitualisme Dalam Konteks Penyelenggaraan Sistem
Ketatanegaraan,” Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum Dan Keadilan 6, no. 1
(2016): 122, https://doi.org/10.32493/jdmhkdmhk.v6i1.342.
10
untuk kepentingan pemegang kekuasaan negara sendiri dan bukan untuk
kepentingan rakyat nya, bahkan dapat berbalik menjadi kekuasaan yang
melintas rakyat. Oleh karena itulah kekuasaan negara harus dibatasi karena
tanpa adanya pembatasan pasti akan disalahgunakan. Inilah yang dimaksud
paham konstitusionalisme, yang mana paham ini mengharuskan kekuasaan
dibatasi agar subuah negara dapat dijalankan sesuai dengan tujuan
pembentukan negara tersebut. Sebab tanpa adanya batasan kekuasaan
konstitusi akan kehilangan ruh konstitusionalismenya dan hanya akan
menjadi legitimasi bagi kekuasaan negara yang tak terbatas.
11
penangkapan atas seseorang yang dituduh bersalah harus melalui proses
pengadilan sebagaimana yang telah tercantum dalam piagam Magna Charta.
Dalam Charter of English Liberties, Raja John menjamin bahwa
pemungutan pajak tidak akan dilakukan tanpa persetujuan dari yang
bersangkutan dan bahwa tidak akan diadakan penangkapan tanpa peradilan.
Meskipun belum sempurna piagam Magna Charta di dunia barat telah
dipandang sebagai awal dari gagasan konstitusional wisma serta pengakuan
terhadap keabsahan dan kemerdekaan rakyat.
Adanya konstitusionalisme akan menghadirkan situasi yang dapat
memupuk rasa aman karena adanya pembatasan terhadap wewenang
pemerintah yang telah ditentukan terlebih dahulu yang mengemban the
limited state (negara terbatas) agar penyelenggaraan negara di bidang
pemerintahan tidak sewenang-wenang dan hal yang dimaksud telah
dinyatakan serta diatur secara tegas dalam pasal-pasal konstitusi. 18 Ide
pokok dari konstitusionalisme sendiri adalah bahwa pemerintah sebagai
penyelenggara negara perlu dibatasi kekuasaannya agar tidak sewenang-
wenang dalam pemerintah. Konstitusionalisme menganggap bahwa suatu
undang-undang dasar atau konstitusi adalah jaminan untuk melindungi
rakyat dari perilaku semena-mena pemerintah. Dengan demikian
konstitusionalisme akan melahirkan suatu konsep lainnya yang disebut
sebagai negara konstitusional atau the costitutional state, yang mana
undang-undang dasar menjadi instrumen yang paling efektif dengan
menjalankan konsep Rule of Law atau negara hukum Rechsstaat.
18
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara, Jakarta, Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2014, hlm. 17
12
merupakan gagasan bahwa pemerintah adalah suatu kumpulan
kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi
yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan
menjamin kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan tersebut
tidak disalahgunakan oleh orang yang mendapat tugas untuk
memerintah.19
2. Richard S. Kay
Menurut Richard konstitusionalisme adalah pelaksanaan
aturan hukum rule of law dalam hubungan individu dengan
pemerintah. Konstitusionalisme menghadirkan situasi yang dapat
memupuk rasa aman karena adanya pembatasan terhadap wewenang
pemerintah yang telah di tentukan terlebih dahulu. Jadi, konsep rule
of law dan rechtsstaat merupakan inti dari konstitusionalisme yang
nantinya akan melahirkan demokrasi konstitusional.20
3. Andrew Heywood
Andrew Heywood melihat konstitusionalisme dari dua sudut
pandang. Dalam arti sempit konstitusionalisme menurutnya adalah
penyelenggaraan pemerintah yang dibatasi oleh sistem perundang-
undangan, dengan kata lain konstitusionalisme ada apabila lembaga-
lembaga pemerintahan dan proses politik dibatasi secara efektif oleh
aturan-aturan konstitusi. Sementara dalam arti luas menurut beliau
adalah konstitusionalisme merupakan perangkat nilai dan aspirasi
politik yang mencerminkan adanya keinginan untuk melindungi
kebebasan dengan melakukan pengawasan (checks) internal maupun
eksternal terhadap kekuasaan pemerintah. 21 Jadi dalam pengertian
luasnya dapat disimpulkan bahwa konstitusionalisme adalah bagian
penting dari demokrasi konstitusional.
19
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Imu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008).
20
Ibid, hlm 172
21
Andrew Heywood, Politics, edisi ke-2 (New York: Palgrave, 2002).
13
2.3.4 Prinsip-Prinsip Konstitusionalisme
Konstitusionalisme sebagai prinsip dapat didefinisikan sebagai
gagasan yang berkaitan erat dengan kekuasaan penguasa dan perlindungan
terhadap rakyat. Hal ini sebagaimana dikemukakan muka kan oleh Prof.
Jimly Asshiddiqie tentang pengatur kekuasaan negara bahwa
konstitusionalisme adalah gagasan untuk mengatur dan membatasi
kekuasaan untuk tujuan to keep government in order.22 Berdasarkan definisi
gramatikal serta pendapat para ahli tentang konstitusionalisme, setidaknya
terdapat dua prinsip utama di dalam konstitusionalisme yakni:
1. Pembatasan kekuasaan lembaga negara; dan
2. Melindungi dan menjamin hak-hak warga negara.
Kedua elemen tersebut yang harus ada dalam setiap konstitusi
sebuah negara yang menganut gagasan konstitusionalisme.
Konstitusionalisme dalam prinsip-prinsip nya harus diatur di dalam
konstitusi negara sebagai aturan hukum tertinggi sekaligus fundamental
dalam suatu negara yang merupakan instrumen utama dalam bukti nyata
penerapan konstitusionalisme. 23
Implikasi dari eksistensi
konstitusionalisme pada suatu negara jelaskan memberikan perbedaan
dengan negara tidak mengenakan konstitusionalisme di dalamnya. Konsep
negara hukum atau Rechtsstaat yang salah satunya menghendaki
perlindungan hak asasi manusia bagi warga negaranya jelas memerlukan
konstitusionalisme sebagai prinsip yang menjiwa negara tersebut. Hal ini
jelas berbeda dengan negara kekuasaan belaka atau Machtsstaat yang
cenderung bersifat tirani dan mengesampingkan rakyatnya dibanding
urusan penguasa.
22
Jimly Assilddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta: 2004, hlm. 20
23
Himas El Hakim, “Prinsip Konstitusionalisme Dalam Piagam Madinah Dan Relevansinya Bagi
Konstitusi Indonesia,” Journal of Islamic Law Studies 2, no. 2 (2021).
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Siyasah Dusturiyah merupakan bagian fiqh siyasah yang membahas
masalah perundang-undangan negara. Dalam bagian ini dibahas antara lain
konsep-konsep konstitusi (undang-undang dasar negara dan sejarah lahirnya
perundang-undangan dalam suatu negara), legislasi (bagaimana cara perumusan
undang-undang), lembaga demokrasi dan syura yang merupakan pilar penting
dalam perundang-undangan tersebut. Tujuan dibuatnya peraturan perundang-
undangan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dan untuk
memenuhi kebutuhan manusia.
15
DAFTAR PUSTAKA
16