Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Administrasi Negara
Disusun Oleh:
HTN III-A
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
2022
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul “PERADILAN TATA USAHA NEGARA” sebagai tugas mata kuliah Hukum
Administrasi Negara.
Kami menyadari bahwa makalah ini tidak mungkin terselesaikan tanpa adanya
dukungan, bantuan, bimbingan, dan nasehat dari berbagai pihak selama pembuatan makalah
ini. ‘Pada kesempaan ini kami menyampaikan terima kasih setulus-tulusnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sayid Ali
Rahmatullah Tulungagung.
2. Bapak Dr. H. Nur Efendi, M.Ag, selaku Dekan fakultas Syariah dan Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Sayid Ali Rahmatullah Tulungagung.
3. Bapak Dr. Ahmad Musonnif, M.H.I. selaku Kepala Jurusan Syari’ah.
4. Bapak Ahmad Gelora Mahardika S.IP., M.H. selaku Kepala Program Studi Hukum
Tata Negara.
5. Ibu Rafiqatul Haniah, M.H. selaku dosen mata pelajaran Hukum Administrasi Negara
yang telah mengajar, membimbing, dan mengarahkan sehingga penulisan makalah ini
bisa selesai tepat waktu.
6. Serta semua pihak yang sudah terlibat dalam pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, karena itu kritik
dan saran yang membangun akan menyempurnakan penulisan makalah ini serta bermanfaat
bagi kami dan para pembaca.
Penulis
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3
BAB I ......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
C. Tujuan ............................................................................................................................. 5
BAB II........................................................................................................................................ 6
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 6
PENUTUP................................................................................................................................ 10
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 10
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terjadinya peningkatan peranan Pemerintah baik dalam makna kuantitatif maupun
kualitatif merupakan konsekuensi eksistensi sebuah Negara Hukum Modern. Manakala
peranan yang berwujud keterlibatan aktif Pemerintah untuk mengimbangi dinamika
perkembangan masyarakat menjadi pilihan, maka sebenarnya ide-ide mengenai
Pemerintahan yang bersih, birokrasi yang efisien dan Pemerintahan berlandaskan hukum
merupakan konsekuensi logis dari pilihan yang diambil.
Tujuan tersebut di atas, kemudian ditampung dalam Penjelasan Umum Angka ke-1 UU
No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian fungsi dari
Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan
konflik yang timbul antara Pemerintah (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, vide Pasal
1 angka 2 dan angka 6).
4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara?
2. Bagaimana Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara?
3. Bagaimana mekanisme gugatan di PTUN?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara
2. Untuk mengetahui Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
3. Untuk mengetahui mekanisme gugatan di PTUN
5
BAB II
PEMBAHASAN
Pasal 48 ayat (1) UU Peradilan TUN itu dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
a. Kewenangan bagi Badan atau Pejabat TUN untuk menyelesaikan secara administratif
sengketa TUN tertentu meliputi 2 hal:
1. Wewenang itu sifatnya diberikan kepada Badan atau Pejabat TUN sesuai dengan
lingkup tugas Badan atau Pejabat TUN oleh peraturan perundang-undangan (jadi
wewenang itu baru diperoleh oleh Badan atau Pejabat TUN setelah secara formal
diberikan oleh peraturan perundang-undangan). Wewenang itu memang sudah ada
pada Badan atau Pejabat TUN berdasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku, sehingga penggunaan wewenang itu hanya tinggal melihat pada
peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah tersebut. Kata ‘atau’ pada
Pasal 48 ayat 1 menunjukkan alternatif mengenai kewenangan yang dimiliki oleh
Badan atau Pejabat TUN.
2. Penyelesaian sengketa TUN oleh Badan atau Pejabat TUN adalah penyelesaian
secara administratif. sehingga penilaian dilakukan dengan memperhatikan aspek
doelmatigheid dan rechtsmatigheid atas KTUN itu.
b. Penyelesaian melalui upaya administratif yang tersedia merupakan ketentuan yang
bersifat imperatif, wajib harus dilakukan sebelum menggunakan upaya melalui Pasal
53. Hal itu berkaitan dengan Pasal 48 ayat (2) yang menegaskan bahwa Pengadilan baru
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara
6
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang
bersangkutan telah digunakan. Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut pada
Penjelasan ayat (1) telah ditempuh dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum
merasa puas, maka barulah persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan
(Penjelasan Pasal 48 ayat 2).
Prosedur ini dimulai dengan gugatan yang diajukan oleh Penggugat karena adanya
keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dianggap
merugikannya. Tolok ukur subjek yang bersengketa dapat kita lihat pada Pasal 1 Ayat (6)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi: Tergugat adalah Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada
padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum
7
perdata. Hal yang dimaksud dengan wewenang dalam hal ini tentu wewenang untuk
melaksanakan urusan pemerintahan.1
Pasal tersebut di atas tidak membuka kemungkinan bagi Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara untuk bertindak sebagai Penggugat karena dalam undang-undang ini tidak ada
pengaturan mengenai kemungkinan terjadinya gugatan rekonvensi seperti yang mungkin
diajukan oleh suatu instansi pemerintah yang digugat dalam proses perkara Onrechtmatige
daad. Perbuatan tata usaha dapat digolongkan dalam:2
Dari ketiga perbuatan itu yang menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara adalah
golongan pertama.
Sebagai tolok ukur objek Sengketa PTUN dapat kita lihat pada Pasal 1 Ayat (3):
“Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang
berwenang, yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan
itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi (Pasal 53
Ayat 1). Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 Ayat (2) adalah :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik (sesuai dengan UU No. 28 Tahun 1999 tentang
1
Erna Susanti, “Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Sebagai Media Pengawasan Masyarakat Untuk
Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih Dan Berwibawa,” Risalah Hukum 5, no. 2 (2009): 46–53, https://e-
journal.fh.unmul.ac.id/index.php/risalah/article/view/240.
2
Ridwan HR, “Beberapa Catatan Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia,” Jurnal Hukum IUS QUIA
IUSTUM 19, no. 20 (2002): 68–80, https://doi.org/10.20885/iustum.vol9.iss20.art6.
8
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
Pasal 53 Ayat (2) sesuai dengan UU No. 9 Tahun 2004).
Menurut Pasal 59, untuk mengajukan gugatan, Penggugat harus membayar uang muka
biaya perkara, yang besarnya ditaksir oleh Panitera. Yang dimaksud dengan uang muka
biaya perkara ialah biaya yang dibayar lebih dahulu sebagai panjar oleh pihak Penggugat
terhadap perkiraan biaya perkara yang diperlukan dalam proses berperkara seperti biaya
kepaniteraan, biaya meterai, biaya saksi, biaya ahli, biaya alih bahasa, biaya pemeriksaan
di tempat lain dari ruang sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa
atas perintah Hakim. Uang muka biaya perkara tersebut akan diperhitungkan kembali kalau
perkaranya sudah selesai. Jika Penggugat kalah dalam perkara dan ternyata masih ada
kelebihan uang muka biaya perkara, maka uang kelebihan tersebut akan dikembalikan
kepadanya, tetapi kalau ternyata uang muka biaya perkara tersebut tidak mencukupi, ia
wajib membayar kekurangannya. Sebaliknya, jika Penggugat menang dalam perkara, uang
muka biaya perkara dikembalikan seluruhnya kepadanya. Uang muka biaya perkara yang
harus dibebankan kepada Penggugat tersebut hendaknya ditetapkan serendah-rendahnya
sehingga dapat dipikul oleh Penggugat yang bersangkutan selaku pencari keadilan.
Ketentuan tentang pembayaran uang muka biaya perkara dalam pasal ini berlaku juga
dalam hal gugatan yang dia jika menurut Pasal 54 Ayat (3).3
3
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Republik Indonesia (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986).
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan dapat dilakukan bukan hanya oleh
lembaga-lembaga pemerintahan secara fungsional berwenang dalam urusan tersebut, tetapi
juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga semi pemerintah atau lembaga-lembaga non
pemerintah bahkan individu masyarakat. Selain itu lembaga-lembaga peradilan terhadap
pelanggaran etika publik seperti Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) perlu dikembangkan
kefungsiannya lebih efektif dan efisien. Sementara itu lembaga-lembaga tinggi negara juga
perlu ditingkatkan kinerjanya dan sistem pemerintahan dalam mengawasi jalannya
pemerintahan oleh eksekutif. Termasuk lembaga-lembaga legislatif daerah dalam
mengawasi jalannya lembaga eksekutif di daerah.
10
DAFTAR PUSTAKA
HR, Ridwan. “Beberapa Catatan Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia.” Jurnal
Hukum IUS QUIA IUSTUM 19, no. 20 (2002): 68–80.
https://doi.org/10.20885/iustum.vol9.iss20.art6.
Susanti, Erna. “Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Sebagai Media Pengawasan
Masyarakat Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih Dan Berwibawa.” Risalah
Hukum 5, no. 2 (2009): 46–53. https://e-
journal.fh.unmul.ac.id/index.php/risalah/article/view/240.
Utrecht. Pengantar Hukum Administrasi Republik Indonesia. Surabaya: Pustaka Tinta Mas,
1986.
11