Anda di halaman 1dari 17

Dasar-Dasar Peradilan Tata Usaha Negara

Makalah

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara

Dosen pengampu Taufiq Alamsyah, S.H., M.H

oleh :

Rahma Nurhaliza NIM 1213040105

Reni Setiani NIM 1213040109

Teguh Eka Triputra NIM 123040131

Zahra Nurkhaliza NIM 1213040138

JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

BANDUNG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Swt. karena dengan rahmat, karunia, taufiq, serta
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Dasar-Dasar
Peradilan Tata Usaha Negara”. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Dan juga penulis ucapkan terima kasih kepada
Bapak Taufiq Alamsyah S.H., M.H selaku dosen mata kuliah Acara Peradilan Tata
Usaha Negara UIN SGD yang telah membimbing dalam penulisan makalah ini.

Makalah ini memberikan penjelaskan tentang negara hukum, kekuasaan


peradilan tata usaha negara, peradilan administrasi, dan dasar-dasar pengadilan tata
usaha negara.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah


pengetahuan serta wawasan kita tentang dasar-dasar pengadilan tata usaha negara.
Oleh sebab itu, penting bagi penulis adanya kritik, saran dan usulan untuk memperbaiki
makalah yang penulis buat diwaktu yang akan datang.

Semoga makalah ini dapat dipahami dengan mudah bagi siapapun yang
membacanya dan juga dapat berguna bagi penulis. Demikian yang dapat penulis
sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata.

Bandung, 13 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................................ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

A.Latar Belakang Masalah ............................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ....................................................................................................... 2

D. Manfaat Penulisan ..................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 4

A. Negara Hukum .......................................................................................................... 4

B. Kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara ................................................................ 7

C. Peradilan Administrasi.............................................................................................. 7

D. Dasar-Dasar Peradilan Tun ...................................................................................... 9

1. Tujuan Pembentukan ............................................................................................. 9

2. Asas-asas Peradilan TUN ....................................................................................... 9

3. Dasar Hukum dan Susunan Kekuasaan Pengadilan ........................................... 11

BAB III SIMPULAN........................................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 pasal 24 ayat (1) dan (2), dalam rangka menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, maka dibentuklah
Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan Kehakiman sebagai kekuasaan yang
merdeka, dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan
Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang


Kekuasaan Kehakiman Bab III Pasal 18 disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,
lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Peradilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu badan peradilan yang
beradadi bawah Mahkamah Agung, diciptakan untuk menyelesaikan
sengketa antara pemerintah dan warga negaranya, yakni sengketa yang timbul
sebagai akibat danadanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap
melanggar hak-hak warga negaranya. Kehadiran suatu lembaga Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN) sangatlah penting dalam mengimbangi hubungan antara
pemerintah dan warga masyarakat.1

1
Jazim Hamidi, Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak
(AAUPPL) DiLingkungan Peradilan Administrasi Indonesia (Upaya Menuju “Clean and Stable
Govertment”), Citra AdityaBakti, Bandung, 1999, Hlm. 9.

1
Hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara
mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan
Umum untuk perkara perdata (Penjelasan Umum angka (5) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara), meskipun proses
pemeriksaan di Peradilan Tata Usaha Negara memiliki kekhususan jika
dibandingkan dengan pemeriksaan di Peradilan Umum untuk perkara perdata.

Berdasarkan uraian di atas, kelompok kami tertarik untuk melakukan


penelitian lebih lanjut mengenai pengertian negara hukum, Kekuasaan peradilan
tata usaha negara, Pengertian peradilan administrasi, Dasar-dasar peradilan TUN.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam makalah ini adalah sebagai berikut
1. Apa pengertian negara hukum?
2. Bagaimana kekuasaan peradilan tata usaha negara?
3. Apa pengertian peradilan administrasi?
4. Bagaimana dasar-dasar peradilan TUN (tujuan pembentukan,asas-
asas,dasar hukum susunan kekuasaan pengadilan)?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
1. Untuk menjelaskan pengertian Negara hukum.
2. Untuk menjelaskan bagaimana kekuasaan peradilan tata usaha Negara.
3. Untuk menjelaskan pengertian peradilan administrasi.
4. Untuk menjelaskan dasar- dasar peradilan tata usaha Negara.

D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
1. Mengetahui dan memahami pengertian negara hukum

2
2. Mengetahui dan memahami kekuasaan peradilan tata usaha negara
3. Mengetahui dan memahami pengertian peradilan administrasi
4. Mengetahui dan memahami dasar-dasar peradilan TUN (tujuan
pembentukan,asas-asas,dasar hukum susunan kekuasaan pengadilan)

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Negara Hukum
Negara hukum menurut F.R Bothlingk adalah “De taat waarin de wilsvrijheid
van gezagsdragers is beperkt door grenzen van recht” (negara, dimana kebebasan
kehendak pemegang kekuasaan dibatasi oleh suatu kehendak hukum). Lebih lanjut
disebutkan bahwa dalam rangka merealisasikan pembatasan pemegang kekuasaan
tersebut maka diwujudkan dengan cara, “Enerzijds in een binding van rechter
administatie aan de wet, anderjizds in een binding van de bevoegdheden van
wetgever”, (disatu sisi keterikatan hakim dan pemerintah terhadap undang-undang,
dan sisi lain pembatasan kewenangan oleh pembuat undang-undang).2

A.Hamid S. Attamini dengan mengutip Burkens, mengatakan bahwa negara


yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan
kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan dibawah kekuasaan hukum.3

Sedangkan secara sederhana negara hukum adalah yang penyelenggaraan


pemerintahannya dijalankan berdasarkan dan berseranakan hukum yang berakar
dalam seperangkat titik tolak normatif, berupa asas-asas dasar sebagai asas-asas
yang menjadi pedoman dan kriteria penilaian pemerintahan dan perilaku pejabat
pemerintah.

Arti negara hukum itu sendiri pada hakikatnya berakar dari konsep dan teori
kedaulatan hukum yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi
didalam suatu negara adalah hukum, oleh sebab itu seluruh alat perlengkapan negara

2
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal, 21.
3
A.Hamid S. Attamini, Teori Perundang-undangan Indonesia, makalah pada Pidato Upacara
pengukuhan Guru Besar tetap di Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1992, hal, 8.

4
apapun namanya termasuk warga negara harus tunduk dan patuh serta menjunjung
tinggi hukum tanpa terkecuali.4

Menurut Krebe 17, negara sebagai pencipta dan pengerak hukum di dalam
segala kegiatannya harus tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam arti ini hukum
membawahi negara. Berdasarkan pengertian hukum itu bersumber dari kesadaran
hukum rakyat, maka hukum mempunyai wibawa yang tidak berkaitan dengan
seseorang.

Konsep negara hukum kesejahteraan menjadi landasan kedudukan dan fungsi


pemerintah dalam negara-negara modern. Negara kesejahteraan merupakan antitesis
dari konsep negara hukum formal, yang didasari oleh pemikiran untuk melakukan
pengawasan yang ketat terhadap penyelenggara kekuasaan negara.5

Konsep negara hukum berakar dari paham kedaulatan hukum yang pada
hakikatnya berprinsip bahwa kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah
berdasarkan atas hukum. Negara hukum merupakan substansi dasar dari kontrak
sosial setiap negara hukum.6 Dalam kontrak tersebut tercantum kewajiban-
kewajiban terhadap hukum untuk memelihara, mematuhi dan mengembangkan
dalam konteks pembangunan hukum.

Di Indonesia, pelaksanaan negara hukum mengalami pasang surut. Selama


kurun parlementer (1950-1957) negara hukum menjadi ideologi pengabsahan
republik konstitusional, tetapi banyak diantara simbol-simbolnya secara konservatif
dikaitkan dengan lembaga, prosedur dan berbagai kitab undang-undang hukum
Belanda yang dilestarikan sampai masa kemerdekaan. Dalam kurun demokrasi
terpimpin (1958-1965), negara hukum tenggelam dibawah tekanan petrimonialisme
rezim dan ideologinya yang radikal-populis, yang mengutamakan keadilan

4
B. Hestu Cipto Handayono, Hukum Tata Negara Indonesia Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi
(Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2009), hal, 17.
5
W. Ridwan Tjandra, Hukum Sarana Pemerintahan (Jakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), hal,
6
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Hukum Lembaga Kepresidenana Indonesia (Malang: Alumni,
2009), hal, 9.

5
subntantif dari pada keadilan proseduler. Dengan lainnya Orde Baru,perbincangan
mengenai negara hukum bangkit kembali dengan cepat, sebagian sebagai reaksi
terhadap demokrasi terpimpin namun lebih jelas dan mendalam dari pada yang
sudah-sudah. Selama awal kurun Orde Baru, sampai kira-kira tahun 1971, para
pendukung negara hukum boleh dikata lebih optimistis.7

Pada Era Reformasi saat ini, perjuangan menegakkan negara hukum memegang
sangat nampak dipermukaan, terutama dengan lahirnya berbagai berundang-
undangan yang lebih responsif dengan tuntunan masyarakat. Namun demikian, hal
ini belum bisa menjamin akan diimplementasikannya negara hukum yang lebih
substansial.

Aristoteles berpendapat bahwa pengertian negara hukum itu timbul dari polis
yang mempunyai wilayah negara kecil, seperti kota dan berpenduduk sedikit, tidak
seperti negara-negara sekarang ini yang mempunyai wilayah luas dan berpenduduk
banyak (vlakte staat). Dalam polis itu segala urusan negara dilakukan dengan
musyawarah (acclesia), dimana seluruh warga negaranya ikut serta dalam urusan
penyelenggaraan negara.8

Pada masa itu yang dimaksud dengan negara hukum ialah negara yang berdiri
diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan
merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan
sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap
manusia agar ia menjadi warga negara yang baik.9Demikian pula peraturan hukum
yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi
pergaulan hidup antar warga negaranya.10

7
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal, 384-385.
8
Moh. Kusnardi, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Sinar Bakti, 1987), hal, 153.
9
Rozikin Daman, Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo), hal, 166.
10
Moh. Kusnardi, Op.Cit, hal, 153

6
B. Kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara
Wewenang peradilan TUN ialah memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa TUN dan menyelesaikan secara administratif sengketa TUN melalui upaya
administratif. Dalam hal tertentu pengadilan TUN tidak berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa TUN apabila keputusan yang disengketakan
itu dikeluarkan: “Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau
luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; dan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepentingan umum adalah
kepentingan bangsa dan atau kepentingan pembangunan, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.

C. Peradilan Administrasi
Sudikno mengatakan bahwa Peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian
dengan tugas hakim dalam memutus perkara. Hal itu sesuai dengan kata dasar
peradilan, yang terdiri dari kata adil dan mendapatkan awalan per dan akhiran an,
yang berarti segala sesuatu yang bertalian dengan pengadilan. Pengadilan di sini
bukanlah diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan juga
memiliki pengertian yang abstrak, yaitu hal memberikan keadilan.11
Prajudi Atmosudirjo mendefinisikan Peradilan Administrasi Negara adalah
setiap bentuk penyelesaian dari suatu perbuatan (pejabat, instansi) Administrasi
Negara yang dipersoalkan oleh warga masyarakat, instansi masyarakat (perusahaan,
yayasan, perhimpunan, dan sebagainya) atau sesama instansi pemerintah.12

11
Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undanganny, Op. Cit.,hlm. 2-3.
12
Prajudi Atmosudirjo, Administrasi Negara, (JakartaGhalia Indonesia, 1994), hlm. 21

7
Menurut Sjachran Basah, Peradilan Administrasi dibagi menjadi dua, yakni
Peradilan Administrasi Murni dan Peradilan Administrasi Semu. Adapun yang
menjadi ciri dari Peradilan Administrasi Murni yaitu:13
1. Yang memutus sengketa tersebut adalah hakim;
2. Penelitian terbatas pada “rechtsmatigheid” keputusan administrasi;
3. Hanya dapat meniadakan keputusan administrasi atau apabila perlu
memberikan berupa uang (ganti rugi) tetapi tidak membuat keputusan lain
yang menggantikan keputusan administrasi yang pertama;
5. Terikat pada pertimbangan fakta-fakta dan keadaan pada saat diambilnya
6. keputusan administrasi dan atas itu dipertimbangkan “rechtsmatigheid”-
nya;
7. 5. Badan yang memutuskan itu tidak tergantung, atau bebas dari pengaruh
badan-badan lain apapun juga.
Mengenai ciri Peradilan Administrasi Semu menurut Sjachran Basah yaitu:14
1. Yang memutuskan perkara adalah instansi yang hierarkis lebih tinggi (dalam
suatu jenjang secara vertikal) atau lain daripada yang memberikan putusan
pertama;
2. Meneliti “doelmatigheid”, dan rechtsmatigheid” dari keputusan administrasi;
3. Dapat mengganti, merubah atau meniadakan keputusan administrasi yang
pertama;
4. Dapat memperhatikan perubahan-perubahan keadaan sejak saat diambilnya
keputusan, bahkan juga dapat memperhatikan perubahan yang terjadi selama
prosedur berjalan;
5. Badan yang memutus dapat dibawah pengaruh badan lain, walaupun
merupakan badan di luar hierarkhi.

13
Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia,(Bandung :
Alumni, 1997), hlm. 64.

14
Ibid., hlm. 70.

8
D. Dasar-Dasar Peradilan Tun
1. Tujuan Pembentukan
Sebagai berwujud dan Indonesia sebagai Negara hukum yang menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan
untuk melaksanakan amanat Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
(Perubahan) juncto Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah diganti dengan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 juncto Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan
UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009, maka dibentuklah Pengadilan Tata Usaha
Negara Mataram berdasarkan Keputusan Presiden RI (Keppres) Nomor 2 Tahun
1997 tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh,
Pakanbaru, Jambi, Bengkulu, Palangkaraya, Palu, Kendari, Yogyakarta, Mataram,
Dan Dili.
Adapun tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN)
adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman,
tenteram serta tertib yang dapat menjamin kedudukan warga masyarakat dalam
hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta
selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat.

2. Asas-asas Peradilan TUN


Ada dua perbedaan penting yang terdapat pada UU PTUN dengan peradilan
umum untuk perkara perdata, antara lain: a) pada Peradilan TUN, hakim berperan
lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran material dan
untuk undang-undang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas; b) Suatu

9
gugatan TUN pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan
TUN yang disengketakan (Tjandra 2002, 2).
Ciri khas hukum acara TUN terlihat dari asas-asas khusus yang menjadi
landasan operasional negara acara PTUN dan berbeda dengan beberapa peradilan
lain, yaitu: Pertama, Asas Praduga rechtmatig, setiap tindakan penguasa
dianggap sah berdasarkan hukum (rechtmatig) sampai ada pembatalannya.
Dengan asas ini, gugatan tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan TUN yang
digugat (Lihat Pasal 67 ayat (1) UU PTUN). Kedua, Asas Pembuktian Bebas
Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hakim menentukan apa yang harus
dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian (surat/tulisan,
keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, pengetahuan hakim),
dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti
berdasarkan keyakinan hakim. (Pasal 107, kemudian dibatasi dengan ketentuan
pada Pasal 100 UU PTUN) Ketiga, Asas Keaktifan Hakim (dominus litis),
dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak seimbang.
Pihak Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang tentu menguasai betul
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan dan atau
dasar dikeluarkan keputusan yang digugat, sedangkan pihak Penggugat adalah
orang perorangan atau badan hukum perdata yang dalam posisi lemah, karena
belum tentu mereka mengetahui betul peraturan perundang-undangan yang
dijadikan sumber untuk dikeluarkannya keputusan yang digugat. (Penerapan asas
ini terdapat dalam ketentuan Pasal 58, 63, ayat (1), (2), Pasal 80 dan 85 UU
PTUN). Keempat, Asas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan mengikat
(erga omnes), Sengketa TUN adalah sengketa di ranah hukum publik, yang tentu
akibat hukum yang timbul dari putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, akan mengikat tidak hanya para pihak yang bersengketa
namun berdasarkan asas putusan tersebut akan mengikat siapa saja.
Dari asas-asas tersebut terdapat beberapa ciri-ciri khusus PTUN, yaitu: a) Sifat
atau karakter KTUN yang mengandung “praesumptio iustae causa”, dimana
KTUN selalu dianggap sah selama belum ada putusan pembatalan; b) Asas

10
perlindungan terhadap kepentingan umum atau publik yang menonjol di samping
perlindungan terhadap individu; c) Asas “self respect” atau “self obedience” dari
aparatur pemerintah terhadap putusan-putusan peradilan administrasi (Tjandra
2002, 2).
3. Dasar Hukum dan Susunan Kekuasaan Pengadilan
a. Keputusan Presiden RI (Keppres) Nomor 2 Tahun 1997 tentang
Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh, Pakanbaru,
Jambi, Bengkulu, Palangkaraya, Palu, Kendari, Yogyakarta, Mataram, Dan
Dili.
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
c. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang
d. Nomor : 5 Tahun 1986, Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
e. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, Tentang Perubahan Kedua Atas
UndangUndang Nomor : 5 Tahun 1986, Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
Susunan Pengadilan TUN sesuai dengan Pasal 1 ayat 7 jo Pasal 8 susunan
Peradilan TUN adalah sebagai berikut:
a) Pengadilan Tata Usaha Negara, yang merupakan Pengadilan tingkat pertama;
b) Pengadilan Tinggi TUN, yang merupakan Pengadilan tingkat banding.

11
BAB III
SIMPULAN

Negara hukum adalah yang penyelenggaraan pemerintahannya dijalankan


berdasarkan dan berseranakan hukum yang berakar dalam seperangkat titik tolak
normatif, berupa asas-asas dasar sebagai asas-asas yang menjadi pedoman dan
kriteria penilaian pemerintahan dan perilaku pejabat pemerintah.

Wewenang peradilan TUN ialah memeriksa, memutus dan menyelesaikan


sengketa TUN dan menyelesaikan secara administratif sengketa TUN melalui upaya
administratif.

Peradilan Administrasi Negara adalah setiap bentuk penyelesaian dari suatu


perbuatan (pejabat, instansi) Administrasi Negara yang dipersoalkan oleh warga
masyarakat, instansi masyarakat (perusahaan, yayasan, perhimpunan, dan
sebagainya) atau sesama instansi pemerintah.

Tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk


mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta
tertib yang dapat menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan
menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara
aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat. Ada dua
perbedaan penting yang terdapat pada UU PTUN dengan peradilan umum untuk
perkara perdata, antara lain: a) pada Peradilan TUN, hakim berperan lebih aktif
dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran material dan untuk undang-
undang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas; b) Suatu gugatan TUN pada
dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan TUN yang disengketakan.
Susunan Pengadilan TUN sesuai dengan Pasal 1 ayat 7 jo Pasal 8 susunan Peradilan
TUN adalah a)Pengadilan Tata Usaha Negara, yang merupakan Pengadilan tingkat
pertama; b) Pengadilan Tinggi TUN, yang merupakan Pengadilan tingkat banding.

12
DAFTAR PUSTAKA
Jazim Hamidi, Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan
Yang Layak (AAUPPL) DiLingkungan Peradilan Administrasi Indonesia
(Upaya Menuju “Clean and Stable Govertment”), Citra AdityaBakti,
Bandung, 1999, Hlm. 9.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014)
A.Hamid S. Attamini, Teori Perundang-undangan Indonesia, makalah pada Pidato
Upacara
pengukuhan Guru Besar tetap di Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1992,
B. Hestu Cipto Handayono, Hukum Tata Negara Indonesia Menuju Konsolidasi Sistem
Demokrasi (Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2009), hal, 17.
W. Ridwan Tjandra, Hukum Sarana Pemerintahan (Jakarta: Cahaya Atma Pustaka,
2014), hal,
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Hukum Lembaga Kepresidenana Indonesia
(Malang: Alumni, 2009), hal, 9.
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1990),
Moh. Kusnardi, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Sinar Bakti, 1987), .
Rozikin Daman, Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo), hal, 166.
Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undanganny, Op. Cit.,hlm.
2-3.
Prajudi Atmosudirjo, Administrasi Negara, (JakartaGhalia Indonesia, 1994), hlm. 21
Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia,(Bandung : Alumni, 1997), hlm. 64.
Aries.D, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, STPN Press, Yogyakarta,
2022.

13
14

Anda mungkin juga menyukai