DISUSUN OLEH:
SAGITA MUTIARA (2120104094)
DOSEN PENGAMPU:
HUDRI NURMAN, M. Hum.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
iii
BAB I PENDAHULUAN
1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
2
Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Rajawali Press,
1992), Hal. 9
iv
Berangkat dari pandangan Stahl tersebut, dikaitkan dengan perkembangan
hukum ketatanegaraan di Indonesia, pembentukan Undang-undang Peradilan Tata
Usaha Negara terwujud setelah lahirnya UUD 1945. Pasal 24 menyatakan, (1)
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; (2)
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
Pada asasnya, setiap bentuk campur tangan pemerintah dalam suatu
pergaulan sosial harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan sesuai
dengan tuntutan asas legalitas sebagai konsekuensi dari asas negara hukum. Akan
tetapi, kelemahan asas legalitas yang sangat mengutamakan kepastian hukum
mengakibatkan asas ini cenderung membuat pemerintah lamban dalam bertindak.
Dalam hal-hal tertentu ketika situasi dan kondisi mengharuskan pemerintah
bertindak demi menghindari kerugian yang lebih besar yang secara logis
diperkirakan akan terjadi, pemerintah memiliki kewenangan dan keleluasaan untuk
bertindak atas inisiatif sendiri, meskipun harus menyimpang atau mengabaikan
undang-undang.3 Oleh karena itu, badan atau pejabat Tata Usaha Negara dalam
melakukan tindakan administrasi negara diberikan kebebasan tanpa harus terikat
oleh adanya peraturan perundang-undangan yang disebut dengan diskresi atau
freies ermessen4 sepanjang tidak menimbulkan penyalahgunaan kewenangan
(detournement de pouvoir), pelampauan batas kekuasaan (exces de pouvoir)
sehingga merugikan rakyat. Tentu saja dalam perspektif negara hokum pejabat Tata
Usaha Negara dalam mengambil tindakan itu selalu ada batasan dan alasannya.
Dari uraian singkat di atas, penulis tertarik untuk membuat makalah
berkenaan Bantuan Hukum Terpidana dan Korban dengan batasan pembahasannya
yaitu macam asas yang terkait dengan peradilan tata usaha negara, dan ciri-ciri
3
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Asas-asas Umum
Pemerintahan Yang Baik, (Jakarta: Erlangga, 2010), Hal. 140
4
Ali Abdullah M, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca Amandemen,
(Jakarta: PT. Adhitya Andrebina Agung, 2015), Hal. 1
v
khusus hukum acara peratun. Adapun judul makalahnya adalah "ASAS-ASAS
HUKUM PERADILAN TATA USAHA NEGARA"
1.2. Rumusan Masalah
1) Apa saja asas-asas dalam peradilan tata usaha negara?
2) Bagaimana ciri-ciri khusus hukum acara peradilan tata usaha negara?
1.3. Tujuan
1) Mengetahui asas-asas dalam peradilan tata usaha negara.
2) Mengetahui ciri-ciri khusus terkait hukum acara peradilan tata usaha negara.
vi
BAB II PEMBAHASAN
1
(c) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
Selain diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut untuk mengisi
kekosongan hukum MahkamahAgung telah mengeluarkan berbagai macam Surat
Edaran Mahkamah Agung.5
Untuk dapat memahami Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, tidak
cukup hanya mempelajari ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal yang terkandung
dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi harus memahami asas-
asas yang terkandung di dalamnya dan sekaligus mempelajari penjelasan-
penjelasannya. Jika diteliti dengan seksama, maka dapat disimpulkan bahwa
Hukum Acara Tata Usaha Negara banyak mempunyai persamaan dengan Hukum
Acara Perdata, oleh karenanya tidak salah juga mempelajari Hukum Acara Perdata
sebagai perbandingan antara keduanya
Berkaitan dengan asas peradilan, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa
barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan, bahwa asas hukum ini merupakan
jantungnya peraturan hukum.6 Kita menyebutnya demikian oleh karena; pertama,
ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum,
bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada
asas-asas tersebut. Kecuali disebut landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai
alasan lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.
Satjipto Rajardjo menambahkan bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu
bukan sekadar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh karena
asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis.
Selain Satjipto Rajadjo, Paul Scholten memberikan definisi asas hukum,
sebagaimana dikutip oleh Bruggink7, adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di
dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-
aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan
5
Ali Abdullah M, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca Amandemen,
(Jakarta: PT. Adhitya Andrebina Agung, 2015), Hal. 13
6
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2015), Hal. 23
7
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Hal. 23
2
dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat
dipandang sebagai penjabarannya.
Secara garis besar, beberapa asas dalam Peradilan Tata Usaha Negara yang
menjadi landasan normatif operasional hukum, yaitu sebagai berikut:8
1) Asas Praduga Rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid atau
praesumptio iustae causa).
Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa harus
selalu dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini
gugatan tidak dapat menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
Negara yang digugat (Lihat Pasal 67 Ayat (1) Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986).
2) Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan
keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Pada dasarnya gugatan yang diajukan ke pengadilan Tata Usaha Negara
tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara yang
dipersengketakan (Lihat Pasal 67 Ayat 1 dan Ayat 4 huruf a) kecuali ada
kepentingan yang mendesak dari penggugat. Hal ini didasari oleh
pemahaman bahwa keputusan badan atau pejabat Tata Usaha Negara itu
selalu sah menurut hukum, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Karena
itu, selain Keputusan Tata Usaha Negara yang dipersengketakan
tersebut belum diputus atau diuji sah tidaknya oleh hakim, maka
keputusan tersebut haruslah dianggap sah menurut hukum.
Konsekuensinya adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang
dipersengketakan tersebut tetap dapat dilaksanakan menurut hukum.
3) Asas pembuktian bebas
Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hakim dalam
membuktikan dapat menentukan apa yang harus dibuktikan dan kepada
siapa pembuktian tersebut dibebankan serta apa yang harus dibuktikan.
Hakim juga berwenang dalam menentukan alat bukti mana yang
diutamakan untuk digunakan dalam pembuktian dan kekuatan
8
Haposan Siallagan, dkk, HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA,
(Medan: Lembaga Pemberdayaan Media dan Komunikasi (LAPiK), 2019), Hal 10
3
pembuktian yang telah digunakan, sehingga penilaian pembuktian
diserahkan kepada hakim, namun terbatas pada ketentuan Pasal 100
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.Untuk sahnya pembuktian
diperlukan paling kurang dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim
(Pasal 107 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986).
4) Asas hakim aktif (dominus litis).
Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para
pihak, karena tergugat ialah pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan
penggugat adalah orang atau badan hukum perdata.
Dalam proses pemeriksaan dengan hukum acara Tata Usaha Negara
terlihat jelas bahwa hakim berperan aktif dalam menentukan dan
memimpin sidang sejak dari permulaan proses dimulai, yaitu tahap
pemeriksaan persiapan guna melengkapi gugatan yang kurang jelas
sebelum pemeriksaan pokok perkara hakim telah berperan aktif dalam
meminta penjelasan kepada badan atau pejabat TUN yang
bersangkutan, demi lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan.
Untuk itu hakim dapat saja meminta Keputusan Tata Usaha Negara yang
dipersengketakan untuk dikirimkan ke pengadilan Tata Usaha Negara
(Pasal 56 ayat 3, Pasal 63 Ayat (1), dan Pasal 80 Undang-undang Nomor
5 Tahun 1986).
Asas keaktifan hakim merupakan instrumen yang melepaskan hakim
dari prinsip actori incumbit probatio yang menjadi prinsip dasar hukum
acara dalam peradilan umum (gewone rechtpraak), meskipun hakim
masih terikat dengan prinsip judex ne procedat ex officio (inisiatif untuk
mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang
berkepentingan. Hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak yang
diajukan kepadanya). Kewenangan hakim Peradilan TUN yang
dilandasi asas Ultra petita, juga melepaskan hakim dari prinsip judex
non ultra petita.9
5) Asas putusan pengadilan memiliki kekuatan mengikat erga omnes
9
W. Irawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya, 2005), Hal. 5-6
4
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum publik. Dengan
demikian, putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa
saja, tidak terbatas hanya para pihak yang bersengketa. Dalam hal ini,
tampaknya Pasal 83 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Intervensi dirasakan agak bertentangan dengan asas erga omnes
6) Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem)
Para pihak mempunyai kedudukan yang sama dan harus diperlakukan
dan perhatikan secara adil. Hakim tidak dibenarkan hanya
memperhatikan alat bukti, keterangan, atau penjelasan dari satu pihak
saja
7) Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis
Baik dalam pemeriksaan di peradilan judex facti, maupun kasasi dengan
Mahkamah Agung, harus terdapat kesatuan beracara dalam perkara
sejenis. Atas dasar satu kesatuan hukum berdasarkan Wawasan
Nusantara, maka dualisme hukum acara dalam wilayah Indonesia
menjadi tidak relevan. Sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman
Hindia Belanda yang diatur dalam HIR, Rbg dan Rv yang membagi
wilayah Indonesia (Jawa-Madura dan luar Jawa-Madura) dan
memisahkan beracara di Landraad dan Raad van Justitie.
8) Asas peradilan dilakukan dengan serderhana, cepat dan biaya ringan
(Pasal 2 Ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009).
Sederhana adalah hukum acara yang mudah dipahami dan tidak berbelit-
belit. Dengan hukum acara yang mudah dipahami peradilan akan
berjalan dalam waktu yang relatif cepat. Dengan demikian, biaya
berperkara juga menjadi ringan.
9) Asas sidang terbuka untuk umum
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 13 Undang-
undang Nomor 48 Tahun 2009 Jo. Pasal 70 UU PTUN).
10) Asas peradilan berjenjang
Jenjang peradilan dimulai dari tingkat yang terbawah yaitu Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN), kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha
5
Negara (PTTUN) dan terakhir pada Mahkamah Agung (MA) pada
tingkat Kasasi. Dengan dianutnya asas ini, maka kesalahan dalam
putusan pengadilan yang lebih rendah dapat diko-reksi oleh pengadilan
yang lebih tinggi. Terhadap putu-san yang belum mempunyai kekuatan
hukum tetap dapat diajukan upaya hukum banding kepada PPTUN dan
kasasi kepada MA. Sedangkan terhadap putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya hukum permohonan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.10
11) Asas obyektivitas
Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib
mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri
meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat
hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga
terdapat hubungan sebagaimana yang disebutkan di atas, atau hakim
atau panitera tersebut mempunyai hubungan langsung dengan
sengketanya (Pasal 78 dan Pasal 79 UU PTUN).
10
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2015), Hal. 26
11
Ujang Abdullah, BEBERAPA ASPEK DALAM HUKUM MATERIIL DAN HUKUM
FORMAL PERADILAN TATA USAHA NEGARA, (Palembang: Pengadilan Tata Usaha Negara
Palembang), Hal. 2
6
gugatan tidak diterima karena tidak memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam pasal 62 ayat (1);
3) Dikenal adanya Pemeriksaan Persiapan sebelum pokok sengketa
diperiksa di persidangan, untuk melengkapi/memperbaiki gugatan yang
kurang jelas (pasal 63);
4) Dikenal adanya 3 (tiga) Acara Pemeriksaan Perkara, yaitu :
a) Acara Singkat, khusus untuk pemeriksaan perlawanan terhadap
Penetapan Dismissal (pasal 62 ayat 4);
b) Acara Cepat (Hakim Tunggal), apabila terdapat kepentingan
Penggugat yang cukup mendesak dan dimohonkan oleh Penggugat
(pasal 98-99);
c) Acara Biasa (Hakim Majelis), yaitu acara pemeriksaan perkara
melalui pemeriksaan persiapan;
5) Tidak ada putusan Verstek, tetapi Hakim berwenang memanggil
Tergugat melalui atasannya (pasal 72);
6) Tidak ada gugatan rekonpensi (gugat balik) dari Tergugat kepada
Penggugat;
Selain ciri-ciri tersebut di atas, dikenal adanya 4 Asas Peratun sebagaimana
dirumuskan oleh Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, SH, yaitu :
1. Asas Praduga Rechtmatige (Vermodens van rechtmatige/ Presumptio
Justea Causa).
Bahwa setiap KTUN harus dianggap sah (rechtmatige) sampai ada
pembatalan oleh pengadilan.
Gugatan tidak menunda KTUN (Psl. 67 ayat 1 UU No. 5/1986)
Pembatalan KTUN bersifat Ex-tunc / Vernietigbaar.
Tidak menganut Veiligheidsclausule / Spontane Vernitieging
2. Asas Pembuktian Bebas (Vrij Bewijs).
Hakim yang menentukan apa yang harus dibuktikan, beban dan
penilaian pembuktian (Psl. 107 UU No. 5/1986). (Berbeda dengan
peradilan perdata dimana beban pembuktian diletakkan kepada Pihak
Penggugat (psl. 1865 KUH Perd).
3. Asas Hakim Aktif (Actieve Rechter / Dominus Litis).
7
Asas ini untuk mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak
seimbang, dimana posisi Tergugat Badan/Pejabat TUN) dipandang
lebih kuat daripada posisi Penggugat (orang/badan hukum perdata). Psl.
58, 63 (l), 80 dan 85 UU No. 5/1986.
4. Asas Mengikat Publik (Erga Omnes).
Mengingat sengketa TUN adalah sengketa di bidang hukum publik,
maka putusan Peratun bukan hanya berlaku/mengikat bagi para pihak
yang bersengketa, melainkan juga berlaku bagi siapa saja (publik).
8
BAB III KESIMPULAN
Secara garis besar, beberapa asas dalam Peradilan Tata Usaha Negara yang
menjadi landasan normatif operasional hukum, yaitu sebagai berikut:
Asas praduga rechtmatig; asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda
pelaksanaan keputusan tata usaha negara; asas pembuktian bebas; asas hakim aktif;
putusan pengadilan memiliki kekuatan mengikat erga omnes; asas para pihak harus
didengar (audi et alteram partem); asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis;
asas peradilan dilakukan dengan serderhana, cepat dan biaya ringan; asas sidang
terbuka untuk umum, asas peradilan berjenjang; asas obyektivitas
Dalam peradilan tata usaha negara, pada prosesnya memiliki ciri khusus saat
pelaksanaannya yakni; Pengajuan gugatan dibatasi tenggang waktu 90 (sembilan
puluh) hari terhitung sejak Keputusan TUN yang digugat dikeluarkan/diumumkan
oleh Badan/Pejabat TUN, atau sejak diterima/diketahui oleh Penggugat (pasal 55);
adanya prosedur penolakan ("dismissal procedure’); adanya Pemeriksaan
Persiapan sebelum pokok sengketa diperiksa di persidangan; adanya 3 (tiga) Acara
Pemeriksaan Perkara, yaitu : Acara Singkat, Acara Cepat (Hakim Tunggal), dan
Acara Biasa (Hakim Majelis); Tidak ada putusan Verstek; Tidak ada gugatan
rekonpensi (gugat balik) dari Tergugat kepada Penggugat;
9
DAFTAR PUSTAKA
10