MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Bantuan Hukum dan Advokasi
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
FAKULTAS SYARIAH
1444 H / 2023 M
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadiran allah SWT. Yang telah memberikan rahmat,
hidayah, sertai-Nya sehingga tugas makalah yang berjudul MACAM-
MACAM PERADILAN DI INDONESIA ini dapat diselesaikan dengan baik.
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi
agung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW semoga kita semua bisa bertemu
dengan beliau di yaumil akhir kelak dan tidak lupa untuk selalu bersyukur
kepada allah SWT yang telah memberi kita nikmat sehat, dan telah memberi
kita petunjuk yang paling benar yakni syariah agama islam syariah agama
islam yang paling sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar
bagi seluruh alam semesta.
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dari Bapak Hendra Matdravi S. H.I, M.A. sebagai dosen pengampu mata
kuliah Bantuan Hukum dan Advokasi selain itu, tujuan menulis makalah ini
untuk menambah pengetahuan atau pengalaman tentang Macam-Macam
Peradilan di Indonesia.
Tak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini Akhir kata semoga
makalah karya ilmiah ini, dapat menjadi inspirasi bagi teman-teman dan
pembaca, untuk memulai berkarya khususnya dalam hal tulis menulis.
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .......................................................................................... 20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Subekti, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Pramita, 1978. Hlm. 91
2
Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3
Pasal 24A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
4
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama.
5
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama.
6
Pasal 3A Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama.
7
Pasal 1 angka1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer.
2
negara di lingkungan peradilan tata usaha negara.8 Kemudian di dalam
Pasal 9A menyebutkan bahwa di lingkungan peradilan tata usaha negara
dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang.9
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
8
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
9
Pasal 9A Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
10
Pasal 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung.
11
Pasal 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peradilan Umum
1. Pengadilan Negeri
4
a. Kompetensi absolute, yaitu kompetensi yang berdasarkan peraturan
hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili pada satu
lingkungan peradilan dengan lingkungan peradilan lainnya.
b. Kompetensi relatif yaitu kompetensi yang berkaitan dengan
pembagian wilayah kekuasaan mengadili antara peradilan yang satu
dengan peradilan yang lain dalam satu lingkungan peradilan.
2) Tugas Pengadilan Negeri
Menurut Pasal 50 UU No.2 Tahun 1986 Pengadilan Negeri
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.
3) Wewenang Pengadilan Negeri
Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering
disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid” (yang berarti
wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat
penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena
pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang
yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur
berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang
memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam
menjalankan fungsinya. Menurut SF. Marbun (1997;154), “Wewenang
adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang
berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum”. Dari
pendapat tersebut salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar
dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap
negara hukum dalam melaksanakan wewenangnya harus berdasarkan
atas undangundang atau peraturan hukum yang berlaku (asas legalitas).
Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan
harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh
undangundang.
Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu
suatu kemampuan untuk melakukan suatu tindakan-tindakan atau
5
perbuatan hukum tertentu dalam melaksanakan wewenangnya.
Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karya
Hassan Shadhily (1989;1170) mengartikan kewenangan sama dengan
wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Di dalam
bukunya Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai
hak atau kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk
mempengaruhi tindakan orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan
yang diinginkan. Lebih lanjut Hassan Shadhily memperjelas terjemahan
authority dengan memberikan suatu pengertian tentang “pemberian
wewenang (delegation of authority)”. Delegation of authority ialah
proses penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager) kepada
bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggung jawab
untuk melakukan tugas tertentu (Hassan Shadhily, 1989;1170). Proses
delegation of authority dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai
berikut :
a. Menentukan tugas bawahan tersebut;
b. Penyerahan wewenang itu sendiri; dan
c. Timbulnya kewajiban melakukan tugas yang sudah ditentukan.
6
Wewenang yang diperoleh secara “atribusi”, yaitu pemberian
wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalamperaturan
perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatuwewenang
pemerintah yang baru. Pada wewenang yang diperolehsecara delegasi
terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau
Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan
secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu
delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang.
Sedangkan pada wewenang yang diperoleh secara mandat, disitu tidak
terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang
dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.
7
Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain atau berdasarkan
Undang-Undang.2
2. Pengadilan Agama
UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) menyatakan : Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada
di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan
Agama, lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana
telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU
Nomor 50 Tahun 2009, Pasal (2) menyatakan : “Peradilan Agama
merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu
yang diatur dalam undang-undang ini”.
Pasal 3 UU Peradilan Agama menyatakan:
a. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan
oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
b. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Pengadilan Agama berpuncak
pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
a. Kedudukan
2
Tarmudi, Kewenangan pengadilan negeri dalam menyelesaikan kasus tindak pidana
perpajakan (semarang 13 februari 2013) Hal 16-2.
8
Peradilan Syari’ah Islam di Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan
Peradilan Agama sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangan Peradilan Agama, dan merupakan pengadilan khusus
dalam lingkungan Peradilan Umum sepanjang kewenangannya
menyangkut kewenangan Peradilan Umum. Pada pengadilan
khusus dapat diangkat Hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili
dan memutus perkara yang membutuhkan keahlian dan
pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam jangka waktu
tertentu.
b. Tempat Kedudukan
c. Susunan
3
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 26.
9
Hakim Anggota Pengadilan Tinggi Agama adalah Hakim
Tinggi
3. Pengadilan Tata Usaha Negara
10
4. Peradilan Militer
11
B. Peradilan Khusus
1. Pengadilan Perniagaan
4
Lihat Pasal 280 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 diatur dalam dan Pasal 300
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
5
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2008), h. 258.
12
saat ini baru ada lima. Pengadilan Niaga tersebut berkedudukan sama di
Pengadilan Negeri. Pengadilan Niaga hanya berwenang memeriksa dan
memutus perkara pada daerah hukumnya masing-masing. Pasal 3
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa putusan atas
permohonan pernyataan pailit diputus oleh Pengadilan Niaga yang
daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor,
apabila debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia,
maka Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan
pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kedudukan
2) Kompetensi Absolut
13
undang. Perkara lain di bidang perniagaan ini misalnya, tentang gugatan
pembatalan paten dan gugatan penghapusan pendaftaran merek. Kedua
hal tersebut masuk ke dalam bidang perniagaan dan diatur pula dalam
undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang
Paten dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Dengan kompetensi absolut ini maka hanya Pengadilan Niaga sebagai
satu-satunya badan peradilan yang berhak memeriksa dan memutus
perkara-perkara tersebut.7
7
Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan, (Bandung: Mandar Maju, 1999).
8
Pasal 302 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
14
2. Pengadilan HAM
3. Pengadilan Anak
9
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia.
10
Pasal 2 UU No. 26/2000. Penjelasan Umum UU No. 26/2000 menyatakan bahwa
Bertitik tolak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari kepentingan nasional maupun dari
kepentingan internasional, maka untuk menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia
yang berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia perlu dibentuk
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang merupakan pengadilan khusus bagi pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.
15
1) Hakim dan Wewenang Sidang Anak
Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan
pidana tambahan. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal
ialah :
a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
16
d. pidana pengawasan.
4. Pengadilan Pajak
17
Pajak yang berkedudukan di ibukota Negara. Sidang Pengadilan Pajak
dilakukan di tempat kedudukannya dan apabila dipandang perlu dapat
dilakukan di tempat lain. Tempat sidang ditetapkan oleh Ketua.
18
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 atau terlibat organisasi terlarang;
e. mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah sarjana hukum
atau sarjana lain;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan; dan
sehat jasmani dan rohani.
5. Pengadilan Perikanan
Hakim pengadilan perikanan terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc.
Susunan majelis hakim terdiri atas 2 (dua) hakim ad hoc dan 1 (satu) hakim
karier. Hakim karier ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah
Agung. Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Ketua Mahkamah Agung. Dan Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat
dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa14
14
Pasal 78-79 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004.
19
Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap
kotamadya yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan
negeri yang bersangkutan kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi
daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.
a. Pimpinan;
b. Hakim; dan
c. Panitera.
Pimpinan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas seorang ketua dan
seorang wakil ketua. Ketua dan wakil ketua pengadilan negeri karena
jabatannya menjadi ketua dan wakil ketua Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi. Ketua bertanggung jawab atas administrasi dan pelaksanaan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
21
DAFTAR PUSTAKA
1999).
Pers, 2006).
22