Anda di halaman 1dari 39

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGATURAN PENEGAKAN KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU


HAKIM DALAM LINGKUNGAN PERADILAN BERDASARKAN
KEPUTUSAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG RI DAN
KETUA KOMISI YUDISIAL RI NOMOR 047/KMA/SKB/IV/2009 -
02/SKB/P.KY/IV/2009

PROPOSAL TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.)

MUHAMMAD BRILLYAN ALVAYEDO

2006615944

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

JAKARTA

NOVEMBER 2021
i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................................i
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................17
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.......................................................................17
1. Tujuan Penelitian............................................................................................17
2. Manfaat Penelitian..........................................................................................18
D. Kerangka Konsep..............................................................................................19
1. Kekuasaan Kehakiman....................................................................................19
2. Lingkungan Peradilan di Indonesia.................................................................21
2. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim........................................................25
E. Metode Penelitian..............................................................................................30
1. Bentuk Penelitian............................................................................................30
2. Tipologi Penelitian..........................................................................................30
3. Jenis Data........................................................................................................31
4. Jenis Bahan (Sumber) Hukum........................................................................31
5. Alat Pengumpulan Data..................................................................................31
6. Metode Analisis Data......................................................................................33
7. Bentuk Hasil Penelitian...................................................................................33
F. Sistematika Penulisan.......................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................35

Universitas Indonesia
1

PROPOSAL PENELITIAN TESIS

A. Latar Belakang

Kode etik dan pedoman perilaku hakim telah diputuskan bersama oleh
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia yang
seharusnya menjadi pedoman bagi hakim sebagai aktor utama dalam lingkungan
peradilan untuk mewujudkan karakter hakim yang berintegritas tinggi, jujur, dan
professional. Hal ini disebabkan keputusan bersama mengenai kode etik dan pedoman
perilaku hakim tersebut dibuat untuk memastikan bahwa 10 prinsip dalam kode etik
dan pedoman perilaku hakim dijalankan sebagaimana mestinya sehingga terwujudnya
pengadilan yang mandiri, netral, kompeten, dan transparan yang mampu menegakkan
wibawa hukum, pengayoman hukum, dan kepastian hukum dalam menegakkan
hukum dan keadilan.

Kata Hakim berasal dari Bahasa Arab yang sama artinya dengan qadhi1 yang
artinya memutus. Berhubungan dengan hal tersebut, hakim merupakan pejabat
peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili 2 yang
sejalan dengan pendapat Basiq Djalil yaitu “hakim atau qadhi adalah orang yang
diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat
menggugat, oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas
peradilan.”3

Dalam rangka penegakan hukum dan keadilan di Indonesia, posisi hakim


merupakan kunci utama sebagai pengambil keputusan yang adil dan bermartabat.

1
Pengertian menurut Syar’a, “qadhi atau hakim yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara
untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan perselisihan-perselisihan dalam bidang hukum
perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan sebagaimana Nabi
Muhammad SAW telah mengangkat qadhi untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia
di tempat-tempat yang jauh, sebagaimana Nabi Muhammad SAW telah melimpahkan wewenang ini
kepada para sahabatnya.”

2
Lihat Pasal 1 butir 8 UU No. 8 Tahun 1981.

3
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2010, Hlm. 5.

Universitas Indonesia
2

Posisi hakim yang berperan sebagai aktor utama dalam lembaga peradilan menjadi
teramat vital, terlebih mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui
putusannya dalam persidangan, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan
mencabut hak dan kebebasan warga negara yang kesemua itu dilakukan demi
menegakkan hukum dan keadilan. Menurut Aloysius Wisnubroto, “hakim merupakan
kongkritisasi hukum dan keadilan yang bersifat abstrak, dan digambarkan bahwa
hakim sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan.” 4
Senada dengan hal tersebut, Bambang Waluyo turut memberikan definisi mengenai
pengertian hakim yaitu:

“Secara etimologi atau secara umum, yang dimaksud dengan hakim adalah
organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah
diletakkan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan itu
ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada tertulis atau tidak tertulis
(mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau
kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan dengan asas dan
sendi peradilan berdasar Tuhan Yang Maha Esa.”5

Merujuk pada pendapat yang telah disampaikan baik oleh Al Wisnu Broto
maupun Bambang Waluyo, apabila kedua pendapat tersebut diperbandingkan, akan
menghasilkan suatu definisi baru yaitu “hakim merupakan institusi yang mempunyai
kekuasaan kehakiman, yang mencakup Mahkamah Agung dan badan peradilan
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah

4
Aloysius Wisnubroto, Hakim dan Peradilan di Indonesia. Yogyakarta: Universitas
Atmajaya Yogyakarta, 1997, Hlm. 65.

5
Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 1991, Hlm. 11.

Universitas Indonesia
3

Mahkamah Konstitusi6. yang memiliki tanggung jawab, integritas, dan kemampuan


untuk berbuat adil dalam membuat keputusan.”7

Dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman8 negara Indonesia, secara


normatif “Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan
peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan
tersebut.”9

Kekuasaan kehakiman sendiri merupakan kekuasaan yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 10 Ketentuan
tersebut seringkali di interpretasikan mengenai kebebasan hakim, demikian juga
kepada keputusan pengadilan yang seringkali diidentikkan dengan keputusan hakim.
Oleh sebab itu, pencapaian penegakkan hukum dan keadilan dapat dilihat pada
kemampuan dan kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan
keadilan.11 Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung12 dengan badan
peradilan yang berada dibawahnya termasuk lingkungan peradilan umum, lingkungan

6
Lihat Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

7
“Definisi atau Pengertian Singkat tentang Hakim”, https://definisi-pengertian.com. 19
Agustus 2015.

8
“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Lihat Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009.

9
Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN
Nomor 157, TLN Nomor 5076, Pasal 1 ayat (5).

10
Lihat Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

11
Sakirman, “Tafsir Hukum Atas Posisi Ganda Hakim di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol.
14 No. 1 (2017), Hlm. 188.

12
Pada Pasal 1 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Mahkamah Agung
adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.”

Universitas Indonesia
4

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha


negara, dan Mahkamah Konstitusi13.

Pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,


diharuskan memiliki seperangkat hukum dalam melaksanakan fungsinya yaitu hukum
materiil dan hukum formil yang keduanya merupakan kaidah-kaidah hukum 14 yang
menjadi landasan dilakukannya segala tindakan hukum. Kaidah-kaidah hukum
tersebut “merupakan serangkaian yang tidak boleh timpang satu dengan yang lainnya,
yang saling menunjang untuk mewujudkan sebuah cita hukum yang diharapkan.” 15
Salah satu dari kaidah tersebut memiliki kerelevansian dengan hakim dimana dapat
mempengaruhi terhadap kualitas pelaksanaan hukum dan relevansi penegak hukum.
Sejalan dengan pendapat Ismail saleh mengenai hakim, yakni:

“Hakim selalu dituntut untuk mampu memutuskan dan menyelesaikan perkara


yang terjadi dalam masyarakat secara adil dalam arti tidak memihak kepada
salah satu pihak yang bersengketa dan juga harus selaras dengan apa yang
telah ditetapkan. Hakim hanya memihak kepada kebenaran dan keadilan.”16

13
Pada Pasal 1 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi
adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.”

14
Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi
terhadap telaksananya peraturan yang telah dibuat, “Pertama, Kaidah hukum itu sendiri harus
sistematis dan tidak bertentangan secara vertikal maupun secara horizontal yakni terhadap manusia
yang memiliki nilai-nilai etika sebagai tolak ukur patut tidaknya tindak-tanduk seseorang; Kedua,
Perangkat Hukum, dalam hal ini adalah personal-personal yang menjadi pelaksana atau penyelenggara
pelayanan hukum, semakin baik kualitas pelaksana hukumnya semakin baik pula produk hukumnya;
Ketiga, Adanya fasilitas yang dipergunakan untuk menunjang dan mendorong terlaksananya hukum
tersebut, hal ini terkait dengan sarana dan prasana penunjangnya; Keempat, Masyarakat yang terkena
ruang lingkup hukum tersebut, semakin baik tingkat kepatuhan dan ketataan hukum maka semakin
baik pula kualitas pelaksanaan hukum tersebut.” Lihat Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan
Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942, (Jakarta: Gunung Agung, 1973), Hlm. 79.

15
Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia
Sejak 1942, (Jakarta: Gunung Agung, 1973), Hlm. 80.

16
Ismail Saleh, Pembinaan Serial: Apa yang Saya Alami, (Jakarta: PT Intermasa, 1989), Hlm.
47.

Universitas Indonesia
5

Dalam pelaksanaan negara hukum, salah satu yang paling esensial adalah
penggunaan wewenang atau kekuasaan pemerintah khususnya para pejabat negara
yang dalam hal ini adalah hakim, dibatasi oleh undnag-undang atau hukum. Hal
tersebut mengandung pengertian sekaligus prinsip dasar bahwa “apabila hakim
hendak bertindak berdasarkan wewenang, maka penggunaan wewenang kekuasaan
itu tunduk di bawah hukum.”17

Pelaksanaan wewenang dan tugas hakim dalam rangka menegakkan


kebenaran dan keadilan hukum, haruslah dilakukan dengan tidak membeda-bedakan
orang dan menganggap semua orang sama yang sejalan dengan prinsip bahwa setiap
orang sama kedudukannya di depan hukum 18. Wewenang dan tugas hakim yang
teramat besar, menuntut tanggungjawab yang sangat tinggi sehingga putusan
pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah 19 menunjukkan bahwa kewajiban
menegakkan kebenaran dan keadilah hukum tersebut wajib dipertanggungjawabkan
secara horizontal kepada manusia dan vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam Pasal 1 butir 8 UU No. 8 Tahun 1981 atau yang lebih dikenal sebagai
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyatakan bahwa “hakim
merupakan peradilan negara yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang untuk
mengadili.”20 Mengadili disini memiliki artian “serangkaian tindakan hakim untuk
menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur,

17
Paulus J. J. Sipayung, Mencegah Pejabat Tata Usaha Negara Sebagai Tergugat dalam
PTUN, (Jakarta: Departemen Dalam Negeri Bekerjasama dengan Yayasan Kajian dan Informasi
Perundang-undangan Indonesia, 1995), Hlm. 80.

18
Berkaitan dengan asas Equality Before the Law yang tertuang di dalam Pasal 7 Universal
Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) bahwa “Semua orang sama di
depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi”. Lalu asas tersebut
juga terdapat di dalam UUD NRI 1945 Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

19
“Kepala Putusan yang dituliskan berbunyi: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Lihat Pasal 197 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981.

20
Indonesia, Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN
Nomor 76, TLN Nomor 3209, Pasal 1 butir 8.

Universitas Indonesia
6

dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal menurut cara yang diatur dalam
undang-undang.”21

Dalam penjatuhan pidana, hakim harus berorientasi kepada tujuan


pemidanaan yang tidak terlepas dari faktor pencegahan agar tidak terjadinya tindak
pidana dan faktor pengulangan setelah terjadinya tindak pidana. Berbicara sedikit
mengenai hukum pidana, setidaknya terdapat tiga teori tentang pemidanaan yang lahir
didasarkan pada persoalan mengapa suatu kejahatan harus dikenai sanksi pidana.
Beberapa teori yang menjadi tujuan pemidanaan dari aspek filosofis penjatuhan
pidana tersebut adalah teori retributif22, teori relatif23, dan teori gabungan24.

Berdasarkan wewenang dan tugas hakim sebagai peran yang vital dalam
lembaga peradilan yang memutus perkara dengan adil dan bermartabat, seorang
hakim dalam menjalankan tugasnya dibatasi oleh norma dan etika profesi, mengingat
kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh hakim. Hendrawati menegaskan bahwa

21
Lihat Pasal 1 butir 8 UU Nomor 8 Tahun 1981.

22
“Menurut teori retributif (atau yang dikenal juga dengan teori absolut), setiap kejahatan
harus diikuti pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah
melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dari dijatuhkannya pidana.
Hanya dilihat kemasa lampau dan tidak dilihat kemasa depan.” Lihat Wirjono Prodjokoro, Asas-asas
Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1989), Hlm. 23.

23
“Teori ini menyebutkan, dasar suatu pemidanaan adalah pertahanan tata tertib masyarakat.
Oleh karena itu, maka yang menjadi tujuan pemidanaan adalah menghindarkan atau mencegah
(prevensi) agar kejahatan itu tidak terulang lagi. Jadi, pidana dijatuhkan bukan semata-mata karena
telah dilakukannya kejahatan, melainkan harus dipersoalkan pula manfaat suatu pidana dimasa depan,
baik bagi si penjahat maupun masyarakat.” Lihat Roeslan Saleh, Stelsel Pidana di Indonesia, (Jakarta:
Aksara Baru, 1987), Hlm. 34. Salah satu pengertian lagi mengenai teori relatif bahwa “Pidana
bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan
suatu tindak pidana tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori
inipun sering juga disebut dengan teori utilitarian”. Lihat Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan
Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), Hlm. 25.

24
“Disebut juga sebagai (verinigning theorien) teori ini menitikberatkan kepada suatu
kombinasi dari teori absolut dan relatif. Menurut teori ini, tujuan pidana selain untuk pembalasan
kepada sipelaku juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban.
Teori gabungan diciptakan karena menurut teori ini, baik teori absolut atau retributif maupun teori
relatif atau utilitarian dianggap berat sebalah, sempit dan sepihak.” Lihat Mahmud Mulyadi dan Feri
Antoni Subakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: PT Sofmedia, 2010),
Hlm. 98.

Universitas Indonesia
7

“hakim melalui putusannya, dapat mengubah atau bahkan mengalihkan dalam rangka
menegakkan hukum dan keadilan. Demikian daripada itu, dibentuklah suatu sistem
etika yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata
nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim untuk menyelesaikan tugasnya dalam
25
menjalankan fungsi dan mengemban profesinya.” Sehubungan dengan etika,
Wildan Sayuthi Mustofa menghubungkan definisi etika menjadi empat hal, yaitu:

“Pertama, melihat dari segi objek pembahasannya, etika membahas perbuatan


yang dilakukan oleh manusia; Kedua, membahas dari sumbernya, etika
bersumber pada akal pikiran dan filsafat. Oleh karena itu, sifat dari nilai etika
tidak bersifat mutlak, absolut, dan universal. Selain itu, etika memiliki objek
pembahasan yaitu manusia, sehingga etikda dalam perkembangannya
memanfkaatkan juga ilmu yang membahas manusia, seperti ilmu sosiologi,
ilmu antroplogi, ilmu psikologi, dan ilmu ekonomi; Ketiga, melihat dari
fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu, dan penetap terhadap
suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah pebuatan tersebut
menilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina, dan sebagainya. Etika dinilai lebih
berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilakukan oleh
manusia sehingga memiliki peranan sebagai hakim atau wasit bagi perilaku
manusia; dan Keempat, melihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif, yakni
dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.”26

Dalam kaitannya dengan profesi hukum27, etika memiliki peranan yang sangat
penting. Hal tersebut dikarenakan profesi hukum dalam ruang lingkup pekerjaannya

25
Hendrawati Siti Vickie, dkk., “Aspek Penegakan Kode Etik Hakim dalam Mewujudkan
Kekuasaan Kehakiman yang Bermartabat dan Berintegritas”, Varia Justicia, Vol. 12 No. 1 (2016),
Hlm. 346.

26
Wildan Sayuthi Mustofa, Kode Etik Hakim (ed Kedua), (Jakarta: Kencana Prenamedia
Group, 2013), Hlm. 3-4.

27
Purwoto S. Gandasubrata menjelaskan bahwa “tiap profesi perlu adanya etika profesi
sebagai perwujudan etika moral yang bertujuan untuk kebaikan jalannya profesi yang bersangkutan.
Beliau juga berpendapat bahwa setiap profesi mempunyai identitas, sifat/ciri dan standar profesi
tersendiri, sesuai dengan kebutuhan dari tiap profesi tersebut. Dalam perwujudan nilai-nilai tersebut,
biasanya setiap profesi membentuk suatu nilai-nilai yang dituangkan secara tertulis, contohnya kode
etik profesi.” Lihat Purwoto S. Gandasubrata dikutip di dalam Mahkamah Agung RI, Pedoman
Perilaku Hakim (Code of Conduct) Kode etik Hakim dan Makalah Berkaitan, (Jakarta: Mahkamah
Agung RI, 2006), Hlm. 2.

Universitas Indonesia
8

berkaitan dengan usaha-usaha untuk mewujudkan keadilan dan ketertiban di


kehidupan masyarakat. “Dengan adanya kode etik suatu profesi, khususnya profesi
hukum, diharapkan akan terwujudnya nilai-nilai moral yang dianggap hakiki
sehingga dapat mewujudkan cita-cita masyarakat yang berlandaskan hukum yang
berkeadilan.” Kode etik profesi hukum yang memiliki nilai luhur pada profesional
hukum menjadi harapan bahwa dengan kehadiran kode etik tersebut
pengaplikasiannya terhadap aspek fungsional profesi hukum menjadi lebih terbuka.

Muhammad Nuh dalam buku etika profesi hukum mengatakan bahwa etika
profesi ialah kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan kliennya yang terdiri dari
beberapa kaida-kaidah pokok dalam etika profesi yakni sebagai berikut:

“1) Profesi yang dilakoni merupakan penghayatan terhadap suatu pelayanan


yang tidak didasarkan atas pamrih. Pertimbangan yang dilakukan adalah untuk
kepentingan klien dan kepentingan umum, bukan atas kepentingan pribadi,
agar tidak terjadi penyalahgunaan profesi yang merugikan orang lain; 2)
Pelayanan profesional harus mendahulukan kepentingan klien yang mengacu
pada kepentingan luhur manusia yang membatasi tindakan yang dilakukan; 3)
Pengemban profesi harus berorientasi kepada masyarakat luas; dan 4)
Pengemban profesi harus memiliki sikap solidaritas sesama profesional.”28

Berkaitan dengan etika profesi, “ 29profesi hakim juga memiliki sistem etika
yang mampu menciptakan disiplin tata kerja yang menyediakan garis batas tata nilai
yang dapat dijadikan pedoman bagi para hakim untuk menyelesaikan tugasnya dalam
menjalankan fungsi dan mengemban profesinya.” Untuk menjamin tercptanya
pengadilan yang mandiri dan tidak memihak, diperlukan pemenuhan kecukupan
sarana dan prasarana bagi hakim baik selaku penegak hukum maupun sebagai warga
masyarakat pada umumnya yang sesuai dengan Surat Keputusan Bersama Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik
Indonesia Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009 tertanggal 8
April 2009 memutuskan tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang
28
Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), Hlm. 71

29
Muhammad Nuh, Etika Profesi…, Hlm. 71.

Universitas Indonesia
9

merupakan panduan keutamaan moral bagi setiap hakim, baik di dalam maupun di
luar kedinasan.30

Penyusunan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim ini tentu memiliki latar
belakangnya sendiri dan telah diadakan kajian berulang kali dengan memperhatikan
masukan dari hakim di berbagai tingkatan lingkungan peradilan, kalangan praktisi
hukum, akademisi hukum, serta pihak-pihak lain dalam masyarakat. Selain
mengadakan kajian dengan memperhatikan pendapat atau masukan dari seluruh unsur
elemen penegak hukum dan masyarakat, penyusunan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim juga memperhatikan hasil dari beberapa Kongres 31 ataupun Munas32
Organisasi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)33.

Penyusunan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tersebut tidak terlepas
dari peran Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai badan yang melakukan
Kekuasaan Kehakiman dengan menaungi badan peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum34, peradilan agama35, peradilan militer36, dan peradilan tata usaha
30
Lihat Pasal 1 butir 1 PB MA - KY Nomor 02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012
Tahun 2012.

31
Tepatnya pada Kongres IV Luar Biasa IKAHI Tahun 1966 di Semarang yang menghasilkan
bentuk Kode Etik Hakim Indonesia.

32
Tepatnya pada Munas XIII IKAHI Tahun 2000 di Bandung dalam hal penyempurnaan
Kode Etik Hakim Indonesia.

33
IKAHI merupakan “wadah profesi hakim Indonesia yang menampung dan menyalurkan
aspirasi, inovasi, kajian ilmiah, publikasi, hubungan dengan lembaga-lembaga negara, hubungan ke
dalam maupun keluar, dan lain-lain kegiatan keorganisasian profesi hakim, sesuai dengan Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). IKAHI juga merupakan organisasi profesi Hakim
dari 4 (empat) lingkungan peradilan yaitu lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
Tata Usaha Negara (TUN) dan peradilan militer.” Lihat IKAHI, “Profil IKAHI”, https://ikahi.or.id.

34
Berdasarkan Pasal 25 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009, Peradilan umum berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

35
Berdasarkan Pasal 25 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009, Peradilan agama berwenang
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

36
Berdasarkan Pasal 25 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009, Peradilan militer berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan

Universitas Indonesia
10

negara37. Adapun kewenangan Mahkamah Agung menurut Pasal 24A ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945, menyebutkan bahwa “Mahkamah Agung berwenang mengadili
pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.”38

Dalam catatannya, lembaga Mahkamah Agung pernah diperjelas melalui


“TAP-MPR agar lebih menguatkan lembaga Mahkamah Agung sebagai lembaga
pemegang kekuasaan tertinggi di bidang hukum dengan dikeluarkannya Ketetapan
MPR RI No. X/MPR/1998 tentang Reformasi Pembangunan dalam rangka
penyelematan dan normalisasi kehidupan nasional yang berfungsi sebagai haluan
negara antara lain untuk menegaskan bahwa pelaksanaan reformasi di bidang hukum
dengan agenda yang harus dijalankan, yaitu pemisahan yang tegas antara fungsi
yudikatif dan eksekutif.”39

Sesuai dengan amanat konstitusi mengenai kekuasaan kehakiman yang tertera


di dalam UUD NRI Tahun 1945, pengimplementasian amanat tersebut dituangkan di
dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman mengenai kewenangan Mahkamah Agung yang berbunyi sebagai berikut:

“(2) Mahkamah Agung berwenang:


a. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada
tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang
menentukan lain;

perundang-undangan.

37
Berdasarkan Pasal 25 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009, Peradilan tata usaha negara
berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

38
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24A ayat
(1).

39
Wildan Sayuthi Mustofa, Kode Etik Hakim…, Hlm. 93.

Universitas Indonesia
11

b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang


terhadap undang-undang; dan
c. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.”40

Berangkat dari Kongres dan Munas yang telah dilakukan oleh IKAHI, dalam
Rapat Kerja Mahkamah Agung RI Tahun 2002 di Surabaya telah merumuskan 10
(sepuluh) prinsip Pedoman Perilaku Hakim yang didahului pula dengan kajian
mendalam yang meliputi proses perbandingan terhadap prinsip-prinsip internasional,
mauun peraturan-peraturan serupa yang ditetapkan di berbagai Negara, antara lain
The Bangalore Principles of Judicial Conduct41. Selanjutnya Mahkamah Agung
menerbitkan pedoman Perilaku Hakim melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung RI Nomor: KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006, tentang
Pedoman Perilaku Hakim dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor:
215/KMA/SK/XII/2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pedoman Perilaku Hakim.42 Demikian pula Komisi Yudisial Republik Indonesia yang
turut melakukan pengkajian mendalam berkaitan dengan penyusunan kode etik dan
pedoman perilaku hakim.

Pembentukan Komisi Yudisial Republik Indonesia “bermula dari ide tentang


perlunya suatu komisi khusus untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu yang
berhubungan dengan kekuasaan kehakiman. Ide tersebut bukanlah hal baru dalam
sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia.” 43 Dalam pembahasan rancangan undang-
undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman pada tahun 1968,
40
Indonesia, Undang-undang tentang Kekuasaan…, Pasal 20 ayat (2).

41
The Bangalore Principles of Judicial Conduct adalah “prinsip-prinsip yang disusun oleh
para hakim dari beberapa negara dunia sebagai standar kode etik hakim. Prinsip-prinsip ini didesain
untuk memberikan panduan untuk menyusun kode etik para hakim di seluruh dunia, yang menjadi
salah satu rujukan dalam perumusan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim di Indonesia. Nama
Bangalore merujuk pada sebuah kota di India tempat prinsip-prinsip ini dirumuskan.” Lihat Noer/Jaya,
“Penerapan Etika Bagian Pencegahan KY”, https://komisiyudisial.go.id. 18 Maret 2016.

42
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah
Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Bagian Pembukaan, Hlm. 5.

Universitas Indonesia
12

sempat muncul lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim
(MPPH) yang diusulkan untuk dibentuk pada saat itu. Majelis tersebut “berfungsi
memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran
atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan,
pemberhentian, dan tindakan atau hukum jabatan para hakim, yang diajukan, baik
oleh Mahkamah Agung maupun Menteri Kehakiman.”44

Ide pembentukan tersebut terus berlanjut hingga tahun 1998 tepatnya pada
masa awal reformasi Indonesia dan di amandemenkannya UUD 1945. “Terdapat
desakan dari kekhawatiran bahwa Mahkamah Agung tidak akan mampu menjalankan
tugas barunya yang tercantum dalam amandemen tersebut dan ditakutkan hanya akan
mengulangi kelemahan yang selama ini dilakukan oleh departemen tersebut.” 45
Sebagai upaya untuk menghindari permasalahan tersebut, kalangan pemerhati hukum
dan organisasi non-pemerintah menganggap bahwa perlu dibentuk suatu lembaga
baru yaitu Komisi Yudisial. Komisi yang diharapkan dapat memainkan fungsi-fungsi
tertentu dalam sistem yang baru, terkhusus pada rekrutmen hakim agung dan
pengawasan terhadap hakim. Hal ini berkesinambungan dengan pernyataan dari Jimly
Asshiddiqie yang dikutip oleh Ahsin Thohari yaitu:

“Maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman


Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga
parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan
kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam
rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang
Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu, kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial
judiciary) diharapkan dapat diwujudkan sekaligus diimbangi oleh prinsip

43
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010),
Hlm. 209.

44
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara…, Hlm. 209.

45
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara…, Hlm. 209.

Universitas Indonesia
13

akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun dari segi
etika. Untuk itu, diperlukan institusi pengawasan yang independen terhadap
para hakim itu sendiri.”46

Dalam konstitusi Indonesia, lembaga Komisi Yudisial menurut Pasal 24B ayat
(1) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Komisi Yudisial bersifat mandiri
yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.”47 Sebagai amanat yang telah diatur di dalam
konstitusi Indonesia, selanjutnya Komisi Yudisial diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dalam regulasi tersebut, menyebutkan bahwa
“Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” 48 yang diatur di dalam Pasal
1 butir 1 UU No. 18 Tahun 2011. Dalam perundang-undang tersebut diatur pula
mengenai kewenangan Komisi Yudisial yang diatur di dalam Pasal 13 UU No. 18
Tahun 2011 yang berbunyi sebagai berikut:

“Komisi Yudisial mempunyai wewenang:


a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di
Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim;
c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-
sama dengan Mahkamah Agung; dan
46
Ahsin Thohari, Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM, 2004), Hlm. 13-
14.

47
Indonesia, Undang-Undang Dasar…, Pasal 24B ayat (1).

48
Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial, UU No. 18 Tahun 2011, LN Nomor 106, TLN Nomor 5250, Pasal 1
butir 1.

Universitas Indonesia
14

d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman


Perilaku Hakim.”49

Jika dilihat secara seksama mengenai kewenangan Komisi Yudisial, telah


disinggung keberadaan kode etik dan pedoman perilaku hakim yang dapat dilihat
pada pasal 13 huruf c dan d. Ketentuan tersebut berkorelasi dengan ketentuan bahwa
“dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormata, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim, Komisi Yudisial berpedoman pada Kode Etik dan/atau Pedoman
Perilaku Hakim yang ditetapkan oleh Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung.” 50
Komisi Yudisial RI juga melakukan pengkajian dengan memperhatikan masukan dari
berbagai pihak melalui kegian konsultasi publik yang diselenggarakan di kota-kota
besar yang pesertanya terdiri dari unsur hakim, praktisi hukum, akademisi hukum,
serta unsur-unsur masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat.

Setelah penjabaran mengenai baik Mahkamah Agung Republik Indonesia


maupun Komisi Yudisial Republik Indonesia yang keduanya merupakan pengawas
internal dan eksternal51. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut yang
memnuhi pasal 32A juncto Pasal 81B52 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
“maka disusunlah Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang merupakan
pegangan bagi para hakim seluruh Indonesia serta Pedoman bagi Mahkamah Agung
RI dan Komisi Yudisial RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan internal maupun
eksternal.”53

49
Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Atas…, Pasal 13.

50
Lihat Pasal 19A UU No. 18 Tahun 2011.

51
Dalam Bagian Pembukaan Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan
Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009, disebutkan
bahwa Mahkamah Agung RI merupakan pengawas internal hakim dan Komisi Yudisial RI merupakan
pengawas eksternal hakim.
52
Pasal 81B menyatakan bahwa “Kode etik dan pedoman perilaku hakim harus sudah
ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Lihat Pasal 81B UU
No. 3 Tahun 2009.

Universitas Indonesia
15

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim menurut Peraturan Bersama Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik
Indonesia Nomor 02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012 yang merupakan
pelaksana ketentuan dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana
dimaksud dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi
Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 – 2/SKB/P.KY/IV/2009 menjelaskan
bahwa “Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah panduan keutamaan moral
bagi setiap hakim, baik di dalam maupun di luar kedinasan sebagaimana diatur dalam
Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua
Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 –
02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.”54

Adapun prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim


diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku yang diatur di dalam Pasal 4
Peraturan Bersama55 Ketua MA RI dan Ketua KY RI No. 02/PB/MA/IX/2012 –
02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim adalah sebagai berikut:

“Kewajiban dan larangan bagi Hakim dijabarkan dari 10 (sepuluh) prinsip


Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yaitu:
a. berperilaku adil;
b. berperilaku jujur;
c. berperilaku arif dan bijaksana;
d. bersikap mandiri;
e. berintegritas tinggi;
f. bertanggung jawab;
53
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI, Keputusan Bersama…, Bagian Pembukaan
Hlm. 5.

54
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI, Peraturan Bersama Ketua Mahkamah
Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012 tentang
Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Pasal 1 butir 1.

55
Terdapat Keputusan Bersama yang menjadi dasar dari dikeluarkannya Peraturan Bersama.

Universitas Indonesia
16

g. menjunjung tinggi harga diri;


h. berdisiplin tinggi;
i. berperilaku rendah hati; dan
j. bersikap profesional.”56

Ke-10 (sepuluh) prinsip tersebut memiliki pengertiannya masing-masing yang


digunakan oleh hakim sebagai panduan keutamaan moral bagi setiap hakim dan bagi
siapapun hakim yang melanggar satu dari sepuluh prinsip tersebut akan diselesaikan
sesuai dengan prosedur yang berlaku. Bagi setiap hakim, prinsip tersebut mewakili
tindak perilaku hakim baik di dalam persidangan maupun diluar persidangan.

Oleh sebab itu, penelitian tesis ini akan membahas mengenai pelaksanaan
wewenang Komisi Yudisial RI sebagai pengawas eksternal dalam penegakan kode
etik dan pedoman perilaku hakim serta mengenai penyelesaian hukum apabila hakim
melanggar satu dari 10 (sepuluh) prinsip kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Dengan demikian, judul penelitian tesis ini adalah “Pengaturan Penegakan Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim dalam Lingkungan Peradilan Berdasarkan Keputusan
Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009.”

B. Rumusan Masalah
Dalam proposal penelitian ini akan dibahas mengenai beberapa rumusan
masalah yang menjadi fokus penelitan mengenai pengaturan penegakan kode etik
hakim dan pedoman perilaku hakim. Adapun rumusan masalah tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Pelaksanaan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai
Pengawas Eksternal dalam Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim Berdasarkan Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia
Nomor 02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012 ?

56
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI, Peraturan Bersama…, Pasal 4.

Universitas Indonesia
17

2. Bagaimanakah Penyelesaian Hukum Apabila Hakim Melanggar 1 (Satu)


dari 10 (Sepuluh) Prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Berdasarkan Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor
02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan dengan fokus penelitian yang akan dibahas yaitu mengenai
pengaturan penegakan kode etik dan pedoman perilaku hakim, Adapun tujuan dan
manfaat dari proposal penelitan adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian yang dilakukan mengenai
pengaturan penegakan kode etik dan pedoman perilaku hakim
adalah untuk menjelesakan pelaksanaan wewenang oleh
lembaga berkaitan dan penyelesaian hukum apabila terjadi
pelanggaran agar terciptanya lingkungan peradilan yang
mandiri, netral, kompeten, dan transparan. Dengan demikian,
secara langsung hakim mampu dalam menegakkan wibawa
hukum, pengayoman hukum, dan kepastian hukum dalam
menegakkan hukum dan keadilan dalam lingkungan peradilan.
b. Tujuan Khusus
Tujuan Khusus dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1) Untuk menjelaskan pelaksanaan wewenang Komisi
Yudisial sebagai pengawas eksternal dalam penegakan
kode etik dan pedoman perilaku hakim berdasarkan
Peraturan Bersama Ketua MA RI dan Ketua KY RI No.
02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012.
2) Untuk menjelaskan penyelesaian hukum apabila hakim
melanggar 1 (satu) dari 10 (sepuluh) prinsip kode etik

Universitas Indonesia
18

dan pedoman perilaku hakim berdasarkan Peraturan


Bersama Ketua MA RI dan Ketua KY RI No.
02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoretis
Penelitian mengenai pengaturan penegakan kode etik
dan pedoman perilaku hakim diharapkan dapat membantu
khasanah ilmu pengetahuan dan menjadi inspirasi dan masukan
bagi masyarakat yang dapat mengisi kekosongan bahan
kepustakaan di bidang Hukum Tata Negara khususnya dalam
bidang kekuasaan kehakiman. Penilitian ini juga diharapkan
dapat menjadi salah satu bentuk sumbangan pemikiran yang
dapat digunakan untuk ilmu pengetahuan.
b. Manfaat Praktis
Penelitian pengaturan penegakan kode etik dan
pedoman perilaku hakim akan memberikan manfaat bagi
lembaga pengawas kehakiman dalam hal ini baik Mahkamah
Agung sebagai pengawas internal maupun Komisi Yudisial
sebagai pengawas eksternal dalam menegakkan kode etik dan
pedoman perilaku hakim dalam setiap lingkungan peradilan.
Dengan demikian, kode etik dan pedoman perilaku hakim
secara tegas ditegakkan demi mewujudkan lingkungan
peradilan yang mandiri, netral, kompeten, dan transparan.
D. Kerangka Konsep
1. Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman pada dasarnya “merupakan kekuasaan yang merdeka


untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” 57 Hal
tersebut sesuai dengan salah satu bunyi pasal di dalam UUD NRI Tahun 1945. Secara

57
Lihat Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Universitas Indonesia
19

konstitusi, ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman diatur di dalam UUD NRI


Tahun 1945, khususnya pada BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman yang terdiri
dari beberapa pasal dimulai dari Pasal 24, 24A 58, 24B59, 24C60, dan 25 yang masing-
masing dari pasal tersebut mengatur tentang berbagai lembaga yang berkaitan dengan
fungsi kekuasaan kehakiman. Ketentuan tersebut sejalan dengan ketentuan yang ada
di dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan


peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”61

Berdasarkan dengan ketentuan pasal di atas, secara inplisit konstitusi


menyebutkan bahwa Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari
semua lingkungan badan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya bebas dari
pemerintah. Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaran Indonesia yang memegang kekuasaan kehakiman bersama-sama
dengan Mahkamah Konsitusi.

Dalam pelaksanaan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, sesuai dengan


pengertian asas hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah “pikiran dasar yang
umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang
terdapat di dalam setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-
undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan

58
Mengatur tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia.

59
Mengatur tentang Komisi Yudisial Republik Indonesia.

60
Mengatur tentang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

61
Indonesia, Undang-Undang Dasar…, Pasal 24 ayat (2).

Universitas Indonesia
20

dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut.” 62 Adapun asas-
asas penyelenggaran kekuasaan kehakiman adalah sebagai berikut:

a. “Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan;


b. Asas equality before the law atau asas mengadili menurut hukum
tanpa membedakan orang;
c. Asas hakim pasif artinya jika tidak ada perkara yang diajukan kepada
hakim maka hakim bersifat menunggu datangnya perkara yang
diajukan kepadanya;
d. Asas hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili
sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak
atau kurang jelas;
e. Asas hakim dianggap tahu akan hukum (ius curia novit); dan
f. Asas terbuka untuk umum, asas ini dimaksudkan untuk lebih
menjamin objektivitas kekuasaan kehakiman kecuali apabila undang-
undang menentukan lain.”63

Selain Mahkamah Agung, terdapat Mahkamah Konstitusi yang juga


merupakan pelaksana dari kekuasaan kehakiman. Hal tersebut sesuai dengan
konstitusi yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan juga oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.64 Menurut Pasal 24C ayat (1) “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.”65

62
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2007),
Hlm. 34.

63
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu…, Hlm. 137-138.

64
Lihat Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

65
Indonesia, Undang-Undang Dasar…, Pasal 24C ayat (1).

Universitas Indonesia
21

Selain daripada Mahkamah Konstitusi, berkenaan dengan kekuasaan


kehakiman, terdapat satu lagi lembaga yang berkaitan yaitu Komisi Yudisial yang
bersifat mandiri yang wewenangnya adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.66 Untuk melaksanakan wewenangnya, tentunya Komisi Yudisial memiliki
undang-undangnya sendiri sebagai patokan atau pijakan dalam melaksanakan tugas,
fungsi, dan wewenangnya yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Bergandengan dengan Mahkamah Agung,
Komisi Yudisial juga turut dalam menjaga dan mengawasi perilaku melalui kode etik
dan pedoman perilaku hakim yang telah disepakati bersama dalam Keputusan
Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009.

2. Lingkungan Peradilan di Indonesia

Adapun badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung adalah


terdiri dari badan-badan yang akan dijabarkan sebagai berikut:

a. Badan Peradilan Umum67

Badan Peradilan Umum adalah “lingkungan peradilan di bawah


Mahkamah Agung yang menjalankan kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan pada umumnya.” Adapun kekuasaan kehakiman di
lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh lembaga-lembaga berikut,
yaitu:

1) Pengadilan Tinggi68

66
Lihat Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

67
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

68
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.

Universitas Indonesia
22

“Pengadilan Tinggi merupakan pengadilan tingkat banding yang


berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah hukum meliputi
wilayah provinsi.”

2) Pengadilan Negeri69

“Pengadilan Negeri adalah suatu pengadilan yang sehari-hari


memeriksa dan memutuskan perkara tingkat pertama dari segala
perkara perdata dan pidana untuk semua golongan yang berkedudukan
di ibukota kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi wilayah
kabupaten/kota.”

b. Badan Peradilan Agama70

Badan Peradilan Agama adalah “lingkungan peradilan di bawah


Mahkamah Agung bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang.”
Dalam lingkungan Peradilan Agama, kekuasaan kehakiman dilaksanakan
oleh lembaga-lembaga sebagai berikut:

1) Pengadilan Tinggi Agama

“Pengadilan Tinggi Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di


lingkungan Peradilan Agama sebagai pengadilan tingkat banding yang
berkedudukan di ibu kota Provinsi.”

2) Pengadilan Negeri Agama

“Pengadilan Negeri Agama atau yang biasa disebut Pengadilan Agama


merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama
yang berkedudukan di ibu kota, kabupaten, atau kota.”

69
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.

70
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Universitas Indonesia
23

c. Badan Peradilan Militer71

Badan Peradilan Militer adalah “lingkungan peradilan di bawah Mahkamah


Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman mengenai kejahatan-
kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana militer.”

d. Badan Peradilan Tata Usaha Negara72

Badan Peradilan Tata Usaha Negara adalah “lingkungan peradilan di


bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.” Kekuasaan
kehakiman pada Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh lembaga-
lembaga sebagai berikut:

1) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

“Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan sebuah lembaga


peradilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara pada tingkat
banding yang berkedudukan di ibu kota Provinsi.”

2) Pengadilan Tata Usaha Negara

“Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan sebuah lembaga peradilan


di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara pada tingkat pertama yang
berkedudukan di ibu kota, kabupaten, atau kota.”

Dalam lingkungan pengadilan, hingga saat ini terdapat 8 (delapan) pengadilan


khusus yang diterapkan di Indonesia. Dimana 6 (enam) dari pengadilan khusus
tersebut masuk ke dalam lingkungan peradilan umum, dan sisanya masuk ke dalam
lingkungan peradilan tata usaha negara serta dalam lingkungan peradilan umum dan
agama. Pengadilan khusus hanya boleh dibentuk dalam salah satu lingkungan
peradilan, yaitu sebagai berikut:73
71
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

72
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
73
Lihat Pasal 1 angka 8 UU Nomor 48 Tahun 2009.

Universitas Indonesia
24

a. Peradilan Umum
1) Pengadilan Anak74;
2) Pengadilan Niaga75;
3) Pengadilan Hak Asasi Manusia76;
4) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi77;
5) Pengadilan Hbungan Industrial78; dan
6) Pengadilan Perikanan79.
b. Peradilan Tata Usaha Negara
1) Pengadilan Pajak80.
c. Peradilan Agama
1) Pengadilan Syariah Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Dengan dinamika dalam masyarakat yang terus berkembang seiring


perkembangan zaman, dapat dipastikan bahwa kedepan Indonesia akan menambah
pengadilan-pengadilan khusus dalam setiap lingkungan peradilan.81

3. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

74
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

75
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2003 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.

76
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.

77
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

78
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan
Industrial.

79
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

80
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

81
Ajibagoes Pramukti, “Pengadilan Khusus di Indonesia”,
https://ajibagoespramukti.wordpress.com. 7 Juni 2011.

Universitas Indonesia
25

Berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi


Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE-PPH), “perilaku yang dimaknai sebagai
tanggapan atas reaksi individu yang terwujud dalam gerakan (sikap) dan ucapan yang
sesuai dengan apa yang dianggap pantas oleh norma-norma yang berlaku. Selain itu,
KE-PPH juga turut mendefinisikan mengenai perilaku etis yang dimaknai sebagai
sikap dan perilaku etis yang didasarkan kepada kematangan jiwa yang diselaraskan
dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat.”82

Hakim dalam melaksanakan tugasnya dalam menegakkan hukum dan


keadilan, harus didasarkan atas kebenaran dan kejujuran yang bertanggung jawab
kepada Tuhan. Pertanggungjawaban yang sangat berat inilah yang membuat hakim
diharuskan memiliki sifat dan sikap yang dapat menjamin terlaksananya tugas dan
kewajiban tersebut. Adapun peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur
syarat yang harus dipenuhi hakim dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai
penegak keadilan dan hukum di Indonesia, yaitu Pasal 33 Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa “hakim
memiliki integritas, kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan.”83 Ketentuan selanjutnya mengenai syarat yang
dipenuhi hakim terdapat pada Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Nomor 50 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang menyebutkan bahwa “hakim wajib bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (UUD
1945), berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.” 84 Terakhir, mengenai
syarat yang harus dipenuhi oleh hakim juga dijelaskan di dalam peraturan perundang-
undangan Indonesia, tepatnya pada Pasal 13B Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009
82
Dio Ashar W., Implementasi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dalam Peradilan
Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, 2017), Hlm. 4-5.

83
Indonesia, Undang-undang tentang Kekuasaan…, Pasal 33.
84
Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 50 Tahun 2009, LN Nomor 159, TLN Nomor 5078,
Pasal 13 ayat (1).

Universitas Indonesia
26

tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang


Peradilan Umum yang menyebutkan bahwa “hakim wajib memiliki integritas dan
kepribadian tidak tercela, jujur, adil, professional, bertakwa, berakhlak mulia, serta
berpengalaman di bidang hukum, wajib menaati kode etik dan pedoman perilaku.”85

Kode etik merupakan “pola aturan, tata acara, tanda, pedoman etis dalam
melakukan suatu perilaku.”86 Kode etik juga diharapkan dapat melindungi perbuatan
yang tidak profesional dimana setiap bidang profesi pada umumnya memiliki nilai-
nilai yang menjadi pedoman ketika menjalankan profesinya, salah satunya adalah
hakim itu sendiri.87 Dalam rangka menjaga kehormatan dan perilaku hakim, sangat
diperlukan adanya sebuah etika yang berbentuk Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim (KE-PPH) yang dapat menjadi pedoman dan ukuran objektif yang dapat
ditaati oleh semua hakim ketika menjalankan aktivitasnya. Implementasi terhadap
KE-PPH tersebut memiliki implikasi terhadap kepercayaan masyarakat kepada
putusan pengadilan. Contohnya, jika hakim terbukti melanggar ketentuan KE-PPH
tersebut, “maka akan berdampak pada penurunan kepercayaan masyarakat terhadap
citra pengadilan yang independen dan imparsial. Di sisi lain juga, kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga pengadilan merupakan salah satu tolak ukur efektif
atau tidak sebuah lembaga peradilan di dalam negara hukum.” 88 Oleh karena itu, KE-
PPH berisikan unsur-unsur yang menjadi kriteria bagi setiap individu hakim agar
dapat menjadi hakim yang ideal. “Ketentuan yang diatur di dalam KE-PPH tidak
hanya mengatur hakim sebagai individu pengambil keputusan yudisial saja,
melainkan juga sebagai manusia biasa, makhluk Tuhan, dan bagian dari suatu
85
Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, UU No. 49 Tahun 2009, LN Nomor 158, TLN Nomor 5077,
Pasal 13B.

86
Komisi Yudisial RI, Modul Pelatihan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE-PPH),
(Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2014), Hlm. 25.

87
Purwoto S. Gandasubrata dikutip di dalam Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku
Hakim (Code of Conduct) Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, (Jakarta: Mahkamah Agung RI,
2006), Hlm. 3.
88
Cynthia Gray, Ethical Standards for Judges, (Des Moines: American Judicature Society,
2009), Hlm. 1.

Universitas Indonesia
27

masyarakat. Hakim yang memiliki budi pekerti luhur dapat menunjukkan bahwa
profesi hakim memang memiliki sifat kemuliaan (officium nobile).”89

Pada awal penyusunannya, pedoman kode etik hakim dicetuskan pertama kali
dalam Kongres IV Luar Biasa IKAHI tahun 1966 di Semarang. Mahkamah Agung RI
merespon pedoman tersebut dan segera melakukan kajian dan menerima masukan
dari hakim di berbagai tingkatan dan lingkungan peradilan, kalangan praktisi hukum,
serta pihak lain-lain dalam masyarakat. Kemudian, pada tanggal 30 Maret 2021
berdasarkan hasil Musyawarah Nasional IKAHI ke-13 di Bandung, berhasil
mendefinisikan sifat-sifat yang wajib dimiliki oleh seorang Hakim, kemudian sifat-
sifat tersebut digambarkan di dalam lambing menjadi Panca Darma Hakim, yaitu
sebagai berikut:

a. “Kartika, bintang yang melambangkan percaya dan takwa kepada


Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab;
b. Cakra, senjata ampuh dari Dewa Keadilan yang mampu memusnahkan
segala kebhatilan, kezaliman dan ketidakadilan;
c. Candra, bulan yang menerangi segala tempat yang gelap, sinar
penerangan dalam kegelapan yang melambangkan sifat bijaksana dan
berwibawa;
d. Sari, bunga semerbak wangi yang berarti berbudi luhur dan
berkelakuan tidak tercela;
e. Tirta, air yang membersihkan segala kotoran di dunia yang
melambangkan sifat jujur.”90

Tidak hanya sampai disitu, selanjutnya Mahkamah Agung RI menindaklanjuti


Rapat Kerja Mahkamah Agung RI tahun 2002 di Surabaya dengan merumuskan 10
(sepuluh) prinsip Pedoman Perilaku Hakim berdasarkan kajian mendalam terhadap

89
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI, Keputusan Bersama…, Bagian Pembukaan
Hlm. 4.
90
IKAHI, “Panca Brata Hakim”, https://ikahi.or.id/tentang-ikahi.

Universitas Indonesia
28

perbandingan prinsip-prinsip internasional, maupun peraturan-peraturan serupa yang


ditetapkan di berbagai negara, antara lain The Bangalore Principles of Yudicial
Conduct. Pada akhirnya, Mahkamah Agung menerbitkan pedoman Perilaku Hakim
melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/104/SK/XII
2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung RI Nomor: 215/KMA/SK/XII/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman
Perilaku Hakim. Penyusunan pedoman perilaku Hakim tersebut disusun dengan
menjadikan Bangalore Principles sebagai suatu panduan bagi penyusunan kode
etik.91

Demikian pula Komisi Yudisial (KY) RI selaku lembaga yang dibentuk untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim,
juga mengkaji secara mendalam untuk menyusun kode etik dan pedoman perilaku
hakim yang bisa menjadi pegangan bagi para hakim seluruh Indonesia. Oleh karena
itu, pada tahun 2009 Mahkamah Agung RI bersama Komisi Yudisial RI menerbitkan
Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI
Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim. KE-PPH yang disusun tersebut memuat 10 (sepuluh)
prinsip-prinsip dasar, yaitu:
a. “berperilaku adil;
b. berperilaku jujur;
c. berperilaku arif dan bijaksana;
d. bersikap mandiri;
e. berintegritas tinggi;
f. bertanggung jawab;
g. menjunjung tinggi harga diri;
h. berdisiplin tinggi;
i. berperilaku rendah hati; dan
j. bersikap profesional.”92

91
Dio Ashar W., Implementasi Kode Etik…, Hlm. 7.
92
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI, Peraturan Bersama…, Pasal 4.

Universitas Indonesia
29

KE-PPH yang disusun oleh Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI


memiliki maksud dan tujuan yang dapat dijadikan sebagai pedoman yang mendasari
perilaku bagi seorang hakim. Maksud dan tujuan kode etik dan pedoman perilaku
tersebut dapat tercermin dalam perilaku sebagai berikut:

1) “Sebagai alat untuk melakukan pembinaan dan pembentukan


karakter hakim serta untuk pengawasan tingkah laku hakim.
Seorang hakim tidak dapat menjalankan profesinya tanpa
mengindahkan etika-etika profesi sehingga diharapkan munculnya
kesadaran dan tanggung jawab untuk menegakkan keadilan;
2) Sebagai sarana kontrol sosial, mencegah campur tangan ekstra
yudisial serta sebagai sarana pencegah timbulnya kesalahpahaman
dan konflik antarsesama anggota dan antara anggota dengan
masyarakat;
3) Memberi jaminan bagi peningkatan moralitas hakim dan
kemandirian fungsional bagi hakim; dan
4) Menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan.
Kepercayaan masyarakat memiliki nilai yang sangat penting,
apalagi saat ini penegakan supremasi hukum seringkali dianggap
mengalami kemandekan.” 93
E. Metode Penelitian
1. Bentuk Penelitian

Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian Yuridis Normatif, yaitu


metode penelitian hukum yang menggunakan data sekunder melalui
penelusuran literatur bahan pustaka.94 Penelitian ini menggunakan jenis

93
Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim (ed kedua), (Jakarta: Kencana Prenamedia
Group, 2013), Hlm. 127-128.
94

Soejono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
(Jakarta: Rajawali Pers, 2001), Hlm. 13-14.

Universitas Indonesia
30

penelitian data sekunder melalui kepustakaan yang dimana bertumpu pada


kajian dari teks yang bersumber dari data berupa data literatur yaitu
menjadikan bahan pustaka sebagai sumber utama. Data yang terkait pada
penelitian ini dikumpulkan melalui studi pustaka atau telaah dan menelusuri
literatur yang berkenaan dengan masalah yang diteliti melalui buku-buku,
artikel-artikel, website dan tulisan lain yang mengandung informasi dan data-
data yang berkaitan dengan judul penelitian baik secara langsung maupun
tidak langsung. Hal tersebut dikarenakan kajian mengenai kode etik dan
pedoman perilaku hakim menggunakan metode dengan mengkaji beberapa
sumber buku sebagai penelitian kepustakaan (ibrary research).95

2. Tipologi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, yang dimana metode deskriptif


merupakan metode yang digunakan untuk menggambarkan suatu kondisi atau
masalah dalam peristiwa hukum secara terperinci yang sedang berlangsung
dengan tujuan agar dapat memberikan data mengenai objek penelitian
sehingga dapat mendapat informasi yang bersifat ideal, lalu dianalisis
berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan. Dalam tesis ini
metode deskriptif yang diterapkan untuk memberikan gambaran atau suatu
fenomena yang berhubungan dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim
berdasarkan Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 02/PB/MA/IX/2012 –
02/PB/P.KY/09/2012.

3. Jenis Data

Jenis Data yang digunakan adalah data sekender berupa penelusuran


literatur atau studi kepustakaan untuk memahami konseptualisasi hukum
dalam teks atau sumber hukum yang merupakan bukti, catatan atau laporan
historis yang telah tersusun dalam arsip yang dipublikasikan dan yang tidak
95

Sutrisno Hadi, Metedologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 2001), Hlm. 9.

Universitas Indonesia
31

dipublikasikan. Data sekunder juga dapat diperoleh melalui Perpustakaan,


Pusat Dokumentasi, Arsip dan Museum.

4. Jenis Bahan (Sumber) Hukum


a. Sumber Primer

Bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari norma dasar,


peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, peraturan adat yang
dicatat, peraturan masa penjajahan yang masih berlaku, putusan
pengadilan, perjanjian internasional dan konvensi. Adapun sumber primer
yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;
2) Indonesia, Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, UU
Nomor 8 Tahun 1981, LN Nomor 76, TLN Nomor 3209;
3) Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, UU Nomor 3 Tahun 2009, LN Nomor 3, TLN Nomor
4958;
4) Indonesia, Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman,
UU Nomor 48 Tahun 2009, LN Nomor 157, TLN Nomor
5076;
5) Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, UU
No. 18 Tahun 2011, LN Nomor 106, TLN Nomor 5250;
6) Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI, Keputusan
Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi
Yudisial RI tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,
Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009;
7) Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI, Peraturan
Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi

Universitas Indonesia
32

Yudisial RI tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan


Pedoman Perilaku Hakim, Nomor 02/PB/MA/IX/2012 –
02/PB/P.KY/09/2012.
b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah sumber hukum yang memberikan


penjelasan mengenai bahan hukum primer. Sumber hukum primer terdiri
dari buku, artikel, majalah, dan surat kabar, laporan penelitian, tesis,
disertasi, makalah, tulisan yang disampaikan di dalam berbagai pertemuan
ilmiah yang terkait dengan topik penelitian tesis ini.

c. Sumber Tersier

Sumber tersier adalah sumber hukum yang memberikan petunjuk


maupun penjelasan dari sumber primer ataupun sumber sekunder yang
terdiri dari berupa black law dictionary.

5. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan pada penelitian tesis ini adalah
studi kepustakaan. “Studi kepustakaan yang dilakukan untuk mendapatkan
sumber sekunder berupa buku buku yang berhubungan dengan objek
penulisan.”96

6. Metode Analisis Data

Analisis data pada penelitian tesis ini dilakukan secara kualitatif.


Analisis data kualitatif adalah metode penelitian yang menghasilkan data
deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan narasumber secara lisan atau
tertulis dan juga perilaku yang nyata akan diteliti dan dipelajari secara utuh
dan selanjutnya dikuatkan dengan data sekunder dibidang hukum berupa
sumber primer, sumber sekunder dan sumber tersier pada penelitian kualitatif
lalu dinarasikan untuk memperoleh simpulan penelitian.
96

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2006), Hlm. 53.

Universitas Indonesia
33

7. Bentuk Hasil Penelitian

Berdasarkan tipologi penelitian deskriptif analitis dalam penelitian


tesis ini maka bentuk hasil penelitian ini adalah berbentuk deskriptif analitis
yang menggambarkan masalah dalam peristiwa hukum secara terperinci dan
menghasilkan analisis yang diterapkan dengan mengaitkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

F. Sistematika Penelitian

Dalam penelitian tesis ini, untuk memudahkan pembahasan dalam


penelitian tesis serta untuk memperjelas mengenai apa saja yang akan dibahas
pada tiap-tiap BAB, maka disusun sistematika penulisan dengan format
sebagai berikut:

BAB I, merupakan BAB pendahuluan yang dimana akan


mengemukakan tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan yang akan
menguraikan semua bab atau materi tesis yang akan dibahas dalam penulisan
penelitian tesis ini.
BAB II, akan menguraikan mengenai tinjauan pustaka atau tinjauan
teoretis mengenai Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang memuat
pengertian Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang menjadi pedoman
bagi semua Hakim di Indonesia yang kemudian juga akan menguraikan hal-
hal mengenai lembaga penyelenggara Kekuasaan Kehakiman yang berkaitan
dengan judul penelitian tesis ini yaitu Mahkamah Agung RI dan juga Komisi
Yudisial RI.
BAB III, akan membahas mengenai pelaksanaan wewenang Komisi
Yudisial RI sebagai pengawas eksternal dalam penegakan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim. Sedikit juga akan dibahas mengenai Mahkamah
Agung RI sebagai pengawas internal dalam penegakan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim.

Universitas Indonesia
34

BAB IV, akan membahas mengenai penyelesaian hukum apabila


Hakim melanggar satu dari sepuluh Prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim dengan memberikan beberapa contoh kasus dalam penyelesaian kasus
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim beserta dengan kajian
mengenai kasus pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
tersebut.

BAB V, akan menguraikan mengenai simpulan dari hasil pembahasan


dari penelitian yang merupakan hasil akhir yang berupa jawaban dari
permasalahan yang ada. Selain itu, juga disertakan saran-saran sebagai bentuk
sumbangan pemikiran atau pendapat berdasar penelitian yang diharap dapat
bermanfaat dalam penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dalam
lingkungkan peradilan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Djalil, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group,

2010.

Gandasubrata, Purwoto S. Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct) Kode

etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI,

2006.

Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2010.

Universitas Indonesia
35

Mertokusumo, Sudikno. Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di

Indonesia Sejak 1942. Jakarta: Gunung Agung, 1973.

Mulyadi, Mahmud dan Feri Antoni Subakti. Politik Hukum Pidana Terhadap

Kejahatan Korporasi. Jakarta: PT Sofmedia, 2010.

Mustofa, Wildan Sayuthi. Kode Etik Hakim (ed Kedua). Jakarta: Kencana

Prenamedia Group, 2013.

Nuh, Muhammad. Etika Profesi Hukum. Bandung: Pustaka Setia, 2011.

Priyatno, Dwidja. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia.

Bandung: PT Refika Aditama, 2006.

Prodjokoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung:

Eresco, 1989.

Saleh, Ismail. Pembinaan Serial: Apa yang Saya Alami. Jakarta: PT

Intermasa, 1989.

Saleh, Roeslan. Stelsel Pidana di Indonesia. Jakarta: Aksara Baru, 1987.

Sipayung, Paulus J. J. Mencegah Pejabat Tata Usaha Negara Sebagai

Tergugat dalam PTUN. Jakarta: Departemen Dalam Negeri

Bekerjasama dengan Yayasan Kajian dan Informasi Perundang-

undangan Indonesia, 1995.

Thohari, Ahsin. Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan. Jakarta: ELSAM,

2004.

Universitas Indonesia
36

Waluyo, Bambang. Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

Jakarta: Sinar Grafika, 1991.

Wisnubroto, Aloysius. Hakim dan Peradilan di Indonesia. Yogyakarta:

Universitas Atmajaya Yogyakarta, 1997.

B. JURNAL

Sakirman. “Tafsir Hukum Atas Posisi Ganda Hakim di Indonesia”, Jurnal


Konstitusi, Vol. 14 No. 1 (2017).

Vickie, Hendrawati Siti dkk. “Aspek Penegakan Kode Etik Hakim dalam
Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman yang Bermartabat dan
Berintegritas”, Varia Justicia, Vol. 12 No. 1 (2016).

C. INTERNET

“Definisi atau Pengertian Singkat tentang Hakim”, https://definisi-


pengertian.com. 19 Agustus 2015.

IKAHI. “Profil IKAHI”, https://ikahi.or.id.

Noer/Jaya. “Penerapan Etika Bagian Pencegahan KY”,


https://komisiyudisial.go.id.18 Maret 2016.

D. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia, Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8


Tahun 1981, LN Nomor 76, TLN Nomor 3209.

Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang


Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU Nomor 3 Tahun
2009, LN Nomor 3, TLN Nomor 4958.

Universitas Indonesia
37

Indonesia, Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 48


Tahun 2009, LN Nomor 157, TLN Nomor 5076.

Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor


22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, UU No. 18 Tahun 2011, LN
Nomor 106, TLN Nomor 5250.

Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI, Keputusan Bersama Ketua


Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI tentang Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim, Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 –
02/SKB/P.KY/IV/2009.

Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI, Peraturan Bersama Ketua


Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI tentang Panduan
Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Nomor
02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai