PROPOSAL TESIS
2006615944
FAKULTAS HUKUM
JAKARTA
NOVEMBER 2021
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..........................................................................................................i
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................17
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.......................................................................17
1. Tujuan Penelitian............................................................................................17
2. Manfaat Penelitian..........................................................................................18
D. Kerangka Konsep..............................................................................................19
1. Kekuasaan Kehakiman....................................................................................19
2. Lingkungan Peradilan di Indonesia.................................................................21
2. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim........................................................25
E. Metode Penelitian..............................................................................................30
1. Bentuk Penelitian............................................................................................30
2. Tipologi Penelitian..........................................................................................30
3. Jenis Data........................................................................................................31
4. Jenis Bahan (Sumber) Hukum........................................................................31
5. Alat Pengumpulan Data..................................................................................31
6. Metode Analisis Data......................................................................................33
7. Bentuk Hasil Penelitian...................................................................................33
F. Sistematika Penulisan.......................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................35
Universitas Indonesia
1
A. Latar Belakang
Kode etik dan pedoman perilaku hakim telah diputuskan bersama oleh
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia yang
seharusnya menjadi pedoman bagi hakim sebagai aktor utama dalam lingkungan
peradilan untuk mewujudkan karakter hakim yang berintegritas tinggi, jujur, dan
professional. Hal ini disebabkan keputusan bersama mengenai kode etik dan pedoman
perilaku hakim tersebut dibuat untuk memastikan bahwa 10 prinsip dalam kode etik
dan pedoman perilaku hakim dijalankan sebagaimana mestinya sehingga terwujudnya
pengadilan yang mandiri, netral, kompeten, dan transparan yang mampu menegakkan
wibawa hukum, pengayoman hukum, dan kepastian hukum dalam menegakkan
hukum dan keadilan.
Kata Hakim berasal dari Bahasa Arab yang sama artinya dengan qadhi1 yang
artinya memutus. Berhubungan dengan hal tersebut, hakim merupakan pejabat
peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili 2 yang
sejalan dengan pendapat Basiq Djalil yaitu “hakim atau qadhi adalah orang yang
diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat
menggugat, oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas
peradilan.”3
1
Pengertian menurut Syar’a, “qadhi atau hakim yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara
untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan perselisihan-perselisihan dalam bidang hukum
perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan sebagaimana Nabi
Muhammad SAW telah mengangkat qadhi untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia
di tempat-tempat yang jauh, sebagaimana Nabi Muhammad SAW telah melimpahkan wewenang ini
kepada para sahabatnya.”
2
Lihat Pasal 1 butir 8 UU No. 8 Tahun 1981.
3
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2010, Hlm. 5.
Universitas Indonesia
2
Posisi hakim yang berperan sebagai aktor utama dalam lembaga peradilan menjadi
teramat vital, terlebih mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui
putusannya dalam persidangan, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan
mencabut hak dan kebebasan warga negara yang kesemua itu dilakukan demi
menegakkan hukum dan keadilan. Menurut Aloysius Wisnubroto, “hakim merupakan
kongkritisasi hukum dan keadilan yang bersifat abstrak, dan digambarkan bahwa
hakim sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan.” 4
Senada dengan hal tersebut, Bambang Waluyo turut memberikan definisi mengenai
pengertian hakim yaitu:
“Secara etimologi atau secara umum, yang dimaksud dengan hakim adalah
organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah
diletakkan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan itu
ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada tertulis atau tidak tertulis
(mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau
kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan dengan asas dan
sendi peradilan berdasar Tuhan Yang Maha Esa.”5
Merujuk pada pendapat yang telah disampaikan baik oleh Al Wisnu Broto
maupun Bambang Waluyo, apabila kedua pendapat tersebut diperbandingkan, akan
menghasilkan suatu definisi baru yaitu “hakim merupakan institusi yang mempunyai
kekuasaan kehakiman, yang mencakup Mahkamah Agung dan badan peradilan
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
4
Aloysius Wisnubroto, Hakim dan Peradilan di Indonesia. Yogyakarta: Universitas
Atmajaya Yogyakarta, 1997, Hlm. 65.
5
Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 1991, Hlm. 11.
Universitas Indonesia
3
6
Lihat Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
7
“Definisi atau Pengertian Singkat tentang Hakim”, https://definisi-pengertian.com. 19
Agustus 2015.
8
“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Lihat Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009.
9
Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN
Nomor 157, TLN Nomor 5076, Pasal 1 ayat (5).
10
Lihat Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
11
Sakirman, “Tafsir Hukum Atas Posisi Ganda Hakim di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol.
14 No. 1 (2017), Hlm. 188.
12
Pada Pasal 1 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Mahkamah Agung
adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.”
Universitas Indonesia
4
13
Pada Pasal 1 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi
adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.”
14
Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi
terhadap telaksananya peraturan yang telah dibuat, “Pertama, Kaidah hukum itu sendiri harus
sistematis dan tidak bertentangan secara vertikal maupun secara horizontal yakni terhadap manusia
yang memiliki nilai-nilai etika sebagai tolak ukur patut tidaknya tindak-tanduk seseorang; Kedua,
Perangkat Hukum, dalam hal ini adalah personal-personal yang menjadi pelaksana atau penyelenggara
pelayanan hukum, semakin baik kualitas pelaksana hukumnya semakin baik pula produk hukumnya;
Ketiga, Adanya fasilitas yang dipergunakan untuk menunjang dan mendorong terlaksananya hukum
tersebut, hal ini terkait dengan sarana dan prasana penunjangnya; Keempat, Masyarakat yang terkena
ruang lingkup hukum tersebut, semakin baik tingkat kepatuhan dan ketataan hukum maka semakin
baik pula kualitas pelaksanaan hukum tersebut.” Lihat Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan
Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942, (Jakarta: Gunung Agung, 1973), Hlm. 79.
15
Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia
Sejak 1942, (Jakarta: Gunung Agung, 1973), Hlm. 80.
16
Ismail Saleh, Pembinaan Serial: Apa yang Saya Alami, (Jakarta: PT Intermasa, 1989), Hlm.
47.
Universitas Indonesia
5
Dalam pelaksanaan negara hukum, salah satu yang paling esensial adalah
penggunaan wewenang atau kekuasaan pemerintah khususnya para pejabat negara
yang dalam hal ini adalah hakim, dibatasi oleh undnag-undang atau hukum. Hal
tersebut mengandung pengertian sekaligus prinsip dasar bahwa “apabila hakim
hendak bertindak berdasarkan wewenang, maka penggunaan wewenang kekuasaan
itu tunduk di bawah hukum.”17
Dalam Pasal 1 butir 8 UU No. 8 Tahun 1981 atau yang lebih dikenal sebagai
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyatakan bahwa “hakim
merupakan peradilan negara yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang untuk
mengadili.”20 Mengadili disini memiliki artian “serangkaian tindakan hakim untuk
menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur,
17
Paulus J. J. Sipayung, Mencegah Pejabat Tata Usaha Negara Sebagai Tergugat dalam
PTUN, (Jakarta: Departemen Dalam Negeri Bekerjasama dengan Yayasan Kajian dan Informasi
Perundang-undangan Indonesia, 1995), Hlm. 80.
18
Berkaitan dengan asas Equality Before the Law yang tertuang di dalam Pasal 7 Universal
Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) bahwa “Semua orang sama di
depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi”. Lalu asas tersebut
juga terdapat di dalam UUD NRI 1945 Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
19
“Kepala Putusan yang dituliskan berbunyi: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Lihat Pasal 197 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981.
20
Indonesia, Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN
Nomor 76, TLN Nomor 3209, Pasal 1 butir 8.
Universitas Indonesia
6
dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal menurut cara yang diatur dalam
undang-undang.”21
Berdasarkan wewenang dan tugas hakim sebagai peran yang vital dalam
lembaga peradilan yang memutus perkara dengan adil dan bermartabat, seorang
hakim dalam menjalankan tugasnya dibatasi oleh norma dan etika profesi, mengingat
kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh hakim. Hendrawati menegaskan bahwa
21
Lihat Pasal 1 butir 8 UU Nomor 8 Tahun 1981.
22
“Menurut teori retributif (atau yang dikenal juga dengan teori absolut), setiap kejahatan
harus diikuti pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah
melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dari dijatuhkannya pidana.
Hanya dilihat kemasa lampau dan tidak dilihat kemasa depan.” Lihat Wirjono Prodjokoro, Asas-asas
Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1989), Hlm. 23.
23
“Teori ini menyebutkan, dasar suatu pemidanaan adalah pertahanan tata tertib masyarakat.
Oleh karena itu, maka yang menjadi tujuan pemidanaan adalah menghindarkan atau mencegah
(prevensi) agar kejahatan itu tidak terulang lagi. Jadi, pidana dijatuhkan bukan semata-mata karena
telah dilakukannya kejahatan, melainkan harus dipersoalkan pula manfaat suatu pidana dimasa depan,
baik bagi si penjahat maupun masyarakat.” Lihat Roeslan Saleh, Stelsel Pidana di Indonesia, (Jakarta:
Aksara Baru, 1987), Hlm. 34. Salah satu pengertian lagi mengenai teori relatif bahwa “Pidana
bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan
suatu tindak pidana tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori
inipun sering juga disebut dengan teori utilitarian”. Lihat Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan
Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), Hlm. 25.
24
“Disebut juga sebagai (verinigning theorien) teori ini menitikberatkan kepada suatu
kombinasi dari teori absolut dan relatif. Menurut teori ini, tujuan pidana selain untuk pembalasan
kepada sipelaku juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban.
Teori gabungan diciptakan karena menurut teori ini, baik teori absolut atau retributif maupun teori
relatif atau utilitarian dianggap berat sebalah, sempit dan sepihak.” Lihat Mahmud Mulyadi dan Feri
Antoni Subakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: PT Sofmedia, 2010),
Hlm. 98.
Universitas Indonesia
7
“hakim melalui putusannya, dapat mengubah atau bahkan mengalihkan dalam rangka
menegakkan hukum dan keadilan. Demikian daripada itu, dibentuklah suatu sistem
etika yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata
nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim untuk menyelesaikan tugasnya dalam
25
menjalankan fungsi dan mengemban profesinya.” Sehubungan dengan etika,
Wildan Sayuthi Mustofa menghubungkan definisi etika menjadi empat hal, yaitu:
Dalam kaitannya dengan profesi hukum27, etika memiliki peranan yang sangat
penting. Hal tersebut dikarenakan profesi hukum dalam ruang lingkup pekerjaannya
25
Hendrawati Siti Vickie, dkk., “Aspek Penegakan Kode Etik Hakim dalam Mewujudkan
Kekuasaan Kehakiman yang Bermartabat dan Berintegritas”, Varia Justicia, Vol. 12 No. 1 (2016),
Hlm. 346.
26
Wildan Sayuthi Mustofa, Kode Etik Hakim (ed Kedua), (Jakarta: Kencana Prenamedia
Group, 2013), Hlm. 3-4.
27
Purwoto S. Gandasubrata menjelaskan bahwa “tiap profesi perlu adanya etika profesi
sebagai perwujudan etika moral yang bertujuan untuk kebaikan jalannya profesi yang bersangkutan.
Beliau juga berpendapat bahwa setiap profesi mempunyai identitas, sifat/ciri dan standar profesi
tersendiri, sesuai dengan kebutuhan dari tiap profesi tersebut. Dalam perwujudan nilai-nilai tersebut,
biasanya setiap profesi membentuk suatu nilai-nilai yang dituangkan secara tertulis, contohnya kode
etik profesi.” Lihat Purwoto S. Gandasubrata dikutip di dalam Mahkamah Agung RI, Pedoman
Perilaku Hakim (Code of Conduct) Kode etik Hakim dan Makalah Berkaitan, (Jakarta: Mahkamah
Agung RI, 2006), Hlm. 2.
Universitas Indonesia
8
Muhammad Nuh dalam buku etika profesi hukum mengatakan bahwa etika
profesi ialah kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan kliennya yang terdiri dari
beberapa kaida-kaidah pokok dalam etika profesi yakni sebagai berikut:
Berkaitan dengan etika profesi, “ 29profesi hakim juga memiliki sistem etika
yang mampu menciptakan disiplin tata kerja yang menyediakan garis batas tata nilai
yang dapat dijadikan pedoman bagi para hakim untuk menyelesaikan tugasnya dalam
menjalankan fungsi dan mengemban profesinya.” Untuk menjamin tercptanya
pengadilan yang mandiri dan tidak memihak, diperlukan pemenuhan kecukupan
sarana dan prasarana bagi hakim baik selaku penegak hukum maupun sebagai warga
masyarakat pada umumnya yang sesuai dengan Surat Keputusan Bersama Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik
Indonesia Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009 tertanggal 8
April 2009 memutuskan tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang
28
Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), Hlm. 71
29
Muhammad Nuh, Etika Profesi…, Hlm. 71.
Universitas Indonesia
9
merupakan panduan keutamaan moral bagi setiap hakim, baik di dalam maupun di
luar kedinasan.30
Penyusunan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim ini tentu memiliki latar
belakangnya sendiri dan telah diadakan kajian berulang kali dengan memperhatikan
masukan dari hakim di berbagai tingkatan lingkungan peradilan, kalangan praktisi
hukum, akademisi hukum, serta pihak-pihak lain dalam masyarakat. Selain
mengadakan kajian dengan memperhatikan pendapat atau masukan dari seluruh unsur
elemen penegak hukum dan masyarakat, penyusunan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim juga memperhatikan hasil dari beberapa Kongres 31 ataupun Munas32
Organisasi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)33.
Penyusunan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tersebut tidak terlepas
dari peran Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai badan yang melakukan
Kekuasaan Kehakiman dengan menaungi badan peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum34, peradilan agama35, peradilan militer36, dan peradilan tata usaha
30
Lihat Pasal 1 butir 1 PB MA - KY Nomor 02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012
Tahun 2012.
31
Tepatnya pada Kongres IV Luar Biasa IKAHI Tahun 1966 di Semarang yang menghasilkan
bentuk Kode Etik Hakim Indonesia.
32
Tepatnya pada Munas XIII IKAHI Tahun 2000 di Bandung dalam hal penyempurnaan
Kode Etik Hakim Indonesia.
33
IKAHI merupakan “wadah profesi hakim Indonesia yang menampung dan menyalurkan
aspirasi, inovasi, kajian ilmiah, publikasi, hubungan dengan lembaga-lembaga negara, hubungan ke
dalam maupun keluar, dan lain-lain kegiatan keorganisasian profesi hakim, sesuai dengan Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). IKAHI juga merupakan organisasi profesi Hakim
dari 4 (empat) lingkungan peradilan yaitu lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
Tata Usaha Negara (TUN) dan peradilan militer.” Lihat IKAHI, “Profil IKAHI”, https://ikahi.or.id.
34
Berdasarkan Pasal 25 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009, Peradilan umum berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
35
Berdasarkan Pasal 25 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009, Peradilan agama berwenang
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
36
Berdasarkan Pasal 25 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009, Peradilan militer berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan
Universitas Indonesia
10
negara37. Adapun kewenangan Mahkamah Agung menurut Pasal 24A ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945, menyebutkan bahwa “Mahkamah Agung berwenang mengadili
pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.”38
perundang-undangan.
37
Berdasarkan Pasal 25 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009, Peradilan tata usaha negara
berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
38
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24A ayat
(1).
39
Wildan Sayuthi Mustofa, Kode Etik Hakim…, Hlm. 93.
Universitas Indonesia
11
Berangkat dari Kongres dan Munas yang telah dilakukan oleh IKAHI, dalam
Rapat Kerja Mahkamah Agung RI Tahun 2002 di Surabaya telah merumuskan 10
(sepuluh) prinsip Pedoman Perilaku Hakim yang didahului pula dengan kajian
mendalam yang meliputi proses perbandingan terhadap prinsip-prinsip internasional,
mauun peraturan-peraturan serupa yang ditetapkan di berbagai Negara, antara lain
The Bangalore Principles of Judicial Conduct41. Selanjutnya Mahkamah Agung
menerbitkan pedoman Perilaku Hakim melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung RI Nomor: KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006, tentang
Pedoman Perilaku Hakim dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor:
215/KMA/SK/XII/2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pedoman Perilaku Hakim.42 Demikian pula Komisi Yudisial Republik Indonesia yang
turut melakukan pengkajian mendalam berkaitan dengan penyusunan kode etik dan
pedoman perilaku hakim.
41
The Bangalore Principles of Judicial Conduct adalah “prinsip-prinsip yang disusun oleh
para hakim dari beberapa negara dunia sebagai standar kode etik hakim. Prinsip-prinsip ini didesain
untuk memberikan panduan untuk menyusun kode etik para hakim di seluruh dunia, yang menjadi
salah satu rujukan dalam perumusan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim di Indonesia. Nama
Bangalore merujuk pada sebuah kota di India tempat prinsip-prinsip ini dirumuskan.” Lihat Noer/Jaya,
“Penerapan Etika Bagian Pencegahan KY”, https://komisiyudisial.go.id. 18 Maret 2016.
42
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah
Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Bagian Pembukaan, Hlm. 5.
Universitas Indonesia
12
sempat muncul lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim
(MPPH) yang diusulkan untuk dibentuk pada saat itu. Majelis tersebut “berfungsi
memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran
atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan,
pemberhentian, dan tindakan atau hukum jabatan para hakim, yang diajukan, baik
oleh Mahkamah Agung maupun Menteri Kehakiman.”44
Ide pembentukan tersebut terus berlanjut hingga tahun 1998 tepatnya pada
masa awal reformasi Indonesia dan di amandemenkannya UUD 1945. “Terdapat
desakan dari kekhawatiran bahwa Mahkamah Agung tidak akan mampu menjalankan
tugas barunya yang tercantum dalam amandemen tersebut dan ditakutkan hanya akan
mengulangi kelemahan yang selama ini dilakukan oleh departemen tersebut.” 45
Sebagai upaya untuk menghindari permasalahan tersebut, kalangan pemerhati hukum
dan organisasi non-pemerintah menganggap bahwa perlu dibentuk suatu lembaga
baru yaitu Komisi Yudisial. Komisi yang diharapkan dapat memainkan fungsi-fungsi
tertentu dalam sistem yang baru, terkhusus pada rekrutmen hakim agung dan
pengawasan terhadap hakim. Hal ini berkesinambungan dengan pernyataan dari Jimly
Asshiddiqie yang dikutip oleh Ahsin Thohari yaitu:
43
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010),
Hlm. 209.
44
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara…, Hlm. 209.
45
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara…, Hlm. 209.
Universitas Indonesia
13
akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun dari segi
etika. Untuk itu, diperlukan institusi pengawasan yang independen terhadap
para hakim itu sendiri.”46
Dalam konstitusi Indonesia, lembaga Komisi Yudisial menurut Pasal 24B ayat
(1) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Komisi Yudisial bersifat mandiri
yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.”47 Sebagai amanat yang telah diatur di dalam
konstitusi Indonesia, selanjutnya Komisi Yudisial diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dalam regulasi tersebut, menyebutkan bahwa
“Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” 48 yang diatur di dalam Pasal
1 butir 1 UU No. 18 Tahun 2011. Dalam perundang-undang tersebut diatur pula
mengenai kewenangan Komisi Yudisial yang diatur di dalam Pasal 13 UU No. 18
Tahun 2011 yang berbunyi sebagai berikut:
47
Indonesia, Undang-Undang Dasar…, Pasal 24B ayat (1).
48
Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial, UU No. 18 Tahun 2011, LN Nomor 106, TLN Nomor 5250, Pasal 1
butir 1.
Universitas Indonesia
14
49
Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Atas…, Pasal 13.
50
Lihat Pasal 19A UU No. 18 Tahun 2011.
51
Dalam Bagian Pembukaan Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan
Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009, disebutkan
bahwa Mahkamah Agung RI merupakan pengawas internal hakim dan Komisi Yudisial RI merupakan
pengawas eksternal hakim.
52
Pasal 81B menyatakan bahwa “Kode etik dan pedoman perilaku hakim harus sudah
ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Lihat Pasal 81B UU
No. 3 Tahun 2009.
Universitas Indonesia
15
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim menurut Peraturan Bersama Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik
Indonesia Nomor 02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012 yang merupakan
pelaksana ketentuan dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana
dimaksud dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi
Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 – 2/SKB/P.KY/IV/2009 menjelaskan
bahwa “Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah panduan keutamaan moral
bagi setiap hakim, baik di dalam maupun di luar kedinasan sebagaimana diatur dalam
Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua
Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 –
02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.”54
54
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI, Peraturan Bersama Ketua Mahkamah
Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012 tentang
Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Pasal 1 butir 1.
55
Terdapat Keputusan Bersama yang menjadi dasar dari dikeluarkannya Peraturan Bersama.
Universitas Indonesia
16
Oleh sebab itu, penelitian tesis ini akan membahas mengenai pelaksanaan
wewenang Komisi Yudisial RI sebagai pengawas eksternal dalam penegakan kode
etik dan pedoman perilaku hakim serta mengenai penyelesaian hukum apabila hakim
melanggar satu dari 10 (sepuluh) prinsip kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Dengan demikian, judul penelitian tesis ini adalah “Pengaturan Penegakan Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim dalam Lingkungan Peradilan Berdasarkan Keputusan
Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009.”
B. Rumusan Masalah
Dalam proposal penelitian ini akan dibahas mengenai beberapa rumusan
masalah yang menjadi fokus penelitan mengenai pengaturan penegakan kode etik
hakim dan pedoman perilaku hakim. Adapun rumusan masalah tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Pelaksanaan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai
Pengawas Eksternal dalam Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim Berdasarkan Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia
Nomor 02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012 ?
56
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI, Peraturan Bersama…, Pasal 4.
Universitas Indonesia
17
Universitas Indonesia
18
57
Lihat Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Universitas Indonesia
19
58
Mengatur tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia.
59
Mengatur tentang Komisi Yudisial Republik Indonesia.
60
Mengatur tentang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
61
Indonesia, Undang-Undang Dasar…, Pasal 24 ayat (2).
Universitas Indonesia
20
dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut.” 62 Adapun asas-
asas penyelenggaran kekuasaan kehakiman adalah sebagai berikut:
62
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2007),
Hlm. 34.
63
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu…, Hlm. 137-138.
64
Lihat Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
65
Indonesia, Undang-Undang Dasar…, Pasal 24C ayat (1).
Universitas Indonesia
21
1) Pengadilan Tinggi68
66
Lihat Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
67
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
68
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.
Universitas Indonesia
22
2) Pengadilan Negeri69
69
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.
70
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Universitas Indonesia
23
72
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
73
Lihat Pasal 1 angka 8 UU Nomor 48 Tahun 2009.
Universitas Indonesia
24
a. Peradilan Umum
1) Pengadilan Anak74;
2) Pengadilan Niaga75;
3) Pengadilan Hak Asasi Manusia76;
4) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi77;
5) Pengadilan Hbungan Industrial78; dan
6) Pengadilan Perikanan79.
b. Peradilan Tata Usaha Negara
1) Pengadilan Pajak80.
c. Peradilan Agama
1) Pengadilan Syariah Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
74
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
75
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2003 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
76
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
77
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
78
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan
Industrial.
79
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
80
Diatur di dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
81
Ajibagoes Pramukti, “Pengadilan Khusus di Indonesia”,
https://ajibagoespramukti.wordpress.com. 7 Juni 2011.
Universitas Indonesia
25
83
Indonesia, Undang-undang tentang Kekuasaan…, Pasal 33.
84
Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 50 Tahun 2009, LN Nomor 159, TLN Nomor 5078,
Pasal 13 ayat (1).
Universitas Indonesia
26
Kode etik merupakan “pola aturan, tata acara, tanda, pedoman etis dalam
melakukan suatu perilaku.”86 Kode etik juga diharapkan dapat melindungi perbuatan
yang tidak profesional dimana setiap bidang profesi pada umumnya memiliki nilai-
nilai yang menjadi pedoman ketika menjalankan profesinya, salah satunya adalah
hakim itu sendiri.87 Dalam rangka menjaga kehormatan dan perilaku hakim, sangat
diperlukan adanya sebuah etika yang berbentuk Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim (KE-PPH) yang dapat menjadi pedoman dan ukuran objektif yang dapat
ditaati oleh semua hakim ketika menjalankan aktivitasnya. Implementasi terhadap
KE-PPH tersebut memiliki implikasi terhadap kepercayaan masyarakat kepada
putusan pengadilan. Contohnya, jika hakim terbukti melanggar ketentuan KE-PPH
tersebut, “maka akan berdampak pada penurunan kepercayaan masyarakat terhadap
citra pengadilan yang independen dan imparsial. Di sisi lain juga, kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga pengadilan merupakan salah satu tolak ukur efektif
atau tidak sebuah lembaga peradilan di dalam negara hukum.” 88 Oleh karena itu, KE-
PPH berisikan unsur-unsur yang menjadi kriteria bagi setiap individu hakim agar
dapat menjadi hakim yang ideal. “Ketentuan yang diatur di dalam KE-PPH tidak
hanya mengatur hakim sebagai individu pengambil keputusan yudisial saja,
melainkan juga sebagai manusia biasa, makhluk Tuhan, dan bagian dari suatu
85
Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, UU No. 49 Tahun 2009, LN Nomor 158, TLN Nomor 5077,
Pasal 13B.
86
Komisi Yudisial RI, Modul Pelatihan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE-PPH),
(Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2014), Hlm. 25.
87
Purwoto S. Gandasubrata dikutip di dalam Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku
Hakim (Code of Conduct) Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, (Jakarta: Mahkamah Agung RI,
2006), Hlm. 3.
88
Cynthia Gray, Ethical Standards for Judges, (Des Moines: American Judicature Society,
2009), Hlm. 1.
Universitas Indonesia
27
masyarakat. Hakim yang memiliki budi pekerti luhur dapat menunjukkan bahwa
profesi hakim memang memiliki sifat kemuliaan (officium nobile).”89
Pada awal penyusunannya, pedoman kode etik hakim dicetuskan pertama kali
dalam Kongres IV Luar Biasa IKAHI tahun 1966 di Semarang. Mahkamah Agung RI
merespon pedoman tersebut dan segera melakukan kajian dan menerima masukan
dari hakim di berbagai tingkatan dan lingkungan peradilan, kalangan praktisi hukum,
serta pihak lain-lain dalam masyarakat. Kemudian, pada tanggal 30 Maret 2021
berdasarkan hasil Musyawarah Nasional IKAHI ke-13 di Bandung, berhasil
mendefinisikan sifat-sifat yang wajib dimiliki oleh seorang Hakim, kemudian sifat-
sifat tersebut digambarkan di dalam lambing menjadi Panca Darma Hakim, yaitu
sebagai berikut:
89
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI, Keputusan Bersama…, Bagian Pembukaan
Hlm. 4.
90
IKAHI, “Panca Brata Hakim”, https://ikahi.or.id/tentang-ikahi.
Universitas Indonesia
28
Demikian pula Komisi Yudisial (KY) RI selaku lembaga yang dibentuk untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim,
juga mengkaji secara mendalam untuk menyusun kode etik dan pedoman perilaku
hakim yang bisa menjadi pegangan bagi para hakim seluruh Indonesia. Oleh karena
itu, pada tahun 2009 Mahkamah Agung RI bersama Komisi Yudisial RI menerbitkan
Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI
Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim. KE-PPH yang disusun tersebut memuat 10 (sepuluh)
prinsip-prinsip dasar, yaitu:
a. “berperilaku adil;
b. berperilaku jujur;
c. berperilaku arif dan bijaksana;
d. bersikap mandiri;
e. berintegritas tinggi;
f. bertanggung jawab;
g. menjunjung tinggi harga diri;
h. berdisiplin tinggi;
i. berperilaku rendah hati; dan
j. bersikap profesional.”92
91
Dio Ashar W., Implementasi Kode Etik…, Hlm. 7.
92
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI, Peraturan Bersama…, Pasal 4.
Universitas Indonesia
29
93
Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim (ed kedua), (Jakarta: Kencana Prenamedia
Group, 2013), Hlm. 127-128.
94
Soejono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
(Jakarta: Rajawali Pers, 2001), Hlm. 13-14.
Universitas Indonesia
30
2. Tipologi Penelitian
3. Jenis Data
Universitas Indonesia
31
Universitas Indonesia
32
c. Sumber Tersier
Alat pengumpulan data yang digunakan pada penelitian tesis ini adalah
studi kepustakaan. “Studi kepustakaan yang dilakukan untuk mendapatkan
sumber sekunder berupa buku buku yang berhubungan dengan objek
penulisan.”96
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2006), Hlm. 53.
Universitas Indonesia
33
F. Sistematika Penelitian
Universitas Indonesia
34
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
2010.
2006.
Persada, 2010.
Universitas Indonesia
35
Mulyadi, Mahmud dan Feri Antoni Subakti. Politik Hukum Pidana Terhadap
Mustofa, Wildan Sayuthi. Kode Etik Hakim (ed Kedua). Jakarta: Kencana
Eresco, 1989.
Intermasa, 1989.
2004.
Universitas Indonesia
36
B. JURNAL
Vickie, Hendrawati Siti dkk. “Aspek Penegakan Kode Etik Hakim dalam
Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman yang Bermartabat dan
Berintegritas”, Varia Justicia, Vol. 12 No. 1 (2016).
C. INTERNET
D. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Universitas Indonesia
37
Universitas Indonesia