Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HAL-HAL TERKAIT MAJELIS HAKIM DI MUKA SIDANG

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama

Dosen Pengampu:

Septi Wulan Sari, S.Si., M.H

Disusun oleh:
Kelompok 7
1. Yogi Dwi Ariyanti (126103212231)
2. Khariratul Nafi’ah (126103212247)
3. M. Fikri Fajrul Falah (126103213266)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

OKTOBER 2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami haturkan kehadirat Allah SWT, atas segala
karunia dan rahmat-Nya sehingga makalah tentang Hal-hal Terkait Majelis Hakim
di Muka Sidang dapat terselesaikan dengan baik. Tak lupa shalawat serta salam
semoga senantiasa abadi tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW
agar kelak mendapat syafaatnya di dunia dan akhirat.

Sehubungan dengan terselesaikannya makalah ini, maka penulis


mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Maftukhin, M.Ag. selaku Rektor UIN Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung.
2. Bapak Dr. Nur Efendi, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu
Hukum.
3. Bapak Ahmad Gelora Mahardika, M.H. selaku Kordinatoor Program Studi
Hukum Tata Negara.
4. Ibu Septi Wulan Sari, S.Si., M.H. selaku dosen mata kuliah Hukum Acara
Peradilan Agama.
5. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.

Dengan penuh harap semoga jasa kebaikan mereka diterima Allah SWT,
dan tercatat sebagai amal shalih. Akhirnya, makalah ini penulis suguhkan kepada
segenap pembaca, dengan harapan adanya saran dan kritik yang bersifat kondusif
demi perbaikan. Semoga makalah ini bermanfat dan mendapat ridho Allah SWT.

Tulungagung, 19 Oktober 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ...................................................................................................... i


Kata Pengantar ......................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................ iii

BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................. 2

BAB II : PEMBAHASAN ................................................................................. 3


A. Pemeriksaan Majelis Hakim dimuka Sidang................................... 3
B. Tahap-tahap Pemeriksaan Perkara ................................................ 10
BAB III : PENUTUP ......................................................................................... 14
A. Kesimpulan .................................................................................... 14
B. Saran .............................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1


ayat (3) Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Sebagai konsekuensi
dari Negara hukum, semua tindakan yang dilakukan baik oleh penyelenggara
Negara maupun oleh warganegara harus diatur dalam Undang Undang Dasar
dan Undang-undang. Di dalam negara hukum, kekuasaan kehakiman
merupakan badan yang sangat menentukan isi dan kekuatan kaidah-kaidah
hukum positif dalam konkritisasi oleh hakim pada putusannya di depan
Pengadilan, yang nantinya menjadi yurisprudensi.
Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa bagaimanapun baiknya
segala peraturan hukum yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha
menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-
peraturan itu tidak ada artinya apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang
dilakukan oleh hakim yang mempunyai kewenangan untuk memberi isi dan
kekuatan pada norma hukum dalam Undang-undang dan peraturan hukum
lainnya.

Keberadaan hukum baru terasa saat adanya suatu sengketa dan sarana
terakhir untuk menyelesaikan suatu sengketa hukum itu adalah melalui pranata
pengadilan yang berwujud pada putusan hakim.1 Pengadilan pada Umumnya
dan khususnya Pengadilan Agama bukan merupakan badan yang sepenuhnya
otonom, melainkan senantiasa menjalankan pertukaran dengan lingkungannya
yang lebih besar. Dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan,
bahwa : “Peradilan Negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan
berdasrkan Pancasila” (pertukaran pengadilan dengan Pancasila), dan “Hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat” (pertukaran
antara pengadilan dengan dinamika masyarakat). Pengadilan me rupakan

1
Arbijoto, Kebebasan Hakim, Analisis Kritis Terhadap Peran Hakim Dalam
Menjalankan Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta, DM, 2010), hlm. 8

1
institusi yang dinamis. Dinamika itu bisa juga dibaca sebagai suatu institusi
yang menata kembali masyarakat dan menginterpretasikan teks-teks undang-
undang dalam konteks masyarakat serta perubahan-perubahannya. 2 Maka,
dengan ini pemakalah akan membahas lebih lengkap mengenai hal hal terkait
majelis hakim dimuka sidang.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pemeriksaan Majelis Hakim di muka sidang?
2. Apa saja tahap-tahap pemeriksaan perkara?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pemeriksaan Majelis Hakim di muka sidang.
2. Untuk mengetahui tahap-tahap pemeriksaan perkara.

Satjipto Rahardjo, “Pengadilan Agama sebagai Pengadilan Keluarga”, dalam


2

Mimbar Hukum No. 10 thn. IV 1993, Hlm. 32

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemeriksaan Majelis Hakim di Muka Sidang


1. Jumlah Majelis Hakim
Hakim adalah aparat hukum negara yang diberi wewenang oleh hukum
untuk mengambil keputusan berdasarkan Pasal 1 ayat (8) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Pasal 1 ayat (5) Undang-
Undang No. 48 Tahun 2009 yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman
(UU Kekuasaan Kehakiman), yang disebut dengan hakim adalah hakim
pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan
tersebut. Jumlah hakim saat memeriksa dan memutus perkaraa di pengadilan
diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU adalah
sebagai berikut :
a. Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan
susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali
undang-undang menentukan lain.
b. Susunan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari
seorang hakim ketua dan dua orang hakim anggota.
Pengaturan jumlah hakim yang ganjil ini dapat kita lihat pengaturannya
dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, diantaranya:
a. Hakim di Mahkamah Konstitusi (MK)
MK mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan dengan Keputusan Presiden, diatur dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Susunan itu sendiri berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU No.
8 Tahun 2011 terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang
wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim
konstitusi. Dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun

3
2003 tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa pada dasarnya,
MK memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno MK
dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, akan tetapi dalam
keadaan luar biasa dapat dilakukan dengan 7 (tujuh) orang hakim
konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi. Adapun
yang dimaksud dengan “keadaan luar biasa” menurut penjelasan
Pasal 28 ayat (1) UU MK adalah meninggal dunia atau terganggu
fisik/jiwanya sehingga tidak mampu melaksanakan kewajiban
sebagai hakim konstitusi.
b. Hakim di Mahkamah Agung
Jumlah hakim Mahkamah Agung saat memeriksa dan memutus
perkara diatur dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah pertama kali
dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan kedua kali dengan
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 yang bunyinya, “Mahkamah
Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
orang Hakim”.
c. Hakim di Pengadilan Anak
Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, hakim memeriksa dan memutus perkara
anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal.
d. Hakim di Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM)
Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pemeriksaan perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh majelis
hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas
2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan
3 (tiga) orang hakim. Dalam penjelasan pasal ini dikatakan bahwa
ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar majelis hakim selalu
berjumlah ganjil.
Secara implisit, jumlah hakim yang memeriksa perkara perdata juga
terdapat dalam Pasal 153 HIR yang bunyinya:

4
1) Jika ditimbang perlu atau ada faedahnya, maka Ketua boleh
mengangkat satu atau dua orang Komisaris dari pada dewan itu, yang
dengan bantuan panitera Pengadilan Negeri akan melihat keadaan
tempat atau menjalankan pemeriksaan di tempat itu, yang dapat
menjadi keterangan bagi hakim.
2) Panitera Pengadilan hendaklah membuat proses perbal atau berita
acara tentang pekerjaan itu dan hasilnya yang perlu ditandatangani
oleh komisaris-komisaris dan panitera pengadilan itu.
2. Penggantian Hakim Jika Berhalangan di Persidangan
Contoh kasus hakim pada pengadilan negeri dalam penyelesaian perkara
pidana, berpedoman pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 198 ayat (1) KUHAP mengatur
mengenai penggantian hakim dalam hal hakim berhalangan, yaitu dalam hal
seorang hakim atau penuntut umum berhalangan, maka ketua pengadilan
atau pejabat kejaksaan yang berwenang wajib segera menunjuk pengganti
pejabat yang berhalangan tersebut. Jadi dalam hal hakim berhalangan, maka
wajib diganti segera oleh ketua pengadilan. Yahya Harahap mengatakan
bahwa siapapun yang berhalangan, persidangan harus jalan terus. Dengan
demikian, Pasal 198 ayat (1) KUHAP menganut prinsip: “persidangan tidak
boleh ditunda atas alasan berhalangan”. Siapa yang berhalangan harus
segera diganti, agar pemeriksaan di sidang pengadilan lancar.3 Selanjutnya
Yahya menjelaskan bahwa jika salah seorang hakim berhalangan, Ketua
Pengadilan Negeri wajib segera menunjuk pengganti pejabat yang
berhalangan. Ketentuan Pasal 198 ayat (1) KUHAP bersifat “imperatif” atau
bersifat “memaksa”. Dalam ketentuan ini terdapat kata-kata “wajib segera”
mengganti pejabat yang berhalangan. Kewajiban itu diletakkan pada pundak
Ketua Pengadilan Negeri untuk mengganti segera hakim yang berhalangan.
Berarti setiap Ketua Pengadilan Negeri harus selalu memonitor dan
mengawasi jalannya pemeriksaan suatu perkara supaya mereka dapat segera
bertindak mengganti pejabat yang berhalangan.

3
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, hal. 257.

5
Apabila Ketua Pengadilan Negeri berhalangan menghadiri persidangan
tetapi tidak segera menunjuk penggantinya, baik penuntut umum maupun
terdakwa atau penasehat hukum dapat melaporkan hal itu kepada Ketua
Pengadilan Tinggi dan meminta supaya Ketua Pengadilan Tinggi menunjuk
hakim penggantinya. Pengadilan Tinggi sebagai instansi pengawas langsung
Pengadilan Negeri, mempunyai wewenang mengawasi kelancaran jalannya
peradilan di wilayah hukumnya.
3. Larangan Hakim Menyidangkan Perkara dan Hak Ingkar
Ketentuan Hak Ingkar terhadap Hakim yang memeriksa perkara diatur
dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman diantaranya:
a) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang
mengadili perkaranya.
b) Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang
yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan
terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.
c) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila
terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga,
atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua,
salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.
d) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan
diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri
meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.
e) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan
apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung
dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri
maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
f) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap
hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif
atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6
g) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa
kembali dengan susunan majelis hakim.
4. Sidang Keliling dan Berkamar
Sidang keliling adalah sidang pengadilan yang dilaksanakan di luar
gedung pengadilan yang layanannya terutama ditujukan bagi warga negara
yang mengalami hambatan geografis dan ekonomis untuk datang ke kantor
pengadilan karena alasan jarak, transportasi dan biaya 4 . Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di
Pengadilan Pasal 1 ayat 5 menyebutkan bahwa sidang di luar gedung
pengadilan adalah sidang yang dilaksanakan secara tetap, berkala atau
sewaktu-waktu oleh Pengadilan di suatu tempat yang ada di dalam wilayah
hukumnya tetapi di luar tempat kedudukan gedung Pengadilan dalam bentuk
sidang keliling atau sidang di tempat sidang tetap. Sasaran sidang keliling
adalah masyarakat yang berdomisili jauh dari pusat-pusat kota atau yang
memerlukan waktu dan biaya untuk mencapai gedung Pengadilan.
Pada dasarnya, penyelesaian perkara pada sidang keliling berdasarkan
pada azas sederhana, cepat dan biaya ringan, dalam pengertian bahwa
sederhana dalam memasukan gugatan/permohonan, cepat dalam proses
persidangan (dari pemeriksaan, pembuktian, hingga putusan) dan tidak
mengeluarkan biaya besar, walaupun kenyataannya panjar biaya perkara
ditaksir berdasarkan radius dari gedung pengadilan yang jaraknya relatif
cukup jauh. Berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama bahwa: “Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota
Kabupaten/Kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota”.
Sedangkan sidang berkamar adalah pada suatu pengadilan di waktu yang
bersamaan, diadakan beberapa sidang majelis hakim, umumnya karena
perkara terlalu banyak dan jumlah tenaga hakim memungkinkan.

4
Hazar Kusmayanti, dkk, Jurnal Hukum Acara Perdata, ADHAPER, Vol. 1 No. 2, (Surabaya:
Airlangga University Press, 2005), h. 102.

7
5. Susunan Tempat Duduk Hakim dan Panitera
Berdasarkan Surat Edaran MA Nomor 22 Tahun 1969, Mahkamah
Agung memberi petunjuk tentang formasi dipersidangan Pengadilan sebagai
berikut:
1. Ketua Sidang duduk di tengah sidang di sebelah kanannya para Hakim
Anggota menurut urutan senioritasnya (ancieniteit) dan di sebelah kiri
Panitera/Panitera Pengganti,
2. Sebaiknya duduknya Jaksa pada meja yang terpisah dengan meja Hakim
yang terletak di sebelah kanannya.
3. Sedang untuk pembela/Pengacara/advokat disediakan tempat di sebelah
kiri meja Hakim.
6. Toga Hakim dan Baju Panitera
Mengenakan atribut dalam persidangan perkara perdata (hukum acara
perdata) diatur dalam Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR),
sedangkan dalam persidangan perkara pidana (hukum acara pidana) diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Aturan
mengenai kewajiban untuk memakai pakaian sidang (toga) dalam sidang
pidana bagi hakim, jaksa, penasihat hukum, dan panitera diatur dalam Pasal
230 ayat (2) KUHAP yang berbunyi, “Dalam ruang sidang, hakim, penuntut
umum, penasihat hukum dan panitera mengenakan pakaian sidang dan
atribut masing-masing.” Pengaturan mengenai pemakaian atribut hakim ini
juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Atribut hakim
yang diatur pada Pasal 4 PP No. 27 Tahun 1983 yang bunyinya:
1. Selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan, hakim, penuntut umum,
panitera dan penasihat hukum, menggunakan pakaian sebagaimana
diatur dalam pasal ini;

8
2. Pakaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi hakim, penuntut
umum dan penasihat hukum adalah toga berwarna hitam, dengan lengan
lebar, simare dan bef dengan atau tanpa peci hitam;
3. Perbedaan toga bagi hakim, penuntut umum, dan penasihat hukum
adalah dalam ukuran dan warna dari simare dan bef;
4. Pakaian bagi panitera dalam persidangan adalah jas berwarna hitam,
kemeja putih dan dasi hitam;
5. Hal yang berhubungan dengan ukuran dan warna dari simare dan bef
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) serta kelengkapan pakaian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Menteri;
6. Selain memakai pakaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hakim
dan penuntut umum memakai atribut;
7. Atribut sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
Dari ketentuan di atas dijelaskan bahwa atribut hakim itu meliputi: toga
berwarna hitam dengan lengan lebar, simare, dan bef dengan atau tanpa peci
hitam. Lebih lanjut, pada Pasal 5 PP No. 27 Tahun 1983 mengatakan bahwa
ketentuan mengenai pakaian dan atribut dalam sidang bagi hakim agung dan
panitera pada Mahkamah Agung, diatur tersendiri oleh Mahkamah Agung.
Adapun kewajiban hakim untuk mengenakan toga dalam setiap sidang
pengadilan salah satunya diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No.
6 Tahun 1966 tentang Pemakaian Toga Dalam Sidang. Di dalam surat
edaran yang ditujukan bagi hakim pada pengadilan tinggi dan pengadilan
negeri, para hakim diinstruksikan mengenakan toga dalam sidang-sidang
pengadilan untuk menambah suasana khidmat sidang pengadilan. Lebih
khusus lagi, pengaturan mengenai atribut hakim ini dapat dilihat dalam
Peraturan Menteri Kehakiman Nomor: M.07.UM.01.06 Tahun 1983 tentang
Pakaian, Atribut Pejabat Peradilan dan Penasehat Hukum (Permen
Kehakiman M.07.UM.01.06/1983).
Menurut Pasal 1 Permen Kehakiman M.07.UM.01.06/1983, selama
pemeriksaan dalam sidang pengadilan, hakim, penuntut umum, dan
penasehat hukum memakai toga berwarna hitam dengan lengan lebar,

9
simare dan bef, dengan atau tanpa peci. Berikut adalah ketentuan-ketentuan
atribut yang wajib dikenakan hakim saat bersidang sebagaimana yang kami
sarikan dari Permen Kehakiman M.07.UM.01.06/1983:
1. Toga adalah mantel panjang dan lebar, dengan lengan lebar diberi
lipatan pada pangkal lengan dan kerah berdiri.
2. Simare dibuat dari kain beludru atau saten.
3. Bef dibuat dari kain baptis putih.
4. Toga bagi hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, pada pangkal
lengan diberi lipatan 8 buah dan kancing 17 buah serta diberi kaitan
pada bahu untuk memasang kalung jabatan.
5. Bef bagi hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi berukuran 25
5/15 dan berlipat-lipat.
6. Untuk sidang biasa, hakim pria memakai celana panjang harian dengan
sepatu dan kaos kaki hitam. Bagi hakim wanita memakai rok harian
dengan sepatu hitam tertutup tanpa kaos kaki.
7. Selain toga, hakim dalam persidangan memakai lencana yang
dilekatkan pada dada sebelah kiri.
Untuk keperluan acara seperti penyumpahan Ketua, Anggota DPR atau
DPRD, pelantikan ketua, wakil ketua, dan hakim anggota pengadilan negeri
atau pengadilan tinggi, selain toga, hakim memakai kalung jabatan, celana
hitam dan peci hitam dari beludru, sedang bagi hakim wanita memakai rok
hitam tanpa peci. 5

B. Tahap-tahap Pemeriksaan Perkara


1. Tahap Sidang Pertama sampai anjuran damai (Mediasi)
Tahapan ini terdiri dari hakim membuka sidang, hakim menanyakan
identitas para pihak-pihak pembacaan surat gugatan atau permohonan dan
anjuran damai.
Hal-hal yang perlu penekanan disini antara lain :

5
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar,
Grafika, 2001), h. 56

10
a. Sekalipun menurut HIR anjuran damai di sini di dahulukan dari
pembacaan surat gugatan/permohonan, sebaiknya kita
mendahulukan membacakan surat gugatan, permohonan dari pada
anjuran damai.
b. Anjuran damai baik dilakukan kapan saja di dalam sidang tetapi
anjuran damai ditahap ini adalah wajib serta mutlak perlu di
cantumkan dalam Berita Acara Sidang, terlepas dari pada tercapai
perdamaian atau tidaknya.
c. Pada sidang pertama ini, ada hal-hal penting yang mungkin terjadi
dan sangat berpengaruh terhadap proses perkara, seperti eksepsi,
reconventie, intervensi, dan sebagainya, bahkan mungkin juga
tergugat/termohon tidak hadir tanpa alasan.
2. Tahap Jawab-Berjawab (Replik-Duplik)
Hal yang perlu diingat disini :
a. Tergugat/termohon selalu mempunyai hak bicara terakhir.
b. Pertanyaan hakim kepada pihak hendaklah terarah, hanya
menanyakan yang relevant dengan hukum.
c. Semua jawaban atau pertanyaan dari pihak ataupun dari hakim,
harus melalui dan izin dari ketua majelis.
d. Pertanyaan dari hakim kepada pihak, yang bersifat umum atau
policy arahnya sidang, selalu oleh hakim ketua majelis. Bilamana
pihak-pihak dan hakim tau dan mengerti jawaban atau pertanyaan
mana yang terarah dan relevant dengan hukum, tentunya proses
perkara akan cepat, singkat dan tepat.
3. Tahap Pembuktian
Hal-hal yang perlu ditekankan disini adalah :
a. Setiap pihak mengajukan bukti, hakim perlu menanyakan kepada
pihak lawannya, apakah ia keberatan/ tidak. Jika alat bukti saksi
yang dikemukakan, hakim juga harus member kesempatan kepada
pihak lawannya kalau-kalau ada sesuatu yang ingin ditanyakan oleh
pihak lawan tersebut kepada saksi.

11
b. Semua alat bukti yang disodorkan oleh pihak, harus disampaikan
kepada ketua majelis lalu ketua majelis memperlihatkannya kepada
para hakim dan pihak lawan dari yang mengajukan bukti
c. Keaktifan mencari dan menghadirkan bukti di muka sidang adalah
tugas pihak itu sendiri dan hakim hanya membantu kalau diminta
tolong oleh pihak, seperti memanggil saksi.6
4. Tahap Penyusunan Konklusi
Setelah tahap pembuktian berakhir, sebelum musyawarah Majelis Hakim
pihak-pihak boleh mengajukan konklusi (kesimpulan-kesimpulan dari
sidang-sidang menurut pihak yang bersangkutan). Karena konklusi ini
sifatnya membantu majelis, pada umumnya konklusi tidak diperlukan bagi
perkara-perkara yang simpel, sehingga hakim boleh meniadakannya. Kita
ingat bahwa Hakim juga manusia yang kemampuan ingatnya terbatas,
disamping mungkin ada diantara sidang-sidang yang Hakim anggotanya
berganti dan itulah perlunya konklusi. Pihak yang sudah biasa berperkara,
biasanya selalu membuat catatan-catatan penting setiap suatu sidang
berakhir, dan itulah nanti yang akan diajukannya, sebagai konklusi terakhir.
5. Musyawarah Majelis Hakim
Menurut undang-undang, musyawarah majelis hakim dilakukan secara
rahasia, tertutup untuk umum. Semua pihak maupun hadirin disuruh
meninggalkan ruang sidang. Panitera sidang sendiri, kehadirannya dalam
musyawarah majelis hakim adalah atas izin majelis. Dikatakan rahasia
artinya, baik dikala musyawarah maupun sesudahnya, kapan dan dimana
saja, hasil mustawarah majelis tersebut tidak boleh dibocorkan sampai ia
diucapkan dalam keputusan yang terbuka untuk umum.
6. Pengucapan Keputusan
Pengucapan keputusan hanya boleh dilakukan setelah keputusan selesai
terkonsep rapi yang sudah ditanda tangani oleh hakim dan panitera sidang.
Selesai keputusan diucapkan, hakim ketua majelis akan menanyakan kepada
pihak, baik tergugat ataupun penggugat, apakah mereka menerima

6
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006),
Hlm 143.

12
keputusan ataukah tidak. Bagi pihak yang hadir dan menyatakan menerima
keputusan maka baginya tertutup upaya hukum banding, bagi pihak yang
tidak menerima dan pikir-pikir dahulu baginya masih terbuka.7

7
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di LingkunganPeradilan Agama, cet.
ke-5, (Jakarta: Kencana, 2008), Hlm 227.

13
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hakim adalah aparat hukum negara yang diberi wewenang oleh hukum
untuk mengambil keputusan berdasarkan Pasal 1 ayat (8) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ketentuan Hak Ingkar terhadap
Hakim yang memeriksa perkara diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pemeriksaan majelis
hakim dimuka sidang dimulai dari jumlah Majelis Hakim (Sekurangnya 3
orang), pergantian Majelis Hakim, Larangan Hakim Menyidangkan Perkara
dan hak ingkar, sidang keliling dan berkamar, susunan tempat duduk Hakim
dan Panitera, toga Hakim dan baju Panitera
Tahapan ini terdiri dari hakim membuka sidang, hakim menanyakan
identitas para pihak-pihak pembacaan surat gugatan atau permohonan dan
anjuran damai. Adapun tahapan pemeriksaan perkara dimulai dari tahap
sidang pertama sampai anjuran damai (Mediasi), replik duplik, pembuktian,
penyusunan konklusi, musyawarah Majelis Hakim, pengucapan keputusan.
Pengucapan keputusan hanya boleh dilakukan setelah keputusan selesai
terkonsep rapi yang sudah ditanda tangani oleh hakim dan panitera sidang.

B. SARAN
Penulis menyarankan agar kita dapat mengambil hal-hal baik tentang
penjelasan mengenai Majelis Hakim dimuka sidang, serta dapat dijadikan
sebagai referensi bagi penulis selanjutnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan. 2008. Penerapan Hukum Acara Perdata di LingkunganPeradilan


Agama, cet. ke-5, Jakarta: Kencana
M. Yahya Harahap. 2001. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Jakarta: Sinar, Grafika
Roihan A. Rasyid. 2006. Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta:Raja Grafindo
Persada
Hazar Kusmayanti, dkk. 2005. Jurnal Hukum Acara Perdata, ADHAPER, Vol. 1
No. 2, Surabaya: Airlangga University Press
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali
Arbijoto. 2010. Kebebasan Hakim, Analisis Kritis Terhadap Peran Hakim Dalam
Menjalankan Kekuasaan Kehakiman, Jakarta, DM
Satjipto Rahardjo.1993. “Pengadilan Agama sebagai Pengadilan Keluarga”,
dalam Mimbar Hukum No. 10 thn. IV

15

Anda mungkin juga menyukai