Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

VERZET, BANDING, KASASI DAN PK


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama

Dosen Pengampu :

Septi Wulan Sari, S.Si., M.H

Disusun oleh Kelompok 11 :

1. Kusuma Prayoga (126103212237)

2. Alberta Kalonica Efendi (126103213256)

3. Nafa' Roziq Prastyan Samudra (126103213270)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

NOVEMBER 2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami haturkan kehadirat Allah SWT, atas segala
karunia dan Rahmat-Nya sehingga makalah tentang sistem pemilu proporsional,
distrik, satu partai, dua partai, dan multi partai dapat terselesaikan dengan baik. Tak
lupa shalawat serta salam semoga senantiasa abadi tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW agar kelak mendapat syafaatnya di dunia dan akhirat.

Sehubungan dengan terselesaikannya makalah ini, maka penulis mengucapkan


terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Maftukhin, M.Ag. selaku Rektor UIN Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung.

2. Bapak Dr. Nur Efendi, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu
Hukum.

3. Bapak Ahmad Gelora Mahardika, M.H. selaku Kordinatoor Program Studi


Hukum Tata Negara.

4. Ibu Septi Wulan Sari, S.Si., M.H selaku dosen mata kuliah hukum acara
perdilan agama.

5. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.

Dengan penuh harap semoga jasa kebaikan mereka diterima Allah SWT, dan
tercatat sebagai amal shalih. Akhirnya, makalah ini penulis suguhkan kepada segenap
pembaca, dengan harapan adanya saran dan kritik yang bersifat kondusif demi
perbaikan. Semoga makalah ini bermanfaat dan mendapat ridho Allah SWT.

Tulungagung, November 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul i
Kata Pengantar i
Daftar Isi iii

BAB I : PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang Masalah 4
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penulisan 5

BAB II : PEMBAHASAN 6
A. Verzet 6
B. Banding 9
C. Kasasi 14
D. Peninjauan kembali 16

BAB III : PENUTUP 20


A. Kesimpulan 20
B. Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Upaya hukum adalah upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki
kekeliruan dalam suatu putusan. Upaya hukum ialah suatu upaya yang diberikan
oleh undang-undang bagi seseorang maupun badan hukum dalam hal tertentu
untuk melawan putusan hakim sebagai suatu tempat bagi para pihak yang tidak
puas atas adanya putusan hakim yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan,
karena hakim itu juga seorang manusia yang bisa secara tidak sengaja
melakukan kesalahan yang dapat menimbulkan salah mengambil keputusan atau
memihak kepada salah satu pihak. Adapun jenis-jenis upaya hukum dalam
Hukum Acara Perdata dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu:

1. Upaya hukum biasa, adalah upaya hukum yang dipergunakan bagi


putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap yang terdiri dari:
(a). Perlawanan (verzet), diatur dalam Pasal 129 ayat (1), Pasal 196,
Pasal 197 HIR; (b). Banding, diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UU No.
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, (c). Kasasi, diatur
dalam Pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
dan;

2. Upaya hukum luar biasa, adalah suatu upaya hukum dilakukan atas
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inracht van
gewijsde).dan upaya hukum ini dalam asasnya tidaklah menangguh-
kan pelaksanaan eksekusi. Upaya hukum luar biasa terdiri dari: (a).
Perlawanan pihak ketiga (denden verzet) terhadap sitaeksekutorial
(vide Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 306 K/
Sip/1962 tanggal 21 Oktober 1962; (b). Peninjauan kembali (request
civil), diatur dalam Pasal 66, Pasal 67, Pasal 71, Pasal 72 UU No. 14
tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 tahun 1982.1

1
Jurnal Hikmah, Volume 15, No. 1, Januari – Juni 2018, ISSN :1829-8419

4
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Verzet?

2. Apa yang dimaksud dengan Banding?

3. Apa yang dimaksud dengan Kasasi?

4. Apa yang dimaksud dengan Peninjauan Kembali?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Verzet

2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Banding

3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Kasasi

4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Peninjauan Kembali

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Verzet

Verzet merupakan suatu upaya hukum untuk melakukan perlawanan


terhadap putusan verstek. Tergugat yang dihukum sedang ia tidak hadir (verstek)
dan tidak menerima putusan verstek dapat mengajukan perlawanan atas putusan
tersebut.

Bahwa menurut Pasal 129 HIR, Pasal 153 RBg yang mengatur berbagai
aspek mengenai upaya hukum terhadap putusan verstek adalai sebagai berikut :

Ayat (1) menegenai bentuk upaya hukumnya, yaitu perlawanan atau


vezet

Ayat (2) mengenai tenggang waktunya.

Ayat (3) mengatur cara pengajuan upaya hukumnya.

Ayat (4) mengatur permintaan penundaan eksekusi putusan verstek.

Ayat (5) ketentuan tentang pengajuan verzet terhadap verstek.

Bentuk Upaya Hukum Perlawanan (Verzet).

Berdasarkan Pasal 129 ayat (1)/ Pasal 153 ayat (1) RBg atau Pasal 83
Rv upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan verstek adalah
perlawanan atau verzet. Atau biasa juga disebut Verzet tegen verstek atau
perlawanan terhadap putusan verstek. Jadi apabila tergugat dijatuhkan putusan
verstek sedang ia keberatan terhadap putusan tersebut maka ia dapat
mengajukan upaya hukum perlawanan verzet bukan upaya hukum banding, dan
jika diajukan upaya hukum banding maka upaya hukumnya menjadi cacat
formil dan tidak dapat diterima.

Yang Berhak Mengajukan Perlawanan Dan Ditarik sebagai Terlawan.

Bahwa yang berhak mengajukan perlawanan (verzet) hanya tergugat,


sedang kepada Penggugat tidak diberikan hak mengajukan perlawanan,
ketentuan tersebut sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor

6
524K/Sip/1975 tanggal 28 Pebruari 1980 Yurisprudensi Mahkamah Agung
Tahun 1979. Hal 203. Dimana verzet terhadap putusan verstek hanya dapat
diajukan oleh pihak-pihak (tergugat) dalam perkara tidak oleh pihak ketiga.
Adapun perluasan hak terhadap tergugat untuk mengajukan perlawanan adalah
hanya ahli warisnya , apabila pada tenggang waktu pengajuan perlawanan
tergugat meninggal dunia, atau dapat diajukan oleh kuasanya, berdasarkan surat
kuasa khusus sebagaimana digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR/ Pasal 147 ayat (1)
RBg jo SEMA Nomor 1 Tahun 1971 dan SEMA Nomor 6 Tahun 1994. Adapun
yang dapat ditarik sebagai Terlawan terbatas hanya pada diiri penggugat semula
sebagaimana dijelaskan Pasal 129 ayat (1) HIR/ Pasal 153 ayat (1) RBg dan
ditegaskan pula Putusan Mahkamah Agung Nomor 434K/Pdt/1983.

Adapun upaya hukum putusan verstek bagi penggugat adalah banding.


Dan apabila penggugat mengajukan Banding, gugurlah hak Tergugat
mengajukan Perlawanan (verzet). Dimeikian Pasal 8 Undang-Undang Nomor
20 Tahun 1947 menegaskan.

Tenggang Waktu Mengajukan Perlawanan.

Menurut pasal 129 ayat (2) HIR/ Pasal 153 ayat (2) RBg tenggang
waktu untuk mengajukan perlawanan (verzet) adalah 14 hari terhitung dari
tanggal pemberitahuan putusan verstek oleh Jurusita Pengganti kepada diri
pribadi tergugat atau kuasanya. Dan apabila putusan tidak disampaikan kepada
diri pribadi tergugat (in person), verzet masih bisa diajukan sampai hari ke 8
(delapan) sesudah aanmaning. kemudian apabila tengang waktu tersebut
dilampoi maka mengakibatkan :

a. Gugur hak tergugat mengajukan perlawanan.

b. Tergugat dianggap menerima putusan verstek.

c. Terhadapnya tertutup tertutup upaya hukum banding dan kasasi.

Proses Pemeriksaan Perlawanan

1. Perlawanan diajukan kepada Pengadilan Agama yang menjatuhkan


putusan verstek.

7
2. Perlawana terhadap verstek bukan perkara baru, melainkan berupa
bantahan yang diajukan kepada ketidak benaran dalil gugatan
dengan alasan verstek yang dijatuhkan keliru dan tidak benar, oleh
karenannya Putusan MA Nomor 307K/Sip/1975 mengingatkan
bahwa verzet terhadap verstek tidak boleh diperiksa dan diputus
sebagai perkara baru.

3. Perlawanan Mengakibatkan putusan verstek mentah kembali.

4. Pemeriksaan Perlawanan

1. Pemeriksaan berdasarkan gugatan semula.

2. Proses Pemeriksaan dengan acara biasa.

3. Surat perlawanan sebagai jawaban tergugat terhadap dalil


gugatan

PROSEDUR DERDEN VERZET

1. Diajukan oleh pihak ketiga guna membela dan mempertahankan


hak kepentingannya di pengadilan, bukan sebagai kewajiban.

2. Pelawan bukan subjek yang terlibat langsung sebagai pihak


dalam putusan yang dilawan.

3. Pada derden verzet Pelawan harus menarik seluruh pihak yang


terlibat dalam putusan yang di lawan, dan hal ini merupakan
syarat mutlak yang tidak boleh diabaikan, bila diabaikan
mengandung cacat formal berupa error in persona yang dapat
mengakibatkan putusan di N.O. ( niet ont vankelijkverklaard ).

4. Tenggang waktu derden verzet dapat dikatakan luas tetapi juga


dapat dikatakan sempit, karena tidak dibatasi oleh jumlah hari,
minggu, bulan, dan bahkan tahun. yang membatasinya adalah
eksekusi putusan. Kalau eksekusi itu cepat, maka cepat pula
habisnya tenggang waktu untuk mengajukan derden verzet,
apabila lambat maka lambat pula berakhirnya tenggang waktu
untuk mengajukan derden verzet.

5. Derden Verzet didaftar sebagai perkara baru dengan membayar

8
biaya perkara baru, terpisah dari nomor perkara yang di lawan.

6. Karena Derden Verzet itu sebagai perkara baru, maka yang


menjadi bahan pemeriksaan adalah perlawanan Pelawan, bila
Terlawan membantah dalil Pelawan, maka Pelawan
2
berkewajiban membuktikan dalilnya.

B. Banding

Banding atau dalam Bahasa Belanda disebut appel adalah upaya hukum
biasa yang pertama terhadap penetapan atau putusan pengadilan tingkat
pertama untuk di ajukan atau dimohonkan pemeriksaan ulangan dipengadilan
tingkat banding. Pemeriksaan perkara dalam pengadilan tingkat banding adalah
pemeriksaan ulang secara keseluruhan. Dalam hukum, banding adalah salah
satu jenis upaya hukum bagi terpidana atau jaksa penuntut umum untuk
meminta pada pengadilan yang lebih tinggi agar melakukan pemeriksaan ulang
atas putusan pengadilan negeri karena dianggap putusan tersebut jauh dari
keadilan atau karena adanya kesalahan-kesalahan di dalam pengambilan
keputusan. Upaya banding diberikan dengan tujuan untuk menjaga-jaga apabila
hakim membuat kekeliruan atau kesalahan dalam mengambil keputusan. Para
pihak dalam perkara bamding adalah pembanding atau yang menajukan
permohonan banding dan lawanya disebut terbanding. Dalam suatu perkara
dapat dimungkinkan kedua blah pihak sam-sama mengajukan upaya hukum
banding karena sam-sama tidak puas akan putusan atau penetapan hakim maka
yang menjadi masing-masing pihak dalam perkara ini adalah pembanding
sekaligus terbanding.3

Dasar Hukum Banding

Upaya hukum banding diadakan oleh pembuat undang-undang karena


dikhawatirkan bahwa hakim yang adalah manusia biasa membuat kesalahan
dalam menjatuhkan keputusan. Karena itu dibuka kemungkinan bagi orang
yang dikalahkan untuk mengajukan permohonan banding kepada pengadilan
tinggi. Menurut ketentuan pasal 3 UU darurat No. 1 tahun 1951 peraturan

2
Mahkamah Agung Republik Indonesia PENGADILAN AGAMA PANIAI KELAS II
3
Noeloe, Nurdi Halid Dan Fadillah Budiono. Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana (Jakarta, Bina Aksara
1987) Hal 26.

9
hukum acara perdata untuk pemeriksaan ulangan atau banding pada pengadilan
tinggi adalah peraturan-peraturan tinggi dalam daerah Republik Indonesia
dahulu itu. Peraturan-peraturan yang digunakan dalam daerah RI dahulu adalah:
Untuk pemeriksaan ulangan atau banding perkara perdata buat pengadilan
tinggi di Jawa dan Madura adalah undang-undang No. 20 Tahun 1947. Untuk
pemeriksaan ulangan atau banding perkara perdata buat pengadilan tinggi di
luar Jawa dan Madura adalah Rechtsterglement Voor Debuitengewesten
(RBG).4

Syarat untuk dapat dimintakan banding bagi perkara yang telah diputus
oleh pengadilan dapat dilihat dalam pasal 6 UU No.20/1947 yang menerangkan,
apabila besarnya nilai gugat dari perkaara yang telah diputus itu lebih dari
Rp.100,- atau kurang. Oleh salah satu pihak dari pihak-pihak yang
berkepentingan dapat diminta supaya pemeriksaan itu diulangi oleh pengadilan
tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing-masing.

Dasar hukumnya adalah UU No 4/2004 tentang Perubahan Atas Undang


- undang Pokok Kekuasaan dan UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan.
Permohonan banding harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang
menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No 20/1947). Urutan banding menurut pasal
21 UU No 4/2004 jo. pasal 9 UU No 20/1947 mencabut ketentuan pasal 188-
194 HIR, yaitu:

1. Ada pernyataan ingin banding.

2. Panitera membuat akta banding.

3. Dicatat dalam register induk perkara.

4. Pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling


lama 14 hari sesudah pernyataan banding tersebut dibuat.

5. Pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat


mengajukan kontra memori banding.

Syarat-syarat dan Tata Cara Banding

Syarat-syarat ataupun ketentuan-ketentuan banding, upaya hukum


banding diajukan denga ketentuan-ketentuan sebagai brikut sebagaimana diatur
dalam pasal 188 sampai dengan 194 HIR dan UU No 20 Tahun 1947 tentang

4
Soesilo, RBG/HIR dengan Penjelasan, Bogor: Politeia, 1985.

10
Pegadilan Peradilan Ulangan.

 Diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah


dijatuhkan putusan atau menerima pemberitahuan putusan atau
menerima pemberitahuan putusan perkara diperiksa dengan tanpa
biaya atau prodeo.

 Permohonan banding dapat diajukan dengan cara lisan maupun


tertulis.

 Permohonan banding dapat diajukan oleh yang bersangkutan atau


diwakilkan dengan kuasa khusus untuk mengajukan banding.

 Banding diajukan kepada Panitera pengadilan yang menjatuhkan


putusan.

 Permohonan banding harus disertai dengan membayar ongkos biaya


perkara, permohonan banding yang tidak disertai membayar ongkos
perkara tidak dapat diterima.

 Terhadap putusan verstek tidak dapat diajukan upaya hukum


banding.

 Terhadap putusan dimintakan banding bersama-sama putusan akhir.5

Tata cara mengajukan banding

Dalam mengajukan banding terdapat tata cara yang harus dilakukan


antara lain sebagai berikut:

1. Setelah permohonan diajukan dan membayar biaya perkara, panitera


meregister perkara dan membuat akta banding (pasal 10 ayat (1) );

2. Permohonan banding diberitahukan kepada pihak lawan (pasal 10


ayat(2) );

3. Panitera menyampaikan inzage kepada para pihak dengan tujuan


agar mempelajari berkas perkara dalam tenggang waktu 14 (empat
belas) hari setelah menerima pemberitahuan inzage (pasal 11).
Inzage merupakan hak para pihak boleh digunakan;

4. Permohonan banding mengajukan memori banding kepada Ketua

5
pasal 188 sampai dengan 194 HIR dan UU No 20 Tahun 1947

11
Pengadilan Tinggi Agama melalui Ketua Pengadilan Agama yang
mejatuhkan putusan. Menyampaikan memori banding bukan
merupakan kewajiban;

5. Memori banding diberitahukan kepada pihak lawan untuk dipelajari


dan membuat kontra memori banding untuk diserahkan kepada
panitera pengadilan;

6. Pengadilan menerima kontra memori banding dan memberitahukan


kepada permohonan banding;

7. Dalam 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding seluruh


berkas perkara di bendel dan dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama
(pasal 11 ayat 2). dalam praktik pengiriman berkas ke Pengadilan
Tinggi Agama lebih dari 30 (tiga puluh) hari;

Permohonan banding dapat dicabut sewaktu-waktu sebelum putusan


banding dijatuhkan.6

Alasan dan Akibat serta Wewenang Banding

Alasan Permintaan Banding

Undang-undang tidak merinci alasan yang dapat dipergunakan terdakwa


atau penuntut umum untuk mengajukan permintaan banding. Berbeda dengan
permintaan kasasi, Pasal 253 ayat 1 merinci alasan yang dapat dikemukakan
oleh pemohon kasasi. Atas landasan itu, alasan pokok permintaan pemeriksaan
tingkat banding atas putusan pengadilan tingkat pertama pemohon tidak setuju
dan keberatan atas putusan yang dijatuhkan dan alasan keberatan dan
ketidaksetujuan atas putusan itu, dapat diinformasi atau dikemukakan sebagi
berikut:

a. Dapat dikemukakan pemohon secara umum;

b. Dapat dikemukakan secara terperinci;

Permintaan banding dapat ditujukan terhadap hal tertentu

Akibat Permintaan Banding

6
Noeloe, Nurdi Halid Dan Fadillah Budiono. Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana (Jakarta, Bina Aksara
1987) Hal 26.

12
Permintaan banding yang diajukan terhadap putusan pengadilan tingkat
pertama, dapat menimbulkan beberapa akibat hukum yaitu;

Putusan menjadi mentah kembali Inilah akibat hukum yang pertama,


permintaan banding mengakibatkan putusan menjadi mentah. Seolah-olah
putusan itu tidak mempunyai arti apa-apa lagi. Formal putusan itu tetap ada,
tetapi nilai putusan itu lenyap dengan adanya permintaan banding. Segala
sesuatu beralih menjadi tanggung jawab yuridis.

Akibat lain yang timbul karena permintaan banding, menyebabkan


hilang eksekusi putusan, karena dengan adanya permintaan banding putusan
menjadi mentah kembali. Kewenangan Tingkat Banding Bertitik tolak dari
kedua landasan diatas, wewenang pengadilan tingkat banding memeriksa
putusan pengadilan tingkat pertama sebagi berikut:

Menjadi Seluruh Pemeriksaan dan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama


Pengadilan tingkat tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dalam
melaksanakan fungsi sebagai pengadilan tingkat banding.

Berwenang Meninjau Segala Segi Pemeriksaan dan Putusan Oleh


karena wewenang pemeriksaan tingkat banding memeriksa ulang perkara secara
keseluruhan dan dia berwenang meninjau dan menilai segala sesuatu yang
berhubungan dengan pemeriksaan dan putusan. Memeriksa Ulang Perkara
Secara Keseluruhan Seandainya pengajuan banding terhadap hal tertentu saja
misalnya permintaan banding hanya ditujukan terhadap hukuman atau barang
bukti saja, sama sekali tidak dapat menyampingkan wewenang pengadilan
tingkat banding untuk memeriksa tingkat perkara secara keseluruhan. Putusan
yang dapat dan tidak dapat dibanding, Secara formal ada dua jenis upaya
hukum yang dapat diajukan atau diperiksa oleh pengadilan tinggi sebagai
instansi pengadilan tingkat banding. Hal ini perlu dijelaskan untuk mengetahui
garis yang tegas antara dua upaya hukum tersebut. Dengan uraian singkat yang
menginventarisin upaya perlawanan kiranya dapat memahami dan membedakan
antara perlawanan dengan upaya banding.

Putusan pengadilan tingkat pertama yang dapat dibanding. Prinsip


semua putusan akhir pengadilan dapat diajukan permintaan banding, akan tetapi
pada prinsip ini ada pengecualian dan pengecualian itu di tgaskan dalam pasal
67. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tak dapat dibanding, putusan

13
bebas atau vrijspraak Putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau putusan
Onslag van rechts vervolging. Putusan acara cepat hubungan putusan bebas
dengan banding dan kasasi. Putusan bebas yang diambilnya tidak dapat diuji
oleh instansi manapun, apalagi dalam kondisi sekarang hal seperti ini
merangsang para hakim tingkat pertama untuk bertindak menyalahgunakan
wewenang, sebab sekali perkara itu diputus bebas, sudah final tidak dapat diuji
serta diubah lagi. Hubungan banding dan kasasi dengan putusan lepas dari
segala tuntutan hukum. Masalah putusan lepas dari segala tuntutan hukum,
tidak serumit permasalahan putusan bebas. Landasan ini melihat hubungan
putusan lepas dari segala tuntutan hukum dengan permintaan banding dan
kasasi adalah berdasar pasal 67 dan pasal 244 KUHAP Hubungan putusan lepas
dari segala tuntutan hukum dengan banding Hubungan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum dengan kasasi.7

Tata Cara Penolakan Dan Penerimaan Banding

Permintaan banding yang diajukan ke Pengadilan Tinggi baik oleh


terdakwa maupun penuntut umum dilakukan melalui “panitera” Pengadilan
Negeri yang memutus perkara itu dalam tingkat pertama. Panitera yang
melayani permintaan banding. Sudah tentu, panitera meneliti segala persyaratan
yang ditentukan undang-undang, karena ada kemungkinan permintaan yang
diajukan tidak memenuhi syarat yang dibenarkan undang-undang. Terhadap
permintaan banding yang tidak memenuhi syarat, panitera “dilarang”
menerimanya. Ini di tegaskan dalam penjelasan Pasal 233 ayat (2). Sedang
terhadap permintaan banding yang memenuhi persyaratan, panitera harus
menerima dan melayani.8

C. KASASI

Kasasi adalah salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh
salah satu atau kedua belah pihak terhadap suatu putusan pengadilan tinggi.

7
Sugeng, Bambang dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata, Jakarta
:Kencana, 2011

8
Riduan, Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum,cet. 1, Jakarta :Sinar
Grafika,1994

14
Terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan kasasi bila masih merasa
belum puas dengan isi putusan pengadilan tinggi kepada mahkamah agung.9

Alasan-Alasan Mengajukan Kasasi Diatur dalam Pasal 30 UU No. 14


Tahun 1985 jo Pasal 30 UU No.5 Tahun 2005 Tentang MA jo Pasal 30 UU
No.4 Tahun 2004 antara lain :

1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang. Tidak berwenang yang


dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut pengadilan,
sedang melampaui batas wewenang bisa terjadi bila pengadilan
mengabulkan gugatan melebihi yang diminta dalam surat gugatan.

2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. Yang dimaksud


disini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun
hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang
dilakukan oleh Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum
yang berlaku atau dapat juga diinter-prestasikan penerapan hukum tersebut
tidak tepat dilakukan oleh judex facti.

3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-


undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersang-kutan. Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah.10

Prosedur dan Tengang Waktu Mengajukan Permohonan Kasasi

1) Permohonan kasasi disampaikan baik secara tertulis atau lisan kepada


Panitera Pengadilan Negeri yang memutus per-kara tersebut dengan
melunasi biaya kasasi dalam tenggang waktu 14 hari setelah relas
pemberitahuan putusan banding diterima Pemohon Kasasi (Pasal. 46-47 UU
No. 14/1985).

2) Pengadilan Negeri akan mencatat per-mohonan kasasi dalam buku daftar,


dan hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada
berkas (Pasal 46 ayat (3) UU No. 14/1985.

3) Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera


Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan

9
Rasyid, Raihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998.
10
Rasaid, Nur. Hukum Acara Perdata. Jakarta, Sinar Grafika, 2007.

15
(Pasal 46 ayat (4) UU No. 14/1985), dan selanjutnya dalam tenggang waktu
14 hari setelah per-mohonan kasasi dicatat dalam buku daftar pemohon
kasasi wajib membuat Memori Kasasi yang berisi alasan-alasan
permohonan kasasi (Pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985)

4) Panitera Pengadilan Negeri menyampai-kan salinan Memori Kasasi pada


lawan paling lambat 30 hari (Pasal 47 ayat (2) UU No. 14/1985).

5) Pihak lawan berhak mengajukan Kontra Memori Kasasi dalam tenggang


waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasai (Pasal 47
ayat (3) UU No. 14/1985)

6) Setelah menerima Memori Kasasi dan Kontra Memori Kasasi dalam jangka
waktu 30 hari Panitera Pengadilan Agama harus mengirimkan semua berkas
kepada Mahkamah Agung (Pasal 48 ayat (1) UU No.14/1985).11

D. Peninjauan Kembali (PK)

Peninjauan kembali adalah upaya hukum yang diberikan kepada


terpidana atau terpidana sebagai bagian dari tindakan terhadap putusan
pengadilan yang mempunyai res judicata tetap dalam sistem peradilan.
Indonesia. Pasal 263(1) KUHAP mengatur bahwa terpidana atau ahli warisnya
dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung atas putusan
pengadilan yang telah berkekuatan tetap, kecuali terpidana dibebaskan atau
dikesampingkan.Penegakan berarti memaksakan putusan pengadilan oleh
otoritas publik ketika pihak yang kalah (tergugat atau tergugat) tidak secara
sukarela menginginkan putusan itu ditegakkan, eksekusi mati merupakan upaya
pihak yang menang untuk mengambil apa yang menjadi haknya dengan
menggunakan kekuatan hukum untuk memaksa pihak yang kalah memilih dan
melaksanakan keputusan.12

Alasan-Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali ( Pasal 67 UU No.


14/1985, jo Perma No. 1/1982).

a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu

11
Mulyadi, Lilik, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada Praktik Peradilan,Jakarta :
Djambatan,1996.

12
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2009.

16
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau
didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana
dinyatakan palsu.

b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang


bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak
ditemukan.

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih
daripada yang dituntut.

d. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang


sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama
tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan
yang lain.

e. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa


dipertim-bangkan sebab-sebabnya.

f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau


suatu ke-keliruan yang nyata.13

Tenggang Waktu

Permohonan Peninjauan Kembali (PK) bagi Pemohon PK disampaikan


dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 180 hari (Pasal.69 UU No. 14/1985)
dan memori peninjauan kembali disampaikan bersamaan pada waktu
menandatangani Akta Pemohonan Peninjauan Kembali di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri, dan selanjutnya dalam tenggang waktu Termohon
Peninjauan Kembali (PK) untuk mengajukan kontra memori peninjauan
kembali adalah 30 hari setelah ada pemberitahuan/penyampaian memori
peninjauan kembali kepada termohon peninjauan kembali(Pasal.72 UU
No.14/1985).14

Prosedur Pengajuan Permohonan Kembali

1) Permohonan Peninjauan Kembali diajukan oleh pihak yang berhak


kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang
memutus perkara dalam tingkat pertama.
13
Mahkamah Agung RI., Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II Edisi Revisi,
1997.
14
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta : Sinar Grafika, 2012.

17
2) Membayar biaya perkara.

3) Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan secara lisan


maupun tertulis. Bila permohonan diajukan secara tertulis maka
harus disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar
permohonan nya dan dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan
Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (Pasal 71
ayat(1) UU No. 14/1985)

4) Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan


permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri
yang bersangkutan atau diha-dapan hakim yang ditunjuk Ketua
Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang
permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No.14/1985)

5) Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara


lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat diajukan
sekali.

6) Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan


kembali maka Panitera berkewajiban untuk memberikan atau
mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan
pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat diketahui
dan dijawab oleh pihak lawan (Pasal 72ayat (1) UU No. 14/1985)

7) Pihak lawan (termohon peninjauan kembali) hanya punya waktu 30


hari setelah tanggal diterima salinan permohonan (memori
peninjauan kembali) untuk membuat kontra memori peninjauan
kembali bilamana tenggang waktu terlewatkan maka jawaban tidak
akan dipertimbangkan (Pasal 72 ayat (2) UU No. 14/1985).

8) Kontra memori peninjauan kembali diserahkan kepada Pengadilan


Negeri dan oleh Panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal
diterimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada
pemohon peninjaun kembali untuk diketahui (Pasal 72 ayat (3) UU
No. 14/1985).

9) Permohonan PK lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya


dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (Pasal

18
72 ayat (4) UU No.14/1985).

10) Pencabutan permohona PK dapat dilakukan sebelum putusan


diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya dapat
diajukan satu kali (Pasal 66 UU No. 14/1985)15

15
Hatta, Menyongsong Penegakan Hukum Respinsif Sistem Peradilan Pidana Terpadu (2008, Sinar
Grafika) Hal 44.

19
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Verzet (perlawanan) adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh tergugat
ketika dijatuhkan putusan verstek yang tidak didahului oleh upaya hukum banding
penggugat, apabila penggugat terlebih dahulu melakukan upaya hukum banding, maka
tergugat tidak boleh mengajukan verzet, namun tergugat diperbolehkan untuk
mengajukan banding.

Banding adalah upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang kalah dalam
suatu perkara untuk mengajukan banding ke pengadilan tinggi agar putusan pengadilan
tingkat pertama dapat dikaji ulang.

Kasasi adalah upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang kalah dalam suatu
perkara setelah putusan banding untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung agar
putusan pengadilan tingkat banding dapat dikaji ulang.

Sedangkan PK (Peninjauan Kembali) adalah upaya hukum yang dilakukan oleh


pihak yang merasa dirugikan setelah putusan inkrah (putusan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap) untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali ke
Mahkamah Agung agar putusan tersebut dapat dikaji ulang. Jadi, hubungan antara
banding, kasasi, dan PK adalah merupakan tahapan-tahapan dalam proses hukum yang
dapat dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan dalam suatu perkara untuk
mengajukan permohonan agar putusan pengadilan dapat dikaji ulang.

20
DAFTAR PUSTAKA

Artawijaya. Politik Identitas Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Teori Modern


(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar) Hal.45.

Bailah. Pengelolaan Administrasi Penduduk Desa (Jakarta: IKAPI. 2019)Hal.3.

Dakhi,Dikir,and Kosmas Dohu Amajihono. Analisis Hukum Pertanggungjawaban


Pidana Dalam Tindak Pidana Illegal Logging.Jurnal Panah Keadilan 2.2
(2023): 1-5.

Ecep Nurjamaah, Praktik Beracara Di Peradilan Agama (Jawa Barat,


EduPublisher, 2020) Hal.104-105.

Elza Sarief, Praktik Pengadilan Perdata: Teknis Dan Kiat Menangani PerkaraDi
pengadilan (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2020) Hal.99-100.

Filmon, Mikson, Polin. Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan


KDT(Malang:2016. 2019) Hal. 24

Hadi Utoma, Pantaskan OJK Dibubarkan (jakarta, anggota IKAPI, 2022.) Hal. 38-
39.

Hatta, Menyongsong Penegakan Hukum Respinsif Sistem Peradilan Pidana


Terpadu (2008, Sinar Grafika) Hal 44.

Herwastoeti dan Nur Putri Hidayah, Hukum Acara Peradilan Niaga (Malang:
Anggota Appti, 2020), Hal,115.

Laurence, Ackerman. Identity is destiny, leadership and the roots of value creation
(Jakarta: IKAPI.2004) Hal. 24

Mahkamah Agung Republik Indonesia PENGADILAN AGAMA PANIAI


KELAS II

Noeloe, Nurdi Halid Dan Fadillah Budiono. Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana
(Jakarta, Bina Aksara 1987) Hal 26.

Panjitan Sastra Budi, Hukum Pidana Sudut Pandang Advokat


(Yogyakarta,Deepublish, 2022) Hal.32

Arto, H Mukti, Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,


Yogyakarta, 1996.

Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah


Syar’iyah di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2005.

17
Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Pustaka Kartini, 1990.

Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta : Sinar Grafika, 2012.

http://scarmakalah.blogspot.co.id/2014/02/proses-acara-verzetperlawanan-hk-
acara.html

Mahkamah Agung RI., Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan,


Buku II Edisi Revisi, 1997.

Manan, Abdul., Penerapan Hukum Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,


Yayasan Al-Hidayah Jakarta, 2000.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty,


Yogyakarta, 2009.

Mulyadi, Lilik, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada Praktik
Peradilan,Jakarta : Djambatan,1996.

Rasaid, Nur. Hukum Acara Perdata. Jakarta, Sinar Grafika, 2007.

Rasyid, Raihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1998.

Riduan, Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum,cet. 1,


Jakarta :Sinar Grafika,1994.

Soesilo, RBG/HIR dengan Penjelasan, Bogor ; Politeia,1985.

Sugeng, Bambang dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi
Perkara Perdata, Jakarta :Kencana, 2011

17

Anda mungkin juga menyukai