Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA (HAPA) 2


Tentang
UPAYA HUKUM (BANDING-KASASI DAN PK ) HUKUM ACARA PERDATA

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Hukum Acara Peradilan Agama (HAPA) 2
Dosen Pengampu: Novendri Eka Saputra, S.H.I.

Disusun Oleh :

Silvia Arianti (1902022021)

KELAS C
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO
TP. 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Karna atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam tak lupa kami panjatkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW. Keluarga, sahabat, serta para pengikut-pengikut beliau sampai akhir zaman.

Tujuan pembuatan makalah ini salah satunya untuk memenuhi mata kuliah Hukum Acara Peradilan
Agama 2. Selain itu untuk menambah wawasan pembaca sekalian tentang upaya hukum (banding-kasasi dan
pk) hukum acara perdata. Mengingat hal tersebut sangat penting kedudukanya dalam kehidupan kita. Semoga
makalah ini mampu menambah sedikit ilmu.

Makalah ini memang jauh dari kesempurnaan. Baik dari isi, penyusunan, maupun penyajian. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran dari teman-teman sangat dibutuhkan, agar supaya menjadi acuan bagi kami
untuk selanjutnya lebih baik lagi. Tidak lupa kami ucapkan terimkasih kepada pihak-pihak yang terlibat
dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembacanya.

Metro, 25 Mei 2022

Kelompok 10

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Sumber Hukum Eksekusi 3
B. Macam-Macam Bentuk Upaya hukum 3
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 14
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk memperoleh putusan Hakim
yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim belum tentu dapat
menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekilafan. Sebagai
manusia biasa, mungkin hakim khilaf atau kurang sempurna mempertimbangkan semua hal-hal berkenaan
dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan atau tidak tepat menggunakan sesuatu istilah atau keliru
menafsirkan unsur-unsur tindak pidana. Agar kekeliruan dan kekilafan itu dapat diperbaiki, maka demi
tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakim itu dimungkinkan untuk diperiksa ulang. Cara
yang paling tepat untuk dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan melaksanakan upaya
hukum. Menurut Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(selanjutnya disebut KUHAP).

Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan
yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan
peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dari pengertian di
atas terlihat bahwa upaya hukum merupakan hak terdakwa atau terpidana yang dapat dipergunakan apabila
si terdakwa atau si terpidana merasa tidak puas atas putusan yang diberikan oleh pengadilan. Sehingga,
terhadap hak tersebut, bisa saja dipergunakan dan bisa juga tidak dipergunakan oleh si terdakwa atau si
terpidana.

Dengan demikian KUHAP juga membedakan upaya hukum menjadi perlawanan, banding, kasasi
dan peninjauan kembali. Yang kesemuanya/masingmasing pada hakikatnya adalah untuk tidak menerima
putusan/penetapan pengadilan.

Sedangkan menurut ilmu pengetahuan hukum, upaya hukum dibagi atas:

a. Upaya Hukum biasa, yang terdiri dari:

1. Perlawanan

2. Banding

3. Kasas

Terkait upaya hukum luar biasa sendiri, antara kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan
kembali (selanjutnya disebut PK) juga memiliki perbedaan. Di dalam peraktek, terpidana dapat
menggunakan upaya hukum luar biasa PK. Sedangkan upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum
hanya dapat digunakan oleh Jaksa Agung.

Untuk mengajuan permohonan PK berdasarkan ilmu hukum pidana harus memenuhi syarat formil
dan syarat materiil sebagaimana yang telah ditentukan dalam KUHAP.

Asikin, Zainal. 2016. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Jakarta:Prenamedia Group. Hlm. 115
1
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud upaya hukum acara perdata ?


2. Jelasakan bentuk-bentuk upaya hukum acara perdata?

C. Tujuan Makalah

1. Untuk memenuhi tugas pribadi dari dosen mata kuliyah Hukum AcaraPerdata.
2. Untuk dapat mengetahui pengertian upaya hukum dalam perkara perdata.
3. Untuk dapat memahami macam-macam upaya hukum dalam perkara perdata.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Upaya Hukum


Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang- undang kepada seseorang atau
badan hukum untuk hal tertentu guna melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang
tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, tidak
memenuhi rasa keadilan. Hal ini dikarenakan hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan
kesalahan/kekhilafan, sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak. 2
Sebagaimana diketahui, bahwa tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan yaitu
untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang
dijatuhkan secara subjektif, belum tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan
itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar
kekeliruan dan kekhilafan itu dapat diperbaiki, maka putusan hakim itu dimungkinkan untuk
diperiksa ulang, demi tegaknya kebenaran dan keadilan dengan melakukan upaya hukum yang
dilakukan oleh salah satu pihak yang berperkara.
Tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk memperoleh putusan
Hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim
belum tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan
dan kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruan dan kekilafan itu dapat
diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakim itu dimungkinkan
untuk diperiksa ulang. Cara yang tepat untuk dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah
dengan melaksanakan upaya hukum. Jadi, Upaya hukum merupakan Upaya atau alat untuk mencegah
atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan (Krisna Harahap, 2003 : 114-115).

B. Bentuk-Bentuk Upaya Hukum

Secara umum, upaya hukum itu dapat dilakukan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu a. Upaya
hukum biasa, dan b. Upaya hukum luar biasa. Berikut penjelasannya:

2
Asikin, Zainal. 2016. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Jakarta:Prenamedia Group. Hlm. 135

3
1. Upaya Hukum Biasa
Merupakan upaya hukum yang digunakan untuk putusan yang belum berkekuatan hukum tetap.
Upaya ini mencakup:

a. Verzet
Pada dasarnya, verzet merupakan upaya hukum sebagai perlawanan terhadap putusan
verstek. Upaya hukum ini diatur dalam Pasal 125 ayat (3), Pasal 129 ayat (2), Pasal 126 HIR dan
Pasal 149 ayat (3), Pasal 153 ayat (2), Pasal 150 RBg. Verzet atau Perlawanan adalah upaya hukum
terhadap putusan yang dijatuhkan pengadilan negeri karena tergugat tidak hadir pada persidangan
pertama (dalam bentuk putusan verstek). Upaya hukum ini disediakan bagi tergugat yang pada
umumnya dikalahkan dalam putusan verstek.
Dasar hukum verzet dapat dilihat di dalam Pasal 129 HIR. Verzet dapat dilakukan dalam tenggang
waktu 14 hari (termasuk hari libur) setelah putusan-putusan verstek diberitahukan atau
disampaikan kepada tergugat karena tergugat tidak hadir.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 129 ayat (1) HIR), verzet harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a) Setelah keluarnya putusan verstek;
b) Adapun jangka waktu untuk mengajukan perlawanan adalah tidak boleh lewat dari 14 hari,
dan jika ada eksekusi tidak boleh lebih dari 8 hari; dan
c) Upaya verzet dimasukkan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah
hukum di mana penggugat mengajukan gugatannya.

b. Banding
Banding merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan kepada pengadilan tinggi oleh
pihak yang tidak menerima hasil dari putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama.
Upaya hukum banding ini diatur dalam Pasal 188-194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura), dan
dalam Pasal 199-205 RBg (untuk daerah luar Jawa dan Madura). Tetapi dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura, maka
Pasal 188-194 HIR yang mengatur acara pemeriksaan banding untuk daerah Jawa dan Madura
tidak berlaku lagi.
Banding adalah upaya hukum biasa melawan putusan pengadilan tingkat pertama (misalnya
pengadilan negeri) oleh pihak-pihak berperkara perdata yang merasa tidak puas dan tidak dapat

4
menerima terhadap putusan Pengadilan Negeri. Sementara pengertian lain “Banding” adalah
permohonan agar supaya perkara yang telah diputus oleh pengadilan tingkat pertama diperiksa
ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi (tingkat banding), karena merasa belum puas dengan
keputusan pengadilan tingkat pertama. Misalnya, pengadilan tingkat pertama adalah Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, sedangkan yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding adalah
Pengadilan Tinggi Jakarta.
Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947, permohonan banding harus
diajukan kepada panitera pengadilan tingkat pertama yang menjatuhkan putusan. Di mana
menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo. Pasal 9 Undang- Undang Nomor 20
Tahun 1947 mencabut ketentuan Pasal 188-194 HIR, urutan banding yaitu:
a) Ada pernyataan ingin banding;
b) Panitera membuat akta banding;
c) Dicatat dalam register induk perkara;
d) Pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling lama 14 hari sesudah
pernyataan banding tersebut dibuat;
e) Pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat mengajukan kontra memori
banding.
Adapun yang merupakan syarat-syarat dari upaya banding, yaitu:
a) Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara;
b) Diajukan dalam masa tenggang waktu banding;
c) Putusan tersebut menurut hukum boleh dimintakan banding;
d) Membayar panjar biaya banding, kecuali dalam hal prodeo;

Menghadap di kepaniteraan pengadilan yang putusannya dimohonkan banding.


Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947, pemeriksaan tingkat banding dapat
dimintakan oleh pihak-pihak yang berperkara. Pihak lain di luar yang berperkara tidak berhak
mengajukan banding, kecuali kuasa hukumnya. Untuk masa tenggang waktu pengajuan banding
ditetapkan sebagai berikut: bagi pihak yang bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan agama
yang putusannya dimohonkan banding tersebut, maka bandingnya 14 (empat belas) hari terhitung
mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan. Adapun bagi
pihak yang bertempat tinggal di luar hukum pengadilan yang putusannya dimohonkan banding
tersebut

5
maka masa bandingnya adalah 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai hari berikutnya dari hari
pengumuman putusan kepada yang bersangkutan.
Sebelum permohonan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi, maka permohonan tersebut
dapat dicabut kembali oleh pemohon. Apabila berkas perkara belum dikirimkan kepada pengadilan
tingkat pertama, pencabutan disampaikan kepada pengadilan negeri yang bersangkutan kemudian
oleh panitera dibuatkan akta pencabutan kembali permohonan banding. Putusan baru memperoleh
kekuatan hukum tetap setelah tenggang waktu banding berakhir. Berkas perkara banding tidak perlu
diteruskan kepada PTA/PTTUN/PTN. Namun apabila berkas perkara banding telah dikirimkan
kepada PTA/PTTUN/PTN, maka:
a) Pencabutan banding disampaikan melalui PA/PTUN/PN yang bersangkutan atau langsung ke
PTA/PTTUN/PTN.
b) Apabila pencabutan itu disampaikan melalui PA/PTUN/PN, maka pencabutan itu segera
dikirimkan ke PTA/PTTUN /PTN.
c) Apabila permohonan banding belum diputus, maka PTA/PTTUN/PTN akan mengeluarkan
“penetapan” yang isinya, bahwa mengabulkan pencabutan kembali permohonan banding dan
memerintahkan untuk mencoret dari daftar perkara banding.
d) Apabila perkara telah diputus, maka pencabutan tidak mungkin dikabulkan.Apabila permohonan
banding dicabut, maka putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak pencabutan
dikabulkan dengan “penetapan” tersebut.
Pencabutan banding tidak memerlukan persetujuan dengan pihak lawan. Permohonan banding
diajukan kepada pengadilan tinggi dalam daerah hukum meliputi pengadilan tingkat pertama yang
memutus perkara. Artinya, permohonan banding diajukan melalui pengadilan yang memutus perkara
tersebut.
Ditijau dari segi tujuan pemeriksaan tingkat banding mempunyai beberapa maksud antara lain
sebagai berikut:
a) Memperbaiki kekeliruan putusan tingkat pertama
Pada dasarnya segala putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan mengenai hakim tak luput dari
kesalan, kelalaian, dan kekhilafan. Agar kesalahan dan kelalaian tersebut tidak melekat pada
putusan yang dijatuhkan, undang-undang memberikan kesempatan untuk melakukan upaya
hukum yang bertujuan untuk mengoreksi kekeliruan yang ada dalam putusan tersebut koreksi
atau perbaikan atas kesalahan putusan tingkat pertama tersebut dibebankan kepada peradilan
tingkat banding dalam pemeriksaan tingkat banding.

6
b) Mencegah kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan
Tidak dapat dibayangkan seandainya undang-undang tidak membuka pemeriksaan tingkat
banding, peradilan tingkat pertama bisa saja terjerumus kepada kesewenangan dan
penyalahgunaan jabatan karena putusan tersebut telah absolut. akan tetapi dengan adanya upaya
banding hal ini mempengaruhi peradilan tigkat pertama untuk lebih berhati-hati dan korektif
karena ada kemungkinan putusan yang dijatuhkannya akan di uji kebenarannya pada peradilan
tingkat banding.
c) Untuk Menciptakan keseragaman Penerapan hukum
Yang dimaksud dengan keseragaman penerapan hukum adalah sesuainya dalam menafsirkan
salah atau tidaknya suatu perbuatan menurut undang-undang . Baik dari sudut pandang peradilan
tingkat pertama maupun peradilan tingkat banding. Hal ini untuk menghindari terjadinya
penerapan putusan peradilan yang saling tidak bersesuaian antar peradilan.

c. Kasasi
Upaya hukum kasasi ini diatur dalam beberapa pasal Undang- Undang Nomor 14 Tahun
1985
tentang Mahkamah Agung di antaranya Pasal 40 ayat ( 1) dan (2), Pasal 44 ayat ( 1), Pasal 46 ayat
(1), (2), (3), dan (4), Pasal 47 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 48 ayat (1), Pasal 49, Pasal 50 ayat (1) dan
(2), Pasal 51 ayat (1) dan (2), dan Pasal 52. Adapun menurut Pasal 29 dan 30 Undang-Undang
Nomor
14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, pengertian kasasi adalah pembatalan
putusan atas penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan akhir.
Dengan demikian, Kasasi artinya pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung (MA). Pengertian
pengadilan kasasi adalah pengadilan yang memeriksa apakah judex factie tidak salah dalam
melaksanakan peradilan. Upaya hukum kasasi itu sendiri adalah upaya agar putusan PA dan PTA,
PTUN dan PTTUN, PN dan PTN dibatalkan oleh MA, dengan alasan telah salah dalam
melaksanakan peradilan.
Kasasi adalah upaya hukum biasa melawan putusan judex factie bagi pihak-pihak berperkara yang
merasa tidak puas dan tidak dapat menerima terhadap putusan judex factie yang memeriksa perkara
pada tingkat banding.
Alasan yang digunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam Pasal 30 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 adalah:
a. Tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif) untuk melampaui batas wewenang;
b. Salah menerapkan/melanggar hukum yang berlaku;
7
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Suatu keputusan pengadilan putusan tingkat pertama yang menurut hukum tidak dapat
dimintakan banding, maka dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung dengan alasan-alasan
tersebut di atas. Suatu putusan pengadilan yang telah dimintakan banding kepada pengadilan tingkat,
banding, maka yang dimintakan kasasi adalah keputusan tingkat banding tersebut, karena adanya
banding tersebut berarti putusan pengadilan negeri telah masuk atau diambil alih oleh Pengadilan
Tinggi.

Ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan kasasi, yaitu: Diajukan
oleh pihak yang berhak mengajukan kasasi;
Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi;
a) Putusan atau penetapan, menurut hukum dapat dimintakan kasasi;
b) Membuat memori kasasi;
c) Membayar panjar biaya kasasi; dan
d) Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan.

Berdasarkan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, untuk permohonan kasasi
hanya dapat diajukan dalam masa tenggang waktu kasasi, yaitu 14 (empat belas) hari sesudah putusan
atau penetapan pengadilan diberitahukan kepada yang bersangkutan. Selanjutnya, berdasarkan Pasal
46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, Apabila 14 (empat belas) telah lewat tidak ada
permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan, maka dianggap telah menerima
putusan. Di dalam Pasal 43 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 juga ditentukan bahwa pemohon
kasasi hanya dapat diajukan satu kali.
Sebelum permohonan kasasi diputuskan oleh Mahkamah Agung, maka permohonan tersebut dapat
dicabut kembali oleh pemohon, tanpa memerlukan persetujuan dari pihak lawan. Selanjutnya, apabila
berkas perkara belum dikirimkan kepada Mahkamah Agung, maka:
a) Pencabutan disampaikan kepada pengadilan yang bersangkutan, baik secara tertulis maupun
lisan.
b) Kemudian oleh panitera dibuatkan Akta Pencabutan Kembali Permohonan Kasasi.
c) Pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi walaupun tenggang waktu kasasi
belum habis.

8
d) Berkas perkara tidak perlu di teruskan ke Mahkamah Agung.
Sementara apabila berkas perkara sudah dikirimkan kepada Mahkamah Agung, maka:
a) Pencabutan disampaikan melalui pengadilan yang bersangkutan atau langsung ke Mahkamah
Agung;
b) Apabila pencabutan disampaikan melalui pengadilan, maka pencabutan segera dikirimkan
kepada Mahkamah Agung;
c) Apabila permohonan kasasi belum diputuskan, maka Mahkamah Agung akan mengeluarkan
“penetapan” yang isinya bahwa mengabulkan permohonan pencabutan kembali perkara kasasi
dan memerintahkan untuk mencoret perkara kasasi;
d) Apabila permohonan kasasi telah diputuskan, maka pencabutan kembali tidak mungkin
dikabulkan.
Adapun tenggang waktu pengajuan kasasi sama dengan pengajuan banding. Apabila syarat-
syarat kasasi tersebut tidak terpenuhi, maka berkas perkaranya tidak dikirim ke Mahkamah
Agung.

2. Upaya Hukum Luar Biasa

Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan


undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,
maka dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam
perkara perdata dan pidana oleh pihak- pihak yang berkepentingan. Selain itu,
apabila dalam suatu putusan pengadilan merugikan kepentingan dari pihak ketiga,
maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan
tersebut. Adapun upaya hukum luar biasa ini mencakup:

a. Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan apabila
terdapat hal- hal atau keadaan yang ditentukan oleh undang-undang terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak, yang berkepentingan.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 66-77 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 jo. Undang-Undang

9
Nomor 5 Tahun 2004, apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan
undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah kekuatan hukum tetap (in kracht van
gewijsde) dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata
dan pidana oleh pihak pihak yang berkepentingan
Dalam hal pengajuan upaya hukum luar biasa berupa permohonan Peninjauan Kembali (PK)
ke Mahkamah Agungmelalui pengadilan yang memutus perkara tersebut yaitu upaya hukum atau
perlawanan terhadap putusan yang telah mempunyai hukum tetap.
Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Pasal 77 Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985, Permohonan Peninjauan Kembali atas putusan suatu perkara memerlukan syarat-
syarat sebagai berikut:
a. Adanya putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipumuslihat pihak lawan yang
diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh
hakim pidana dinyatakan palsu.
b. Apabila perkara sudah diputus, tetapi masih ditemukan surat- surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan. Bukti-bukti baru
tersebut dinamakan “novum”.
c. Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan sebab-sebabnya.
d. Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu yangsama, atau dasarnya sama,
diputuskan oleh pengadilan yang sama tingkatnya, tetapi bertentangan dalam putusannya
satu sama lain.
e. Apabila dalam suatu putusan terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
f. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih daripada yang dituntut.

Adapun mekanisme yang harus dilalui untuk mengajukan Peninjauan


Kembali, adalah:
a. Diajukan oleh pihak yang berperkara;

b. Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

c. Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan-alasannya;


d. Diajukan dalam tenggang waktu menurut undang-undang;

e. Membayar panjar biaya peninjauan kembali;

f. Membuat akta permohonan Peninjauan Kembali di Kepaniteraan


PA/PTUN/PN;

10
g. Ada bukti baru yang belum pernah diajukan pada pemeriksaan terdahulu.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985,


jangka waktu pengajuan Peninjauan Kembali adalah
180 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap, di mana selanjutnya
berdasarkan Pasal 70 undang-undang ini, Mahkamah Agung memutus
permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir.

b.Derden Verzet
Dalam hukum acara perdata dikenal istilah Derden Verzet yang merupakan
perlawanan pihak ketiga yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan oleh
karena ia merasa dirugikan oleh suatu putusan pengadilan. Misalnya: barang yang
disita dalam suatu perkara bukanlah milik tergugat, melainkan milik pihak ketiga.
Syarat mengajukan derden verzet ini adalah pihak ketiga tersebut tidak cukup hanya
punya kepentingan saja, tetapi hak perdatanya benar-benar telah dirugikan oleh
putusan tersebut. Jadi, syarat utama mengajukan derden verzet adalah hak milik
pelawan telah terlanggar karena adanya putusan tersebut. Dengan mengajukan
perlawanan ini, pihak ketiga dapat mencegah atau menangguhkan pelaksanaan
putusan (eksekusi).
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial (executoir beslag) diatur
dalam Pasal 208 jo. Pasal 207 HIR/Pasal 228 jo. Pasal 227 RBg. Sementara
perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan (conservatoir beslag) tidak diatur
dalam HIR ataupun RBg. Menurut Yahya Harahap, derden verzet atas sita jaminan
dapat diajukan pemilik selama perkara yang dilawan belum mempunyai putusan
yang berkekuatan hukum tetap. Apabila perkara yang dilawan sudah memperoleh
putusan yang berkekuatan hukum tetap, upaya hukum yang dapat dilakukan pihak
ketiga atas penyitaan itu, bukan derden verzet, tetapi gugatan perdata biasa.

Perlawanan jenis ini dapat terjadi apabila dalam suatu putusan pengadilan
merupakan kepentingan dari pihak ketiga. Di mana pihak ketiga tersebut dalam
mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal
378-384 Rv dan Pasal 195 (6) HIR.
Selain itu, dalam pertimbangan Putusan MARI No 185/Pdt.Plw/2010/PN.Slmn,

11
berdasarkan Pasal 378 Rv dan Pasal 379 Rv, untuk dapat dikabulkannya perlawanan
pihak ketiga diperlukan terpenuhinya 2 (dua) unsur, yaitu:
1. Adanya kepentingan dari pihak ketiga
2. Secara nyata hak pihak ketiga dirugikan
Apakah pihak Pelawan (pihak ketiga yang dirugikan atas sita jaminan) dapat menarik
pihak lain menjadi terlawan maupun turut terlawan pada hal diketahui terlawan/turut
terlawan dimaksud bukan pihak dalam sengketa awal. Mengenai hal ini, kita dapat
menyimak penjelasan Yahya Harahap yangberpendapat bahwa dalam penyelesaian
suatu perkara, tidak boleh menimbulkan kerugian kepada pihak ketiga yang tidak
ikut menjadi pihak dalam perkara. Prinsip kontrak partai (party contract) yang
digariskan Pasal 1340 KUHPerdata yang menegaskan perjanjian hanya mengikat
kepada para pihak yang membuatnya, berlaku juga dalam proses penyelesaian
perkara, hanya mengikat pihak-pihak yang berperkara saja

Apabila pelawan (pihak ketiga) yang memiliki keberatan bahwa harta kekayaan
miliknya dijadikan sita jaminan oleh terlawan (awalnya tergugat), dapat menarik
pihak lain menjadi terlawan maupun turut terlawan yang bukan pihak dalam sengketa
awal. Pelawan dalam derden verzet (pihak ketiga) sebenarnya pun merupakan pihak
yang tidak ada pada sengketa awal antara penggugat dan tergugat. Namun,
yurisprudensi sebagai salah satu dasar hukum di Indonesia (melalui Putusan MARI
No. 3089 K/Pdt/1991) yang kami jelaskan tadi, memberikan hak kepada pihak ketiga
untuk mengajukan derden verzet agar dirinya dinyatakan sebagai pemilik objek yang
terkena sita jaminan.
Jika pelawan (pihak ketiga) menarik pihak lain, menurut kami tidak akan ada
relasinya, baik terhadap perkara pokok maupun sita jaminan yang diupayakan dalam
derden verzet. Kalaupun muncul pihak baru yang dianggap membawa kerugian bagi
pelawan (pihak ketiga) yang mengajukan derden verzet, maka melihat dari prinsip
penyelesaian perkara yang pada dasarnya hanya menyangkut pihakpihak di
dalamnya (Pasal 1340 KUH Perdata), upaya hukum yang dapat dilakukan pelawan
(pihak ketiga) terhadap pihak baru yang muncul itu bukanlah derden verzet, tetapi
berbentuk gugatan perkara biasa.

12
Derden Verzet dikatakan sebagai upaya hukum luar biasa karena pada dasarnya
suatu putusan hanya mengikat pihak yang beperkara saja (pihak penggugat dan
tergugat) dan tidak mengikat pihak ketiga. Tapi dalam hal ini, hasil putusan akan
mengikat orang lain/pihak ketiga. Oleh sebab itu, dikatakan luar biasa. Selanjutnya,
derden verzet ini sebagaimana juga pengajuan Peninjauan Kembali, diajukan ke
Pengadilan yang memutus perkara tersebut pada tingkat pertama.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang- undang kepada seseorang atau
badan hukum untuk hal tertentu guna melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang
tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, tidak
memenuhi rasa keadilan. Hal ini dikarenakan hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan
kesalahan/kekhilafan, sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak. 2
Sebagaimana diketahui, bahwa tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan yaitu
untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang
dijatuhkan secara subjektif, belum tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan
itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar
kekeliruan dan kekhilafan itu dapat diperbaiki, maka putusan hakim itu dimungkinkan untuk
diperiksa ulang, demi tegaknya kebenaran dan keadilan dengan melakukan upaya hukum yang
dilakukan oleh salah satu pihak yang berperkara.
Tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk memperoleh putusan
Hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim
belum tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan
dan kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruan dan kekilafan itu dapat
diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakim itu dimungkinkan
untuk diperiksa ulang. Cara yang tepat untuk dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah
dengan melaksanakan upaya hukum. Jadi, Upaya hukum merupakan Upaya atau alat untuk mencegah
atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan (Krisna Harahap, 2003 : 114-115).
Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu, upaya
hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya adalah pada
azasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi (kecuali bila terhadap suatu putusan
dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan
eksekusi.

14
DAFTAR PUSTAKA

Asikin, Zainal. 2016. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Jakarta:Prenamedia Group

Harahap, M. Yahya. 2018. Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan,


Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.

Marpaung Leden, 2011, Proses Penanganan Perara Pidana Buku 2, Jakarta: Sinar Grafika

Riduan Syahrani, 1998, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta:
Pustaka Kartini
Darmini Roza dan Laurensius Arliman S Peran Pemerintah Daerah Di Dalam Melindungi Hak
Anak Di Indonesia, Masalah-Masalah Hukum, Volume 47, Nomor 1, 2018

Laurensius Arliman S, Mewujudkan Penegakan Hukum Yang Baik Untuk Mewujudkan Indonesia
Sebagai Negara Hukum, Jurnal Hukum Doctrinal, Volume 2, Nomor 2, 2017.

Laurensius Arliman S, Pendidikan Kewarganegaraan, Deepublish, Yogyakarta, 2020

Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, 1989, Hukum Acara Perdata Dalam Teori
dan Praktek, Cet. VI, Mandar Maju, Bandung , 2005, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju

15

Anda mungkin juga menyukai