Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM ACARA PIDANA

BENTUK-BENTUK UPAYA HUKUM DALAM PROSES


PERADILAN PIDANA

Disusun Oleh:
Nurul Qariati Fadila (2110113022)

Dosen Pengampu:
Iwan Kurniawan, SH.MH

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG

2022
KATA PENGANTAR

Pertama dan terutama sekali marilah kita panjatkan puji dan syukur kita kepada Allah
SWT. Yang mana atas berkat dan hidayatnya, kami bisa menyelesaikan penyusunan makalah
ini. Tak lupa shalawat dan salam kepada baginda Muhammad SAW. Yang telah membimbing
umat manusia kepada zaman yang berilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan sekarang
ini.
Makalah yang berjudul Bentuk-Bentuk Upaya Hukum dalam Proses Peradilan Pidana
ini dibuat dalam rangka meningkatkan pembelajaran mata kuliah Hukum Acara pidana.
Bentuk-Bentuk Upaya Hukum dalam Proses Peradilan Pidana dan hal hal yang berkaitan
tentangnya sangat perlu untuk kita pelajari. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah dan
memperluas wawasan kita mengenai pengertian Bentuk-Bentuk Upaya Hukum dalam Proses
Peradilan Pidana.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Iwan Kurniawan, SH.MH selaku
dosen pengampu pada mata kuliah Hukum Acara Pidana. Ucapan terimakasih kasih juga
kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.
Makalah ini kami susun semaksimal mungkin dengan segala kemampuan yang kami
miliki. Namun, kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kami
sebagai penyusun makalah, mohon kritik dan saran yang membangun sebagai koreksi bagi
kami dan demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, 28 November 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................................................2
1.3. Tujuan....................................................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................3
2.1. Perkembangan system Kepenjaraan di Indonesia.................................................................3
2.2. Sistem Pemasyarakatan.........................................................................................................7
BAB III....................................................................................................................................................9
KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................................................................................9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam praktik, istilah baku “upaya hukum” sering dikacaukan dengan jalan hukum,
dalam bahasa Inggris disebut leeway. Suatu jalan hukum yang diatur dalam KUHAP
sebagai contoh dalam hal keberatan terhadap penahanan seperti diatur dalam Pasal 123
KUHAP. Ditentukan bahwa dalam suatu pemeriksan, Penyidik dapat melakukan
penahanan dan pada saat yang sama bila penahanan itu tidak sesuai dengan syarat-syarat
menurut KUHAP yaitu syarat yuridis dan nesesitas (keperluan), maka dapat mengajukan
keberatan pada Penyidik yang bersangkutan dan kemudian pada atasannya, bila tidak
memuaskan (Pasal 123 KUHAP). Sementara dalam sistem KUHAP keberatan terhadap
suatu penahanan, upaya hukum yang sudah tersedia adalah habeas corpus, yang
diterjemahkan dengan praperadilan dalam KUHAP.

Bentuk upaya hukum terdiri dari dua bagian utama yaitu upaya hukum biasa dan luar
biasa. Upaya hukum biasa terdiri dari banding ke Pengadilan Tinggi dan Kasasi ke
Mahkamah Agung. Upaya hukum luar biasa terdiri dari pemeriksaan tingkat kasasi demi
kepentingan hukum luar biasa terdiri dari pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan
hukum dan PK atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum diberikan KUHAP pada Penuntut Umum
sementara PK untuk Terdakwa dan atau keluarganya. Adalah bertentangan dengan
konsepnya bila upaya hukum itu dijalankan secara terbalik, misalnya Penuntut Umum
mengajukan PK.

1
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana Upaya Hukum biasa di Indonesia?
1.2.2. Bagaimana Upaya hukum Luar Biasa di Indonesia?

1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk memahami Upaya Hukum biasa di Indonesia
1.3.2. Untuk memahami Upaya hukum Luar Biasa di Indonesia

2
BAB II

PEMBAHASAN

1.1. Upaya Hukum Biasa di Indonesia


Upaya hukum adalah hak yang diberikan hukum pada para pihak dalam suatu perkara
untuk dapat tidak setuju dengan suatu putusan pengadilan. Ketidaksetujuan ini harus
dinyatakan secara tertulis (biasanya formulir telah tersedia) di kepaniteraan dan harus sudah
diaktekan dalam tenggang waktu tertentu. Bila tidak dilakukan dengan cara yang sudah di
tentukan, maka akibatnya akan dianggap telah menerima putusan. Menyatakan tidak
menerima putusan dapat dilakukan Terdakwa sendiri atau Advokat yang khusus dikuasakan
untuk itu (Pasal 233 ayat (1) KUHAP).
Sekalipun suatu upaya hukum tidak dilakukan menurut cara-cara yang ditentukan,
berkas perkara tetap akan dikirim pada tingkat berikutnya namun panitera telah membubuhi
catatan dalam bentuk akte mengenai keterlambatan itu dan melekatkannya dalam berkas
perkara. Putusan akan menyatakan upaya hukum (banding atau kasasi) tidak dapat diterima.
Soal tenggang waktu dalam mengajukan upaya hukum adalah sangat penting tapi dalam
praktik bisa lupa. Apalagi tiap perkara tidak sama dalam menghitung harinya. Bila terjadi
keterlambatan akibatnya sangat fatal dan dari segi hukum profesi adalah merupakan
malpraktik. Berbeda dengan banding dan kasasi, permintaan peninjauan kembali tidak
dibatasi dengan suatu jangka waktu (Pasal 264 ayat (3) KUHAP).
Namun, dalam menghitung hari KUHAP lebih baik dari Undang-undang lainnya
sebab dalam Pasal 228 dengan tegas ditentukan bahwa jangka atau tenggang waktu untuk
mengajukan upaya hukum mulai diperhitungkan pada hari berikutnya. Perhitungan hari
berikutnya itu adalah dari pada saat putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahu.
Dalam tingkat banding, waktu untuk mengajukannya adalah tujuh hari (Pasal 233 ayat 1
KUHAP). Sementara untuk tingkat kasasi, waktu untuk mengajukannya adalah empat belas
hari (Pasal 245 ayat 1 KUHAP).
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) menyebutkan bahwa : ”Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, juga
menentukan ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu”. Praktik peradilan berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman juga menentukan,
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Hal
itu artinya setiap orang yang dihadapkan di pengadilan harus diadili secara adil oleh
pengadilan yang bebas, tidak memihak dan tidak sewenang-wenang.
Dari UUD 1945 Pasal 28 D, dapat disimpulkan bahwa diskriminatif merupakan
perbuatan yang dilakukan dengan membeda-bedakan seseorang dari berbagai aspek misalnya
agama, suku, ras dan golongan sehingga dapat menimbulkan perselisihan dan tak jarang
menimbulkan gesekan yang dapat memicu perdebatan atau pertengkaran. Dan sikap

3
diskriminatif itu juga sering dialami orang yang memiliki kekurangan fisik. Namun dimata
hukum, semua orang dianggap sama dan tidak dibedakan dengan apapun dan tak ada seorang
pun yang kebal hukum. Dan setiap orang yang diadili wajib mendapatkan perlakuan yang adil
oleh pengadilan dan pengadilan tidak boleh memihak pihak manapun.
Dapat disimpulkan bahwa upaya hukum yang dilakukan oleh terdakwa diatur oleh
undang-undang untuk dapat melawan atau menolak putusan yang telah diputuskan oleh hakim
terhadap dirinya. Didalam KUHAP, upaya hukum terbagi menjadi dua yaitu upaya hukum
biasa dan upaya hukum luar biasa. Kedua hukum tersebut memiliki perbedaan bahwa upaya
hukum biasa dapat menghentikan eksekusi untuk sementara waktu sampai memiliki keluar
sebuah putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap atau inkracht, namun dikecualikan pada
putusan yang dikabulkan tuntutan dan serta mertanya secara keseluruhan.
Dan upaya hukum luar biasa adalah upaya hukum yang dapat dilakukan pada putusan
yang sudah berkekuatan hukum tetap atau inkra dengan tidak menghentikan eksekusi pada
putusan yang telah berkuatan hukum tetap tersebut dan proses eksekusi tersebut tetap
dijalankan sesuai dengan putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan. Upaya hukum ini
dilakukan untuk mencari dan menemukan adanya bukti baru untuk diajukan sebagai fakta
yang diajukan dalam proses persidangan sebagai akibat dari kekhilafan atau kekeliruan hakim
yang tidak melihat fakta-fakta yang ada selama persidangan.

A. Perlawanan (Verzet)
Perlawanan juga sering disebut dengan istilah Verzet. Perlawanan merupakan upaya
hukum berdasarkan undang-undang dalam hal-hal yang telah ditentukan yang umumnya
bersifat insitential yang tidak dimaksudkan terhadap putusan akhir dari pengadilan negeri.
Perlawanan merupakan upaya hukum yang diajukan terhadap “putusan sela” yang
dijatuhkan oleh hakim mengenai eksepsi kewenangan mengadili. Hal ini tidak disebutkan
secara eksplisit di dalam KUHAP, namun dapat disimpulkan dari beberapa ketentuan di
bawah ini: “Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya
diterima oleh Pengadilan Tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, Pengadilan Tinggi
dengan surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan Negeri dan memerintahkan
Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu”.
Pasal 156 ayat (5) KUHAP: Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan
permintaan banding oleh terdakwa atau penasihat hukumnya kepada Pengadilan Tinggi, maka
dalam waktu empat belas hari sejak ia menerima perkara dan membenarkan perlawanan
terdakwa, Pengadilan Tinggi dengan keputusan membatalkan keputusan Pengadilan Negeri
yang bersangkutan dan menunjuk pengadilan negeri yang berwenang. Pengadilan Tinggi
menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada Pengadilan Negeri yang berwenang dan
kepada Pengadilan Negeri yang semula mengadili perkara yang bersangkutan dengan disertai
berkas perkara untuk diteruskan kepada kejaksaan negeri yang telah melimpahkan perkara itu.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa upaya hukum
perlawanan ditujukan berkenaan dengan eksepsi kewenangan mengadili suatu Pengadilan
Negeri. Perlawanan diajukan dan diperiksa oleh Pengadilan Tinggi melalui kepaniteraan
Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Namun demikian, ketentuan Pasal 156 tidak
menyinggung tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan. Menurut M. Yahya Harahap
tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan eksepsi adalah:
a) Harus diajukan segera setelah Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan sela
sehingga pengajuan perlawanan harus bersifat spontan, yaitu sesaat setelah
putusan sela dijatuhkan;

4
b) Paling lambat pada hari putusan akhir dijatuhkan. Selain itu, ada pendapat
yang menyatakan bahwa tenggang waktu perlawanan sama dengann
tenggang waktu banding sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 233
ayat (2) KUHAP, yaitu 7 (tujuh) hari dari tanggal putusan dijatuhkan.
Pihak yang dapat mengajukan perlawanan adalah penuntut umum dalam hal putusan
sela menerima eksepsi kewenangan mengadili dari terdakwa dan/atau penasihat hukumnya
dan terdakwa dan/atau penasihat hukumnya dalam hal eksepsi kewenangan mengadili yang
diajukannya ditolak atau tidak diterima oleh hakim.
Perlawanan diajukan kepada Pengadilan Tinggi dan tidak diwajibkan dengan akta
seperti akta banding. Perlawanan dapat diajukan dalam hal-hal sebagai berikut:
a) Berdasarkan Pasal 29 ayat (7) KUHAP terhadap perpanjangan penahanan
dimaksud oleh Pasal 29 ayat (2), tersangka/terdakwa mengajukan keberatan-
keberatan
b) Berdasarkan Pasal 249 ayat (1) huruf a KUHAP yakni Penuntut Umum
berkeberatan terhadap penetapan pengadilan negeri yang memuat bahwa
perkara pidana ini tidak termasuk wewenangnya.
c) Perlawanan penuntut umum berdasarkan Pasal 156 ayat (3) KUHA P yakni
keberatan Penuntut Umum atas diterimanya eksepsi terdakwa/penasihat
Hukum.
d) Perlawanan yang diajuka terdakwa/penasihat Hukum berdasarkan Pasal 156
ayat (4) terhadap Keputusan Pengadilan Negeri atas eksepsi yang diajukan.
e) Perlawanan atas Keputusan Sela yang diajukan oleh Penuntut Umum atau
terdakwa penasihat hukum Keputusan sela adalah keputusan yang
mendahului keputusan akhir
Pemakaian kata perlawanan bagi Putusan Verstek yakni putusan di luar hadirnya
terdakwa, sebagaimana dimaksud Pasal 214 ayat (4) KUHAP yakni mengenai perkara-
perkara pelanggaran lalu lintas, berbeda dengan perlawanan dimaksud pada huruf a sampai
huruf e, karena perlawanan terhadap Putusan Verstek tersebut tidak diajukan ke pengadilan
tinggi.

Proses Pemeriksaan Perkara perlawanan


Berdasarkan ketentuan Pasal 156 KUHAP, proses pemeriksaan perkara perlawanan
adalah sebagai berikut:
Pengadilan Tinggi memeriksa dan memutus perlawanan paling lambat 14 (empat
belas) hari dari tanggal penerimaan berkas perlawanan untuk kemudian segera menyampaikan
putusan ke Pengadilan Negeri yang bersangkutan.Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh
penuntut umum diterima, Pengadilan Tinggi membatalkan putusan sela Pengadilan Negeri
dan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri yang bersangkutan berwenang untuk mengadili
perkara tersebut. Kemudian, Pengadilan Negeri akan melanjutkan proses pemeriksaan
perkara. Jika perlawanan yang diajukan oleh Penuntut Umum di tolak, Pengadilan Negeri
akan mengembalikan berkas perkara kepada penuntut umum untuk selanjutnya dilimpahkan
kepada pengadilan negeri yang berwenang.
Mengenai hal ini, penuntut umum tidak dapat mengajukan upaya hukum banding atau
kasasi. Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa dan/ atau penasihat hukumnya
diterima, Pengadilan Tinggi dengan surat penetapannya membatalkan putusan Pengadilan

5
Negeri dan memerintahkan Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu,
untuk selanjutnya mengembalikan berkas perkara kepada penuntut umum untuk dilimpahkan
ke Pengadilan Negeri. yang berwenang.
Mengenai hal ini, terdakwa dan/atau penasihat hukumnya tidak dapat mengajukan
upaya hukum banding atau kasasi. Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan
permintaan banding oleh terdakwa atau penasihat hukumnya kepada Pengadilan Tinggi, maka
dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak menerima perkara dan mengabulkan perlawanan
yang diajukan oleh terdakwa, Pengadilan Tinggi mengeluarkan keputusan yang membatalkan
keputusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan menunjuk Pengadilan Negeri yang
berwenang. Kemudian, Pengadilan Tinggi menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada
pengadilan negeri yang berwenang dan kepada Pengadilan Negeri yang semula mengadili
perkara yang bersangkutan disertai dengan berkas perkara untuk diteruskan kepada kejaksaan
negeri yang telah melimpahkan perkara tersebut.

B. Banding
Pemeriksaan banding adalah pemeriksaan perkara pada tingkat II atau pengadilan
tinggi. Menurut J.C.T. Simorangkir sebagaimana yang dikutip Andi Sofyan mengungkapkan
bahwa banding adalah suatu alat hukum (rechtseniddel) yang merupakan hak terdakwa dan
hak penuntut umum untuk memohon, supaya putusan pengadilan negeri diperiksa kembali
oleh pengadilan tinggi.

Tujuan dari hak ini adalah untuk memperbaiki kemungkinan adanya kekhilafan pada
putusan oleh hakim kepada terdakwa sesudah putusannya diucapkan. Pengadilan Tinggi dapat
membenarkan, mengubah, atau membatalkan putusan pengadilan negeri. Selain itu
pemeriksaan banding sebenarnya juga merupakan suatu penilaian baru. Sehingga, dapat
diajukan saksi-saksi baru, ahliahli, dan surat-surat baru. Tidak semua putusan yang dapat
dimintakan banding. Pasal 67 KUHAP mengatur bahwa ada tiga putusan yang tidak dapat
dimintakan banding, yaitu:

1. Putusan bebas (vrijspraak);


2. Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya
penerapan hukum;
3. Putusan pengadilan dalam acara cepat (dahulu dipakai istilah perkara rol).

Selain apa yang dikecualikan dalam Pasal 67 KUHAP, terhadap pemeriksaan


praperadilan tidak dapat dimintakan banding, menurut ketentuan Pasal 83 KUHAP, yaitu:

a) Terhadap putusan praperadilan, dalam hal sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding
b) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang
menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang

6
untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah
hukum yang bersangkutan

Terkait ketentuan Pasal 83 ayat (2) KUHAP sebagaimana tersebut di atas, telah
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi
berdasarkan putusan Nomor 65/PUU-IX/2011 tertanggal 1 Mei 2013. 1Sedangkan tata cara
pengajuan dan mekanisme pemeriksaan tingkat banding, diatur dalam BAB XVII bagian
kesatu, Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 KUHAP

C. Kasasi
Upaya hukum kasasi (cassatie) merupakan lembaga hukum, dilahirkan di Perancis
dengan istilah “Cassation” dan berasal dari kata kerja “Casser” yang berarti membatalkan
atau memecahkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, kata kasasi diartikan sebagai pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh
Mahkamah Agung terhadap putusan Hakim karena putusan itu tidak sesuai benar dengan
undang-undang.

Kasasi adalah salah satu tindakan Mahkamah Agung RI sebagai pengawas tertinggi
atas putusan-putusan pengadilan lain, tetapi tidak berarti merupakan pemeriksaan tingkat
ketiga. Hal ini karena perkara dalam tingkat kasasi tidak diperiksa kembali seperti yang
dilakukan judex facti, tetapi hanya diperiksa masalah hukum/penerapan hukumnya.

Upaya kasasi merupakan hak yang diberikan kepada terdakwa maupun kepada
penuntut umum. Berbarengan dengan hak mengajukan permintaan kasasi yang diberikan
undang-undang kepada terdakwa dan penuntut umum, dengan sendiri hal itu menimbulkan
kewajiban bagi pejabat pengadilan untuk menerima permintaan kasasi, tidak ada alasan untuk
menolak. Apakah permohonan itu diterima atau ditolak, bukan wewenang Pengadilan Negeri
untuk menilai, sepenuhya menjadi wewenang Mahkmah Agung. 2

Dasar pengajuan kasasi diatur dalam Pasal 244 KUHAP, bahwa terhadap putusan
perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari
Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan
kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.

Namun kemudian frasa “kecuali terhadap putusan bebas”, dinyatakan tidak


mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor:
1
Andi Hidayat Nur Putra, Skripsi Kewenangan Pengadilan Memeriksa dan Memutus Gugatan Praperadilan
tentang Tidak Sahnya Penetapan Tersangka (Studi Kasus Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN. Jkt. Sel),
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2015, hlm. 44.
2
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,
Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 466.

7
114/PUU-X/2012 tertanggal 28 Maret 2013. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan
mekanisme pemeriksaan tingkat kasasi diatur dalam BAB XVII bagian kedua, Pasal 244
sampai dengan Pasal 258 KUHAP.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

Pasal 28:

Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:

a) Permohonan kasasi;
b) Sengketa tentang kewenangan mengadili;
c) Permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.

Pasal 30

a) Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan


Pengadilan-pengadilan dari semua Ungkungan Peradilan karena: Tidak
berwenang atau melampaui batas wewenang;
b) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peratJran perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan.

Pasal 31

a) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya


terhadap peraturan perundang-undangan di bawah ini Undang-undang
b) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan
perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada Undang-
undang Atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
c) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan
tersebut dapat diambil berhubungan dengan pem€riksaan dalam tingkat
kasasi
d) Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah
tersebut, dilakukan segera oleh instansi yang bersangkutan

8
Pasal 32

a) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap


penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman.
b) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para
Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.
c) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang
hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua
Lingkungan Peradilan.
d) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau
peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan di semua
Lingkungan Peradilan.
e) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat
(1) sampai dengan ayat (4) lidak boleh mengurangi kebebasan Hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara.

Pasal 33

a) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua


sengketa tentang kewenangan mengadili:
1. Antara Pengadilan di lingkungan Peradilan yang satu dengan
Pengadilan di Lingkungan Peradilan yang lain;
2. Antara dua Pengadilan yang ada dalam daerah hukum
Pengadilan Tingkat Banding yang berlainan dari Lingkungan
Peradilan yang sama;
3. Antara dua Pengadilan Tingkat Banding di Lingkungan
Peradilan yang sama atau antara lingkungan Peradilan yang
berlainan.
b) Mahkamah Agung berwenang memutus dalam tingkat pertama dan
terakhir, semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing
dan muatannya oleh kapal perang Republik lndonesia berdasarkan
peraturan yang berlaku

Pasal 34

Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan


kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan yang telah

9
memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur
dalam Bab lV Bagian Keempat Undang-undang ini.

1.2. Upaya Hukum Luar Biasa

Upaya hukum Peninjauan Kembali, dapat diajukan ke Mahkamah Agung. Upaya hukum
peninjauan kembali dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Permintaan peninjauan
kembali ini hak yang diberikan hukum pada Terpidana atau ahli warisnya (Pasal 263). Permintaan
pemeriksaan Peninjauan Kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu (Pasal 264 ayat 3)
Perlawanan merupakan upaya hukum yang diajukan terhadap “putusan sela” yang dijatuhkan oleh
hakim mengenai eksepsi kewenangan mengadili.
Hal ini tidak disebutkan secara eksplisit di dalam KUHAP, namun dapat disimpulkan dari
beberapa ketentuan di bawah ini: “Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat
hukumnya diterima oleh Pengadilan Tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, Pengadilan Tinggi
dengan surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan Negeri dan memerintahkan Pengadilan
Negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu”.
Pasal 156 ayat (5) KUHAP: Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan
permintaan banding oleh terdakwa atau penasihat hukumnya kepada Pengadilan Tinggi, maka dalam
waktu empat belas hari sejak ia menerima perkara dan membenarkan perlawanan terdakwa,
Pengadilan Tinggi dengan keputusan membatalkan keputusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan
dan menunjuk pengadilan negeri yang berwenang.
Pengadilan Tinggi menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada Pengadilan Negeri yang
berwenang dan kepada Pengadilan Negeri yang semula mengadili perkara yang bersangkutan dengan
disertai berkas perkara untuk diteruskan kepada kejaksaan negeri yang telah melimpahkan perkara itu.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa upaya hukum perlawanan
ditujukan berkenaan dengan eksepsi kewenangan mengadili suatu Pengadilan Negeri. Perlawanan
diajukan dan diperiksa oleh Pengadilan Tinggi melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri yang
bersangkutan. Namun demikian, ketentuan Pasal 156 tidak menyinggung tenggang waktu untuk
mengajukan perlawanan.
Menurut M. Yahya Harahap tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan
eksepsi adalah:
1. Harus diajukan segera setelah Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan sela sehingga
pengajuan perlawanan harus bersifat spontan, yaitu sesaat setelah putusan sela dijatuhkan;
2. Paling lambat pada hari putusan akhir dijatuhkan. Selain itu, ada pendapat yang menyatakan
bahwa tenggang waktu perlawanan sama dengann tenggang waktu banding sebagaimana
diatur di dalam ketentuan Pasal 233 ayat (2) KUHAP, yaitu 7 (tujuh) hari dari tanggal putusan
dijatuhkan.
Pihak yang dapat mengajukan perlawanan adalah penuntut umum dalam hal putusan sela
menerima eksepsi kewenangan mengadili dari terdakwa dan/atau penasihat hukumnya dan terdakwa
dan/atau penasihat hukumnya dalam hal eksepsi kewenangan mengadili yang diajukannya ditolak atau
tidak diterima oleh hakim.

10
DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi., Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. ------------., Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. ------------., Masalah Penegakan
Hukum, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana,
Jakarta, 2008.
Hamzah, Andi., Sistem Pdana Dan Pemidanaan Di Indonesia, PT Pradnya Paramita, Jakarta,
1993. Lamintang, P.A.F., Hukum Penitensier di Indonesia. Bandung: Armico, 1984.
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985. ----------., dan Arief, Barda
Nawawi., TeoriTeori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012). Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Penyidikan dan Penuntutan, edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).

11

Anda mungkin juga menyukai