Disusun Oleh:
Nurul Qariati Fadila (2110113022)
Dosen Pengampu:
Iwan Kurniawan, SH.MH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2022
KATA PENGANTAR
Pertama dan terutama sekali marilah kita panjatkan puji dan syukur kita kepada Allah
SWT. Yang mana atas berkat dan hidayatnya, kami bisa menyelesaikan penyusunan makalah
ini. Tak lupa shalawat dan salam kepada baginda Muhammad SAW. Yang telah membimbing
umat manusia kepada zaman yang berilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan sekarang
ini.
Makalah yang berjudul Bentuk-Bentuk Upaya Hukum dalam Proses Peradilan Pidana
ini dibuat dalam rangka meningkatkan pembelajaran mata kuliah Hukum Acara pidana.
Bentuk-Bentuk Upaya Hukum dalam Proses Peradilan Pidana dan hal hal yang berkaitan
tentangnya sangat perlu untuk kita pelajari. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah dan
memperluas wawasan kita mengenai pengertian Bentuk-Bentuk Upaya Hukum dalam Proses
Peradilan Pidana.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Iwan Kurniawan, SH.MH selaku
dosen pengampu pada mata kuliah Hukum Acara Pidana. Ucapan terimakasih kasih juga
kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.
Makalah ini kami susun semaksimal mungkin dengan segala kemampuan yang kami
miliki. Namun, kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kami
sebagai penyusun makalah, mohon kritik dan saran yang membangun sebagai koreksi bagi
kami dan demi kesempurnaan makalah ini.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................................................2
1.3. Tujuan....................................................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................3
2.1. Perkembangan system Kepenjaraan di Indonesia.................................................................3
2.2. Sistem Pemasyarakatan.........................................................................................................7
BAB III....................................................................................................................................................9
KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................................................................................9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Bentuk upaya hukum terdiri dari dua bagian utama yaitu upaya hukum biasa dan luar
biasa. Upaya hukum biasa terdiri dari banding ke Pengadilan Tinggi dan Kasasi ke
Mahkamah Agung. Upaya hukum luar biasa terdiri dari pemeriksaan tingkat kasasi demi
kepentingan hukum luar biasa terdiri dari pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan
hukum dan PK atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum diberikan KUHAP pada Penuntut Umum
sementara PK untuk Terdakwa dan atau keluarganya. Adalah bertentangan dengan
konsepnya bila upaya hukum itu dijalankan secara terbalik, misalnya Penuntut Umum
mengajukan PK.
1
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana Upaya Hukum biasa di Indonesia?
1.2.2. Bagaimana Upaya hukum Luar Biasa di Indonesia?
1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk memahami Upaya Hukum biasa di Indonesia
1.3.2. Untuk memahami Upaya hukum Luar Biasa di Indonesia
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
diskriminatif itu juga sering dialami orang yang memiliki kekurangan fisik. Namun dimata
hukum, semua orang dianggap sama dan tidak dibedakan dengan apapun dan tak ada seorang
pun yang kebal hukum. Dan setiap orang yang diadili wajib mendapatkan perlakuan yang adil
oleh pengadilan dan pengadilan tidak boleh memihak pihak manapun.
Dapat disimpulkan bahwa upaya hukum yang dilakukan oleh terdakwa diatur oleh
undang-undang untuk dapat melawan atau menolak putusan yang telah diputuskan oleh hakim
terhadap dirinya. Didalam KUHAP, upaya hukum terbagi menjadi dua yaitu upaya hukum
biasa dan upaya hukum luar biasa. Kedua hukum tersebut memiliki perbedaan bahwa upaya
hukum biasa dapat menghentikan eksekusi untuk sementara waktu sampai memiliki keluar
sebuah putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap atau inkracht, namun dikecualikan pada
putusan yang dikabulkan tuntutan dan serta mertanya secara keseluruhan.
Dan upaya hukum luar biasa adalah upaya hukum yang dapat dilakukan pada putusan
yang sudah berkekuatan hukum tetap atau inkra dengan tidak menghentikan eksekusi pada
putusan yang telah berkuatan hukum tetap tersebut dan proses eksekusi tersebut tetap
dijalankan sesuai dengan putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan. Upaya hukum ini
dilakukan untuk mencari dan menemukan adanya bukti baru untuk diajukan sebagai fakta
yang diajukan dalam proses persidangan sebagai akibat dari kekhilafan atau kekeliruan hakim
yang tidak melihat fakta-fakta yang ada selama persidangan.
A. Perlawanan (Verzet)
Perlawanan juga sering disebut dengan istilah Verzet. Perlawanan merupakan upaya
hukum berdasarkan undang-undang dalam hal-hal yang telah ditentukan yang umumnya
bersifat insitential yang tidak dimaksudkan terhadap putusan akhir dari pengadilan negeri.
Perlawanan merupakan upaya hukum yang diajukan terhadap “putusan sela” yang
dijatuhkan oleh hakim mengenai eksepsi kewenangan mengadili. Hal ini tidak disebutkan
secara eksplisit di dalam KUHAP, namun dapat disimpulkan dari beberapa ketentuan di
bawah ini: “Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya
diterima oleh Pengadilan Tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, Pengadilan Tinggi
dengan surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan Negeri dan memerintahkan
Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu”.
Pasal 156 ayat (5) KUHAP: Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan
permintaan banding oleh terdakwa atau penasihat hukumnya kepada Pengadilan Tinggi, maka
dalam waktu empat belas hari sejak ia menerima perkara dan membenarkan perlawanan
terdakwa, Pengadilan Tinggi dengan keputusan membatalkan keputusan Pengadilan Negeri
yang bersangkutan dan menunjuk pengadilan negeri yang berwenang. Pengadilan Tinggi
menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada Pengadilan Negeri yang berwenang dan
kepada Pengadilan Negeri yang semula mengadili perkara yang bersangkutan dengan disertai
berkas perkara untuk diteruskan kepada kejaksaan negeri yang telah melimpahkan perkara itu.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa upaya hukum
perlawanan ditujukan berkenaan dengan eksepsi kewenangan mengadili suatu Pengadilan
Negeri. Perlawanan diajukan dan diperiksa oleh Pengadilan Tinggi melalui kepaniteraan
Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Namun demikian, ketentuan Pasal 156 tidak
menyinggung tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan. Menurut M. Yahya Harahap
tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan eksepsi adalah:
a) Harus diajukan segera setelah Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan sela
sehingga pengajuan perlawanan harus bersifat spontan, yaitu sesaat setelah
putusan sela dijatuhkan;
4
b) Paling lambat pada hari putusan akhir dijatuhkan. Selain itu, ada pendapat
yang menyatakan bahwa tenggang waktu perlawanan sama dengann
tenggang waktu banding sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 233
ayat (2) KUHAP, yaitu 7 (tujuh) hari dari tanggal putusan dijatuhkan.
Pihak yang dapat mengajukan perlawanan adalah penuntut umum dalam hal putusan
sela menerima eksepsi kewenangan mengadili dari terdakwa dan/atau penasihat hukumnya
dan terdakwa dan/atau penasihat hukumnya dalam hal eksepsi kewenangan mengadili yang
diajukannya ditolak atau tidak diterima oleh hakim.
Perlawanan diajukan kepada Pengadilan Tinggi dan tidak diwajibkan dengan akta
seperti akta banding. Perlawanan dapat diajukan dalam hal-hal sebagai berikut:
a) Berdasarkan Pasal 29 ayat (7) KUHAP terhadap perpanjangan penahanan
dimaksud oleh Pasal 29 ayat (2), tersangka/terdakwa mengajukan keberatan-
keberatan
b) Berdasarkan Pasal 249 ayat (1) huruf a KUHAP yakni Penuntut Umum
berkeberatan terhadap penetapan pengadilan negeri yang memuat bahwa
perkara pidana ini tidak termasuk wewenangnya.
c) Perlawanan penuntut umum berdasarkan Pasal 156 ayat (3) KUHA P yakni
keberatan Penuntut Umum atas diterimanya eksepsi terdakwa/penasihat
Hukum.
d) Perlawanan yang diajuka terdakwa/penasihat Hukum berdasarkan Pasal 156
ayat (4) terhadap Keputusan Pengadilan Negeri atas eksepsi yang diajukan.
e) Perlawanan atas Keputusan Sela yang diajukan oleh Penuntut Umum atau
terdakwa penasihat hukum Keputusan sela adalah keputusan yang
mendahului keputusan akhir
Pemakaian kata perlawanan bagi Putusan Verstek yakni putusan di luar hadirnya
terdakwa, sebagaimana dimaksud Pasal 214 ayat (4) KUHAP yakni mengenai perkara-
perkara pelanggaran lalu lintas, berbeda dengan perlawanan dimaksud pada huruf a sampai
huruf e, karena perlawanan terhadap Putusan Verstek tersebut tidak diajukan ke pengadilan
tinggi.
5
Negeri dan memerintahkan Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu,
untuk selanjutnya mengembalikan berkas perkara kepada penuntut umum untuk dilimpahkan
ke Pengadilan Negeri. yang berwenang.
Mengenai hal ini, terdakwa dan/atau penasihat hukumnya tidak dapat mengajukan
upaya hukum banding atau kasasi. Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan
permintaan banding oleh terdakwa atau penasihat hukumnya kepada Pengadilan Tinggi, maka
dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak menerima perkara dan mengabulkan perlawanan
yang diajukan oleh terdakwa, Pengadilan Tinggi mengeluarkan keputusan yang membatalkan
keputusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan menunjuk Pengadilan Negeri yang
berwenang. Kemudian, Pengadilan Tinggi menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada
pengadilan negeri yang berwenang dan kepada Pengadilan Negeri yang semula mengadili
perkara yang bersangkutan disertai dengan berkas perkara untuk diteruskan kepada kejaksaan
negeri yang telah melimpahkan perkara tersebut.
B. Banding
Pemeriksaan banding adalah pemeriksaan perkara pada tingkat II atau pengadilan
tinggi. Menurut J.C.T. Simorangkir sebagaimana yang dikutip Andi Sofyan mengungkapkan
bahwa banding adalah suatu alat hukum (rechtseniddel) yang merupakan hak terdakwa dan
hak penuntut umum untuk memohon, supaya putusan pengadilan negeri diperiksa kembali
oleh pengadilan tinggi.
Tujuan dari hak ini adalah untuk memperbaiki kemungkinan adanya kekhilafan pada
putusan oleh hakim kepada terdakwa sesudah putusannya diucapkan. Pengadilan Tinggi dapat
membenarkan, mengubah, atau membatalkan putusan pengadilan negeri. Selain itu
pemeriksaan banding sebenarnya juga merupakan suatu penilaian baru. Sehingga, dapat
diajukan saksi-saksi baru, ahliahli, dan surat-surat baru. Tidak semua putusan yang dapat
dimintakan banding. Pasal 67 KUHAP mengatur bahwa ada tiga putusan yang tidak dapat
dimintakan banding, yaitu:
6
untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah
hukum yang bersangkutan
Terkait ketentuan Pasal 83 ayat (2) KUHAP sebagaimana tersebut di atas, telah
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi
berdasarkan putusan Nomor 65/PUU-IX/2011 tertanggal 1 Mei 2013. 1Sedangkan tata cara
pengajuan dan mekanisme pemeriksaan tingkat banding, diatur dalam BAB XVII bagian
kesatu, Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 KUHAP
C. Kasasi
Upaya hukum kasasi (cassatie) merupakan lembaga hukum, dilahirkan di Perancis
dengan istilah “Cassation” dan berasal dari kata kerja “Casser” yang berarti membatalkan
atau memecahkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, kata kasasi diartikan sebagai pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh
Mahkamah Agung terhadap putusan Hakim karena putusan itu tidak sesuai benar dengan
undang-undang.
Kasasi adalah salah satu tindakan Mahkamah Agung RI sebagai pengawas tertinggi
atas putusan-putusan pengadilan lain, tetapi tidak berarti merupakan pemeriksaan tingkat
ketiga. Hal ini karena perkara dalam tingkat kasasi tidak diperiksa kembali seperti yang
dilakukan judex facti, tetapi hanya diperiksa masalah hukum/penerapan hukumnya.
Upaya kasasi merupakan hak yang diberikan kepada terdakwa maupun kepada
penuntut umum. Berbarengan dengan hak mengajukan permintaan kasasi yang diberikan
undang-undang kepada terdakwa dan penuntut umum, dengan sendiri hal itu menimbulkan
kewajiban bagi pejabat pengadilan untuk menerima permintaan kasasi, tidak ada alasan untuk
menolak. Apakah permohonan itu diterima atau ditolak, bukan wewenang Pengadilan Negeri
untuk menilai, sepenuhya menjadi wewenang Mahkmah Agung. 2
Dasar pengajuan kasasi diatur dalam Pasal 244 KUHAP, bahwa terhadap putusan
perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari
Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan
kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.
7
114/PUU-X/2012 tertanggal 28 Maret 2013. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan
mekanisme pemeriksaan tingkat kasasi diatur dalam BAB XVII bagian kedua, Pasal 244
sampai dengan Pasal 258 KUHAP.
Pasal 28:
a) Permohonan kasasi;
b) Sengketa tentang kewenangan mengadili;
c) Permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Pasal 30
Pasal 31
8
Pasal 32
Pasal 33
Pasal 34
9
memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur
dalam Bab lV Bagian Keempat Undang-undang ini.
Upaya hukum Peninjauan Kembali, dapat diajukan ke Mahkamah Agung. Upaya hukum
peninjauan kembali dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Permintaan peninjauan
kembali ini hak yang diberikan hukum pada Terpidana atau ahli warisnya (Pasal 263). Permintaan
pemeriksaan Peninjauan Kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu (Pasal 264 ayat 3)
Perlawanan merupakan upaya hukum yang diajukan terhadap “putusan sela” yang dijatuhkan oleh
hakim mengenai eksepsi kewenangan mengadili.
Hal ini tidak disebutkan secara eksplisit di dalam KUHAP, namun dapat disimpulkan dari
beberapa ketentuan di bawah ini: “Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat
hukumnya diterima oleh Pengadilan Tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, Pengadilan Tinggi
dengan surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan Negeri dan memerintahkan Pengadilan
Negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu”.
Pasal 156 ayat (5) KUHAP: Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan
permintaan banding oleh terdakwa atau penasihat hukumnya kepada Pengadilan Tinggi, maka dalam
waktu empat belas hari sejak ia menerima perkara dan membenarkan perlawanan terdakwa,
Pengadilan Tinggi dengan keputusan membatalkan keputusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan
dan menunjuk pengadilan negeri yang berwenang.
Pengadilan Tinggi menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada Pengadilan Negeri yang
berwenang dan kepada Pengadilan Negeri yang semula mengadili perkara yang bersangkutan dengan
disertai berkas perkara untuk diteruskan kepada kejaksaan negeri yang telah melimpahkan perkara itu.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa upaya hukum perlawanan
ditujukan berkenaan dengan eksepsi kewenangan mengadili suatu Pengadilan Negeri. Perlawanan
diajukan dan diperiksa oleh Pengadilan Tinggi melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri yang
bersangkutan. Namun demikian, ketentuan Pasal 156 tidak menyinggung tenggang waktu untuk
mengajukan perlawanan.
Menurut M. Yahya Harahap tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan
eksepsi adalah:
1. Harus diajukan segera setelah Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan sela sehingga
pengajuan perlawanan harus bersifat spontan, yaitu sesaat setelah putusan sela dijatuhkan;
2. Paling lambat pada hari putusan akhir dijatuhkan. Selain itu, ada pendapat yang menyatakan
bahwa tenggang waktu perlawanan sama dengann tenggang waktu banding sebagaimana
diatur di dalam ketentuan Pasal 233 ayat (2) KUHAP, yaitu 7 (tujuh) hari dari tanggal putusan
dijatuhkan.
Pihak yang dapat mengajukan perlawanan adalah penuntut umum dalam hal putusan sela
menerima eksepsi kewenangan mengadili dari terdakwa dan/atau penasihat hukumnya dan terdakwa
dan/atau penasihat hukumnya dalam hal eksepsi kewenangan mengadili yang diajukannya ditolak atau
tidak diterima oleh hakim.
10
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi., Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. ------------., Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. ------------., Masalah Penegakan
Hukum, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana,
Jakarta, 2008.
Hamzah, Andi., Sistem Pdana Dan Pemidanaan Di Indonesia, PT Pradnya Paramita, Jakarta,
1993. Lamintang, P.A.F., Hukum Penitensier di Indonesia. Bandung: Armico, 1984.
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985. ----------., dan Arief, Barda
Nawawi., TeoriTeori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012). Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Penyidikan dan Penuntutan, edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
11