Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM PENITENSIER

Perkembangan Sistem Kepenjaraan dan Sistem Pemasyarakatan di


Indonesia

Disusun Oleh:
Nurul Qariati Fadila (2110113022)

Dosen Pengampu:
Iwan Kurniawan, SH.MH

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG

2022
KATA PENGANTAR

Pertama dan terutama sekali marilah kita panjatkan puji dan syukur kita kepada Allah
SWT. Yang mana atas berkat dan hidayatnya, kami bisa menyelesaikan penyusunan makalah
ini. Tak lupa shalawat dan salam kepada baginda Muhammad SAW. Yang telah membimbing
umat manusia kepada zaman yang berilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan sekarang
ini.
Makalah yang berjudul Perkembangan Sejarah Sistem Kepenjaraan dan Sistem
Pemasyarakatan di Indonesia ini dibuat dalam rangka meningkatkan pembelajaran mata
kuliah Hukum Penitensier. Sejarah Sistem Kepenjaraan dan Sistem Pemasyarakatan di
Indonesia dan hal hal yang berkaitan tentangnya sangat perlu untuk kita pelajari. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah dan memperluas wawasan kita mengenai pengertian
Lingkungan Manajerial
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Iwan Kurniawan, SH.MH selaku
dosen pengampu pada mata kuliah Hukum Penitensier. Ucapan terimakasih kasih juga kami
sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.
Makalah ini kami susun semaksimal mungkin dengan segala kemampuan yang kami
miliki. Namun, kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kami
sebagai penyusun makalah, mohon kritik dan saran yang membangun sebagai koreksi bagi
kami dan demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, 19 November 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................................................2
1.3. Tujuan....................................................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................3
2.1. Perkembangan system Kepenjaraan di Indonesia.................................................................3
2.2. Sistem Pemasyarakatan.........................................................................................................7
BAB III....................................................................................................................................................9
KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................................................................................9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pidana penjara diperkirakan dalam tahun-tahun permulaan abad ke-18 mulai tumbuh
sebagai pidana baru yang berbentuk membatasi kebebasan bergerak, merampas
kemerdekaan, menghilangkan kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai derita selama
menjalani pidana penjara bagi narapidana. Batasan arti pidana ini kemudian
dikembangkan oleh para ahli.

Dahulu istilah Penjara lekat dengan gambaran menyeramkan dan penuh dengan
penyiksaan sebagai bentuk sanksi dan bagian dari sistem hukum yang memiliki fungsi,
seperti fungsi penderitaan bagi pelanggar hukum agar membuat efek jera, juga sebagai
fungsi pengasingan untuk mengurung seseorang disatu tempat dan mencegah
bersangkutan berinteraksi dengan masyarakat.

Dengan merasakan penderitaan, seorang narapidana diharapkan akan jera dan ketika
masa hukumannya berakhir ia tidak mengulangi perbuatan melanggar atau melawan
hukum. Atas latar belakang seperti itulah, konsep Pemasyarakatan pertama kali digagas
oleh Menteri Kehakiman Dr. Sahardjo pada tahun 1962 yang dicetuskan pada
penganugerahan gelar Doktor Honoris Cousa oleh Universitas Indonesia. Pokok-pokok
pikiran tersebut kemudian dijadikan prinsip-prinsip pokok dari konsep pemasyarakatan
pada konfrensi Dinas Derektorat Pemasyarakatan di Lembang Bandung pada tanggal 27
April – 7 Mei 1974.

Dalam konfrensi ini dihasilkan keputusan bahwa pemasyarakatan tidak hanya semata-
mata sebagai tujuan dari pidana penjara, melainkan merupakan sistem pembinaan
narapidana dan tangal 27 April 1964 ditetapkan sebagai hari lahirnya pemasyarakatan.
Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batasan serta cara
pembinaan warga binaan pemasyarakatan (narapidana, anak didik dan klien
pemasyarakatan) berdasarkan Pancasila.

1
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana Perkembangan Sistem Kepenjaraan di Indonesia?
1.2.2. Bagaimana Sistem Pemasyarakatan di Indonesia?

1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk memahami Sejarah Perkembangan Sistem Kepenjaraan di Indonesia
1.3.2. Untuk memahami Sistem Pemasyarakatan di Indonesia

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Perkembangan system Kepenjaraan di Indonesia


Menurut Keputusan lama sampai pada modifikasi hukum Perancis yang dibuat pada
tahun 1670 belum dikenal pidana penjara, terkecuali dalam arti tindakan penyanderaan
dengan penebusan uang atau penggantian hukuman mati sebelum ditentukan keringanan
hukuman dengan cara lain. Di Inggris sesudah Abad Pertengahan (kurang lebih tahun 1200-
1400) dikenal hukuman kurungan gereja dalam sel (cell), dan pidana penjara bentuk kuno di
Bridwedell (pertengahan abad ke-16) yang dilanjutkan dengan bentuk pidana penjara untuk
bekerja menurut Act of 1576 dan Act of 1609 dan pidana penjara untuk dikurung menurut
ketentuan Act of 1711. Dalam hal ini Howard Jones menerangkan, bahwa sejak jaman Raja
Mesir pada tahun 2.000 Sebelum Masehi (SM) dikenal pidana penjara dalam arti penahanan
selama menunggu pengadilan, dan ada kalanya sebagai penahanan untuk keperluan lain
menurut Hukum Romawi dari Jaman Justianus abad 5 SM. Di sekitar abad ke-16 di Inggris
terdapat pidana penjara dalam arti tindakan untuk melatih bekerja di Bridewell yang terkenal
dengan nama Thriftless Poor bertempat di bekas istana Raja Edward VI tahun 1522.
Kemudian setelah dikeluarkan Act of 1630 dan Act of 170 dikenal institusi pidana penjara
yang narapidananya dibina The House of Correction.
Kesimpulan sementara dari catatan sejarah pertumbuhan pidana yang dikenakan pada
badan orang dapat diperoleh gambaran, bahwa pidana penjara diperkirakan dalam tahun-
tahun permulaan abad ke-18 mulai tumbuh sebagai pidana baru yang berbentuk membatasi
kebebasan bergerak, merampas kemerdekaan, menghilangkan kemerdekaan yang harus
dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana penjara bagi narapidana. Batasan arti
pidana ini kemudian dikembangkan oleh para ahli.1
Persoalan tentang bagaimana caranya pidana penjara tersebut dijalankan, maka hal ini
terutama menyangkut masalah stelsel dari pidana penjara. Pertama-tama adalah stelsel sel.
Stelsel sel pertama kali dilakukan di kola Philadelphia, di negara bagian Pensylvania
Amerika Serikat. Karena itulah dinamakan Stelsel Pensylvania. Sel adalah kamar kecil untuk
seorang. jadi orang-orang terpenjara dipisahkan satu sama lain untuk menghindarkan
penularan pengaruh jahat. Kedua adalah Auburn Stelsel. Stelsel ini pun pertama kali
dijalankan di Auburn (New York), karena itu maka dinamakan Stelsel Auburn. Memang
sistem stelsel sel ini menimbulkan kesukaran-kesukaran, terutama dalam hal pemberian
pekerjaan. Kebanyakan pekerjaan kerajinan hanya dapat dilaksanakan dalam bengkel-
bengkel yang besar dengan tenaga-tenaga berpuluh-puluh orang bersama-sama.

1
Bambang Purnomo. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan. Yogyakarta : Liberty.
hlm. 40-41

3
Pidana penjara sesungguhnya adalah satu jenis pidana perampasan kemerdekaan. Di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHP) dari
banyak negara, jenis pidana ini tergolong ke dalam pidana pokok, termasuk Negara
Indonesia.2
Namun di masa penjajahan Belanda, pada saat itu Belanda mulai menguasai beberapa
bagian dari Indonesia, maka sejak itulah dirasa perlu diadakan peradilan untuk orang-orang
Pribumi. Hukum yang berlaku yaitu hukum yang berlaku atau yang dianggap berlaku bagi
orang pribumi dengan batasan antara lain, mengenai jenis pidana dan asas keseimbangan di
dalam penjatuhan pidana, pidana potong tangan dan kaki dihapus, sedang yang masih
dipertahankan adalah pembakaran, penusukan dengan keris, penderaan, mencap dengan besi
panas, perantaian, dan hukuman kerja paksa.3
Pada zaman Hindia Belanda, berdasarkan penelitian Notosoesanto4, yang dilakukan
beliau ketika menjabat sebagai Kepala Jawatan Kepenjaraan, rumah tahanan pada zaman
Penjajahan Belanda ada tiga macam:
1. Bui (1602) tempatnya dibatasi pemerintah kota.
2. Ketingkwarter, merupakan tempat buat orang-orang perantauan. 3.
Vrouwentuchthui adalah tempat menampung orang-orang perempuan Bangsa
Belanda yang karena melanggar kesusilaan (overspel).
Sejarah Kepenjaraan di Indonesia
Perkembangan kepenjaraan di Indonesia terbagi menjadi 2 kurun waktu dimana tiap-
tiap kurun waktu mempunyai ciri tersendiri, diwarnai oleh aspek-aspek sosio kultural, politis,
ekonomi yaitu: Kurun waktu pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan di Indonesia sebelum
proklamasi kemerdekaan RI (1872-1945), terbagi dalam 4 periode yaitu :
1. Periode kerja paksa di Indonesia (1872-1905). Pada periode ini terdapat 2 jenis
hukum pidana, khusus untuk orang Indonesia dan Eropa. Hukum pidana bagi
orang Indonesia ( KUHP 1872 ) adalah pidana kerja, pidana denda dan pidana
mati. Sedangkan hukum pidana bagi orang Eropa (KUHP 1866) telah
mengenal dan dipergunakan pencabutan kemerdekaan (pidana penjara dan
pidana kurungan). Perbedaan perlakuan hukuman pidana bagi orang Eropa
selalu dilakukan di dalam tembok (tidak terlihat) sedangkan bagi orang
Indonesia terlihat oleh umum.
2. Periode pelaksanaan pidana di Indonesia menjelang berlakunya Wetboek Van
Strafrecht Voor Nederland Indie ( KUHP, 1918 ) periode penjara sentral
wilayah ( 1905-1921 ). Periode ini ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk
memusatkan penempatan para terpidana kerja paksa di dalam pusat-pusat
penampungan wilayah. Pidana kerja lebih dari 1 tahun yang berupa kerja
paksa dengan dirantai atau tanpa dirantai dilaksanakan diluar daerah tempat
asal terpidana. Kemudian sejak tahun 1905 timbul kebijaksanaan baru dalam
pidana kerja paksa dilakukan di dalam lingkungan tempat asal terpidana.

2
Roeslan Saleh. 1981.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan. Jakarta. Aksara Baru. Hal. 25.
3
Sudarto. 1981.Masalah Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan, Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung.
Alumni. Hal. 25
4
Andi Hamzah. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta. Pradnya Paramita. Hal. 77.

4
3. Periode pelaksanaan pidana di Indonesia setelah berlakunya Wetboek Van
Strafrecht Voor Nederland Indie (KUHP 1918) periode kepenjaraan Hindia
Belanda ( 1921-1942 ). Pada periode ini terjadi perubahan sistem yang
dilakukan oleh Hijmans sebagai kepala urusan kepenjaraan Hindia Belanda, ia
mengemukakan keinginannya untuk menghapuskan sistem dari penjara-
penjara pusat dan menggantikannya dengan struktur dari sistem penjara untuk
pelaksanaan pidana, dimana usaha-usaha klasifikasi secara intensif dapat
dilaksanakan Hijmans. Pengusulan adanya tempat-tempat penampungan
tersendiri bagi tahanan dan memisahkan antara terpidana dewasa dan anak-
anak, terpidana wanita dan pria.
4. Periode pelaksanaan pidana di Indonesia dalam periode pendudukan
balatentara Jepang (1942-1945). Pada periode ini menurut teori perlakuan
narapidana harus berdasarkan reformasi atau rehabilitasi namun dalam
kenyataannya lebih merupakan eksploitasi atas manusia. Para terpidana
dimanfaatkan tenaganya untuk kepentingan Jepang. Dalam teori para ahli
kepenjaraan Jepang perlu adanya perbaikan menurut umur dan keadaan
terpidana. Namun pada kenyataannya perlakuan terhadap narapidana bangsa
Indonesia selama periode pendudukan tentara Jepang merupakan lembaran
sejarah yang hitam dari sejarah kepenjaraan di Indonesia, hal ini tidak jauh
berbeda dengan keadaan sebelumnya (penjajahan Belanda).
Dasar Hukum Sistem Penjara Sebelum Kemerdekaan
A. Ordonnantie op de Voorwaardilijke Ivrijheidstelling (Stb. 1917- 149.27 Desember
1917 jo. Stb. 1926-488).
B. Gestichtenreglement (Stb. 1917-708, 10 Desember 1917).
C. Dwangopvoedingsregeling (Stb. 1917-741, 24 Desember 1917).
D. Uitvoeringsordonnantie op de Voorwaardilijke Veroordeeling (Stb. 1926-487. 6
November 1926).
Perubahan besar dalam sistem penjara dan perbaikan keadaan penjara baru dimulai
pada tahun 1905. Beberapa penjara yang lebih luas dan sehat mulai didirikan, pegawai-
pegawai yang dianggap cakap dalam urusan kepenjaraan mulai direkrut. Di penjara
Glodok diadakan percobaan dengan cara memberikan pekerjaan dalam lingkungan pagar
tembok penjara kepada beberapa narapidana kerja paksa.5 Sehubungan dengan percobaan
ini, maka Staatblad 1871 No. 78 mendapat sediki perubahan. Dalam jangka waktu 1905
sampai 1918 didirikan penjara-penjara untuk dijadikan contoh.
Penjara-penjara pusat biasanya berukuran sangat besar, dengan kapasitas kira-kira
untuk 700 orang terpiidana, merupakan gabungan Huis van Bewaring (rumah penjara
pidana berat), yang sukar untuk mengurusnya karena masing-masing golongan
menghendaki cara perlakuan yang khusus. Pada tahun 1931 ada beberapa penjara yang
mempunyai kedudukan khusus yaitu :
1. Penjara Sukamiskin dijadikan penjara istimewa untuk semua golongan yang
terpelajar dan berkedudukan dalam masyarakat.
2. Penjara Sukamiskin diberikan percetakan.
5
Mohammad Taufik Makarao. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Yogyakarta. Kreasi Wacana. Hal.
139.

5
3. Di Penjara Cipinang dilanjutkan percobaan dengan chambretta (tempat tidur yang
terpisah untuk narapidana).
4. Bagian-bagian untuk orang-orang komunis di Penjara Padang dan Glodok
dihapuskan dan dipindah ke Pamekasan.
5. Penjara untuk anak-anak di Pamekasan dihapuskan dan digunakan untuk
orangorang yang dituduh komunis dan penjara anak-anak di Banyubiru dan
Tangerang.
6. Mengadakan percobaan dengan ploeg-stukloon system 7 (tujuh) atau 8 (delapan)
orang bekerja bersama-sama dengan mendapat upah).
Sejarah masa lampau tentang gambaran penjara pada zaman penjajahan Belanda,
penuh dengan penderitaan yang kini masih terlihat pada bangunan-bangunan penjara
dengan sel-selnya. Bangunan penjara dirancang sedemikian rupa secara khusus
sebagai tempat untuk membuat jera para pelanggar hukum. Oleh karena itu namanya
menjadi penjara, yaitu tempat untuk membuat jera.
Kemudian pada zaman kemerdekaan tercetuslah gagasan pemasyarakatan
yang dikemukakan oleh Sahardjo dalam pidatonya saat penerimaan gelar Doktor
Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963.
Dalam pidatonya itu beliau memberikan rumusan dari tujuan pidana penjara sebagai
berikut: “Di samping itu menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya
kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia
menjadi seorang anggota masyarakat Indonesia yang berguna, dengan perkataan yang
lain, tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan, yang mengandung makna bahwa
tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh
terpidana, melainkan juga orang-orang yang telah tersesat, diayomi oleh pohon
beringin dan diberikan bekal hidup sehingga menjadi seorang anggota masyarakat
sosialis Indonesia yang berguna.
Jika berbicara tentang sistem pemasyarakatan, maka tidak terlepas dengan
salah seroang pemimpin di bidang pemasyarakatan yang telah ada sejak zaman Hindia
Belanda, yaitu Bachroedin Soerjobroto. Beliau mengemukakan, bahwa prinsip
pemasyarakatan itu adalah “pemulihan kembali kesatuan hubungan hidup, kehidupan
dan penghidupan, yang terjalin antara manusia dengan pribadinya, manusia dengan
sesamanya, manusia dengan masyarakat, manusia sebagai keseluruhan, manusia
dengan alamnya dan (dalam keseluruhan ini manusia sebagai makhluk Tuhan,
manusia dengan KhalikNya).
Walaupun istilah penjara telah diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan,
namun pelaksanaannya masih menghadapi beberapa masalah, antara lain :
a. Gedung-gedung penjara peninggalan Belanda masih tetap dipergunakan,
karena merubah sesuai dengan cita-cita pemasyarakatan memerlukan biaya
yang sangat besar.
b. Petugas-petugas pemasyarakatan masih sedikit sekali yang memahami
tujuan pemasyarakatan.
c. Masalah biaya dan masyarakat yang masih belum dapat menerima
narapidana setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Dalam
perkembangan selanjutnya diharapkan Indonesia terus melakukan segala

6
macam upaya perbaikan dan penyempurnaan penyelenggaraan Lembaga
Pemasyarakatan sesuai dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut dengan : UU No. 12/1995)

2.2. Sistem Pemasyarakatan

Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno dalam konferensi dinas Pemasyarakatan


tahun 1964, menyampaikan arti penting pembaharuan pidana penjara di Indonesia, yaitu
merubah nama kepenjaraan menjadi pemasyarakatan. Berdasarkan pertimbangan ini
kemudian disusun suatu pernyataan tentang Hari Lahir Pemasyarakatan Republik Indonesia
pada hari Senin tanggal 27 April 1964 dan Piagam Pemasyarakatan Indonesia.
Selanjutnya dalam sambutan Menteri Kehakiman RI dalam pembukaan rapat kerja
terbatas Direkorat Jenderal Bina Tuna Warga tahun 1976 menegaskan kembali prinsip-
prinsip untuk bimbingan dan pembinaan sistem pemasyarakatan yang sudah dirumuskan
dalam Konfernsi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang Jawa Barat. Maka
dirumuskanlah sepuluh (10) prinsip dasar yang kemudian menjadi salah satu landasan dalam
pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Republik Indonesia.
Sesuai dengan tuntutan dari apa yang tercantum dalam sepuluh prinsip
Pemasyarakatan itu, maka perlakuan terhadap narapidana dan anak didik harus berpedoman
pada pembinaan. Kesepuluh prinsip yang dihasilkan dalam Konferensi Lembang tersebut,
dinilai sangat baik untuk digunakan dalam menjalankan pmbinaan narapidana dan anak didik.
Maka sebaiknya para petugas lembaga pemasyarakatan yang ada diseluruh Indonesia
diharapkan dapat berusaha dengan maksimal untuk melaksanakannya.
Dengan demikian perlakuan terhadap narapidana dan anak didik adalah melakukan
pembinaan, agar narapidana itu menjadi manusia yang berguna di masa mendatang. Program
pembinaan harus disusun sedemikian rupa dan dengan segala pertimbangan, agar manfaatnya
dapat dirasakan oleh narapidana dan anak didik, kemudian diharapkan menumbuhkan
kesadaran hukum narapidana dan anak didik secara baik. Program-program pembinaan yang
teratur, dan disusun secara matang serta yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan
kelayakan akan menjamin integritas sistem pemasyarakatan.
10 (sepuluh) prinsip pemasyarakatan berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan:
1. Ayomi dan berikan hidup agar mereka dapat menjalankan perannya sebagai
warga masyarakat yang baik dan berguna.
2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan.
3. Berikan bimbingan (bukan penyiksaan) supaya mereka bertaubat.
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk, atau lebih jahat
daripada sebelum dijatuhi pidana.

7
5. Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya pada narapidana dan
anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh
bersifat sekedar pengisi waktu.
7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik
adalah berdasarkan Pancasila.
8. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit yang perlu diobati agar
mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya adalah
merusak dirinya, keluarganya, dan lingkungannya kemudian dibina dan
dibimbing kejalan yang benar.
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi
kemerdekaan dalam jangka waktu tertentu.
10. Pembinaan dan bimbingan diberikan kepada narapidana serta anak didik maka
disediakan sarana yang diperlukan.
Mengenai struktur sistem pemasyarakatan, tentang perubahan yang dilakukan
sebagai berikut: pemasyarakatan berorientasi pada pengayoman dan pembinaan.
Pembinaan narapidana dan anak didik berdasarkan sistem pemasyarakatan ini
berlaku untuk segala segi yang ada dalam proses pembinaan pemasyarakatan.
Baik untuk pmbinaannya di dalam lembaga pemasyarakatan maupun mengenai
pembinaannya di luar lembaga pemasyarakatan.
Sistem pemasyarakatan di dalamnya terdapat proses pemasyarakatan yang
diartikan sebagai suatu proses pemasyarakatan yang diartikan sebagai suatu proses
sejak seorang narapidana atau anak didik masuk ke Lembaga Pemasyarakatan
sampai dengan kembali ke dalam kehidupan masyarakat. Proses pembinaan ini
dilaksanakan melalui 4 (empat) tahap. Tahap pertama, yaitu tahap maximum
security sampai batas 1/3 dari masa pidana yang dijatuhkan. Tahap kedua adalah
medium security sampai batas ½ dari masa pidana yang dijatuhkan. Tahap ketiga,
minimum security sampai batas 2/3 dari masa pidana yang dijatuhkan. Tahap
keempat yaitu tahap integrasi dan selesainya 2/3 dari masa pidana sampai habis
masa pidananya. Tahap-tahap sebagaimana telah diuraikan di atas hanya diberikan
apabila narapidana benar-benar mengikuti aturan-aturan yang telah berlaku di
dalam Lembaga Pemasyarakatan, serta mengikuti pembinaan yang diberikan oleh
petugas-petugas Lembaga Pemasyarakatan dengan tekun hingga berkelakuan baik
dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin.
Tetapi apabila dia berkelaukan tidak baik maka dia tidak akan dinaikkan ke
tahap berikutnya atau misalnya dia sudah berkelakuan baik dan naik pada tahap
berikutnya, namun dia membuat keributan dan mengadakan pemberontakan di
dalam Lembaga Pemasyarakatan, atau bahkan melarikan diri lalu kemudian
tertangkap lagi, maka dia kembali ke tahap pertama (tahap maximum security).
Untuk itu secara idealnya setiap Lembaga Pemasyarakatan secara khusus
diperuntukkan bagi narapidana atau anak didik berdasarkan pada tahap-tahap
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Misalnya Lembaga Pemasyarakatan khusus
untuk narapidana pada tahap maximum security saja atau untuk tahap medium
security saja ataupun untuk tahap minimum security saja. Ini disebut Lembaga
Pemasyarakatan “Single Purpose”.

8
Posisi Lembaga Pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan di dalam sistem
peradilan pidana sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari sistem
peradilan pidana, yaitu rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum, bahkan
sampai kepada penaggulangan kejahatan (surpression of crime).
Keberhasilan dan kegagalan pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga
Pemasyarakatan akan memberikan kemungkinankemungkinan penilaian yang
dapat bersifat positif maupun negatif. Penilaian itu bersifat positif, apabila bekas
narapidana menjadi warga masyarakat yang taat pada hukum. Penilaian itu dapat
negatif, bahkan mencela Lembaga Pemasyarakatan jika mantan narapidana yang
pernah dibina menjadi seorang residivis. Isi pada Pasal 5 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yaitu sistem
pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:
a) Pengayoman.
b) Persamaan perlakuan dan pelayanan.
c) Pendidikan.
d) Pembimbingan.
e) Penghormatan harkat dan martabat manusia.
f) Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan.
g) Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-
orang tertentu.

9
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

1.1 Kesimpulan
Lembaga Pemasyarakatan merupakan suatu badan atau organisasi yang mengatur
sekolompok orang sebagai satu kesatuan sosial dengan batasanbatasan tertentu.
Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan Lembaga Pemasyarakatan secara khusus
dapat disebut sebagai suatu organisasi atau lembaga yang mempunyai kewajiban
membina sekelompok masyarakat karena telah melakukan pelanggaran terhadap
peraturan perundangundangan sehingga diharapkan lembaga tersebut dapat berfungsi
sebagai suatu badan yang benar-benar mampu membina seseorang atau sekelompok
orang sehingga dapat lebih baik dari keadaan semula dan menjadi manusia seutuhnya
serta tidak mengulangi perbuatan yang telah dilakukan.
1.2 Saran
Problem Lembaga Pemasyarakatan dalam pembentukan karakter dan pribadi di
tinjau dalam perpektif sosiologi meliputi hal hal sebagai berikut Kurang berjalannya
pelaksanaan program pembinaan dengan baik, Rendahnya minat narapidana itu
sendiri untuk mengikuti program pembinaan, Kurangnya memadai tenaga teknis
pemasyarakatan, Rendahnya seman gat petugas untuk melaksanakan tugasnya,
Petugas kurang menguasai di bidang tugasnya masingmasing, Kurang mendukung
sarana dan prasarana dalam pelaksanaan tugas.

10
DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi., Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. ------------., Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. ------------., Masalah Penegakan
Hukum, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana,
Jakarta, 2008.
Hamzah, Andi., Sistem Pdana Dan Pemidanaan Di Indonesia, PT Pradnya Paramita, Jakarta,
1993. Lamintang, P.A.F., Hukum Penitensier di Indonesia. Bandung: Armico, 1984.
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985. ----------., dan Arief, Barda
Nawawi., TeoriTeori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998.
Utrecht, E., Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1965.
Ismail Rumadan, Problem Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia Dan Reorientasi Tujuan
Pemidanaan, Jurnal Hukum Dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013.
Mohammad Taufik Makarao. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Yogyakarta.
Kreasi Wacana. Hal. 139.
Sudarto. 1981.Masalah Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan, Kapita Selekta Hukum
Pidana. Bandung. Alumni.
Andi Hamzah. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta. Pradnya Paramita.

11

Anda mungkin juga menyukai