Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

SEJARAH HUKUM

KONSEP DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM DI INDONESIA


SEJAK AWAL MASA HIDIA BELANDA, MASA ORDE LAMA, MASA
ORDE BARU, MASA REFORMASI HINGGA SEKARANG

Kelompok 1:

1. NUR LAISA AULIA PUTRI


( 221010200628 )

2. REWAN NOPRISYAH
( 2210101119 )

3. DIMANUS LOTA DENGI


( 221010200600 )

4. EVITA SINITTA CHATRIEN


( 221010202112 )

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
TAHUN 2022/2023

1
DAFTAR ISI

COVER ……………………………………………………………………........ i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………........ ii
KATA PENGANTAR ……………….……..…………………………………... 3
I. PENDAHULUAN………………………………………………………… 4
A. Latar Belakang .…………………………………………….……… 4
B. Rumusan Masalah ………………………………………………… 4
C. Tujuan Pembahasan ……………………………………………… 4
II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………... 5
II. PEMBAHASAN………………………………………………………….. 6
A. Teori Sejarah Hukum ……………………………………………….. 6
B. Kegunaan Sejarah Hukum …………………………………………. 6
C. Sejarah Hukum di Indonesia ……………………………………….. 6
IV. PENUTUP ……………………………………………………………… 22
A. Kesimpulan ………………………………………………………….22

V. DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 23

2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Waraohmatullahi Wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang tekah memberi Saya kekuatan dan petunjuk untuk
menyelesaikan tugas makalah ini. Tanpa pertolonganNya Saya tidak akan bisa menyelesaikan
makalah ini dengan baik.
Makalah ini disusun berdasarkan tugas dari proses pembelajaran yang telah Saya terima di
bidang studi Sejarah Hukum di Universitas Pamulang.
Makalah ini memuat tentang Konsep dan sejarah perkembangan Hukum di Indonesia sejak
awal masa Hindia Belanda, Masa Orde Lama, Masa Orde Baru, Masa Reformasi hingga
sekarang.
Semoga makalah yang telah Saya buat ini dapat membawa nilai dan manfaat yang baik oleh
Pembaca. Namun terlepas dari itu, Saya memahami bahwa makalah in masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih berkualitas dan lebih baik lagi.
Akhir kata Saya ucapkan Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh.

Tangerang Selatan, 11 September 2022

Penyusun

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sejarah


Dalam setiap sudut dalam kehidupan ini pasti terkait dengan yang namanya
hukum, dimana merupakan sebuah sistem yang dibuat oleh manusia untuk membatasi
tingkah laku manusia agar dapat bisa terkontrol. Hukum juga merupakan alat yang
dapat digunakan untuk menegakan dan mencari keadilan. Oleh sebab itu setiap
masyarakat berhak untuk memperoleh pembelaan di depan hukum sehingga bisa
diartikan hukum merupakan ketentuan atau peraturan tertulis maupun tidak tertulis
yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi yang
melanggarnya. Dengan demikian perlu adanya kita mempelajari awal sejarah
berdirinya Hukum terutama yang berlaku di Indonesia. Hal inilah yang menjadi alasan
utama Penulis dalam membuat makalah ini. Dengan motivasi tesebut tersebut diatas
Penulis ingin mengetahui secara rinci awal terbentuknya hukum di negara Indonesia
sejak periode penjajahan bangsa Eropa hingga masa sekarang. Sehingga dengan
tersusunnya makalah ini,akan menjadi materi yang penting untuk memperjelas secara
runtun dan sistematis bagaimana awal terbentuknya suatu hukum di Indonesia yang
terjadi secara evolutif.
B. Rumusan Masalah
Kajian permasalahan dalam makalah ini adalah yang pertama bagaimana
konsep awal hukum di Indonesia terbentuk dan berdiri dengan tahap – tahap evolusi
lahirnya hukum – hukum baru yang menggantikan hukum sebelumnya dalam setiap
periode selanjutnya yang kedua bagaimana mekanisme pelaksanaan hukum tersebut
berjalan dan berlaku di sendi sendi kehidupan masyarakat dalam setiap periode masa
lampau hingga saat ini.

C. Tujuan Pembahasan
Penulisan makalah ini adalah bagaimana Penulis memberikan gambaran
kepada Pembaca untuk menambah kaidah wawasan tentang sejarah perkembangan
hukum di masyarakat yang masing – masing periode memunculkan lahirnya hukum-
hukum baru yang menggantikan hukum sebelumnya
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah didefisinikan sebagai catatan tentang masyarakat umum manusia atau peradaban
manusia yang terjadi pada watak/sifat masyarakat itu. Selain itu menurut R Moh Ali dalam
bukunya Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, sejarah merupakan ilmu yang bertugas
menyelidiki perubahan-perubahan, kejadian dan atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar
kita. Dengan demikian, sejarah dapat diartikan sebagai suatu pengungkapan dari kejadian
dana atau peristiwa dari kejadian masa lalu.
Sehingga dengan adanya definisi tentang sejarah di atas, Penulis mendapat kesimpulan bahwa
sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum yang mempelajari perkembangan da
asal-usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara
hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu.
Pemikiran tentang sejarah hukum pertama kali dipelopori oleh Friedrich Carl Von Savigny
menyebutkan “Das Recht Wird Nicht Genacht Ist Ist Undwird Mit Dem Volke” yang artinya
hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Sehingga
hukum dilihat sebagai suatu bagian yang tak terpisahkan dengan sejarah bangsa, oleh
karenanya hukum berubah menurut waktu dan tempatnya. Dan apabila dikatakan hukum itu
itu terus tumbuh maka dapat diartikan bahwa sistem hukum yang sekarang senantiasa
berhubungan dengan sistem hukum di masa lalu yang terlebih dahulu terbentuk dan berlaku.
Sedangkan Sir Henry James Summer Maine (Pelopor Sejarah Hukum Inggris) berpendapat
bahwa “Hukum berkembang dari bentuk Statuta (Undang-Undang) ke bentuk kontrak
(Perjanjian). Hukum ada karena adanya kontrak-kontrak antar masyarakat (dari masyarakat
sederhana ke masyarakat modern). Dalam masyarakat modern, hukum dibuat secara sukarela
oleh masyarakat dalam bentuk kontrak-kontrak atau kesepakatan-kesepakatan antar
masyarakat.

5
BAB III
PEMBAHASAN
1. Teori Sejarah Hukum
Munculnya teori hukum tidak dapat dilepaskan dari lingkungan jaman yang terus
berkembang, karena teori hukum hadir sebagai selah satu jawaban yang diberikan
terhadap permasalahan hukum yang terjadi pada suatu masa.
Dalam perkembangannya, teori hukum memiliki berbagai macam aliran, dari aliran
teokrasi, madzhab hukum alam dan aliran positifisme sampai aliran hukum sejarah yang
masing- masing mempunyai pandangan perspektif masing-masing. Pada makalah ini
Penulis akan menguraikan tentang kajian teori sejarah hukum yang dikemukakan oleh
para ahli antara lain sebagai berikut:
a. Friedrich Carl Von Savigny (1770-1861)
Savigny adalah seorang yuridis (ahli hukum) Jerman yang sukses membuat
Jerman tidak mengkodifikasi hukum perdata selama hampir 100 tahun. Savigny
menganggap bahwa hukum kebiasaan sebagai sumber hukum formal. Hukum tidak
dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Pandangannya
bertitik tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa dan tiap-tiap bangsa memiliki
“Volksgeist” jiwa rakyat. Savigny berpendapat bahwa semua hukum berasal dari adat
istiadat dan kepercayaan dan bukan dari pembentukan undang-undang. Penggagas
teori ini melihat hukum sebagai entitas yang organis namun dinamis. Hukum menurut
teori ini dipandang sebagai suatu yang natural, tidak dibuat, melainkan hidup dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat. Hukum bukanlah sesuatu yang statis,
melainkan dinamis karena akan senantiasa berubah seiring dengan perubahan tata
nilai di masyarakat.

b. Puchta (1798-1846)
Puchta berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa yang
bersangkutan. Hukum menurut Puchta dapat berbentuk (1) langsung berupa adat
istiadat (2) melalui undang-undang, (3) melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para
ahli hukum.
Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus
disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisir dalam negara. Negara
6
mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang. Puchta mengutamakan
pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa sehingga pada akhirnya tidak ada
ruang lagi bagi sumber-sumber hukum yang lain yang dapat dipraktekkan dalam adat
istiadat bangsa dan diolah oleh ahli-ahli hukum kecuali hukum yang dibentuk oleh
negara itu sendiri.
c. Henry Summer Maine (1822-1888)
Maine memiliki predikat sebagai pelopor Mazhab Sejarah di Inggris. Salah
satu penelitiannya yang terkenal adalah tentang studi perbandingan perkembangan
lembaga-lembaga hukum yang ada dan terbentuk pada masyarakat sederhana dan
msyarakat yang telah maju. Maine melakukan penelitian tersebut dengan dasar
pendekatan sejarah. Kesimpulan dari penelitian Maine kembali memperkuat
pemikiran Von Savigny yang membuktikan adanya evolusi pada berbagai masyarakat
dari masa ke masa.

2. Kegunaan Sejarah Hukum


Sebagai suatu disiplin ilmu, sejarah hukum tergolong pengetahuan yang masih muda
dan belum banyak dikenal bahkan di kalangan pakar hukum sendiri sehingga
pertumbuhan dan perkembangannya belum menggembirakan. Salah satu penyebab hal itu
terjadi karena belum disadarinya nilai penting disiplin ilmu baru ini dalam menunjang dan
memahami ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum positif.
Menurut John Gilisen dan Frist Gorle, ada beberapa kegunaan dalam mempelajari sejarah
hukum antara lain:
a. Sejarah Hukum mengajarkan bahwa hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan
letak (Hukum Amerika, Hukum Indonesia, Hukum Belgia dan sebagainya),
melainkan hukum juga berubah dalam lintasan waktu
b. Dengan mempelajari sejarah hukum, kita dapat mengerti tentang norma-norma hukum
yang berlaku dewasa ini.
c. Merupakan suatu acuan dan pegangan bagi kaum yuridis untuk mengenal budaya dan
pranata hukum
d. Memahami bahwa dari sejarah diketahui bahwa hal ikhwal tujuan hukum dari masa
perkembangannya adalah semata-mata sebagai perlindungan hak asasi manusia
terhadap perbuatan semena-menaatau tidak sesuai dengan mestinya.

3. Sejarah Hukum di Indonesia


7
a. Masa Penjajahan Bangsa Eropa sampai dengan Tahun 1942
(1) Pada Masa Penjajahan Belanda Pertama
Pengaruh kuat hukum di Indonesia sangat kuat pada saat ketika dijajah
Belanda yang terjadi selama kurun waktu 350 tahun yang secara massif
menjadikan Hukum Belanda sebagai hukum yang memiliki cengkeraman yang
kuat terhadap sistem hukum di Indonesia yang akhirnya menggeser berlakunya
hukum asli (hukum adat) yang pada waktu itu sudah ada dan berlaku di tengah-
tengah masyarakat di Indonesia, Momen penting pada masa penjajahan Belanda
periode ini adalah dengan diawali dari kedatangan Bangsa Belanda ke wilayah
Indonesia dengan mendirikan perkumpulan dagang De Verenigde Oost Indische
Compagnie (selanjutnya disingkat V.O.C) yang saat itu dikenal dengan sebutan
Kompeni oleh kalangan Bumi Putera (bangsa Indonesia). Seiring waktu berjalan
perkembangan V.O.C yang awalnya hanya menduduki beberapa kota seperti
Ambon, Jayakarta (yang kemudian disebut Batavia dan sekarang bernama
Jakarta), Surabaya, Tuban dan Makasar kemudian memperluas wilayahnya.hingga
meliputi seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian perluasan wilayah
kekuasaan V.O.C mempengaruhi perkembangan hukum V.O.C di wilayah
kekuasaannya. Namun pada tahun 1978, V.O.C mengalami pailit akibat dari
adanya korupsi dan perdagangan gelap oleh pegawai-pegawainya. Hal itu
disebabkan karena adanya mekanisme manajemen V.O.C yang sangat buruk pada
masa itu. Dikemukakan bahwa sejak awal berdiri, pegawai V.O.C diperbolehkan
mengadakan marshandel, yaitu berdagang barang-barang rontokan milik V.O.C
seperti kopi, rempah-rempah, dan sebagainya. Namun seiring waktu berjalan
kebijaksanaan marshandel tersebut menjadi berubah persentasenya yang semula
hanya sekian persen meningkat tajam yang menyebabkan adanya kerugian.
Faktor lain bangkrutnya V.O.C adalah adanya sistem kepegawaian yang buruk
dalam organisasi. Perekrutan pegawai V.O.C tidak didasarkan pada kompetensi
pegawai itu sendiri namun berdasarkan sistem kekeluargaan dan juga diperparah
maraknya praktek suap di kala itu. Sementara itu di Eropa sendiri terjadi
pergolakan yang dipicu oleh adanya aliran-aliran baru di bidang ekonomi, sosial
dan politik yang mencapainya puncaknya dalam Revolusi Industri di Perancis,
Keadaan ini dikenal dengan semboyan liberte (kemerdekaan), egalite (persamaan)
dan fraternite (persaudaraan) yang diinsipirasi dari ajaran Trias Politica dari
Montesquiew dan J.J Rousseau melalui ajarannya yang dikenal dengan nama
8
kedaulatan rakyat yang akhirnya menggoncangkan sendi-sendi pemerintahan raja-
raja yang absolut, sehingga sejumlah negara kerajaan termasuk Belanda berubah
menjadi kerajaan konstitusional.
Dengan era jatuhnya V.O.C. pada tahun 1978, maka seluruh hutang-hutang
dan kekayaan V.O.C beralih kepada Kerajaan Belanda yang semula bentuk negara
dari Republiek der Verenigde Zeven Provinciean menjadi de Bataafscvhe
Republiek yang berada di bawah kekuasaan Lodewijk Napoleon, adik Kaisar
terkenal Perancis, Napoleon Bonaparte. Setelah Napoleon Bonaparte jatuh,
Negeri Belanda di bawah kekuasaan Raja Willem van Oranje, seorang keturunan
dari pemberontak penjajahan Spanyol. Dan Raja atau Ratu Belanda sekarang
merupakan keturunan dari Willem van Oranje.
Dengan pembubaran V.O.C yang resmi tarcatat pada tanggal 1 Januari 1800,
maka Indonesia yang waktu itu bernama Hindia Belanda (Nederlansce Indie)
otomatis berada di bawah perintah langsung Pemerintah Belanda. Pada momen
inilah yang sangat membawa pengaruh besar terhadap sistem hukum di Indonesia
masa sekarang karena pada era ini sistem kekuasaan pada negara jajahan Belanda
yang terpusat menyebabkan segala sistem pemerintahan Belanda diterapkan di
wilayah Hindia Belanda termasuk sistem Hukum. Lahirnya gagasan-gagasan yang
cukup penting adalah adanya lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif yang
hingga kini digunakan.
Setelah berlakunya sistem Sentralisasi pada tanah jajahan Kerajaan Belanda,
maka Raja Belanda menunjuk W.H Daendels sebagai Gubernur Jenderal di
Indonesia. Pengangkatan Daendels menandai suatu jaman baru di Indonesia,
khususnya Pulau Jawa dalam artian, penguasa asing mulai melakukan campur
tangan dalam mengurus penduduk Indonesia. Daendels terkenal sebagai pendiri
sistem administrasi modern pada pemerintahan di dalam negeri yang teratur di
Hindia Belanda. Jika pada jaman V.O.C para Raja dan kepala tradisional terikat
pada Contracten van Verband, maka pada pemerintahan Daendels diganti dengan
Acten van Aanstelling (akta-akta pengangkatan). Pada dasarnya, Daendels
mencoba memperbaharui sistem administrasi dan pemerintahan dengan
modernisasi lapisan atau struktur pemerintahan yang berlaku di Eropa khusus bagi
apparat dari golongan bangsa Eropa, sementara itu bagi para penguasa Bumi
Putera (kaum pribumi) ditempatkan di bawah kekuasaannya yang dpusatkan di
Batavia.
9
Meskipun Daendels cukup banyak mengintroduksi gagasan hukum Barat Hindia
Belanda namun hal ini belum cukup mengatasi berbagai masalah hukum yang
diwariskan oleh V.O.C. terutama manipulasi dan inefisiensi dalam pengelolaan
keuangan Negara. Di samping itu gaya kepemimpinan Daendels yang sedikit
otoriter dan masuknya kekuasaan Inggris menjadi kendala bagi upaya perubahan
yang dilakukan Daendels di Hindia Belanda. Masa pemerintahan Daendels
berakhir setelah Inggris menguasai Belanda, dengan demikian negara jajahan
Belanda termasuk Indonesia diserahkan kepada Pemerintah Inggris.

(2) Pada Masa Penjajahan Inggris


Setelah Indonesia sebagai daerah jajahan oleh Pemerintah Belanda, diserahlan
kepada Inggris, maka Pemerintah Inggris memberikan perintah kepada Gunernur
Jenderal di India, Thomas Stamford Raffles untuk memimpin Pemerintah di
Indonesia. Pada masa interregnum Inggris, Gubernur Jenderal Thomas Stamford
Raffles mencoba menerapkan sistem ekploitasi yang baru yaitu sistem Landrent
dengan alasan bahwa sistem yang digunakan pada masa V.O.C. dan Kerajaan
Belanda adalah sistem yang kuno dan kolot. Masa pemerintahan Thomas Raffless
merupakan tonggak penting dalam sejarah ketatanegaraan pemerintah colonial di
Indonesia. Raffles menerapkan 3 aturan pokok selama pemerntahannya di
Indonesia yaitu:
(a) Menghapus sistem verplichte leveranties (penyerahan wajib) dan
herendiensten (sistem kerja paksa)
(b) Pemerintah melaksanakan pengawasan secara langsung terhadap tanah dan
memungut hasilnya secara langsung dari rakyat tanpa perantara penguasa
pribumi/bupati.
(c) Menyewakan tanah kepada rakyat (land rent system)
Sistem baru land-rent system yang dirancang Raffles tersebut sebagi pajak
individual yang dibayar oleh setiap petani dalam bentuk uang, sedangkan
pemerintah hanya berkewajiban merangsang petani agar menanam ekspor yang
paling menguntungkan. Pada hakekatnya di satu pihak Raffles ingin memberikan
kepastian hukum dan kebebasan berusaha tanpa adanya unsur paksaan seperti
yangterdapat dalam sistem yang diterapkan V.O.C.. Sementara di sisi lain, sistem
landrent ini dianggap akan dapat menjamin arus pendapatan negara yang mantap,
Dalam sistem landrent ditekankan bahwa Pemerintah/Negara adalah pemilik tanah
10
dan rakyat hanya sebagai penggarap atau penyewa yang memiliki kewajiban
membayar sewa atau pajak atas tanah yang dikelola oleh rakyat.
Sebagian besar perubahan sistem dan kebijakan politik colonial yang dibuat
oleh Raffles tersebutnya pada akhirnya kandas atau dihapus sebelum waktu
berlakunya habis. Sebagian besar dari kegagalan-kegagalan tersebut terutama
disebabkan oleh adanya perbedaan yang besar antara idealism liberal dan kondisi
sosio kultural dari masyarakat tradisional Jawa. Karena masyarakat JAwa sebagai
bagian dari feodalisme kerajaan pada masa sebelumnya sudah terbiasa
memberikan upeti kepada penguasa, sehingga mereka tidak siap menerima sistem
baru (landrent) yang diterapkan oleh pemerintahan Inggris. Rakyat Indonesia
yang menguasai tanah seperti sawah, tegalan atau tempat pemukiman dianggap
tidak memiliki tanah-tanah, karena tanah-tanah tersebut adalah menjadi milik
negara Inggris. Seluruh tanah di Indonesia adalah milik Kerajaan Inggris,
sedangkan rakyat hanya sekedar sebagai penyewa tanah saja. Dengan demikian
rakyat yang menguasai tanah-tanah tersebut harus membayar rent (sewa) kepada
Pemerintah. Sistem demikian dapat dipastikan menimbulkan penolakan dan
gejolak di tengah rakyat, sehingga mereka tidak melaksanakan sistem tersebut
dengan sepenuh hati
Pada jaman Raffles, juga ditiadakan hukuman mati dengan menusuk keris dan
membakar orang yang dijatuhi hukuman pidana mati seperti yang berlaku pada
masa sebelumnya, baik menurut Hukum Islam, Hukum Adat dan Hukum Barat.
Jika pada masa penjajahan Belanda dibawah kekuasaan Daendels membentuk
Korp Pamong Praja Bumiputera dan Korp Pamong Praja Eropa dianggap sebagai
defeodalisasi dalam pemerintahan, maka defeodalisasi tersebut dilanjutkan oleh
Raffles sehingga kedudukan Korp Pamong Praja Eropa dan Bumi Putera makin
kuat, dengan demikian terjadinya perbedaan kelas-kelas sosial di masyarakat
semakin nampak dan kuat sebagai akibat diteruskannya kebijakan pembentukan
Korps Pamong Praja Eropa dan Korps Pamong Praja Bumiputera (lokal).

(3) Pada Masa Penjajahan Belanda Kedua


Pada tanggal 13 Agustus 1814, Pemerintah Inggris telah berakhir masa
pendudukannya di Indonesia oleh Conventie London. Hampir seluruh wilayah
nusantara dikembalikan kepada Belanda. Hindia Belanada (Indonesia) kemudian
diperintah kembali oleh Pemerintah Belanda di bawah kekuasaan pusat yang lebih
11
lengkap dan sentralistis. Tidak hanya pulau Jawa saja, tetapi seluruh kepulauan di
luar Pulau Jawa yang diserahkan kepada Pemerintah Belanda juga dibawah
kekuasaan pusat pemerintahan di Batavia. Pemusatan pemerintahan di Batavia
tersebut akhirnya menjadi tonggak pertama menuju ke Kesatuan Nasional Bangsa
Indonesia yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Setelah Indonesia diserahkan Inggris kepada pemerintah Belanda, terlihat
adanya keragu-raguan Pemerintah Belanda dalam memimpin rakyat Indonesia,
terutama pemberlakuan kembali hukum Belanda di negara jajahannya yaitu
Indonesia karena pengaruh pemerintahan sebelumnya yaitu Pemerintah Inggris
terhadap perkembangan dan pemberlakuan hukum di Indonesia.
Oleh karena itulah maka Pemerintah Belanda melakukan review terhadap
pemberlakuan kembali hukum Belanda di Indonesia, diantaranya yang menjadi
permasalahan adalah pertama penerapan sistem hukum Nederland yang
merupakan hukum tertulis yang diterapkan di Indonesia yang notabene mayoritas
hukumnya tidak dalam bentuk tertulis namun tetap dipatuhi oleh mayoritas rakyat.
Masalah kedua adalah adanya perbedaan sosial kultur di masyarakat Belanda yang
menganggap bahwa kedudukan semua orang adalah sama baik hak dan
kewajibannya sama sedangkan di masyarakat Indonesia terdapat perbedaan kelas
sosial berdasarlan kelas bangsawan dan kelas rakyat biasa. Yang mana prinsip
persamaan hak dan kewajiban di depan hukum (equality before the law) yang
berlaku di masyarakat Eropa tersebut jika diterapkan di masyarakat Indonesia kala
itu pasti akan menimbulkan gejolak dan penolakan terutama dari kalangan
bangsawan kerajaan yang berada pada strata sosial lebih tinggi dibanding rakyat
jelata. Masalah ketiga adalah sejauh mana hukum Nederland dapat atau tidaknya
diterapkan kepada bangsa Belanda yang ada di Indonesia dan juga terhadap rakyat
Indonesia yang mempunyai hukum asli (hukum Adat) yang jauh berbeda, belum
juga polemik penerapan hukum tersebut apakah juga diterapkan kepada penduduk
yang bukan orang Bumi Putera seperti orang Tionghoa, Timur Asing dan
Keturunan Arab yang sudah ada di Indonesia.
Pada masa ini, selain masalah tersebut diatas, Pemerintah Belanda dihadapkan
pada terjadinya perang Diponegoro di wilayah Jawa Tengah dan disusul dengan
perang Padri wilayah Sumatera Barat. Sedangkan di negaranya sendiri juga terjadi
perang saudara yang mengakibatkan pecahnya Kerajaan Belanda menjadi
12
Kerajaan Belanda dan Kerajaan Belgia. Peperangan tersebut memerlukan biaya
yang tidak sedikit, sehingga pada tahun 1830, Badan Usaha penggantu V.O.C.
yaitu Nederlandsche Handels Maatschappij atau biasa disebut factoriij (badan
semi pemerintah) mengadakan sistem kerja paksa dan tanam paksa
(cultuurestelsel) guna membiayai perang yang terjadi di Belanda selain untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan di Hindia Belanda sendiri. Penerapan
sistem cultuurstelsel ini ternyata berhasil dan memberikan hasil yang sangat
berlimpah kepada Pemerintah Belanda. Di sisi lain, rakyat Indonesia sangat
menderita karena tidak dapat menikmati hasil tanamnya.
Sementara itu Revolusi Perancis yang mengajarkan liberalisme dan persamaan
hak antara seluruh rakyat makin meluas di benua Eropa dan juga semakin
bergemanya tuntutan-tuntutan penghilangan sistem monopoli perdagangan
menyebabkan semakin meluasnya pengaruh revolusi tersebut hingga terasa di
Indonesia. Dengan demikian muncul adanya tuntutan rakyat agar sitem ekploitasi
terhadap rakyat melalui sistem cuulturstelsel segera diakhiri karena menyebabkan
penderitaan dan kesengsaraan rakyat Indonesia.
Di era ini, Ilmu Pengetahuan Hukum di Eropa mulai berkembang pesat
dengan hasil yang dicapai adalah terbentuknya Kodifikasi Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek atau B.W), Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel atau
W.v.K), Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht atau W.v.S), Hukum Acara
Perdata dan Hukum Acara Pidana yang diberlakukan Nederland sebelum tahun
1840. Sehingga pada waktu itu juga dinyatakan berlakunya kodifikasi hukum
tersebut diatas di Indonesia berdasarkan asas konkordansi namun hanya berlaku
hanya untuk bangsa Eropa. Sementara itu, Algemene Bepalingen van
Wetgeving /A.B. (ketentuan-ketentuan umum mengenai peraturan perundang-
undangan) diberlakukan sebagai peraturan untuk mengatur penggolongan
penduduk serta yang berlaku bagi tiap golongan penduduk di Indonesia.
Pada tahun 1940, Negeri Belanda diduduki oleh Jerman, sehingga setelah
perang Pasifik, akhirnya Hindia Belanda enyaerah tanpa syarat kepada balatentara
Jepang dansaejak saat itu berakhirlah masa penjajahan Belanda di Indonesia.
Selanjutnya pemerintahan di Indonesia dijalankan oleh Jepang.

13
b. Masa Tahun 1942 – 1945 (Periode Penjajahan Jepang)
Setelah Pemerintah Belanda di Indonesia ditaklukkan oleh Balatentara Jepang,
maka terjadi peralihan kekuasaan atas wilayah Indonesia dari Pemerintah Belanda
kepada Pemerintah (militer) Jepang. Untuk memudahkan penguasaan wilayah
Indonesia, Jepang membagi wilayah menjadi tiga bagian, yaitu (1) Jawa dan Madura
(2) Sumatera (3) Indonesia bagian Timur. Dalam bidang hukum, balatentara Jepang
memberlakukan Undang-Undang Balatentara Jepang (Osamu Sirei) pada Tahun 1942.
Osamu Sirei ini merupakan dasar bagi transisi pemberlakukan hukum sebelumnya
kepada hukum baru di bawah pemerintahan balatentara Jepang.
Di dalah Osamu Sirei terdapat suatu maklumay yang menyatakan bahwa:
“seluruh wewenang badan-badan pemerintahan dan semua hukum serta semua
peraturan yang selama ini berlaku tetap dinyatakan berlaku kecuali apabila
bertentangan dengan peraturan-peraturan militer Jepang” Osamu Sirei diterbitkan
disamping sebagai dasar bagi pemberlakuan hukum dari pemerintahan lama kepada
pemerintahan baru, juga bertujuan untuk menghindari kekosongan hukum (vacuum of
law) akibar terjadinya pergantian kekuasaan.
Dari sisi perkembangan hukum, tidak ada perombakan hukum yang sangat
berarti karena masa pendudukan Jepang yang relatif singkat yaitu 3,5 Tahun. Selain
faktor waktu yang singkat, Pemerintah militer Jepang pada waktu itu hanya
berorientasi pada pemenangan perang melawan Sekutu yang dipimpin Amerika
Serikat, sehingga Jepang tidak sempat meluangkan waktu dan perhatian untuk
memikirkan pembangunan hukum dan ekonomi bagi peningktana kesejahteraan
rakyat di Indonesia. Hal ini membuat rakyat Indonesia makin sengsara ketika berada
di bawah penjajahan balatentara Jepang.
Dalam perkembangan hukum di masa pendudukan Jepang, telah diterbitkan
beberapa kebijakan baru yang isinya hanya meneruskan kebijakan sebelumnya yaitu:
1. Kitab Undang-Undang dan peraturan perundangan di bidang hukum Perdata yang
semula hanya berlaku bagi Golongan Eropa saja kemudian diberlakukan juga bagi
etnis lain seperti Orang Cina (Tionghoa) yang berada di Indonesia.
2. Hukum Adat dinyatakan berlaku bagi orang Pribumi
3. Peraturan perundang-undangan di bidang hukum Pidana ditambahkan dengan
peraturan hukum militer Jepang diberlakukan kepada semua golongan penduduk
tanpa kecuali

14
4. Penghapusan dualism di bidang peradilan, sehingga hanya terdapat satu sistem
dan lembaga peradilan yang berlaku bagi seluruh penduduk di Indonesia
5. Dilakukannya penyatuan lembaga (Officieren van Justitie) yang sebelumnya
berbeda antara golongan bangsa Eropa dan golongan Bumiputera kemudian
dilembur menjadi satu lembaga kejaksaan (Kensatku Kyoku) yang diorganisisr
dalam suatu sistem peradilan tiga tingkat.
Pada masa pendudukan Jepang inilah mulai adanya peningkatan rasa
Nasionalisme di tengah-tengah rakyat Indonesia untuk berusaha meraih kemerdekaan.
Hal ini ditandai dengan beberapa organisasi pemuda dan organisasi lain yang
bermunculan dan berjuang untuk meraih kemerdekaan. Semangat para pemuda
Indonesia semakin menguat dengan adanya janji-janji Pemerintah Militer Jepang
bahwa jika perang Asia Timur Raya telah selesai maka Indonesia akan diberikan hak
kemerdekaannya.
Dengan adanya janji-janji Pemerintah Militer Jepang tersebut, para tokoh-tokoh
perjuangan Indonesia telah menyiapkan perangkat hukum dan kelembagaan jika
Indonesia kelak merdeka. Namun sebelum janji kemerdekaan tersebut diberikan oleh
Jepang, ternyata Pemerintah Jepang menyerah kalah kepada Sekutu dengan adanya
tragedi penjatuhan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki, Pasca tragedi bom
atom di Kota Hiroshima dan Nagasaki tersebut telah menyebabkan kekosongan
kekuasaan di Indonesia. Momen ini tak disia-siakan oleh para tokoh pemuda
Indonesia, dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta, Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi
kemerdekaan tersebut merupakan tonggak sejarah awal bagi lahirnya negara
Indonesia dengan pemerintahan dan hukum yang baru.

c. Masa Tahun 1945 –1950 (Periode Jaman Kemerdekaan)


Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945, terjadi revolusi di bidang hukum, yang mana perubahan pemberlakuan
hukum dari sistem hukum kolonial kepada sistem hukum Nasional dengan ditandai
disyahkannya UUD 1945. Berlakunya UUD 1945 disebut sebagai dasar sistem hukum
negara (staats fundamental norm) yaitu dasar dari tata hukum nasional yang berisi
norma-norma yang mengatur proses pembentukan dan kompetensi dai organ-organ
legislative, eksekutif dan yudikatif. UUD 1945 juga sebagai dokumen nasional yang
berisi perjanjian dan komitmen luhur yang memuat kesepakatan di segala aspek
15
kehidupan rakyat Indonesia mulai dari politik, hukum kebudayaan, pendidikan,
ekonomi, sosial dan aspek fundamental lainnya yang menjadi tujuan bernegara. UUD
1945 juga dikatakan sebagai suatu bukti kelahiran dari sebuah negara baru dan juga
sebagai piagam di mata dunia internasional untuk memperoleh pengakuan atas
lahirnya sebuah negara baru dan sebagai syarat untuk menjadi anggota PBB.
Agar tidak terjadi kekosongan hukum di negara Republik Indonesia yang baru
lahir tersebut, maka diterbitkan suatu ketentuan peralihan dalam Pasal II Aturan
Peraturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala peraturan yang ada
sebelumnya dan badan-badan negara tetap dinyatakan berlaku sebelum diadakan
peraturan baru menurut ketentuan UUD 1945 dan sepanjang tidak bertentangan
dengan jiwa bangsa Indonesia dan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.
Salah satu alasan untuk sementara tetap mempertahankan berlakunya produk
hukum kolonial adalah karena hukum asli rakyat (hukum adat) masih bersifat
pluralistis dan tidak tertulis, sedangkan hukum kolonial dianggap telah memenuhi
unsur hukum modern yakni bentuknya tertulis dan beberapa sudah terkodifikasi
kedalam Kitab Undang-Undang (Wetboek). Disamping itu juga untuk menghindari
pemberlakuan hukum adat lain yang dominan yang dapat menimbulkan perpecahan
didalam negara.
d. Masa Tahun 1950 – 1966 (Periode Jaman Orde Lama)
Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno terjadi dinamika perkembangan
hukum yang sangat pesat. Sejarah mencatat pada masa ini terjadi perubahan bentuk
negara dari negara kesatuan menjadi negara federal dan kemudian kembali lagi
menjadi negara kesatuan. Demikian juga Undang-Undang Dasar yang berlaku di
Indonesia mengalami pergantian sebanyak tiga kali, mulai dari UUD 1945 yang
kemudian diganti Konstitusi RIS 1949, lalu berubah menjadi dengan UUD Sementara
1950 dan akhrinya dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 kembali lagi ke UUD
1945 sampai sekarang,
Kita ketahui bersama bahwa UUD 1945 pada awal dibentuk dan disahkan oleh
PPKI dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara. Hal ini dapat diketahui dari
pidato Presiden Soekarno pada saat pemberlakua UUD 1945 yang menyatakan
bahwa: “Tuan-tuan tentu mengerti ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar
Sementara, Undang-Undang Dasar Kilat. Bahwa barangkali boleh dikatakan pula
inilah Revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih

16
sempurna dan lengkap. Harap diingat benar-benar oleh Tuan-Tuan, kita hari ini bias
selesai dangan Undang-Undang Dasar ini…”
Namun seiring berjalannya waktu, sifat kesementaraan berlakunya UUD 1945
perlahan-lahan berkurang oleh kanyataan bahwa UUD 1945 ternyata mampu bertahan
dan dapat mengiringi proses revolusi kemerdekaan Negara Republik Indonesia hingga
sekarang ini. Oleh kare itulah kemudian Revolutiegrondwet tidak lagi dimaknai
sebagai UUD yang bersifat sementara, akan tetapi sudah berkembang menjadi makna
yang sesungguhnya yakitu sebagai undang-undang yang berkarakter revolusi
Indonesia.
Pada masa ini, meski bangsa Indonesia sudah merdeka, namun masih banyak
menghadapi gangguan dan cobaan salah satunya revolusi cicik dengan ingin
kembalinya Penjajah Belanda ke Indonesia. Disamping itu, di tengah Bangsa
Indonesa sendiri terjadi perbedaan pandangan antara pemimpin bangsa dengan para
tokoh-tokoh bangsa Indonesia sehingga timbul perbedaan mengani arah pembangunan
hukum dan penataan kelembagaan negara. Sehingga pada saat itu dibentuklah
Konstitusi RIS Tahun 1949 yang menghasilkan perubahan bentuk negara kesatuan
(NKRI) menjadi bentuk negara federa atau serikat (Republik Indonesia Serikat) yang
berlaku hanya 8 bulan kemudian diganti dengan UUD Sementara 1950 yang berlaku
sampai dengan Tahun 1959.
Dengan bentuk negara federal atau serikat dan bentuk pemerintahan
parlementer ternyata tidak cocok bagi bangsa Indonesia yang sejak awal menganut
sistem kesatuan, kebersamaan dan permusyawaratan. Pada masa pemerintahan
Parlementer menjadikan roda pemerintahan menjadi tidak efektif karena terjadinya
instabilitas politik dan pemerintahan yang disebabkan oleh sistem pemerintahan itu
sendiri, dimana terjadi kabinet yang sering berganti dan jatuh bangun akibat serangan
pihak parlemen (DPR) melalui mosi tidak percaya. Sehingga pada tanggal 5 Juli 1959
terjadi peristiwa penting yang menetukan sistem ketatanegaraan bangsa Indonesia
dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden yang isinya memberlakukan kembali UUD
1945 yang terus berlaku sampai sekarang.
Di momen pemberlakuan kembali UUD 1945 ini pula telah menjadi awal
sejarah kodiifikasi hukum di Indonesia, seperti diketahui dengan diundangkannya
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang mengakhiri masa dualism
hukum di bidang pertanahan. UUP Agraria ini menghapus berlakunya produk hukum

17
agrarian kolonial salah satunya agrarische Wet yang di dalamnya terdapat ketentuan
Domein Verklaring yang sangat merugikan rakyat.
Berikutnya adalah diberlakukannya Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman pada Tahun 1961 yang dijadikan dasar dalam mengatur lembaga
peradilan dan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hanya saja ada beberapa masalah
dalam penerapan undang-undang kehakiman ini karena menempatkan kekuasaan
kehakiman masih berada di bawah kekuasaan eksekutif yang menyebabkan kekuasaan
kehakiman tidak mandiri. Di dalam Undang-Undang ini memuat ketentuan
diperbolehkannya intervensi eksekutif yakni Presiden atas yudikatif untuk ikut
campur dalam proses peradilan demi kepentigan revolusi. Padahal ketentuan yang
termuat dalam Undang-Undang KEhakiman ini jelas bertentangan dengan prinsip
yang diatur dalam UUD 1945 yang membagi kekuasaan menjadi 3m yaitu eksekutif,
yudikatif dan legislative yang mana kekuasaan yudikatif adalah merdeka dan mandiri,
bebas dari campur tangan dan intervensi kekuasaan manapun termsuk Kepala Negara,
Karen ahal itu melanggar konstitusi.
Salah satu produk hukum yang penting dalam era ini adalah, dikeluarkannya
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 yang isinya agar para hakim
dalam mengadili suatu perkara agar dihimbau untuk menganulir beberapa pasal
tertentu dalam Burgerlijk Wetboek karena dinilai tidak sesuai dengan jiwa bangsa
Indonesia.

e. Masa Tahun 1966 – GBHN 1999 (Periode Jaman Orde Baru)


Pada Tahun 1965 terjadi gejolak politik di tengah-tengah Bangsa Indonesia
yang berkaitan adanya perebutan kekuasaan antara Presidek Soekarno dengan
kelompok lain yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Puncak dari peristiwa ini
adalah terjadinya pemberontakan Partai Komunis Indonesi (PKI) pada tanggal 30
September 1965 yang menewaskan pahlawan Revolusi dan berlanjut
diselenggarakannya Sidang Istimewa MPR Sementara pada Tahun 1966 yang
melengserkan kekuasaan Presiden Soekarno dan menunjuk Jenderal Soharto sebagai
Pejabat Presiden yang kemudian dikukuhkan menjadi Presiden Republik Indonesia
setelah masa kepemimpinan Soekarno.
Dibawah pemerintahan Presiden Soeharto yang dikenal dengan masa Orde
Baru, terdapat salah satu kebijakan penting yaitu melaksanakan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen dan melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pada masa
18
Orde Baru ini, terjadi masa dimana hukum bukan lagi sebagai kekuasaan namun
sebagai konstruksi pembangunan negara guna tercapainya cita-cita masyarakat yang
adil dan makmur. Hukum untuk pembangunan tersebut diterapkan dengan mengacu
pandangan Roscou Pound yakni “law as a a toll of social engineering” (hukum
sebagai alat untuk merekayasa masyarakat) dan disempurnakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja yang menurut pandangan Mochtar bahwa hukum dapat berfungsi
sebagai sarana pembangunan (law as a toll od development).
Pada tahun 1973 tersusunlah materi pembangunan hukum pada Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) yang isinya bahwa pembangunan hukum
diperuntukkan bagi terbentuknya sistem hukum nasional Indonesia yang mengadopsi
hukum asli dengan menerima materi dan unsur dari hukum asing. Selama masa Orde
Baru, hukum materiil yang berlaku masih tetap menggunakan produk hukum kolonial.
Kitab Undang_Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang masih tetap berlaku dan belum dilakukan
pembaharuan.
Pada masa Orde Baru kembali terjadi dualisme hukum di bidang kehakiman,
yakni para hakim diatur oleh dua lembaga (Departemen Kehakiman dan Mahkamah
Agung) sehingga tidak bebas dan mandiri dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
Seringkali hakim diintervensi oleh penguasa ketika mengadii suatu perkara yang
melibatkan Pemerintah, baik dalam perkara perdata maupun pidana. Penegakan
hukum dilaksanakan secara represif, yakni hanya untuk melindungi kepentingan
penguasa. Segala perbuatan yang mengganggu dan merongrong wibawa Pemerintah
akan ditindak tegas secara represif dengan menggunakan produk hukum yang sudah
usang. Hukum dijadikan saran untuk mempertahankan kekuasaan agar tidak diganggu
oleh kelompok lain yang mencoba melakukan pembaharuan. Sehingga pada masa
Orde Baru, tidak ada pembaharuan di bidang penegakan hukum, demokratisasi dan
pemerintahan. Dengan terjadinya kekuasaan yang represif seperti ini, keberadaan
hukum tidak menjamin tegaknya keadilan, apalagi keadilan subtanstif sehingga
menimbulkan praktek penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran HAM dan tidakan
koruptif di semua lini pemerintahan. Akibat penyelenggaraan negara dan penegakan
hukum yang represif dan koruptif tersebut maka terjadi gejolak di dalam negara,
dimana puncak gejolak tersebut munculnya gerakan reformasi untuk menurunkan
rezim Orde Baru era kepemimpinan Presiden Soeharto yang akhirnya berhasil
dilengserkan pada bulan Mei 1998.
19
f. Masa 1999 – Sekarang (Periode Jaman Orde Reformasi)
Setelah berkuasa selama kurang lebih 30 Tahun, akhirnya rezim Soeharto
jatuh setelah adanya aksi reformasi yang dilakukan segenap komponen bangsa yang
dimotori oleh para mahasiswa dan aktifis pro demokrasi. Aksi tersebut berhasil
memaksa Presiden Soeharto mundur dari kursi Presiden dan menyerahkan
kepemimpinan negara kepada B.J Habibie yang waktu itu menjabat sebagai Wakil
Presiden. Agenda reformasi pertama yang dilakukan B.J Habibie adalah melakukan
amandemen UUD 1945 melalui Sidang Istimewa MPR Tahun 1998 yang
menghasilkan agenda ketatanegaraan yaitu melakukan pemilihan umum pada tahun
1999 untuk memilih pada wakil rakyat (anggota Dewan Perwakilan Rakyat). Dsari
hasil Pemilu 1999 tersebut kemudian dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) baru yang diketuai oleh Amien Rais selau salah satu took dalam gerakan
reformasi pada tanggal 1998 yang berhasil melengserkan Presiden Soeharto.
Pada Tahun 1999 Pemilihan Presiden masih dilakukan oleh MPR sebagai
lembaga tertinggi negara. Presiden yang dipilih waktu itu adalah Abdurrahman Wahid
yang menggandeng Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden
Terpilih. Upaya penataan sistem dan lembaga ketatanegaraan dilakukan oleh Presiden
Abdurrahman Wahid namun gebrakan yang dilakukan oelh Presideng dinilai terlalu
radikal sehingga menimbukan resistensi di kalangan anggota DPR dan MPR kala itu.
Sehingga pada akhirnya Presiden diseret ke siding Istimewa MPR karena diduga
terlibat dalam kasus dana budget Bulog dan Hibah dari Brunei yang berujung pada
pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR yang kemudian diantikan
oleh Megawati Soekarnoputri. Dari forum Sidang Istimewa MPR tersebut diangkat
Hamsah Haz sebagai Wakil Presiden hingga menjabat sampai pada Tahun 2004.
Pada masa Presiden Megawati dilakukan penataan terhadap sistem
ketatanegaraan dan kelembagaan negara di Indonesia. Penataan sistem ketatanegaraan
yang sangat penting adalah merombak sistem pemilihan Presiden dari pemiliah oleh
MPR menjadi pemilihan secara langsung oleh Rakyat. Oleh karena itulah pada tahun
2004 dilakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pertama kali di Indonesia.
Dari Pemilu Presiden pertama tersebut kemudian terpilih Susilo Bambang Yudoyono
dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2004 – 2009. Model
pemilihan secara langsung ini juga kemudian diterapkan pada pemilihan Kepala
Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang pemerintahan daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
20
Nomor 12 Tahun 2008 bahwa pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung
oleh rakyat seperti hanya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Reformasi kelembagaan juga dilakukan dengan adanya pembentukan beberapa
lembaga di bidang kehakiman yaitu di samping Mahkamah Agung dibentuk pula
Mahkamah Konstitusi yang diberi kewenangan mengadili perkara-perkar terkait
dengan masalah konstitusi khususnya mengenai uji materiil atas undang-undang
terhadap Undang Undang Dasar 1945. Di samping itu Mahkamah Konstitusi juga
diberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa pemilihan umum. Di samping
Mahkamah Konstitusi, juga dibentuk lembaga negara khusus yang bertugas
mengawasi para hakim yaitu Komisi Judisial.
Reformasi hukum di bidang kekuasaan kehakiman telah menjadikan sstem
unifikasi kekuasaan kehakiman yang berada pada satu tangan yaitu Mahkamah Agung
sehingga memciptakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, bebas dari intervensi
kekuasaan lainnya. Seiring dengan waktu kemudian dilakukan perombakan terhadap
nama Departemen Kehakiman menjadi Departemen Hukum dan Perundang-undangan
dan kemudia diubah menjadi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang
digunakan hingga sekarang.
Restrukturisasi kelambagaan juga dilakukan dengan menempatkan MPR
bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara namun sebagai lembaga tinggi negara
yang sama kedudukannnya dengan DPR, Presiden dan BPK. Reduksi kelembagaan
negara juga dilakukan dengan menghapus Dewan Pertimbangan Agung (DPA) guna
efisiensi penyelenggaraan negara
Selanjutnya pada tahun 2014, tampuk kepemimpinan negara berganti diemban
oleh Ir. Joko Widodo. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ini terlihat
adanya peningkatan konsistensi dalam penegakan hukum. Salah satu contoh
adalahadanya gebrakan tindakan tegas terhadap tindak pidana illegal fishing yang
dilakukan dengan penenggelaman terhadap kapal ikan yang tertangkap mencuri ikan
di wilayah NKRI. Konsistensi lain adalah dilaksanakan hukum pidana eksekusi
terhadap terpidana mati yang sebelumnya belum pernah dilakukan.

21
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perjalanan panjang bangsa Indonesia dari masa penjajahan hingga masa sekarang
ternyata turut serta secara dominan menyumbang dan memberikan pengaruh besar bagi
perkembangan sistem hukum yang ada di negara Indonesia, Baik dalam bentuk produk
hukumnya maupun konsruksi kelembagaan hukum yang ada dan berdiri di dalamnya. Hal
itu terbukti dengan sangat lekatnya produk-produk hukum kolonial yang secara eksis dan
konsisten masih berlaku dalam sistem ketatanegaraan dan hukum di negara Indonesia.
Karena produk kolonial masa lampau yang sudah mengakar kuat ini sedikit banyak
memberikan peran bagi sulitnya penetrasi yang oleh para tokoh-tokoh hukum yang ada
saat ini untuk melaksanakan perombakan dalam semua komponen produk hukum masa
lampau seperti halnya polemik upaya Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
terjadi dan viral baru-baru ini menimbulkan gejolak di tengah masyarakat yang mana
KUHP merupakan produk murni masa lampau yang sudah berakar kuat dalam ideologi
hukum Indonesia yang menurut Penulis sudah layaknya disesuaikan dengan kondisi
perkembangan jaman sekarang. Namun dengan seiringnya waktu berjalan perlu kita
memahami dan kembali berpijak pada salah satu teori hukum bahwa Hukum bersifat
Statis dan juga Hukum Bersifat Dinamis. Yang artinya bahwa Hukum bersifat Statis
dimana hukum merupakan norma dan kaidah peraturan yang berlaku di masyarakat yang
harus tetap ditegakkan tanpa memandang tempat dan kondisi jaman dan faktor lainnya
apapun. Namun juga Hukum Bersifat Dinamis dimana hukum merupakan perwujudan
pranata sosial yang penciptaannya bertujuan memberikan solusi atas kondisi jaman pada
masa itu yang selalu berubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat
yang ada saat ini.

22
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Ali. R. Mohammad. 2012. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta. LKIS Printing
Cemerlang
Murhaini, Suriansyah. 2017. Hukum dan Sejarah Hukum. Yogyakarta: Laksbang
M.Manullang, E Fernando. 2016. Selayang Pandang Sistem Hukum di Indonesia. Jakarta:
Kencana

23

Anda mungkin juga menyukai