SEJARAH HUKUM
Kelompok 1:
2. REWAN NOPRISYAH
( 2210101119 )
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
TAHUN 2022/2023
1
DAFTAR ISI
COVER ……………………………………………………………………........ i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………........ ii
KATA PENGANTAR ……………….……..…………………………………... 3
I. PENDAHULUAN………………………………………………………… 4
A. Latar Belakang .…………………………………………….……… 4
B. Rumusan Masalah ………………………………………………… 4
C. Tujuan Pembahasan ……………………………………………… 4
II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………... 5
II. PEMBAHASAN………………………………………………………….. 6
A. Teori Sejarah Hukum ……………………………………………….. 6
B. Kegunaan Sejarah Hukum …………………………………………. 6
C. Sejarah Hukum di Indonesia ……………………………………….. 6
IV. PENUTUP ……………………………………………………………… 22
A. Kesimpulan ………………………………………………………….22
V. DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 23
2
KATA PENGANTAR
Penyusun
3
BAB I
PENDAHULUAN
C. Tujuan Pembahasan
Penulisan makalah ini adalah bagaimana Penulis memberikan gambaran
kepada Pembaca untuk menambah kaidah wawasan tentang sejarah perkembangan
hukum di masyarakat yang masing – masing periode memunculkan lahirnya hukum-
hukum baru yang menggantikan hukum sebelumnya
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah didefisinikan sebagai catatan tentang masyarakat umum manusia atau peradaban
manusia yang terjadi pada watak/sifat masyarakat itu. Selain itu menurut R Moh Ali dalam
bukunya Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, sejarah merupakan ilmu yang bertugas
menyelidiki perubahan-perubahan, kejadian dan atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar
kita. Dengan demikian, sejarah dapat diartikan sebagai suatu pengungkapan dari kejadian
dana atau peristiwa dari kejadian masa lalu.
Sehingga dengan adanya definisi tentang sejarah di atas, Penulis mendapat kesimpulan bahwa
sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum yang mempelajari perkembangan da
asal-usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara
hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu.
Pemikiran tentang sejarah hukum pertama kali dipelopori oleh Friedrich Carl Von Savigny
menyebutkan “Das Recht Wird Nicht Genacht Ist Ist Undwird Mit Dem Volke” yang artinya
hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Sehingga
hukum dilihat sebagai suatu bagian yang tak terpisahkan dengan sejarah bangsa, oleh
karenanya hukum berubah menurut waktu dan tempatnya. Dan apabila dikatakan hukum itu
itu terus tumbuh maka dapat diartikan bahwa sistem hukum yang sekarang senantiasa
berhubungan dengan sistem hukum di masa lalu yang terlebih dahulu terbentuk dan berlaku.
Sedangkan Sir Henry James Summer Maine (Pelopor Sejarah Hukum Inggris) berpendapat
bahwa “Hukum berkembang dari bentuk Statuta (Undang-Undang) ke bentuk kontrak
(Perjanjian). Hukum ada karena adanya kontrak-kontrak antar masyarakat (dari masyarakat
sederhana ke masyarakat modern). Dalam masyarakat modern, hukum dibuat secara sukarela
oleh masyarakat dalam bentuk kontrak-kontrak atau kesepakatan-kesepakatan antar
masyarakat.
5
BAB III
PEMBAHASAN
1. Teori Sejarah Hukum
Munculnya teori hukum tidak dapat dilepaskan dari lingkungan jaman yang terus
berkembang, karena teori hukum hadir sebagai selah satu jawaban yang diberikan
terhadap permasalahan hukum yang terjadi pada suatu masa.
Dalam perkembangannya, teori hukum memiliki berbagai macam aliran, dari aliran
teokrasi, madzhab hukum alam dan aliran positifisme sampai aliran hukum sejarah yang
masing- masing mempunyai pandangan perspektif masing-masing. Pada makalah ini
Penulis akan menguraikan tentang kajian teori sejarah hukum yang dikemukakan oleh
para ahli antara lain sebagai berikut:
a. Friedrich Carl Von Savigny (1770-1861)
Savigny adalah seorang yuridis (ahli hukum) Jerman yang sukses membuat
Jerman tidak mengkodifikasi hukum perdata selama hampir 100 tahun. Savigny
menganggap bahwa hukum kebiasaan sebagai sumber hukum formal. Hukum tidak
dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Pandangannya
bertitik tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa dan tiap-tiap bangsa memiliki
“Volksgeist” jiwa rakyat. Savigny berpendapat bahwa semua hukum berasal dari adat
istiadat dan kepercayaan dan bukan dari pembentukan undang-undang. Penggagas
teori ini melihat hukum sebagai entitas yang organis namun dinamis. Hukum menurut
teori ini dipandang sebagai suatu yang natural, tidak dibuat, melainkan hidup dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat. Hukum bukanlah sesuatu yang statis,
melainkan dinamis karena akan senantiasa berubah seiring dengan perubahan tata
nilai di masyarakat.
b. Puchta (1798-1846)
Puchta berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa yang
bersangkutan. Hukum menurut Puchta dapat berbentuk (1) langsung berupa adat
istiadat (2) melalui undang-undang, (3) melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para
ahli hukum.
Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus
disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisir dalam negara. Negara
6
mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang. Puchta mengutamakan
pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa sehingga pada akhirnya tidak ada
ruang lagi bagi sumber-sumber hukum yang lain yang dapat dipraktekkan dalam adat
istiadat bangsa dan diolah oleh ahli-ahli hukum kecuali hukum yang dibentuk oleh
negara itu sendiri.
c. Henry Summer Maine (1822-1888)
Maine memiliki predikat sebagai pelopor Mazhab Sejarah di Inggris. Salah
satu penelitiannya yang terkenal adalah tentang studi perbandingan perkembangan
lembaga-lembaga hukum yang ada dan terbentuk pada masyarakat sederhana dan
msyarakat yang telah maju. Maine melakukan penelitian tersebut dengan dasar
pendekatan sejarah. Kesimpulan dari penelitian Maine kembali memperkuat
pemikiran Von Savigny yang membuktikan adanya evolusi pada berbagai masyarakat
dari masa ke masa.
13
b. Masa Tahun 1942 – 1945 (Periode Penjajahan Jepang)
Setelah Pemerintah Belanda di Indonesia ditaklukkan oleh Balatentara Jepang,
maka terjadi peralihan kekuasaan atas wilayah Indonesia dari Pemerintah Belanda
kepada Pemerintah (militer) Jepang. Untuk memudahkan penguasaan wilayah
Indonesia, Jepang membagi wilayah menjadi tiga bagian, yaitu (1) Jawa dan Madura
(2) Sumatera (3) Indonesia bagian Timur. Dalam bidang hukum, balatentara Jepang
memberlakukan Undang-Undang Balatentara Jepang (Osamu Sirei) pada Tahun 1942.
Osamu Sirei ini merupakan dasar bagi transisi pemberlakukan hukum sebelumnya
kepada hukum baru di bawah pemerintahan balatentara Jepang.
Di dalah Osamu Sirei terdapat suatu maklumay yang menyatakan bahwa:
“seluruh wewenang badan-badan pemerintahan dan semua hukum serta semua
peraturan yang selama ini berlaku tetap dinyatakan berlaku kecuali apabila
bertentangan dengan peraturan-peraturan militer Jepang” Osamu Sirei diterbitkan
disamping sebagai dasar bagi pemberlakuan hukum dari pemerintahan lama kepada
pemerintahan baru, juga bertujuan untuk menghindari kekosongan hukum (vacuum of
law) akibar terjadinya pergantian kekuasaan.
Dari sisi perkembangan hukum, tidak ada perombakan hukum yang sangat
berarti karena masa pendudukan Jepang yang relatif singkat yaitu 3,5 Tahun. Selain
faktor waktu yang singkat, Pemerintah militer Jepang pada waktu itu hanya
berorientasi pada pemenangan perang melawan Sekutu yang dipimpin Amerika
Serikat, sehingga Jepang tidak sempat meluangkan waktu dan perhatian untuk
memikirkan pembangunan hukum dan ekonomi bagi peningktana kesejahteraan
rakyat di Indonesia. Hal ini membuat rakyat Indonesia makin sengsara ketika berada
di bawah penjajahan balatentara Jepang.
Dalam perkembangan hukum di masa pendudukan Jepang, telah diterbitkan
beberapa kebijakan baru yang isinya hanya meneruskan kebijakan sebelumnya yaitu:
1. Kitab Undang-Undang dan peraturan perundangan di bidang hukum Perdata yang
semula hanya berlaku bagi Golongan Eropa saja kemudian diberlakukan juga bagi
etnis lain seperti Orang Cina (Tionghoa) yang berada di Indonesia.
2. Hukum Adat dinyatakan berlaku bagi orang Pribumi
3. Peraturan perundang-undangan di bidang hukum Pidana ditambahkan dengan
peraturan hukum militer Jepang diberlakukan kepada semua golongan penduduk
tanpa kecuali
14
4. Penghapusan dualism di bidang peradilan, sehingga hanya terdapat satu sistem
dan lembaga peradilan yang berlaku bagi seluruh penduduk di Indonesia
5. Dilakukannya penyatuan lembaga (Officieren van Justitie) yang sebelumnya
berbeda antara golongan bangsa Eropa dan golongan Bumiputera kemudian
dilembur menjadi satu lembaga kejaksaan (Kensatku Kyoku) yang diorganisisr
dalam suatu sistem peradilan tiga tingkat.
Pada masa pendudukan Jepang inilah mulai adanya peningkatan rasa
Nasionalisme di tengah-tengah rakyat Indonesia untuk berusaha meraih kemerdekaan.
Hal ini ditandai dengan beberapa organisasi pemuda dan organisasi lain yang
bermunculan dan berjuang untuk meraih kemerdekaan. Semangat para pemuda
Indonesia semakin menguat dengan adanya janji-janji Pemerintah Militer Jepang
bahwa jika perang Asia Timur Raya telah selesai maka Indonesia akan diberikan hak
kemerdekaannya.
Dengan adanya janji-janji Pemerintah Militer Jepang tersebut, para tokoh-tokoh
perjuangan Indonesia telah menyiapkan perangkat hukum dan kelembagaan jika
Indonesia kelak merdeka. Namun sebelum janji kemerdekaan tersebut diberikan oleh
Jepang, ternyata Pemerintah Jepang menyerah kalah kepada Sekutu dengan adanya
tragedi penjatuhan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki, Pasca tragedi bom
atom di Kota Hiroshima dan Nagasaki tersebut telah menyebabkan kekosongan
kekuasaan di Indonesia. Momen ini tak disia-siakan oleh para tokoh pemuda
Indonesia, dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta, Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi
kemerdekaan tersebut merupakan tonggak sejarah awal bagi lahirnya negara
Indonesia dengan pemerintahan dan hukum yang baru.
16
sempurna dan lengkap. Harap diingat benar-benar oleh Tuan-Tuan, kita hari ini bias
selesai dangan Undang-Undang Dasar ini…”
Namun seiring berjalannya waktu, sifat kesementaraan berlakunya UUD 1945
perlahan-lahan berkurang oleh kanyataan bahwa UUD 1945 ternyata mampu bertahan
dan dapat mengiringi proses revolusi kemerdekaan Negara Republik Indonesia hingga
sekarang ini. Oleh kare itulah kemudian Revolutiegrondwet tidak lagi dimaknai
sebagai UUD yang bersifat sementara, akan tetapi sudah berkembang menjadi makna
yang sesungguhnya yakitu sebagai undang-undang yang berkarakter revolusi
Indonesia.
Pada masa ini, meski bangsa Indonesia sudah merdeka, namun masih banyak
menghadapi gangguan dan cobaan salah satunya revolusi cicik dengan ingin
kembalinya Penjajah Belanda ke Indonesia. Disamping itu, di tengah Bangsa
Indonesa sendiri terjadi perbedaan pandangan antara pemimpin bangsa dengan para
tokoh-tokoh bangsa Indonesia sehingga timbul perbedaan mengani arah pembangunan
hukum dan penataan kelembagaan negara. Sehingga pada saat itu dibentuklah
Konstitusi RIS Tahun 1949 yang menghasilkan perubahan bentuk negara kesatuan
(NKRI) menjadi bentuk negara federa atau serikat (Republik Indonesia Serikat) yang
berlaku hanya 8 bulan kemudian diganti dengan UUD Sementara 1950 yang berlaku
sampai dengan Tahun 1959.
Dengan bentuk negara federal atau serikat dan bentuk pemerintahan
parlementer ternyata tidak cocok bagi bangsa Indonesia yang sejak awal menganut
sistem kesatuan, kebersamaan dan permusyawaratan. Pada masa pemerintahan
Parlementer menjadikan roda pemerintahan menjadi tidak efektif karena terjadinya
instabilitas politik dan pemerintahan yang disebabkan oleh sistem pemerintahan itu
sendiri, dimana terjadi kabinet yang sering berganti dan jatuh bangun akibat serangan
pihak parlemen (DPR) melalui mosi tidak percaya. Sehingga pada tanggal 5 Juli 1959
terjadi peristiwa penting yang menetukan sistem ketatanegaraan bangsa Indonesia
dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden yang isinya memberlakukan kembali UUD
1945 yang terus berlaku sampai sekarang.
Di momen pemberlakuan kembali UUD 1945 ini pula telah menjadi awal
sejarah kodiifikasi hukum di Indonesia, seperti diketahui dengan diundangkannya
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang mengakhiri masa dualism
hukum di bidang pertanahan. UUP Agraria ini menghapus berlakunya produk hukum
17
agrarian kolonial salah satunya agrarische Wet yang di dalamnya terdapat ketentuan
Domein Verklaring yang sangat merugikan rakyat.
Berikutnya adalah diberlakukannya Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman pada Tahun 1961 yang dijadikan dasar dalam mengatur lembaga
peradilan dan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hanya saja ada beberapa masalah
dalam penerapan undang-undang kehakiman ini karena menempatkan kekuasaan
kehakiman masih berada di bawah kekuasaan eksekutif yang menyebabkan kekuasaan
kehakiman tidak mandiri. Di dalam Undang-Undang ini memuat ketentuan
diperbolehkannya intervensi eksekutif yakni Presiden atas yudikatif untuk ikut
campur dalam proses peradilan demi kepentigan revolusi. Padahal ketentuan yang
termuat dalam Undang-Undang KEhakiman ini jelas bertentangan dengan prinsip
yang diatur dalam UUD 1945 yang membagi kekuasaan menjadi 3m yaitu eksekutif,
yudikatif dan legislative yang mana kekuasaan yudikatif adalah merdeka dan mandiri,
bebas dari campur tangan dan intervensi kekuasaan manapun termsuk Kepala Negara,
Karen ahal itu melanggar konstitusi.
Salah satu produk hukum yang penting dalam era ini adalah, dikeluarkannya
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 yang isinya agar para hakim
dalam mengadili suatu perkara agar dihimbau untuk menganulir beberapa pasal
tertentu dalam Burgerlijk Wetboek karena dinilai tidak sesuai dengan jiwa bangsa
Indonesia.
21
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perjalanan panjang bangsa Indonesia dari masa penjajahan hingga masa sekarang
ternyata turut serta secara dominan menyumbang dan memberikan pengaruh besar bagi
perkembangan sistem hukum yang ada di negara Indonesia, Baik dalam bentuk produk
hukumnya maupun konsruksi kelembagaan hukum yang ada dan berdiri di dalamnya. Hal
itu terbukti dengan sangat lekatnya produk-produk hukum kolonial yang secara eksis dan
konsisten masih berlaku dalam sistem ketatanegaraan dan hukum di negara Indonesia.
Karena produk kolonial masa lampau yang sudah mengakar kuat ini sedikit banyak
memberikan peran bagi sulitnya penetrasi yang oleh para tokoh-tokoh hukum yang ada
saat ini untuk melaksanakan perombakan dalam semua komponen produk hukum masa
lampau seperti halnya polemik upaya Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
terjadi dan viral baru-baru ini menimbulkan gejolak di tengah masyarakat yang mana
KUHP merupakan produk murni masa lampau yang sudah berakar kuat dalam ideologi
hukum Indonesia yang menurut Penulis sudah layaknya disesuaikan dengan kondisi
perkembangan jaman sekarang. Namun dengan seiringnya waktu berjalan perlu kita
memahami dan kembali berpijak pada salah satu teori hukum bahwa Hukum bersifat
Statis dan juga Hukum Bersifat Dinamis. Yang artinya bahwa Hukum bersifat Statis
dimana hukum merupakan norma dan kaidah peraturan yang berlaku di masyarakat yang
harus tetap ditegakkan tanpa memandang tempat dan kondisi jaman dan faktor lainnya
apapun. Namun juga Hukum Bersifat Dinamis dimana hukum merupakan perwujudan
pranata sosial yang penciptaannya bertujuan memberikan solusi atas kondisi jaman pada
masa itu yang selalu berubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat
yang ada saat ini.
22
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Ali. R. Mohammad. 2012. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta. LKIS Printing
Cemerlang
Murhaini, Suriansyah. 2017. Hukum dan Sejarah Hukum. Yogyakarta: Laksbang
M.Manullang, E Fernando. 2016. Selayang Pandang Sistem Hukum di Indonesia. Jakarta:
Kencana
23