Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masalah pidana penjara memang menjadi suatu dilema, dengan peristiwa-


peristiwa yang terjadi, dimana ternyata bahwa penjara sudah tidak lagi ditakuti oleh
para pelaku tindak pidana maka pidana apakah yang harus diterapkan terhadap para
pelaku tindak pidana. Ruangan penjara atau sel tempat para pelaku tindak pidana
ditahan bahkan oleh sebagian pelaku diubah menjadi ruangan yang mewah dengan
segala fasilitas yang memudahkan pelaku melakukan segala aktifitasnya seperti tidak
berada dalam penjara. Sebut saja Artalita, yang dengan mudahnya mengubah sel
tahanannya menjadi kamar yang mewah dan dari kamarnya dengan segala fasilitas
yang canggih dia mengendalikan pekerjaaannya/perusahaaannya. Demikian dengan
para tahanan lainnya yang dapat dengan mudaah nya menjelajah dunia luar.
Pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana perampasan
kemerdekaan. Pidana penjara atau hukuman penjara mulai dipergunakan terhadap
orang Indonesia sejak tahun 1918. Hukuman ini membatasi kemerdekaan atau
kebebasan seseorang, yaitu berupa hukuman penjara dan kurungan.
Hukuman penjara ditujukan kepada penjahat yang menunjukkan watak buruk dan
nafsu jahat. Hukuman penjara minimum satu hari dan maksimum seumur hidup. Hal
ini diatur dalam pasal 12 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
1. Hukuman penjara itu adalah seumur hidup atau untuk waktu tertentu.
2. Hukuman penjara selama waktu tertentu sekurang kurangnya adalah satu hari
dan paling lama 15 tahun berturut-turut.
3. Hukuman penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk 20 tahun
berturut turut dalam hal kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati,
hukuman penjara seumur hidup, dan hukuman penjara sementara, yang
putusannya diserahkan kepada hakim dan dalam hal hal yang melewati waktu
15 tahun karena tambahan hukuman sebab melakukan kejahatan kejahatan
secara concursus atau karena mengulangi melakukan kejahatan atau karena
yang telah ditentukan dalam pasal 52.
4. Lamanya hukuman penjara itu sekali kali tidak boleh melebihi waktu 20 tahun.

B. PERMASALAHAN
1. Apa hukuman yang tepat bagi pelanggar hukum ?
2. Apakah sanksi penjara sudah cukup untuk memberikan rasa penyesalan ?
3. Apakah Evektivitas pemasyarakatan sudah tercapai ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. SISTEM PEMASYARAKATAN DI INDONESIA

Sistem Pemasyarakatan bagi publik lebih identik dengan “penjara” atau


pembinaan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Dalam kenyataannya, tugas pokok dan
fungsi Sistem Pemasyarakatan juga mencakup pelayanan terhadap tahanan,
perawatan terhadap barang sitaan, pengamanan, serta pembimbingan terhadap warga
binaan pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan. Oleh karenanya, sub-sub system
dari Sistem Pemasyarakatan (yang kemudian disebut Unit Pelaksana Teknis
Pemasyarakatan) tidak hanya Lembaga Pemasyarakatan yang melakukan pembinaan,
namun juga Rumah Tahanan Negara untuk pelayanan tahanan, Rumah Penyimpanan
Barang Sitaan Negara untuk perawatan barang-barang milik warga binaan atau yang
menjadi barang bukti, serta Balai Pemasyarakatan untuk pembimbingan warga binaan
dan klien pemasyarakatan.

Secara filosofis Pemasyarakatan adalah sistem pemidanaan yang sudah jauh


bergerak meninggalkan filosofi Retributif (pembalasan), Deterrence (penjeraan), dan
Resosialisasi.1 Dengan kata lain, pemidanaan tidak ditujuan untuk membuat derita
sebagai bentuk pembalasan, tidak ditujukan untuk membuat jera dengan penderitaan,
juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya.
Pemasyarakatan sejalan dengan filosofi reintegrasi sosial yang berasumsi kejahatan
adalah konflik yang terjadi antara terpidana dengan masyarakat. Sehingga
pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana
dengan masyarakatnya (reintegrasi).
1
Adi Sujatno, 2004, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia, hal 20.
Dalam pasal 2, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang
Pemasyarakatan ditegaskan bahwa Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam
rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,
menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab.2 Penegasan ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh argumentasi
Sahardjo tahun 1963, hasil Konferensi Dinas Kepenjaraan tahun 1964 (salah satunya
hasil pemikiran dari Bahruddin Suryobroto), selain juga dipengaruhi oleh kebijakan
Presiden saat membuka konferensi kepenjaraan tahun 1964 tersebut.

Dalam amanat Presiden saat membuka konferensi ditegaskan, bahwa dengan


menyadari setiapmanusia adalah Makhluk Tuhan yang hidup bermasyarakat maka
dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia para narapidana diintegrasikan dengan
masyarakat dan diikutsertakan dalam pembangunan ekonomi negara secara aktif.
Diranah filosofis, Pemasyarakatan memperlihatkan komitmen dalam upaya merubah
kondisi terpidana, melalui proses pembinaan dan memperlakukan dengan sangat
manusiawi, melalui perlindungan hakhak terpidana.

Komitmen ini secara eksplisit ditegaskan dalam pasal 5 UU Pemasyarakatan,


bahwa sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas;
pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan,
penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan
satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan
keluarga dan orang-orang tertentu. Selain itu juga ditegaskan dalam pasal 14 UU
Pemasyarakatan, bahwa setiap narapidana memiliki hak sebagai berikut:

2
Abidin Zainal Farid, 1995. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 10
a) melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya
b) mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani
c) mendapatkan pendidikan dan pengajaran
d) mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
e) menyampaikan keluhan
f) mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang
g) mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
h) menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya
i) mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)

B. TUGAS DAN FUNGSI PEMASYARAKATAN

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan Pembinaan Warga Binaan


Pemasyarakatan berdasarkan system,kelembagaan,dan cara pembinaan yang
merupakan bagian akhir dari system pemidanaan dalam tata peradilan
pidana.Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan
narapidana dan anak didik pemasyarakatan.Kedua pengertian tersebut diatas
merupakan pengertian yang tercantum dalam undang-undang nomor 12 tahun 1995
tentang pemasyarakatan.selanjutnya sebagai lembaga pemasyarakatan maka lembaga
pemasyarakatan mempunyai tugas sebagai berikut yaitu :

a) Melakukan pembinaan narapidana/anak didik


b) Memberikan bimbingan ,mempersiapkan sarana dan prasarana pengelompokan
hasil kerja narapidana
c) Melakukan bimbingan social /kerohanian narapidana /anak didik
d) Melakukan Pemeliharaan Keamanan dan tata tertib lapas
e) Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga3

Memahami fungsi lembaga pemasyarakatan yang dilontarkan Sahardjo sejak


itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai proses. Dengan dipakainya sistem
pemasyarakatan sebagai metode pembinaan jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga
Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat
pembinaan. Didalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi
Narapidana (Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan 1990, Departemen Kehakiman)
meliputi:

a. Pembinaan berupa interaksi langsung, bersifat kekeluargaan antara Pembina dan


yang dibina.
b. Pembinaan yang bersifat persuasif yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui
keteladanan.
c. Pembinaan berencana, terus menerus dan sistematika.
d. Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, berbangsa dan
bernagara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental
spiritual.4

Tujuan pembinaan Narapidana selanjutnya dikatakan untuk memperbaiki dan


meningkatkan akhlak (budi pekerti) para Narapidana dan anak didik yang berada di
dalam LAPAS atau RUTAN.

Pelaksanaan pidana penjara dengan menonjolkan aspek pembinaan di dalam


Lembaga Pemasyarakatan/ Rumah Tahanan Negara, hingga saat ini mengalami
hambatan. Hal ini antara lain disebabkan keterbatasan sarana fisik yang memakai

3
Bachtiar Agus Salim, 2003, Tujuan Pidana Penjara Sejak Reglemen 1917 Hingga Lahirnya
Sistem Pemasyarakatan di Indonesia Dewasa ini, Medan: Pustaka hal 30
4
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996, hlm. 246.
bangunan peninggalan Hindia Belanda, untuk dalam berinteraksi dengan penghuni
lain sangat dekat sehingga tidak menutup kemungkinan berkumpulnya pelanggar
hukum dengan berbagai karakteristik masa pidana yang harus dijalani dan sangat
memungkinkan mereka saling bertukar pengalaman mengenai cara-cara melakukan
kejahatan yang lebih canggih.

Isu disekitar tukar pengalaman diantara sesama Narapidana,


mengisyarakatkan bahwa tingkah laku kriminal itu dipelajari dalam hubungan
interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi. Bagian penting dari
mempelajari tingkah laku kriminal tersebut, termasuk didalamnya teknik melakukan
kejahatan dan motivasi atau dorongan. Dorongan tertentu ini dipelajari melalui
penghayatan atas peraturan perundang-undangan, menyukai atau tidak menyukai.
Seseorang menjadi deliquent karena penghayatan terhadap peraturan perundang-
undangan lebih suka melanggar daripada mentaati.

Memahami teori tersebut, maka tepat kalau LAPAS potensial dan strategis
sebagai tempat berinteraksi antara Narapidana berpengalaman dengan Narapidana
pemula. Hal ini dimungkinkan pada saat berlangsung suatu acara maupun kegiatan
pembinaan. Oleh karena itu, semakin lama berada di penjara semakin mungkin
seseorang itu menjadi terpenjara. Hal ini sangat relevan sebagaimana dikemukakan
oleh Muladi (1998:56), bahwa “pertama, sub Kultur penjahat yaitu apabila
Narapidana mengikuti kehidupan yang ada di penjara. Kedua, sub Kultur pencuri
yaitu apabila Narapidana menghayati Kultur jahat dari luar. Dan ketiga, sub Kultur
yang benar yaitu apabila Narapidana mengikuti Norma yang benar.”

Memahami budaya umum yang berkembang di penjara bertujuan untuk


mengetahui proses sosialisasi Narapidana, khususnya hubungan antara apa yang
dialami selama menjalani hukuman serta keterkaitan dia dengan dunia luar. Kehendak
Narapidana untuk tetap mengikuti pola-pola yang diinginkan oleh Pembina sering
berbenturan dengan apa yang dilihat dan dialami selama berinteraksi dengan sesama
darapidana.5

C. EVEKTIVITAS PERMASYARAKATAN DI INDONESIA

Kondisi Lembaga Permasyarakatan di Indonesia mencerminkan penjara saat


ini penuh dengan tahanan dan narapidana mengakibatkan kondisi kelebihan kapasitas
yang memberikan susasan suntuk di dalam penjara. Kondisi seperti mengakibatkan
adanya sebuah kekhawatiran akan semakin penuhnya penjara dan berpotensi akan
terjadi kekacauan dari dalam penjara melihat dari sumpeknya lingkungan serta
kekurangan sumber daya manusia untuk mengelola lembaga permasyarakatan.

Permasalahan lainnya yang perlu diperhatikan adalah permasalahan lemahnya


pengwasan lapas dimana saat ini lapas dapat digunakan untuk mengendalikan
peredaran narkoba seperti yang terjadi pada kasus Freddy Budiman, serta pertanyaan
akan integritas petugas lapas dalam mengelola sesuai dengan tujuan berdirinya lapas.
Lapas yang di Indonesia berada di bawah pengelolaan Kementerian Hukum dan Ham
serta adanya rumah tahanan yang dikelola oleh kepolisian dan penegak hukum
lainnya seharusnya menjadi tugas institusi tersebut dalam mengelola penjara di
Indonesia.

Terjadinya kasus-kasus dimana tahanan melarikan diri dan dari penjara


menunjukkan bahwa ada sebuah kekurangan dalam pengawasan yang dilakukan pada
para tahanan sehingga hal seperti ini berulang terus menerus. Situasi seperti ini
tentunya dapat memberikan efek kekhawatiran bagi masyarakat yang tinggal di

5
Petrus Irwan Panjaitan dan Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana, CV Indhill Co, Jakarta,
2007, hlm. 5.
daerah dekat dengan lembaga permasyarakatan dan dapat berakibat pada kondisi
insecure yang akan dialami oleh masyarakat.

Masalah yang ada di dalam lapas juga tidak lepas hanya berada pada
pelayanan dalam Lapas terhadap para tahanan dan juga narapidana, hal ini
dikarenakan pelayanan dari pihak Lapas menjadi penting bagi memenuhi kebutuhan
primer tahanan. Contohnya adalah kualitas makanan yang baik, sanitasi yang bersih,
lingkungan yang memberikan kesempatan bagi pelaku kriminal mengalami
rehabilitasi dan keahlian yang dapat digunakan suatu ketika mereka telah bebas dari
penjara.

Masalah pelayanan menjadi krusial di masa sekarang dengan adanya media


yang dengan mudahnya untuk mengangkat sebuah pemberitaan dan masalah seperti
ini dapat memberikan efek buruk bagi penegakkan Hak Asasi Manusia di dalam
penjara. Sebelumnya pada kasus pembakaran sebuah lapas oleh penghuni di
dalamnya memberikan sebauh warning bagi penegak hukum dimana kontrol dipeang
oleh para tahanan dan narapidana bukan dipegang oleh pihak yang seharusnya
menangani hal tersebut.

Salah satu kejadian yang terjadi belakang ini terjadi di Lemaga


Permasyarakatan Kelas IIA di Pontianak. Mengetahui adanya sidak yang dipimpin
oleh Menteri Yasonna Laoly dan dengan dikawal oleh personil Polri di dalam lapas.
Kejadian yang mencekam ini dilakukan dengan melakukan aksi pembakaran di area
blok mereka serta melempari petugas dengan kayu.

Masalah serupa terjadi di Lapas Bengkulu yang berakibat pada jatuhnya


korban yang berjumlah lima orang usai terjadi kerusan pada 25 Maret 2016 serta
adanya pembakaran meyebabkan blok A, B, dan C terbakar habis. Serupa dengan
kasus di Pontianak, pembakaran dipicu oleh penggeledahan yang dilakukan oleh
Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Bengkulu. Dua kejadian ini seharunya
menjadi jawaban bagaimana sel penjara tidak mampu membuat para pelaku kriminal
lebih baik dibanding sebelumnya dan menjadikan penjara sebagai efek
penggentarjeraan bagi pelaku kejahatan.

Seperti yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2006 dimana jumlah
penjara meningkat drastis dibanding dengan angka kejahatan yang menurun yang
merupakan efek dari reformasi sentencing dari tahun ke tahun yang terjadi. Dari
perspektif ahli ekonomi dimana tuntutan penjara yang lebih lama dapat memberikan
efek jera yang lebih besar dikarenakan waktu yang harus dibayar oleh pelaku
kriminal dalam menjalani hukuman.

 Efektivitas Hukuman Penjara di Indonesia

Setelah melihat masalah yang terjadi di dalam penjara dan bagaimana hal
tersebut mempengaruhi para tahanan dan juga narapidana yang tinggal di dalam sel
jerujinya dalam sub-bab selanjutnya mengenai efektivitas hukuman penjara.
Efektivitas disini tidak hanya dilihat berdasarkan oleh biaya semata namun
efektivitasnya dari segi sosial dan apakah penjara mampu memperbaiki human being
yang sudah divonis rusak oleh pengadilan atau masyarakat,

Berlanjut dari peryataan kalimat akhir subbab 3.1 mengenai efek gentar dari
pemenjaraan yang diberlakukan bagi para pelaku kriminal dan juga bagaimana
penjara dapat menjauhkan mereka yang sudah pernah mendiami penjara untuk tidak
kembali masuk ke dalam balik jeruji sel.

Namun hal ini dapat dipatahkan dimana dikenal istilah residivis yaitu mereka
yang sudah terbiasa keluar masuk penjara dan memberikan mereka sebagai pelaku
kejahatan atau bisa dikenal dengan istilah karir kriminal.
Situasi seperti ini menyebabkan muncul pertanyaan apakah penjara cukup
efektif dalam memberikan pengembalian sesorang untuk tidak berbuat jahat ataupun
cukup untuk mengajak pelaku kriminal untuk tidak melakukan tindakan yang sama di
kemudian hari.

Robert Johnson mengeluarkan sebuah puisi yanng berisikan tentang pendirian


penjara yang bukan day-care dan saat penjara sudah dibangun, dan para pelaku telah
masuk ke dalam penjara seolah-olah masalah sudah selesai sampai saat itu dengan
tidak memperhatikan penjara dan seisinya. Bahkan menurut beberapa ahli, penjara
merupakan bentuk penyerangan terhadap jiwa seseorang dimana efek utama yang
dirasakan oleh sesorang dalam kehidupan dalam penjara adalah bukan fisik namun
jiwa manusia tersebut.

Penggunaan penjara yang pada awalnya diliat sebagai bentuk penghukuman


yang lebih manusiawi dibandingkan penghukuman korporal tidak dianggap sebagai
hal yang reformatif. Sehingga efektivitas hukuman penjara dan efek sampingnya bagi
jiwa manusia perlu dikaji di masa depan melihat jumlah biaya dan bentuk lain yang
lebih konstruktif dalam memberikan pelajaran terhadap pelaku kejahatan.

 Penjara di Kemudian Hari

Hukuman penjara yang merupakan salah satu bentuk penghukuman


memberikan pemahaman mengenai kondisi penjara dan tahanan serta narapidan yang
menjalani masa hukumannya di dalam penjara. Permasalahan yang muncul di dalam
penjara adalah bagaimana interaksi yang terjadi antara inmate memiliki jalinan yang
kuat sehingga saat ada rasa belonging antara tahanan satu dan yang lainnya.

Dari sinilah dapat terjadi pertukaran informasi dan pembelajaran dari seorang
pelaku kriminal terhadap pelaku kriminal lainnya yang memberikan kesempatan
seorang untuk naik kelas dalam perbuatan melanggar hukum. Kehidupan dalam
penjara ini akan memberikan kesempatan bagi manusia untuk mengembangkan
perilaku-perilakunya untuk memainkan peran yang telah disusun seperti drama.
Sering dijumpai para tahanan yang setelah masuk ke dalam lapas akan menjadi lebih
soleh dan lebih dekat kepada Tuhan untuk memberikan impresi sendiri sebagai
bentuk usaha mencapai kepentingannya.

Permasalahan yang tadi telah dibahas perlu dilihat lebih spesifik dimana untuk
menemukan apa akar dari masalah yang tercipta seperti pembakaran lapas, kapasitas
lapas yang melebihi batas tampung dan praktek suap yang terjadi dalam lembaga
permasyarakatan.

Dalam hal efektivitas dari penjara untuk memberikan satu jalan bagi pelaku
kriminal untuk kembali ke jalan yang benat dengan tidak melakukan hal-hal
melanggat aturan yang menimbulkan korban perlu dikaji lebih lanjut. Dimana hal ini
bisa jadi adalah sebab mengapa kapasitas lembaga permasyarakatan melebihi
kapasitas yang telah dibuat sebelumnya. Menambah bangunan penjara untuk
mengatasi hal ini bukan berarti akan memastikan seseorang yang akan masuk penjara
akibat perbuatannya berkurang.

Sehingga untuk mengatasi masalah efektivitas hukuman penjara perlu dilihat


alternatif hukumsn lsin ysng cocok dengan sosiologis masyarakat Indonesia dan
kegunaannya dalam mendukung penegakan hukum di Indonesia. Dengan seperti ini
nantinya diharapkan penghukuman penjara akan dapat berkurang khususnya pada
kasus-kasus ringan yang dapat diselesaikan secara kekeluargaan tanpa harus dibawa
ke pengadilan yang juga memerlukan biaya besar.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sistem Pemasyarakatan bagi publik lebih identik dengan “penjara” atau


pembinaan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Dalam kenyataannya, tugas pokok dan
fungsi Sistem Pemasyarakatan juga mencakup pelayanan terhadap tahanan,
perawatan terhadap barang sitaan, pengamanan, serta pembimbingan terhadap warga
binaan pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan.

Dalam pasal 2, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang


Pemasyarakatan ditegaskan bahwa Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam
rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,
menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab.

Dalam keefektivannya pemasyarakatan belum sepenuhnya efektiv. Dimana


masih banyak kekurangan dan juga tidak tercapainya tujuan dari pemasyarakatan itu
sendiri. Dilihat dari banyaknya narapidana yang masih belum jera selepas bebas dari
penjara.

B. SARAN

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih focus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber – sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief. 1997. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan


Kejahatan dengan Pidana Penjara. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Semarang.

Adi Sujatno, 2004, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia.


Jakarta: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum

Abidin Zainal Farid, 1995. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika.

Bachtiar Agus Salim, 2003, Tujuan Pidana Penjara Sejak Reglemen 1917
Hingga Lahirnya Sistem Pemasyarakatan di Indonesia Dewasa ini, Medan: Pustaka.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra


Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 246.

Petrus Irwan Panjaitan dan Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana, CV
Indhill Co, Jakarta, 2007, hlm. 5.

Sudarto, Hukum dan Hukum pidana, Alumni, Bandung, 1981.

Prayudi, Guse., Beberapa Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam


Rumah Tangga, Press, Yogyakarta, 2008. Poernomo, Bambang.,Hukum
Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1982.

Prasetyo, Teguh., Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011.

Widodo., Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime, Laksbang Mediatama,


Yogyakarta, 2009.
MAKALAH KRIMINOLOGI

KEBIJAKAN SISTEM PENJARA DAN KE EFEKTIFAN HUKUMAN


PENJARA DI INDONESIA

GUNA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH KRIMINOLOGI

DOSEN PEMBIMBING : Masrukhin, S.H., M.H.

OLEH :

PRITA SUKMA PRATIWI (162131023)

HUKUM PIDANA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

TAHUN 2018

Anda mungkin juga menyukai