Anda di halaman 1dari 37

EFEKTIFITAS PEMASANGAN KACA PEMBATAS PADA LAYANAN

KUNJUNGAN NARAPIDANA : STUDI KASUS PADA LEMBAGA


PEMASYARAKATAN KLAS IIA NARKOTIKA JAKARTA

JURNAL TESIS

Disusun Oleh:
BOY GUNTUR SAGARA
MIA : 1401010192
Konsentrasi : Administrasi Publik

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU ADMINISTRASI


INSTITUT ILMU SOSIAL DAN MANAJEMEN STIAMI
JAKARTA
2016

0
EFEKTIFITAS PEMASANGAN KACA PEMBATAS PADA LAYANAN
KUNJUNGAN NARAPIDANA : STUDI KASUS PADA LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KLAS IIA NARKOTIKA JAKARTA

Boy Guntur Sagara


boyguntur@rocketmail.com

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar


pengaruh Efektifitas Pemasangan Kaca Pembatas Pada Layanan
Kunjungan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika
Jakarta, dimana aturan tersebut tertuang dalam Keputusan Direktur
Jenderal Pemasyarakatan Nomor : PAS.14.02.02 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Pemasyarakatan, Apakah Pemasangan Kaca
Pembatas Pada Layanan Kunjungan Lembaga Pemasyarakata Klas IIA
Narkotika Jakarta sudah sesuai dengan aturan yang berlaku, dan faktor
apakah yang mempengaruhi pemasangan kaca pembatas tersebut. Selain
itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisa keadaan
yang sebenarnya mengenai pelaksanaan program layanan kunjungan
bagi narapidana di Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta, dimana hal tersebut
berkaitan dengan bentuk manajemen dalam pelayanan publik; dan juga
mengetahui dan menganalisa faktor yang mempengaruhi pemasangan
kaca pembatas yang menjadi pembeda pada layanan kunjungan di Lapas
Klas IIA Narkotika Jakarta.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan


memperhatikan penjelasan data dan realita keadaan di lapangan, dimana
data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan laporan, dokumen
pribadi, catatan memo serta dokumen lainnya. Pada penelitian ini penulis
melakukan memperoleh keterangan langsung dari Bagian Perencanaan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan selaku unit utama pembuat kebijakan
di bidang pemasyarakatan. Selain itu penulis juga melakukan wawancara
terhadap petugas , warga binaan pemasyarakatan serta
keluarga/pengunjung pada Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta untuk dapat
memperoleh keterangan mengenai judul penelitian.

Berdasarkan hasil pengolahan data menunjukan adanya


permasalahan terhadap pemasangan kaca pembatas pada layanan
kunjungan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Jakarta. Hal tersebut
didasarkan pada kepuasan pengunjung/pembesuk selaku masyarakat
yang menjadi konsumen dalam proses pelayanan publik tersebut. Akan
tetapi hal tersebut sebenarnya bisa menjadi benar apabila dalam
pelaksanaannya didasarkan pada aturan dan ketentuan yang sudah
dibakukan dan diterapkan dengan semestinya. Adapun aturan yang sudah
ada dianggap kurang sempurna karena belum maksimal dalam
penggunaannya. Selanjutnya dengan karya ilmiah ini penulis berharap

1
adanya masukan positif yang dapat berguna bagi dunia pemasyarakatan
Indonesia.

Kata Kunci : Efektifitas Pemasangan Kaca Pembatas ; Layanan


Kunjungan Narapidana.

A. PENDAHULUAN
Dinamika kehidupan manusia senantiasa dihadapkan pada
berbagai permasalahan kehidupan, baik yang bersifat pribadi maupun
permasalahan yang timbul akibat adanya interaksi antara manusia dengan
sesamanya. Permasalahan tersebut dapat membuat seseorang
tersangkut perkara hukum dan harus menjalani proses hukum sampai
adanya putusan hakim yang tetap. Dalam rangka melaksanakan tata
peradilan pidana secara terpadu, dibentuk Unit Pelaksana Teknis yang
salah satunya disebut Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya
disebut Lapas, dilingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang
bertugas melaksanakan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik
pemasyarakatan.
Istilah Pemasyarakatan, yang pertama kali disampaikan oleh
Almarhum Bapak Saharjo, SH (Menteri Kehakiman pada saat itu) tepatnya
tanggal 5 Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar Doctor Honoris
Causa oleh Universitas Indonesia, saat itu beliau menyatakan bahwa
Pemasyarakatan sebagai tujuan dari pidana penjara. ide baru tentang
pemahaman suatu konsep pemasyarakatan mengemukakan bahwa :
”Penghukuman bukanlah hanya untuk melindungi masyarakat
semata-mata melainkan harus pula berusaha membina si pelanggar
hukum. Pelanggar hukum tidak lagi disebut penjahat, melainkan ia
adalah orang yang tersesat. Seseorang yang tersesat akan selalu
dapat bertobat dan ada harapan dapat mengambil manfaat sebesar-
besarnya dari sistem pembinaan yang diterapkan kepadanya”.

2
(Romli Atmasasmita, SH, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum
Dalam Konteks Penegakkan Hukum Di Indonesia, 12 : 1982).
Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 27 April 1964 dalam
Konferensi Jawatan Kepenjaraan yang dilaksanakan di Lembang
Bandung, istilah pemasyarakatan dibakukan sebagai pengganti
kepenjaraan. Pemasyarakatan dalam konferensi ini dinyatakan sebagai
suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai
suatu pengejawantahan atau perwujudan keadilan yang bertujuan untuk
mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan hidup,
kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan sistem
pemasyarakatan semakin mantap dengan diundangkannya Undang-
undang nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dengan adanya
Undang-Undang Pemasyarakatan ini maka makin kokoh usaha-usaha
untuk mewujudkan visi sistem pemasyarakatan, sebagai tatanan
mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara
terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan
kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan,
memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggung jawab.
Fungsi pidana penjara yang semata-mata bertujuan merampas
kemerdekaan mengalami perubahan-perubahan sejalan dengan
perkembangan masyarakat dan sejalan pula dengan perkembangan
berbagai disiplin ilmu yang pada waktu-waktu tertentu secara bergiliran
mendominasi dan mempengaruhi tujuan dari pidana penjara. Tujuan yang
semula ditujukan untuk pembalasan (retribution) beralih kepada penjeraan
(deterrence), rehabilitasi (rehabilitation), resosialisasi (resocializaton) dan
terakhir reintegrasi sosial (social reintegration).
3
Kegiatan pembaharuan pidana penjara yang dilakukan secara
internasional telah mencatat peristiwa penting yaitu ketika rancangan
Standard Minimum Rules for the treatment of prisoner (SMR) tahun 1933
yang disusun oleh IPPC mendapat persetujuan dari Liga Bangsa Bangsa
(Resolusi tanggal 26 September 1934 special supplement no. 123.
VI.4)dan ketika SMR yang telah diperbaharui pada tahun 1955 diterima
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan keputusan untuk
dianjurkan pelaksanaannya kepada seluruh Negara-negara anggota
(Resolusi dari Economic and Social Council No. 663 C. XXIV tanggal 31
Juli 1957).
Namun seiring dengan perkembangan zaman saat ini, konsep
pemasyarakatan banyak mendapat kritik dari masyarakat luas.
Pembinaan yang seharusnya menjadi titik utama dari sebuah proses
penghukuman seakan dipaksa kembali untuk menjadi sebuah
penghukuman penjeraan. Hal tersebut tidak lepas dari perubahan dan
perkembangan tingkat kejahatan dari konvensional menjadi kejahatan
transnasional atau lebih sering disebut kejahatan luar biasa/extra ordinary
crime.
Kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime mulai berkembang
pesat memasuki awal tahun 2000. Dikutip melalui academia.eu yang
dimaksud kejahatan luar biasa adalah suatu perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk menghilangkan hak asasi umat manusia lain, telah
disepakati sacara internasional sebagai pelanggaran HAM berat yang
berada dalam yuridiksi International Criminal Court dan Statuta Roma,
mendapatkan hukuman seberat-beratnya termasuk hukuman mati bagi
pelaku kejahatan tersebut. Diantara tindak kejahatan yang termasuk extra
ordinary crime yaitu teroris, narkoba, korupsi, pencucian uang, dan illegal
loging/pembalakan liar. Kejahatan-kejahatan tersebut saat ini menjelma
menjadi tindak pidana yang hampir sudah bisa dipastikan mendapat
penanganan serius dari jajaran aparatur penegak hukum. Penanganan

4
tersebut pun berdampak pada pola pembinaan pada Lembaga
Pemasyarakatan.
Perbedaan dalam perlakuan terhadap para pelaku tindak pidana
extra ordinary crime di dalam Lembaga Pemasyarakatan pun terus
berkembang, seperti dengan adanya penggolongan Unit Pelaksana
Tekhnis bagi tindak kejahatan tersebut. Salah satu tipe Lembaga
Pemasyarakatan yang menonjol yaitu dengan adanya pembentukan
Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika.
Belajar dari penjelasan tersebut, maka tak salah jika sistem
kepenjaraan sangatlah berbeda dengan sistem pemasyarakatan. Karena
dalam sistem pemasyarakatan sangatlah menjunjung pembinaan yang
berlandaskan hak asasi manusia.Terutama karena Hak Asasi Manusia
kini menjadi Isu Global di seluruh belahan dunia. Salah satu upaya
perlindungan terhadap HAM tersebut dapat kita temukan di Lembaga
Pemasyarakatan. Satu di antara beberapa hak yang ada pada Lembaga
Pemasyarakatan adalah mengatur tentang Layanan Kunjungan Warga
Binaan Pemasyarakatan ( Narapidana dan Tahanan ). Dalam Undang-
Undang No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pasal 14 (ayat 1.h)
menyebutkan bahwa “ Warga Binaan Pemasyarakatan (narapidana)
berhak menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum dan pihak
lainnya”.
Pelaksanaan layanan kunjungan yang merupakan salah satu hak
narapidana kemudian dipertegas kembali dalam Keputusan Direktur
Jenderal pemasyarakatan nomor : PAS-14.OT.02.02 tahun 2014 tanggal
15 Juli 2014 tentang Standar Pelayanan Pemasyarakatan. Dimana dalam
standar pelayanan tersebut merupakan pedoman dan acuan penilaian
kualitas pelayanan Pemasyarakatan yang diselenggarakan oleh Unit
Pelaksana Pemasyarakatan yang didalamnya terdiri dari komponen yang
dasar hukum, persyaratan, sistem mekanisme dan prosedur, jangka waktu
penyelesaian, biaya/tarif, produk pelayanan, sarana prasarana dan/atau
fasilitas, kompetensi pelaksana, pengawasan internal, penanganan
5
pengaduan, jumlah pelaksana, jaminan pelayanan, jaminan keamanan
dan evaluasi kinerja pelaksana. Dalam Klasifikasi beberapa bidang
layanan Pemasyarakatan, khusus untuk layanan kunjungan WBP masuk
pada bidang Keamanan dan Ketertiban. Dimana dalam pedoman standar
tersebut dijelaskan alur bagaimana seorang narapidana dapat dibesuk
oleh pihak-pihak yang diizinkan.
Hal tersebut diatas menjadikan polemik ketika kami dihadapkan
pada satu perbedaan. Karena pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Narkotika Jakarta memiliki model ruang kunjungan yang berbeda dengan
Lembaga Pemasyarakatan lainnya yang ada di Indonesia. Dimana pada
kunjungan Lembaga Pemasyarakatan tersebut memiliki kaca pembatas
yang menyebabkan antara narapidana dengan pembesuk hanya dapat
berkomunikasi melalui saluran telepon wireless yang di sediakan oleh
Instansi tersebut. Hal ini menjadi polemik dan pertanyaan besar karena
berbeda dengan Lembaga Pemasyarakatan lainnya yang ada di
Indonesia. Alih-alih untuk menghindari adanya interaksi langsung antara
narapidana dengan pembesuk dikarenakan Lembaga Pemasyarakatan
tersebut di khususkan untuk para pelanggar kasus narkoba. Namun pada
kenyataannya justru Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Jakarta
sering kecolongan. Karena beberapa kali di media cetak maupun
elektronik memuat tentang pemberitaan negatif. Atas dasar itulah
dilakukan penelitian tentang EFEKTIFITAS PEMASANGAN KACA
PEMBATAS PADA LAYANAN KUNJUNGAN NARAPIDANA : STUDI
KASUS PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA NARKOTIKA
JAKARTA.

6
B. KERANGKA PEMIKIRAN

Sampai saat ini masih banyak perselisihan paham tentang apa


yang dimaksud dengan pemasyarakatan, sebagai pelaksanaan dalam
gerak usahanya mengidentikan pemasyaraktan itu dengan memberikan
kelonggaran-kelonggaran yang lebih banyak kepada narapidana. Sudarto
memberikan definisi tentang pemasyarakatan yaitu : Istilah
pemasyarakatan dapat disamakan dengan “resosialisasi” dengan
pengertian bahwa segala sesuatunya ditempatkan dalam tata budaya
Indonesia, dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat Indonesia.
Istilah yang digunakan itu sebenarnya tidak begitu penting, kita tidak boleh
terpancing kepada istilah, dalam hal ini yang penting ialah pelaksanaaan
dari prinsip-prinsip pemasyarakatan itu sendiri, bagaimanakah cara-cara
pembinaan para narapidana itu dalam kenyataannya dan bagaimanakah
hasilnya.
Pasal 1 butir 2 UU Pemasyarakatan, menentukan bahwa sistem
Pemasyarakatan adalah :
Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan
warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang
dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan
masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan
pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri,
dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang
baik dan bertanggung jawab. Sistem pemasyarakatan juga dapat
diartikan sebagai suatu cara perlakuan terhadap narapidana yang
dijatuhi pidana hilang kemerdekaan, khususnya pidana penjara,
dengan mendidik, membimbing dan mengarahkan narapidana,
sehingga setelah selesai menjalani masa pidananya ia dapat
kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna bagi
bangsa dan negara, serta tidak melakukan kejahatan lagi.

Standart Minimum Rules (SMR) ini menetapkan hak-hak bagi


narapidana yaitu :
1. Akomodasi
2. Kebersihan pribadi
7
3. Pakaian dan tempat tidur
4. Makanan
5. Latihan dan olahraga
6. Pelayanan kesehatan
7. Disiplin dan hukum
8. Alat-alat penahanan
9. Informasi kepada dan keluhan oleh narapidana
10. Hubungan dengan dunia luar
11. Mendapatkan buku/informasi ( Koran/TV )
12. Berhak menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang
dianut narapidana tersebut
13. Penyimpanan harta kekayaan narapidana
14. Pemberitahuan mengenai kematian, sakit, pemindahan, dan
sebagainya
15. Personal lembaga
16. Pengawasan terhadap narapidana

Pada Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan yang menyebutkan


bahwa narapidana berhak untuk :
1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan
2. Mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani
3. Mendapat pendidikan dan pengajaran
4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak
5. Menyampaikan keluhan
6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media
massa lainnya yang tidak di larang
7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang
tertentu lainnya
9. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti
mengunjungi keluarga
11. Mendapatkan pembebasan bersyarat
12. Mendapatkan cuti menjelang bebas, dan
13. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan per
Undang-Undangan yang berlaku. Adanya Pemasyarakatan
maka semakin kokoh usaha-usaha mewujudkan suatu sistem
pemasyarakatan yang bersumber dan berdasarkan pancasila
dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Berbagai pengertian tentang pelayanan yang dikemukakan oleh


para ahli, di antaranya seperti yang dikatakan oleh Moenir, (1992 : 16)
bahwa pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas

8
orang lain secara langsung. Menurut Maarif (2003 : 5) jasa atau
pelayanan merupakan suatu kinerja penampilan, tidak berwujud
(intangible) dan cepat hilang, lebih dapat dirasakan dari pada dimiliki serta
pelanggan lebih dapat berpartisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi
jasa tersebut. Sedangkan menurut Kotler (1997 :227) pelayanan adalah
sebagai berikut :
A service is any act or performance that one party can offer to
another that is essentially intangible and does not result in the
ownership of anything. Its production may or may not be tied to
psysical product.

Selanjutnya American Marketing Association, ( 1981 : 441 )


mendefinisikan jasa sebagai berikut :
Services are those separately identifiable. Essential intangible
activities which provide want satisfaction and that is not neccesarily
lied to the sales of a product or another service. To produce a
service may or may not require the use of tangible goods. However
when such use required, there is no transfer to title (permanent
ownership)to these tangible goods.(Marketing Association).

Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat diambil


kesimpulan tentang pengertian jasa atau pelayanan yaitu merupakan
suatu kinerja penampilan, tidak berwujud dan cepat hilang, lebih dapat
dirasakan dari pada dimiliki serta pelanggan dapat lebih berpartsipasi aktif
dalam proses mengkonsumsi jasa atau pelayanan tersebut. Secara
singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. A Well - Conceived Strategy For Customer
Perhatian orang-orang di dalam organisasi diarahkan kepada prioritas
yang nyata dari pelanggan, konsep panduan harus menjadi pegangan
dalam setiap apa yang dikerjakan oleh orang-orang didalam organisasi
sebagai dasar untuk penyampaian pesan kepada pelanggan.
2. Customer - Oriented Front Line People.
Orang-orang lini depan yang efektif dapat memelihara atau dengan
kata lain dapat memusatkan perhatian sesuai dengan keinginan dan
pikiran pelanggan. Tingkat responsivitas, perhatian dan kemauan
9
diarahkan untuk menciptakan kesan adanya pelayanan yang istimewa
kepada pelanggan.
3. Service - Friendly System
Pada dasarnya sistem pelayanan itu didisain untuk menyenangkan
pelanggan, bukan untuk untuk menyenangkan organisasi. Fasilitas fisik,
kebijaksanaan, prosedur, metode dan proses komunikasi disesuaikan
dengan keinginan pelanggan.
Adapun bentuk dan sifat penyelenggaraan pelayanan umum harus
mengandung sendi-sendi : kesederhanaan, kejelasan, kepastian,
keamanan, keterbukaan, efisiensi, ekonomis, keadilan, dan ketepatan
waktu ( Boediono, 2003 : 68-70 ). Uraiannya sebagai berikut :
1. Kesederhanaan
Yang dimaksud dengan kesederhanaan meliputi mudah, lancar, cepat,
tidak berbelit–belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
2. Kejelasan dan kepastian
Arti adanya kejelasan dan kepastian di sini adalah hal-hal yang
berkaitan dengan :
- Prosedur atau tata cara pelayanan umum;
- Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif;
- Unit kerja dan atau pejabat yang berwewenang dan bertanggung
jawab dalam memberikan pelayanan umum;
- Rincian biaya / tarif pelayanan umum dan tata cara
poembayarannya;
- Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum;
- Hak dan Kewajiban, baik bagi pemberi pelayanan maupun penerima
pelayanan umum berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonan /
kelengkapannya, sebagai alat untuk memastikan pemprosesan
pelayanan umum;
- Pejabat yang menerima keluhan masyarakat.
3. Keamanan
Artinya bahwa dalam proses dan hasil pelayanan umum dapat
memberikan kepastian hukum.
4. Keterbukaan
Hal-hal yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib

10
diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh
masyarakat.
5. Efisiensi

Persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang


berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan
tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk
pelayanan umum yang diberikan;
Dicegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan, persyaratan
dalam hal proses pelayanannya mempersyaratkan kelengkapan
persyaratan dari satuan kerja / instansi pemerintah lain yang terkait.
6. Ekonomis

Dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara


wajar dengan memperhatikan :
Nilai barang dan atau jasa pelayanan umum dan tidak menuntut biaya
yang tinggi di luar kewajaran;
Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum;
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Keadilan

Dimaksud dengan sendi keadilan disini adalah keadilan yang merata,


dalam arti cakupan / jangkauan pelayanan umum harus diusahakan
seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara
adil.
8. Ketetapan Waktu

Yang dimaksud dengan ketetapan waktu di sini adalah dalam


pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam kurun waktu
yang telah ditentukan.

Menarik kesimpulan dari beberapa penjelasan di atas, maka dapat


dikatakan seluruh instansi pemerintah yang sifat dan fungsinya

11
memberikan pelayanan kepada publik, harusnya mengedepankan dan
menerapkan seluruh nilai dan aturan pelayanan publik tidak terkecuali pun
dengan pelayanan pemasyarakatan.

C. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif.
Artinya, data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan
data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan laopran, dokumen
pribadi, catatan memo dan dokumen lainnya. Menurut Sugiyono (2011:15)
metode kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk kata, kalimat
dan gambar.

D. HASIL PENELITIAN
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Jakarta dibentuk
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor : M-04.PR.07.03 tahun 2003 tanggal 16 April
2003, dan diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia pada saat itu ( Ibu
Megawati Soekarno Putri ) pada tanggal 30 Oktober 2003.
Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta memiliki bangunan diatas lahan
seluas kurang lebih 27.000 m2 (meter persegi) dengan spesifikasi
narapidana khusus berlatar belakang kasus narkotika dan psikotropika.
Lapas Narkotika Klas IIA Jakarta mulai beroperasi pada tanggal 24
Pebruari 2004. Lapas Narkotika Jakarta memiliki daya tampung/kapasitas
penghuni sebanyak 1084 orang yang dibagi kedalam 4 (empat) blok
hunian.
Visi Lapas Klas II A Narkotika Jakarta yaitu “Memberikan
Pelayanan yang Akuntabel dan Transparan serta mampu mewujudkan
Tertib Pemasyarakatan”. Sedangkan Misinya adalah sebagai berikut :
a. Memberikan Kemudahan Pelayanan bagi Masyarakat secara tepat
dan efektif.
b. Menghilangkan Komersialisasi dan Diskriminasi dalam Pelayanan.
12
c. Menyediakan Prosedur Layanan tentang Hak-Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan.
d. Mengedepankan Profesionalisme dan Keterbukaan dalam
Memberikan Pelayanan.
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Jakarta memiliki
slogan SUSTIK BERSEMI : BERSIH – SEHAT – MADANI.
Bersih : kebersihan itu sebagian dari iman, karenanya seoptimal mungkin
melaksanakan peningkatan kebersihan lingkungan kantor, halaman,
ruang-ruang kantor, blok hunian, kamar hunian, dapur, BLK dan tempat
ibadah serta semua fasilitas yang dimilikinya, agar dengan lingkungan
yang bersih akan dengan mudah membersihkan hati, sikap dan prilaku
sesuai dengan tuntunan agama yang dianut dan ketentuan yang berlaku.
Sehat : merupakan suatu kondisi yang senantiasa harus dijaga dan
dipelihara agar mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan, sehat tidak
hanya secara lahiriah saja tetapi juga batiniahnya sehingga tercipta
hubungan yang sehat antar sesama manusia dan terutama dalam
hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Madani : berjalannya suatu tatanan yang tertib dan teratur sesuai dengan
ketentuan yang berlaku sehingga tercipta tata kehidupan yang harmonis di
Lapas Narkotika Jakarta.
Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor :
M.04.PR.07.03 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Pematang Siantar Lubuk Linggau, Bandar
Lampung, Jakarta, Bandung, Nusakambangan, Madiun, Pamekasan,
Martapura, Bangli, Maros, Jayapura. Dan Surat Keputusan Direktur
Jenderal Pemasyarakatan Nomor : E.KP.09.05-701 A Tahun 2003
Tentang Uraian Tugas Pejabat Struktural dan Petugas Operasional di
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
mempunyai tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan terhadap
narapidana / anak didik pengguna narkotika dan obat terlarang lainnya
dengan tugas fungsi :
13
1. Melaksanakan pembinaan narapidana / anak didik kasus narkotika.
2. Memberikan bimbingan, terapi dan rehabilitasi narapidana / anak
didik kasus narkotika.
3. Melakukan bimbingan sosial/kerohanian.
4. Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib Lapas.
5. Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga.
TABEL I
PROFIL PEGAWAI LAPAS KLAS IIA NARKOTIKA JAKARTA
BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN
JENIS KELAMIN
NO PENDIDIKAN JUMLAH
LAKI-LAKI PEREMPUAN

1. S2 18 2 20

2. S1 43 25 68

3. AKIP 4 - 4

4. D3 2 6 8

5. SLTA 89 13 102

JUMLAH 156 46 202

TABEL II
PROFIL PEGAWAI LAPAS KLAS IIA NARKOTIKA JAKARTA
BERDASARKAN GOLONGAN RUANG
JENIS KELAMIN
NO GOLONGAN JUMLAH
LAKI-LAKI PEREMPUAN

1. IV 4 2 6

2. III 60 29 89

3. II 92 15 107

4. I - - -

JUMLAH 156 46 202

14
GAMBAR 2
STRUKTUR ORGANISASI LAPAS KLAS IIA NARKOTIKA JAKARTA

KEPALA LAPAS
R. ANDIKA DWI PRASEYTA, Bc.IP, S.Pd
NIP. 19671217 199103 1 002

KEPALA PENGAMANAN (KPLP) KASUBBAG TATA USAHA


WAHYU INDARTO, AMd.IP, SH, MM LIS SUSANTI, A.Md.IP, S.Sos, M.Si
NIP. 19761212 199902 1 001 NIP. 19791112 200012 2 001

KAUR KEPEGAWAIAN & KAUR UMUM


KEU WAHYOEDI, AKS
PETUGAS PENGAMANAN BISRI MUSTOPA, S.H., M.Si. NIP.
NIP. 19811028 200112 1002 196307071995031001

KEPALA SEKSI BINADIK WAHYU KEPALA SEKSI GIATJA KEPALA SEKSI ADM. KAMTIB
SUSETYO, Amd.IP, SH SUKAMTO, Amd.IP, SH RADEN DENI SUNARYA, Bc.IP, SH, MM
NIP. 19760530 199902 1 001 NIP. 19760101 200003 1 001 NIP. 19670115 199003 1 001

KASUBSIE. REGISTRASI KASUBSIE. SARKER KASUBSIE. KEAMANAN


ADHIYANSYAH, Amd.I.P., S.H. - SARWONO, A.Md.I.P., S.H., M.Si.
NIP. 19840901 200212 1 002 NIP. 19790204 200012 1 001

KASUBSIE BIMKER DAN PHK KASUBSIE. PORTATIB


Y. DIAS SANYOTO, A.Md.I.P.,S.H.,M.Si HADI WIJAYA, Amd.IP,SH,M.Si
KASUBSIE. BIMKEMASWAT NIP. 19810602 200012 1 001
- NIP. 19791230 200012 1 001

15
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Jakarta sampai saat
ini telah melaksanakan program-program unggulan yang ada diantaranya
adalah :
Program Layanan Publik ( Masyarakat )
a. Layanan Kunjungan;
b. Layanan Informasi
c. Layanan Pengaduan
Layanan publik yang ditujukan kepada masyarakat diantaranya
Layanan Kunjungan, Layanan Informasi dan Layanan Pengaduan
dilaksanakan oleh Tim Pelaksana Layanan Publik yang ditunjuk
berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika Klas IIA Jakarta. Alur dan Tata Cara Layanan Kunjungan,
Layanan Informasi dan Layanan Pengaduan secara transparan
terpampang pada sebuah banner besar yang dipasang pada dinding
ruang pendaftaran, sehingga para pengunjung atau masyarakat dapat
melihat, membaca dan memahami alur dan tata cara berkunjung,
mendapatkan informasi dan memberikan pengaduan atau komplain yang
ditujukan kepada pihak Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA
Jakarta terkait dengan permasalahan dan pelanggaran-pelanggaran
dalam melaksanakan pelayanan yang diberikan oleh pihak Lapas.
Peniadaan pungutan pada layanan kunjungan, tidak
menggunakan tenaga tamping, menyiapkan kotak pengaduan dan saran,
menyiapkan sarana ruang tunggu pengunjung, loker penitipan barang
bawaan, penyiapan penyekat antar pengunjung dan menyediakan kantin
diruang kunjungan. Menugaskan tenaga terampil dalam aplikasi teknologi
layanan kunjungan, layanan informasi dimulai dari pendaftaran,
pemeriksaan barang bawaan hingga kepada pemanggilan penghuni.
Layanan informasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan
dalam upaya memberikan informasi secara transfaran, meliputi semua
aspek yang berkaitan erat dengan program pembinaan dan layanan yang
diberikan kepada setiap penghuni/warga binaan, diantaranya :
16
a. Layanan informasi external, yaitu layanan informasi yang dilakukan

terhadap keluarga penghuni, masyarakat (pers) dan institusi yang

membutuhkan informasi tentang sistem/proses pemasyarakatan

maupun hal lainnya yang berkaitan dengan Lapas. Layanan ini

dilaksanakan di Gedung Utama Lapas dengan maksud untuk lebih

terjangkau oleh masyarakat luas.

b. Layanan informasi internal, layanan informasi kepada penghuni

tentang berbagai hal yang berkaitan dengan program, pelayanan, hak

dan penjelasan kewajiban kepada warga binaan pemasyarakatan

(proses pemasyarakatan). Layanan ini dilaksanakan oleh staf

pembinaan di gazebo Lapas, agar semua penghuni dapat dengan

mudah mendapatkan informasi dan sekaligus dapat berkonsultasi

terhadap permasalahan yang dihadapinya.

c. Layanan pengaduan, Tujuan layanan Pengaduan bagi masyarakat

yang ingin menyampaikan keluhan dan saran terkait layanan

kunjungan dan layanan penghuni dapat menyampaikan melalui kotak

pengaduan dan saran sebagai bentuk akuntabilitas, transfaransi dan

profesionalisme petugas lapas. Keluhan dan saran meliputi :

- Praktek pungutan dalam layanan kunjungan dan layanan

penghuni, kualitas layanan yang rendah, tidak transfaran dan

kurang akuntabel mengenai pengurusan remisi, vonis, PB, CB,

CMB dan Asimilasi.

17
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor : M-04.PR.07.03 tahun 2003 tanggal
16 April 2003 yang kemudian dirubah kembali dalam keputusan yang
sama : M.03.PR.07.03 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Pematang Siantar, Lubuk Linggau, Bandar
Lampung, Jakarta, Bandung, Nusakambangan, Madiun, Pamekasan,
Martapura, Bangli, Maros, Dan Jayapura, maka Pemerintah melalui
Kementerian Hukum dan HAM telah menentukan sebelas UPT
Pemasyarakatan dengan Klasifikasi Lapas Khusus yaitu Lapas Narkotika
yang dalam tata ruang dan pola bangunan di rancang khusus sebagai
hasil study banding yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan di beberapa negara yang telah memiliki standar
pelayanan bagi terpidana khusus.
Dalam perkembangannya, terjadi perbedaan yang signifikan
manakala pelayanan kunjungan di Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta
menggunakan kaca pembatas yang memisahkan antara narapidana
dengan keluarga yang datang membesuk. Komunikasi pada tempat
tersebut menggunakan sarana telepon intelkom, sedangkan pola tersebut
tidak diterapkan di Lapas lainnya baik Klasifikasi Khusus maupun Lapas
umum lainnya.
Dari keterangan yang penulis dapatkan saat melakukan
wawancara dengan petugas pada bagian perencanaan dan pelaporan
Sekretariat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, diperoleh keterangan
bahwa bentuk ruang kunjungan yang berada di Lapas Klas IIA Narkotika
Jakarta di rancang sebagai percontohan bagi penerapan kebijakan
pimpinan ( diskresi ) saat itu dengan berdasarkan beberapa pertimbangan
di antaranya yaitu pada saat itu perlakuan terhadap narapidana tindak
pidana khusus menjadi perhatian masyarakat umum yang mengharapkan
adanya pengawasan khusus dan lebih ketat dan dikarenakan Lapas Klas
IIA Narkotika Jakarta berada di wilayah Daerah Khusus Ibukota, yang
notabene nya menjadi tolak ukur indikator keberhasilan kebijakan instansi
18
maka diterapkanlah pemasangan kaca pembatas tersebut yang
diharapkan akan menjadi model/percontohan terhadap standar pelayanan
bagi narapidana khusus di seluruh Indonesia.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang merupakan salah satu
instansi pemerintah yang melaksanakan fungsi pelayanan publik di bidang
pemasyarakatan, harus memiliki kemampuan untuk kondisi yang
berkembang di masyarakat sebagai salah satu perwujudan dari
penerapan konsep pelayanan publik yaitu mengutamakan kepentingan
masyarakat selaku konsumen atau pelanggan pelayanan tersebut. Di satu
sisi timbul permasalahan lainnya manakala kepentingan masyarakat
tersebut terpecah menjadi dua. Dimana ada kelompok masyarakat yang
merasa diuntungkan dengan pola dan penerapan sistem tersebut, dan
ada kelompok masyarakat lainnya yang merasa dirugikan dengan
perlakuan beda dari pelayanan pada sistem pemasyarakatan tersebut.
Jika memperhatikan Undang-undang nomor 12 tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, pada pasal 14 yang membahas mengenai hak
melekat pada narapidana, dimana narapidana berhak mendapatkan
kunjungan dari pihak keluarga, yang kemudian diperkuat kembali dalam
aturan-aturan pemerintah tentang tata cara dan pelaksanaan pembinaan
terhadap warga binaan pemasyarakatan, dari semua peraturan tersebut
tidak ada yang secara tegas mengatur bentuk layanan khusus kunjungan
narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan dengan menggunakan kaca
pembatas. Akan tetapi dapat disadari bahwa tuntutan masyarakat yang
berkembang pada saat itu mendorong untuk pembuat kebijakan mencoba
menerapkan pola pelayanan khusus di Lapas Kelas IIA Narkotika Jakarta.
Dalam penelitian ini, penulis juga membagikan kuesioner kepada
tiga unsur ( WBP, Petugas dan Pembesuk/keluarga ), guna mendapatkan
keterangan mengenai pelayanan kunjungan pada Lapas Klas IIA
Narkotika Jakarta kaitannya dengan pelayanan publik. Dari hasil
kuesioner tersebut tersebut didapatkan keterangan mengenai nilai
kepuasan dalam pelayanan publik pada layanan kunjungan Lapas Klas IIA
19
Narkotika Jakarta masih kurang baik. Hal tersebut salah satunya
disebabkan oleh adanya pemasangan kaca pembatas pada layanan
kunjungan Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta.
Karena pembesuk selaku konsumen yang mendapatkan
pelayanan publik tidak terpenuhi secara maksimal nilai kepuasannya,
sedangkan petugas selaku publik yang meberikan pelayanan belum
mampu dikatakan memberikan pelayanan yang baik dikarenakan tidak di
dukung dengan pengembangan kaulitas Sumber Daya Manusia (SDM)
serta penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Sedangkan dinilai
dari sisi kerawanan pada Lembaga Pemasyarakatan, hal tersebut justru
dapat menyebakna permasalahan baru manakala Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) merasa ada hak mereka yang dilanggar tidak
berdasarkan aturan baku.
Penerapan kebijakan dengan pemasangan kaca pembatas dalam
pelayanan kunjungan pada Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta memberikan
dampak langsung terhadap narapidana yang menurut Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dapat dikategorikan
sebagai kelompok masyarakat golongan khusus merasakan pemenuhan
hak melekat yang ada pada dirinya tidak terpenuhi, terlebih jika pola
pelayanan kunjungan dengan pemasangan kaca pembatas tersebut tidak
diterapkan pada sistem layanan kunjungan di Lapas lainnya.
Alasan lainnya yang membuat kaca pembatas pada layanan
kunjungan di Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta dianggap kurang pas
karena belum jelasnya aturan yang menjelaskan tentang detail bentuk
tersebut. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan selaku instansi pembuat
kebijakan bidang Pemasyarakatan, walau telah mengeluarkan surat
keputusan tentang standar pelayanan pemasyarakatan, belum dapat
memberikan penjelasan terkait desain pola bangunan tersebut.
Namun demikian, sebenarnya pemasangan kaca pembatas pada
layanan kunjungan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi
pelanggaran terhadap barang-barang terlarang masuk ke dalam Lembaga
20
pemasyarakatan. Akan tetapi, hal tersebut haruslah diimbangi dengan
dengan ketersediaan sarana dan prasana pendukung juga sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas guna mendukung sistem tersebut.
Seperti dengan apa yang penulis dapatkan setelah melakukan
tinjauan langsung di Lembaga pemasyarakatan Kals IIA Narkotika
Cipinang, dimana masih ada beberapa elemen yang dianggap masih
belum sesuai dengan keadaan yang semestinya. Dimana hal tesebut
antara lain :
- Masih kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang memiliki

kemampuan bidang IT guna menunjang sistem pemasyarakatan

yang lebih modern dengan mengedepankan IT Sistem. Hal tersebut

juga dikuatkan dengan hasil temuan di Lapas Klas IIA Narkotika

Cipinang dimana petugas yang memiliki tanggung jawab pada

proses layanan kunjungan belum memiliki keahlian bidang IT.

- Masih kurangnya CCTV pemantau yang terpasang diarea layanan

kunjungan Lembaga Pemasyarakatan Kals IIA Narkotika Cipinang.

Hal tersebut didasarkan pada hasil peninjauan langsung lokasi

dimana hanya terdapat 2 buah kamera CCTV yang terpasang di

area layanan kunjungan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta.

Kedua kamera CCTV tersebut hanya terpasang di area pengunjung

saja, sedangkan untuk area yang di besuk (narapidana), belum

terdapat kamera CCTV guna melakukan pengawasan.

- Masih kurangnya sarana dualphone yang digunakan sebagai alat

komunikasi antara pengunjung dengan narapidana yang dikunjungi.

Karena berdasarkan hasil penelitian langsung hanya terdapat 20 unit

21
dualphone pada ruang layanan kunjungan Lapas Klas IIA Narkotika

Cipinang Jakarta. Hal tersebut menjadi permasalahan karena jumlah

Narapidana pada Lapas tersebut mencapai 2700 WBP. Meskipun

pada layanan kunjungan Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta di bagi

menjadi dua tahap pagi dan siang hal tersebut masih belum bisa

mengantisipasi jumlah pengunjung yang datang.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi


Manusia Republik Indonesia Nomor : M-04.PR.07.03 tahun 2003 tanggal
16 April 2003 yang kemudian dirubah kembali dalam keputusan yang
sama : M.03.PR.07.03 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Pematang Siantar, Lubuk Linggau, Bandar
Lampung, Jakarta, Bandung, Nusakambangan, Madiun, Pamekasan,
Martapura, Bangli, Maros, Dan Jayapura, maka Pemerintah melalui
Kementerian Hukum dan HAM telah menentukan sebelas UPT
Pemasyarakatan dengan Klasifikasi Lapas Khusus yaitu Lapas Narkotika
yang dalam tata ruang dan pola bangunan di rancang khusus sebagai
hasil study banding yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan di beberapa negara yang telah memiliki standar
pelayanan bagi terpidana khusus.
Dalam perkembangannya, terjadi perbedaan yang signifikan
manakala pelayanan kunjungan di Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta
menggunakan kaca pembatas yang memisahkan antara narapidana
dengan keluarga yang datang membesuk. Komunikasi pada tempat
tersebut menggunakan sarana telepon intelkom, sedangkan pola tersebut
tidak diterapkan di Lapas lainnya baik Klasifikasi Khusus maupun Lapas
umum lainnya.
Dari keterangan yang penulis dapatkan saat melakukan
wawancara dengan petugas pada bagian perencanaan dan pelaporan
Sekretariat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, diperoleh keterangan
22
bahwa bentuk ruang kunjungan yang berada di Lapas Klas IIA Narkotika
Jakarta di rancang sebagai percontohan bagi penerapan kebijakan
pimpinan ( diskresi ) saat itu dengan berdasarkan beberapa pertimbangan
di antaranya yaitu pada saat itu perlakuan terhadap narapidana tindak
pidana khusus menjadi perhatian masyarakat umum yang mengharapkan
adanya pengawasan khusus dan lebih ketat dan dikarenakan Lapas Klas
IIA Narkotika Jakarta berada di wilayah Daerah Khusus Ibukota, yang
notabene nya menjadi tolak ukur indikator keberhasilan kebijakan instansi
maka diterapkanlah pemasangan kaca pembatas tersebut yang
diharapkan akan menjadi model/percontohan terhadap standar pelayanan
bagi narapidana khusus di seluruh Indonesia.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang merupakan salah satu
instansi pemerintah yang melaksanakan fungsi pelayanan publik di bidang
pemasyarakatan, harus memiliki kemampuan untuk kondisi yang
berkembang di masyarakat sebagai salah satu perwujudan dari
penerapan konsep pelayanan publik yaitu mengutamakan kepentingan
masyarakat selaku konsumen atau pelanggan pelayanan tersebut. Di satu
sisi timbul permasalahan lainnya manakala kepentingan masyarakat
tersebut terpecah menjadi dua. Dimana ada kelompok masyarakat yang
merasa diuntungkan dengan pola dan penerapan sistem tersebut, dan
ada kelompok masyarakat lainnya yang merasa dirugikan dengan
perlakuan beda dari pelayanan pada sistem pemasyarakatan tersebut.
Jika memperhatikan Undang-undang nomor 12 tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, pada pasal 14 yang membahas mengenai hak
melekat pada narapidana, dimana narapidana berhak mendapatkan
kunjungan dari pihak keluarga, yang kemudian diperkuat kembali dalam
aturan-aturan pemerintah tentang tata cara dan pelaksanaan pembinaan
terhadap warga binaan pemasyarakatan, dari semua peraturan tersebut
tidak ada yang secara tegas mengatur bentuk layanan khusus kunjungan
narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan dengan menggunakan kaca
pembatas. Akan tetapi dapat disadari bahwa tuntutan masyarakat yang
23
berkembang pada saat itu mendorong untuk pembuat kebijakan mencoba
menerapkan pola pelayanan khusus di Lapas Kelas IIA Narkotika Jakarta.
Dalam penelitian ini, penulis juga membagikan kuesioner kepada
tiga unsur ( WBP, Petugas dan Pembesuk/keluarga ), guna mendapatkan
keterangan mengenai pelayanan kunjungan pada Lapas Klas IIA
Narkotika Jakarta kaitannya dengan pelayanan publik. Dari hasil
kuesioner tersebut tersebut didapatkan keterangan mengenai nilai
kepuasan dalam pelayanan publik pada layanan kunjungan Lapas Klas IIA
Narkotika Jakarta masih kurang baik. Hal tersebut salah satunya
disebabkan oleh adanya pemasangan kaca pembatas pada layanan
kunjungan Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta.
Karena pembesuk selaku konsumen yang mendapatkan
pelayanan publik tidak terpenuhi secara maksimal nilai kepuasannya,
sedangkan petugas selaku publik yang meberikan pelayanan belum
mampu dikatakan memberikan pelayanan yang baik dikarenakan tidak di
dukung dengan pengembangan kaulitas Sumber Daya Manusia (SDM)
serta penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Sedangkan dinilai
dari sisi kerawanan pada Lembaga Pemasyarakatan, hal tersebut justru
dapat menyebakna permasalahan baru manakala Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) merasa ada hak mereka yang dilanggar tidak
berdasarkan aturan baku.
Penerapan kebijakan dengan pemasangan kaca pembatas dalam
pelayanan kunjungan pada Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta memberikan
dampak langsung terhadap narapidana yang menurut Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dapat dikategorikan
sebagai kelompok masyarakat golongan khusus merasakan pemenuhan
hak melekat yang ada pada dirinya tidak terpenuhi, terlebih jika pola
pelayanan kunjungan dengan pemasangan kaca pembatas tersebut tidak
diterapkan pada sistem layanan kunjungan di Lapas lainnya.
Alasan lainnya yang membuat kaca pembatas pada layanan
kunjungan di Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta dianggap kurang pas
24
karena belum jelasnya aturan yang menjelaskan tentang detail bentuk
tersebut. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan selaku instansi pembuat
kebijakan bidang Pemasyarakatan, walau telah mengeluarkan surat
keputusan tentang standar pelayanan pemasyarakatan, belum dapat
memberikan penjelasan terkait desain pola bangunan tersebut.
Namun demikian, sebenarnya pemasangan kaca pembatas pada
layanan kunjungan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi
pelanggaran terhadap barang-barang terlarang masuk ke dalam Lembaga
pemasyarakatan. Akan tetapi, hal tersebut haruslah diimbangi dengan
dengan ketersediaan sarana dan prasana pendukung juga sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas guna mendukung sistem tersebut.
Seperti dengan apa yang penulis dapatkan setelah melakukan
tinjauan langsung di Lembaga pemasyarakatan Kals IIA Narkotika
Cipinang, dimana masih ada beberapa elemen yang dianggap masih
belum sesuai dengan keadaan yang semestinya. Dimana hal tesebut
antara lain :
- Masih kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang memiliki

kemampuan bidang IT guna menunjang sistem pemasyarakatan

yang lebih modern dengan mengedepankan IT Sistem. Hal tersebut

juga dikuatkan dengan hasil temuan di Lapas Klas IIA Narkotika

Cipinang dimana petugas yang memiliki tanggung jawab pada

proses layanan kunjungan belum memiliki keahlian bidang IT.

- Masih kurangnya CCTV pemantau yang terpasang diarea layanan

kunjungan Lembaga Pemasyarakatan Kals IIA Narkotika Cipinang.

Hal tersebut didasarkan pada hasil peninjauan langsung lokasi

dimana hanya terdapat 2 buah kamera CCTV yang terpasang di

area layanan kunjungan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta.

25
Kedua kamera CCTV tersebut hanya terpasang di area pengunjung

saja, sedangkan untuk area yang di besuk (narapidana), belum

terdapat kamera CCTV guna melakukan pengawasan.

- Masih kurangnya sarana dualphone yang digunakan sebagai alat

komunikasi antara pengunjung dengan narapidana yang dikunjungi.

Karena berdasarkan hasil penelitian langsung hanya terdapat 20 unit

dualphone pada ruang layanan kunjungan Lapas Klas IIA Narkotika

Cipinang Jakarta. Hal tersebut menjadi permasalahan karena jumlah

Narapidana pada Lapas tersebut mencapai 2700 WBP. Meskipun

pada layanan kunjungan Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta di bagi

menjadi dua tahap pagi dan siang hal tersebut masih belum bisa

mengantisipasi jumlah pengunjung yang datang.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi


Manusia Republik Indonesia Nomor : M-04.PR.07.03 tahun 2003 tanggal
16 April 2003 yang kemudian dirubah kembali dalam keputusan yang
sama : M.03.PR.07.03 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Pematang Siantar, Lubuk Linggau, Bandar
Lampung, Jakarta, Bandung, Nusakambangan, Madiun, Pamekasan,
Martapura, Bangli, Maros, Dan Jayapura, maka Pemerintah melalui
Kementerian Hukum dan HAM telah menentukan sebelas UPT
Pemasyarakatan dengan Klasifikasi Lapas Khusus yaitu Lapas Narkotika
yang dalam tata ruang dan pola bangunan di rancang khusus sebagai
hasil study banding yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan di beberapa negara yang telah memiliki standar
pelayanan bagi terpidana khusus.
Dalam perkembangannya, terjadi perbedaan yang signifikan
manakala pelayanan kunjungan di Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta
26
menggunakan kaca pembatas yang memisahkan antara narapidana
dengan keluarga yang datang membesuk. Komunikasi pada tempat
tersebut menggunakan sarana telepon intelkom, sedangkan pola tersebut
tidak diterapkan di Lapas lainnya baik Klasifikasi Khusus maupun Lapas
umum lainnya.
Dari keterangan yang penulis dapatkan saat melakukan
wawancara dengan petugas pada bagian perencanaan dan pelaporan
Sekretariat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, diperoleh keterangan
bahwa bentuk ruang kunjungan yang berada di Lapas Klas IIA Narkotika
Jakarta di rancang sebagai percontohan bagi penerapan kebijakan
pimpinan ( diskresi ) saat itu dengan berdasarkan beberapa pertimbangan
di antaranya yaitu pada saat itu perlakuan terhadap narapidana tindak
pidana khusus menjadi perhatian masyarakat umum yang mengharapkan
adanya pengawasan khusus dan lebih ketat dan dikarenakan Lapas Klas
IIA Narkotika Jakarta berada di wilayah Daerah Khusus Ibukota, yang
notabene nya menjadi tolak ukur indikator keberhasilan kebijakan instansi
maka diterapkanlah pemasangan kaca pembatas tersebut yang
diharapkan akan menjadi model/percontohan terhadap standar pelayanan
bagi narapidana khusus di seluruh Indonesia.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang merupakan salah satu
instansi pemerintah yang melaksanakan fungsi pelayanan publik di bidang
pemasyarakatan, harus memiliki kemampuan untuk kondisi yang
berkembang di masyarakat sebagai salah satu perwujudan dari
penerapan konsep pelayanan publik yaitu mengutamakan kepentingan
masyarakat selaku konsumen atau pelanggan pelayanan tersebut. Di satu
sisi timbul permasalahan lainnya manakala kepentingan masyarakat
tersebut terpecah menjadi dua. Dimana ada kelompok masyarakat yang
merasa diuntungkan dengan pola dan penerapan sistem tersebut, dan
ada kelompok masyarakat lainnya yang merasa dirugikan dengan
perlakuan beda dari pelayanan pada sistem pemasyarakatan tersebut.

27
Jika memperhatikan Undang-undang nomor 12 tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, pada pasal 14 yang membahas mengenai hak
melekat pada narapidana, dimana narapidana berhak mendapatkan
kunjungan dari pihak keluarga, yang kemudian diperkuat kembali dalam
aturan-aturan pemerintah tentang tata cara dan pelaksanaan pembinaan
terhadap warga binaan pemasyarakatan, dari semua peraturan tersebut
tidak ada yang secara tegas mengatur bentuk layanan khusus kunjungan
narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan dengan menggunakan kaca
pembatas. Akan tetapi dapat disadari bahwa tuntutan masyarakat yang
berkembang pada saat itu mendorong untuk pembuat kebijakan mencoba
menerapkan pola pelayanan khusus di Lapas Kelas IIA Narkotika Jakarta.
Dalam penelitian ini, penulis juga membagikan kuesioner kepada
tiga unsur ( WBP, Petugas dan Pembesuk/keluarga ), guna mendapatkan
keterangan mengenai pelayanan kunjungan pada Lapas Klas IIA
Narkotika Jakarta kaitannya dengan pelayanan publik. Dari hasil
kuesioner tersebut tersebut didapatkan keterangan mengenai nilai
kepuasan dalam pelayanan publik pada layanan kunjungan Lapas Klas IIA
Narkotika Jakarta masih kurang baik. Hal tersebut salah satunya
disebabkan oleh adanya pemasangan kaca pembatas pada layanan
kunjungan Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta.
Karena pembesuk selaku konsumen yang mendapatkan
pelayanan publik tidak terpenuhi secara maksimal nilai kepuasannya,
sedangkan petugas selaku publik yang meberikan pelayanan belum
mampu dikatakan memberikan pelayanan yang baik dikarenakan tidak di
dukung dengan pengembangan kaulitas Sumber Daya Manusia (SDM)
serta penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Sedangkan dinilai
dari sisi kerawanan pada Lembaga Pemasyarakatan, hal tersebut justru
dapat menyebakna permasalahan baru manakala Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) merasa ada hak mereka yang dilanggar tidak
berdasarkan aturan baku.

28
Penerapan kebijakan dengan pemasangan kaca pembatas dalam
pelayanan kunjungan pada Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta memberikan
dampak langsung terhadap narapidana yang menurut Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dapat dikategorikan
sebagai kelompok masyarakat golongan khusus merasakan pemenuhan
hak melekat yang ada pada dirinya tidak terpenuhi, terlebih jika pola
pelayanan kunjungan dengan pemasangan kaca pembatas tersebut tidak
diterapkan pada sistem layanan kunjungan di Lapas lainnya.
Alasan lainnya yang membuat kaca pembatas pada layanan
kunjungan di Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta dianggap kurang pas
karena belum jelasnya aturan yang menjelaskan tentang detail bentuk
tersebut. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan selaku instansi pembuat
kebijakan bidang Pemasyarakatan, walau telah mengeluarkan surat
keputusan tentang standar pelayanan pemasyarakatan, belum dapat
memberikan penjelasan terkait desain pola bangunan tersebut.
Namun demikian, sebenarnya pemasangan kaca pembatas pada
layanan kunjungan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi
pelanggaran terhadap barang-barang terlarang masuk ke dalam Lembaga
pemasyarakatan. Akan tetapi, hal tersebut haruslah diimbangi dengan
dengan ketersediaan sarana dan prasana pendukung juga sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas guna mendukung sistem tersebut.
Seperti dengan apa yang penulis dapatkan setelah melakukan
tinjauan langsung di Lembaga pemasyarakatan Kals IIA Narkotika
Cipinang, dimana masih ada beberapa elemen yang dianggap masih
belum sesuai dengan keadaan yang semestinya. Dimana hal tesebut
antara lain :
- Masih kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang memiliki

kemampuan bidang IT guna menunjang sistem pemasyarakatan

yang lebih modern dengan mengedepankan IT Sistem. Hal tersebut

juga dikuatkan dengan hasil temuan di Lapas Klas IIA Narkotika


29
Cipinang dimana petugas yang memiliki tanggung jawab pada

proses layanan kunjungan belum memiliki keahlian bidang IT.

- Masih kurangnya CCTV pemantau yang terpasang diarea layanan

kunjungan Lembaga Pemasyarakatan Kals IIA Narkotika Cipinang.

Hal tersebut didasarkan pada hasil peninjauan langsung lokasi

dimana hanya terdapat 2 buah kamera CCTV yang terpasang di

area layanan kunjungan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta.

Kedua kamera CCTV tersebut hanya terpasang di area pengunjung

saja, sedangkan untuk area yang di besuk (narapidana), belum

terdapat kamera CCTV guna melakukan pengawasan.

- Masih kurangnya sarana dualphone yang digunakan sebagai alat

komunikasi antara pengunjung dengan narapidana yang dikunjungi.

Karena berdasarkan hasil penelitian langsung hanya terdapat 20 unit

dualphone pada ruang layanan kunjungan Lapas Klas IIA Narkotika

Cipinang Jakarta. Hal tersebut menjadi permasalahan karena jumlah

Narapidana pada Lapas tersebut mencapai 2700 WBP. Meskipun

pada layanan kunjungan Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta di bagi

menjadi dua tahap pagi dan siang hal tersebut masih belum bisa

mengantisipasi jumlah pengunjung yang datang.

30
E. KESIMPULAN DAN SARAN
1) Kesimpulan
1. Pemasangan kaca pembatas pada ruang layanan kunjungan

Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta sejatinya belum didasarkan pada

aturan baku yang ada. Hal tersebut hanya didasarkan pada

diskresi atau kebijakan pimpinan unit utama Direktorat Jenderal

Pemasyarakatan saat itu dalam penerapan hasil kunjungan dari

berbagai negara.

2. Faktor utama yang mempengaruhi pemasangan kaca pembatas

pada layanan kunjungan Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta yaitu di

rancang sebagai percontohan bagi penerapan kebijakan pimpinan

saat itu dengan berdasarkan beberapa pertimbangan di antaranya

yaitu pada saat itu perlakuan terhadap narapidana tindak pidana

khusus menjadi perhatian masyarakat umum yang mengharapkan

adanya pengawasan khusus dan lebih ketat dan dikarenakan

Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta berada di wilayah Daerah

Khusus Ibukota, yang notabene nya menjadi tolak ukur indikator

keberhasilan kebijakan instansi.

2) Saran
1. Perlu dilakukan evaluasi terhadap Keputusan direktur Jenderal

Pemasyarakatan Nomor : PAS-14.02.02 Tahun 2014 tentang

Standar Pelayanan Pemasyarakatan (salah satunya mengatur

tentang layanan kunjungan Warga Binaan Pemasyarakatan), tidak

menyebutkan tentang model dan bentuk ruang kunjungan

31
Lembaga Pemasyarakatan harus menggunakan kaca pembatas.

Hal tersebut dirasakan akan menjadi koreksi bagi instasni terkait

karena tidak adanya ketetapan baku dalam suatu aturan.

2. Perlu di susun standar pelayanan kunjungan bagi Lapas dengan

Klasifikasi khusus yang mengatur tentang tata ruang, bentuk

bangunan, dan pola pelayanan.

3. Pemasangan kaca pembatas pada ruang layanan kunjungan

Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta sebaiknya diimbangi dengan

penyediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas serta

sarana dan prasarana pendukung yang cukup guna mencapai

tujuan organisasi yang sesuai dengan rancangan awal.

F. DAFTAR PUSTAKA
1. BUKU-BUKU

1. R.Achmad S.Soema Dipradja,Romli Atmasasmita,1979, Sistim

Pemasyarakatan di Indonesia, Bandung : Percetakan Ekonomi,

hal.19.

2. Bahroedin Soerjobroto, 1969, The Treatment Of Offenders,

Undip, Semarang, hal.9

3. C.I.Harsono, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana,

Djambatan, Jakarta, hal.13.

4. Soedjono, 1972, Kisah Penjara-Penjara di Berbagai Negara,

Alumni, Bandung, hal.86.

32
5. A Josias Simon R dan Thomas Sunaryo, 2010, Studi

Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, Lubuk

Agung, Bandung, hal.1.

6. Romli Atmasasmita, 1996, Beberapa Catatan Isi Naskah RUU

Pemasyarakatan, Rineka, Bandung, hal.12.

7. Djisman Samosir, 1982, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem

Pembinaan Narapidana di Indonesia, Pradnya Paramita,

Jakarta,hal.13.

8. Serikat Putra Jaya, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana,

Cetakan Kedua, Universitas Dipenogoro, Semarang, hal.38.

9. Bahrudin Surjobroto, 1991, Suatu Tinjauan Tentang Sistem

Pemasyarakatan, Departemen kehakiman RI, jakarta, hal. 5.

10. Boediono, B , 2003 . Pelayanan prima Perpajakan. Jakarta : PT.

Rineka Cipta.

11. Gie, The Liang. 1993. Ensiklopedia Administrasi . Jakarta :

Gunung Agung.

12. Sinambela, Lijan Poltak,dkk.2006. Reformasi Pelayanan

Publik. Jakarta : Bumi Aksara.

13. Moenir, H.A.S. 2002. Manajemen Pelayanan Umum di

Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.

14. Sedermayanti. 2004. Good Governance ( Kpemerintahan yang

Baik) Bagian Kedua : Membangun Sistem Manajemen Kinerja

33
guna Meningkatkan Produktivitas Menuju Good Governance

(Kepemerintahan yang Baik). Bandung : Mandar Maju.

15. Boediono, B , 2003 . Pelayanan prima Perpajakan. Jakarta : PT.

Rineka Cipta.

16. Gie, The Liang. 1993. Ensiklopedia Administrasi . Jakarta :

Gunung Agung.

17. Sinambela, Lijan Poltak,dkk.2006. Reformasi Pelayanan

Publik. Jakarta : Bumi Aksara.

18. Moenir, H.A.S. 2002. Manajemen Pelayanan Umum di

Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.

19. Sedermayanti. 2004. Good Governance ( Kepemerintahan yang

Baik) Bagian Kedua : Membangun Sistem Manajemen Kinerja

guna Meningkatkan Produktivitas Menuju Good Governance

(Kepemerintahan yang Baik). Bandung : Mandar Maju.

2. DOKUMEN ELEKTRONIK

1. Hendro Purba, Pengertian Tentang Sistem Pemasyarakatan,

data diakses pada tanggal 2 Februari 2016, available from : URL

: Http ://online-hukum-blogspot.com/2011/01/pengertian-

tentangsistem.html#

2. Sipirprodeo, Sejarah Sistem Pemasyarakatan, data diakses

pada tanggal 2 Februari 2016, available from : URL:Http ://

34
polsuspas.wordpress.com/2011/01/05/sejarah-sistem-

pemasyarakatan/

3. Akhmad Sekhu, Sejarah hari Penjara ke LAPAS, data diakses

pada tanggal 2 Februari 2015, available from :

URL:Http://sejarah.kompasiana.com/2010/07/21/sejarah-dari-penjara-

ke-LAPAS-napi-jugamanusia

3. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1. Undang-Undang nomor 12 tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan.

2. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM R.I no : M.01-PR.01.01

tahun 2003 ( Pasal 23 ).

3. Keputusan Menteri Kehakiman Tahun 1990 No. M-02-PK.04.10

Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan.

4. Permenkumham RI No. M-01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang

Organsasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Kementerian Hukum

dan HAM RI.

5. Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1999 tentang Pembinaan

dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

6. Keputusan Direktur Jenderal pemasyarakatan nomor : PAS-

14.OT.02.02 tahun 2014 tanggal 15 Juli 2014 tentang Standar

Pelayanan Pemasyarakatan.

35
7. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.63

Tahun 2003.

8. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor 81 Tahun 1993

9. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.63

Tahun 2003.

36

Anda mungkin juga menyukai