Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Proses penegakan hukum yang baik hendaknya dapat berjalan sesuai

dengan yang diharapkan, atau tidak terjadi ketimpangan didalam proses

penerapannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat

(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, bahwa negara

Indonesia adalah negara hukum. Upaya penegakan tertib hukum guna mencapai

tujuan negara Republik Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat yang adil

dan makmur berdasarkan Pancasila. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut tidak

jarang terjadi permasalahan-permasalahan hukum yang disebabkan oleh luasnya

negara Indonesia. Hal ini sangat berdampak pada kompleksitas permasalahan di

negara ini, khususnya dalam aspek efektivitas perkembangan hukum. Selain itu

dalam penegakan aturan hukum, sejumlah pihak kurang atau tidak berdasarkan

kepada hukum yang berlaku di Indonesia saat ini (Hukum dan HAM, 2017)

Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses melaksanakan pengaruh,

akibat atau dapat membawa hasil. Jadi, efektivitas adalah keaktifan, daya guna,

adanya kesesuaian dalam suatu kegiatan orang yang melaksanakan tugas dengan

sasaran yang dituju. Efektivitas bukan hanya terkait dengan mekanisme

penjabaran keputusan-keputusan politik kedalam prosedur-prosedur rutin melalui

saluran-saluran birokrasi. Lebih dari itu, efektivitas menyangkut masalah

penilaian keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan.

1
2

Saat ini, pembangunan hukum kuat dan merata di seluruh kalangan

masyarakat, sehingga dapat dikatakan berjalan sesuai dengan rencana. Namun

tidak bisa dipungkiri, bahwa didalam proses pembangunan hukum yang kuat

masih banyak terjadi kendala. Sebagai contoh, hukum di Indonesia seakan

menjadi milik segelintir orang yang mempunyai kedudukan penting di negara ini.

Mereka bisa dengan mudah membeli hukum itu sendiri. Namun di lain pihak

masyarakat terus menjerit ketika hukum tersebut tidak lagi berpihak kepadanya.

Masyarakat dibuat frustasi dengan keadaan seperti ini. Hak asasi manusia (HAM)

yang ada seakan tidak dapat menolongnya. Keadaan seperti ini membuat

masyarakat tidak memiliki jalan keluar lain, sehingga mereka melakukan tindak

kejahatan yang berdampak pada dijebloskannya orang tersebut ke dalam Lembaga

Pemasyarakatan (Judge, 2017)

Pada prinsipnya, semua terpidana yang menjalani pidana, hilang

kemerdekaannya setelah diputuskan melalui putusan pengadilan yang berkekuatan

hukum tetap. Selanjutnya terpidana ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan

sebagai warga binaan permasyarakatan untuk dibina kembali dan diproses sesuai

dengan hukum yang berlaku agar nantinya dapat kembali hidup bermasyarakat.

Hal ini sesuai dengan tujuan dari hukum pidana itu sendiri, yaitu, untuk

memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat dengan cara melaksanakan dan

menegakkan aturan hukum pidana demi terciptanya keadilan, kemanfaatan, dan

kepastian hukum (Hukum dan HAM, 2017).

Penjatuhan pidana kepada seseorang dengan menempatkannya kedalam

Lembaga Pemasyarakatan pada dasarnya melihat bahwa pidana adalah alat untuk
3

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Pidana adalah alat untuk mencegah

timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap

terpelihara, sehingga dengan dimasukannya ke dalam Lembaga Pemasyarakatan

orang tersebut tidak mengulangi perbuatannya.

Namun dalam lembaga ini banyak terjadi kendala, seperti kondisi

Lembaga Pemasyarakatan yang memprihatinkan, dan juga dalam hal efektivitas

pembinaan warga binaannya. Menurut Undang-Undang No.12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan) Pasal 1 angka ke-3 menyebutkan,

bahwa Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah tempat untuk melaksanakan

pembinaan warga binaan permasyarakatan dan anak didik pemasyarakatan.

Sedangkan Pasal 1 angka ke-7 menyatakan, bahwa warga binaan permasyarakatan

adalah terpidana yang menjalani hukuman, dan hilang kemerdekaannya di Lapas

(Kemenkumham, 2017).

Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

atau Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham (dahulu Departemen Kehakiman).

Penghuni Lembaga Pemasyarakatan disebut sebagai warga binaan

pemasyarakatan atau bisa juga yang statusnya masih tahanan atau orang yang

masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak

oleh hakim. Pegawai negeri sipil yang menangani pembinaan warga binaan

permasyarakatan dan tahanan di Lembaga Pemasyarakatan disebut Petugas

Pemasyarakatan, atau dahulu lebih dikenal dengan istilah sipir penjara

(Kemenkumham, 2017).
4

Pidana penjara dalam sejarahnya dikenal sebagai reaksi masyarakat

sebagai adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang melanggar

hokum. Oleh karena itu, pidana penjara juga disebut sebagai pidana hilang

kemerdekaan. Sistem kepenjaraan yang digunakan tidak konsisten dan sistem

perlakuan yang diterapkan sifatnya kurang mendidik para warga binaan

permasyarakatan. Selain itu, dalam sistem penjara, hak-hak asasi manusia sangat

tidak diperhatikan. Warga binaan permasyarakatan diperlakukan secara tidak

manusiawi dan tidak kenal perikemanusiaan. Itu sebabnya mengapa dikatakan

secara konsepsional sistem kepenjaraan bertentangan dengan tujuan yang

dianutnya dan tidak sesuai untuk diterapkan (Kemenkumham, 2017).

Pembinaan Warga binaan pemasyarakatan diatur juga dalam Peraturan

Pemerintah No.31 tahun 1999 tentang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan

(PP No.31 Tahun 1999), yakni dalam ketentuan dalam Pasal 2, bahwa program

pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan

kepribadian dan kemandirian. Pembinaan dan pembimbingan warga binaan

pemasyarakatan meliputi program dan kegiatan pembinaan kepribadian dan

kemandirian. Hal ini dilakukan sesuai dengan prinsip bahwa warga binaan

pemasyarakatan merupakan masyarakat dari bangsa Indonesia sendiri yang

mempunyai hak-hak yang patut dipenuhi, diantaranya hak untuk hidup dan hak

atas perlindungan dan bebas dari ancaman (Lapas Subang, 2017).

Hak-hak yang dimiliki oleh warga binaan permasyarakatan hendaknya

dapat diberikan dengan adanya pembinaan kepribadian yang diarahkan pada

pembinaan mental dan watak agar warga binaan pemasyarakatan menjadi manusia
5

seutuhnya, bertaqwa dan bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga,

masyarakat. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat

dan keterampilan agar nantinya warga binaan pemasyarakatan dapat kembali

berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

Tujuan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berkaitan erat dengan

tujuan pembinaan dibagi dalam tiga hal yaitu sebagai berikut.

1. Setelah keluar dari Lapas tidak lagi melakukan pidana.

2. Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam membangun

bangsa dan negara.

3. Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang MahaEsa dan mendekatkan diri

menuju kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

Berdasarkn tujuan di atas, pembinaan warga binaan merupakan komponen

penting yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem pemasyarakatan yang

berlandaskan pengayoman, khususnya oleh Lapas Kelas IIA Subang. Sistem

keamanan merupakan langkah awal pembinaan warga binaan yang harus berjalan

seimbang, sehingga warga binaan dapat memahami dan mematuhi segala aturan

yang berlaku. Apabila semua proses tersebut sudah diterapkan dan dilaksanakan

dengan benar, maka akan tercipta ketertiban dan keharmonisan seluruh penghuni

Lapas, baik warga binaan, tahanan, “anak didik”, maupun petugas, sehingga

penyelenggaraan pembinaan berjalan lancer, sehingga warga binaan siap untuk

dikembalikan kepada masyarakat dan diharapkan tidak akan mengulangi tindak

pidana lagi serta menjadi warga yang baik dan bertanggung jawab sesuai yang

diamanatkan dalam Pasal 2 UU Pemasyarakatan (LAPAS Subang, 2017).


6

Meskipun tujuan pembinaan warga binaan Lapas sangat ideal, namun

pada kenyataannya tidak sesuai dengan perkembangan nilai dan hakekat yang

tumbuh di masyarakat. Salah satu diantaranya adalah dalam pembinaan warga

binaan permasyarakatan para petugas pembinaan terkadang melakukan

penyimpangan dalam melaksanakan tugasnya atau dengan kata lain kurang atau

tidak berdasarkan kepada hukum yang berlaku seperti yang diamanatkan pada UU

Pemasyarakatan Pasal 14 ayat (1) tentang hak-hak warga binaan Lapas dan PP

No.31/1999 tentang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan, merupakan dasar

bagaimana seharusnya warga binaan permasyarakatan diberlakukan dengan baik

dan manusiawi dalam satu sistem pemindanaan yang terpadu.

Hasil penjajagan penulis di Lapas Kelas II A Subang, permasalahan di

atas berkaitan dengan pembinaan warga binaan Lapas yang belum efektif yang

disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya sebagai berikut.

1. Jumlah tenaga kerja (petugas) yang membina bimbingan kerja masih kurang;

2. Warga binaan kurang antusias mengikuti program pembinaan bimbingan kerja

yang mana hanya diikuti oleh sekitar 250 orang dari 861 warga binaan Lapas;

3. Sarana dan prasarana pendukung program pembinaan bimbingan kerja masih

kurang, seperti kapasitas ruangan bimbingan kerja yang tidak sesuai dengan

jumlah warga binaan pemasyarakatan.

Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan dengan

mengambil judul: “EFEKTIVITAS PEMBINAAN WARGA BINAAN

PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA

SUBANG”
7

1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang penelitian yang telah dikemukakan,

permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan dengan pertanyaan berikut:

“Bagaimana efektivitas pembinaan warga binaan pemasyarakatan di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II A Subang?” Selanjutnya, permasalahan ini diuraikan

menjadi beberapa rumusan sebagai berikut.

1. Bagaimana tingkat pencapaian tujuan dari proses pembinaan warga binaan

tersebut?

2. Bagaimana kemampuan integrasi warga binaan melalui pembinaan yang

dilakukan?

3. Bagaimana kemampuan adaptasi warga binaan melalui pembinaan yang

dilakukan?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas

pembinaan warga binaan permasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II

A Subang. Sementara secara khusus, tujuan penelitian ini diuraikan sebagai

berikut.

1. Untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan dari proses pembinaan warga

binaan tersebut;

2. Untuk mengetahui kemampuan integrasi warga binaan melalui pembinaan

yang dilakukan;
8

3. Untuk mengteahui kemampuan adaptasi warga binaan melalui pembinaan yang

dilakukan.

1.3.2 Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pengetahuan dan wawasan bagi pihak-pihak yang berkepentingan

tentang efektivitas pembinaan warga binaan permasyarakatan, khususnya di Lapas

Kelas IIA Subang sebagaimana yang diamanahkan dalam ketentuan undang-

undang yang mengatur. Selain itu, hasil penelitian ini dapat memberikan

pencerahan tentang permasalahan yang terjadi dan dihadapi dalam pembinaan

warga binaan di Lapas, sehingga dapat menjadi dasar pemikiran, bahwa suatu

perundangan-undangan yang ada belum tentu berjalan sesuai harapan.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi beberapa

pihak berikut.

a. Bagi penulis, sebagai bahan acuan tindakan dalam menganalisa pemecahan

permasalahan yang penulis hadapi, khususnya mengenai efektivitas Lembaga

Pemasyarakatan dalam pembinaan warga binaan permasyarakatan.

b. Bagi petugas, sebagai referensi yang terkait dengan penyusunan rencana

pembinaan warga binaan permasyarakatan yang berlandaskan UU

Pemasyarakatan agar dalam pelaksanaannya lebih efektif, sehingga warga

binaan Lapas tersebut mendapatkan manfaat dari hukuman pidananya.


9

c. Bagi pengambil kebijakan, sebagai bahan dalam pengambilan keputusan dan

kebijakan dalam upaya peningkatan efektivitas pembinaan oleh Lembaga

Pemasyarakatan.

Anda mungkin juga menyukai