NIM :
Semester :
Kelas :
Studi :
Fakultas :
1. Judul :
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum” (Simamora, 2014). Selanjutnya dalam penjelasan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan bahwa “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum
(rechtstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat), oleh karena itu negara tidak boleh
melaksanakan segala aktivitasnya berdasarkan atas kekuasaan belaka, namun harus berdasarkan
pada hukum yang berlaku” (Priyadi, 2013). Sebagai konsekuensi logis peraturan tersebut, maka
seluruh tata kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara di Indonesia harus berpedoman pada
norma-norma hukum.
kehidupan masyarakat pada dasarnya diharapkan mampu untuk mencegah segala bentuk tindak
pidana yang terjadi di dalam masyarakat. Akan tetapi, pada kenyataannya hukum masih belum
berlaku secara efektif, sehingga masih banyak terjadi tindak pidana dalam masyarakat. oleh
karena itu, dibutuhkan suatu produk hukum yang dapat menegakkan keadilan dan menjadi saran
pengayoman masyarakat. Untuk mencegah hal tersebut, Negara Indonesia berpedoman pada
mengatur tentang 3 unsur yakni aturan tentang tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan
proses verbal penegakan hukum jika terjadi tindak pidana. Ketiga unsur ini menunjukkan
keterkaitan antara hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Hal ini bermakna bahwa
pelanggaran terhadap hukum pidana materil tidak ada artinya tanpa ditegakkannya hukum pidana
formil, namun sebaliknya, hukum pidana formil tidak dapat berfungsi tanpa ada norma hukum
Tujuan hukum untuk menciptakan suatu keadaan yang teratur, aman, dan tertib.
bermasyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum dan khusus sebagai
bagian dari hukum publik. Seseorang yang telah melanggar aturan dari hukum pidana akan
dikenakan sanksi dan dilakukan bentuk pemidanaan. Pemidanaan adalah upaya untuk
menyadarkan warga binaan agar menyesali perbuatannya dan mengembalikannya menjadi warga
masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan agama
sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai (Aji, 2022).
Proses pemidanaan yang dilakukan oleh pengadilan terdiri atas beberapa instrumen
utama yang bisa dijadikan sebagai pedoman kuat untuk menghukum terpidana yang terlibat
dalam suatu kasus dan telah diputus bersalah oleh pengadilan diantaranya adalah pidana penjara.
Pidana penjara merupakan suatu pembatasan kebebasan bergerak terhadap terpidana yang
disingkat Lapas) dengan mewajibkan orang tersebut mentaati semua peraturan-peraturan dan tata
tertib yang berlaku dan dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar
disebut UU
Pemasyarakatan) dalam Pasal 1 ayat (18) yang berbunyi “Lembaga Pemasyarakatan yang
selanjutnya disebut LAPAS adalah lembaga atau tempat yang menjalankan fungsi Pembinaan
memiliki aturan mengenai arah dan batas serta metode pelaksanaan fungsi Pemasyarakatan
Pemasyarakatan Pasal 1 ayat (2) (Budianto dan Mahatta, 2022; Syamrun, 2022).
kehidupan sosial warga binaan pemasyarakatan dalam kapasitasnya sebagai individu, anggota
masyarakat, maupun makhluk Tuhan yang Maha Esa. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu (Utami,
2017).
diharapkan agar para pidana yang telah selesai menjalani hukuman pidana penjaranya tidak akan
melakukan atau mengulangi perbuatan jahat lagi, dikarenakan mereka yang telah bebas dan telah
diharapkan agar dapat benar-benar membawa efek jera (Eriyanti, 2020). Namun pada
kenyataannya masalah pengulangan tindak pidana (residivis) masih saja banyak terjadi dalam
masyarakat serta sudah menjadi permasalahan sosial yang senantiasa muncul dan berkembang di
dalam kehidupan. Khususnya bagi mereka-mereka yang ternyata telah lebih dari satu kali
tertangkap dan dijatuhi hukuman pidana penjara lebih dari satu kali serta dimasukkan ke dalam
Lembaga pemasyarakatan, akan tetapi para pelaku tersebut tidak juga jera terhadap perbuatan
yang
mereka lakukan, khususnya dalam kasus tindak pidana pencurian (Montolalu, 2021) .
yang merugikan dan menyiksa orang lain. Oleh karena itu perlu diupayakan agar
pencurian dengan kekerasan terhadap orang lain. Mengenai kejahatan pencurian diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disingkat dengan (KUHP). Tindak
pidana pencurian selengkapnya dirumuskan dalam KUHP yaitu sebagai berikut : Pasal 362
menyebutkan bahwa barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh
rupiah.
Jenis-jenis tindak pidana pencurian tersebut yang dinamakan tindak pidana pencurian dalam
bentuk pokok adalah tindak pidana pencurian biasa (Pasal 362 KUHP). Sedangkan tindak pidana
pencurian yang lainnya merupakan pencurian biasa yang disertai dengan keadaan-keadaan
khusus. Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang diatur
dalam Pasal 365 ayat (1) dan ayat (3) KUHP (Munandar dan Safrijal, 2018; Usrina dan
Pasal 365 ayat (1) dan (3) KUHP merumuskan : (1) Diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan
atau
ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiap atau mempermudah
pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau
peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya (2) Jika perbuatan
mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun (Hendrawati
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 363\2 KUHP dan Pasal 365 KUHP juga
merupakan suatu pencurian dengan kualifikasi ataupun merupakan suatu pencurian dengan
unsur-unsur memberatkan. Dengan demikian maka yang diatur dalam Pasal 365 KUHP
sesungguhnya hanyalah satu kejahatan, dan bukan dua kejahatan yang terdiri atas kejahatan
pencurian dan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang, dari kejahatan pencurian dengan
kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang. Maka sudah jelas bahwa pada hakekatnya,
pencurian dengan kekerasan adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral,
kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara. Ditinjau dari kepentingan nasional, penyelenggaraan pencurian dengan
kekerasan merupakan perilaku yang negatif dan merugikan terhadap moral masyarakat
(Yuserlina, 2020).
tahunnya, hal ini dapat diketahui dari banyaknya perkara pidana di Pengadilan Negeri
Lumajang, yang sebagai pelaku atau terdakwa masih orang yang sama. Apalagi perkara pidana
pencurian sering mendengar bahwa terdakwa sudah pernah dihukum juga karena mencuri dan
bahkan sudah sering keluar masuk penjara juga karena masalah mencuri, atau dengan kata lain
terdakwa telah sering melakukan kejahatan pencurian yang dikenal dengan istilah hukumnya
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah yang
pemberatan?
pemberatan.
DAFTAR PUSTAKA