Anda di halaman 1dari 67

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara hukum yang mengharuskan negara (state)

dan warga negara (society) mematuhi aturan hukum. Selaku subyek hukum, warga

negara diharuskan tunduk dan patuh terhadap aturan norma hukum yang berlaku.

Hal ini berkaitan dengan kodifikasi hukum yang menjelaskan bahwa hukum atau

aturan sifatnya mengikat dan memaksa. Ini artinya, pemberlakuan suatu hukum

bersifat memaksa warga negaranya untuk mematuhi aturan hukum yang telah

ditetapkan. Seluruh tindakan yang dianggap sebagai tindak pidana kejahatan akan

menimbulkan akibat hukum berupa sanksi hukuman. Ketentuan ini berlaku

mutlak dalam lingkup negara hukum.

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak dasar yang melekat pada

diri setiap manusia secara kodrati sebagai anugrah dari Tuhan. HAM tersebut

merupakan hak yang tidak dapat dicabut oleh siapapun dan bersifat universal bagi

setiap manusia tanpa terkecuali. Keseriusan negara Indonesia terhadap HAM

dinyatakan secara implisit dalam pembukaan UUD NKRI 1945 yang

mengamanatkan bahwa negara mempunyai tugas yaitu melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan

umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.1

Kesehatan termasuk Hak Asasi Manusia dan salah satu unsur

kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.

Oleh sebab itu, seluruh warga negara Indonesia berhak mendapatkan kesehatan,
1
Jimly Asshidiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam konstitusi dan Pelaksanannya di
Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2004), hlm. 222.

1
2

tidak terkecuali narapidana. Pada awalnya pemidanaan hanya menitikberatkan

pada unsur pemberian derita pada pelanggar hukum. Namun, sejalan dengan

perkembangan masyarakat, maka unsur pemberian derita tersebut harus diimbangi

dengan perlakuan yang manusiawi dengan memperhatikan hak-hak asasi

pelanggar hukum sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.2

Indonesia memiliki 5 macam pokok pidana hukuman yang tertuang dalam

Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yakni, pidana mati, pidana penjara,

pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan. Dari kelima hukuman

tersebut, hukuman penjara inilah yang kemudian dilaksanakan melalui sistem

pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan. Disebutkan dalam Ketentuan

Umum Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun

2022 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut sebagai UU Pemasyarakatan)

bahwa “Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan fungsi

pembinaan terhadap narapidana”.

Segala ketentuan berjalannya pemasyarakatan termuat dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.

Undang-undang ini menjadi salah satu landasan hukum bagi unit pelaksana

tekhnis pemasyarakatan dengan menggantikan undang-undang sebelumnya yakni,

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Lembaga

Pemasyarakatan menjadi sebuah wadah representasi penuh dari upaya maksimal

yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengimplementasikan pelayanan dan juga

bimbingan terhadap warga binaan pemasyarakatan.

2
Ronny Adrianus Sinlae, Pemberian Hak Atas Pelayanan Kesehatan Bagi Narapidana
Yang Menderita Sakit Berat Di Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Dompu, (Jurnal Hukum,
2016), hlm. 2.
3

Sesuai dengan yang tercantum pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang

berbunyi “Pemasyarakatan adalah subsistem peradilan pidana yang

meneyelenggarakan penegakan hukum di bidang perlakuan terhadap tahanan,

anak dan warga binaan.” Oleh karena itu pelaksanaan sistem pemasyarakatan

diharuskan dapat mencapai tujuan dari pemasyarakatan yang berbentuk

pengayoman, pembimbingan dan binaan agar sesuai dengan asas dari sistem

pemasyarakatan.

Asas-asas sistem pemasyarakatan yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan ini merupakan asas yang

menjunjung tinggi sistem pemidanaan yang lebih integratif dan terpadu. Asas ini

berjalan beriringan dengan adanya hak asasi manusia yang melindungi hak setiap

narapidana. Sehingga sistem pidana penjara saat ini telah benar-benar

diimplementasikan sebagai suatu wadah pembaharuan moral terhadap narapidana.

Berbicara tentang hak yang dimiliki oleh narapidana tidak akan lepas dari

muasalnya sebagai seorang manusia. Masyarakat memandang bahwa seyogyanya

sebagai pelaku tindak pidana kejahatan seharusnya narapidana tidak perlu

diperlakukan secara baik dan layak. Sedangkan pada hakikatnya, manusia terlahir

dengan memiliki hak mutlak atau dalam istilah disebut dengan Hak Asasi

Manusia.3

Lampiran hak narapidana yang harus dipenuhi selama dalam Lembaga

Pemasyarakatan tercantum dalam Pasal 9 dan 10 Undang-Undang Nomor 22

3
Munir Fuady, Sylvia Laura, Hak Asasi Tersangka Pidana, (Jakarta: PT Kharisma
Putra Pratama, 2015), hlm. 16.
4

Tahun 2022. Pemenuhan hak ini didasarkan pada 10 prinsip yang dikemukakan

oleh Sahardjo menyebutkan bahwa:

1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal

hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat.

2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari Negara.

3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan

bimbingan.

4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih

jahat daripada sebelum ia masuk ke Lembaga Pemasyarakatan.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan

kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi

waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja,

pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan Negara.

7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila.

8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun

ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu

penjahat.

9. Narapidana hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.

10. Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan

sistem sistem pemasyarakatan.

Dalam perspektif hukum positif pula menyebutkan bahwa narapidana

sudah seharusnya diberi hak untuk hidup layak. Hal ini dilatarbelakangi oleh

adanya Pasal 3 huruf g Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang


5

Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa “Kehilangan kemerdekaan merupakan

satu-satunya penderitaan”. Dengan begitu sebagai seorang narapidana, ia telah

mendapatkan sanksi hukuman yang setimpal dan telah mempertanggungjawabkan

perbuatannya di hadapan hukum. Sehingga baik negara maupun masyarakat tidak

memiliki alasan untuk merampas hak mutlaknya sebagai manusia untuk hidup

layak dan sejahtera.4

Namun dalam realitas fakta sosial yang ada, masih terdapat banyak

Lembaga Pemasyarakatan yang belum melaksanakan pembinaan pemasyarakatan

secara maksimal. Dibuktikan dari banyaknya kasus-kasus kerusuhan yang terjadi

di beberapa Lembaga Pemasyarakatan Indonesia, seperti terjadinya kerusuhan di

Lapas Mako Brimob, Depok, Kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang, kerusuhan

di Lapas Kelas IA Tanjung Gusta Medan yang diakibatkan aliran listrik dan air

yang mati dan lain sebagainya. Krisis yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan ini

hampir seluruhnya disebabkan oleh kondisi kelebihan kapasitas daya tampung.5

Menurut Sistem Database Publik Direktorat Jenderal Pemasyarakatan,

penghuni Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan di Indonesia telah

mengalami kelebihan kapasitas sebesar 77%. Banyaknya jumlah penghuni di

suatu Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan menimbulkan berbagai

kendala dalam upaya pemenuhan hak di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah

Tahanan.

Implementasi pemenuhan hak narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

memiliki keterkaitan terhadap kondisi hunian dan kapasitas yang ada. Suatu

Lembaga Pemasyarakatan memegang andil tanggung jawab besar untuk


4
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), Cet. 3,
hlm. 301.
5
Adi Sujatno, Pencerahan di Balik Penjara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 48.
6

memenuhi tujuan pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan, pengayoman dan

pembimbingan terhadap narapidana. Lembaga Pemasyarakatan terus dituntut

untuk merepresentasikan sistem pemasyarakatan yang mumpuni. Sedangkan

kelebihan kapasitas menjadi faktor penghambat terhadap pelayanan

pemasyarakatan. Kondisi ini lantas mempertanyakan bagaimana upaya penuh

yang dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan untuk mengimplementasikan

pemenuhan hak terhadap narapidana dengan baik. Tidak hanya narapidana,

Lembaga Pemasyarakatan juga melaksanakan fungsinya sebagai Rumah Tahanan

Negara yang selanjutnya disebut Rutan. Rumah Tahanan pada dasarnya

merupakan tempat untuk menjalankan fungsi pelayanan tahanan. Tahanan adalah

tersangka atau terdakwa untuk sementara waktu sebelum keluarnya putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Namun karena keterbatasan jumlah

Rutan, maka pelaksanaan pelayanan terhadap tahanan dilaksanakan juga oleh

Lapas. Maka suatu permasalahan mengenai fungsi Lapas sebagai pelayanan

terhadap tahanan menjadi latar belakang permasalahan yang membuat peneliti

tertarik untuk mengkaji penelitian ini.

Dari uraian latar belakang diatas, Penghuni Lapas dan Rutan di Indonesia

mengalami kelebihan kapasitas sebesar 77%. Presentase ini menandakan

kelebihan kapasitas yang dialami oleh Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah

Tahanan di Indonesia. Dengan ini peneliti tertarik untuk mengkaji mengenai

pelayanan tahanan di Lembaga Pemasyarakatan. Sehingga peneliti memilih judul

penelitian tentang “TINJAUAN YURIDIS PELAYANAN TAHANAN

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2022 TENTANG

PEMASYARAKATAN”.
7

B. Rumusan Maalah

Beberapa hal terkait yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian,

yakni:

1. Bagaimana tinjauan yuridis pelayanan tahanan menurut Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan?

2. Bagaimana akibat hukumnya jika pelayanan tahanan tidak sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan?

C. Tujuan Penelitian

Melalui rumusan masalah di atas, peneliti akan menemukan tujuan

penelitian ini dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan yuridis pelayanan tahanan menurut

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.

2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukumnya jika pelayanan tahanan tidak

sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang

Pemasyarakatan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian dibuat tidak lain adalah untuk mencapai sebuah manfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan serta masyarakat umum sehingga dapat berguna.

Kegunaan dapat berupa kegunaan yang bersifat teoritis dan kegunaan praktis,

seperti kegunaan bagi penulis, instansi dan masyarakat, serta kegunaan penelitian

harus realistis.

1. Manfaat Teoritis
8

Diharapkan, penelitian ini dapat bermanfaat dan berguna dalam sumbangsih

pengetahuan baru utamanya dalam ranah hukum. Khususnya di bidang hukum

pidana yang berhubungan dengan implementasi pemenuhan hak-hak

narapidana selama dalam Lembaga Pemasyarakatan. Penelitian ini dapat

menjadi kajian bagi instansi terkait guna mereintegrasi aturan hukum untuk

mengembangkan proporsi fakta lapangan terhadap kelayakan hunian dengan

kandungan dalam aturan yang berlaku. Dengan begitu, dapat membantu

mengevaluasi sistem pemasyarakatan menjadi lebih kondusif, efisien dan

terpadu.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti

Penelitian ini dirampungkan dengan harapan dapat menjadi sebuah laporan

serta tugas akhir Ilmu Hukum dan juga dapat mengembangkan

kemampuan dan pemahaman peneliti selama menjalani studi.

b. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharap menjadi sumber sumbangsi wawasan baru bagi

masyarakat umum dan juga bagi aparatur negara dalam melakukan

evaluasi sistem pemasyarakatan yang mumpuni atau bagi mereka yang

secara kontekstualisasi bagi masyarakat sebagai bagian dari subjek

penerima layanan pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan.

c. Bagi Lembaga Pemasyarakatan

Penelitian ini diharap menjadi acuan evaluasi bagi Lembaga

Pemasyarakatan dalam meningkatkan pelayanannya demi menjamin


9

kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak warga binaan di dalam Lembaga

Pemasyarakatan.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika pembahasan di dalamnya berisikan tentang skema

pembahasan pada konteks penelitian ini yang dimulai dari bab pendahuluan

sampai pada bab terakhir yakni penutup. Selain itu, berguna juga memudahkan

pengidentifikasian masalah yang akan diteliti dan membantu dalam langkah

penelitian. Sistematika pembahasan dalam penelitian ini disusun sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

yang di dalamnya terdiri dari latar belakang masalah, jenis penelitian,

dan manfaat penelitian. Manfaat penelitian ini terdiri atas dua sub bab

lagi yaitu manfaat secara praktis dan manfaat secara teoritis diakhiri

dengan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini membahas tentang kajian pustaka yang didalamnya

mencakup penelitian terdahulu dan kajian teori yang berkaitan erat

dengan masalah yang akan diteliti yaitu mengenai tinjauan yuridis

pelayanan tahanan.

BAB III METODE PENELITIAN

Dalam bab ini menguraikan secara jelas tentang metode penelitian

yang dipaparkan dan digunakan untuk memenuhi jawaban terkait

pendekatan jenis dan pendekatan penelitian, jenis dan sumber bahan

hukum, teknik pengumpulan bahan hukum dan teknik analisis bahan

hukum.
10

BAB IV TINJAUAN YURIDIS PELAYANAN TAHANAN MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2022 TENTANG

PEMASYARAKATAN

Pada bab ini menjelaskan tinjauan yuridis pelayanan tahanan menurut

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan

akibat hukumnya jika pelayanan tahanan tidak sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.

BAB V PENUTUP

Berisikan kesimpulan dan saran. Dalam bab ini penyusun akan

memberikan kesimpulan dua pembahasan dan saran terkait

permasalahan yang ada.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pemasyarakatan

1. Pengertian Tentang Pemasyarakatan

Pemasyarakatan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana

terpadu yang menyelenggarakan penegakan hukum di bidang perlakuan

terhadap tahanan, anak, dan warga binaan dalam tahap pra adjudikasi,

adjudikasi, dan pasca adjudikasi. Penyelenggaraan pemasyarakatan sebagai

bagian dari sistem peradilan pidana terpadu berdasar pada sebuah sistem yang

disebut sebagai sistem pemasyarakatan yang merupakan suatu tatanan

mengenai arah dan batas serta metode pelaksanaan fungsi pemasyarakatan

secara terpadu antara petugas, tahanan, anak, warga binaan, dan masyarakat.

Sistem pemaysarakatan diselenggarakan dalam rangka memberikan

jaminan perlindungan terhadap hak tahanan dan anak serta meningkatkan

kualitas kepribadian dan kemandirian warga binaan agar menyadari kesalahan,

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat.6

2. Pengaturan Sistem Pemasyarakatan

Pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum

pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari

pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Sistem

pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengambalikan warga binaan

pemasyarakatan sebagai warga yang baik, juga bertujuan untuk melindungi


6
https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-22-2022-pemasyarakatan, diakses pada
tanggal 10 April 2023, Pukul 01.45 WIB.

11
12

masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga

binaan pemasyarakatan.7

Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas

pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan dari Lembaga

Pemasyarakatan dengan melakukan bimbingan dan pembinaan melalui

pendidikan, rehabilitasi, dan integrasi.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan

mengatur sistem pemasyarakatan, yaitu suatu tatanan mengenai arah dan batas

serta metode pelaksanaan fungsi pemasyarakatan secara terpadu sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022

tentang Pemasyarakatan.

Pelakasanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan di

Indonesia saat ini mengacu pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022

tentang Pemasyarakatan.

Undang-undang Pemasyarakatan terdiri dari 11 bab dan 99 pasal.

Adapun dalam bab pertama mengatur mengenai ketentuan umum, bab kedua

mengatur mengenai hak dan kewajiban tahanan, anak, dan warga binaan, bab

ketiga mengatur mengenai penyelenggaraan fungsi pemasyarakatan, bab

keempat mengatur mengenai intelijen pemasyarakatan, bab kelima mengatur

mengenai sitem teknologi informasi pemasyarakatan, bab keenam mengatur

sarana prasarana, bab ketujuh mengatur mengenai petugas pemasyarakatan,

bab kedelapan mengatur mengenai pengawasan, bab kesembilan mengatur

mengenai kerja sama dan peran serta masyarakat, bab kesepuluh mengatur

7
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung:
Refika Aditama, 2017), hlm. 103.
13

mengenai ketentuan peralihan, bab kesebelas mengatur mengenai ketentuan

penutup.

Penjelasan umum Undang-Undang Pemasyarakatan yang merupakan

dasar yuridis filosofis tentang pelaksanaan sistem pemasyarakatan di

Indonesia dinyatakan bahwa:

1). Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-

pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar

penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi

sosial warga binaan pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem

pembinaan yang sejak lebih dari tiga puluh tahun yang lalu dikenal dan

dinamakan sistem pemasyarakatan.

2). Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai tatanan

(sel-sel) pemidanaan seperti pranata pidana bersyarat (Pasal 14 a KUHP),

pelepasan bersyarat (Pasal 15 KUHP), dan pranata khusus penuntutan

serta penghukuman terhadap anak (Pasal 45, 46,dan 47 KUHP), namun

pada dasarnya sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan sistem

pemenjaraan, sistem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas

dendam dan penjeraan, sehingga institusi yang dipergunakan sebagai

tempat pembinaan adalah rumah penjara bagi narapidana dan rumah

pendidikan negara bagi anak yang bersalah.

3). Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas

dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga "rumah penjara"

secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang

tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar


14

narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk

melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang

bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka sejak tahun 1964, sistem

pemidanaan bagi narapidana dan anak pidana telah berubah secara mendasar,

yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu pula

institusinya yang semula disebut rumah penjara dan rumah pendidikan negara

berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi

Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8/506 tanggal 17 Juni 1964.8

3. Tujuan Sistem Pemasyarakatan

Perkembangan pembinaan terhadap narapidana berkaitan erat dengan

tujuan pemidanaan. Pembinaan narapidana yang sekarang dilakukan pada

awalnya berangkat dari kenyataan bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai lagi

dengan perkembangan nilai dan hakekat yang tumbuh di masyarakat.9

Tujuan perlakuan terhadap narapidana di Indonesia dimulai sejak

tahun 1964 setelah Soedjono mengemukakan dalam konferensi kepenjaraan,

jadi mereka yang berstatus narapidana bukan lagi dibuat jera melainkan dibina

untuk kemudian dimasyarakatkan kembali.10

Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang

Pemasyarakatan menyebutkan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan

untuk tujuan :

a. Memberikan jaminan perlindungan terhadap tahanan dan anak;


8
Ibid., hlm. 116
9
C. I. Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta: Djambatan, 2016),
hlm. 13.
10
Soedjono, Kisah Penjara-Penjara di Berbagai Negara, (Bandung: Alumni, 2016),
hlm. 86.
15

b. sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka

meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian warga binaan agar

menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak

pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,

dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik, taat hukum,

bertanggung jawab dan dapat aktif berperan dalam pembangunan; dan

c. Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap

pengulangan tindak pidana.

Fungsi dari Pemasyarakatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4

Undang-Undang Pemasyarakatan meliputi pelayanan, pembinaan,

pembimbing kemasyarakatan, perawatan, pengamanan, dan perawatan. Dalam

sistem pemasyarakatan, tahanan, anak dan warga binaan pemasyarakatan

berhak mendapatkan pembinaan rohani dan jasmani serta dijamin hak-hak

mereka untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar baik

keluarga maupun pihak lain, memperoleh informasi baik melalui media cetak

maupun elektronik, memperoleh pendidikan yang layak dan sebagainya.

Untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga

keikutsertaan masyarakat, baik dengan sikap bersedia menerima kembali

warga binaan pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya.

Pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan merupakan bagian dari

sistem pemasyarakatan untuk menegakan hukum pidana. Berdasarkan Pasal 2

dan Pasal 4 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan,

maka dapat diketahui bahwa tujuan dari sistem pemasyarakatan adalah untuk

memberikan perlindungan terhadap tahanan dan anak serta mengembalikan


16

warga binaan menjadi warga yang baik sehingga dapat diterima kembali di

dalam masyarakat.

4. Asas-asas Sitem Pemasyarakatan

Asas sistem pemasyarakatan merupakan pegangan atau pedoman bagi

para pembina warga binaan agar tujuan pembinaan yang dilaksanakan dapat

tercapai dengan baik. Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Nomor 22 Tahun

2022 tentang Pemasyarakatan, yaitu asas pengayoman, asas nondiskriminasi,

asas kemanusiaan, asas gotong royong, asas kemandirian, asas

proporsionalitas, asas kehilangan kemerdekaan sebagai satu-satunya

penderitaan, dan asas profesionalitas.

Asas-asas pembinaan tersebut pada prinsipnya mencakup 3 pikiran

pemasyarakatan yaitu sebagai tujuan, proses dan motode, yaitu:

1). Sebagai tujuan berarti dengan pembimbingan pemasyarakatan

diharapkan narapidana dapat menyadari perbuatannya dan kembali

menjadi warga yang patuh dan taat pada hukum yang berlaku.

2). Sebagai proses berarti berbagai kegiatan yang harus dilakukan

selama pembinaan dan pembimbingan berlangsung

3). Sebagai metode merupakan cara yang harus ditempuh untuk

mencapai tujuan pembinaan dan pembimbingan dengan sistem

pemasyarakatan.11

Seluruh proses pembinaan narapidana dengan sistem pemasyarakatan

merupakan suatu kesatuan yang integral untuk mengembalikan narapidana

kepada masyarakat dengan bekal kemampuan (mental, phisik, keahlian,

11
Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pembinaan Narapidana
di Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2016), hlm.13.
17

keterpaduan sedapat mungkin pula financial dan material) yang dibutuhkan

untuk menjadi warga yang baik dan berguna.12

5. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah

lembaga atau tempat yang menjalankan fungsi pembinaan terhadap narapidana

diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang

Pemasyarakatan. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, yang dimaksud dengan

pemasyarakatan adalah subsistem peradilan pidana yang menyelenggarakan

penegakan hukum di bidang perlakuan terhadap tahanan, anak, dan warga

binaan. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa inti dari

pemasyarakatan adalah pembinaan terhadap Tahanan, anak dan warga binaan

supaya nantinya dapat kembali ke masyarakat dengan baik. Pembinaan itu

diperlukan suatu sistem, yang dinamakan sistem pemasyarakatan.

Lembaga Pemasyarakatan merupakan unit pelaksana teknis di bawah

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lembaga

Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau warga binaan pemasyarakatan

(WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut

masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak

oleh hakim.13

12
Romli Atmasasmita, Beberapa Catatan Isi Naskah RUU Pemasyarakatan,
(Bandung: Rineka, 2015), hlm.12.
13
http://Lapaskualatungkal.blogspot.co.id/2013/11/lembaga-pemasyarakatan-
disingkat-lp.html, diakses pada tanggal 13 April 2023, Pukul 22.41 WIB.
18

Pegawai negeri sipil yang menangangi pembinaan narapidana dan

tahanan di Lembaga Pemasyarakatan disebut dengan petugas pemasyarakatan,

atau dahulu lebih dikenal dengan istilah penjara. Konsep pemasyarakatan

pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman pada tahun 1962, dimana

disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan

hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-

orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.14

Pasal 35 ayat (2) menyebutkan bahwa Lapas didirikan di setiap ibukota

kabupaten atau kotamadya. Selanjutnya, pembinaan warga binaan

pemasyarakatan dilakukan di Lapas dan pembimbingan kemasyarakatan

dilakukan oleh Bapas yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-undang

Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Warga binaan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) adalah narapidana, anak binaan, dan klien.

Lapas adalah tempat pelaksanaan pembinaan narapidana. Dari

pengertian tersebut secara hakikat mempunyai kesamaan yaitu orang yang

menghuni Lapas berdasarkan putusan pengadilan, dan perbedaannya hal ini

dapat dijelaskan oleh Undang-Undang Pemasyarakatan, berdasarkan Pasal 1

ayat (6), Narapidana adalah terpidana yang sedang menjalani pidana penjara

untuk waktu tertentu dan seumur hidup atau terpidana mati yang sedang

menunggu pelaksanaan putusan.

6. Pengertian Rumah Tahanan Negara

Rumah Tahanan Negara selanjutnya disebut Rutan adalah tempat

tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan

14
https://Lapas-lamongan.com/2021/07/26/apa-itu-Lapas/, hlm. 1, diakses pada
tanggal 13 April 2023, Pukul 23.00 WIB.
19

pemeriksaan di sidang Pengadilan. Berdasarkan definisi di atas keberadaan

Rutan merupakan bagian dari proses peradilan pidana (criminal justice

prosess). Secara struktur organisasi, Rutan berada di bawah Direktorat

Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Ham RI.15

Istilah Rumah Tahanan mulai dikenal sejak diundangkannya Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, di mana penyebutan Rumah

Tahanan dapat dilihat dalam Pasal 22 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan

bahwa penahanan dapat berupa penahanan Rumah Tahanan Negara atau

penahanan Rumah.

Pelaksanaan Pasal 22 ayat (1) KUHAP, kemudian diatur lebih lanjut

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah ini,

menyebutkan “Rumah Tahanan Negara selanjutnya disebut Rutan adalah

tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan

dan pemeriksaan di sidang Pengadilan”.

Berdasarkan substansi Pasal 22 ayat (1) KUHAP, dapat diketahui

bahwa yang dimaksud dengan Rutan adalah tempat orang-orang yang ditahan

secara sah oleh pihak yang berwenang, baik untuk kepentingan penyidikan,

penuntutan sampai pemeriksaan di pengadilan. Dengan kata lain, Rutan

merupakan tempat untuk menampung orang-orang yang sedang menunggu

proses persidangan pidana.16

15
Ahmad Sanusi, Pelaksanaan Fungsi Cabang Rumah Tahanan Negara di Luar
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 10 No. 2,
2016), hlm. 118.
16
Jurhan Harahap, Kedudukan Rumah Tahanan Sebagai Bagian dari Sistem
Peradilan Pidana, (Kumpulan Skripsi Fakultas Sosial Sains UNPAB, Vol. 1 No. 1, 2019), hlm.
10.
20

B. Struktur Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan

Negara

1. Struktur Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan untuk selanjutnya disebut Lapas

sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik

Indonesia Nomor M.01-PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Lembaga Pemasyarakatan adalah unit pelaksana tekhnis di bidang

Pemasyarakatan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung

kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Lembaga

Pemasyarakatan dipimpin oleh seorang Kepala Lapas.

Lapas mempunyai tugas melaksanakan pemasyarakatan narapidana/

anak didik. Selanjutnya, untuk melaksanakan tugas tersebut, Lapas

mempunyai fungsi:

a) Melakukan pembinaan narapidana/anak didik;

b) Memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola

hasil kerja;

c) Melakukan bimbingan sosial/kerohanian narapidana/anak didik;

d) Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib Lapas;

e) Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga.

Lapas diklasifikasikan dalam 4 kelas yang dilakukan berdasarkan

kapasitas, tempat kedudukan, dan tempat kegiatan kerja. Keempat kelas

tersebut yaitu:

a) Lapas Kelas I;

b) Lapas Kelas IIA;


21

c) Lapas Kelas IIB; dan

d) Lapas Kelas III.

Lapas Kelas I (satu) terdiri dari:

a) Bagian Tata Usaha;

b) Bidang Pembinaan Narapidana;

c) Bidang Kegiatan Kerja;

d) Bidang Administrasi Keamanan dan Tata Tertib;

e) Kesatuan Pengamanan Lapas.

Bagian Tata Usaha terdiri dari:

1). Sub Bagian Kepegawaian yang mempunyai tugas melakukan

urusan kepegawaian.

2). Sub Bagian Keuangan yang mempunyai tugas melakukan urusan

keuangan.

3). Sub Bagian Umum empunyai tugas melakukan urusan surat

menyurat, perlengkapan dan rumah tangga.

Bidang Pembinaan Narapidana terdiri dari:

1). Seksi Registrasi, mempunyai tugas melakukan pencatatan dan

membuat statistik serta dokumentasi sidik jari narapidana.

2). Seksi Bimbingan Kemasyarakatan, mempunyai tugas memberikan

bimbingan dan penyuluhan rokhani serta memberikan latihan olah raga,

peningkatan pengetahuan asimilasi, cuti dan penglepasan narapidana.

3). Seksi Perawatan Narapidana, mempunyai tugas mengurus

kesehatan dan memberikan perawatan bagi narapidana.

Bidang Kegiatan Kerja terdiri dari:


22

1). Seksi Bimbingan Kerja, mempunyai tugas memberikan petunjuk

dan bimbingan latihan kerja bagi narapidana.

2). Seksi Sarana Kerja, mempunyai tugas mepersiapkan fasilitas

sarana kerja.

3). Seksi Pengelolaan Hasil Kerja, mempunyai tugas mengelola hasil

kerja.

Bidang Administrasi Keamanan dan Tata Tertib terdiri dari:

1). Seksi Keamanan, mempunyai tugas mengatur jadwal tugas,

penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan.

2). Seksi Pelaporan dan Tata Tertib, mempunyai tugas menerima

laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas

serta mempersiapkan laporan berkala di bidang keamanan dan

menegakkan tata tertib.

Kesatuan Pengamanan Lapas sebagaimana disebutkan dalam pasal 22

mempunyai tugas menjaga keamanan dan ketertiban Lapas. Untuk

menyelenggarakan tugas tersebut, Kesatuan Pengamanan LAPAS mempunyai

fungsi:

1). Melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap narapidana;

2). Melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban;

3). Melakukan pengawalan penerimaan, penempatan dan pengeluaran

narapidana;

4). Melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran keamanan;

5). Membuat laporan harian dan berita acara pelaksanaan

pengamanan.
23

Kesatuan Pengamanan Lapas dipimpin oleh seorang Kepala dan

membawahkan Petugas Pengamanan Lapas yang berada di bawah dan

bertanggung jawab langsung kepada Kepala Lapas.

Susunan Organisasi Lapas Kelas IIA diatur mulai dari Pasal 25 sampai

dengan Pasal 44 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor

M.01-PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga

Pemasyarakatan. Adapun susunan tersebut terdiri dari:

a) Sub Bagian Tata Usaha;

b) Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik;

c) Seksi Kegiatan Kerja;

d) Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib;

e) Kesatuan Pengamanan Lapas.

Sub Bagian Tata Usaha terdiri dari:

1). Urusan Kepegawaian dan Keuangan, mempunyai tugas melakukan

urusan kepegawaian dan keuangan

2). Urusan Umum, mempunyai tugas melakukan urusan surat

menyurat, perlengkapan dan rumah tangga

Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik terdiri dari:

1). Sub Seksi Registrasi, mempunyai tugas melakukan pencatatan dan

membuat statistik serta dokumentasi sidik jari narapidana/anak didik

2). Sub Seksi Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan, mempunyai

tugas memberikan bimbingan dan penyuluhan rokhani serta memberikan

latihan olah raga, peningkatan pengetahuan asimilasi, cuti penglepasan dan


24

kesejahteraan narapidana/anak didik serta mengurus kesehatan dan

memberikan perawatan bagi narapidana/anak didik.

Seksi Kegiatan Kerja terdiri dari:

1). Sub Seksi Bimbingan Kerja dan Pengelolaan Hasil Kerja,

mempunyai tugas memberikan petunjuk dan bimbingan latihan kerja bagi

narapidana/ anak didik serta mengelola hasil kerja.

2). Sub Seksi Sarana Kerja, mempunyai tugas mempersiapkan

fasilitasi sarana kerja.

Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib terdiri dari:

1). Sub Seksi Keamanan, mempunyai tugas mengatur jadwal tugas,

penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan.

2). Sub Seksi Pelaporan dan Tata Tertib, mempunyai tugas menerima

laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas

serta mempersiapkan laporan berkala di bidang keamanan dan

menegakkan tata tertib.

Kesatuan Pengamanan Lapas mempunyai tugas menjaga keamanan

dan ketertiban Lapas. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Kesatuan

Pengamanan Lapas mempunyai fungsi:

1). Melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap narapidana/anak

didik;

2). Melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban;

3). Melakukan pengawalan penerimaan, penempatan dan pengeluaran

narapidana/anak didik;

4). Melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran keamanan;


25

5). Membuat laporan harian dan berita acara pelaksanaan

pengamanan.

Kesatuan Pengamanan Lapas dipimpin oleh seorang Kepala dan

membawahkan Petugas Pengamanan Lapas yang berada di bawah dan

bertanggung jawab langsung kepada Kepala Lapas.

Susunan Organisasi Lapas Kelas II B diatur dalam Pasal 45 sampai

Pasal 60 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-

PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga

Pemasyarakatan yang terdiri dari:

a) Sub Bagian Tata Usaha;

b) Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik dan Kegiatan Kerja;

c) Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib;

d) Kesatuan Pengamanan Lapas.

Sub Bagian Tata Usaha terdiri dari:

1). Urusan Kepegawaian dan Keuangan mempunyai tugas melakukan

urusan kepegawaian dan keuangan.

2). Urusan Umum mempunyai tugas melakukan urusan surat

menyurat, perlengkapan dan rumah tangga.

Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik dan Kegiatan Kerja terdiri

dari:

1). Sub Seksi Registrasi dan Bimbingan Kemasyarakatan mempunyai

tugas melakukan pencatatan, membuat statistik, dokumentasi sidik jari

serta memberikan bimbingan dan penyuluhan rokhani, memberikan latihan


26

olah raga, peningkatan pengetahuan asimilasi, cuti dan penglepasan

narapidana/ anak didik.

2). Sub Seksi Perawatan Narapidana/Anak Didik, mempunyai tugas

mengurus kesehatan dan memberikan perawatan bagi narapidana/anak

didik.

3). Sub Seksi Kegiatan Kerja, mempunyai tugas memberikan

bimbingan kerja, mempersiapkan fasilitas sarana kerja dan mengelola hasil

kerja.

Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib terdiri dari:

1). Sub Seksi Keamanan mempunyai tugas mengatur jadwal tugas,

penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan.

2). Sub Seksi Pelaporan dan Tata Tertib mempunyai tugas menerima

laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas dan

mempersiapkan laporan berkala di bidang keamanan dan menegakkan tata

tertib.

Kesatuan Pengamanan Lapas mempunyai tugas menjaga keamanan

dan ketertiban Lapas. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Kesatuan

Pengamanan Lapas mempunyai tugas:

1). Melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap narapidana/anak

didik;

2). Melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban;

3). Melakukan pengawalan penerimaan, penempatan dan pengeluaran

narapidana/anak didik;

4). Melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran keamanan;


27

5). Membuat laporan harian dan berita acara pelaksanaan

pengamanan.

Kesatuan Pengamanan Lapas dipimpin oleh seorang Kepala dan

membawahkan Petugas Pengamanan Lapas yang berada dibawah dan

bertanggung jawab langsung kepada Kepala Lapas.

Pada pasal 60A Peratutan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No.

M.HH-05.0T.01.01 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri

Kehakiman No. M.01-PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Lembaga Pemasyarakatan, Lapas Kelas III terdiri atas:

a) Urusan Tata Usaha;

b) Subseksi Admisi dan Orientasi;

c) Subseksi Pembinaan; dan

d) Subseksi Keamanan dan Ketertiban.

Selanjutnya Pasal 60 huruf b sampai huruf e menjelaskan bahwa:

1) Urusan Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan perencanaan,

kepegawaian dan keuangan, tata usaha, perlengkapan dan rumah tangga

serta penyiapan bahan evaluasi dan penyusunan laporan.

2) Sub Seksi Admisi dan Orientasi mempunyai tugas melakukan registrasi

dan data base, penilaian dan pengklasifikasian, layanan informasi dan

penerimaan pengaduan.

3) Sub Seksi Pembinaan mempunyai tugas melakukan pembinaan pribadian,

pembinaan kemandirian, bimbingan kemasyarakatan, pelayanan makanan

dan perlengkapan narapidana dan pelayanan kesehatan.


28

4) Sub Seksi Keamanan dan Ketertiban mempunyai tugas melakukan

administrasi keamanan dan ketertiban, pencegahan dan penindakan

gangguan keamanan dan ketertiban.

2. Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara

Rumah Tahanan Negara untuk selanjutnya disebut Rutan sebagaimana

disebutkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor

M.04-PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah

Tahanan Negara adalah unit pelaksana tekhnis di bidang Pemasyarakatan yang

berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor

Wilayah Departemen Kehakiman dan dipimpin oleh seorang Kepala Rutan.

Rutan mempunyai tugas melaksanakan perawatan terhadap tersangka

atau terdakwah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

Rutan mempunyai fungsi:

a) Melakukan pelayanan tahanan;

b) Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib Rutan;

c) Melakukan urusan tata usaha.

Rutan diklasifikasikan dalam 3 kelas yang dilakukan berdasarkan

kapasitas dan lokasi. Ketiga kelas tersebut yaitu:

a) Rutan Kelas I;

b) Rutan Kelas IIA;

c) Rutan Kelas IIB.

Rutan Kelas I (satu) terdiri dari:

a) Seksi Pelayanan Tahanan;

b) Seksi Pengelolaan Rutan;


29

c) Kesatuan Pengamanan Rutan;

d) Urusan Tata Usaha.

Seksi Pelayanan Tahanan terdiri dari:

1) Sub Seksi Administrasi dan Perawatan mempunyai tugas

melakukan pencatatan tahanan dan barang-barang bawaannya, membuat

statistik dan dokumentasi serta memberikan perawatan dan mengurus

kesehatan tahanan.

2) Sub Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan mempunyai tugas

menyiapkan pemberian bantuan hukum atau kesempatan untuk mendapat

bantuan hukum dari penasehat hukum, memberikan penyuluhan rohani

dan jasmani serta mempersiapkan bahan bacaan bagi tahanan.

3) Sub Seksi Bimbingan Kegiatan mempunyai tugas memberikan

bimbingan kegiatan bagi tahanan.

Seksi Pengelolaan Rutan terdiri dari:

1) Sub Seksi Keuangan dan Perlengkapan mempunyai tugas

melakukan pengelolaan keuangan dan perlengkapan Rutan.

2) Sub Seksi Umum mempunyai tugas melakukan urusan rumah

tangga dan kepegawaian.

Kesatuan Pengamanan Rutan mempunyai tugas melakukan

pemeliharaan keamanan dan ketertiban Rutan. Kesatuan Pengamanan Rutan

dipimpin oleh seorang kepala dan membawahkan petugas pengamanan Rutan.

Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Bidang Kegiatan Kerja mempunyai

fungsi:

1) Melakukan administrasi keamanan dan ketertiban Rutan;


30

2) Melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap tahanan;

3) Melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban Rutan;

4) Melakukan penerimaan, penempatan dan pengeluaran tahanan

serta memonitor keamanan dan tata tertib tahanan pada tingkat

pemeriksaan;

5) Membuat laporan dan berita acara pelaksanaan pengamanan dan

ketertiban.

Pasal 17 menyebutkan bahwa Urusan Tata Usaha mempunyai tugas

melakukan urusan surat menyurat dan kearsipan.

Susunan organisasi Rutan Kelas IIA diatur mulai dari Pasal 18 sampai

dengan Pasal 19 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor

M.04-PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah

Tahanan Negara. Adapun susunan tersebut terdiri dari:

a) Sub Seksi Pelayanan Tahanan mempunyai tugas melakukan

administrasi dan perawatan, mempersiapkan pemberian bantuan dan

penyuluhan bagi tahanan;

b) Sub Seksi Bimbingan Kegiatan mempunyai tugas memberikan

bimbingan kegiatan dan mempersiapkan bahan bacaan bagi tahanan;

c) Sub Seksi Pengelolaan Rutan mempunyai tugas melakukan

pengurusan keuangan, perlengkapan, rumah tangga dan kepegawaian di

lingkungan Rutan;

d) Kesatuan Pengamanan Rutan mempunyai tugas memelihara

keamanan dan ketertiban Rutan;


31

e) Petugas Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan surat

menyurat dan kearsipan.

Susunan organisasi Rutan Kelas IIB diatur dalam Pasal 20 sampai

Pasal 21 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.04-

PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Tahanan

Negara yang terdiri dari:

a) Sub Seksi Pelayanan Tahanan mempunyai tugas melakukan

administrasi dan perawatan, mempersiapkan pemberian bantuan dan

penyuluhan bagi tahanan;

b) Sub Seksi Pengelolaan Rutan mempunyai tugas melakukan

pengurusan keuangan, perlengkapan, rumah tangga dan kepegawaian di

lingkungan Rutan;

c) Kesatuan Pengamanan Rutan mempunyai tugas memelihara

keamanan dan ketertiban Rutan;

d) Petugas Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan surat

menyurat dan kearsipan.

C. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana dan Pembinaan

Narapidana

1. Hukum Pidana

Pada prinsipnya secara umum ada dua pengertian tentang hukum

pidana, yaitu disebut dengan ius poenale dan iuspuniend. Ius poenale

merupakan pengertian hukum pidana objektif. Menurut Mezger pengertian

hukum pidana ini adalah aturan-aturan hukum yang mengikatkan pada suatu

perbuatan tertentu yang memenuhi bagian lain. Pada bagian lain, Simons
32

merumuskan hukum pidana objektif sebagai semua tindakan-tindakan

keharusan dan larangan yang dibuat oleh negara atau penguasa umum lainnya,

yang kepada pelanggar ketentuan tersebut diancam derita khusus yaitu pidana,

demikian juga peraturan-peraturan yang menemukan syarat bagi akibat hukum

itu.17

Hukum merupakan segala peraturan atau dasar-dasar kehidupan yang

dapat dipaksakan dan dalam pelaksanaan memiliki sanksi. Hukum pidana

merupakan suatu istilah yang berasal dari bahasa Belanda “strafrecht”. “straf”

memiliki arti pidana dan “recht” memiliki arti hukum. Hukum pidana

merupakan suatu aturan hukum yang mengatur dan mengikat dalam

kehidupan bernegara. Moeljatno menyatakan bahwa hukum pidana merupakan

Sebagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang

mengadakan aturan-aturan dan dasar-dasar untuk:

1). Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh

dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang

berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar aturan tersebut;

2). Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang

telah melnggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana diancamkan; dan

3). Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan

tersebut.18

17
Andi Sofyan dan Nur Azisa, Hukum Pidana, (Makasar: Pustaka Pena Press,
2016), hlm. 2.
18
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2020), hlm, 1.
33

Menurut Zulkarnain Hukum Pidana itu sama halnya dengan hukum

tata negara, hukum perdata dan lain-lain bagian dari hukum, biasanya

diartikan sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit

banyak bersifat umum yang diabstraktir dari keadaan-keadaan yang konkrit.19

Berdasarkan ilmu hukum pidana, hukum pidana dibedakan menjadi

beberapa bagian, yaitu:

1). Hukum Pidana Objektif dan Hukum Pidana Subjektif

Hukum pidana objektif (Ius poenale), merupakan seluruh aturan yang

berisikan kekangan-kekangan atau kewajiban-kewajiban, terhadap

pelanggaran peraturan itu diancam dengan pidana. Hukum pidana

subjektif (Ius poenendi) merupakan keseluruhan aturan yang berisikan hak

negara untuk memberikan hukuman kepada seseorang yang telah

melanggar suatu ketentuan tertentu.

2). Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil

Hukum Pidana materiil, seluruh peraturan yang memuat perumusan:

a) Perbuatan apa saja yang dapat diancam pidana;

b) Pertanggung jawaban pidana; dan

c) Pidana apa yang dapat dijatuhkan terhadap seorang yang telah

terbukti melakukan tindak pidana.

Hukum pidana formil disebut juga sebagai Hukum Acara Pidana,

merupakan keseluruhan peraturan yang berisikan bagaimana cara negara

menggunakan haknya untuk melaksanakan pidana.

3). Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus

19
Zulkarnain S, Teori-Teori Hukum Pidana Dan Kriminologi, (Pekanbaru: Al-
Mujtahadah Press, 2016), hlm. 2.
34

Di Indonesia terdapat dua macam hukum pidana, yaitu Hukum Pidana

Umum dan Hukum Pidana Khusus. Hukum pidana umum adalah hukum

pidana yang berlaku umum atau yang berlaku bagi semua orang. Hukum

pidana umum dimuat di dalam KUHP. Hukum pidana khusus adalah

hukum pidana yang berlaku khusus bagi golomgan orang-orang tertentu

(anggota ABRI) atau yang memuat perkara-perkara pidana tertentu

(seperti tindak pidana ekonomi, tindak pidana narkotika, dan lain-lain).

Hukum pidana khusus dimuat dalam peraturan perundang-undangan

hukum pidana di luar KUHP.

Hukum pidana merupakan hukum yang bisa dibilang sangat dekat

dengan masyarakat. Keadaan tersebut dapat dilihat dari responsifnya masyarkat

dengan bermacam-macam jenis kejahatan yang sering terjadi di sekitar

masyarakat. Dalam sisi lain, masyarakat juga bersikap reaktif dengan

menginginkan suatu jenis pidana tertentu diberikan kepada seorang pelaku

tindak pidana.20

Berdasarkan “Pasal 15 RUU KUHP Tahun 2006, dijelaskan bahwa

tujuan yang sebenarnya dari hukum pidana yaitu:

1). Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat;

2). Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

20
Eva Achjani, dkk, Perkembangan Sistem Pemidanaan Dan Sistem
Pemasyarakatan, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2017), hlm. 1.
35

3). Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat; dan

4). Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Dalam “Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dijelaskan

bahwa:

Pidana terdiri atas:

1). Pidana Pokok:

a) Pidana mati;

b) Pidana penjara;

c) Pidana kurungan;

d) Pidana denda.

2). Pidana Tambahan:

a) Pencabutan hak-hak tertentu;

b) Perampasan barang-barang tertentu;

c) Pengumuman putusan hakim.

Dengan demikian, hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman

selain yang dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP.

Penjelasan dari pidana pokok adalah:

a) Pidana Mati

Pidana mati, pidana ini adalah yang terberat dari semua pidana

yang dicantumkan terhadap berbagai kejahatan yang sangat berat,

misalnya pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), pencurian dengan


36

kekerasan (Pasal 365 ayat 4), pemberontakan yang diatur dalam pasal 124

KUHP

b) Pidana Penjara

P.A.F. Lamintang mengemukakan bahwa pidana penjara adalah

suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dan seorang

terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah

Lembaga Pemasyarakatan. Dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati

semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam Lembaga

Pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi

mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.21

Hukuman penjara secara khusus ditujukan sebagai hukuman

terhadap kejahatan-kejahatan yang karena sifatnya menunjukkan watak

yang buruk dan nafsu yang jahat. Hukuman penjara diberikan untuk

seumur hidup atau untuk sementara waktu dengan batas minimum satu

hari dan batas maksimum 20 tahun berturut-turut (pasal 12 KUHP).22

c) Kurungan

Pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringan

antara lain, dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan

kebolehan membawa peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari.

Misalnya; tempat tidur, selimut, dll. Lamanya pidana kurungan ini

ditentukan dalam pasal 18 KUHP yang berbunyi:

21
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensie Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017),
hlm. 69.
22
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama, 2019), hlm. 170.
37

a. Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan

paling lama satu tahun;

b. Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu tahun

empat bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena

gabungan kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada pasal 52

dan pasal 52 a.

d) Denda

Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga

diancamkan terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative atau

kumulatif. jumlah yang dapat dikenakan pada hukuman denda ditentukan

minimum dua puluh sen, sedangkan jumlah maksimum, tidak ada

ketentuan mengenai hukuman denda diatur dalam pasal 30 KUHP, yang

berbunyi:

1) Jumlah hukuman denda sekurang-kurangnya dua

puluh lima sen;

2) Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda itu tidak

dibayar maka diganti dengan hukuman kurungan;

3) Lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman

denda sekurang- kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan;

4) Dalam putusan hakim, lamanya itu ditetapkan

begitu rupa, bahwa harga setengah rupiah atau kurang, diganti dengan

satu hari, buat harga lebih tinggi bagi tiap-tiap setengah rupiah

digantinya tidak lebih dari satu hari, akhirnya sisa yang tak cukup,

gantinya setengah rupiah juga;


38

5) Hukuman kurungan itu boleh dijatuhkan selama-

lamanya delapan bulan dalam hal-hal jumlah tertinggi denda itu

ditambah karena ada gabungan kejahatan, karena mengulangi

kejahatan atau karena ketentuan pasal 52 dan 52 a;

6) Hukuman kurungan tidak boleh sekali-kali lebih

dari delapan bulan, pidana denda tersebut dapat dibayar siapa saja.

Artinya, baik keluarga atau kenalan dapat melunasinya.

Penjelasan tentang pidana tambahan adalah:

a) Pencabutan hak-hak tertentu

Hal ini diatur dalam pasal 35 KUHP yang berbunyi: Hak yang

bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang

ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam undang-undang

umum lainnya ialah menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu, menjadi

penasehat atau wali dan hakim berkuasa memecat seorang pegawai negeri

dari jabatannya.

b) Perampasan barang-barang tertentu

Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka

barang yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik

terpidana, maka barang yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan

atau barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan

kejahatannya. Hal ini diatur dalam pasal 39 KUHP yang berbunyi:

a. Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan

kejahatan atau dengan sengaja telah dipakainya untuk melakukan

kejahatan, boleh dirampas;


39

b. Dalam hal menjatuhkan hukuman karena melakukan

kejahatan tidak dengan sengaja atau karena melakukan pelanggaran

dapat juga dijatuhkan perampasan, tetapi dalam hal-hal yang telah

ditentukan oleh undang-undang.

c) Pengumuman Putusan Hakim

Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk pengumuman kepada

khalayak ramai (umum) agar dengan demikian masyarakat umum lebih

berhati-hati terhadap si terhukum biasanya ditentukan oleh hakim dalam

surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang semuanya atas biaya si

terhukum. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman putusan hakim dimuat

dalam putusan (Pasal 43 KUHP).

2. Pembinaan Narapidana

Pembinaan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah tindakan

dan kegiatan yang dilaksanakan dengan efisien dan efektif agar menghasilkan

lebih baik. Pembinaan bisa berupa tindakan, proses maupun pernyataan dari

tujuan dan pembinaan itu membuktikan bagi pembaruan sesuatu.23

Pola pembinaan narapidana merupakan suatu cara perlakuan terhadap

narapidana yang dikehendaki oleh sistem pemasyarakatan dalam usaha

mencapai tujuan, yaitu agar sekembalinya narapidana dapat berperilaku

sebagai anggota masyarakat yang baik dan berguna bagi dirinya, masyarakat

serta negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembinaan narapidana

juga mempunyai arti memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana

untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik.24

23
Sudarsono, Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 2017), hlm. 30.
24
Suwarto, Individualisasi Pemidanaan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2016), hlm. 15.
40

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Pasal 7 Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan. Pembinaan warga binaan dilaksanakan melalui beberapa

tahap pembinaan. Tahap pembinaan sebagaimana dimaksud terdiri dari atas 3

(tiga) tahap, yaitu tahap, awal, tahap lanjutan, dan tahap akhir. Pengalihan

pembinaan dari satu tahap ke tahap lain ditetapkan melalui sidang Tim

Pengamat Pemasyarakatan berdasarkan data dari pembina pemasyarakatan,

pengaman pemasyarakatan pembimbing kemasyarakatan, dan wali

narapidana. Data sebagaimana dimaksud merupakan hasil pengamatan,

penilaian, dan laporan terhadap pelaksanaan pembinaan”.

Pembinaan yang digunakan di Rutan dapat berlaku kepada narapidana

ketika tingkat pra-masuk kerja dan membantu individu memahami dengan

tempat bekerjanya, juga penuaian tugas pertama kerja yang diharapkan tetap

bisa sesuai dengan minat dan harapan awalnya.

Tujuan pembinaan terdiri dari 3 hal, yakni:

1). Kelak sesudah keluar dari Lapas /Rutan, tidak membuat tindak

pidana lagi.

2). Sebagai manusia yang bertindak aktif dan kreatif yang bermanfaat

bagi nusa dan bangsa.

3). Agar bisa senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha

Esa serta mencapai bahagia di dunia dan akhirat.25

Pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan di Rumah Tahanan

Negara bisa dibilang kurang maksimal karena keterbatasan sarana dan

25
Rakei Yunardhani, Efektivitas Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, (Jurnal
Sosiologi, Vol. 15 No. 2, 2018), hlm. 147.
41

prasarana penunjang pembinaan, situasi Rutan yang mengalami kelebihan

daya tampung, sedikitnya petugas di bagian pembinaan dan tenaga pengajar

program pembinaan keterampilan, sampai sistem pemasyarakatan tidak

berjalan baik dengan semestinya.26

Dalam melaksanakan pembinaan pemasyarakatan, perlu didasarkan

pada suatu asas yang merupakan pegangan atau pedoman bagi para pembina

agar tujuan pembinaan yang dilakukan dapat sampai dengan baik. Untuk itu,

berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang

Pemasyarakatan, asas-asas pembinaan pemasyarakatan melingkupi asas:

a. pengayoman;

b. nondiskriminasi;

c. kemanusiaan;

d. gotong royong;

e. kemandirian;

f. proporsionalitas;

g. kehilangan kemerdekaan sebagai satu-satunya penderitaan; dan

h. profesionalitas.

Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022, mengatur

mengenai penggolongan pembinaan atas dasar beberapa faktor, diantaranya

usia dan jenis kelamin, atau alasan lainnya sesuai dengan asesmen risiko dan

kebutuhan yang dilakukan oleh asesor pemasyarakatan.

26
Mitro Subroto, Kukuh Al Akbar, Strategi Pembinaan Terhadap Narapidana di
Dalam Rutan, (Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, Vol. 9 No. 3, 2021), hlm. 991.
42

Menurut ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia

Nomor M.02-PK.04.10 Tahun 1990, menyatakan bahwa dasar pemikiran

pembinaan narapidana tertuang dalam 10 prinsip pemasyarakatan, yaitu:

1). Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan perannya

sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.

2). Penjatuhan pidana tidak lagi didasarkan oleh latar belakang pembalasan.

Ini berarti tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana pada

umumnya, baik yang berupa tindakan, ucapan, cara penempatan ataupun

penetapan. Satu-satunya derita yang dialami narapidana adalah hanya

dibatasi kemerdekaannya untuk leluasa bergerak di dalam masyarakat

bebas.

3). Berikan bimbingan supaya mereka bertobat, berikan kepada mereka

pengertian tentang norma-norma hidup dan kegiatan sosial untuk

mrenumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan.

4). Negara tidak berhak membuat mereka menjadi buruk atau lebih jahat dari

pada sebelum dijatuhi pidana.

5). Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya para narapidana

tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

6). Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh sekedar pengisi

waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi peluang

jabatan atau kepentingan negara kecuali pada waktu tertentu.

7). Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana adalah

berdasarkan pancasila. Hal ini berarti bahwa kepada mereka harus

dinamakan semangat kekeluargaan dan toleransi disamping meningkatkan


43

pemberian pendididkan rohani kepada mereka disertai dorongan untuk

menunaikan ibadah sesuai dengan kepercayaan yang dianut.

8). Narapidana bagaikan orang sakit yang perlu diobati agar mereka sadar

bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukan adalah merusak diri

keluarga dan lingkungan, kemudian dibina dan dibimbing kejalan yang

benar. Selain itu mereka harus diperlukan sebagai manusia yang memiliki

harga diri akan tumbuh kembali kepribadiannya yang percaya akan

kekuatan dirinya sendiri.

9). Narapidana hanya dijatuhi pidana berupa membatasi kemerdekaannya

dalam waktu tertentu.

10). Untuk pembinaan dan pembimbingan narapidana maka disediakan sarana

yang diperlukan.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif yaitu penelitian hukum

yang dilakukan berdasarkan norma dan kaidah dari peraturan perundangan.27

Menurut Terry Hutchinson sebagaimana dikutip Peter Mahmud Marzuki

mendefinisikan bahwa penelitian hukum doktrinal adalah sebagai berikut:

“Doctrinal research: research wich provides a systematic exposition of

the rules goverming a particular legal kategory, analyses the relationship

between rules, explain areas of difficullty and, perhaps, predicts future

development.”

(Penelitian Normatif adalah penelitian yang memberikan penjelasan

sistematis aturan yang mengatur suatu kategori hukum tertentu, menganalisis

hubungan antara peraturan menjelaskan daerah kesulitan dan mungkin

memprediksi pembangunan masa depan).28

Pendakatan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan perundang-undangan (statute approach). Karena penelitian ini

menelaah semua yang bersangkut paut dengan judul penelitian ini.

Pendekatan perundang-undangan melakukan pengkajian peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentra/penelitian. Untuk itu

peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat

sebagai berikut:

27
H. Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), hlm.
30.
28
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011), hlm. 35.

43

46
44

1. Comprehensif artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara

satu dengan lain secara logis.

2. All inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu

menamping permasalahan hukum yang ada. Sehingga tidak akan ada

kekurangan hukum.

3. Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-

norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis.29

B. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Sumber data adalah tempat di mana ditemukannya data-data penelitian.

Sumber data yang digunakan oleh peneliti adalah:

1. Bahan Hukum Primer yaitu:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.

3) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan

KUHAP.

4) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat

dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab

Perawatan Tahanan.

5) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan

dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer, antara lain pustaka di bidang ilmu

29
Ibrahim Jhonny, Theori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: PT
Bayu Media Publishing, 2019), hlm. 303.
45

hukum, hasil penelitian di bidang hukum, artikel-arikel maupun jurnal ilmiah,

baik dari koran maupun internet.

3. Bahan hukum tersier adalah Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Kamus Hukum, Jurnal Hukum Pidana, media massa, dan lain- lain sebagai

penunjang.30

C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian hukum ini

adalah kepustakaan adalah suatu cara untuk memperoleh pengertian yang

diperlukan dalam penulisan skripsi dengan cara mempelajari teori-teori yang ada

dalam buku-buku, literatur, karya ilmiah, undang-undang serta sumber data

lainnya. Studi kepustakaan merupakan suatu cara untuk memperoleh pengertian

yang diperlukan dalam penulisan skripsi dengan cara mempelajari teori-teori yang

ada dalam buku-buku, literatur, karya ilmiah, undang-undang serta sumber data

lainnya.

D. Teknik Analisis Bahan Hukum

Tahap mengolah dan menganalisa data diperlukan suatu bentuk analisa

data yang baik guna mendapatkan data-data yang akurat dalam penelitian.

Menurut Lexy J. Moleong bahwa “proses analisis data dimulai dengan menelaah

seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara,

pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi,

dokumen remi, gambar, foto dan sebagainya”.31

30
M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitan Hukum, (Jakarta: PT RajaGrasindo
Persada, 2017), hlm. 98.
31
Ibid.,hlm. 247.
46

Bahan hukum yang telah diperoleh, baik itu data primer maupun data

sekunder, selanjutnya dianalisis dan diolah dengan metode deskriptif kualitatif,

yaitu analisis dengan menggunakan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari sumber data primer maupun sekunder, dengan tahapan reduksi data,

penyajian data, dan verifikasi data untuk menghasilkan suatu kesimpulan.

Kesimpulan tersebutlah yang akan disajikan secara deskriptif oleh penulis

guna memberikan pemahaman yang jelas dan terarah terhadap hasil penelitian

nantinya.32

Analisis data merupakan tahap lanjutan untuk memperoleh hasil

penelitian. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif

kualitatif dengan metode silogisme dan interpretasi menggunakan pola berpikir

deduktif. Pola berpikir deduktif yaitu berpangkal dari prinsip-prinsip dasar untuk

kemudian memberikan objek yang akan diteliti. Dengan menginterpretasikan isu

hukum merujuk kepada ketentuan-ketentuan hukum.

Adapun langkah-langkah yang akan dilakukan dalam menganalisis atau

menelaah bahan hukum adalah sebagai berikut.33

1. Mula-mula dihimpun bahan hukum, baik bahan

hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan isu

hukum yang diteliti.

Bahan hukum tersebut diperoleh melalui studi kepustakaan, menelaah

terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun non-pemerintah, dan

internet.

32
Peter Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.
98.
33
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), hlm.
172.
47

2. Terhadap bahan hukum, dipelajari dan diidentifikasi

dengan norma hukum yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-

undangan, menganalisis masalah dengan maksud mencari dalil.

3. Dari hasil identifikasi tersebut dapat dianalisa dan

dideskripsikan, serta dinilai untuk menjawab isu hukum yang diajukan.

4. Semua hasil yang diperoleh dari bahan-bahan

hukum tersebut di atas, berikut mencari hubungannya antara satu dengan yang

lain dengan menggunakan penalaran deduktif induktif untuk menghasilkan

proposisi dan konsep, baik berupa definisi, deskripsi, maupun klasifikasi

sebagai hasil penelitian.34

Melalui langkah-langkah analisis bahan hukum tersebut diharapkan

ditemukan jawaban ilmiah atas tema pokok penelitian ini, yakni Tinjauan Yuridis

Pelayanan Tahanan Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 tentang

Pemasyarakatan untuk diproses dalam analisis data.

34
Ibid.,hlm.20.
BAB IV

TINJAUAN YURIDIS PELAYANAN TAHANAN MENURUT UNDANG-

UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2022 TENTANG PEMASYARAKATAN

A. Tinjauan Yuridis Pelayanan Tahanan Menurut Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan

Pemasyarakatan merupakan salah satu subsistem peradilan pidana.

Sebagai subsistem peradilan pidana terpadu, pemasyarakatan menyelenggarakan

penegakan hukum di bidang perlakuan terhadap tahanan, anak, dan warga binaan

baik dalam tahap pra ajudikasi, ajudikasi, maupun pasca ajudikasi. Bekerjanya

pemasyarakatan dengan suatu sistem sendiri yang dikenal dengan sistem

pemasyarakatan pada dasarnya dalam rangka mencapai tujuan bersama dari

sistem peradilan pidana terpadu yang menempatkan pemasyarakatan di dalamnya.

Sebagai sub sistem, fungsi yang diselenggarakan oleh pemasyarakatan

menunjukkan suatu hakikat sistem peradilan pidana, di mana dikatakan bahwa

sistem peradilan pidana erat hubungannya dengan sistem penegakan hukum. Hal

ini disebabkan karena proses peradilan pidana berakar pada sebuah proses

menegakkan hukum.

Pemasyarakatan dalam hal ini mengambil bagian sebagai sub sistem yang

berperan dalam hal pelaksana putusan pemidanaan. Lapas sebagai lembaganya

yang paling dikenal merupakan bagian dari institusi Pemerintah (eksekutif) yang

menjalankan rangkaian fungsi penegakan hukum sebagai pelaksanaan pidana.

Lapas melaksanakan pidana yang dijatuhkan oleh hakim pengadilan berupa

putusan pemidanaan khususnya dalam bentuk pidana penjara. Pelaksanaan pidana

penjara dengan sistem pemasyarakatan terkait dengan tujuan dari pemidanaan.

48
49

Pemasyarakatan dengan demikian menentukan kebijakan pelaksanaan pidana,

sesuai dengan sistem yang ditetapkan.

Sistem peradilan pidana dikatakan juga merupakan suatu sistem

penegakan hukum sebagai upaya menanggulangi kejahatan. Sebagaimana

pendekatan normatif dalam sistem peradilan pidana memandang unsur aparatur

penegak hukum termasuk pemasyarakatan sebagai institusi pelaksana peraturan

perundang-undangan yang berlaku sehingga merupakan bagian dari sistem

penegakan hukum semata.35

Sistem peradilan pidana itu sendiri terbagi menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu

tahap sebelum sidang pengadilan, tahap pengadilan, dan tahap pasca atau setelah

pengadilan. Dalam mekanismenya sistem peradilan pidana ini mensyaratkan

adanya kerjasama sebagai suatu sistem. Kerjasama antar sub sistem peradilan

pidana ditujukan agar sistem peradilan pidana itu sendiri berjalan dengan baik.

Keempat sub sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan

pemasyarakatan) mempunyai tugas yang berbeda-beda baik menurut ketentuan

hukum acara pidana maupun berdasarkan perundang-undangan sektoral mereka.

Meskipun berbeda-beda tetapi bekerja untuk mencapai tujuan yang sama

dan mempunyai hubungan yang sangat erat. Konsekuensinya, apabila salah satu

sub sistem tidak menjalankan tugas dan kewenangan sebagaimana mestinya maka

akan mempengaruhi sistem secara keseluruhannya.

Sistem peradilan pidana dikatakan sebagai suatu sistem karena terdiri dari

komponen-komponen atau lembaga yang masing-masing mempunyai wewenang

35
Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana Perbandingan Komponen Dan Proses
Peradilan Pidana Di Beberapa Negara, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2013), hlm. 21.
50

dan tugas sesuai bidangnya. Meskipun terbagi ke dalam komponen-komponen,

namun keseluruhannya bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama.

Adapun tujuan sistem peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro

adalah:

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga

masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan

kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.36

Tujuan sistem peradilan pidana tersebut di atas sejalan dengan tujuan

sistem pemasyarakatan. Tujuan sistem pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan

menyebutkan tujuan sistem pemasyarakatan yaitu:

1. Memberikan jaminan perlindungan terhadap hak tahanan dan

anak;

2. Meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian warga

binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi

tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,

dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik, taat hukum,

bertanggungjawab, dan dapat aktif berperan dalam pembangunan;

3. Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari

pengulangan tindak pidana.

36
Ismail Pettanase, Pembinaan Narapidana Dalam Sistem Pemasyarakatan, (Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang, Vol. 17 No. 1, 2019), hlm. 58.
51

Dengan tujuan tersebut sangat tepat dikatakan bahwa pemasyarakatan

merupakan salah satu komponen yang bekerja untuk mencapai tujuan sistem

peradilan pidana. Melihat posisi pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem

peradilan pidana, sebelumnya selama ini hanya terlihat pada bekerjanya Lapas

dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana. Hal tersebut terlihat pada

substansi Undang-Undang Pemasyarakatan yang sebelumnya lebih banyak

mengatur mengenai aspek pembinaan narapidana dan anak pidana. Dengan

pengaturan demikian berarti posisi pemasyarakatan hanya terletak di akhir dari

proses peradilan pidana dalam rangka merealisasikan tujuan akhir sistem

peradilan pidana berupa rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum. Pendapat

lain juga mengatakan bahwa pemasyarakatan merupakan komponen terakhir

dalam sistem peradilan pidana maupun dalam proses peradilan pidana. Hal ini ada

benarnya apabila konteks persoalan yang dimaksud adalah menyangkut fungsi

pembinaan terhadap narapidana.

Berbicara tentang pemasyarakatan dalam konteks hal tersebut di atas

mengenai keberadaannya dalam sistem peradilan pidana, maka dapat dikatakan

memiliki fungsi yang penting dalam menentukan tujuan yang dibagun oleh sistem

peradilan pidana, khususnya pembinaan bagi narapidana agar menjadi manusia

yang baik setelah mereka kembali lagi ke tengah masyarakat. Sebagai komponen

terakhir dalam sistem peradilan pidana maupun dalam proses peradilan pidana itu

sendiri bekerjanya pemasyarakatan itu adalah untuk menopang tujuan dari sistem

peradilan pidana itu sendiri. Disini sudah terlihat bagaimana posisi

pemasyarakatan melalui Lapas sangat penting dalam sistem peradilan pidana

terpadu.
52

Sejalan dengan upaya untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem

pemasyarakatan di Indonesia, maka eksistensi pemasyarakatan sebagai komponen

sistem peradilan pidana semakin terlihat perannya tidak hanya pada aspek

pembinaan narapidana tetapi juga memiliki peranan yang lebih penting berkaitan

dengan pada saat berlangsungnya atau bekerjanya proses peradilan pidana melalui

upaya mewujudkan keadilan dalam penegakan hukum pidana. Pemasyarakatan

melalui Rutan berupaya memastikan bahwa rangkaian proses peradilan pidana

dalam pengertian penegakan hukum benar-benar berjalan tanpa adanya

pelanggaran terhadap hak-hak asasi khususnya yang dimiliki oleh pelaku

kejahatan yang menjalani masa penahanan.

Suatu kemajuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang

Pemasyarakatan yang baru saat ini, dimana tidak hanya mengatur terkait fungsi

pembinaan saja, tetapi juga mengatur tentang pelayanan tahanan sebagai salah

satu fungsi pemasyarakatan dan hal tersebut diatur secara komprehensif dalam

undang-undang tersebut. Dengan diaturnya penyelenggaraan pelayanan tahanan

sebagai fungsi pemasyarakatan menunjukkan bahwa sudah ada kepastian hukum

mengenai pemasyarakatan yang sudah memiliki peran sejak awal bekerjanya

proses peradilan pidana melalui pelayanan terhadap mereka yang sedang

menjalankan proses peradilan pidana baik dalam status sebagai tersangka maupun

terdakwa dalam hal mereka menjalankan penahanan pada Rutan.

Penyelenggaranan pelayanan terhadap tahanan oleh Rutan pada saat

bersamaan juga akan berkaitan dengan kewenangan penahanan yang dimiliki oleh

komponen peradilan pidana lainnya. Dalam hal tahanan merupakan tersangka

dalam suatu proses penyidikan, maka ada kewenangan penyidik Kepolisian.


53

Demikian juga apabila terdakwa dalam penahanan Penuntut Umum dan

persidangan maka ada kewenangan dari komponen Penuntut Umum dan Hakim

pengadilan disana. Dengan demikian, maka perlu ada kerjasama dan koordinasi

antar lembaga tersebut. Kewenangan penahanan secara yuridis ada pada lembaga

penegak hukum yang memiliki kewenangan melakukan penahanan dan

tanggungjawab secara fisik terhadap tahanan menjadi tugas dan kewenangan

Rutan. Dalam konteks sistem peradilan pidana, inilah yang dikatakan oleh

Mardjono sebagai keterpaduan dalam sistem peradilan pidana terpadu. Muladi

juga menyebut dengan istilah sinkronisasi dan keselarasan.37

Keselarasan atau sinkronisasi dalam sistem peradilan pidana dalam

konteks ini dapat berwujud koordinasi antara Rutan dengan lembaga penegak

hukum lainnya atau instansi yang menahan (Sinkronisasi Strutural). Koordinasi

ini sudah ada sejak penerimaan tahanan hingga pengeluaran tahanan. Pada saat

penerimaan tahanan tentu saja melalui tahapan penyerahan tersangka atau

terdakwa yang ditahan oleh lembaga penegak hukum yang menahan bahwa

keabsahan dokumen menjadi salah satu tahapan yang dilakukan antara petugas

lembaga penegak hukum yang menahan dengan pihak Rutan. Pada tahapan ini

kordinasi menyangkut dengan serah terima tahanan. Sejak dilakukan serah terima

tahanan, maka kemudian fungsi palayanan dan perawatan terhadap tahanan

kemudian melekat pada Rutan. Selanjutnya koordinasi antara Rutan dengan

lembaga penegak hukum yang melakukan penahanan juga dapat dilihat pada saat

pengeluaran tahanan sementara. Rutan tidak boleh mengeluarkan tahanan yang

sifatnya sementara tanpa adanya permintaan instansi yang berwenang menahan.

37
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2017), hlm. 3.
54

Termasuk juga misalnya pemindahan tahanan oleh Rutan harus mendapatkan izin

dari instansi yang berwenang.

Selain dalam bentuk koordinasi dan kerjasama demikian, penyelenggaraan

pelayanan tahanan dalam rangka pemenuhan hak-hak tahanan oleh Rutan juga

merupakan salah satu wujud nyata peran dari pemasyarakatan dalam mencapai

tujuan sistem peradilan pidana serta menciptakan sistem penegakan hukum yang

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Sistem peradilan pidana sebagai proses menegakkan hukum yang

dijalankan oleh Rutan tentu harus didukung dengan komitmen lembaganya yang

menjunjung tinggi hak asasi manusia dan dikuatkan dengan diatur dalam suatu

perundang-undangan sebagai wujud kepastian hukum. Dalam pengertian lain

sistem peradilan pidana terpadu justru merupakan sistem yang mampu menjaga

keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan masyarakat, maupun

kepentingan individu dan tidak terkecuali kepentingan pelaku dan korban tindak

pidana. Untuk mewujudkan hal tersebut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2022 tentang Pemasyarakatan juga diatur menyangkut hak-hak tahanan.

Dapat dikatakan bahwa tinjauan yuridis pelayanan tahanan menurut

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan Lapas sebagai

lembaganya yang paling dikenal merupakan bagian dari institusi Pemerintah

(eksekutif) yang menjalankan rangkaian fungsi penegakan hukum sebagai

pelaksanaan pidana. Lapas melaksanakan pidana yang dijatuhkan oleh hakim

pengadilan berupa putusan pemidanaan khususnya dalam bentuk pidana penjara.

Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan terkait dengan tujuan

dari pemidanaan. Pemasyarakatan dengan demikian menentukan kebijakan


55

pelaksanaan pidana, sesuai dengan sistem yang ditetapkan, selanjutnya adanya

perubahan Undang-Undang Pemasyarakatan merupakan penguatan sekaligus

penegasan terhadap keberadaan pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem

peradilan pidana terpadu. Pemasyarakatan melalui keberadaan lembaganya

(Rutan) sebagai penyelenggara pelayanan tahanan menunjukkan bahwa

pemasyarakatan sudah bekerja sejak awal berlangsungnya proses peradilan

pidana. Dengan demikian pemasyarakatan sebagai bagian sistem peradilan pidana

tidak hanya menyangkut fungsi pembinaan narapidana yang dijalankan melalui

fungsi Lapas yang dipahami sebagai muara proses peradilan pidana, tetapi melalui

Rutan juga menjadi bagian yang memperkuat bekerjanya sistem peradilan pidana

sejak awal proses berjalan. Pelayanan tahanan dalam Undang-Undang No. 22

Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan memperkuat tujuan sistem pemasyarakatan

dalam melindungi hak-hak tahanan, memperkuat dan mempertegas kedudukan

pemasyarakatan di dalam sistem peradilan pidana serta menunjukkan bahwa

pemasyarakatan sudah bekerja sejak berlangsungnya proses peradilan pidana

terpadu.

B. Akibat Hukumnya Jika Pelayanan Tahanan Tidak Sesuai Dengan Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan

Pemasyarakatan bekerja berdasarkan suatu sistem yang disebut dengan

sistem pemasyarakatan. Di dalam sistem tersebut terdapat petugas, tahanan,

anak, warga binaan, dan masyarakat itu sendiri yang bekerja berdasarkan

metode pelaksanaan fungsi pemasyarakatan secara terpadu. Fungsi

pemasyarakatan meliputi pelayanan, pembinaan, pembimbing kemasyarakatan,

perawatan, pengamanan, dan pengamatan.


56

Sebagai salah satu bagian dari sistem pemasyarakatan, terhadap tahanan

melekat suatu fungsi pelayanan. Sebagaimana diketahui bahwa tahanan

merupakan tersangka atau terdakwa yang sedang menjalani proses peradilan

dan ditahan pada sebuah Rutan. Rutan merupakan salah satu sub sistem

pemasyarakatan yang dikenal masyarakat dan bekerja pada tahap pra ajudikasi38

Tahanan yang berada dalam binaaan Lembaga Pemasyarakatan secara

konstitusi telah dirampas kemerdekaannya sehingga secara tidak langsung

kehilangan kemerdekaannya. Kehilangan kemerdekaan secara konteks konstitual

dapat dimaknai sebagaimana Pasal 3 huruf g Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2022 tentang Pemasyarakatan kehilangan kemerdekaan menjadi salah satu asas

dalam rangka sistem pembinaan pemasyarakatan. Pada pasal tersebut disebutkan

bahwa "kehilangan kemerdekaan sebagai satu-satunya penderitaan" yang artinya

tahanan harus berada dalam lingkungan dan pembinaan Lembaga Pemasyarakatan

untuk dan dalam jangka waktu tertentu, sehingga negara mempunyai kesempatan

penuh untuk memperbaikinya (restorasi justice).

Tahanan yang berada di Lembaga Pemasyarakatan meskipun telah

kehilangan kemerdekaannya sebagaimana disebut di atas namun tetap

mendapatkan hak-haknya. Hak-hak yang diperoleh seperti layaknya manusia

mencakupi hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian,

tempat tidur, latihan keterampilan, dan olah raga. Intinya bahwa meskipun telah

dinyatakan kehilangan kemerdekaannya ada kewajiban bagi Lembaga

Pemasyarakatan untuk dapat menjamin seluruh haknya terpenuhi. Selain daripada

38
Tenofrimer, Riki Afrizal, Penguatan Aspek Perlindungan Hak Tahanan Melalui
Pengaturan Fungsi Pelayanan Tahanan Dalam Undang-Undang Pemasyarakatan, (UNES
Journal of Swara Justisia, Vol. 6 No. 4, 2023), hlm. 510.
57

itu, hak-hak tahanan juga dituangkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa:

Tahanan berhak :

1. Menjalankan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;

2. Mendapatkan perawatan, baik jasmani maupun rohani;

3. Mendapatkan pendidikan, pengajaran, dan kegiatan rekreasional, serta

kesempatan mengembangkan potensi;

4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak sesuai dengan

kebutuhan gizi;

5. Mendapatkan layanan informasi;

6. Mendapatkan penyuluhan hukum dan bantuan hukum;

7. Menyampaikan pengaduan dan/atau keluhan;

8. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa yang tidak

dilarang;

9. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dilindungi dari tindakan

penyiksaan, eksploitasi, pembiaran, kekerasan, dan segala tindakan yang

membahayakan fisik dan mental;

10. Mendapatkan pelayanan sosial; dan

11. Menerima atau menolak kunjungan dari keluarga, advokat, pendamping, dan

masyarakat.

Hak-hak tersebut di atas merupakan hak yang melekat pada tahanan yang

sudah sesuai dengan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or

Degrading Treatment or Punishment Tahun 1984. Adanya hak-hak tersebut

menempatkan posisi tahanan menjadi sama di hadapan hukum dan


58

memberikan jaminan mereka terhindar dari segala bentuk perlakuan yang

sewenang-wenang.

Penyelenggaraan fungsi pelayanan tahanan pada Rutan meliputi:

a. Penerimaan tahanan;

b. Penempatan tahanan;

c. Pelaksanaan pelayanan tahanan;

d. Pengeluaran tahanan.

Penerimaan tahanan meliputi pemeriksaan dokumen dan kondisi

kesehatan tahanan yang akan ditempatkan pada Rutan. Selanjutnya penempatan

tahanan di dalam Rutan dilakukan berdasarkan kepada kriteria usia dan jenis

kelamin atau alasan lain sesuai dengan asesmen resiko dan kebutuhan lainnya.

Mengenai penempatan tahanan sedikit berbeda dengan Pasal 19 ayat (2)

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.

Dalam Peraturan Pemerintah tersebut mengatur bahwa tempat tahanan

dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, umur, dan tingkat pemeriksaan. Kriteria

dalam penempatan tahanan ini lebih kompleks lagi jika mengacu pada Peraturan

Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 Tentang Syarat-Syarat Dan Tata Cara

Pelaksanaan Wewenang, Tugas Dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan.

Pasal 7 Peraturan Pemerintah tersebut menyebutkan penempatan tahanan

berdasarkan penggolongan umur, jenis kelamin, jenis tindak pidana, tingkat

pemeriksaan perkara, dan untuk kepentingan tertentu yang sesuai dengan

kebutuhan dan perkembangan.

Pelaksanaan Pelayanan Tahanan sebagaimana dilakukan berdasarkan

hasil Litmas. Litmas sebagaimana dimaksud disusun oleh Pembimbing


59

Kemasyarakatan.

Mengenai mekanisme pengeluaran tahanan pada Rutan, tahanan dapat

dikeluarkan dalam bentuk pengeluaran tetap, pengeluaran sementara, dan

pengeluaran demi hukum. Dalam hal proses peradilan terhadap terdakwa sudah

selesai atau meninggal dunia maka dilakukan pengeluaran tetap. Pengeluaran

sementara dapat dilakukan atas permintaan instansi yang menahan, namun

dalam keadaan darurat tahanan dapat dikeluarkan oleh kepala Rutan dengan

memberitahukan instansi yang menahan.

Terhadap tersangka atau terdakwa yang telah habis masa penahanan atau

perpanjangan masa penahanannya, maka wajib untuk dikeluarkan dari Rutan.

Pengeluaran tersebut wajib demi hukum dilakukan oleh Kepala Rutan segera

setelah masa penahanan berakhir dan sebelum berganti hari kepada hari

berikutnya.

Undang-Undang Pemasyarakatan yang baru ini mengatur dengan jelas

dan komprehensif terkait dengan tahanan, tidak hanya dalam hal pelayanan

tetapi termasuk juga perawatan. Sama halnya dengan Lapas, LPAS, dan LPKA,

Rutan dalam melaksanakan pelayanan juga memberikan perawatan terhadap

tahanan. Perawatan terhadap tahanan meliputi pemeliharaan kesehatan,

rehabilitasi, dan pemenuhan kebutuhan dasar. Perawatan terhadap tahanan

merupakan fungsi pemasyarakatn yang juga melakat terhadap tahanan, karena

keduanya menyangkut dengan perlakuan terhadap tahanan dalam Rutan.

Penyelenggaran fungsi pelayanan tahanan termasuk di dalamnya

perawatan merupakan bagian dari upaya untuk menjamin dan mewujudkan hak-

hak yang telah diatur dengan jelas didalam Undang-Undang Pemasyarakatan


60

tersebut. Penyelenggaraan fungsi pelayanan tahanan sebagai bagian dari sistem

pemasyarakatan menjadi salah satu tujuan dari sistem pemasyarakatan itu

sendiri yaitu memberikan jaminan perlindungan terhadap hak tahanan.

Disamping itu, pengaturan pelayanan tahanan menegaskan bahwa

pemasyarakatan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana terpadu.

Pemasyarakatan tidak saja sebagai akhir atau muara dari proses peradilan

pidana tetapi juga pada saat berkerjanya atau berlangsung proses peradilan

tersebut melalui pelayanan tahanan.39

Menurut pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022

tentang Pemasyarakatan bahwa Pelayanan terhadap tahanan diselenggarakan di

Rutan. Dan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 tahun 2022 tentang

Pemasyarakatan menyatakan bahwa Rutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dibentuk di kabupaten/kota. Namun kondisi yang terjadi di Indonesia adalah

tidak semua kabupaten/kota di Indonesia memiliki Rutan dan Lapas.

Penetapan Rutan dalam melaksanakan fungsi pemasyarakatan diatur

secara eksplisit dalam Pasal 38 ayat (1) jo Penjelasan Peraturan Pemerintah

Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP, Menteri dapat menetapkan

Lapas tertentu sebagai Rutan. Kemudian, dengan adanya Surat Keputusan Menteri

Kehakiman No. M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga

Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara, Lapas dapat beralih

fungsi menjadi Rutan, dan begitu pula sebaliknya.40

Serta diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pelaksana Undang-Undang

Pemasyarakatan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang

39
Ibid.,hlm.512.
40
Ibid.,hlm.1.
61

Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab

Perawatan Tahanan Pasal 2 ayat (2) menyebutkan dalam hal Lembaga

Pemasyarakatan (Lapas) tertentu ditetapkan oleh Menteri sebagai Rutan, maka

wewenang, tugas dan tanggung jawab perawatan tahanan sebagaimana dimaksud

dilaksanakan, oleh Kepala Lapas / Cabang Lapas yang bersangkutan.

Dari penjelasan diatas dapat di pahami bahwa akibat hukumnya jika

pelayanan tahanan tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022

tentang Pemasyarakatan, tentu petugas lapas telah melanggar peraturan

perundangan, karena dalam Undang-Undang Pemasyarakatan yang baru ini

mengatur dengan jelas dan komprehensif terkait dengan tahanan, tidak hanya

dalam hal pelayanan tetapi termasuk juga perawatan. Sama halnya dengan Lapas,

LPAS, dan LPKA, Rutan dalam melaksanakan pelayanan juga memberikan

perawatan terhadap tahanan. Perawatan terhadap tahanan meliputi pemeliharaan

kesehatan, rehabilitasi, dan pemenuhan kebutuhan dasar. Perawatan terhadap

tahanan merupakan fungsi pemasyarakatan yang juga melakat terhadap tahanan,

karena keduanya menyangkut dengan perlakuan terhadap tahanan dalam Rutan,

selanjunya tahanan atau keluarga tahanan dapat melakukan tuntutan atau

melakukan pelaporan terkait dengan haknya yang tidak terpenuhi.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Bahwa tinjauan yuridis pelayanan tahanan menurut Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan Lapas,

Pemasyarakatan melalui keberadaan lembaganya (Rutan) sebagai

penyelenggara pelayanan tahanan menunjukkan bahwa pemasyarakatan sudah

bekerja sejak awal berlangsungnya proses peradilan pidana. Dengan demikian

pemasyarakatan sebagai bagian sistem peradilan pidana tidak hanya

menyangkut fungsi pembinaan narapidana yang dijalankan melalui fungsi

Lapas yang dipahami sebagai muara proses peradilan pidana, tetapi melalui

Rutan juga menjadi bagian yang memperkuat bekerjanya sistem peradilan

pidana sejak awal proses berjalan, Pelayanan tahanan dalam Undang-Undang

No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan memperkuat tujuan sistem

pemasyarakatan dalam melindungi hak-hak tahanan, memperkuat dan

mempertegas kedudukan pemasyarakatan di dalam sistem peradilan pidana

serta menunjukkan bahwa pemasyarakatan sudah bekerja sejak

berlangsungnya proses peradilan pidana terpadu.

2. Bahwa Akibat hukumnya jika pelayanan tahanan tidak sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan , tentu

petugas lapas telah melanggar peraturan perundangan, karena dalam Undang-

Undang Pemasyarakatan yang baru ini mengatur dengan jelas dan

komprehensif terkait dengan tahanan, tidak hanya dalam hal pelayanan tetapi

termasuk juga perawatan. Sama halnya dengan Lapas, LPAS, dan LPKA,

62
63

Rutan dalam melaksanakan pelayanan juga memberikan perawatan terhadap

tahanan. Perawatan terhadap tahanan meliputi pemeliharaan kesehatan,

rehabilitasi, dan pemenuhan kebutuhan dasar. Perawatan terhadap tahanan

merupakan fungsi pemasyarakatan yang juga melakat terhadap tahanan,

karena keduanya menyangkut dengan perlakuan terhadap tahanan dalam

Rutan, selanjunya tahanan atau keluarga tahanan dapat melakukan tuntutan

atau melakukan pelaporan terkait dengan haknya yang tidak terpenuhi.

B. Saran

Dari hasil penelitian yang sudah terlaksana terdapat beberapa saran dari

peneliti:

1. Bagi Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia

serta Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, agar melakukan evaluasi dan

menghadapi kondisi sosial dan kendala yang dialami oleh Lembaga

Pemasyarakatan maupun Rumah Tahanan. Serta meninjau ulang

pembangunan Rumah Tahanan di kabupaten/kota yang tidak memiliki

Rutan/Lapas.

2. Bagi Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan

Negara diharapkan dapat terus meningkatkan penunjangan fasilitas sarana-

prasarana yang ada agar memadai dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adi Sujatno, Pencerahan di Balik Penjara, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2016.

Andi Sofyan dan Nur Azisa, Hukum Pidana, Makasar: Pustaka Pena Press, 2016.

C. I. Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta: Djambatan, 2016.

Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pembinaan Narapidana


di Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 2016.

Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung:


Refika Aditama, 2017.

Eva Achjani, dkk, Perkembangan Sistem Pemidanaan Dan Sistem


Pemasyarakatan, Depok: Raja Grafindo Persada, 2017.

H. Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2019.

Ibrahim Jhonny, Theori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: PT


Bayu Media Publishing, 2019.

Jimly Asshidiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam konstitusi dan


Pelaksanannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2004.

M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitan Hukum, Jakarta: PT RajaGrasindo


Persada, 2017.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2020.

Munir Fuady, Sylvia Laura, Hak Asasi Tersangka Pidana, Jakarta: PT Kharisma
Putra Pratama, 2015.

P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensie Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2017.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media


Group, 2011.

Peter Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.

Romli Atmasasmita, Beberapa Catatan Isi Naskah RUU Pemasyarakatan,


Bandung: Rineka, 2015.
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2017.

Soedjono, Kisah Penjara-Penjara di Berbagai Negara, Bandung: Alumni, 2016.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2010.

Sudarsono, Kenakalan Remaja, Jakarta: Rineka Cipta, 2017.

Suwarto, Individualisasi Pemidanaan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2016.

Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana Perbandingan Komponen Dan Proses


Peradilan Pidana Di Beberapa Negara, Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Yustisia, 2013.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Refika


Aditama, 2019.

Zulkarnain S, Teori-Teori Hukum Pidana Dan Kriminologi, Pekanbaru: Al-


Mujtahadah Press, 2016.

Peraturan perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab Perawatan
Tahanan.

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan


Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

Jurnal
Ahmad Sanusi, Pelaksanaan Fungsi Cabang Rumah Tahanan di Luar
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jurnal Ilmiah Kebijakan
Hukum, Vol. 10 No. 2, 2016.

Ismail Pettanase, Pembinaan Narapidana Dalam Sistem Pemasyarakatan, Jurnal


Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang, Vol. 17 No. 1,
2019.
Jurhan Harahap, Kedudukan Rumah Tahanan Negara Sebagai Bagian Dari
Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Skripsi Fakultas Sosial Sains
UNPAB, Vol. 1 No. 1, 2019.
Mitro Subroto, Kukuh Al Akbar, Strategi Pembinaan Terhadap Narapidana Di
Dalam Rutan, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, Vol. 9 No.
3, 2021.

Rakei Yunardhani, Efektivitas Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, Jurnal


Sosiologi, Vol. 15 No. 2, 2018.

Ronny Adrianus Sinlae, Pemberian Hak Atas Pelayanan Kesehatan Bagi


Narapidana Yang Menderita Sakit Berat Di Lembaga Pemasyarakatan
Kabupaten Dompu, Jurnal, 2016.

Tenofrimer, Riki Afrizal, Penguatan Aspek Perlindungan Hak Tahanan Melalui


Pengaturan Fungsi Pelayanan Tahanan Dalam Undang-Undang
Pemasyarakatan, UNES Journal of Swara Justisia, Vol. 6 No. 4, 2023.

Internet
http://Lapaskualatungkal.blogspot.co.id/2013/11/lembaga-pemasyarakatan-
disingkat-lp.html, diakses pada tanggal 13 April 2023, Pukul 22.41 WIB.

https://Lapas-lamongan.com/2021/07/26/apa-itu-Lapas/, diakses pada tanggal 13


April 2023, Pukul 23.00 WIB.

https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-22-2022-pemasyarakatan, diakses pada


tanggal 10 April 2023, Pukul 01.45 WIB.

Anda mungkin juga menyukai