Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial karena di dalam dirinya
terdapat dorongan untuk berhubungan (interaksi) dengan manusia lain.
Interaksi yang demikian dilakukan manusia demi memenuhi kebutuhan
hidupnya. Salah satu kebutuhan yang erat kaitannya, yaitu kebutuhan
sosial (social need) untuk hidup berkelompok dengan orang lain. Hal
tersebut seringkali didasari oleh kesamaan ciri atau kepentingan.
Dalam interaksi antarmanusia, tentu saja tidak semuanya berjalan
dengan baik. Di tengah interaksi itu, akan selalu ada konflik atau
ketegangan antara kepentingan perorangan serta antara kepentingan
perorangan dengan kepentingan masyarakat (Sudikno Mertokusumo,
Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty Yogyakarta, 2003, hlm 41.).
Oleh karena itu, perlu diingat negara memiliki kewajiban mengatur agar
keamanan terjamin, terdapat perlindungan atas kepentingan-kepentingan
masyarakat, dan tercapai kebahagiaan yang merata, bukan hanya satu
golongan masyarakat saja, melainkan juga seluruh penduduk negara
(C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 31.).
Untuk mengatur kepentingan-kepentingan masyarakat, negara
menciptakan hukum di dalamnya. Hukum menyesuaikan kepentingan
perorangan dengan kepentingan masyarakat sebaik-baiknya, berusaha
mencari keseimbangan antara memberi kebebasan individu dan
melindungi masyarakat terhadap kebebasan individu. Pertentangan
kepentingan membuka kemungkinan terjadinya pertikaian, kekerasan,
bahkan peperangan. Oleh sebab itu, hukum mempertahankan perdamaian
dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan
mengadakan kepentingan di antaranya. Hukum hanya dapat mencapai
tujuan jika menuju peraturan yang adil, artinya pada peraturan itu terdapat
keseimbangan atas kepentingan-kepentingan yang dilindungi, setiap orang
memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya (L.J van
Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hlm
11.).
Pemerintah telah mengatur sedemikian rupa mengenai proses
penegakan hukum agar tidak terjadi ketimpangan hukum dalam proses
menjalankan hukum. Namun, seperti yang kita ketahui, segilintir aparat
negara yang menjalankan hukum di Indonesia tidak menerapkan landasan
hukum. Mayoritas dari mereka melakukan pelayanan sesuai dengan
kebiasaan yang telah menjadi budaya di instansi masing-masing sehingga
terjadi pergolakan akibat oknum penegak hukum itu sendiri.
Akibat konflik kepentingan sebagian masyarakat yang melanggar
hukum negara dihilangkan sementara kemerdekaannya atau diadili oleh
negara melalui lembaga pemasyarakatan. Perampasan kemerdekaan
mengandung ciri khas, yaitu dia (terpidana) adalah sementara. Pada
akhirnya, terpidana tetap ada atau menjadi bagian di antara kita (Barda
Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2002, hlm. 56.).
Di Indonesia, lembaga pemasyarakatan (lapas) sudah berbeda
pengertian dengan penjara. Lembaga pemasyarakatan diartikan sebagai
instrumen negara dalam upaya memasyarakatkan kembali narapidana yang
melanggar aturan hukum dan norma-norma yang hidup dalam bernegara
dan bermasyarakat. Hukuman bagi narapidana semata-mata ditujukan
untuk memberikan efek jera sekaligus usaha membuat narapidana sadar
atas kesalahannya dan memperbaiki diri di kemudian hari. (Barda Nawawi
Arief. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta. 2009, hal. 87. (selanjutnya
disebut Barda Nawawi Arief 1)). Maka dari itu, dapat dikatakan lembaga
pemasyarakatan sebagai institusi sosial seharusnya menjadi tempat
narapidana memperbaiki diri agar tidak mengulangi kesalahannya. Hal ini
selaras dengan yang termuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang menyatakan “Sistem
pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk narapidana
agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri
dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dan berperan aktif dalam pembangunan serta
dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan
bertanggungjawab.” Subsistem lembaga pemasyarakatan sebagai
subsistem terakhir dari sistem peradilan pidana memiliki fungsi
melaksanakan pembinaan terhadap para terpidana, khususnya pidana
pencabutan kemerdekaan seseorang (Penny Naluria Utami, Keadilan Bagi
Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan (Justice for Convicts at the
Correctionl Institutions), Jurnal Penelitian Hukum De Jure.Volume 17,
Nomor 3, September 2017, hal 382.).
Di lembaga pemasyarakatan, sering dijumpai adanya kekerasan,
baik antara petugas dan narapidana, maupun sesama tahanan dan
narapidana. Perbuatan tersebut sebenarnya sudah jelas dilarang dalam
perundang-undangan. Kekerasan di dalam lembaga pemasyarakatan tidak
terlepas dari lemahnya sistem keamanan bagi narapidana, overcapacity,
diskriminasi, dan saling ejek antarnarapidana. Posisi petugas keamanan
dan petugas pembina narapidana yang sangat penting pada
penanggulangan tindak pidana maupun tindak kekerasan, baik
antarnarapidana maupun narapidana dengan petugas lembaga
pemasyarakatan, seharusnya dapat memberikan pelayanan yang baik
dalam membina narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan. Untuk itu,
dibutuhkan sistem keamanan yang kuat agar dapat menjamin keamanan
narapidana dan petugas lembaga pemasyarakatan selama berada di lapas
(Ribka Tinangon.Penganiayaan Warga Binaan Oleh Pegawai Sipir Pada
Lembaga Pemasyarakatan Menurut Pasal 351 KUHP, Jurnal Lex Et
Societatis Vol. VI/No. 2/April/Fakultas Hukum Unsrat 2018. hal 13).
Tindak kekerasan yang dilakukan antarnarapidana dapat
menciderai proses hukum yang berlangsung bagi narapidana itu sendiri.
Selain itu, kekerasan melanggar hak-hak yang melekat pada diri
narapidana. Dalam hal ini, negara harus menjamin keamanan warga
negaranya, walaupun warga negara tersebut dalam keadaan diambil
kebebasannya. Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menjunjung tinggi
hak asasi manusia sebagaimana yang ditegaskan dalam UUD 1945 bahwa
Republik Indonesia adalah negara yang berdasar hukum, selalu menjamin
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis
tertarik untuk meneliti tentang “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP
TINDAK KEKERASAN ANTARNARAPIDANA DI DALAM
LEMBAGA PEMASYARAKATAN”. Dalam hal ini, penulis ingin
mengetahui lebih tentang penegakan hukum di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Yogyakarta dalam menangani tindak kekerasan antarnarapidana
di dalam lembaga pemasyarakatan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya,
maka rumusan masalah yang akan diteliti, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana mekanisme penegakan hukum terhadap narapidana yang
melakukan tindak kekerasan kepada sesama narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Yogyakarta?
2. Bagaimana sanksi terhadap pelaku kekerasan antarnarapidana di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Yogyakarta?
3. Bagaimana upaya lembaga pemasyarakatan dalam memberikan
perlindungan hukum kepada narapidana dari tindak kekerasan
antarnarapidana di dalam Lapas Klas IIA Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka yang menjadi
tujuan penelitian, yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui mekanisme penegakan hukum terhadap narapidana
yang melakukan kekerasan kepada sesama narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Yogyakarta.
2. Untuk mengetahui sanksi terhadap tindak kekerasan antarnarapidana di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Yogyakarta.
3. Untuk mengetahui upaya lembaga pemasyarakatan dalam memberikan
perlindungan hukum kepada narapidana dari tindak kekerasan
antarnarapidana di dalam Lapas Klas IIA Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah manfaat yang
bersifat akademik, teoritis dan praktis.
1. Manfaat Akademik
Memenuhi tugas dalam menyelesaikan Pendidikan Sarjana Hukum di
Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sebelas
Maret.
2. Manfaat Teoritis
Menambah khazanah ilmu pengetahuan yang lebih konkrit. Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa pemikiran secara
ilmiah demi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya
dan pengkajian hukum pada khususnya yang memiliki kaitan dengan
penegakan hukum pidana bagi narapidana yang melakukan tindak
kekerasan terhadap sesama narapidana.
3. Manfaat Praktis
a. Bagi masyarakat:
Memberikan informasi atau wawasan mengenai peran lembaga
pemasyarakatan, hak-hak narapidana, dan bentuk perlindungan
bagi narapidana supaya masyarakat tidak berpikiran negatif kepada
penghuni lapas. Masyarakat diharapkan dapat turut memberikan
peran dalam pembinaan mantan narapidana dengan sikap bersedia
menerima kembali dan menghargai mantan narapidana selayaknya
masyarakat lainnya.
b. Bagi akademisi:
Memberikan tambahan informasi atau wawasan mengenai
penegakan hukum tindak kekerasan antarnarapidana di dalam
lembaga permasyarakatan.
c. Bagi penulis:
Memberikan pengalaman berharga, wawasan ilmu hukum,
terutama ilmu hukum pidana, dan ilmu pengetahuan mengenai
penegakan hukum tindak kekerasan antarnarapidana di dalam
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Yogyakarta.
d. Petugas lapas:
Memberikan masukan pengetahuan atau wawasan mengenai hak-
hak dan tugas-tugas petugas lapas dalam membina dan mengayomi
narapidana serta memberikan antisipasi dari faktor-faktor yang
menimbulkan kekerasan untuk mencegah tindak kekerasan
antarnarapidana di dalam lembaga pemasyarakatan.
e. Bagi narapidana:
Memberikan informasi mengenai hak-hak narapidana di dalam
lembaga pemasyarakatan dan perlakuan yang seharusnya
diperoleh, yaitu dengan tidak adanya diskriminasi sesama
narapidana serta mendapat pembinaan dan perlindungan yang
layak dari pihak lembaga pemasyarakatan demi terciptanya
kedamaian di dalam lingkungan lembaga pemasyarakatan.
f. Bagi pemerintah:
Memberikan pemikiran dan solusi dalam menindaklanjuti
narapidana pelaku kekerasan di dalam lembaga pemasyarakatan
dan memberikan bantuan terkait upaya-upaya yang bisa dilakukan
dalam penanggulangannya.

E. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian
Sifat yang digunakan adalah penelitian ini bersifat penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang
manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk
mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-
teori lama, atau didalam kerangka menyusun teori. (Soerjono Soekanto, Pengantar
Penelitian Hukum, UI-Pers, Jakarta, 2014, hal. 41.)

Penelitian deskriptif tersebut menggambarkan peraturan yang berlaku yang


kemudian dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktik pelaksanaan hukum
positif yang menyangkut penegakan hukum pidana bagi narapidana yang
melakukan penganiayaan terhadap sesama narapidana.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini

merupakan yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris merupakan penelitian


permasalahan mengenai hal-hal yang bersifat yuridis dan didasarkan atas fakta-
fakta yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dengan mengacu kepada
perilaku masyarakat yang ada (Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar
Grafika, Jakarta, 2009, hal. 105)

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu studi pustaka (library
reseach). Studi ini dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, mencatat,
memahami dan mengutip data-data yang diperoleh dari para ahli sarjana berupa
buku-buku dan peraturan hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan. Selain itu
teknik pengumpulan data juga berupa studi lapangan (field research) dengan alat
pengumpulan data berupa wawancara kepada informan yang berasal dari lembaga
pemasyarakatan baik narapidana maupun sipir. Teknik wawancara yaitu teknik
pengumpulan data melalui pembicaraan secara

langsung atau lisan untuk mendapatkan jawaban, tanggapan serta informasi yang
diperlukan.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan,
meliputi:

a. Studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan dilakukan guna


memperoleh atau mendapatkan atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-
asas dan hasil-hasil permikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian yang akan dibahas.

b. Studi lapangan (field research). Pedoman pengumpulan data selain secara


pengamatan dapat diperoleh dengan mengadakan wawancara informasi diperoleh
langsung dari inporman dalam hal ini mewawancarai dengan cara tatap muka.
Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara tatap muka dengan informan menggunakan alat yang dinamakan
panduan wawancara. Sehingga penelitian ini berusaha menggali informasi dari
informan yang berkaitan dengan judul skripsi. Wawancara dilakukan kepada
Kepala lembaga pemasyarakatan dan narapidana.

4. Jenis Data

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data primer
dan data sekunder. Data primer didapat dengan melihat dan meneliti penegakan
hukum pidana bagi narapidana yang melakukan penganiayaan terhadap sesama
narapidana, serta dengan melalui hasil wawancara dengan informan yang terlibat
langsung dengan penegakan hukum pidana bagi

narapidana yang melakukan penganiayaan terhadap sesama narapidana. Data


sekunder merupakan data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan
mempelajari:

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum berupa peraturan perundang-


undangan, dokumen resmi yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan
permasalahan, yaitu :

b.

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;

3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 58 tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaan Hak Wewenang Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan

Tahanan;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan

Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan;

7. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013

Tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan Dan Rumah Tahanan

Negara;

Bahan hukum sekunder yaitu semua bahan hukum yang merupakan publikasi
dokumen tidak resmi seperti pendapat para ahli, karya ilmiah, jurnal dan
penelitian terdahulu berkaitan dengan judul skripsi ini.

c. Bahan hukum tertier yaitu berupa petunjuk atau penjelasan tentang bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia,
majalah, surat kabar dan sebagainya.19

5. Analisis data

Analisis data yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis secara
kualitatif, yaitu dengan kegiatan ini diharapkan akan dapat mempermudah
penulisan dalam menganalisa permasalahan yang diajukan, menafsirkan dan
kemudian menarik kesimpulan.20

Data sekunder dan data primer yang diperoleh dari penelitian dianalisis dengan
metode kualitatif, data yang diperoleh dari bahan hukum yang berasal dari
peraturan perundang-undangan di bidang lembaga pemasyarakatan untuk
memperoleh gambaran mengenai penegakan hukum pidana bagi narapidana yang
melakukan penganiayaan terhadap sesama narapidana dengan terlebih dahulu
diklasifikasikan kemudian ditafsirkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Kemudian membuat klasifikasi dari data, sehingga akan menghasilkan
klasifikasi sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian
secara sistematis pula, semua data diseleksi, ditulis secara analisis, sehingga dapat
memberikan kesimpulan dan saran pada pokok permasalahan yang ditelaah
sebagai solusi yang diungkapkan secara deduktif.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Penegakan hukum

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan secara


rasional, memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna. Dalam rangka
menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat
diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum
pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana
pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan
politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa- masa yang akan datang. (Barda Nawawi Arief, Kebijakan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hal 109. (Selanjutnya disebut
Barda Nawawi Arief 2))

Penegakan hukum sebagaimana dirumuskan oleh Abdul Kadir Muhamad adalah


sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, mengawasi
pelaksanaanya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran,
memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali. Pengertian itu
menunjukkan ba hwa penegakan hukum itu terletak pada aktifitas yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum. Aktifitas penegak hukum ini terletak pada upaya
yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan norma-norma yuridis. Mewujudkan
norma berarti menerapkan aturan yang ada untuk menjerat atau menjaring siapa
saja yang melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum menjadi kata kunci
yang menentukan berhasil tidaknya misi penegakan hukum (law enforcement).
(Abdul Wahid, et.al. Republik “Kaum Tikus”; Refleksi Ketidakberdayaan Hukum
dan Penegakan HAM, Cet I, Edsa Mahkota, Jakarta, 2015, hal 15-16)

B. Tindak Pidana

Tindak pidana yaitu perbuatan melakukan atau tidak melakukan oleh peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam
pidana. Pembentukan undang-undang menggunakan perkataan strafbaar feit untuk
menyebutkan, tindak pidana didalam Kitab Undang-Undang Huk um Pidana
(KUHP). Perkataan feit dalam bahasa Belanda berarti “sebagai suatu kenyataan”,
sedangkan strafbarr berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah, perkataan
“starbaar feit”, itu dapat diterjemahkan sebagai dari suatu kenyataan yang dapat
dihukum”, sifat penting dari tindak pidana starbaar feitialahonrechtmatigheid atau
sifat melanggar hukum dari suatu perbuatan.(Barda Nawawi Arief. Masalah
Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggukangan Kejahatan. Citra Aditya
Bakti.Bandung.2011, hal 23.(selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief 3))

Asas-asas hukum pidana di Indonesia mengemukakan bahwa suatu tindak pidana


adalah pelanggaran normo-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu hukum
perdata, hukum tata negara, dan hukum tata usaha negara yang oleh pembentuk
undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana kepada pelaku tindak
pidana.(Wirjono Prodjodikoro, Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Aditama,
Bandung, 2012, hal 1)

Unsur-unsur dalam tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua sudut pandang,
yakni : 1. Dari sudutt teoritis; dan 2. Dari sudut Undang-Undang. Teroritis
berdasarkan pendapat para ahli hukum, sementara sudut dari undang- undang
adalah bagaimana kenyataan dari tindak pidana dirumuskan dan menjadi tindak
pidana tertentu dalam pasal-pasal dan peraturan perundang- undangan yang
ada.24

Dalam praktik hukum pidana, untuk memidanakan terdakwa dalam sidang


pengadilan dengan dakwaan melakukan tindak pidana tertentu, maka mutlak harus
disyartkam terpenuhinya unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana. Unsur-
unsur tersebut adalah (Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 61.):

a) Perbuatan Manusia;

b) Memenuhi rumusan Undang-Undang;

c) Bersifat Melawan Hukum.

Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah26:

a) Perbuatan;

b) Yang Dilarang (oleh aturan hukum);

c) Ancaman Pidana (bagi yang melanggar larangan).

Menurut R. Tresna, unsur tindak pidana adalah27:

a) Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia0;


 

b) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

c) Diadakan tindakan penghukuman.

Menurut Simos, unsur tindak pidana adalah (Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum
Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta,2004, hlm. 88.)

a) Diancam dengan pidana oleh hukum;

b) Bertentangan dengan hukum;

c) Dilakukan oleh orang yang bersalah;

d) Orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.

Dari unsur-unsur diatas, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan


yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan).

Walaupun dari tiga rumusan di atas tampak berbeda-beda, pada hakikitanya ada
persamaannya, yaitu : tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai
perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya. Sedangkan unsur
rumusan dalam tindak pidana dalam Undang-Undang ada 2 yaitu : unsur subjektif
yang ada pada pelaku, dan unsur objektif adalah perbuatan manusia, akibat, dan
keadaan.

Dari rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP, diketahui ada 11 unsur dalam
tindak pidana yaitu29:
a) Unsur tingkah laku;

b) Unsur melawan hukum;

c) Unsur kesalahan;

d) Unsur akibat konstitutif;

e) Unsur keadaan yang menyertai;

f) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;

g) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;

h) Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana;

i) Unsur objek hukum tindak pidana;

j) Unsur kualitas subjek hukum pidana;

k) Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

 
Dari 11 unsur tersebut, ada dua unsur diantaranya yaitu, kesalahan dan melawan
hukum yang termasuk dalam unsur subjektif, sedangkan selebihnya merupakan
unsur objektif.

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Tindak pidana dapat dibagi-bagi dengan menggunakan berbagai kriteria.


Pembagian ini berhubungan erat dengan berat atau ringanya ancaman, sifat, dan
bentuk perumusan suatu tindak pidana. Pembedaan ini saling berkaitan dengan
ajaran-ajaran umum hukum pidana dan yang berhubungan dengan akibat-akibat
hukum yang penting. (E.Y Kanter & S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di
Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, 2002, hlm. 228.)

Tindak pidana tersebut dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu


sebagai berikut:31

a) Berdasarkan sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dan


pelanggaran (overtrendingen);

b) Berdasarkan cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil


(formeel delicten) dan tindak pidana materill ( materieel delicten);

c) Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja


(doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten);

d) Berdasarkan macam perbuatannya, dibedakan antara tindak pidana aktif


(delicta commissionis) dan tindak pidana pasif (delicta omissionis);

e) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, dibedakan antara tindak pidana
terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung
lama/berlangsung terus

f) Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan


tindak pidana khusus;
g) Berdasarkan sudut subjek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana
communia (delicta communia), yang dapat dilakukan oleh siapa saja, dan tindak
pidana propria (delicta propria), yang dilakukan oleh orang memiliki kualitas
pribadi tertentu;

h) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan maka dibedakan


antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht
delicten);

i) Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan


antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang
diperberat (gequalificeerde delicten), dan tindak pidana yang diperingan
(gepriviligieerde delicten);

j) Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak


terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti
tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana
pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain
sebagainya;

k) Berdasarkan sudut dari beberapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,
dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak pidana
berangkai (samengestelde delicten).

C. Narapidana

Narapidana merupakan suatu bahasa yang erat kaitannya dengan dunia hukum.

Di dalam kamus hukum arti narapidana adalah orang yang menjalani pidana
dalam lembaga pemasyarakatan.(Sudarsono, Kamus Hukum, Asdi Mahastya,
Jakarta, 2009, hal. 293)
Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang
dimaksud narapidana yaitu narapidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan
di lembaga pemasyarakatan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa narapidana adalah

terpidana harus menjalani pidana kurungan sehingga pencabutan kemerdekaan


bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan.

Narapidana merupakan subjek hukum yang tidak berbeda dari manusia lainnya
yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat
dikenakan pidana, sehingga tidak harus dijauhi atau dipandang sebelah mata.
(Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, PT. Refika
Aditama, Bandung, 2006, hlm. 103.)

Narapidana selama dalam masa binaan di Lembaga Pemasyarakatan, dalam hak-


haknya kurang mendapat perhatian, khususnya perlindungan hak- hak asasinya
sebagai manusia. Untuk itu dalam Undang-undang No. 12 tahun 1995 Pasal ( 14 )
secara tegas menyatakan narapidana berhak:

a) Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;

b) Mendapat perawatan baik rohani maupun jasmani;

c) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak ;

e) Menyampaikan keluhan;

f) Mendapatkan buku bacaan dan diperbolehkan mengikuti siaran media massa


lainnya yang tidak dilarang;
g) Mendapatkan upah atau premi daru pekerjaan yang dilakukan;

h) Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya;

i) Mendapatkan pengurangan masa pidana;

j) Mendapatkan kesempatan berasimilasi ternasuk cuti mengunjungi keluarga;

k) Mendapatkan pembebasan bersyarat;

l) Mendapatkan cuti menjelang bebas;

m) Mendapatkan hak-hak Narapidana sesuai dengan peraturan perundang-


undangan yang berlaku.

Lebih khusus lagi, mengenai hak-hak narapidana itu diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun, dan diubah kedua kalinya oleh Peraturan Pemerintah
Nomor 99 Tahun 2012.

Sebagai wujud perlindungan hak narapidana, Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia bahkan mengeluarkan peraturan khusus mengenai pengadaan bahan
makanan bagi narapidana, yakni Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi
Manusia Nomor M.HH-172.PL.02.03 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengadaan
Bahan Makanan Bagi Narapidana, Tahanan, Dan Anak Didik Pemasyarakatan
Pada Lembaga Pemasyarakatan Dan Rumah Tahanan Negara Di Lingkungan
Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia.20
D. Kekerasan

Kekerasan merupakan tindak perilaku sosial yang menyimpang dalam kehidupan


bermasyarakat. Menurut Salim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991)
istilah “kekerasan” berasal dari kata “keras” yang berarti kuat, padat dan tidak
mudah hancur, sedangkan bila diberi imbuhan “ke” maka akan menjadi kata
“kekerasan” yang berarti: (1) perihal/sifat keras, (2) paksaan, dan (3) suatu
perbuatan yang menimbulkan kerusakan fisik atau non fisik/psikis pada orang
lain. Sedangkan menurut penjelasan dalam KUHP pasal 89, kekerasan berarti
mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil atau sekuat
mungkin secara tidak sah sehingga orang yang terkena tindakan itu merasakan
sakit yang sangat. Dalam artian membuat orang pingsan atau tidak berdaya
disamakan dengan menggunakan kekerasan55.

 Macam-macam Kekerasan

a) Kekerasan Fisik : merupakan kekerasan nyata yang dilakukan dengan


menyerang secara langsung tubuh atau fisik seseorang dan menimbulkan luka atau
kematian, seperti pemukulan, penganiayaan, dan pembunuhan.

b) Kekerasan Psikologis : merupakan kekerasan nyata yang ditujukan pada hati


atau jiwa seseorang untuk melemahkan kepercayaan diri mereka, seperti
kebohongan, penghinaan, pengancaman, dan penekanan batin.

c) Kekerasan Struktural : merupakan kekerasan yang dititikberatkan pada


stabilitas tertentu dan tidak tampak, dan biasanya dilakukan secara berkelompok
atau individu, seperti contoh lemahnya sistem dalam pemerintahan, korupsi, dan
kerugian masyarakat.60

Bentuk-Bentuk Kekerasan

 
a) Kekerasan Individu : merupakan kekerasan yang dilakukan oleh satu orang dan
diarahkan kepada satu individu atau lebih.

b) Kekerasan Kolektif : merupakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota


kelompok secara bersamaan.61

c) Kekerasan Langsung : merupakan kekerasan yang dilakukan secara langsung


kepada pihak-pihak yang ingin dicelakai, kekerasan ini dapat dilakukan secara
individu maupun kolektif.

d) Kekerasan Tidak Langsung : merupakan kekerasan kekerasan yang dilakukan


seseorang terhadap orang lain melalui sarana atau objek yang ditentukan,
kekerasan ini dapat dilakukan secara individu maupun kolektif.

5. Jenis-Jenis Kekerasan

a) Kekerasan Terbuka: merupakan kekerasan yang dapat diihat dan nyata terjadi
secara langsung, seperti perkelahian.

b) Kekerasan Tertutup : merupakan kekerasan yang tersembunyi dalam


tindakannya, atau tidak dilakukan secara langsung, seperti perilaku mengancam

c) Kekerasan Agresif : merupakan kekerasan yang dilakukan untuk perlindungan,


tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan.

d) Kekerasan Defensif : merupakan kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan


perlindungan diri.

Macam-Macam Perilaku Kekerasan

Kejahatan kekerasan di dalam KUHP, pengaturannya tidak satukan dalam satu


bab khusus, akan tetapi terpisah-pisah dalam bab tertentu. Didalam KUHP
kejahatan kekerasan dapat digolongkan sebagai berikut :

a) Kejahatan terhadap nyawa orang lain pasal 338-350 KUHP


 

b) Kejahatan Penganiayaan pasal 351-358 KUHP

c) Kejahatan seperti Pencurian, Penodongan, Perampokan pasal 365 KUHP

d) Kejahatan terhadap Kesusilaan, khususnya pasal 285 KUHP

e) Kejahatan yang menyebabkan kematian atau luka karna kealpaan, pasal 359-
367 KUHP

Adapun bentuk-bentuk kejahatan kekerasan adalah sebagai berikut:

a) Kejahatan pembunuhan

b) Kejahatan penganiayaan berat

c) Kejahatan pencurian dengan kekerasan

d) Kejahatan perkosaan

e) Kejahatan kekerasan terhadap ketertiban umum

E. Lembaga pemasyarakatan

Lembaga pemasyarakatan sebenarnya merupakan suatu lembaga yang

dahulunya dikenal sebagai rumah penjara, yakni dimana orang-orang telah


dijatuhi dengan pidana tertentu oleh hakim. Pasal 1 ayat (2) Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang dimaksud dengan sistem
pemasyarakatan adalah “Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara
pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang
dilaksanakan secara terpadu antara terpadu pembina, yang dibina, dan masyarakat
untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari
kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertangung jawab”.

Selain Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 mengenai Pemasyarakatan, ada


peraturan perundang-undangan lain yang mengatur mengenai lembaga
pemasyarakatan yaitu :

a. Instruksi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:
M.HH-02.OT.03.01 Tahun 2013 Tentang Upaya Peningkatan Kewaspadaan,
Pencegahan, Dan Penanganan Terhadap Potensi Gangguan Keamanan dan
Ketertiban Di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.

b. Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia


Nomor: M.01.PL.01.01 Tahun 2003 Tentang Pola Bangunan Unit Pelaksana
Teknis Pemasyarakatan.

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 Tentang


Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang
Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

d. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan
Negara.

e. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 2013 Tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Pemuka Dan Tamping
Pada Lembaga Pemasyarakatan.
f. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
21 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti
Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti
Bersyarat.

g. Surat Edaran Direktur Jendral Pemasyarakatan Nomor: PAS- 55.PK.01.04.01


Tahun 2013 Tentang Peningkatan Sabilitas Keamanan dan Ketertiban Di Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan.

h. Surat Edaran Direktur Jendral Pemasyarakatan Nomor: PAS- 458.PK.01.04.01


Tahun 2013 Tentang Peningkatan Kewaspadaan Selama Natal dan Tahun Baru
2014.

i. Surat Edaran Direktur Jendral Pemasyarakatan Nomor: PAS- 30.PK.01.04.01


Tahun 2013 Tentang Tindak Lanjut Hasil Penggeledahan Barang-Barang
Terlarang Di Lapas, Rutan, dan Cabang Rutan.

j. Surat Edaran Direktur Jendral Pemasyarakatan Nomor: PAS PK.01.04.02.03


Tentang Hasil Analisa Intelijen dan Penegakan Hukum Satgas Penindakan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Anda mungkin juga menyukai