Anda di halaman 1dari 67

Halaman Judul

PELAKSANAAN ASIMILASI BAGI NARAPIDANA TINDAK PIDANA


KORUPSI DALAM KERANGKA REINTEGRASI SOSIAL DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KELAS IIA GORONTALO

Proposal Penelitian

Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Penelitian Skripsi

Oleh:
Feriyanto Mayulu
NIM. …………

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM, SOSIAL DAN PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS NAHDATUL ULAMA GORONTALO
2020

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 11
D. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 12
E. Telaah Pustaka ................................................................................................ 12
F. Sistimatika Pembahasan .................................................................................. 14
BAB II. KAJIAN TEORI ........................................................................................... 16
A. Asimilasi ......................................................................................................... 16
B. Reintegrasi Sosial ............................................................................................ 23
C. Korupsi ............................................................................................................ 27
D. Hakikat Lembaga Pemasyarakatan ................................................................. 38
E. Pembinaan Narapidana.................................................................................... 47
BAB III. METODE PENELITIAN .......................................................................... 61
A. Jenis Penelitian ................................................................................................ 61
B. Metode Pengumpulan Data ............................................................................. 62
C. Analisis Data ................................................................................................... 63
D. Lokasi Penelitian ............................................................................................. 64
E. Kehadiran Peneliti ........................................................................................... 64
F. Tahap-tahap Penelitian .................................................................................... 65

ii
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum, seperti yang

tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat 3 bahwa Negara

Indonesia adalah negara hukum, maka penegakan hukum di Indonesia sepenuhnya

menjadi tanggung jawab negara, yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga

penegakan hukum di Indonesia, seperti: 1) Kepolisian yang mengurusi proses

penyidikan. 2) Kejaksaan yang mengurusi proses penuntutan. 3) Kehakiman yang

mengurusi proses penjatuhan pidana atau vonis. 4) Lembaga Pemasyarakatan

yang membina narapidana selama menjalani masa pidana.1

Selain Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila sebagai dasar negara di

dalam sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” menjamin

bahwa manusia Indonesia diperlakukan secara adil dan beradab meskipun

berstatus sebagai narapidana. Selain itu, pada sila kelima mengatakan bahwa

“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” berarti meskipun menjadi

narapidana berhak untuk mendapatkan hak- haknya seperti kesempatan

berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain layaknya kehidupan manusia

secara normal.

Menurut Romli Atmasasmita, dengan mengutip pendapat Mardjono

Reksodiputro bahwa salah satu tujuan sistem peradilan pidana adalah

“mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan tindak pidana tidak

1
Sarli Zulhendra, Panduan Hukum: Pengetahuan Tentang Aparat Penegak Hukum.
http://www.solider.or.id/2014/07/14/panduan-hukum-pengetahuan-tentang-aparat-penegak-hukum diunduh
tanggal 21 Oktober 2017 jam 5.27
1
2

mengulangi lagi kejahatannya.”2 Di Indonesia pelaku tindak pidana yang telah

dijatuhi vonis oleh hakim berupa pidana penjara, selanjutnya vonis hakim tersebut

akan dilaksanakan oleh jaksa dan dilimpahkan ke Lembaga Pemasyarakatan.

Pidana penjara ini dilaksanakan dengan memenjarakan seseorang dalam batas

waktu tertentu sehingga ia tidak bebas dalam melakukan aktivitasnya

dimasyarakat seperti sediakala.3Tempat yang digunakan dalam memenjarakan ini

adalah Lembaga Pemasyarakatan atau yang lebih dikenal dengan sebutanLapas.

Dengan penggantian istilah “Penjara” menjadi “Lembaga

Pemasyarakatan” tentu terkandung maksud baik yaitu bahwa pemberian maupun

pengayoman warga binaan tidak hanya terfokus pada itikad menghukum

(FunitifIntend) saja melainkan suatu berorientasi pada tindakan-tindakan yang

lebih manusiawi dan disesuaikan dengan kondisi dari warga binaan itu. Dengan

demikian tujuan pidana penjara itu adalah disamping menimbulkan rasa derita

pada terpidana dihilangkannya kemudahan bergerak, membimbing terpidana agar

bertobat dan mendidik supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosialis

Indonesia yang berguna, bahwa tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan.4

Lembaga Pemasyarakatan adalah suatu wadah oleh Pemerintah yang

diperuntukan bagi seluruh warga Indonesia yang melakukan pelanggaran dan

kejahatan diranah hukum pidana yang sebelumnya pemasyarakatan dikenal

dengan sistem penjeraan dan penghukuman bagi orang-orang yang berbuat

menyimpang yang dinamakan penjara. Dalam kaitannya antara penjara dan

2
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana : Perspektif Eksistensialisme Dan
Abolisionisme, (Jakarta : Bina Cipta, 1996), hal. 15.
3
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana : Reformasi Hukum, (Jakarta : PT
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008), hal. 125.
4
Lihat www.kemenkumhamri.go.id di akses pada tanggal 30 September 2017, Jam 13.15
3

sistem pemasyarakatan sama tetapi letak perbedaannya selain dalam sebutannya,

juga terdapat hal lain yang membedakan yaitu pemasyarakatan lebih dikenal

dengan sistem pengayoman dimana arah tujuan bagi orang yang melakukan

perbuatan menyimpang itu adalah tempat dilakukan pembinaan dan pengayoman

bagi orang yang dinyatakan bersalah.

Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

pemasyarakatan bahwa dalam hal memberikan pembinaan terhadap warga binaan

pemasyarakatan dan anak didik pemasyarakatan tentunya harus berdasarkan atas

Pencasila dan berlandaskan Peraturan Perundang-Undangan terkait hal ini.

Adapun aturan pokok pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan dan

anak didik pemasyarakatan sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor

12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah :

Melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem,

kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem

pemidanaan dalam tata peradilan pidana. selain itu juga sistem pemasyarakatan

mengatur tentang arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan

pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara

pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan

pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak

mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan

masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara

wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Sistem pembinaan

pemasyarakatan secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut :


4

1) Pengayoman

Adalah perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka

melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh

warga binaan pemasyarakatan juga memberikan bekal hidupnya kepada warga

binaan pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna didalam

masyarakat.

2) Persamaan perlakuan dan pelayanan

Adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada warga binaan

pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.

3) Pendidikan

Adalah dilaksanakan berdasarkan pancasila, antara lain pemberian porsi

pembinaan sesuai dengan kebutuhan, penanaman jiwa kekeluargaan,

keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan

ibadah.

4) Penghormatan

Adalah bahwa sebagai orang yang tersesat warga binaan pemasyarakatan

harus tetap diperlukan sebagai manusia.

5) Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-

orang tertentu Adalah walaupun warga binaan pemasyarakatan berada di

LAPAS, tetapi harus didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan

tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

Dalam melaksanakan pemasyarakatan yang menjunjung tinggi hak-hak

asasi pelaku kejahatan, tentunya hal ini bukan saja merupakan tugas institusi
5

pemasyarakatan, melainkan juga merupakan tugas pemerintah dan masyarakat.

Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan menentukan bahwa:

Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas

serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang

dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk

meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan,

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,

dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”

Sistem Pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan

hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari

pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan.

Pemasyarakatan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan

dalam tata peradilan pidana adalah bagian integral dari tata peradilan terpadu

(integrated criminal justice system).5 Dengan demikian, pemasyarakatan baik

ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara pembinaan, dan petugas pemasyarakatan,

merupakan bagian yang tak terpisahkan dari satu rangkaian proses penegakan

hukum.

Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas

pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas melalui

5
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi (Jakarta: Mandar
Maju, 1995), hal. 140.
6

pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi.Sejalan dengan peran Lembaga

Pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan yang

melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan

dalam Undang-undang ini ditetapkan sebagai Pejabat Fungsional Penegak

Hukum.

Sistem Pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan

Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk

melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh

Warga Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak

terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.6

Dalam sistem pemasyarakatan, Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan,

atau Klien Pemasyarakatan berhak mendapat pembinaan rohani dan jasmani serta

dijamin hak-hak mereka untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan dengan

pihak luar baik keluarga maupun pihak lain, memperoleh informasi baik melalui

media cetak maupun elektronik, memperoleh pendidikan yang layak dan lain

sebagainya.

Untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga

keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan

maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan

yang telah selesai menjalani pidananya. Menurut Undang - Undang Republik

6
Adi Sujatno, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri
(Jakarta:Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI, 2004), hal. 21.
7

Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Pasal 9 ayat 2 bahwa kerjasama dilakukan

dalam rangka meningkatkan kemampuan Warga Binaan Pemasyarakatan, antara

lain di bidang:

1. bakat dan keterampilan;

2. Kesadaran beragama;

3. Kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

4. Kesadaran hukum;

5. Kemampuan meningkatkan ilmu dan pengetahuan; dan

6. Keintegrasian diri dengan masyarakat.

Narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek yang tidak berbeda

dari manusia lainnya yang sewaktu - waktu dapat melakukan kesalahan atau

kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang

harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan Narapidana

berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau

kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana.7

Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan Narapidana atau Anak

Pidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga

masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral,

sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib,

dan damai.

7C.I. Harsono Hs, Sistem Baru Pembinaan Narapidana (Jakarta: Djambatan, 1995), hal. 18-19.
8

Anak yang bersalah pembinaannya ditempatkan di Lembaga

Pemasyarakatan Anak.Penempatan anak yang bersalah kedalam Lembaga

Pemasyarakatan Anak dipisah - pisahkan sesuai dengan status mereka masing-

masing yaitu Anak Pidana, Anak Negara, dan Anak Sipil.Perbedaan status anak

tersebut menjadi dasar pembedaan pembinaan yang dilakukan terhadap mereka.

Selanjutnya untuk menjamin terselenggaranya hak-hak tersebut, selain

diadakan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan yang secara langsung

melaksanakan pembinaan, diadakan pula Balai Pertimbangan Pemasyarakatan

yang memberi saran dan pertimbangan kepada Menteri mengenai pelaksanaan

sistem pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan yang memberi saran

mengenai program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di setiap Unit

Pelaksana Teknis dan berbagai sarana penunjang lainnya.

Adanya model atau cara pembinaan bagi Narapidana di dalam Lembaga

Pemasyarakatan tersebut tidak terlepas dari suatu dinamika, yang bertujuan

untuk lebih banyak memberi bekal bagi Narapidana dalam menyongsong

kehidupan setelah selesai menjalani masa hukumannya (bebas). Hal ini seperti

yang juga terjadi sebelumnya terhadap istilah penjara yang telah berubah

menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala

Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8/506 Tanggal 17 Juni 1964.

Namun demikian, setelah dirubahnya Sistem Kepenjaraan menjadi Sistem

Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan ada hal-hal yang dapat dilihat sebagai

suatu permasalahan yang bersifat umum apabila dilihat dari visi dan misi serta

tujuan dari pemasyarakatan tersebut sebagai tempat pembinaan Narapidana dan


9

agar keberadaan Narapidana tersebut dapat diterima kembali oleh masyarakat

sewaktu bebas. Sebagai contoh, meskipun sudah dirubahnya Sistem Kepenjaraan

menjadi Sistem Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan masih terdapat juga

pengulangan tindak pidana (residivis) oleh para Narapidana setelah selesai

menjalani Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Selain hal tersebut, efektif

atau tidak sistem yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan sehingga

Narapidana tersebut bisa berubah menjadi lebih baik setelah bebas.

Undang-undang Pemasyarakatan juga telah mengakui hak-hak Warga

binaan pemasyarakatan yang menjungjung tinggi hak asasi manusia, dalam

Undang undang No 12 Tahun 1995 tetang Pemasyarakatan pada Pasal 14 (1)

huruf J menyebutkan salah satu hak Narapidana adalah berhak mendapatkan

kesempatan berasimilasi termasuk termasuk cuti mengunjungi keluarga.

Pembinaan warga binaan pemasyarakatan dilaksanakan dengan dua cara:8

1. Pembinaan dengan intramural (di dalam LAPAS)

2. Pembinaan dengan ekstramural (di luar LAPAS)

Pembinaan secara ekstramural yang dilakukan di luar lapas disebut

asimilasi.Namun hal ini harus dibedakan dengan asimilasi dalalm arti sempit yaitu

pengenalan Warga Binaan Pemasyarakatan terhadap lingkungan Lapas/Rutan.

Apabila dikaitkan pelaksaan asimilasi dengan ketentuan pasal 9 yang

menyebutkan “ Dalam rangka penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan

Warga Binaan Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan kerjasama dengan

8
Penjelasan Pasal 6 Undang-undang pemasyarakatan
10

instasi pemerintah terkait, badan-badan kemasyarakatan lainnya, atau peroranga

yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaran sistem pemasyarakatan.

Melihat dari ketentuan hukum yang telah dikemukakan maka pelaksanaan

asimilasi Warga Binaan Pemasyarakatan yang bekerja dipihak ketiga baik

perseorangan maupun badan hukum telah melibatkan berbagai pihak yang harus

bekejasama dan bertanggung jawab penuh dalam melakukan pembinaan dan

bimbingan yaitu:

1. Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) atau Rumah Tahanan Negara (RUTAN)

2. Balai Pemasyarakatan (BAPAS)

3. Perusahaan/perseorangan/lembaga sosial

4. Keluarga Warga Binaan Pemasyarakatan

5. Masyarakat

6. Warga Binaan Pemasyarakatan itu sendiri

Melihat adanya pola pembinaan Narapidana korupsi yang dilakukan diluar

Lapas/Rutan (esktra mural) dengan cara bekerja di suatu Lembaga Sosial, maka

perlu suatu kajian hukum mendalam terhadap syarat, pelakanaan kontrak kerja

antara pihak Lapas/ Rutan dengan Lembaga Sosial dan tanggung jawab Lembaga

Sosial sebagai pihak yang mempekerjakan Warga Binaan Pemasyarakatan

Narapidana Korupsi sebagai upaya reintegrasi sosial, serta kendala-kendala yang

timbul dalam pelaksanaan asimilasi WBP pelaku tindak pidana korupsi sehingga

akhirnya Narapidana Korupsi setelah selesai menjalankan masa hukumannya

maka akan diterima sebagai warga masyarakat sedia kala yang mampu hidup

mandiri, bertanggung jawab, tidak mengulangi perbuatan jahat dan mampu


11

berperan aktif dalam membangun keluarga bahagia, dan turut serta dalam

pembangunan masyaarakat, Bangsa dan Negara.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka

permasalahan pokok yang hendak dibahas dalam penelitian ini adalah

“Pelaksanaan Asimilasi Bagi Narapidana Korupsi Dalam Kerangka

Reintegrasi Social di Lapas Kelas IIA Gorontalo”Permasalahan pokok ini

selanjutnya diurai dalam tiga bentuk sub pokok masalah yaitu:

1. Bagaimana Pelaksanaan Asimilasi Bagi Narapidana Korupsi Dalam

Kerangka Reintegrasi Social di Lapas Kelas IIA Gorontalo?

2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam Pelaksanaan

Asimilasi Bagi Narapidana Korupsi Dalam Kerangka Reintegrasi Social di

Lapas Kelas IIA Gorontalo?

3. Upaya-upaya apa saja yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A

Gorontalo dalam mengatasi hambatan-hambatan Pelaksanaan Asimilasi Bagi

Narapidana Korupsi Dalam Kerangka Reintegrasi Social di Lapas Kelas IIA

Gorontalo?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pelaksanaanasimilasi bagi narapidana korupsi dalam

kerangka reintegrasi social di lapas kelas IIA Gorontalo.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam

pelaksanaan asimilasi bagi narapidana korupsi dalam kerangka reintegrasi

social di lapas kelas IIA Gorontalo.


12

3. Untuk mengetahui upaya-upaya apa saja yang dilakukan lembaga

pemasyarakatan kelas II A Gorontalo dalam mengatasi hambatan-hambatan

pelaksanaan asimilasi bagi narapidana korupsi dalam kerangka reintegrasi

social di lapas kelas IIA Gorontalo

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis

a) Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

pengetahuan tentang Program asimilasi bagi narapidana korupsi dalam

kerangka reintegrasi social di lapas.

b) Bagi Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Gorontalo, hasil penelitian ini

menjadi rujukan dalam memperbaiki pola pembinaan narapidana khususnya

pembinaan terhadap narapidan korupsi

c) Bagi almamater, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah

literatur perpustakaan.

2. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam

bentuk sumbang saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan

pada khususnya yang berhubungan dengan pembinaan narapidana teroris di

Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Gorontalo.

E. Telaah Pustaka
Terdapat beberapa penelitian terkait dengan asimilasi narapidana di

Lembaga Pemasyarakatan yang peneliti temukan dan dijadikan tinjauan pustaka.

Berikut adalah penelitian-penelitian tersebut:

Pertama, Tesis dari Dwi Afrimetty Timoera yang


13

berjudul“Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Dalam Tahap Asimilasi

DiLembaga Pemasyarakatan Terbuka Cinere.”9 Dari Tesis ini dijelaskan bahwa

pelaksanaan pembinaan narapidana dalam tahap asimilasi ini dilakukan sesuai

dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.M.2.PK.04-10 Tahun 2007. Namun

dalam pelaksanaannya terdapat hambatan yang dihadapi baik dari aturan yang

diberlakukan, juga bagi narapidana sendiri, walaupun bukan kendala yang berat.Dari

hasil penelitian tersebut narapidana yang mendapatkan asimilasi dengan bekerja pada

pihak ketiga, mereka sangat senang.Karena mereka merasakan pembauran dengan

masyarakat dan bisa tetap menafkahi keluarga.Hambatan yang mereka hadapi yaitu

jarak tempuh yang sangat jauh dari Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Cinere.Selain

itu, masalah kemacetan di jalan yang harus mereka hadapi. Hal ini membuat jam

kerja mereka tidak sesuai dengan aturan yang ada. Upaya untuk mengatasi masalah

ini adalah pihak Lembaga Pemasyarakatan Terbuka mengeluarkan kebijakan intern

tentang masalah waktu kerja tersebut, terutama pada waktu saat mereka harus

kembali ke LembagaPemasyarakatan.

Kedua Skripsi dari Indra Haryanto dengan Judul “Asimilasi Narapidana Di

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Yogyakarta”.Dari kesimpulan skripsi ini

menyebtukan bahwa Pelaksanaan asimilasi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIA Yogyakarta sudah berjalan sesuai dengan peraturan tentang pembinaan

narapidana, adapun yang belum sesuai dikarenakan kurangnya jumlah pegawai yang

ada.Pembinaan yang sudah sesuai disini adalah diberikannya kesempatan narapidana

9
Dwi Afrimetty Timoera, Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Dalam Tahap Asimilasi Di
Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Cinere, Fakultas Hukum, Program Pasca Sarjana, Universitas
Indonesia, 2012
14

untuk melakukan asimilasi.Sedangkan yang masih belum sesuai adalah belum

diadakannya asimilasi narapidana dengan pihak ketiga.

Dari kedua literature diatas pada hakekatnya menitikberatkan pada

pelaksanaan asimilasi secara umum, sehinggya yang membedakan dengan dengan

penelitian ini adalah selain lokasi penelitian juga objek penelitaiannya berbeda yaitu

khsus untuk narapidana tipikor.

F. Sistimatika Pembahasan
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang arah dan tujuan

penulisan penelitian, maka secara garis besar digunakan sistematika penulisan

sebagai berikut:

Bab I Berisi pendahuluan yang membahas tentang latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, dan

sistematika pembahasan

Bab II Berisi Kajian Teori membahas tinjauan umum tentangAsimilasi,

Reintegrasi Sosisial, teori-teoriTinadk Pidana Tipikor, tinjauan umum

pemasyarakatan dan Pembinaan Narapidana.

Bab III Berisi tentang metode penilitian

Bab IV Berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan yang membahas tentang

gambaran umum tentang Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA

Gorontalo, Pelaksaanaan, hambatan-hambatan serta upaya dalam

mengatasi hambatan-hambataderadikalisasi dalam Pembinaannarapidan

teroris di lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Gorontalo

Bab V Berisi penutup yang membahas tentang simpulan dan saran.


BAB II. KAJIAN TEORI
A. Asimilasi

1. Definisi Asimilasi
Jika merujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pengertian Asimiliasi

terdapat dua arti yang masing-masing berdasarkan linguistik dan sosial.Dari sisi

tata bahasa atau linguistik lebih diartikan sebagai bagian dari fenomena atau

kejadian antar dua fonem yang memiliki tingkat perbedaan yang tinggi dengan

letak lokasi yang saling berdekatan. Namun jika ditinjau dari aspek sosial,

Asimilasi memiliki arti percampuran antar dua budaya dari kelompok masyarakat

tertentu dalam satu kawasan yang kemudian tercipa sebuah budaya baru dengan

serangkai proses yang berkelanjutan. Proses Asimilasi sosial budaya dalam

masyarakat juga memiliki beberapa syarat yang harus terpenuhi seperti halnya

adanya kelompok yang memiliki kebudayaan yang berbeda antara kelompok satu

dan yang lainnya.Selanjutnya terjadinya interaksi antarindividu dalam tenggang

waktu yang cukup lama dan terus menerus serta berubahnya kebudayaan antara

kelompok seiring dengan adanya interaksi sosial.10

Menurut Koentjayaningrat (2005:160)Asimilasi adalah pembauran dua

kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga

membentuk kebudayaan baru. Suatu asimilasi ditandai oleh usaha-usaha

mengurangi perbedaan antara orang atau kelompok. Untuk mengurangi perbedaan

itu, asimilasi meliputi usaha-usaha mempererat kesatuan tindakan, sikap, dan

perasaan dengan memperhatikan kepentingan serta tujuan bersama.

10
Kamus Besar Bahasa Indonesia “Pengertian Asimilasi”
16
17

Hasil dari proses asimilasi yaitu semakin tipisnya batas perbedaan

antarindividu dalam suatu kelompok, atau bisa juga batas-batas antarkelompok.

Selanjutnya, individu melakukan identifikasi diri dengan kepentingan bersama.

Artinya, menyesuaikan kemauannya dengan kemauan kelompok. Demikian pula

antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.

Asimilasi dapat terbentuk apabila terdapat tiga persyaratan berikut:

a. Terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda

b. Terjadi pergaulan antarindividu atau kelompok secara intensif dan dalam

waktu yang relatif lama

c. Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut saling berubah dan

menyesuaikan diri

Milton M. Gordon turut mengungkapkan pengertian Asimilasi dalam

sebuah buku karangan Human Nature, Class, and Ethnicity (1978) yang

menyatakan bahwasanya asimilasi dapat menjadi bagian dari akulturasi budaya.

Gordon menambahkan jika tak akan ada asimilasi tanpa ada akulturasi terlebih

dahulu yang merupakan sebuah tahapan dari perubahan pola budaya dari

kelompok tertentu.

Menurut Soerjono Soekanto, Asimilasi adalah proses sosial dalam taraf

lanjut. Suatu Asimilasi ditandai dengan adanya usaha-usaha orang perorangan

atau kelompok-kelompok manusia dan juga yang meliputi usaha-usaha untuk

mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan didasarkan

pada kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan yang diinginkan bersama.


18

Apabila orang-orang melakukan asimilasi ke dalam suatu kelompok manusia atau

kelompok masyarakat, maka dia tidak lagi membedakan dirinya dengan kelompok

tersebut.

Pada umumnya orang-orang yang melakukan asimilasi ke dalam suatu

kelompok masyarakat, tidak lagi membedakan dirinya dengan kelompok

masyarakat itu. Dengan demikian, ia akan diterima dalam kelompok masyarakat

itu dengan baik, dan tidak dianggap lagi sebagai orang asing.

Misalnya, seorang pendatang baru pindah ke lingkungan masyarakat yang

berbeda budaya dan suku dengan masyarakat tempat tinggalnya semula. Orang

tersebut akan berasimilasi dengan budaya masyarakat baru tempat ia tinggal

dengan cara mengikuti kebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat masyarakat di

tempat tersebut. Dengan demikian, ia akan diterima dengan baik, dan dianggap

telah menjadi bagian dari masyarakat mereka.

Bila kedua kelompok masyarakat telah mengadakan asimilasi, maka batas

antara kedua kelompok masyarakat tersebut dapat hilang dan keduanya berbaur

menjadi satu kelompok. Contohnya, orang-orang dari pulau Jawa yang dulunya

merupakan transmigran atau buruh-buruh perkebunan pada zaman Belanda yang

bekerja di daerah Deli di Sumatera Utara telah lama mengalami asimilasi dengan

masyarakat di daerah tersebut.

Proses asimilasi dapat terbentuk apabila terjadi hal-hal sebagai berikut :

1. Kelompok-kelompok masyarakat yang kebudayaannya berbeda, berbaur

dalam waktu yang relatif lama, misalnya kebduayaan Barat dengan

kebudayaan Timur, kebudayaan Islam dengan kebudayaan Indonesia,


19

kebudayaan India dengan kebudayaan Indonesia, dan sebagainya.

2. Individu ( orang-perorang ) sebagai kelompok masyarakat saling bergaul

secara langsung dalam waktun yang lama sehingga kebudayaan dari

kelompok masyarakat tersebut masing-masing berubah dan saling

menyesuaikan diri. Hal ini dapat terlihat pada masyarakat yang heterogen

atau majemuk, yang warganya terdiri dari individu-individu yang berasal dari

berbagai macam kebudayaan, berinteraksi satu sama lain sehingga antara satu

dengan yang lainnya saling menyesuaikan diri , membentuk masyarakat yang

harmonis.

2. Jenis – Jenis Asimilasi

a. Asimilasi Budaya

Jenis yang akan dibahas pertama iyalah “asimilasi budaya”, asimilasi

budaya biasanya terjadi ketika dua budaya atau sekelompok orang

mempengaruhi satu sama lain. Contohnya adat budaya, tradisi, dan praktik

keagamaan. Semua bisa berasimilasi antara dua atau lebih budaya. Sering

kali, kelompok-kelompok tersebut ini tinggal di dekat satu sama lain. Yang

kadang mempengaruhi hal ini biasanya berasal dari sebuah perdagangan, atau

perkawinan antar kelompok yang satu dengan kelompok lain.

b. Asimilasi Warna

Jenis asimilasi yang kedua adalah “Asimilasi Warna”, Mungkin hal ini

yang paling mudah untuk menunjukkan sebuah asimilasi. Jika Anda akan

mencampur sedikit warnah merah dengan warna biru yang jumlahnya lebih
20

banyak, maka warna merah tersebut berasimilasi dengan campuran yang lebih

besar. Meskipun merah yang akan diserap, perubahan warna biru juga akan

terlihat, sehingga menjadi sesuatu yang berbeda dan pergeseran dalam

spektrum warna tersebut.

c. Asimilasi Agama

Jenis Asimilasi ketiga yaitu Asimilasi Agama Sebuah contoh

sempurna dari asimilasi agama adalah asimilasi adat Pagan dan upacara

dalam agama Kristen. Ketika Kristen menjadi agama yang mendominasi,

mereka akan mengambil hari suci Pagan seperti Yule dan Spring Equinox,

atau Ostara, dan mengklaim mereka sebagai Natal dan Paskah. Mereka

mengadopsi tradisi seperti dekorasi pohon cemara di hari Natal dan

penggunaan simbol-simbol kesuburan di hari Paskah seperti telur Paskah.

itulah contoh kecil dari sebuah Asimilasi Agama.

d. Asimilasi Lingustik

Sebuah contoh kasus dari Asimilasi linguistik atau asimilasi bicara ini

: Jenis asimilasi sering terjadi ketika dua kelompok, tetangga, orang, atau

wilayah yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam cara berbicara.

e. Asimilasi Statistik

Asimilasi statistik adalah Asimilasi dalam kapasitas statistik yang

mengacu pada pengumpulan data dari waktu ke waktu, dalam rangka untuk

mendapatkan gambaran yang lebih jelas dari apa yang sedang dipelajari. Data

berasimilasi dan memungkinkan orang kompilasi statistik pemahaman yang

lebih baik tentang bagaimana sesuatu bekerja atas semua. Sepotong data yang
21

dikumpulkan berasimilasi ke dalam model dan menjadi bagian dari

mekanisme yang semua data selanjutnya ditafsirkan.

f. Asimilasi Fisiologis

Asimilasi yang terakhir yaitu “Asimilasi Fisiologis” , Asimilasi

fisiologis mengacu pada konversi nutrisi yang dicerna menjadikannya sebuah

energi bahan bakar tubuh secara keseluruhan yang lebih besar. Misalnya,

sebuah molekul pati akan dipecah menjadi karbohidrat yang lebih kecil,

beberapa di antaranya akan digunakan untuk bahan bakar dan lain-lain yang

dapat dimodifikasi untuk menjadi bagian dari struktur sel organisme.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Asimilasi


Beberapa faktor yang mempengaruhi asimilasi sehingga mempermudah
terjadinya asimilasi antara lain :

a. Sikap toleransi antara kelompok-kelompok yang berebda kebudayaan atau

paham sehingga mendorong terjadinya komunikasi.

b. Di bidang ekonomi, terdapat kesempatan yang seimbang antara kelompok

masyarakat yang berbeda kebudayaannya.

c. Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya. Hal ini akan

menyebabkan orang asing/ pendatang dapat bergaul dan berasimilasi dengan

masyarakat setempat.

d. Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa di masyarakat, dengan memberi

kesempatan pada golongan kecil untuk mengembangkan dirinya.

e. Perkawinan campuran di antara orang-orang yang berbeda latar belakang

kebudayaan, merupakan faktor yang paling baik bagi kelancaran proses

asimilasi.
22

f. Musuh bersama dari luar. Bila ada musuh bersama dari luar, kelompok-

kelompok yang berbeda kebudayaannya akan bersatu dan bekerjasama untuk

melawan.

faktor yang menghambat terjadinya asimilasi antara lain :

a. Kurangnya tingkat pengetahuan masyarakat akan kebudayaan yang dimiliki.

b. Terisolasinya golongan tertentu dalam kehidupan sosial masyarakat.

c. Adanya perbedaan fisik yang nyata, misalnya warna kulit atau ciri fisik

lainnya.

d. Munculnya perasaan takut terhadap suatu kekuatan budaya lain yang lebih

unggul dari pada kebudayaan yang dimilikinya.

e. Munculnya prasangka pribadi yang sifatnya negatif

Dalam proses asimilasi, mereka mengidentifikasikan dirinya dengan

kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan kelompok. Jika dua kelompok

manusia mengadakan asimilasi, batas-batas antara kelompok-kelompk tadi akan

hilang dan keduanya bersatu menjadi satu kelompok. Secara singkat dapat

dikatakan bahwa proses asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap

yang sama, walau terkadang bersifat emosional dalam tujuannya untuk mencapai

kesatuan atau paling tidak mencapai integrasi dalam organisasi, pikiran dan

tindakan. Dalam hal ini Proses Asimilasi dapat timbul jika :

1. Proses asimilasi timbul bila ada kelompok-kelompok manusia yang berbeda

kebudayaan.
23

2. Proses asimilasi timbul bila ada orang perorangan sebagai warga kelompok tadi

saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama, sehingga

kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompk manusia tersebut masing-

masing berubah dan saling menyesuaikan diri.

Adanya kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi bagi

berbagai golongan masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda

dapat mempercepat proses asimilasi. Di dalam sistem ekonomi yang demikian, di

mana masing-masng individu mendapat kesempatan yang sama untuk mencapai

kedudukan tertentu atas dasar kemampuan dan jasa-jasanya, proses asimilasi

dipercepat, oleh karena kenyataan yang demikian dapat menetralisir perbedaan-

perbedaan kesempatan yang diberikan sebagai peluang oleh kebudayaan-

kebudayaan yang berlainan tersebut.

Sikap saling menghargai terhadap kebudayaan yang didukung oleh

masyarakat yang lain, dimana mereka mengakui kelemahan dan kelebihannya

masing masing, dapat mendekatkan masyarakat menjadi pendukung kebudayaan-

kebudayaan tersebut. Apabila ada prasangka, maka hal demikian akan menjadi

penghambat bagi berlangsungnya proses asimilasi.

B. Reintegrasi Sosial
Menurut Soekanto - Reintegrasi bertujuan untuk mengembalikan keadaan

yang diinginkan sesuai dengan tujuan persatuan dan keutuhan masyarakat setelah

terjadinya disintegrasi. Menurut Soekanto, reintegrasi atau reorganisasi adalah proses

pembentukan kembali norma-norma dan nilai-nilai baru untuk menyesuaikan diri

dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengalami perubahan. Reintegrasi


24

terlaksana apabila norma-norma atau nilai-nilai baru telah melembaga

(institutionalized) dalam diri warga masyarakat.

Pada dasarnya, setiap perubahan bisa mengakibatkan terjadinya perbedaan

tanggapan atau penafsiran.Hal tersebut berakibat tidak sedikit terjadinya reaksi

terhadap suatu perubahan.

Jika perubahan tersebut dapat menumbuhkan kepentingan kesatuan

nasional, masyarakat pelu diberi pemahaman tentang reintegrasi atau reorganisasi

yang tepat, seperti hal-hal berikut ini:

1. Menanamkan kesadaran akan pentingnya berbangsa dan bertanah air.

2. Perundingan apabila terdapat pihak-pihak yang melakukan reaksi keras

(pergolakan).

3. Melalui saluran hukum terhadap mereka yang menyimpang.

4. Menggunakan saluran militer untuk memadamkannya apabila terjadi pergolakan

mengarah pada pemberontakan.

Perubahan sosial ditandai dengan semakin berkembangnya tingkat

pendidikan masyarakat sehingga setiap kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh

pemerintah tidak selamanya diterima masyarakat.Kadang-kadang masyarakat

menolak suatu kebijaksanaan apabila dianggap merugikan atau terlalu memberatkan

masyarakat.

Reintegrasi sosial adalah sebagian upaya untuk membangun kembali

kepercayaan, modal sosial, dan kohesi sosial. Proses ini bukanlah proses yang

mudah. Proses ini cukup sulit dan memakan waktu yang lama. Disintegrasi atau
25

disorganisasi adalah perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan

dapat membuat pudarnya norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat

Dalam reintegrasi sosial sarana mengendalikan konflik sangat dibutuhkan

oleh masyarakat yang berkonflik dengan tujuan untuk menetralkan ketegangan-

ketegangan yang timbul dari dampak konflik. Contohnya:

1. Melalui kompromi antara perwakilan

2. Yang berkonflik melakukan perdamaian dan menyadari kesalahan-kesalahan

tindakan yang telah diperbuatnya

Perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dapat

membuat pudarnya norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat.Kondisi ini oleh

Soerjono Soekanto disebut sebagai disorganisasi atau disintegrasi sosial.Awal

terjadinya kondisi ini adalah situasi dimana ada ketidakseimbangan atau

ketidakserasian unsur dalam masyarakat karena salah satu unsur dalam sistem

masyarakat tidak berfungsi dengan baik.

Apabila terjadi disintegrasi sosial, situasi di dalam masyarakat itu lama-

kelamaan akan menjadi chaos (kacau). Pada keadaan demikian, akan dijumpai

anomie (tanpa aturan), yaitu suatu keadaan di saat masyarakat tidak mempunyai

pegangan mengenai apa yang baik dan buruk, dan tidak bisa melihat batasan apa

yang benar dan salah.

Dalam kebingungan tersebut, masyarakat berusaha untuk kembali pada

tahap integrasi dimana lembaga politik, ekonomi, pemerintahan, agama, dan sosial
26

berada didalam keadaan yang selaras, serasi, dan seimbang. Proses ini disebut

dengan reintegrasi.

Menurut Albert O. Hirschmar Perubahan yang terjadi dalam masyarakat

disebut perubahan sosial, yaitu gejala umum yang terjadi sepanjang masa pada setiap

masyarakat.Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang

selalu ingin mengadakan perubahan.Albert O. Hirschmar mengatakan bahwa

kebosanan manusia merupakan penyebab dari perubahan.

Dalam pandangan Sukanto, reintegrasi atau reorganisasi adalah proses

pembentukan kembali norma-norma dan nilai-nilai baru untuk menyesuaikan diri

dengan lembaga-lembaga yang mengalami perubahan.Reintegrasi sosial adalah

sebagian upaya untuk membangun kembali kepercayaan, modal sosial, dan kohesi

sosial. Proses ini bukanlah proses yang mudah. Proses ini cukup sulit dan memakan

waktu yang lama.Apabila terjadi disitegrasi sosial situasi dalam masyarakat itu lama

kelamaan akan mejadi chaos (kacau). Pada keadaan yang demikian, akan di jumpai

anomie (tanpa aturan) yaitu suatu keadaan disaat masyarakat tidak mempunyai

pegangan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk, dan tidak bisa melihat

batasan apa yang benar dan salah. Hal itu berakibat pada ketidakmampuan anggota

masyarakat untuk mengukur tindakan tindakannya.

Perubahan sosial memiliki makna yang luas dan mencakup berbagai segi

kehidupanseperti ekonomi, sosial, dan politik.Awal terjadinya disorganisasi atau

disintegrasi sosial yaitu, situasi dimana ada ketidak seimbangan atau ketidak serasian

unsur dalam masyarakat karena salah satu sistem masyarakat tidak berfungi.
27

C. Korupsi

1. Definisi Korupsi
Menurut Fockema Andreae, kata korupsi berasal dari bahasa Latin

corruptio = penyuapan atau corruptus (Webster Student Dictionary : 1960).

Kata corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpore = merusak, suatu

kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa

Eropa seperti dalam bahasa Inggris : corruption, corrupt ; Perancis :

corruption dan Belanda : corruptie.

Dapat dikatakan bahwa dari bahasa Belanda inilah kata “korruptie”

ini turun menjadi bahasa Indonesia yaitu korupsi. Arti harafiah dari kata

korupsi adalah dapat berupa kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak

jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata –

kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.(The Lexicon Webster

Dictionary). Black’s Law Dictionary menyebutkan definisi korupsi sebagai

berikut :

“Corruption : The act of doing something with an intent to


give some advantage inconsistent wit an official duty and
rigths of others ; a fiduciary’s or official’s use of station
or office to procure some benefit either personally or for
someone else, contrary to the rights of others (Korupsi:
Tindakan melakukan sesuatu dengan maksud untuk
memberikan beberapa keuntungan yang tidak sesuai dengan
tugas dan tanggung jawab resmi orang lain; penggunaan
stasiun atau kantor fidusia atau pejabat untuk mendapatkan
keuntungan baik secara pribadi maupun untuk orang lain,
bertentangan dengan hak orang lain.)”.

Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia

menyimpulkan bahwa korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti


28

penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Soedarsono

menyimpulkan bahwa korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang

negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk kepentingan

pribadi atau orang lain.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan korupsi sebagai

penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) dan

sebagainya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan orang lain. Korupsi

berasal dari kata korup yang berarti :

1. Buruk ; rusak ; busuk

2. Suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya ; dapat

disogok (melalui kekuasaannya kepentingan pribadi)

Webster’s New Collegiate Dictionary memberikan pengertian

Corruption are :

1. A corrupting, or state of being corrup ; as decay, depravity, impurity ;

bribery.

2. An istance of making or becoming corrupt ; pervension

3. An agency of influence that corrupts.

Soedjono Dirjosisworo mengutip dari John A. Gardiner dan David J.

Olson dalam buku mereka “Theft of the City”, Readings on Corruption in

urban America, memberikan pengertian tentang korupsi ini secara umum dari

berbagai sumber dengan pengelompokkan sebagai berikut :


29

a) Dalam Oxford English Dictionary (OED) makna korupsi

dikategorikan dalam tiga kelompok sebagai berikut :

1. Secara fisik ; misalnya perbuatan pengrusakan atau dengan sengaja

menimbulkan pembusukan dengan tindakan yang tidak masuk akal

serta menjijikan.

2. Moral ; bersifat politis yaitu membuat korup moral seseorang atau

bisa berarti fakta kondisi korup, dan kemerosotan yang terjadi

dalam masyarakat.

3. Penyelewengan terhadap kemurnian ; seperti misalnya

penyelewengan norma sebuah lembaga sosial tertentu, adat istiadat

dan seterusnya. Perbuatan ini tidak cocok atau menyimpang dari

nilai kepatutan kelompok pergaulan. Penggunaan istilah korupsi

dalam hubungannya dengan politik diwarnai oleh pengertian yang

termasuk kategori moral.

b) Rumusan korupsi menurut perkembangan ilmu-ilmu social.

Kelompok terbesar penulis ilmu-ilmu sosial mengikuti

rumusan OED atau mengambil salah satu bentuk kategori dasar yang

telah disebut para ilmuwan sosial pada umumnya mengaitkan definisi

mereka tentang korupsi, terutama ditujukan pada kantor pemerintahan

( instansi atau aparatur ), sedangkan kelompok yang lebih kecil

mengembangkan definisi yang dihubungkan dengan permintaan dan

penawaran serta menekankan pada konsep-konsep yang diambul dari


30

teori-teori ekonomi, dan sebagian lagi membahas korupsi dengan

pendekatan kepentingan masyarakat.

c) Rumusan yang menekankan pada jabatan dalam pemerintahan

Definisi korupsi yang berkaitan dengan konsep jabatan dalam

pemerintahan terlihat di dalam karya tiga pengarang sebagai berikut

yaitu :

1. Menurut Barley, perkataan “ korupsi “ dikaitkan dengan perbuatan

penyuapan yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang

atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka

yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi.

2. Menurut M.Mc.Mullan, seseorang pejabat pemerintah dikatakan “

korup “ apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai

dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bias lakukan dalam

tugas jabatannya, padahal ia selama menjalankan tugasnya

seharusnya tidak boleh berbuat demikian.

3. menurut J.S.Nye, korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari

kewajiban-kewajiban normal suatu peranan jawatan pemerintah,

karena kepentingan pribadi ( keluarga, golongan, kawan akrab ),

demi mengejar status dan gengsi atau pencari pengaruh bagi

kepentingan pribadi.

d) Rumusan korupsi yang dihubungkan dengan teori pasar

perumusan ini dikembangkan oleh para ahli sebagai berikut :


31

1. Jacob Van Klaveren, mengemukakan bahwa seorang pengabdi

Negara ( pegawai negeri ) yang berjiwa “ korup “, menganggap

kantor jawatannya akan diusahakan semaksimal mungkin.

Besarnya hasil yang ia peroleh tergantung pada situasi pasar dan “

kepandaianya “ untuk menemukan titik hasil maksimal permintaan

masyarakat.

2. Robert Tilman, berkeyakinan bahwa korupsi meliputi suatu

pergeseran dari model penentuan harga yang diperintahkan ke

model pasaran bebas. Mekanisme yang dipusatkan menjadi cita-

cita birokrasi modern yang dapat dipecah kedalam ketidaksamaan

yang serius antara penawaran dan permintaan. Para langganan akan

mengambil resiko yang sudah diketahui dan membayar harga yang

lebih tinggi agar terjamin untuk memperoleh keuntungan yang

dicita-citakan.

e) Rumusan yang berorientasi pada kepentingan umumPenulis yang

mengambil konsep ini antara lain.

1. Carl J. Friedrich, misalnya mempertahankan bahwa pola korupsi

dapat dikatakan ada apabila seorang pemegang kekuasaan yang

berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu, seperti pejabat yang

bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainya yang

tidak diperbolehkan oleh undang- undang (secara tidak sah),

membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja


32

yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar

membahayakan kepentingan umum.

2. Arnold A. Regan dan H.D. Lasswell mempertahankan bahwa suatu

perbuatan yang korup menodai pertanggungjawaban bagi

sedikitnya satu sistem dari tertib umum atau warga negara dan

sudah tentu bertentangan dengan sistim tersebut. Sistim yang

mengutamakan kepentingan umum atau warga negara lebih

mengagungkan kepentingan umum diatas kepentingan khusus dan

perkosaan terhadap kepentingan umum untuk memperoleh manfaat

tertentu bagi dirinya adalah korup.

Kelima rumusan korupsi sebagaimana tersebut diatas, pada giliranya

mewarnai perumusan dalam undang-undang pidana korupsi suatu negara

tertentu. Namun setiap negara mempunyai perumusan masing-masing tentang

tindak pidana korupsi, walaupun pada prinsipnya mempunyai unsur-unsur

yang hampir sama.

Para ahli hukum lain yang memberikan pengertian korupsi dengan

menggunakan pendekatan sosiologis, seperti :

1. Syed Hussein Alatas dan Robert C. Brooks

Inti korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk

kepentingan pribadi.Rumusan korupsi yang dikemukakan Brooks adalah

dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang

diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan


33

dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit bayak bersifat

pribadi.

2. Nathaniel H. Left

Korupsi adalah suatu cara diluar hukum yang digunakan oleh

perseorangan atau golongan-golongan untuk mempengaruhi tindakan-

tindakan birokrasi.

3. Jose Veloso Abueva

Korupsi adalah mempergunakan kekayaan negara (biasanya uang,

barang-barang milik negara atau kesempatan) untuk memperkaya diri.

4. Transparancy International

Beerdasarkan dokumen yang dikeluarkan oleh lembaga

Transparency International yang bermarkas di Berlin, Jerman bahwa

korupsi adalah mencakup perilaku dari pejabat-pejabat disektor publik,

apakah politikus atau pegawai negeri, dimana mereka secara tidak benar

dan melanggar hukum memperkaya diri sendiri atau pihak lain yang dekat

dengan mereka, dengan cara menyalah gunakan kewenangan publik yang

dipercayakan kepada mereka.New World Dictionary of the American

Language menjelaskan bahwa sejak abad pertengahan, Inggris dan

Prancis menggunakan kata “corruption” yang mengandung arti :

a) Perbuatan atau kenyataan yang menimbulkan keadaan yang bersifat

buruk.

b) Perilaku yang jahat dan tercela, atau kebejatan moral.

Penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran.


34

c) Kebusukan atau tengik.

d) Sesuatu yang dikorup, seperti kata yang dirubah atau diganti secara

tidak tepat dalam suatu kalimat.

e) Pengaruh-pengaruh yang korup.

Korupsi, menurut World Bank (1997), adalah menggunakan

kewenangan publik untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat

indifidu.Ada pula yang menyebut korupsi adalah mengambil bagian yang

bukan menjadi haknya. Definisi lain, korupsi adalah mengambil secara tidak

jujur perbendaharaan milik publik atau barang yang diadakan dari pajak yang

dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya dirinya sendiri.

Korupsi juga berarti tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi

suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status

kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri.

Syed Husein Alatas mengatakan bahwa terdapat 3 (tiga) fenomena

yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan

(extortion), dan nepotisme. Ketiga hal ini tidaklah sama tetapi ada benang

merah yang menghubungkan 3 tipe fenomena itu, yaitu penempatan

kepentingan-kepentingan publik dibawah tujuan-tujuan privat atau pribadi

dengan pelanggaran norma-norma tugas dan kesejahteraan, yang dibarengi

dengan keserbarahasiaan, penghianatan, penipuan dan pengabaian yang

kejam atas setiap konsekwensi yang diderita publik .

Pengertian korupsi secara sosiologis, lebih luas dan umum

dibandingkan dengan pengertian korupsi secara yuridis formal berdasarkan


35

hukum positif Indonesia. Hal ini akan sangat mempengaruhi sikap dan cara

pandang masyarakat terhadap aparat penegak hukum dalam menangani kasus

korupsi.

Pada dasarnya korupsi dibentuk oleh perilaku kejahatan yang

menyangkut penyelenggaraan pelayanan umum (public service) dan

hubungan kerja (public kontract) yang mendatangkan sumber

keuangan.Korupsi terjadi melalui kelemahan sistim birokrasi

penyelenggaraan pelayanan umum dan kelemahan sistim kontrol pada

hubungan kerja yang mendatangkan sumber keuangan dengan memanfaatkan

situasi tertentu dari siklus pertumbuhan negara, perkembangan sistim sosial

dan keserasian struktur pemerintahan.

2. Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)


Menurut Suyatno, tindak pidana Korupsi dapat didefiniskan ke dalam 4

jenis yaitu :

1. Discritionery corruption adalah korupsi yang dilakukan karena adanya

kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya

bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para

anggota organisasi.

2. illegal corruption merupakan jenis tindakan yang bermaksud

mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi

tertentu.
36

3. Mercenry corruption adalah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud

untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan

wewenang dan kekuasaan.

4. Ideological corruption yaitu suatu jenis korupsi illegal maupun

discretionery yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.

Menurut Poerwadarmina, Pengertian Tindak Pidana Korupsi adalah

perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan

sebagainya yang dapat dikenakan sanksi hukum atau pidana.

Pengertian Tindak Pidana Korupsi Menurut UU No.31 Tahun 1999,

Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

yang dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara

minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan dengan denda paling sedikit 200

juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.

Dalam penjelasan UU No 7 Tahun 2006, Pengertian Tindak Pidana

Korupsi adalah ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang

menjunjung tinggi transparansi, integritas dan akuntabilitas, serta keamanan

dan strabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena itu, maka korupsi merupakan

tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan langkah-langkah

pencegahan tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam

pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang


37

efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan yang

baik dan kerja sama internasional, termasuk di dalamnya pengembalian aset-

aset yang berasal dari tindak pidana korupsi tersebut.

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah

masuk sampai keseluruh lapisan masyarakat. Perkembangan tindak pidana

korupsi ini terus meningkat dari tahun ke tahun, terhitung banyak jumlah

kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara, serta tindak pidana

korupsi yang dilakukan semakin sistematis yang telah memasuki seluruh

aspek kehidupan masyarakat yang dilihat dari segi kualitas.

Bukan hanya di Indonesia saja, di belahan dunia yang lain tindak pidana

korupsi juga akan selalu mendapatkan perhatian yang lebih khusus

dibandingkan dengan tindak pidana yang lainnya. Gejala atau fenomena

korupsi ini harus dapat dimaklumi, karena mengingat dampak negatif tindak

pidana korupsi yang dapat mendistorsi berbagai kehidupan berbangsa dan

bernegara dari suatu negara, serta terhadap kehidupan antarnegara.

Tindak pidana korupsi merupakan suatu masalah sangat serius dan

perlu diperhatikan, karena tindak pidana korupsi dapat membahayakan

stabilitas dan keamanan negara dan masyarakatnya, membahayakan

pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat, politik, bahkan dapat pula

merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak

membudayanya tindak pidana korupsi.11

11
Ermansjah Djaja, 2009. Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi). Penerbit Sinar Grafika : Jakarta.
38

D. Hakikat Lembaga Pemasyarakatan

1. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan


Dalam sistem baru pembinaan narapidana bangunan Lembaga

Pemasyarakatan mendapat prioritas khusus.Sebab bentuk bangunan yang

sekarang ada masih menunjukkan sifat-sifat asli penjara, sekalipun image yang

menyeramkan dicoba untuk dinetralisir.12

Penjara dulu sebutan tempat bagi orang yang menjalani hukuman setelah

melakukan kejahatan. Istilah ”penjara” di Indonesia sekarang sudah tidak

dipakaidan sudah diganti dengan sebutan ”Lembaga Pemasyarakatan” karena

sejarah pelaksanaan pidana penjara telah mengalami perubahan dari sistem

kepenjaraan yang berlaku sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda sampai

munculnya gagasan hukum pengayoman yang menghasilkan perlakuan terhadap

narapidana dengan sistem pemasyarakatan.

Bentuk perkembangan Permasyarakatan berhubungan erat dengan bentuk

tujuan pemidanaan.Dalam perkembangan tujuan pemidanaan, muncul beberapa

teori-teori mengenai tujuan pemidanaan.

Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana:

1. Teori absolut atau teori pembalasan (Vergeldingstheorien)

2. Teori relatif atau tujuan (Doeltheorien)

3. Teori gabungan (Verenigingstheorien)13

Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk

yang praktis, seperti memperbaiki penjahat.Kejahatan sendirilah yang

12
Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana. (Jakarta: Jembatan, 1995), hal. 32.
13
Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hal. 26.
39

mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana.Pidana secara mutlak ada,

karena dilakukan suatu kejahatan.Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat

menjatuhkan pidana itu.Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana pada

pelanggar.14

Menurut teori relatif, pidana dimaksudkan untuk suatu tujuan yang

bermanfaat yaitu melindungi masyarakat dan memberikan pengayoman.Dalam

teori ini terdapat prevensi khusus dan prevensi umum.Prevensi khusus bertujuan

mencegah niat buruk pelaku tindak pidana untuk tidak mengulangi tindak pidana

yang pernah dilakukannya sedangkan prevensi umum bertujuan agar orang-orang

pada umumnya tidak melakukan tindak pidana.

Tujuan dijatuhkannya pidana menurut teori gabungan tidak hanya sekedar

untuk pembalasan semata tetapi juga dimaksudkan untuk tujuan yang

bermanfaat.Jadi selain untuk membalas perbuatan pelaku tindak pidana,

penjatuhan pidana juga bertujuan agar pelaku tindak pidana tidak mengulangi

kesalahannya yang pernah diperbuatnya dan mencegah agar orang-orang pada

umumnya tidak melakukan tindak pidana.

Sebelumnya Permasyarakatan dikenal dengan sistem kepenjaraan atau

pidana pencabutan kemerdekaan. Pencabutan kemerdekaan merupakan jenis

pidana yang memegang peran penting selama beberapa abad terakhir ini yang

lazim disebut pidana penjara.

Di Indonesia sistem pemenjaraan baru dikenal pada zaman

penjajahan.Pada zaman VOC pun belum dikenal penjara seperti sekarang, yang

14
Ibid.
40

ada ialah rumah tahanan yang diperuntukan bagi wanita tunasusila,

pengangguran, gelandangan, pemabuk dan sebagainya. Diberikan pula pekerjaan

dan pendidikan agama.Tetapihanya ada di Batavia, terkenal dengan Spinhuis dan

Rasphuis.(Andi Hamzah, 1993:109).

Kesan pembalasan yang menjiwai peraturan kepenjaraan telihat dari

ketidak jelasan arah dan tujuan yang hendak dicapai dari penjatuhan

pidana.Selain itu juga terlihat dari adanya kewajiban narapidana untuk mengikuti

pekerjaan baik didalam maupun diluar penjara.Institusi yang digunakan pada

sistem pemenjaraan adalah rumah penjara bagi narapidana dan rumah pendidikan

negara bagi anak yang bersalah.

Pola pembinaan narapidana mengalami pembaharuan sejak dikenal

gagasan pemasyarakatan yang dikemukakan oleh Sahardjo, pada pidato

penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang ilmu hukum dari

Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963. Dalam pidatonya beliau memberikan

rumusan dari tujuan pidana penjara

sebagai berikut :

a. Tujuan dari pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita pada

terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing

terpidana bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota

masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.

b. Tujuan dari pidana penjara adalah pemasyarakatan. (Sahardjo dalam

Muladi, 1992:73).
41

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, yang dimaksud pemasyarakatan adalah kegiatan untuk

melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem,

kelembagaan, dan cara pemidanaan yang merupakan bagian akhir dari sistem

pemidanaan dalam tata peradilan pidana.

Gagasan pemasyarakatan pada hakekatnya bersumber pada falsafah

pembinaan narapidana yang dikemukakan oleh Sahardjo, bahwa ”narapidana

bukanlah orang hukuman melainkan orang tersesat yang mempunyai waktu dan

kesempatan untuk bertobat. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan

melainkan melalui bimbingan.”(Sahardjo dalam Petrus Irawan P dan Pandapotan

Simorangkir, 1995:38).

Dari gagasan pemasyarakatan tersebut, sejak tahun 1964 pembinaan

terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan mengalami perubahan

secara mendasar, yaitu dari sistem pemenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan.

Pengertian Sistem Pemasyarakatan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang

Nomor 12 tahun 1995 adalah tatanan mengenai arah dan batas serta cara

pembinaan Warga Binaan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara

terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan

kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki

diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh

lingkungan masyarakat dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang

baik dan bertanggung jawab.


42

Selain perubahan sistem, perubahan yang terjadi juga mencakup

perubahan institusi yang digunakan dalam pembinaan Narapidana dan Anak

Didik Pemasyarakatan. Berdasarkan surat Instruksi Kepala Direktorat

Pemasyarakatan Nomor J.H.G 8/506/ tanggal 17 Juni 1964, Rumah Penjara dan

Rumah Pendidikan Negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan.

Dengan adanya sistem pemasyarakatan, tujuan pidana penjara tidak hanya

lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan usaha rehabilitasi dan resosialisasi

Warga Binaan Pemasyarakatan.Warga Binaan Pemasyarakatan diayomi melalui

pembinaan, bimbingan dan diberi keterampilan sebagai bekal hidup agar dapat

menjadi warga yang berguna dalam masyarakat.

2. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan


Pengertian Lembaga Pemasyarakatan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah tempat untuk

melaksanakan pembinaan terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.

Lembaga Pemasyarakatan sebagaiunit pelaksanaan teknis dibidang pembinaan

narapidana berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala

Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM.

Lembaga Pemasyarakatan didirikan disetiap ibukota kabupaten atau

kotamadya, namun bila diperlukan dapat didirikan di tingkat kecamatan atau kota

administratif. Hal tersebut dimaksudkan guna meningkatkan mutu pelayanan

hukum dan pemerataan memperoleh keadilan bagi warga binaan pemasyarakatan

dan keluarganya dengan memperhatikan perkembangan wilayah atau luar


43

wilayah, pertambahan penduduk dan peningkatan jumlah tindak pidana yang

terjadi di wilayah kecamatan atau kota administrasi yang bersangkutan.

Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat melakukanya pembinaan

narapidana dan anak didik pemasyarakatan, dari pengertian tersebut secara

hakikat mempunyai kesamaan yaitu orang yang menghuni Lembaga

Pemasyarakatan berdasarkan putusan pengadilan, dan perbedaannya hal ini dapat

di jelaskan oleh undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,

berdasarkan Pasal 1 ayat (7) dan ayat (8), Narapidana adalah Terpidana atau

seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, yang menjalani pidana atau hilangnya kemerdekaan di

Lembaga Pemasyarakatan, sedangkan anak didik pemasyarakatan adalah anak

pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di

Lembaga Pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)

tahun dianggap sebagai anak didik pemasyarakatan yaitu 18 ke bawah sedangkan

18 ke atas anak sudah dianggap narapidana, apabila dilihat secara kongkritnya

fungsi Lembaga Pemasyarakatan Anak mempunyai ciri, kekhasan dan motivasi

tertentu seperti Lembaga Pemasyarakatan wanita, Lembaga Pemasyarakatan

Remaja, dan Lembaga Pemasyarakatan narkotika. Anak yang ditempatkan di

Lembaga Pemasyarakatan Anak, berhak untuk memperoleh pendidikan dan

latihan baik formil maupun informal sesuai dengan bakat dan kemampuannya,

serta memperoleh hak-hak lainnya yang sesuai dengan undang-undang yang

berlaku.jadi berdasarkan dari pengertian antara narapidana dan anak didik

pemasyarakatan, yang bisa disebut juga anak didik pemasyarakatan yaitu yang
44

dilihat dari umurnya. Dengan menggunakan istilah anak didik pemasyarakatan

tersebut merupakan ungkapan halus yang untuk menggantikan istilah narapidana

anak yang sangat menyinggung perasaan dan mensugestikan sesuatu yang tidak

mengenakan bagi anak.15Agar tidak ada kesan yang menyeramkan apabila istilah

narapidana dipergunakan kepada anak didik dipemasyarakatan.

Untuk mewujudkan pelaksanaan pidana yang efektif dan efisien, maka

Lembaga Pemasyarakatan dibagi ke dalam beberapa kelompok yaitu :

a. Menurut usia :

1) Lembaga Pemasyarakatan untuk anak

2) Lembaga Pemasyarakatan khusus pemuda

3) Lembaga Pemasyarakatan untuk dewasa

b. Menurut jenis kelamin

1) Lembaga Pemasyarakatan khusus wanita

2) Lembaga Pemasyarakatan khusus laki-laki

c. Menurut kapasitasnya :

1) Lembaga Pemasyarakatan Kelas I

2) Lembaga Pemasyarakatan Kelas II

3) Lembaga Pemasyarakatan Kelas III

(Istianah, 2000 : 21)

3. Tujuan, Fungsi dan Sasaran Lembaga Pemasyarakatan


a. Tujuan

15
Nashriana, Perlindungan hukum pidana bagi anak di Indonesia, cetakan ke satu, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 153.
45

1) Membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia

seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak

mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh

lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan

dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan

bertanggung jawab.

2) Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan yang ditahan di

Rumah Tahanan Negara dan Cabang Rumah Tahanan Negara dalam

rangka memperlancar proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan

di sidang pengadilan

3) Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan / para pihak

berperkara serta keselamatan dan keamanan benda-benda yang disita

untuk keperluan barang bukti pada tingkat penyidikan, penuntutan,

dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta benda-benda yang

dinyatakan dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan.

b. Fungsi

Menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi

secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai

anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.( Pasal 3 UUD

No. 12Th.1995 tentang Pemasyarakatan ).

c. Sasaran

Sasaran pembinaan dan Pembimbingan agar Warga Binaan

Pemasyarakatan adalah meningkatkan kualitas Warga Binaan


46

Pemasyarakatan yang pada awalnya sebagian atau seluruhnya dalam kondisi

kurang, yaitu ;

1) Kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2) Kualitas intelektual

3) Kualitas sikap dan perilaku

4) Kualitas profesionalisme / ketrampilan ; dan

5) Kualitas kesehatan jasmani dan rohani

Sasaran pelaksanaan sistem pemasyarakatan pada dasarnya terwujudnya

tujuan pemasyarakatan yang merupakan bagian dan upaya meningkatkan

ketahanan sosial dan ketahanan nasional, serta merupakan indikator-indikator

yang digunakan untuk mengukur hasil-hasil yang dicapai dalam pelaksanaan

sistem pemasyarakatan sebagai berikut :

1) Isi Lembaga Pemasyarakatan lebih rendah daripada kapasitas.

2) Menurunnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka pelarian dan

gangguan kamib.

3) Meningkatnya secara bertahap jumlah Narapidana yang bebas sebelum

waktunya melalui proses asimilasi dan integrasi.

4) Semakin menurunya dari tahun ketahun angka residivis.

5) Semakin banyaknya jenis-jenis institusi sesuai dengan kebutuhan berbagai

jenis / golongan Narapidana.

6) Secara bertahap perbandingan banyaknya narapidana yang bekerja

dibidang industri dan pemeliharaan adalah 70:30.


47

7) Prosentase kematian dan sakit Warga Binaan Pemasyarakatan sama

dengan prosentase di masyarakat.

8) Biaya perawatan sama dengan kebutuhan minimal manusia Indonesia

pada umumnya.

9) Lembaga Pemasyarakatan dalam kondisi bersih dan terpelihara, dan

10) Semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang menggambarkan

proyeksi nilai-nilai masyarakat ke dalam Lembaga Pemasyarakatan dan

semakin berkurangnya nilai-nilai sub kultur penjara dalam Lembaga

Pemasyarakatan.

E. Pembinaan Narapidana
Pembinaan Narapidana di Indonesia secara konstitusional dikenal

sejak berlakunya Reglemen Penjara (Gesichten Reglement 1917 Nomor 708)

yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai realisasi ketentuan

pidana penjara yang terkandung dalam Pasal 10 KUHP. Sistem pemenjaraan

ini sangat menekankan unsur pembalasan semata terhadap pelaku tindak

pidana agar pelaku tindak pidana jera.

Sedangkan mengenai metoda pembinaan/bimbingan diakomodir

dalam Dasar pemikiran pembinaan narapidana ini berpatokan pada

“SEPULUH PRINSIP PEMASYARAKATAN yang terdapat didalam

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M. 02-PK.04.10

tahun 1990”, Yaitu:

a. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan

peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.


48

b. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan. lni

berarti tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana dan anak didik

pada umumnya, baik yang berupa tindakan, perlakuan, ucapan, cara

perawatan ataupun penempatan. Satu-satunya derita yang dialami oleh

narapidana dan anak didik hanya dibatasi kemerdekaan-nya untuk leluasa

bergerak di dalam masyarakat bebas.

c. Berikan bimbingan (bukannya penyiksaan) supaya mereka bertobat.

Berikan kepada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan

kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyara-

katannya.

d. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih

jahat daripada sebelum dijatuhi pidana. Salah satu cara diantaranya agar

tidak mencampur-baurkan narapidana dengan anak didik, yang

melakukan tindak pidana berat dengan yang ringan dan sebagainya.

e. Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya para narapidana

dan anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Perlu ada kontak

dengan masyarakat yang terjelma dalam bentuk kunjungan hiburan ke

Lembaga Pemasyarakatan dan Rutan/Cabrutan oleh anggota-anggota

masyarakat bebas dan kesempatan yang lebih banyak untuk berkumpul

bersama sahabat dan keluarganya.

f. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh

bersifat sekedar pengisi waktu. Juga tidak boleh diberikan pekerjaan

untuk memenuhi keperluan jawatan atau kepentingan Negara kecuali


49

pada waktu tertentu saja.Pekerjaan yang terdapat di masyarakat, dan yang

menunjang pembangunan, seperti meningkatkan industri kecil dan

produksi pangan.

g. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan anak

didik adalah berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa kepada mereka

harus ditanamkan semangat kekeluargaan dan toleransi di samping

meningkatkan pemberian pendidikan rohani kepada mereka disertai

dorongan untuk menunaikan ibadah sesuai dengan kepercayaan agama

yang dianutnya.

h. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit perlu diobati agar

mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya

adalah merusak dirinya, keluarganya dan lingkungannya, kemudian

dibina/dibimbing ke jalan yang benar. Selain itu mereka harus

diperlakukan sebagai manusia biasa yang memiliki pula harga diri agar

tumbuh kembali kepribadiannya yang percaya akan kekuatan sendiri.

i. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi

kemerdekaannya dalam jangka waktu tertentu.

j. Untuk pembinaan dan bimbingan para narapidana dan anak didik, maka

disediakan sarana yang diperlukan.

Mengenai tujuan pembinaan narapidana yang tertuang didalam

keputusan menteri kehakiman Republik indonesia Nomor : M. 02-PK.04.10

tahun 1990 tentang pola pembinaan narapidana/tahanan, tertuang dalam

kalimat : “Menyadari bahwa Pemasyarakatan adalah suatu Proses pembinaan


50

narapidana yang sering pula disebut “therapeutics process”, maka jelas

bahwa membina narapidana itu sama artinya dengan menyembuhkan

seseorang yang sementara tersesat hidupnya karena adanya kelemahan-

kelemahan yang dimilikinya”.

Sehingga dalam hal ini perlunya pola-pola tertentu untuk

mewujudkan hal itu, dengan tujuan akhir, agar narapidana dapat bebas dan

kembali kekehidupanya semula, serta tidak mengulangi kejahatannya,

menjadi manusia yang lebih berguna didalam masyarakat.Hal ini juga

ditegaskan melalui Undang-Undang Nomor 12Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan. Mengenai tujuan sistem pemasyarakatan, dalam Pasal 2

undang-undang tersebutditegaskan,bahwa:

“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk

warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusiaseutuhnya, menyadari

kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangtindak pidana sehingga

dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,dapat aktif berperan

dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajarsebagai warga yang baik

dan bertanggung jawab”.

Berdasarkan pengamatan bahwa, seorang mantan narapidana yang

kembali kedalam kehidupan sosialnya, baik dilingkungan keluarga maupun

lingkungan masyarakat yang lebih luas melalui proses adaptasi selalu

ditemukan hambatan-hambatan yang bersumber dari diri sendiri maupun

bersumber dari keluarga atau masyarakat yang terwujud dalam bentuk sikap

sebagai response positif atau negatif. Hal ini disebabkan dua faktor :
51

a. Faktor Intern adalah masalah yang ditimbulkan dari diri sendiri pribadi

mantan narapidana, seperti rasa rendah diri sebagai akibat rasa bersalah

yang pernah dilakukan yang menyebabkan dia terisolasi dari pergaulan

masyarakat luas, kemudian hilangnya rasa percaya diri dan tidak ada

motifasi untuk berusaha;

b. Faktor Ekstern adalah sikap dari keluarga dan masyarakat, seperti tidak

diterimanya kembali mantan narapidana tersebut dalam lingkungan

keluarga maupun masyarakat.Sebagai akibat stigma atau perasaan yang

melekat pada diri mantan narapidana dimana sebagian masyarakat masih

berpendapat bahwa mantan narapidana adalah orang jahat, memiliki

tindakan yang sering meresahkan masyarakat, tidak dapat dipercaya dan

bermoral bejat.Akibat perlakukan yang demikian membatasi ruang gerak

dari mantan narapidana untuk berusaha kearah yang positif.Disamping itu

pula bahwa seorang mantan narapidana yang sebelumnya memiliki mata

pencaharian yang tetap namun karena tindakannya yang melanggara

hukum tersebut menyebabkan dia diisolasi dan kehilangan kepercayaan

yang akhirnya dia kehilangan mata pencaharian pada saat kembalinya di

tengah-tengah masyarakat.

Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan disesuaikan

dengan asas-asas yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar

1945 dan Standard Minimum Rules (SMR) yang tercermin dalam 10 Prinsip

Pemasyarakatan.
52

Sebagaimana yang telah disebutkan pada KEPUTUSAN MENTERI

KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M. 02-PK.04.10

TAHUN 1990 Bab IV.Pada dasarnya arah pelavanan, pembinaan dan

bimbingan yang perlu dilakukan oleh petugas ialah memperbaiki tingkah laku

warga binaan pemasyarakatan agar tujuan pembinaan dapat dicapai.

Ruang lingkup pembinaan dapat dibagi ke delam dua bidang yakni :

a. Pembinaan kepribadian yang meliputi:

1) Pembinaan kesadaran beragama.

Usaha ini diperlukan agar dapat diteguhkan imannya terutama

memberi pengertian agar warga binaan pemasyarakatan dapat

menyadari akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan yang benar dan

perbutan-perbutan yang salah.

2) Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara.

Usaha ini dilaksanakan melalui P.4, termasuk menyadarkan

mereka agar dapat menjadi warga negara yang baik yang dapat

berbakti bagi bangsa dan negaranya.Perlu disadarkan bahwa berbakti

untuk bangsa dan negara adalah sebahagian dari iman (taqwa).

3) Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan).

Usaha ini diperlukan agar pengetahuan serta kemampuan

berfikir warga binaan pemasyarakatan semakin meningkat sehingga

dapat menuniang kegiatan-kegiatan positif yang diperlukan selama

masa pembinaan.Pembinaan intelektual (kecerdasan) dapat dilakukan

baik melalui pendidikan formal maupun melalui pendidikan non-


53

formal.Pendidikan formal, diselenggarakan sesuai dengan ketentuan-

ketentuan yang telah ada yang ditetapkan oleh pemerintah agar dapat

ditingkatkan semua warga binaan pemasyarakatan.Pendidikan non-

formal, diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan

melalui kursuskursus, latihan ketrampilan dan sebagainya. Bentuk

pendidikan non-formal yang paling mudah dan paling murah ialah

kegiatan-kegiatan ceramah umum dan membuka kesempatan yang

seluas-luasnya untuk memperoleh informasi dari luar, misainya

membaca koran/majalah, menonton TV, mendengar radio dan

sebagainya. Untuk mengejar ketinggalan di bidang pendidikan baik

formal maupun non formal agar diupayakan cara belajar melalui

Program Keiar Paket A dan Kejar Usaha.

4) Pembinaan kesadaran hukum.

Pembinaan kesadaran hukum warga binaan pemasyarakatan

dilaksanakan dengan memberikanpenyuluhan hukum yang bertujuan

untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi sehinggasebagai

anggota masyarakat, mereka menyadari hak dan kewajibannya dalam

rangka turutmenegakkan hukum dan keadilan, perlindungan terhadap

harkat dan martabat manusia, ketertiban,ketentraman, kepastian

hukum dan terbentuknya perilaku setiap warga negara Indonesia

yang taatkepada hukum. Penyuluhan hukum bertujuan lebih lahjut

untuk membentuk keluarga Sadar Hukum(KADARKUM) yang

dibina selama berada dalam lingkungan pembinaan maupun setelah


54

beradakembati di tengah-tengah masyarakat.Penyuluhan hukum

diselenggarakan secara langsung yakni penyuluh berhadapan

langsung dengansasaran yang disuluh dalam temu sadar hukum dan

sambung rasa, sehingga dapat bertatapmuka langsung, misalnya

melalui ceramah, diskusi, sarasehan, temuwicara, peragaan dan

simulasihukum.Metoda pendekatan yang diutamakan ialah metoda

persuasif, edukatif, komunikatif dan akomodatif(PEKA).

5) Pembinaan mengintegeasikan diri dengan masyarakat.

Pembinaan di bidang ini dapat dikatakan juga pembinaan

kehidupan sosial kemasyarakatan, yang bertujuan pokok agar bekas

narapidana mudahditerima kembali oleh masyarakat

lingkungannya.untuk mencapai ini, kepada mereka selama

dalamLembaga Pemasyarakatan dibina terus untuk patuh beribadah

dan dapat melakukan usaha-usahasosial secara gotong royong,

sehingga pada waktu mereka kembali ke masyarakat mereka

telahmemiliki sifat-sifat positif untuk dapat berpartisipasi dalam

pembangunan masyarakatlingkungannya.

b. Pembinaan Kemandirian.

Pembinaan Kemandirian diberikan melalui program-program :

1) Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri,

Misalnya kerajinan tangan, industri, rumah tangga, reparasi

mesin dan alat-alat elektronika dan sebagainya.

2) Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil,


55

Misalnya pengelolaan bahan mentah dari sektor pertanian

dan bahan alam menjadi bahan setengah jadi dan jadi (contoh

mengolah rotan menjadi perabotan rumah tangga, pengolahan

makanan ringan berikut pengawetannya dan pembuatan batu bata,

genteng, batako).

3) Ketrampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-

masing.

Dalam hal ini bagi mereka yang memiliki bakat tertentu

diusahakan pengembangan bakatnya itu.Misalnya memiliki

kemampuan di bidang seni, maka diusahakan untuk disalurkan ke

perkumpulan-perkumpulan seniman untuk dapat mengem-bangkan

bakatnya sekaligus mendapatkan nafkah.

4) Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industry.

Misalnya kegiatan pertanian (perkebunan) dengan

menggunakan teknologi madya atau teknologi tinggi, misalnya

industri kulit, industri pembuatan sepatu kualitas ekspor, pabrik

tekstil, industri minyak atsiri dan usaha tambak udang.

Telah diuraikan sebelumnya bahwa sistem pemasyarakatan adalah

proses pembinaan bagi narapidana yang bertujuan mengadakan perubahan-

perubahan yang menjurus kepada kehidupan yang positif, para petugas

pemasyarakatan merupakan yang menjalankan peran penting sebagai

pendorong, penjurus dan pengantar agar proses tersebut dapat berjalan dengan

lancar sehingga mencapai tujuan dengan cepat dan tepat.


56

Definisi dari fungsi pembimbingan yang dilakukan Balai

Pemasyarakatan adalah upaya pemberian tuntunan untuk meningkatkan

kualitas ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kesadaran berbangsa dan

bernegara, intelektual, sikap dan perilaku, kesehatan jasmani dan rohani,

kesadaran hukum, reintegrasi sehat dengan masyarakat, keterampilan kerja

serta latihan kerja dan produksi. Hal tersebut bertujuan untuk membentuk

Klien Pemasyarakatan (Warga Binaan Pemasyarakatan) agar menjadi manusia

seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi

tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat.16

Pembinaan menurut Masdar Helmi adalah segala hal usaha, ikhtiar dan

kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan dan pengorganisasian serta

pengendalian segala sesuatu secara teratur dan terarah.17

Menurut Mathis pembinaan adalah suatu proses dimana orang-orang

mencapai kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan organisasi.

Oleh karena itu, proses ini terkait dengan berbagai tujuan organisasi,

pembinaan dapat dipandang secara sempit maupun luas.18

Sedangkan menurut pasal 1 angka 1 PP No. 31 Tahun 1999 tentang

Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan menyebutkan

bahwa pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan

16
Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 31 tahun 1999 tentang pembinaan dan
pembimbingan warga binaan Pemasyarakatan Presiden Republik Indonesia,

17
Masdar Helmi, Dakwah dalam Alam Pembangunan I , (Semarang: Toha Putra, 1973), hal.
145

18
Mathis Robert L dan Jackson John H, Human Resoursce Management, Alih Bahasa.
(Jakarta : Salemba Empat. 2002), hal. 112
57

kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku professional,

kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

Selanjutnya sehubungan dengan definisi tersebut, Ivancevich

mengemukakan sejumlah butir penting yaitu, pembinaan adalah sebuah proses

sistematis untuk mengubah perilaku kerja seorang/sekelompok pegawai/klien

dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi. Pembinaan terkait dengan

keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk pekerjaan yang sekarang

dilakukan. Pembinaan berorientasi ke masa sekarang dan membantu pegawai

untuk menguasai keterampilan

Pembinaan juga dapat diartikan : “ bantuan dari seseorang atau

sekelompok orang yang ditujukan kepada orang atau sekelompok orang lain

melalui materi pembinaan dengan tujuan dapat mengembangkan kemampuan,

sehingga tercapai apa yang diharapkan.

Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan disesuaikan dengan

asas-asas yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan

Standard Minimum Rules (SMR) yang tercermin dalam sepuluh prinsip

pemasyarakatan. Pada dasarnya arah pelayanan, pembinaan dan bimbingan

yang perlu dilakukan oleh petugas ialah memperbaiki tingkah laku warga

binaan pemasyarakatan agar tujuan pembinaan dapat tercapai. Pembinaan

narapidana ialah semua usaha yang ditujukan untuk memperbaiki dan


58

meningkatkan akhlak (budi pekerti) para narapidana dan anak didik yang

berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan (intramural treatment)19.

Dalam pelaksanaan konsep pembinaan hendaknya didasarkan pada hal

bersifat efektif dan pragmatis dalam arti dapat memberikan pemecahan

persoalan yang dihadapi dengan sebaik - baiknya, dan pragmatis dalam arti

mendasarkan fakta - fakta yang ada sesuai dengan kenyataan sehingga

bermanfaat karena dapat diterapkan dalam praktek.

Sistem pemasyarakatan juga dapat diartikan sebagai suatu cara

perlakuan terhadap narapidana yang dijatuhi pidana hilang kemerdekaan,

khususnya pidana penjara, dengan mendidik, membimbing dan mengarahkan

narapidana, sehingga setelah selesai menjalani masa pidananya ia dapat

kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna bagi bangsa dan

negara, serta tidak melakukan kejahatan lagi.

Pembinaan telah menempatkan narapidana sebagai subjek pembinaan

dan tidak sebagai objek pembinaan seperti yang dilakukan dalam sistem

kepenjaraan. Dalam sistem pemasyarakatan perlakuan sudah mulai

berubah.Pemasyarakatan telah menyesuaikan diri dengan falsafah negara yaitu

Pancasila, terutama perlakukan terhadap narapidana.

Sistem baru pembinaan narapidana secara tegas mengatakan bahwa

tujuan pembinaan narapidana adalah mengembalikan narapidana kemasyarakat

dengan tidak melakukan tindak pidana lagi.

19
Adi Sujatno, Pencerahan di Balik Penjara (Dari Sangkar Menuju Sanggar Untuk Menjadi
Manusia Mandiri), (Jakarta, Penerbit Teraju (PT Mizan Publika), Tahun 2008).hal. 130
59

Fungsi dan tugas pembinaan pemasyarakatan terhadap warga binaan

pemasyarakatan dilaksanakan secara terpadu dengan tujuan agarmereka setelah

selesai menjalani pidananya, pembinaannya dan bimbingannya dapat menjadi

warga masyarakat yang baik.Sebagai abdi negara dan abdi masyarakat wajib

menghayati serta mengamalkan tugas-tugas pembinaan pemasyarakatan

dengan penuh tanggung jawab. Untuk melaksanakan kegiatan pembinaan

pemasyarakatan yang berdaya guna,tepat guna dan berhasil guna, petugas

harus memiliki kemampuan profesional dan integritas moral.

Pembinaan adalah suatu proses belajar dengan melepaskan hal-halyang

sudah dimiliki dan mempelajari hal-hal baru yang belum dimiliki, dengan

tujuan membantu orang yang menjalaninya, untuk membetulkandan

mengembangkan pengetahuan dan kecakapan yang sudah ada

sertamendapatkan pengetahuan dan kecakapan baru untuk mencapai tujuan

yang efektif.20Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan “pembangunan

watak manusia sebagai pribadi dan makhluk sosial melalui pendidikan dalam

sekolah, keluarga, organisasi, pergaulan, ideologi, dan agama.21

W.S. Winkle memberikan pengertian, pembinaan berarti “pemberian

bantuan kepada seseorang atau kelompok dalam membuat pemilihan secara

bijaksana dan dalam mengadakan penyesuaian diri terhadap tujuan hidup.22

Sedangkan menurut Bino Walgito, pembinaan berarti “bantuan atau

pertolongan yang diberikan kepada individu atau kelompok individu dalam


20
Mangunhardjana, Pembinaan: Arti dan Metodenya, (Yogyakarta: Kanisius, 1991),h. 12.
21
Departemen Pendidikan Nasional.Kamus Besar Bahasa Indonesia.(Jakarta: Balai pustaka
2005),h. 118.
22
W.S. Winkle S.J. Bimbingan Penyuluhan di Sekolah Menengah. Jakarta: PT.
Gramedia,1982),h.20
60

menghindari atau mengatasi kesulitan di dalam hidupnya untuk

mengembangkan kemampuan-kemampuan agar individu atau kelompok

individu itu dapat memecahkan masalah sendiri dan dapat mengadakan

penyesuaian diri dengan baik untuk mencapai kesejahteraan hidup.23

Dalam pembinaan terjadi proses melepas hal-hal yang

dimiliki,deleaming, berupa pengetahuan dan praktek yang sudah tidak

membantu dan menghambat hidup dan kerja, dan mempelajari, learning,

pengetahuandan praktek baru yang dapat meningkatkan hidup dan kerja.

Tujuannya agar orang yang menjalani pembinaan mampu mencapai tujuan

hidupatau kerja yang digumuli secara lebih efisien dan efektif dari sebelumnya.

Dari pengertian tersebut dapat diketahui unsur pokok dari pembinaanyaitu:

mendapatkan sikap (attitude) atau kecakapan (skill) engertian lain tentang

pembinaan adalah suatu tindakan, proses, hasil, atau pernyataan menjadi lebih

baik. Dalam hal ini menunjukan adanyakemajuan, peningkatan, pertumbuhan,

evolusi atas berbagai kemungkinan, berkembang, atau peningkatan atas

sesuatu. Dalam pengertian ini adadua unsur yakni: pertama, pembinaan itu

sendiri bisa berupa suatu tindakan,proses, atau pernyataan suatu tujuan, dan

kedua, pembinaan itu bisa menunjukkan kepada “perbaikan” atas sesuatu.hidup

dan kerja, yang dijalani secara lebih efektif.24

23
Walgito Bino. Bimbingan dan Konseling di Perguruan Tinggi. (Jogjakarta: Psikolog UGM,
1982),h. 12.
24
Miftah Toha, Pembinaan, Organisasi dan Intervensi, (Jakarta: FT. Raja Grafindo
Persada,1996),h.6.
BAB III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian kualitatif, yakni suatu

penelitian yang dimaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami

oleh subjek penelitian misalnya tentang prilaku, persepsi, motivasi, nilai prilaku

dan lain-lain, secara holistik, dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan

bahasa dalam suatu konteks khusus yang alamiah

Dengan jenis penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran

suatu fenomena atau gejala dari suatu keadaan tertentu, baik berupa keadaan

sikap pendapat maupun cara yang meliputi berbagai aspek tentang pelaksanaan

asimilasi bagi narapidana korupsi dalam kerangka reintegrasi social di lapas

kelas IIA Gorontalo.

Dilihat dari sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu

menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalahan yang

ada sekarang25, berkaitan dengan pelaksanaan asimilasi bagi narapidana

korupsi dalam kerangka reintegrasi social di lapas kelas IIA Gorontalo.

Sedangkan dilihat dari pendekatannya, maka penelitian ini bertitik tolak

dari permasalahan dengan melihat kenyataan yang terjadi di lapangan dan

mengkaitkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian

ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan

melakukan pengkajian dan analisa terhadap masalah pelaksanaan asimilasi bagi

25
Winarno Surakhmad, Dasar dan Teknik Research (Bandung: Tarsito, 1978), hal. 132.
61
62

narapidana korupsi dalam kerangka reintegrasi social di lapas kelas IIA

Gorontalo yang ditinjau dari Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan serta peraturan-peraturan yang lain yang berhubungan dengan

Narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan.

B. Metode Pengumpulan Data


1. Observasi

Didalam penelitian ini penulis melakukan pengamatan langsung terkait

aktivitas warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Gorontalo. Baik

dari segi jumlah warga binaan dan sarana prasana penunjang pembinaan di

dalam. Dengan mengamati aktivitas warga binaan maka penulis bisa menemukan

masalah yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian initerkait dengan

over kapasitas dan pengaruhnya terhadap pola pembinaan.

2. Wawancara

Pengumpulan data melalui tanya jawab sepihak berlandasankan pada

tujuan penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah Pimpinan dan pegawai

dan Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Gorontalo serta beberapa

pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam konteks

masalah yang penulis angkat.

3. Dokumentasi

Pengambilan data dengan cara dokumentasi yaitu pengambilan sejumlah

data pendukung dalam penelitian berupa dokumen-dokumen yang berhubungan

dengan konteks penelitian.


63

C. Analisis Data
1. Reduksi data

Pada tahapan pertama yang dilakukan oleh penulis dalam proses analisa

data adalah mulai menekan seluruh data yang sudah terkumpul. Adapun maksud

adanya reduksi data tersebut agar terjadi proses pemilihan data, penyederhanaan

data dan upaya pemindahan data kasar dari berbagai macam instrumen penelitian.

Reduksi data merupakan analisis data yang terus menerus dilakukan untuk

menyempurnakan data sampai pada tahap penyajian data.

2. Display data

Pada proses selanjutnya dilakukan penyajian data. Penyajian data ini

dimaksudkan untuk menampilkan informasi yang bersumber dari hasil data yang

telah direduksi dalam artian tidak mengurangi makna data yang tertuang dalam

formulasi bahasa sederhana dan sudah terorganisir secara sistematis dalam

rangka penarikan suatu kesimpulan hasil penelitian ini.

3. Verifikasi/pengambilan keputusan

Dan tahapan akhir yang dilakukan oleh peneliti dalam keitan dengan

rangkaian proses kegiatan analisa data adalah penarikan kesimpulan penelitian

yang didasarkan pada pemaknaan hasil temuan yang akan bermuara pada suatu

jawaban yang komprehensif terhadap permasalahan yang diajukan dalam

penelitian ini.
64

D. Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A, dengan

pertimbangan bahwa lokasi tersebut sesuai dengan konteks permasalahan yang

penulis angkat dalam kajian ini.

E. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian skripsi ini, peneliti berperan sebagai instrumen yang harus

beradaptasi dengan kondisi yang telah diperoleh di lapangan untuk kepentingan

penelitian dimaksud. Kehadiran peneliti di lapangan adalah sebagai pengamat dan

partisipan. Maksudnya, peneliti terjun langsung dalam mengumpul data yang di

butuhkan, sehingga data yang dikumpul akan diperoleh benar-benar akurat, autentik

dengan kebutuhan peneliti.

a. Pengecekan Keabsahan Temuan


Proses ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai keberadaan

data yang penulis temukan dilapangan. Cara yang penulis lakukan dalam proses ini

adalah memperdalam observasi terhadap objek penelitian dan memperpadat

frekuensinya.

Dalam rangka akurasi dan validitas data dalam upaya menarik kesimpulan

yang tepat dan objektif sesuai dengan fakta dilapangan, maka eksistensi pengecekan

keabsahan data dalam penelitian yang sangat urgen. Dalam penelitian skripsi ini

penulis mengunakan teknik sebagai berikut :

1. Perpanjangan keikutsertaan yaitu peneliti tinggal di lapangan penelitian sampai

kejenuhan pengumpulan data tercapai. Maksudnya adalah penulis terus

melakukan pengamatan, pengumpulan data dan penganalisaan serta penarikan

kesimpulan sampai benar-benar data yang dibutuhkan telah cukup.


65

2. Ketekunan pengamatan yaitu mencari konsisten mencari interprestasi dalam

berbagai cara yang ada kaitannya dengan proses analisis. Ketekunan pengamatan

yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penulis dengan teliti mengamati

aktifitas yang berkaitan dengan konteks penelitian.

3. Triangulasi ialah teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfatkan

sesuatu yang lain dengan cara membandingkan : (a) membandingkan data hasil

observasi dengan data hasil wawancara. (b) membandingkan apa yang dikatakan

informan didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. (c)

membandingkan antara hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang

berkaitan.

F. Tahap-tahap Penelitian
Penelitian ini dapat penulis golongkan dalam tiga tahapan kegiatan yaitu :

perencanaan (persiapan), pelaksanaan, dan penulisan laporan penelitian. Berikut

tahapan tersebut penulis uraikan satu persatu.

1. Tahap perencanaan

Pada tahapan ini penulis menempuh langkah-langkah sebagai berikut :

- Penentuan atau pemilihan masalah

- Studi awal untuk mengecek layak tidaknya penelitian dilakukan,

- Perumusan atau identifikasi masalah

- Telaah kepustakaan

- Perumusan tujuan dan kegunaan penelitian

- Penyusunan kerangka penelitian

- Konsultasi dengan dosen pembimbing


66

- Seminar

2. Tahap pelaksanaan

Dalam tahap ini penulis melaksanakan empat kegiatan pokok yaitu :

- Pengumpulan data

- Pengolahan data

- Analisa data, dan

- Penafsiran hasil analisa dan penarikan kesimpulan

3. Tahap penulisan laporan

Dalam tahap penulis laporan ini penulis menggunakan format atau pedoman

penulisan karya ilmiah yang diberlakukan oleh institusi Universitas Nahdhatul

Ulama (UNU) Gorontalo. Selain itu penulis memperhatikan pula aspek pembaca,

bentuk dan isi, serta penyusunan laporan sebagai aspek yang perlu diperhatikan

dalam pembuatan laporan penelitian.

Anda mungkin juga menyukai