PENDAHULUAN
Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan, bahwa Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah
tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Kata
lembaga pemasyarakatan pertama kali muncul tahun 1963, dan kata tersebut dimaksudkan untuk
menggantikan “kata penjara” yang berfungsi sebagai wadah pembinaan narapidana.1
Menurut Herbert L. Packer dalam bukunya The Limits of The Criminal Sanction yang
dikutip Barda Nawawi Arief membicarakan masalah sanksi pidana dalam penanggulangan
kejahatan, menyebutkan bahwa:
1.Sanksi pidana sangatlah diperlukan, tidak dapat hidup sekarang maupun di
masa yang akan datang tanpa pidana;
2.Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang sudah ada, yang dimiliki untuk
menghadapi bahaya-bahaya besar dan bersifat segera;
Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau terbaik dan suatu ketika
merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia itu sendiri.
1
Samosir, Djisman., 2012, Sekelumit tentang Penologi & Pemasyarakatan, Bandung: Nuansa
Aulia, hal. 128
Ia merupakan penjamin apabila dipergunakan secara hemat, cermat dan secara
manusiawi. Ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. 2
Sedangkan menurut Muladi, bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan
individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri atas seperangkat tujuan
pemidanaan yang harus dipenuhi dengan tujuan yang merupakan titik berat harus bersifat
kasuistis. Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud terdiri atas:3
1.Pencegahan (umum dan khusus);
2.Perlindungan masyarakat;
3.Memelihara solidaritas masyarakat;
4.Pengimbalan/perimbangan.
Pengaruh langsung dari penjatuhan pidana itu jelas terhadap orang yang dikenai pidana.
Tetapi pidana itu belum dirasakan sungguh-sungguh olehnya kalau sudah dilaksanakan secara
efektif. Dengan pemidanaan disini dikehendaki agar terpidana tidak melakukan tindak pidana
lagi. Oleh karena itu, penjatuhan pidana menjadi alternatif dalam rangka mencegah perbuatan
melanggar hukum, baik oleh individu maupun kelompok. Pemenjaraan dalam bentuk
pengisolasian diri dalam tembok penjara, ternyata mengalami perubahan seiring dengan
kemajuan peradaban suatu bangsa. Penghargaan terhadap citra manusia menjadi dasar utama
memperlakukan si terpidana lebih manusiawi. Sehubungan dengan itu, pemberian sanksi pidana
dengan membina narapidana di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia mengalami perubahan
yang cukup berarti, khususnya tentang metode perlakuan terhadap narapidana itu sendiri.
Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat pembinaan bagi narapidana atau orang - orang yang
melakukan kejahatan. Lembaga Pemasyarakatan merupakan unit pelaksana teknis di bawah
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sesuai
dengan namanya, Lembaga Pemasyarakatan mempunyai fungsi memasyarakatkan para
narapidana supaya dapat diterima di kalangan masyarakat.
2
Barda Nawawi Arief, Kebijaksanaan Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan,
Makalah, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1989, hal. 23
3
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung : Alumni, 1985), hal. 61
Adapun menurut Pasal 3 UUD No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, fungsi
Lembaga Pemasyarakatan adalah menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat
berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota
masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab
Untuk membina para narapidana agar bisa bergaul kembali dengan masyarakat secara
normal, maka petugas dari Lembaga Pemasyarakatan harus berupaya menyelenggarakan
kegiatan yang bisa membuat para napi sadar akan perbuatannya dan mereka tidak mengulangi
perbuatannya sehingga apabila mereka keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, mereka bisa
diterima oleh masyarakat.
Untuk mencapai tujuan di atas, maka ada banyak kegiatan yang di lakukan oleh pihak
Lembaga Pemasyarakatan. Seperti yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A
Wanita Semarang, seperti Pembinaan rohani, pembinaan kesenian dan olahraga, Serta pembinaan
kemandirian. Contoh pembinaan kerohanian adalah: tausyiah, baca tulis al-Qur’an, sholawat
untuk narapidana yang beragama Islam. Sedangkan untuk narapidana yang non-muslim seperti
acara kebaktian.
Untuk mencapai keberhasilan dalam menjalankan kegiatan- kegiatan tersebut maka harus
dikelola dengan baik, karena walaupun pihak Lembaga Pemasyarakatan sudah mengadakan
kegiatan yang banyak akan tetapi tidak dikelola dengan baik maka kegiatan tersebut tidak akan
memberi dampak yang positif bagi para narapidana, dengan kata lain kegiatan tersebut akan sia-
sia.Kalau dilihat fenomena dalam masyarakat, masih ada narapidanayang sudah keluar dari
Lembaga Pemasyarakatan akan tetapi masuk lagi, karena mereka melakukan kesalahan kembali.
Itu artinya bahwa kegiatan yang dilakukan didalam Lembaga Pemasyarakatan belum berhasil.
Maka perlu adanya sebuah kajian yang meneliti tentang penyebab ketidakberhasilan tersebut.
Bisa jadi ketidakberhasilan tersebut dikarenakan mereka belum mengimplementasikan fungsi –
fungsi manajemen. Karena manajemen adalah sebuah unsur yang sangat penting didalam sebuah
kegiatan. Dengan manajemen maka akan mengetahui tugas masing - masing bidangnya,
sehingga tujuan dari melakukan kegiatan bisa terpantau dan bisa terkontrol.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari masalah yang penulis rumuskan di atas, maka yang menjadi tujuan dalam
usulan pembuatan makalah ini adalah:
a. Dalam rangka melengkapi tugas untuk mata kuliah Penologi dan Pemasyarakatan
Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian dan penulisan makalah ini adalah :
a. Bagi penulis sendiri akan menambah pengetahuan dan pemahaman penulis mengenai
Lembaga Pemasyarakatan, agar dapat lebih memperhatikan masalah pemidanaan dalam
artian cara penanganan para tahanan dan narapidana, jangan hanya lebih bersifat
memfokuskan diri terhadap proses formil beracara dalam penanganan sebuah kejahatan
atau pelanggaran hukum belaka.
BAB II
KERANGKA TEORI
5
Cheche, Wardah, 2013, Lembaga Pemasyarakatan,
http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/11/lembaga-pemasyarakatan.html, diakses pada
tanggal 29 November 2016
Sesuai Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang
menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Penghuni suatu lembaga
pemasyarakatan atau orang-orang tahanan itu terdiri dari :
1. Dari sudut perkembangannya kelembagaan terdiri dari Criscive Institution and Enacted
Institution. Yang pertama merupakan lembaga yang tumbuh dari kebiasaan masyarakat.
Sementara yang kedua dilahirkan dengan sengaja untuk memenuhi kebutuhan manusia.
2. Dari sudut sistem nilai kelembagaan masyarakat dibagi menjadi dua yakni Basic institution
and Subsidiary Institution. Yang pertama merupakan lembaga yang memegang peranan penting
dalam mempertahankan tata tertib masyarakat sementara yang kedua kurang penting karena
hanya jadi pelengkap.
3. Dari sudut penerimaan masyarakat, terdiri dari dua yaitu Sanctioned Institution and
unsanctioned Institution. Yang pertama merupakan kelompok yang dikehendaki seperti sekolah
dll, sementara yang kedua ditolak meski kehadirannya akan selalu ada. Lembaga ini berupa
pesantren sekolah, lembaga ekonomi lain dan juga lembaga kejahatan.
4. Dari sudut faktor penyebabnya dibedakan atas General institutional and Restriktic
Institutional. Yang pertama merupakan organisasi yang umum dan dikenal seluruh masyarakat
contoh agama, sementara yang kedua merupakan bagian dari institusi yakni Islam, Kristen, dan
agama lainnya.
5. Dari sudut fungsinya dibedakan atas dua yaitu Operatif Institutional and regulatif Institutional.
Yang pertama berfungsi untuk mencapai tujuan, sementara yang kedua untuk mengawasi tata
kelakuan nilai yang ada di masyarakat.
4.
6
Al-Khawwarizmi, Damang, 2011, Lembaga Pemasyarakatan,
http://www.negarahukum.com/hukum/lembaga-pemasyarakatan.html, diakses pada tanggal
29 November 2016
Lembaga Pemasyarakatan kini seolah menjadi “sekolah tinggi kejahatan” karena banyaknya
insiden yang membuat narapidana sebelum masuk ke Lembaga Pemasyarakatan seakan tida
mengetahui apa-apa, tetapi setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan menjadi tahu
segalanya tentang kejahatan. Hal tersebut terjadi karena banyaknya kendala-kendala.
pedoman perilaku atau sikap tindak manusia dan merupakan salah satu sarana untuk
memelihara dan mengembangkan integrasi di dalam masyarakat. Namun demikian, tidak
semua norma di dalam masyarakat dengan sendirinya menjadi bagian dari suatu lembaga
sosial tertentu. Hal ini tergantung pada proses pelembagaan dari norma-norma tersebut
sehingga menjadi bagian dari suatu lembaga sosial tertentu ( Soekanto dan Taneko, 1984).
3. Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social
control) dan sistem pengawasan masyarakat terhadap perilaku anggotanya.
Perlindungan hak asasi pelanggar Hukum Internasional yang ditetapkan dalam Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 pada pasal 10 ayat (3) menyatakan:
sistem penjara harus mencakup pembinaan tehadap narapidana, yang tujuan utamanya adalah
perbaikan dan rehabilitasi sosial narapidana. Pelanggar hukum yang belum dewasa harus
dipisahkan dari orang dewasa dan diberikan perlakuan sesuai dengan usia dan status hukumnya.
Oleh sebab itulah dalam Sistem Pemasyarakatan menganggap bahwa wadah pembinaan
narapidana yang paling ideal adalah masyarakat.
Sejalan dengan prinsip ini maka dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan telah dinyatakan secara jelas dan limitatif berbagai hak narapidana,
temasuk hak mendapatkan pembinaan di tengah-tengah masyarakat yakni hak asimilasi, hak
mengunjungi keluarga, hak cuti bersyarat dan pembebasan bersyarat. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi dampak yang negatif dari pemenjaraan. Sedangkan di sisi lain secara bertahap ia
diberikan pelatihan untuk menerima tanggung jawab sosial yang diperlukan dalam kegiatan
bermasyarakat.
Hal ini sesuai dengan angka 60 Standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners (standar
perlakuan terendah narapidana) yang menyatakan:
b. Sebelum selesainya hukuman, sebaiknya perlu diambil tindakan-tindakan untuk menjamin dari
narapidana suatu pengembalian secara bertahap pada kehidupan dalam masyarakat. Sasaran ini
mungkin dicapai tergantung pada kasus itu dengan suatu pengaturan pra-pembebasan yang
diorganisir dalam lembaga yang sama atau pada lembaga yang lain yang tepat atau dengan
pembebasan percobaan di bawah beberapa macam pengawasan yang tidak boleh dipercayakan
kepada polisi tetapi harus digabung dengan bantuan sosial yang efektif.
a. Pengayoman
Pengayoman adalah perilaku terhadap warga binaan pemasyrakatan dalam rangka melingdungi
masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan,
juga memberikan bekal hidupnya kepada warga binaan pemasyarakatan, agar menjadi warga
yang berguna di masyarakat.
b. Persamaan Perlakuan dan Pelayanan
Persamaan perlakuan dan pelayanan adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama
kepada warga binaan pemasyarakatan tanpa membeda-
bedakan orang.
c. Pendidikan
Pendidikan adalah bahwa penyelenggara pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan
Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan
kesempatan untuk menunaikan ibadah.
d. Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia
Penghormatan harkat dan martabat manusia adalah bahwa sebagai orang yang tersesat warga
binaan pemasyarakatan harus tetap diperlukan sebagai manusia.
e. Kehilangan Kemerdekaan
Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan adalah warga binaan
pemasyarakatan harus berada didalam Lembaga Pemasyarakatan untuk jangka waktu tertentu,
sehingga mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di Lembaga
Pemasyarakatan (warga binaan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya
manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan,
kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan, olah raga, atau rekreasi).
a. Faktor Internal
1.Faktor Pendidikan
Faktor pendidikan yang minim dari pelaku tindak kejahatan sehingga tidak mampu
mengembangkan potensi yang ada pada diri si pelaku. Sebagai contoh, seseorang yang
berpendidikan formal hanya sampai tamat SD dibandingkan dengan seseorang yang tamat
pendidikan formal SMA atau SMK, maka potensi pengembangan diri atau untuk mencari
pekerjaan jauh lebih mudah yang tamatan SMA atau SMK dibandingkan yang tamatan SD.
2.Faktor Sifat dan Kepribadian.
Faktor sifat dan kepribadian yang ada dalam diri narapidana itu sendiri menjadi salah satu faktor
penghambat yang cukup besar, mengingat perbedaan sifat, keseriusan dalam melaksanakan
pembinaan, dan latar belakang yg berbeda - beda sangat mempengaruhi jalannya pembinaan,
sehingga sulit untuk menentukan jenis pembinaan yang cocok bagi masing - masing narapidana.
7
Pristiwati, Rita, 2012, Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan,
https://www.researchgate.net/publication/42323091_Pola_Pembinaan_Narapidana_Di_Lembaga
_Pemasyarakatan, diakses pada tanggal 30 November 2016.
b. Faktor Eksternal.
1.Sarana Gegung Lembaga Pemasyarakatan.
Kurangnya peralatan atau fasilitas baik dalam jumlah dan mutu juga banyaknya peralatan yang
rusak menjadi salah satu faktor penghambat kelancaran proses pelaksanaan pembinaan terhadap
Narapidana karena dari semuanya hal tersebut tidak tertutup kemungkinan faktor tersebut
menjadi penyebab tidak aman dan tertibnya keadaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
2. Kualitas dan Kuantitas Petugas
Adanya suatu usaha yang harus dilakukan agar kualitas dari para petugas Lembaga
Pemasyarakatan mampu menjawab segala masalah dan tantangan yang selalu ada dan muncul di
lingkungan Lembaga Pemasyarakatan di samping penguasaan terhadap tugas - tugas yang rutin.
3. Sarana dan Fasilitas Pembinaan.
Adanya kekurangan sarana dan fasilitas baik dalam jumlah mutu telah menjadi penghambat
pembinaan bahkan telah menjadi salah satu penyebab rawannya keamanan dan ketertiban. Hal
tersebut merupakan tugas bagi semua pihak yang ada didalamnya baik itu Kepala Lembaga
pemasyarakatan maupun staf yang ada di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.
4. Anggaran Lembaga Pemasyarakatan
Meskipun dirasakan kurang mencukupi untuk kebutuhan dan melaksanakan Semua program
pembinaan, namun hendaknya diusahakan sedapat mungkinUntuk memanfaatkan anggaran yang
tersedia secara berhasil guna dan berdayaguna, agar pembinaan dapat berjalan dengan baik.
5. Kualitas dan Ragam Program Pembinaan.
Kualitas dari bentuk - bentuk program dari pembinaan tidak semata - mataDitentukan oleh
anggaran ataupun sarana dan fasilitas yang tersedia. Diperlukan program - Program kreatif tetapi
tidak mengeluarkan biaya yang terlalu mahal dalam pengerjaannya dan mudah cara kerjanya
serta memiliki dampak yang edukatif yang optimal bagi warg a binaan pemasyarakatan.8
8
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29932/4/Chapter%20I.pdf, diakses pada tanggal
1 Desember 2016.
BAB III
ANALISIS
Adapun cara-cara untuk menghindari hal tersebut seperti misalnya narapidana dipisahkan
dari narapidana yang lain, hal tersebut melanggar salah satu prinsip-prinsip pokok tebtang
perilaku terhadap narapidana dan anak didik yang ditetapkan dalam Konferensi Dinas
Direktorat Pemasyarakatan di Lembag tanggal 27 April 1964, yaitu para narapidana harus
dikenalkan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Seperti misalnya kontak dengan
masyarakat yaitu seperti kunjungan-kunjungan hiburan ke dalam lembaga pemasyarakatan
dari anggota-anggota masyarakat bebas, dan kesempatan yang lebih banyak untuk berkumpul
bersama sahabat dan keluarga.
Ada contoh kasus seseorang yang masuk penjara, pada kali pertama, ia masuk penjara
karena pencurian motor. Lalu setelah ia bebas dari penjara, ia masuk lagi ke penjara kedua
kalinya karena perampokan sebuah toko emas. Setelah itu ia bebas dari penjara, dan ketiga
kali ia masuk penjara karena sebagai bandar narkoba. Semua kejahatan berturut-turut yang ia
lakukan merupakan hasil pembelajaran dari kawan-kawan narapidana selama ia berada di
penjara.
Contoh kasus lain yaitu kasus di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan,
Sumatera Utara. Kasus tersebut menyebabkan ratusan narapidana kabur dari Lapas.
beberapa faktor yang menyebabkan para narapidana kabur dari lapas adalah sering mendapat
siksaan saat mendekam di Lapas. siksaan tersebut juga merupakan pembelajaran kepada
narapidana untuk tahu bagaimana cara menyiksa, dan akhirnya setelah narapidana disiksa,
mereka kabur dari Lapas. dengan demikian, Insiden di Lapas Tanjung Gusta membuktikan
bahwa kenyataannya kapasitas dan pelayanan Lapas di hampir seluruh wilayah Indonesia
sangat buruk.
Menurut saya, cara untuk memperbaiki kualitas Lapas di Indonesia yaitu dengan cara
menjamin kualitas dan kuantitas petugas terlebih dahulu. Lalu juga menjamin sarana dan
prasarana di Lapas agar warga binaan lebih nyaman.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
http://perpus.org/tag/lembaga-pemasyarakatan.html
Samosir, Djisman., 2012, Sekelumit tentang Penologi & Pemasyarakatan, Bandung: Nuansa
Aulia, hal. 128
Barda Nawawi Arief, Kebijaksanaan Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah,
(Semarang: Universitas Diponegoro, 1989, hal. 23
8
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29932/4/Chapter%20I.pdf, diakses pada tanggal
1 Desember 2016.