Rahma Elyunisa (D1A020436) Jurusan Ilmu Hukum kelas Penitensier dan Penologi B1
Fakultas Hukum, Universitas Mataram, Jl. Majapahit No.62, Gomong, Kec. Selaparang, Kota
Mataram, Nusa Tenggara Bar. 83115, Telep/Fax:(081239568401),
elyunisarahma@gmail.com
Abstrak
Pembinaan narapidana kasus Pemerkosaan di Lembaga Pemasyarakatan dapat dilaksanakan
melalui tahap masa pengenalan lingkungan, dilanjutkan dengan pembinaan mental dan
kemandirian. Pembinaan mental dilakukan melalui peningkatan kesadaran beragama,
kesadaran hukum, intelektual, pembinaan kesehatan jasmani rohani sedangkan pembinaan
kemandirian dilakukan melalui pemberian keterampilan kerja. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan yaitu
meliputi kurangnya sarana dan prasarana, kurangnya jumlah petugas pengamanan, jumlah
warga binaan pemasyarakatan yang melebihi daya tampung Lapas dan terbatasnya jumlah
pembina.
Abstract
He development of rape case convicts in Correctional Institutions can be carried out through
the environmental familiarization stage, followed by mental development and
independence. Mental development is carried out through increasing religious awareness,
legal awareness, intellectual, physical and spiritual health development while fostering
independence is carried out through the provision of work skills. Factors that influence the
implementation of convict coaching in Correctional Institutions include the lack of facilities
and infrastructure, the lack of security officers, the number of correctional inmates that
exceeds the capacity of prisons and the limited number of coaches.
1. Pendahuluan
Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau Lapas) adalah tempat untuk
melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di
Indonesia, tempat tersebut disebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan
merupakan unit pelaksana teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Depertamen Kehakiman).
Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (Napi) atau warga Binaan
Pemasyarakatan tahanan (WBP) bisa juga yang statusnya tahanan, maksudnya yang
statusnya masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau
tidak oleh hakim. Pegawai Negeri Sipil yang menangani pembinaan narapidana dan
tahanan di lembaga pemasyarakatan di sebut dengan petugas pemasyarakatan, atau
dahulu lebih dikenal dengan istilah sipir penjara. Sistem pembinaan bagi narapidana
telah berubah dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan, perusahaan dari
rumah penjara menjadi Lembaga Pemasyarakatan, bukan semata-mata hanya secara
fisik merubah atau mendirikan bangunannya saja, melainkan yang lebih penting
menerapkan konsep pemasyarakatan.
Upaya pendidikan untuk semua lapisan masyarakat dari usia dini sampai lanjut
usia, termasuk kecakapan hidup bagi narapidana yang sedang menjalani hukuman
lembaga permasyarakatan.1 Pengembangan pendidikan kecakapan hidup meuruapan
tugas dan wewenangan pendidikan luar sekolah sepagai upaya pengembangan sumber
daya manusia yang dirasakan kepada sumber daya manusia yang didasarkan kepada
sumber daya manusia pengembangan pendidikan tersebut sangat penting bagi
narapidana, karena jumlah narapidana di lembaga pemasyarakatan. Narapidana adalah
orang yang telah melanggar norma kehidupan, mereka tidak tahan kondisi kehidupan
yang serba sulit sehingga menimbulkan sifat frustasi, kehilangan pekerjaan dan
masalah-masalah lain seperti tidak terpebuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan dan
papan) di satu pihak, dan di pihak lain tidak sedikit pula narapidana yang berasal dari
lapisan masyarakat yang tergolong mampu dari segi ekonomi bahkan dari kalangan elit,
seperti pengusaha, politikus dan birokrat. Seorang narapidana perkosaan untuk dapat
diterima hidup di tengah- tengah masyrakat harus mampu menyesuaikan dan
membuktikan bahwa dirinya benar-benar sadar, insaf dan menunjukkan sikap serta
perilaku yang baik.2Untuk mengatasi dan mengantarkan narapidana ke jalan yang
benar, maka pendidikan agama Islam merupakan peran sangat penting dan sangat
menentukan bagi terbentuknya manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah
SWT. Serta mampu mengembangkan kecakapan hidupnya, sebagai modal dalam upaya
mengawali hidup baru di tengah masyarakat.
2. Teori Pemidanaan/Teori Penegakan Hukum
Teori yang digunakan dalam pembinaan terhadap narapidana yang melakukan
tindak pidana pemerkosaan yaitu teori relatif karena menurut teori ini tujuan hukuman
adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Pencegahan atau prevensi
ditujukan kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat tidak melakukan
1 Ibid,2007.hlm.89
2 Yusafat Rizako, Implementasi Sistem permasyarakatan, Jakarta:Fisif-UI,2009,helm.63
kejahatan atau pelanggaran yang disebut sebagai prevensi umum (generale preventive).
Teori tentang tujuan pemidanaan atau penegakan hukum terbagi 3 yaitu : 1.Teori
absolut atau pembalasan (retributive/vergeldingstheorien), memandang bahwa
pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga
berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini
mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena
orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus
ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi
bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.3
Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian), memandang bahwa pemidanaan
bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi
ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan
kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Dari teori ini
muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus
yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan ke
masyarakat. Teori relatif berasakan 3 tujuan utama pemidanaan yaitu preventif
(tujuannya untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan
terpisah dari masyarakat), detterence (untuk menimbulkan rasa takut melakukan
kejahatan yang bisa dibedakan untuk individual, publik dan jangka panjang), dan
reformatif.4
Teori gabungan, memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena
menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan retributif sebagai satu
kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung kerakter retributif
sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang
salah. Sedangkan karakter utilitariannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral
tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.
3 M uladi 2002, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan pidana, Cetakan Kedua, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, hal.74
4 Ibid, hal.74
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Pembinaan Terhadap Napi Yang Melakukan Tindak Pidana Perkosaan
Dilakukan dengan cara memberi penyuluhan hukum yang bertujuan untuk
mencari kadar kesadaran hukum, sehingga sebagai anggota masyarakat dapat ikut
menegakkan hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan
martabat.Wawancara dengan Napi umur 23 tahun yang mengatakan bahwa:
“Disini kami dibina tentang hukum, supaya dapat mengerti dan taat pada
hukum, dan diharapkan tidak melanggar hukum setelah bebas nanti. Pembina disini
cukup baik dan ramah- ramah”5 Proses pembinaan kesadaran hukum di Lembaga
Pemasyarakatan sudah berjalan cukup baik dan dapat mencapai sasaran yang
diharapkan.
Wawancara dengan napi umur 19 tahun mengatakan bahwa: “Disini sangat sulit
untuk mendapat buku bacaan dan Koran, kalau Koran memang narapidana disini
tidak diperbolehkan membaca. Buku bacaan hanya dapat diperoleh dari
perpustakaan dan perpustakaan keliling yang datang setiap hari jumat, itupun
jumlahnya terbatas sehingga saya disini agak sedikit kuper”6 Pembinaan
Kemandirian diberikan melalui program-program:
a. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri Misalnya:kerajinan
tangan seperti membuat kursi
b. Ketrampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakat Misalnya:
ketrampilan membuat tas
c. Ketrampilan untuk mendukung industri-industri kecil Misalnya: seperti
membuat kue dan memasak
d. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau pertanian atau
perkebunan dengan teknologi madya atau teknologi tinggi. Misalnya, dengan
adanya lahan yang kosong disekitar lembaga pemasyarakatan seperti antar
bangunan yang satu denganbangunan yang lain terdapat gang dan gang tersebut
ditanamibunga.
4. Metode penelitian
Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui, yang mempunyai
langkah-langkah sistematis, metodologi adalah suatu pengkajian dalam memperoleh
pelajaran-pelajaran suatu metode. Jadi metodologi penelitian adalah suatu pengkajian
dalam mempelajarai peraturan-peraturan yang terdapat dalam penelitian. Ditinjau dari
sudut filsafat, metode penelitian merupakan epistemology penelitian yaitu yang
menyangkut bagaimana kita menjadikan penelitian.15 Penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif. Taylor dan Moleong, menyatakan bahwa penelitian
kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Metode penelitian kualitatif dilakukan dalam situasi yang wajar (natural setting)
dan data yang dikumpulkan umumnya bersifat kualitatif. Metode kualitatif lebih
berdasarkan pada filsafat fenomenologis yang mengutamakan penghayatan dan
berusaha untuk memahami serta menafsirkan makna sesuatu peristiwa interaksi tingkah
laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri.
Penelitian kualitatif tidak bertujuan untuk mengkaji atau membuktikan kebenaran suatu
teori tetapi teori yang sudah ada dikembangkan dengan menggunakan data yang
dikumpulkan. Sesuai dengan dasar penelitian tersebut, maka penelitian ini diharapkan
mampu menggambarkan tentang upaya Lembaga Pemasyarakatan dalam pembinaan
terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana perkosaan.
15 Husain Usman dan Purnomo Setiadi Akbar, Metode Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hlm. 42.
Metode pembinaan terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana pemerkosaan
yaitu :
1. Metode pembinaan berdasarkan situasi.
Dalam pembinaan ini, terdiri dari dua pendekatan yaitu pendekatan dari
atas ke bawah (top down approach) dan pendekatan dari bawah ke atas (bottom
up approach) Pendekatan dari atas ke bawah adalah pembinaan yang berasal
dari Pembina, atau paket pembinaan dari Warga Binaan telah disediakan dari
atas. Warga Binaan tidak berkesempatan untuk menentukan jenis pembinaan
yang akan dijalaninya sehingga harus menjalani paket pembinaan tertentu
yang telah disediakan. Pembinaan dari bawah ke atas adalah paket pembinaan
yang memperhatikan kepentingan dan kebutuhan belajar bagi Warga Binaan.
Kunci dari keberhasilan Warga Binaan adalah pandai-pandainya seorang
Pembina mengenalkan Warga Binaan pada dirinya sendiri.
2. Pembinaan Perorangan (Individual Treatment)
Pembinaan ini diberikan kepada Warga Binaan secara perorangan oleh
Pembina. Pembinaan perorangan tidak harus terpisah secara sendiri-sendiri
tetapi dapat dilakukan secara berkelompok tetapi penanganannya
sendirisendiri. Pembinaan ini dilakukan karena setiap Warga Binaan memiliki
kematangan tingkat emosi, intelektual, logika yang berbeda-beda. Pendekatan
ini akan sangat bermanfaat jika Warga Binaan punya kemauan untuk mengenal
dirinya sendiri.
3. Pembinaan secara kelompok (classical treatment)
Pembinaan yang dilakukan secara kelompok disesuaikan dengan
kebutuhan pembinaan yang ditentukan oleh Pembina atau pembinaan sesuai
dengan kebutuhan pembinaan yang dirasakan oleh Warga Binaan. Pembinaan
ini dapat dilakukan dengan Tanya jawab, simulasi, permainan peran atau
pembentukan tim. Metode penelitian yang digunakandalam penelititan ini
yaitu, yuridisnormatif adalah menelaah norma-norma,kaidah-kaidah, dan
aturan-aturan yang berlaku seperti hukum positif yang berkaitan dengan
penelitian yang diangkat.
5. Kesimpulan
Berdasakan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1) Pembinaan terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana perkosaan yaitu
dengan melakukan pendekatan diri antara pembina dan narapidana,mendidik
moral dan agama, serta berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995
Tentang Pemasyarakatan Pasal 5 yaitu Sistem Pembinaan Pemasyarakatan
berdasarkan asas:
(a) Pengayoman (b) persamaan perlakuan dan pelayanan (c) pendidikan (d)
pembimbingan (e) penghormatan harkat dan martabat manusia (f) kehilangan
kemerdekaan merupakan satu- satunya penderitaan (g) terjaminnya hak untuk
tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Sedangkan bentuk
pembinaan secara khusus yaitu: Pengajian, bimbingan sholat dan do’a, sholat
jum’an dan sholat berjama’ah, TPQ, dialog agama, kegiatan PHBI dan kegiatan
khusus di bulan ramadhan.
2) Kendala yang ditemui dalam pembinaan terhadap napi yang melakukan tindak
pidana perkosaan yaitu : (a) Kurangnya pendidikan agama dari napitersebut (b)
Sering terjadinya keributan antar sesama napi (c) Jarang adanya kerja sama yang
baik antar napi (d) Petugas Lapas kadang kurang bisa mengayomi napi.
6. Saran
1) Kepada Pembina dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan agar tidak bosan dalam
mendidik, membimbing dan membina narapidana ke arah yang lebih baik lagi
agar bisa jadi seperti yang di harapkan.
2) Kepada orang tua berusaha lah untuk memahami apa yang sedang dialami oleh
anak,usahakan pendekatan antara orang tua dan anak terjalin dengan baik,
tanamkan ilmu agama dari usia dini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual :
Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan,Bandung: Refika Aditama,2001
Abu Zahrah, Al-Jarimah Waal-Uqubah Fi al-Fiqh Al-Islam, Beirut: Daral-fikr,t.t. II
Alan coffey, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995, Jakarta, 1991.Alan coffey, Pengantar
Hukum Advokad,Jakarta, 1991.
Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam KitabUndang- undangan Hukum
Acara Pidana, Bandung: Binacipta, 1986
Anonim, Hak Azasi Instrumen Hukum untuk Mewujudkan KeadilanGender, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2004
Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif dalam PenanggulanganKejahatan dengan
Pidana Penjara, BP Undip: Semarang, 2000.
Arsuwendo Atmowiloto, Hak-Hak Narapidana, Elsam: Jakarta, 1996 Beni Ahmad Saebani,
Metode Penelitian, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008.
Dwitja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung; Cet. 1, 2006
Hamzah, Andi, HukumAcara Pidana Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta, 2001. Hasbi Ash-
Shiddieqy, Tafsir al-Qur’an al-Majid an-Nur, Jakarta:Bulan Bintang,1965
Husaini Usman dan Purnomo Setiadi Akbar, Metode Penelitian Sosial, Bumi Aksara:
Jakarta, 1995.