Anda di halaman 1dari 42

TANGGUNG JAWAB LAPAS NARKOTIKA TERHADAP WARGA

BINAAN DALAM UPAYA PEMBINAAN

(Studi kasus di Lapas Narkotika Kelas II A Samarinda)

PROPOSAL

Diajukan Oleh

MAHYUNI

14.11.1001.1011.234

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SAMARINDA

2021
i

DAFTAR ISI

BAB I.......................................................................................................................1

A. Alasan Pemilihan Judul...................................................................................1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah..............................................................7

C. Maksud dan Tujuan Penulisan.........................................................................7

D. Metode Penelitian............................................................................................8

1. Jenis Penelitian..........................................................................................9

2. Pendekatan Masalah..................................................................................9

3. Sumber Bahan Hukum..............................................................................9

4. Populasi dan Sampel...............................................................................10

E. Sistematika Penulisan....................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul

Pemidanaan di Indonesia diterapkan dengan sistem pemasyarakatan.

Sejak dihapuskannya sistem kepenjaraan dan diganti dengan sistem

pemasyarakatan, maka setiap perlakuan terhadap narapidana wajib bersifat

mendidik. Di dalam konsep pemasyarakatan terdapat keinginan dan tujuan

luhur yaitu mendidik para narapidana yang selama ini dianggap salah tersesat,

agar menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara.1 Hal tersebut

diwujudkan dengan adanya pembinaan narapidana.

Pengaturan mengenai sistem pemasyarakatan tersebut diwujudkan

pada tahun 1995 melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan. Mengenai tujuan sistem pemasyarakatan, dalam Pasal 2

undang-undang tersebut ditegaskan, bahwa:

“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka

membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia

seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak

mengulang tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh

lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan

dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung

jawab”.

1
Made Darma Weda, 1996, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 12
2

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) ialah tempat melaksanakan

pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan sebagai salah satu unit

pelaksana teknis (UPT) pemasyarakatan (UU No 12 Tahun 1995). 2 Adanya

pembinaan bagi narapidana di dalam sebuah Lembaga pemasyarakatan tidak

terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan

bekal bagi narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai

menjalani masa hukuman (bebas) dan tidak mengulangi lagi kesalahan yang

sama yaitu Kembali pada narkotika dan mendekam di balik jeruji penjara

(residivis).

Pelaksanaan pembinaan dalam upaya mengembalikan narapidana

menjadi masyarakat yang baik sangatlah penting dilakukan. Lembaga

pemasyarakatan diharapkan mampu membentuk kepribadian serta mental

narapidana yang dianggap tidak baik menjadi baik di mata masyarakat. Peran

serta masyarakat sangat diperlukan dalam proses resosialisasi narapidana yang

saat ini masih sulit dilaksanakan. Tanpa peran serta masyarakat dalam

pembinaan, tujuan sistem pemasyarakatan melalui upaya reintegrasi warga

binaan tidak akan tercapai bagaimanapun baiknya kualitas program-program

pembinaan yang diterapkan.

Salah satu narapidana yang patut menjadi perhatian untuk

mendapatkan pembinaan yang optimal adalah narapidana kasus narkotika. Di

Indonesia, penyalahgunaan narkotika harus menjadi prioritas karena narkotika

adalah musuh yang dapat merusak Bangsa Indonesia melalui generasinya.

2
Josias Simon R- Thomas Suryano,2011, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di
Indonesia, Bandung, CV. Lubuk Agung, hlm.14
3

Seperti yang tercantum dalam penjelasan umum Undang-Undang No 35

Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai berikut:

“Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan

diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun jika

disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar

pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi

perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan

lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar

bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan

dapat melemahkan ketahanan nasional.”

Kemudian dalam Undang-Undang yang sama dalam Pasal 54

disebutkan juga bahwa:

“Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib

menjalani rehabitasi medis dan rehabilitasi sosial”

Di dalam Pasal tersebut mengamanatkan bahwa pecandu dan korban

penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi

sosial. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan kebaikan kepada pecandu

dan korban untuk bertobat dan tidak mengulangi perbuatan tersebut lagi. Di

sinilah peran bagi Lembaga pemasyarakatan untuk melakukan pembinaan

kepada para korban dan pecandu narkotika.

Penanggulangan kejahatan yang berhubungan dengan narkotika sudah

dilakukan oleh berbagai pihak dengan banyak cara. Salah satu cara
4

penanggulangan narkotika adalah memberikan pembinaan bagi narapidana

narkotika yang dilakukan dengan maksud agar para narapidana narkotika yang

telah melaksanakan sistem pembinaan akan terbebas sepenuhnya dari jerat

bahaya narkotika dan dapat diterima Kembali ke masyarakat. Program

pembinaan yang diberikan oleh petugas kepada narapidana didasarkan pada

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, yang

merupakan acuan pembinaan narapidana di Lembaga pemasyarakatan.

Dengan adanya stigma negatif terhadap para narapidana yang selesai

menjalani hukumannya dan siap kembali ke masyarakat, tidak jarang muncul

permasalahan dikarenakan kurang siapnya mayarakat menerima mantan

narapidana. Narapidana terlanjur di anggap jelek bahkan sampah di kalangan

masyarakat sekitar. Banyak masyarakat yang merasa takut, curiga, kurang

percaya, dan memperlakukan secara tidak wajar. Para mantan narapidana yang

kembali pada kehidupan sosial sudah menunjukkan sikapnya yang baik,

namun masih saja di anggap penjahat dan sulit mendapatkan teman serta

pekerjaan. Akibatnya Sebagian besar mereka tetap bergaul dengan sesame

pelaku tindak pidana dan kembali pada penyakit lamanya. Hal ini menjadi

pemicu mantan narapidana mengulangi perbuatan yang melanggar hukum.

Lembaga Pemasyarakatan sebagai sistem pembinaan narapidana

dengan tujuan memeperbaiki sikap dan perilaku serta mengembangkan potensi

narapidana. Untuk itu dalam pembinaan narapidana harus ada sinergi secara

mendalam dan partisipasi, baik narapidana maupun pertugas Lembaga


5

pemasyarakatan sehingga tujuan pembinaan yang telah di tetapkan berhasil

secara optimal.

Berkenaan dengan pembinaan narapidana, pembinaan narapidana

dilakukan melalui dua jenis pembinaan, yaitu intramural treatment dan

ekstramural treatment. Intramural treatment merupakan pembinaan yang

dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan tujuan memperbaiki

dan meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual,

sikap, dan prilaku, kesehatan jasmani-rohani. Dalam pelaksanaannya meliputi

pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Kemudian jenis

pembinaan ekstramural treatment adalah pembinaan yang dilakukan di luar

Lembaga Pemasyarakatan, bertujuan untuk meningkatkan dan

mengembangkan kemampuan narapidana selama dalam Lembaga

Pemasyarakatan, meliputi pemberian asimilasi, cuti mengunjungi keluarga,

Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Pembebasan Bersyarat (PB).3

Pembinaan akan berlangsung dengan baik apabila didukung fasilitas

pembinaan dan, tersedianya sumber daya manusia yang memiliki kemampuan

untuk melakukan pembinaan, selain kemauan dan keseriusan narapidana

dalam pembinaan. Terkait dengan fasilitas, banyak Lembaga Pemasyarakatan

yang telah memiliki fasilitas pembinaan yang relatif baik, namun fasilitas

tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena sumber dayanya

belum mendukung, baik petugas maupun narapidananya.

Hukum positif Indonesia sudah mengatur secara jelas tentang

bagaimana proses pembinaan ini dalam beberapa aturan, yaitu dalam Undang-
3
Ibid hlm.13
6

Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Kemudian sebagai

aturan turunan dari Undang-Undang tersebut dibuatlah Peraturan Pemerintah

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Negara

Binaan Pemasyarakaran dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999

Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

Pemasyarakatan.

Sistem pemasyarakatan di Indonesia menganut bahwa penjatuhan

pidana bukan sebagai balas dendam, melainkan sebagai reabilitasi dan

reintegrasi sosial agar narapidana menyadari kesalahanya dan tidak lagi

melakukan tindakan pidana yang sama serta kembali menjadi warga negara

yang baik dan bertanggung jawab. Namun, apakah pada kenyataannya sistem

pemasyarakatan (sebagai lembaga pembinaan narapidana) yang selama ini

telah ditetapkan, apakah sudah terealisasi apa belum di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II A Samarinda, karena pembinaan narapidaana harus

didukung dengan sumber daya yang ada, baik petugas yang memumpuni dan

kesadaran narapidana untuk dibina serta ketersediaan sarana dan prasarana

yang memadai, serta bagaimana pelaksanaan pembinaan narapidana telah

sesuai dengan konsep hukum positif yang ada di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik untuk

mengambil judul tanggung jawab lapas narkotika terhadap warga binaan

dalam upaya pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika kelas II A

Samarinda.
7

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah dalam suatu

penelitian karya ilmiah agar lebih mendalam, terarah dan tepat pada porsinya

karena itu untuk memudahkan pencapaian tujuan dan pembahasannya, maka

dalam penyusunan skripsi diatas dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai

berikut :

1. Apa upaya yang dilakukan oleh pihak Lapas sebagai bentuk

tanggung jawab dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di

Lapas Narkotika Kelas II A Samarinda ?

2. Apa kendala yang dihadapi oleh pihak Lapas dalam melakukan

pembinaan terhadap narapidana di Lapas Narkotika Kelas II A

Samarinda ?

C. Maksud dan Tujuan Penulisan.

Maksud penulisan di dalam proposal ini adalah untuk mengetahui

secara umum mengenai tanggung jawab pembinaan Lembaga Pemasyarakatan

dan sejauh mana peran Lembaga Pemasyarakatan dalam Pembinaan

Narapidana Narkotika.

Adapun tujuan penulisan adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh pihak Lapas sebagai bentuk

tanggung jawab dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di Lapas

Narkotika Kelas II A Samarinda.


8

2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh pihak Lapas dalam

melakukan pembinaan terhadap narapidana di Lapas Narkotika Kelas II A

Samarinda.

D. Metode Penelitian.

Metode Penelitian merupakan suatu cara yang digunakan dalam

mengumpulkan data penelitian dan membandingkan dengan standar ukuran yang

telah ditentukan.4 Dalam hal ini peneliti menggunakan beberapa perangkat

penelitian yang sesuai dengan metode penelitian ini guna memperoleh hasil yang

maksimal, antara lain sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis

penelitian yuridis Normatif. Penelitian Hukum Normatif merupakan

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

atau data sekunder.5 Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian

hukum doktrinal. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum

normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum,

prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi. 6 Pada penelitian hukum jenis ini,

seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam

4
Kartini Kartono dalam Marzuki. 2002 Metodologi Riset.Yogyakarta, UII Press. hlm.55
5
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, PT.
Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 13.
6
Peter Mahmud Marzuki,2010, Penelitian Hukum, Jakarta,:Kencana Prenada, 2010, hlm. 35.
9

peraturan perundangundangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah

atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang

dianggap pantas.7 Lexi J. Moleong menyatakan bahwa “penelitian

kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan

perilaku yang diamati”.8

2. Pendekatan Masalah

Penelitian dengan jenis yuridis normatif pada hakikatnya

menunjukan pada suatu ketentuan, pendekatan penelitian dilakukan

agar peneliti mendapatkan informasi dari berbagai aspek untuk

menemukan isu-isu yang akan dicari jawabannya, adapun pendekatan

dalam penelitian ini yaitu :

1. Pendekatan undang-undang (status approach) atau pendekatan

yuridis yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum9.

Pendekatan perundang- undangan ini dilakukan untuk menelaah

semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan

penelitian yang akan diteliti. Pendekatan perundang-undangan ini

akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah

konsistensi dan kesesuaian10 antara satu undang- undang dengan

undang-undang yang lain.


7
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada, 2006, hlm. 118.
8
Lexi. J. Meleong, 2001, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Rosda Karya, Bandung., hlm. 3
9
Bahder Johan Nasution. 2008.Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung : Mandar Maju,hlm. 92
10
Opcit Peter Mahmud hlm.93
10

2. Pendekatan konseptual (conceptual approach),11 pendekatan ini

dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hokum

untuk masalah yang dihadapi, pendekatan ini konseptual beranjak

dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang

dalam ilmu hukum, sehingga melahirkan pengertian hukum dan

asas-asas hukum yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi

3. Sumber Bahan Hukum

Adapun Adapun sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri

dari yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan hukum primer adalah

bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai

otoritas.12 Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri peraturan

perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam

pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim.13 Dalam penelitian ini, Peneliti menggunakan bahan hukum

primer sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan

11
Johnny Ibrahim.2007 Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet 3. Malang :
Bayumedia Publishing, hlm.306
12
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Cet 5, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2003), hlm 66
13
Ibid, hlm 67
11

2. Undang-Undang 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

3. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga

Binaan Pemasyarakatan

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang dapat

membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer. Bahan

hukum sekunder juga dapat diartikan sebagai publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Adapun macam dari

bahan hukum sekunder adalah berupa buku-buku teks, kamus-kamus

hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan

pengadilan.14

c. Bahan Hukum Tersier.

Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan penelitian

ini apabila diperlukan nantinya adalah surat kabar, internet,

kamus Hukum, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

4. Teknik Pengumpulan Data dan Pengolahan Badan Hukum

Di dalam pengumpulan data yang berasal dari sumbernya penulis

menggunakan metode kepustakaan dan metode lapangan (field


14
Ibid, hlm.67
12

research). Metode kepustakaan yaitu pengumpulan data dan informasi

dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat di ruang

perpustakaan. Dalam penelitian perpustakaan ini dilakukan dengan

cara membaca, menelaah serta mempelajari sebagai bahan bacaan atau

literature-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang

penulis bahas.

Kemudian untuk metode pengumpulan dan pengambilan data dari

lapangan, penulis mempergunakan beberapa metode, yaitu sebagai

berikut:

a. Metode Interview

Metode interview adalah percakapan dengan maksud tertentu,

percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang

diwawancarai (interview) yang memberikan jawaban atas

pertanyaan itu.15

Jenis interview yang penulis gunakan adalah interview bebas

terpimpin, yaitu penginterview membawa kerangka

pertanyaanpertanyaan yang akan disajikan kepada

interviewer.16 Metode interview ini penulis gunakan sebagai

metode utama, untuk mencari data-data yang berkaitan dengan

pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II

Samarinda.

15
Opcit Lexi. J. Meleong,hlm. 135.
16
Sutrisno Hadi,2004, Metode Research , Andioffset, Yogyakarta, 2004, hlm. 192.
13

b. Metode Observasi.

Peneliti mengadakan pengamatan secara langsung kegiatan

serta tahap-tahap selama proses tahapan pembinaan narapidana

yang dilakukan petugas. Dengan demikian dapat diketahui

gambaran tentang pembinaan narapidana di Lapas Narkotika

Kelas II A Samarinda.

c. Metode Dokumentasi.

Menurut Suharsimi Arikunto, Metode Dokumentasi adalah

“Mencari data megenai hal-hal atau sesuatu yang berkaitan

dengan masalah variabel yang berupa catatan, transkrip, buku,

surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, buku langger”.17

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang bersifat

dokumen dan ada hubungannya dengan penelitian. Adapun data

yang diambil melalui metode ini adalah data-data dari Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II A Samarinda yang berupa sejarah

berdirinya, struktur orgsnisasi, sarana dan prasarana, dan data

tertulis lainnya.

5. Analisis Bahan Hukum.

Bahan-bahan hukum yang telah berhasil dikumpulkan

dilakukan analisis yakni deskripsi. Teknik deskripsi yakni

menguraikan (mengabstraksikan) suatu fenomena apa adanya atau

posisi dari proposisi-proposisi hukum dan non-hukum yang dijumpai.

17
Ibid., hlm.70
14

Sedangkan Legal Reasoning adalah Suatu kegiatan untuk

mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa

hukum,baik yang merupakan perbuatan hukum (perjanjian, transaksi

perdagangan, dll) ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum

(pidana, perdata,ataupun administratif) dan memasukkannya ke dalam

peraturan hukum yang ada.

E. Sistematika Penulisan.

Penelitian ini penulis Menyusun dalam empat bab yang didalamnya

terdapat sub bab agar mempermudah dalam memahami penulisan penelitian

hukum ini.

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bagian I ini diuraikan mengenai alasan pemilihan judul yang menjadi

dasar maupun alasan penulis untuk mengangkat masalah yang berkaitan

dengan permasalahan yang sedang dibahas, serta dilanjutkan dengan

rumusan masalah, maksud dan tujuan penulisan, metode penelitian, dan

terakhir sistematika penulisan.

BAB II KERANGKA TEORITIS

Pada bab II ini penulis menguraikan semua tinjauan teori-teori yang berkaitan

dengan permasalahan yang dibahas, yaitu Tinjuan Umum tentang

Lembaga dan Sistem Pemasyarakatan, Tinjauam Umum tentang

Narapidana dan Warga Binaan, Tinjauan Umum tentang Pembinaan

Narapidana, Tinjauan tentang Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem


15

Pemasyarakatan, dan Tinjauan tentang Pengaturan Narkotika, Psikotropika

dalam Hukum Positif Indonesia.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab III penulis menjelaskan pemaparan yang menjadi pokok bahasan dan

juga disajikan pembahasan yaitu pembinaan warga binaan di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II A Samarinda serta bagaimana tanggung jawab

Lembaga Pemayarakatan terhadap warga binaan tersebut, serta analisis-

analisis terhadap hasil penelitian tersebut.

BAB IV PENUTUP

Pada bab IV berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran yang akan diberikan

penulis yang sekiranya dapat bermanfaat dalam perkembangan ilmu

hukum.
16

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:PT.


Raja Grafindo Persada, 2006,
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Cet 5,Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2003
Bahder Johan Nasution. .Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung : Mandar Maju,
2008
Johnny Ibrahim.Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet 3. Malang :
Bayumedia Publishing,2007

Josias Simon R- Thomas Suryano, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di


Indonesia, Bandung, CV. Lubuk Agung,2011

Kartini Kartono dalam Marzuki. 2002 Metodologi Riset.Yogyakarta, UII Press.


Lexi. J. Meleong, 2001, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Rosda Karya, Bandung
Made Darma Weda, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.1996
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta,:Kencana Prenada, 2010

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat,
PT. Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2003
Sutrisno Hadi, Metode Research , Andioffset, Yogyakarta. 2004

2. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan

Pembimbingan Warga Negara Binaan Pemasyarakaran

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara
17

Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan


18

BAB II

KERANGKA TEORITIS

A. Tinjauan Umum tentang Lembaga dan Sistem Pemasyarakatan.

1. Definisi

Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah lembaga negara yang

mempunyai kewenangan dan kewajiban bertanggung jawab dalam menangani

kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan

narapidana yang bertujuan agar narapidana setelah keluar dari Lembaga

Pemasyarakatan dapat diterima kembali oleh masyarakat dan menjadi

manusia yang mempunyai keahlian baru serta kepribadian baru yang taat

hukum (Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan), dan menyadarkan bahwa kita hidup di negara Indonesia

yang segala perbuatan dan tindakan kita dapat dipertanggung jawabkan

dihadapan hukum dan diselesaikan secara hukum. Lembaga Pemasyarakatan

merupakan unit pelaksana teknis di bawah Direktorat Jenderal

Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu

Departemen Kehakiman).18

Lembaga pemasyarakatan narkotika merupakan lembaga khusus yang

diperuntukkan bagi narapidana kasus narkotika, berdiri sendiri dengan pola

pembinaan berbeda dengan lembaga pemasyarakatan umum yaitu


18
Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung,
2009, hlm. 60
19

menggunakan dua aspek penanganan dan pendekatan yakni aspek perawatan

dan aspek kesehatan dari narapidana.19

Lembaga pemasyarakatan atau yang dulunya disebut dengan penjara

merupakan bangunan tempat isolasi yang secara filosofis ditujukan untuk

menghilangkan kemerdekaan narapidana atau mengalami pencabutan

kemerdekaan serta membina atau mendidik para narapidana agar menjadi baik

selama di dalam lembaga pemasyarakatan.20

Lembaga pemasyarakatan narkotika merupakan tempat untuk

menampung narapidana penyalahgunaan narkotika yakni tempat yang bersifat

isolasi, yang membatasi gerak-gerik para narapidana dengan tembok yang

kokoh dan tinggi serta pintu dan jendela yang terbuat dari terali besi,

terkurung dalam kamar yang gelap dan pengab. Selain itu, pengawasan dan

penjagaan di dalam lembaga pemasyarakatan narkotika oleh para petugas

sangat ketat.

Masyarakat yang akan memasuki lembaga pemasyarakatan juga harus

mendapat ijin resmi dari pejabat yang berwenang, sebelum memasuki gedung

lembaga pemasyarakatan tersebut para pengunjung diperiksa dan diawasi atau

mendapat pengawasan yang ketat dari petugas lembaga pemasyarakatan.

Tidak sedikit dari pengunjung yang tidak diperbolehkan masuk untuk


19
Hari Sasangka. 2003. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju.
Hlm.13

20
Romli Atmasasmita. 1997. Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana
Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bhakti.hlm .45
20

membesuk keluarganya atau hanya melihat-lihat di dalam lembaga

pemasyarakatan narkotika, dengan alasan peraturan atau kebijakan.

Lembaga pemasyarakatan narkotika tidak saja dibatasi oleh batas-batas

fisik tapi juga batas-batas sosial. Batas fisik seperti pagar, tembok, jeruji,

diberlakukan bagi terhukum agar tidak berinteraksi secara bebas layaknya

masyarakat di luar lembaga pemasyarakatan. batas-batas sosial seperti tidak

bisa secara bebas berkomunikasi dengan orang luar, karena telah diisolasikan

dan tidak bisa keluar atau bebas dari lembaga pemasyarakatan tanpa seijin

dari pimpinan lembaga pemasyarakatan atau telah selesai masa tahanannya.

Hal ini menunjukkan sistem birokrasi pemerintah di dalam lembaga

pemasyarakatan narkotika menjadi sesuatu yang sakral. Dengan jalan

demikian, diharapkan setelah menjalankan hukumannya ia akan menjadi

insyaf dan tidak mau lagi melakukan tindak pidana kejahatan.21

Tujuan dari sistem pemasyarakatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal

2 Undang-Undang Nomor 12 tentang Pemasyarakatan adalah untuk

membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi:

a. Seutuhnya

b. Menyadari kesalahan

c. Memperbaiki diri

d. Tidak mengulangi tindak pidana

21
R. Abdoel Djamali. 2009. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta,. Rajawali Pers. Hlm.57
21

e. Dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat

f. Dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan

g. Dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung

jawab.

B. Tinjauan umum Tentang Narapidana dan Warga Binaan

Pemasyarakatan

1. Definisi Narapidana

Dalam Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di

lembaga pemasyarakatan. (Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun

1995). Narapidana dapat pula diartikan sebagai orang yang tengah menjalani

masa hukuman atau pidana dalam lembaga pemasyarakatan.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun

tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

pada Bab II mengenai hak dan kewajiban narapidana dan anak didik

pemasyarakatan tercantum hak-hak narapidana sebagai berikut:

a. Setiap Narapidana berhak untuk melakukan ibadah sesuai dengan

agama dan kepercayaannya

b. Setiap Narapidana berhak mendapat perawatan rohani dan jasmani

c. Setiap Narapidana berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran

d. Setiap Narapidana berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak


22

e. Setiap Narapidana berhak menyampaikan keluhan kepada kepala

LAPAS atas perlakuan petugas atau sesama penghuni terhadap dirinya

f. Setiap Narapidana berhak mendapatkan bahan bacaan dan siaran media

massa sesuai aturan yang diatur oleh Kepala LAPAS

g. Setiap Narapidana yang bekerja berhak mendapatkan upah atau premi

h. Setiap Narapidana berhak menerima kunjungan dari keluarga, penasihat

hukum atau orang tertentu lainnya.

i. Setiap Narapidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik

berhak mendapatkan remisi.

j. Setiap Narapidana dan Anak didik Pemasyarakatan berhak mendapatkan

asimilasi

k. Setiap narapidana dapat diberikan cuti berupa cuti mengunjungi

keluarga dan cuti menjelang bebas

l. Setiap narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat

m. Setiap narapidana berhak mendapatkan cuti menjelang bebas dengan

ketentuan yang telah ditetapkan

n. Setiap narapidana mempunyai hak politik, hak memilih dan hak

keperdataan lainnya

2. Warga Binaan Pemasyarakatan.

Lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan

narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Menurut Pasal 12 Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan menentukan bahwa


23

dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di Lapas dilakukan

penggolongan narapidana berdasarkan:

a. Umur;

b. Jenis kelamin;

c. Lama pidana yang dijatuhkan;

d. Jenis kejahatan; dan

e. Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan

pembinaan.

Pembinaan terhadap narapidana narkotika, yang merupakan

penyalahgunaan umumnya lebih diinsentifkan pada bidang kesehatan

khususnya yang masih mengalami ketergantungan. Adapun perawatan

kesehatan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) narkotika antara

lain:

1) Kegiatan perawatan kesehatan umum.

2) Kegiatan perawatan ketergantungan narkotika.

3) Kegiatan perawatan kesehatan jasmani.

4) Kegiatan perawatan kesehatan mental dan rohani.

C. Tinjauan Umum tentang Pembinaan Narapidana

1. Definisi Pembinaan Narapidana

Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan,

yang dimaksud dengan Pembinaan adalah ”kegiatan untuk meningkatkan


24

kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan

perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak

Didik Pemasyarakatan.”

Fungsi dan tugas pembinaan pemasyarakatan terhadap warga binaan

pemasyarakatan dilaksanakan secara terpadu dengan tujuan agar mereka

setelah selesai menjalani pidananya, pembinaannya dan bimbingannya

dapat menjadi warga masyarakat yang baik. Sebagai abdi negara dan abdi

masyarakat wajib menghayati serta mengamalkan tugas-tugas pembinaan

pemasyarakatan dengan penuh tanggung jawab. Untuk melaksanakan

kegiatan pembinaan pemasyarakatan yang berdaya guna, tepat guna dan

berhasil guna, petugas harus memiliki kemampuan profesional dan

integritas moral.

Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan disesuaikan

dengan asasasas yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar

1945 dan Standar Minimum Rules (SMR). Pada dasarnya arah pelayanan

pembinaan dan bimbingan yang perlu dilakukan oleh petugas ialah

memperbaiki tingkah laku warga binaan pemasyarakatan agar tujuan

pembinaan dapat dicapai.

2. Dasar Pemikiran dalam Pembinaan

Dasar pemikiran pembinaan narapidana berpatokan pada “Sepuluh

prinsip pemasyarakatan”, yaitu:22


22
Opcit Dwidja Priyatno. hlm.91
25

1) Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup

sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat.

2) Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari negara.

3) Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan

dengan bimbingan.

4) Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau

lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga.

5) Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergerak, narapidana

harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari

masyarakat.

6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat

mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga

atau negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditunjukan untuk

pembangunan negara.

7) Pembinaan dan bimbingan yang diberikan harus berdasarkan asas

Pancasila.

8) Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia

meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditujukan kepada narapidana

bahwa itu penjahat.

9) Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan dalam

jangka waktu tertentu.


26

10) Sarana fisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah satu

hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

3. Metode Pembinaan/Bimbingan

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02-PK.

04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan Menteri

Kehakiman Republik Indonesia dinyatakan tentang metode

pembinaan/bimbingan, yang meliputi:

a. Pembinaan berupa interaksi langsung yang sifatnya kekeluargaan

antara pembina dengan yang dibina (warga binaan pemasyarakatan)

b. Pembinaan bersifat persuasif edukatif yaitu berusaha merubah

tingkah lakunya melalui keteladanan dan memperlakukan adil di

antara sesama mereka sehingga menggugah hatinya untuk

melakukan hal-hal yang terpuji.

c. Pembinaan berencana secara terus menerus dan sistematis.

d. Pemeliharaan dan peningkatan langkah- langkah keamanan yang

disesuaikan dengan tingkat keadaan yang dihadapi.

e. Pendekatan individual dan kelompok.

f. Dalam rangka menambah rasa kesungguhan, keikhlasan dan

tanggungjawab dalam melaksanakan tugas serta menanamkan

kesetiaan kita dan keteladanan di dalam pengabdiannya terhadap

negara, hukum dan masyarakat.


27

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Pasal 1 Ayat (6)

menyebutkan seorang yang dipidana berdasarkan keputusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkarcht van

gewijsdezaak), disebut terpidana.

Melihat sistem pemasyarakatan di atas maka salah satu fungsi

Lembaga pemasyarakatan adalah, sebagai lembaga yang melakukan

pembinaan terhadap seseorang yang telah divonis secara hukum oleh

pengadilan atas kesalahannya, agar bekas narapidana tersebut tidak

mengulangi kejahatan di masa yang akan datang.

4. Asas-asas Pembinaan

Pemasyarakatan merupakan suatu proses pembinaan narapidana yang

sering disebut therapeutics process. Untuk melaksanakan therapeutics

process tentunya pembinaan dilakukan dengan sistem pembinaan

pemasyarakatan sebagaimana disebutkan pada Pasal 5 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, bahwa sistem pembinaan

pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas-asas pembinaan yaitu:23

a. Pengayoman.

b. Persamaan perlakuan dan pelayanan.

c. Pendidikan dan pembimbingan;

d. Penghormatan harkat dan martabat manusia.

e. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu- satunya penderitaan.

23
Ibid, hlm.97
28

f. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan

orang-orang tertentu.

5. Tujuan Pembinaan Narapidana

Tujuan dari pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan

adalah agar narapidana tidak mengulangi lagi perbuatannya dan bisa

menemukan kembali kepercayaan dirinya serta dapat diterima menjadi

bagian dari anggota masyarakat. Tujuannya agar narapidana mampu

mengenal dirinya sendiri dan pemasyarakatan merupakan bagian akhir

dari sistem pemidanaan dalam tata cara peradilan pidana, yang dikenal

sebagai bagian integrasi dari tata peradilan terpadu (Integrated Criminal

Justice System).

Tujuan pembinaan terhadap narapidana di Indonesia mulai tampak

sejak tahun 1964 setelah Sahardjo mengemukakan dalam konferensi

kepenjaraan di Lembaga, bahwa tujuan pemidanaan adalah

pemasyarakatan, narapidana bukan lagi dibuat jera tetapi dibina untuk

kemudian dimasyarakatkan.

Menurut C.I. Harsono, Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan,

dapat dibagi dalam 3 (tiga) hal yaitu:24

a. Setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan tidak lagi melakukan

tindak pidana;

24
C.I. Harsono Hs. 1995. System Baru Pembinaan Narapidana. Jakarta: Djambatan.hlm.121
29

b. Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam

membangun bangsa dan negaranya; dan

c. Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan

mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

Selanjutnya menurut C.I. Harsono, Tujuan pembinaan adalah

kesadaran (consciousness). Untuk memperoleh kesadaran dalam diri

seseorang, maka seseorang harus mengenal diri sendiri. Ada 4 (empat)

komponen penting dalam pembinaan narapidana:25

1) Diri sendiri, yaitu Narapidana itu sendiri

2) Keluarga, adalah anggota keluarga inti atau keluarga dekat

3) Masyarakat, adalah orang-orang yang berada disekeliling

narapidana pada saat masih diluar Lembaga Pemasyarakatan dapat

masyarakat biasa atau pejabat setempat.

4) Petugas, dapat berupa kepolisian, pengacara, petugas keamanan,

petugas sosial, petugas lembaga pemasyarakatan, rutan, hakim, dan

lain-lain.

5) Jenis-jenis Pembinaan

Dalam Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan

Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 2 ayat (1) disebutkan

bahwa program pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan

dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian. Pada Pasal 3 di jelaskan


25
Ibid., hlm.129
30

bahwa: Pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi hal-hal yang berkaitan dengan:

a. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa

b. Kesadaran berbangsa dan bernegara

c. Intelektual

d. Sikap dan perilaku

e. Kesehatan jasmani dan rohani

f. Kesadaran hukum

g. Reintegrasi sehat dengan masyarakat

h. Ketrampilan kerja

i. Latihan kerja dan produksi

6. Ruang Lingkup Pembinaan

Pada dasarnya ruang lingkup pembinaan dibagi ke dalam 2 (dua)

bagian, yaitu:

1. Pembinaan kepribadian, yang meliputi:

a. Pembinaan kesadaran beragama.


31

Pembinaan dilakukan dengan kegiatan, antara lain:

pesantren kilat, baca tulis Al-Qur’an, kebaktian, perayaan hari

besar keagamaan, dan lain sebagainya.

b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara.

Dilaksanakan melalui P.4, termasuk menyadarkan

mereka agar dapat menjadi warga negara yang baik, dapat

berbakti bagi bangsa dan negara adalah sebagian dari iman

(taqwa).

c. Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan).

Guna meningkatkan ilmu pengetahuan secara umum

maka pembinaan dilakukan dengan kegiatan berupa

pendidikan, yaitu:

1) Pendidikan formal: SD, SLTP, dan SLTA

2) Pendidikan non formal: Kejar paket A, B dan C

3) Pendidikan informal: Melukis, pramuka, pesantren dan

rumah pintar andikpas.

d. Pembinaan kesadaran hukum.

Memberikan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk

membentuk dan mencapai kesadaran serta keluarga sadar

hukum (Kadarkum) melalui ceramah, diskusi, sarasehan,

temuwicara, peragaan dan simulasi hukum.


32

e. Pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan (integrasi

sosial).

Melakukan kegiatan-kegiatan sosial secara gotong

royong, sehingga pada waktu mereka kembali ke masyarakat

mereka telah memiliki sifat-sifat positif untuk dapat

berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat lingkungannya.

2. Pembinaan kemandirian, yang meliputi:

a. Pembinaan keterampilan.

Meliputi keterampilan komputer, menjahit, menyablon,

las, perkebunan, automotif.

b. Pembinaan bakat dan minat.

Meliputi kegiatan olahraga dan kesenian, yaitu:

badminton, volley ball, catur, tenis meja, sepak bola, senam,

sepak takraw, futsal, drama, puisi, band dan nasyid.

Tugas pembinaan ini tentunya bukanlah suatu pekerjaan yang ringan bagi

lembaga pemasyarakatan. Untuk berhasilnya pembinaan terpidana diperlukan

perlengkapan- perlengkapan, terutama bermacam-macam bentuk lembaga

yang sesuai dengan tingkat pengembangan semua segi kehidupan terpidana

dan tenaga-tenaga pembina yang cukup cakap dan penuh rasa pengabdian.26

26
Soedjono Dirdjosisworo. 1984. Sejarah dan Azas-Azas Penologi. Bandung: CV. Armico., hlm.78
33

Untuk mencapai suatu pembinaan yang berlandaskan kepada prinsip

pemasyarakatan yang menjadi suatu bentuk proses pembinaan yang baru,

akan sempurna dalam pelaksanaannya jika didukung oleh fasilitas yang

mempunyai standar yang baik dan jelas. Fasilitas pembinaan yang dimaksud

adalah fasilitas yang disediakan oleh lembaga pemasyarakatan dalam usaha

mengembalikan narapidana untuk menjadi manusia seutuhnya dan anggota

masyarakat yang baik. Fasilitas dalam upaya pembinaan ini adalah berbentuk

fasilitas pembinaan fisik dan fasilitas non fisik atau mental. Tanpa adanya

fasilitas tersebut mustahil cita-cita serta harapan dari sistem pemasyarakatan

yang sesuai dengan prinsip- prinsip pemasyarakatan akan tercapai.27

7. Tahap-Tahap Pembinaan

Berdasarkan pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan,

menjelaskan bahwa dalam melaksanakan proses pembinaan narapidana

dilaksanakan melalui beberapa tahapan diantaranya:28

1) Tahap awal (Maximum security)

Tahap ini merupakan tahap pembinaan awal yang dimana

narapidana harus melalui masa pengamatan, penelitian dan

pengenalan lingkungan atau lebih sering disebut masa Admisi dan

27
Widiada A. Gunakaya. 1988. Sejarah dan KonsepsiPemasyarakatan. Bandung: Armico.hlm.45

28
Adi Sujatno. 2004. Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI.
34

Orientasi, hal tersebut guna untuk menentukan perencanaan

pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan pembinaan

kemandirian. Tahap ini dimulai sejak narapidana diterima di Lapas

sampai 1/3 masa pidanannya dan pada tahap ini narapidana mulai

mengikuti pembinaan kepribadiaan dalam pengawasan maximum

security.

2) Tahap lanjutan (Medium security)

Pada tahap ini apabila telah mengikuti proses pembinaan

selama kurang- kurangnya 1/3 dari masa pidananya dan menunjukan

perubahan dari sebelumnya maka narapidana yang bersangkutan diberi

lebih banyak kebebasan dari sebelumnya melalui pengawasan medium

security. Tahap ini merupakan tahap pembinaan lanjutan pertama yang

dimulai dari 1/3 masa pidana sampai 1/2 masa pidananya yang dimana

pembinaan tersebut dilakukan pembinaan kepribadian dan pembinaan

kemandirian.

Kemudian setelah proses pembinaan terhadap narapidana telah

dijalani 1/2 dari masa pidanannya maka apabila menurut Tim

Pengawas Pemasyarakatan telah cukup terlihat kemajuan baik secara

fisik maupun mental dan juga keterampilannya. Tahap ini merupakan

tahap kedua lanjutan yang dimana dimulai semenjak berakhirnya tahap

lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidannya. Dalam tahap ini
35

narapidana sudak memasuki tahap asimilasi, yang dimana pembinaan

asimilasi dilakukan di luar Lembaga Pemasyarakatan.

3) Tahap Akhir (Minimun Security)

Tahap ini adalah tahap akhir yang dimana dilaksanakan apabila

proses pembinaan telah dijalani 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya.

Pada tahap ini dilakukan kegiatan berupa perencanaan dan

pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya

pembinaan tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana

dari narapidana yang bersangkutan. Tahap intergrasi tersebut melalui

Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), dan Cuti

Bersyarat (CB).

8. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pelaksanaan Pembinaan

Dalam melaksanakan pembinaan di lingkungan Lapas, terdapat faktor-

faktor yang perlu mendapat perhatian karena dapat berfungsi sebagai

faktor pendukung dan dapat pula menjadi faktor penghambat. Faktor-

faktor yang dimaksud antara lain:

a. Pola dan tata letak bangunan.

b. Struktur organisasi.

c. Kepemimpinan Kalapas.

d. Kualitas dan kuantitas petugas.

e. Manajemen.

f. Kesejahteraan petugas.
36

g. Sarana atau fasilitas pembinaan.

h. Anggaran.

i. Sumber daya alam.

j. Kualitas dan ragam program pembinaan.

k. Masalah-masalah lain yang berkaitan dengan warga binaan

pemasyarakatan.

Dengan mengenali faktor-faktor tersebut baik yang ada di dalam

lingkungan Lapas maupun dari luar, maka diharapkan pembinaan yang

dilakukan dapat dilaksanakan dengan lebih baik.

D. Tinjauan tentang Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem

Pemasyarakatan

Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan di Indonesia

saat ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan. Penjelasan umum Undang-Undang Pemasyarakatan yang

merupakan dasar yuridis filosofis tentang pelaksanaan sistem pemasyarakatan

di Indonesia yang dinyatakan bahwa:

1) Bagi Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-

pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar

penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi

sosial. Warga Binaan Pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem


37

pembinaan yang sejak lebih dari 30 (tiga puluh) tahun yang dikenal dan

dinamakan dengan Sistem Pemasyarakatan.

2) Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam

dan penjeraan yang disertai dengan lembaga “rumah penjara” secara

berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak

sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar

narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk

melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang

bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya.

E. Tinjauan tentang Pengaturan Narkotika dan Psikotropika Dalam

Hukum Positif Indonesia

1. Definisi Narkotika dan Psikotropika

Menurut Andi Hamzah, narkotika secara bahasa berasal dari bahasa

Inggris "narcotics" yang artinya obat bius. Narkotika adalah bahan yang

berasal dari 3 jenis tanaman, yaitu: Papaper Somniferum (Candu),

Erythroxyion coca (kokain), dan cannabis sativa (ganja) baik murni

maupun bentuk campuran. Cara kerjanya mempengaruhi susunan syaraf

yang dapat membuat kita tidak merasakan apa- apa, bahkan bila bagian

tubuh kita disakiti sekalipun.29 Narkoba sebuah singkatan dari kata

narkotika dan obat- obat telarang. Sedangkan istilah lain dari narkoba

29
Andi Hamzah. 1994. Kejahatan Narkotika dan Psikotropika. Jakarta: Sinar Grafika.,hlm.33
38

adalah Napza yang merupakan kepanjangan dari narkotika, alkhohol,

psikotropika dan zat adiktif.

2. Narkotika dan Psikotropika dalam Kajian Hukum Positif

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang

dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam

Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, tentang

Narkotika, menegaskan:

“Narkotika Golongan I dilarang diproduksi atau digunakan dalam

proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk

kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”.

Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997

tentang Psikotropika, menegaskan bahwa

“Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis

bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif

pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan pada aktivitas

mental dan perilaku”.

Terdapat empat golongan psikotropika menurut Undang-Undang

tersebut, namun setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 35


39

tahun 2009tentang narkotika, maka psikotropika golongan I dan II

dimasukkan ke dalam golongan Narkotika. Dengan demikian saat ini

apabila bicara masalah psikotropika hanya menyangkut psikotropika

golongan III dan IV sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997.

Penggunaan narkotika merupakan perbuatan yang bertentangan

dengan peraturan perundangan-undangan. Saat ini penyalahgunaan

narkotika melingkupi semua lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua,

muda, dan bahkan anak- anak. Penggunaan narkotika dari tahun ke tahun

mengalami peningkatan yang akhirnya merugikan penerus bangsa.

Penyalahgunaan narkotika tidak terlepas dari sistem hukum positif yang

berlaku di Negara Indonesia.30

3. Pecandu Narkotika, Korban Penyalahgunaan Narkotika dan

Pengedar Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Pengertian pecandu narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Pasal 1 ayat (13) adalah “Orang yang menggunakan atau

menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada

narkotika, baik secara fisik maupun psikis”. Sedangkan pengertian

penyalahgunaan narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (15)

adalah “Orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan

30
Oemar Seno. 1984. Hukum-Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga.,hlm.21
40

hukum”. Istilah atau pengertian pengedar dalam Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009 tidak disebutkan secara rinci namun demikian istilah

pengedar terlingkup dalam pengertian peredaran gelap narkotika dan

prekursor narkotika sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (6) yaitu

“Setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa

hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika

dan prekursor narkotika”.

Anda mungkin juga menyukai