Anda di halaman 1dari 5

Transformasi dan Inovasi di Lingkungan Lembaga Permasyarakatan dalam Upaya Memperbaiki Kualitas Hidup

Narapidana
penulis 1, penulis 2, penulis 3, dst

ABSTRAK

Saat ini diperlukakan banyak transformasi dan inovasi dalam lembaga permasyarakatan dengan tujuan memperbaiki kualitas hidup narapidana sebab telah terjadinya
pergeseran persepsi terkait lembaga permasyarakatan yang harus lebih berperikemanusiaan. Penelitian ini akan mengulas kemajuan dan inovasi terbaru dalam bidang
lembaga pemasyarakatan serta bagaimana hal ini mempengaruhi kualitas hidup narapidana. Melalui pendekatan deskriptif kualitatif dengan studi literatur diperoleh hasil
penelitian bahwa melalui pendekatan yang progresif dan berbasis bukti, berbagai program rehabilitasi, pendidikan, pelatihan keterampilan, serta perhatian terhadap
kesehatan mental dan reintegrasi komunitas dapat memperbaiki kualitas hidup narapidana. Diperlukan keadilan restoratif, kolaborasi dengan masyarakat, dan penggunaan
teknologi dalam implementasi transformasi dan inovasi tersebut. Hasil penelitian ini memberikan kontribusi pada sistem pemasyarakatan agar menjadi lebih adil, efektif, dan
mampu membantu narapidana untuk menjadi anggota masyarakat yang produktif dan berkontribusi di lingkungan.

Keywords: Inovasi dan Transformasi, Kualitas Hidup, Narapidana

PENDAHULUAN

Lembaga Pemasyarakatan yang biasa dikenal dengan istilah Lapas merupakan suatu bagian yang tidak dapat terpisahkan dengan sistem peradilan pidana di

Indonesia dan telah menjadi topik yang sering diperdebatkan dan diperhatikan selama bertahun-tahun. Pada masa lampau, lembaga pemasyarakatan dianggap sebagai

lokasi untuk menghukum dan mengisolasi seseorang yang melakukan kejahatan atau narapidana dari kehidupan masyarakat pada umumnya. Namun, pandangan ini kini

semakin dipertanyakan oleh visi masa depan yang dimiliki oleh lembaga pemasyarakatan untuk lebih berperikemanusiaan dan terfokus pada rehabilitasi, reintegrasi, dan

peningkatan kualitas hidup narapidana. Sebagai bagian integral dari sistem peradilan pidana, lembaga pemasyarakatan memiliki dampak yang sangat besar terhadap

kualitas hidup narapidana dan dianggap memiliki kemampuan untuk merubah perilaku, memfasilitasi rehabilitasi, serta mengurangi tingkat kriminalitas yang berulang.

Menurut pendapat (Pangestu & Muhammad, 2023) dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan terjadinya sebuah tren perubahan paradigma yang mendasar

pada pendekatan terkait lembaga pemasyarakatan. Pendekatan yang lebih tradisional dan cenderung berorientasi pada hukuman semakin digantikan oleh pendekatan yang

lebih rehabilitatif dan berpusat pada individu. Dalam perjalanan menuju lembaga pemasyarakatan yang lebih baik, inovasi dan transformasi perlu segera diimplementasikan

dan menjadi kunci penting. Kebijakan dan program-program rehabilitasi narapidana selalu menjadi fokus utama dalam upaya memperbaiki sistem peradilan pidana dan

meningkatkan kualitas hidup para narapidana. Dalam beberapa dekade terakhir, pemikiran tentang rehabilitasi telah mengalami pergeseran signifikan dari pendekatan yang

lebih tradisional menuju pendekatan yang lebih inovatif dan holistik. Inovasi dan transformasi dalam pemasyarakatan kini menjadi kunci penting dalam membentuk kebijakan

yang lebih efektif dalam memperbaiki kehidupan narapidana dan mempersiapkan mereka untuk reintegrasi kembali ke masyarakat.

Salah satu aspek utama dari inovasi dalam lembaga pemasyarakatan adalah penggunaan teknologi yang canggih untuk memfasilitasi proses rehabilitasi.

Teknologi telah memainkan peran penting dalam meningkatkan akses narapidana terhadap pendidikan, pelatihan keterampilan, layanan kesehatan mental, dan dukungan

reintegrasi (Waskito & Wibowo, 2021) . Misalnya, program-program pembelajaran jarak jauh dan aplikasi mobile khusus telah memungkinkan narapidana untuk mengakses

pembelajaran dan pelatihan secara mandiri, bahkan di dalam sel mereka. Selain teknologi, inovasi juga terlihat dalam desain program-program rehabilitasi yang lebih

berorientasi pada kebutuhan individual narapidana dan lingkungan sosial mereka. Pendekatan rehabilitasi yang berbasis pada bukti dan intervensi yang dipersonalisasi telah

menggantikan pendekatan satu ukuran cocok untuk semua. Fokus pada kebutuhan khusus narapidana, seperti masalah kesehatan mental, kecanduan, atau kurangnya

keterampilan hidup, menjadi prioritas dalam merancang program-program yang efektif dalam meningkatkan kualitas hidup narapidana dan mengurangi risiko kembali ke

dalam perilaku kriminal (Seftilia et al., 2022) .

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh (Chasanah, 2019) terakit “Implementasi Program Bimbingan Kerja Dalam Pemberdayaan Narapidana Di Lapas

Perempuan Kelas IIA Semarang menunjukkan bahwa pendampingan karakter ini bertujuan untuk mengarahkan narapidana dalam pemikiran, aktivitas, dan emosi yang

berdampak pada perilaku yang lebih positif. Program kemandirian difokuskan pada pengembangan keterampilan untuk mendukung upaya mandiri narapidana, seperti

kemampuan mengambil inisiatif, kreativitas, dan inovasi dalam menjalankan program keterampilan seperti pelatihan kerja di rumah, pengelolaan bahan mentah menjadi

produk jadi, dan pemanfaatan bahan yang tidak terpakai menjadi bernilai. Proses pembinaan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sumber daya manusia, koordinasi,

keterlibatan sektor swasta, dan komunikasi, yang berperan dalam memperkuat sistem pemasyarakatan sesuai dengan kebijakan Kementerian Hukum dan HAM.”

“Kerja sama yang lebih erat antara institusi pemasyarakatan, pemangku kepentingan, dan masyarakat umum juga menjadi dasar yang kokoh dalam membangun

pendekatan lembaga pemasyarakatan yang terfokus pada reintegrasi. Sinergi lintas sektor memungkinkan penggabungan sumber daya dan pengetahuan untuk

menghasilkan solusi yang lebih menyeluruh (Thohir & Hadi, 2020) . Penelitian ini akan mengulas kemajuan dan inovasi terbaru dalam bidang lembaga pemasyarakatan serta

bagaimana hal ini mempengaruhi kualitas hidup narapidana. Dalam konteks tersebut, tulisan ini akan mengeksplorasi secara lebih mendalam tentang perubahan ini dan

mengidentifikasi tren inovatif dalam lembaga pemasyarakatan. Dengan memahami lebih baik bagaimana inovasi dan transformasi dapat membentuk masa depan lembaga

pemasyarakatan, kita dapat mendorong tujuan kemanusiaan, mengurangi tingkat kriminalitas berulang, dan membantu narapidana dalam memperbaiki kualitas hidup

mereka.”

TINJAUAN PUSTAKA

Lembaga Permasyarakatan

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan Pasal 1 Ayat 2 menyatakan bahwa:
“Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan

secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan

tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar

sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”

“Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-05.0T.01.01 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas

Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01-PR.07.03 TAHUN 1985 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan, Lapas diklasifikasikan dalam 4 (empat)

kelas yaitu: Lapas Kelas I; Lapas Kelas IIA; Lapas Kelas IIB; dan Lapas Kelas III. Klasifikasi tersebut dilakukan berdasarkan kapasitas, tempat kedudukan, dan tempat

kegiatan kerja.”

“Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.

Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Permasyarakatan Pasal 1 Ayat 7 menyatakan bahwa: “Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS.” Artinya narapidana adalah

seseorang yang di pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Saat ini Pemerintah telah melakukan langkah yang penting dalam

upaya untuk mengubah keadaan terpidana dengan cara memberikan pembinaan dan perlakuan yang manusiawi terhadap narapidana, sesuai dengan hak-hak yang mereka

miliki.”

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif deskriptif. Menurut (Sugiyono, 2020) pendekatan deskriptif dalam penelitian

merujuk pada upaya sistematis dan akurat untuk menggambarkan situasi atau area tertentu dari populasi yang bersifat faktual. Penelitian deskriptif bertujuan untuk

memberikan gambaran yang jelas tentang fenomena, situasi, atau kelompok tertentu pada waktu yang sedang berlangsung. Lebih lanjut, penelitian deskriptif juga bertujuan

untuk menjelaskan secara detail fenomena atau karakteristik individual, situasi, atau kelompok tertentu dengan tepat dan mendalam. Penelitian ini menggunakan metode

survei literatur sistematis, “dimana peneliti secara terstruktur melakukan tinjauan, evaluasi, dan interpretasi terhadap semua penelitian yang telah dilakukan sebelumnya

dalam topik yang sama. Dalam metode ini, peneliti secara teliti memeriksa dan mengidentifikasi jurnal yang mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dalam setiap tahap

penelitian. Untuk memilih jurnal-jurnal yang akan disertakan dalam penelitian ini, peneliti menetapkan kriteria bahwa harus ada 10 jurnal yang diterbitkan antara tahun 201 9

hingga 2024, dan jurnal-jurnal ini harus berasal dari sumber-sumber nasional maupun internasional yang terdaftar secara resmi di situs mereka. Data dikumpulkan dengan

cara mendokumentasikan semua artikel dan jurnal yang berkaitan dengan topik inovasi dalam meningkatkan kualitas hidup narapidana.”

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam konteks sistem peradilan pidana, inovasi dan transformasi memiliki peran yang krusial dalam meningkatkan kualitas hidup narapidana. Melalui pendekatan
yang progresif, pemerintah dan lembaga terkait telah mengimplementasikan berbagai program rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi
narapidana. Inovasi dalam hal ini mencakup pengembangan metode pembinaan yang lebih efektif dan terarah, sementara transformasi melibatkan perubahan paradigma
dalam memperlakukan narapidana sebagai bagian yang dapat diperbaiki dari masyarakat. Salah satu aspek kunci dari inovasi dalam upaya meningkatkan kualitas hidup
narapidana adalah penggunaan teknologi dan pendekatan berbasis data. Dengan memanfaatkan sistem informasi yang canggih, lembaga pemasyarakatan dapat secara lebih
efisien memantau dan mengevaluasi progres individu narapidana dalam program rehabilitasi. Selain itu, aplikasi teknologi juga memungkinkan akses yang lebih mudah
terhadap pendidikan dan pelatihan keterampilan, yang merupakan elemen penting dalam persiapan mereka untuk kembali ke masyarakat (Fadilah & Anwar, 2022) .

Transformasi dalam upaya meningkatkan kualitas hidup narapidana juga mencakup perubahan dalam budaya organisasi dan mindset para petugas
pemasyarakatan. Diperlukan pendekatan yang lebih empatik dan inklusif dalam interaksi sehari-hari dengan narapidana, serta pengembangan keterampilan komunikasi dan
penanganan konflik yang lebih baik. Selain itu, peningkatan kesadaran akan pentingnya rehabilitasi dan reintegrasi sosial narapidana di kalangan masyarakat juga menjadi
bagian integral dari transformasi ini. Dengan demikian, inovasi dan transformasi secara bersama-sama membentuk landasan yang kuat dalam upaya meningkatkan kualitas
hidup narapidana dan mengarahkan mereka menuju reintegrasi yang sukses ke dalam masyarakat. Transformasi dan inovasi dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) untuk
memperbaiki kualitas hidup narapidanan diantaranya adalah:

1. Rehabilitasi Sebagai Prioritas Utama:

Masa depan sistem pemasyarakatan harus ditujukan kepada prioritas rehabilitasi sebagai fokus utama. Hal ini melibatkan penerapan pendekatan berbasis penelitian
yang mengakui bahwa sebagian besar narapidana memiliki isu mendasar yang perlu diselesaikan agar mereka dapat kembali menjadi anggota produktif dalam
masyarakat. Program rehabilitasi harus mencakup beberapa aspek penting, di antaranya:

a. Pendidikan: Menawarkan akses kepada narapidana untuk meningkatkan atau memperoleh pendidikan formal mereka, seperti pendidikan dasar, menengah,
atau bahkan pendidikan tinggi jika memungkinkan. Pendidikan yang diberikan dalam fasilitas penjara dapat membantu narapidana meningkatkan keterampilan
membaca, menulis, dan matematika, serta membuka peluang untuk belajar keterampilan baru atau mengejar minat akademik tertentu.

b. Pelatihan Keterampilan: Memberikan pelatihan dalam keterampilan praktis yang berguna untuk meningkatkan peluang kerja narapidana setelah mereka
dibebaskan. Ini dapat mencakup pelatihan dalam keterampilan teknis seperti pengelasan, konstruksi, pemrograman komputer, atau keterampilan kerja umum
seperti manajemen waktu, komunikasi efektif, atau pemecahan masalah.

c. Konseling: Memberikan konseling individu atau kelompok kepada narapidana untuk membantu mereka mengatasi masalah psikologis, emosional, atau
perilaku yang mungkin menjadi penyebab atau akibat dari perilaku kriminal mereka. Konseling juga dapat membantu narapidana memahami dan mengatasi
konsekuensi dari tindakan mereka, membangun keterampilan coping yang sehat, dan mempersiapkan mereka untuk kembali ke masyarakat dengan lebih baik
(Pangestu & Muhammad, 2023) .
2. Perhatian Kesehatan Mental:

Masalah kesehatan mental sering diabaikan dalam sistem pemasyarakatan, di mana banyak narapidana menghadapi tantangan seperti depresi, kecemasan, atau
stres pasca trauma. Oleh karena itu, pemberian perhatian yang memadai terhadap kesehatan mental menjadi kunci dalam meningkatkan kualitas hidup narapidana.
Dalam konteks ini, sistem pemasyarakatan yang masa depan harus memperhatikan hal-hal berikut: (Sari, 2012)

a. Penilaian Kesehatan Mental: Sistem pemasyarakatan harus dilengkapi dengan proses penilaian kesehatan mental yang komprehensif untuk mengidentifikasi
narapidana yang membutuhkan perawatan atau intervensi kesehatan mental. Ini penting karena banyak narapidana mengalami masalah kesehatan mental
yang mendasari, seperti depresi, gangguan kecemasan, atau gangguan jiwa lainnya, yang dapat mempengaruhi keterlibatan kembali mereka dalam kejahatan.

b. Layanan Konseling: Program konseling individu atau kelompok harus tersedia di dalam sistem pemasyarakatan untuk membantu narapidana mengatasi
masalah psikologis, emosional, atau perilaku yang mungkin menjadi faktor penyebab atau akibat perilaku kriminal mereka. Konseling ini dapat membantu
narapidana memahami dan mengatasi masalah yang mendasari, serta mempersiapkan mereka untuk kembali ke masyarakat dengan lebih baik.

c. Program Pencegahan Kecanduan: Mengingat banyaknya narapidana yang terlibat dalam penyalahgunaan zat-zat terlarang atau alkohol, sistem
pemasyarakatan masa depan harus menyediakan program pencegahan kecanduan yang komprehensif. Ini dapat mencakup penyuluhan tentang risiko
penyalahgunaan zat, layanan detoksifikasi dan rehabilitasi, serta dukungan jangka panjang untuk mencegah kembali jatuh ke dalam perilaku kecanduan.

d. Dukungan Setelah Pembebasan: Penting bagi sistem pemasyarakatan untuk menyediakan dukungan yang berkelanjutan bagi narapidana setelah mereka
dibebaskan. Ini termasuk program re-integrasi ke masyarakat, dukungan dalam menemukan pekerjaan atau tempat tinggal, layanan kesehatan mental dan
penyalahgunaan zat, serta program bimbingan paska-penahanan yang dirancang untuk membantu narapidana menyesuaikan diri kembali ke kehidupan
masyarakat dengan aman dan sukses.

3. Keadilan Restoratif:

Keadilan restoratif adalah pendekatan yang membantu memperbaiki hubungan antara narapidana, korban, dan masyarakat, menggantikan pendekatan konvensional
yang terfokus pada hukuman dan penahanan. Elemen penting dari keadilan restoratif mencakup:

a. Rekonsiliasi: Keadilan restoratif menekankan pentingnya membangun hubungan yang rusak akibat tindakan kriminal dengan mempromosikan rekonsiliasi
antara pelaku, korban, dan komunitas terdampak. Ini melibatkan proses dialog terbuka di mana semua pihak terlibat dapat berbagi pengalaman, emosi, dan
pandangan mereka, dengan tujuan untuk mencapai pemahaman bersama dan memperbaiki hubungan yang terganggu.

b. Pertanggungjawaban: Dalam keadilan restoratif, pelaku diharapkan untuk mengakui tanggung jawab atas tindakan mereka dan memahami dampaknya
terhadap korban dan komunitas. Ini bukan hanya tentang menerima hukuman, tetapi juga tentang memahami konsekuensi dari tindakan mereka dan
memutuskan untuk mengambil langkah-langkah yang bertanggung jawab untuk memperbaiki kerusakan yang telah mereka sebabkan.

c. Restitusi: Restitusi merupakan komponen penting dari keadilan restoratif di mana pelaku diberikan kesempatan untuk mengganti atau memperbaiki kerugian
yang mereka sebabkan kepada korban. Ini dapat berupa kompensasi finansial, pelayanan masyarakat, atau tindakan lain yang dapat membantu memperbaiki
kerugian yang dialami oleh korban. Restitusi juga dapat membantu pelaku memperbaiki hubungan mereka dengan korban dan merasa lebih bertanggung
jawab atas tindakan mereka. (Fadilah & Anwar, 2022) .

4. Reformasi Kebijakan:

Perubahan kebijakan merupakan komponen esensial dalam transformasi sistem pemasyarakatan, melibatkan evaluasi ulang terhadap hukuman, penahanan praproses
yang terlalu lama, dan pendekatan berbasis bukti. Beberapa aspek reformasi kebijakan mencakup:

a. Pengurangan Penahanan Praproses: Reformasi kebijakan menekankan pentingnya mengurangi penggunaan penahanan praproses yang berlebihan. Ini dapat
mencakup pengurangan penahanan praproses untuk tindak pidana non-kekerasan, penggunaan penjaminan yang lebih adil dan relevan dengan risiko
kejahatan yang dihadapi, serta penerapan alternatif untuk penahanan praproses seperti pemantauan elektronik atau program pembebasan bersyarat.

b. Alternatif untuk Penahanan: Reformasi kebijakan juga mendorong pengembangan alternatif untuk penahanan yang lebih sesuai dan efektif. Ini bisa berupa
program rehabilitasi, mediasi korban-pelaku, layanan kesehatan mental atau penyalahgunaan zat, atau program penyelesaian alternatif lainnya yang bertujuan
untuk memperbaiki perilaku pelaku dan mencegah keterlibatan kembali dalam kejahatan.

c. Pendekatan Berbasis Bukti: Reformasi kebijakan mengadvokasi pendekatan peradilan pidana yang berbasis bukti, di mana kebijakan dan praktik diarahkan
oleh penelitian ilmiah dan evaluasi yang cermat tentang apa yang efektif dalam mengurangi kejahatan dan memperbaiki hasil bagi semua pihak yang terlibat.
Ini mencakup menghindari kebijakan yang didasarkan pada naluri atau pandangan populer yang tidak didukung oleh bukti empiris yang kuat.

d. Rehabilitasi sebagai Prioritas: Reformasi kebijakan menempatkan rehabilitasi sebagai prioritas dalam sistem peradilan pidana. Ini mencakup menyediakan
akses yang lebih besar kepada program rehabilitasi yang efektif di dalam dan di luar penjara, memperkuat layanan kesehatan mental dan penyalahgunaan zat,
serta memastikan bahwa kebijakan dan program peradilan pidana mendukung upaya untuk membantu narapidana memperbaiki perilaku mereka dan berhasil
kembali ke masyarakat.

5. Teknologi dan Inovasi:

Penggunaan teknologi memiliki potensi besar dalam meningkatkan sistem pemasyarakatan, terutama dalam pengelolaan fasilitas pemasyarakatan dan pengawasan
narapidana. Beberapa metode di mana teknologi dapat diterapkan dalam konteks pemasyarakatan termasuk:

a. Pemantauan Elektronik: Teknologi pemantauan elektronik, seperti gelang atau perangkat GPS, dapat digunakan untuk mengawasi pergerakan narapidana
yang berada di bawah pengawasan penjara. Ini memungkinkan otoritas pemasyarakatan untuk melacak lokasi narapidana secara real-time, memastikan
kepatuhan dengan persyaratan pembebasan bersyarat, dan memberikan peringatan jika narapidana memasuki zona terlarang.

b. Manajemen Inventaris: Sistem manajemen inventaris berbasis teknologi dapat digunakan untuk melacak stok barang-barang yang tersedia di fasilitas
pemasyarakatan, seperti persediaan makanan, obat-obatan, atau perlengkapan keamanan. Ini membantu otoritas pemasyarakatan untuk mengelola
persediaan dengan lebih efisien, menghindari kekurangan atau kelebihan stok, dan meningkatkan penggunaan sumber daya.

c. Pelaporan dan Transparansi: Teknologi dapat digunakan untuk memfasilitasi pelaporan dan transparansi dalam sistem pemasyarakatan. Sistem manajemen
informasi berbasis teknologi dapat digunakan untuk mengumpulkan, memproses, dan menganalisis data tentang operasi pemasyarakatan, termasuk statistik
narapidana, kepatuhan dengan prosedur, dan kejadian insiden. Ini memungkinkan otoritas pemasyarakatan untuk menghasilkan laporan yang lebih akurat dan
terperinci, serta memberikan transparansi kepada publik tentang kinerja sistem pemasyarakatan. (Pasya & Wibowo, 2022) .

6. Kolaborasi dengan Masyarakat:

Keterlibatan aktif masyarakat merupakan langkah kunci dalam mendukung proses reintegrasi narapidana ke dalam masyarakat. Ini mencakup melibatkan masyarakat
dalam program rehabilitasi dan reintegrasi, yang dapat membantu mengurangi stigmatisasi dan memberikan dukungan bagi narapidana dalam perjalanan mereka
menuju kembali menjadi anggota produktif dalam masyarakat. Beberapa metode untuk mencapai ini adalah sebagai berikut:

a. Program Reintegrasi Komunitas: Program reintegrasi komunitas dirancang untuk membantu narapidana mengintegrasikan kembali diri mereka ke dalam
masyarakat setelah mereka dibebaskan dari penjara. Ini bisa mencakup berbagai layanan, seperti perumahan yang aman, dukungan kesehatan mental dan
penyalahgunaan zat, bimbingan paska-penahanan, serta pelatihan keterampilan dan pendidikan untuk membantu mereka mendapatkan kembali kemandirian
dan menemukan pekerjaan yang stabil.

b. Kesempatan Kerja: Memberikan kesempatan kerja kepada narapidana yang telah selesai menjalani hukuman penjara adalah langkah penting dalam
membantu mereka menghindari kembali ke kejahatan. Ini dapat mencakup program pelatihan kerja di dalam penjara, kerja sama dengan perusahaan lokal
untuk menawarkan peluang kerja, serta insentif bagi perusahaan untuk mempekerjakan mantan narapidana. Memiliki pekerjaan yang stabil dan layak adalah
kunci bagi reintegrasi yang sukses ke dalam masyarakat.

c. Pendidikan Masyarakat: Pendidikan masyarakat adalah bagian penting dari upaya rehabilitasi narapidana dan mencegah terjadinya kejahatan. Ini bisa
melibatkan program-program edukasi yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu seperti rehabilitasi narapidana, pentingnya
reintegrasi, serta mengurangi stigma terhadap mantan narapidana. Pendidikan masyarakat juga dapat membantu dalam membangun dukungan komunitas
yang kuat untuk program-program reintegrasi dan kesempatan kerja bagi narapidana.

PENUTUP

Dalam kesimpulan, dapat disimpulkan bahwa inovasi dan transformasi memegang peran penting dalam upaya meningkatkan kualitas hidup narapidana. Melalui pendekatan

yang progresif dan berbasis bukti, berbagai program rehabilitasi, pendidikan, pelatihan keterampilan, serta perhatian terhadap kesehatan mental dan reintegrasi komunitas

telah diperkenalkan untuk mengubah paradigma pemasyarakatan. Keadilan restoratif, kolaborasi dengan masyarakat, dan penggunaan teknologi juga menjadi bagian

integral dari upaya-upaya ini. Dengan mengadopsi pendekatan yang holistik dan inklusif, diharapkan bahwa sistem pemasyarakatan akan menjadi lebih adil, efektif, dan

mampu membantu narapidana untuk menjadi anggota masyarakat yang produktif dan berkontribusi. Dengan demikian, inovasi dan transformasi menjadi kunci dalam

menciptakan lingkungan yang mendukung untuk memperbaiki kondisi narapidana dan membimbing mereka menuju kehidupan yang lebih baik setelah masa pembebasan.

REFERENSI

Chasanah, K. (2019). Implementasi Program Bimbingan Kerja Dalam Pemberdayaan Narapidana Di Lapas Perempuan Kelas IIA Semarang [Skripsi]. Universitas Diponegoro.

Fadilah, A., & Anwar, U. (2022). Analisis Strategi Pembinaan Bagi Narapidana Lanjut Usia Di Lapas Kelas IIA Bengkulu. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 10(2),
1–8.

Pangestu, M. A., & Muhammad, A. (2023). Masa Depan Pemasyarakatan: Inovasi dan Transformasi Untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Narapidana. Madani: Jurnal Ilmiah
Multidisiplin, 1(10), 273–280. https://doi.org/10.5281/zenodo.10113193

Pasya, A., & Wibowo, P. (2022). Analisis Peran Serta Teknologi Dalam Inovasi Pelayanan Publik Kepada Narapidana Di Era Disrupsi Pemasyarakatan Di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIB Muara Enim. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 10(1), 462–468.

Sari, D. K. (2012). BUKU AJAR KESEHATAN MENTAL. Semarang: UPT UNDIP Press Semarang.

Seftilia, T. F., Yudianto, J. D. F., Lestari, E., Amakki, M. H., & Anggara, O. F. (2022). Upaya Peningkatan Psychological Well-Being Narapidana Narkoba Melalui Pelatihan
Mental Di Rutan Kelas II B. Transformasi Dan Inovasi: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 2(2), 111–118.

Sugiyono. (2020). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: CV Alfabeta.

Thohir, M. M. B., & Hadi, S. (2020). Implementasi Komunikasi Organisasi dalam Kegiatan Dakwah untuk Memperbaiki Diri Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas
IIB Lumajang. Dakwatuna: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi Islam, 6(2), 157–176.
Waskito, B. J., & Wibowo, P. (2021). Persepsi Narapidana Terhadap Layanan Whatsapp Video Call Sebagai Sarana Kunjungan Online Ditengah Pandemi Covid-19.
JUSTITIA : Jurnal Ilmu Hukum Dan Humaniora, 8(2), 118–125. https://doi.org/10.31604/justitia.v8i2. 118-125

Anda mungkin juga menyukai