Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENOLOGI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PROSESRESOSIALISASI DAN
REINTEGRASI






Disusun Oleh :
RICKO SAPUTRA
EAA 111 0079

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS HUKUM
TAHUN 2014
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penyusun Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esakarena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penyusun dapatmenyusun makalah ini tepat
pada waktunya. Makalah ini membahas Lembaga Pemasyarakatan Dalam Proses
Resosialisasi Dan Reintegrasi.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun banyak mengalami hambatanakan tetapi dengan
bantuan dari berbagai pihak hambatan itu bisa teratasi. Olehkarena itu, penyusun
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepadasemua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang
setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembacasangat penyusun
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.Akhir kata semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat kepada kitasekalian.

Palangka Raya, 28 juni 2014
Penyusun;


RICKO SAPUTRA
EAA 111 0079









i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................................... 1
A.Latar Belakang Masalah....................................................................................................... 1
B.Identifikasi Masalah ............................................................................................................. 3
C.Tujuan Penyusunan .............................................................................................................. 3
D.Metode Penyusunan ............................................................................................................. 3
E. SISTEMATIKA PENULISAN..3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....4
BAB III PEMBAHASAN.............................................................................................................................. 5
A. Efektivitas Pidana Penjara dalam ProsesResosialisasi
dan Reintegrasi....................................................................................................................... 5
B. Peran sistem pembinaan pemasyarakatan
dalam proses resosialisasi dan reintegrasi Narapidana............................................ 9
BAB IV PENUTUP..................................................................................................................................... 14
A.Kesimpulan ............................................................................................................................ 14
B.Saran ......................................................................................................................................... 14









ii


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Usaha pembaharuan hukum pidana sampai saat ini terus dilakukan, dengansatu tujuan
utama yakni menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasionaluntuk menggantikan
kodifikasi hukum pidana yang merupakan warisan kolonialyakni wetboek van strafrecht
voor nederlands indie 1915 yang merupakan turunandari wetboek van strafrecht negeri
belanda tahun 1886.Pembaharuan hukum pidana yang menyangkut salah satu masalah
utamadi dalam hukum pidana berupa lembaga pidana ini, tidak akan terlepas dari
pengaruh perkembangan teori-teori tentang tujuan pemidanaan beserta aliran-aliran di
dalam hukum pidana yang mendasari perkembangan teori-teori tersebut.disamping
kecenderungan ini, harus pula diusahakan adanya pemikiran tentangkerangka teori
tentang tujuan pemidanaan yang benar-benar seusai dengan filsafatkehidupan bangsa
Indonesia yang bersendikan pancasila dan undang-undangdasar 1945, yakni yang
mendasarkan diri atas keseimbangan, keselarasan dankeserasian antara kehidupan social
dan individual.Perumusan teori tentang tujuan pemidanaan tersebut sangat
bermanfaatuntuk menguji sampai berapa jauh suatu lembaga pidana mempunyai daya
guna,yang dalam hal ini ditentukan oleh kemampuan lembaga pidana tersebut untuk
memenuhi pelbagai tujuan pemidanaan yang bersumber pada baik perkembangan Teori-
teori yang bersifat universal, maupun sistem nilai yang berlaku di dalammasyarakat
Indonesia sendiri.Pidana penjara merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang
palingsering digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan.
penggunaan pidana penjara sebagai sarana untuk menghukum para pelaku tindak
pidanabaru dimulai pada akhir abad ke-18 yang bersumber pada fahamindividualisme dan
gerakan perikemanusiaan, maka pidana penjara ini semakinmemegang peranan penting
dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana badan yang kejam (Barda Nawawi
Arief, 1996 : 42). sebagai catatan, dari seluruhketentuan KUHP memuat perumusan delik
kejahatan, yaitu sejumlah 587, pidana penjara tercantum di dalam 575 perumusan delik,
baik dirumuskan secara tunggalmaupun secara alternatif dengan jenis-jenis pidana lain
(Barda Nawawi Arief :69,70). ketentuan tersebut masih ditambah lagi/belum termasuk
dengan perumusan sanksi pidana penjara di luar yang diatur dalam undang-undang di luar
KUHP.Atas dasar tersebut maka pidana penjara yang merupakan primadonadalam sistem
sanksi pidana yang paling sering dijatuhkan oleh hakim dalammemutus perkara, perlu pula
dilakukan pembaharuan terhadap jenis sanksi pidana penjara. Menurut Mulder bahwa
politik hukum pidana harus selalumemperhatikan masalah pembaharuan, juga dalam
masalah perampasankemerdekaan. semakin sedikit orang dirampas kemerdekaannya
semakin baik. pandangan terhadap pidana perampasan kemerdekaan juga dapat
berakibatsebagai bumerang.
pidana perampasan kemerdekaan mengandung suatu ciri khas, yaitu bahwadia adalah
sementara. terpidana akhirnya tetap di antara kita (Barda NawawiArief, 2002 :
56,57).Sistem pemasyarakatan yang dianut oleh Indonesia, diatur dalam undang-undang
No. 12 tahun 1995, hal ini merupakan pelaksanaan pidana penjara, yangmerupakan
perubahan ide secara yuridis filosofis dari sistem kepenjaraan menjadisistem
pemasyarakatan. sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam
dan penjeraan yang disertai dengan lembaga rumah penjarasecara berangsur-angsur
dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi
dan reintegrasi sosial, agar narapidanamenyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak
untuk melakukan tindak pidanadan kembali menjadi warga masyarakat yang
bertanggungjawab bagi diri,keluarga, dan lingkungannya (penjelasan umum
UU pemasyarakatan).Bagi Negara Indonesia yang berdasarkan pancasila, pemikiran-
pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi
jugamerupakan usaha rehabilitasi dan reintegrasi social warga binaan
pemasyarakatantelah melahirkan suatu sistem pembinaan yang sejak lebih dari empat
puluh tahunyang dikenal dan dinamakan sistem pemasyarakatan. karena sistem
pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan
warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yangdilaksanakan secara terpadu
antara Pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan
pemasyarakatan agar menyadari kesalahan,memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,dan dapat
hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab.

B.Identifikasi masalah
Dari beberapa uraian di atas saya membatasi masalah menjadi beberapaidentifikasi agar
pembahasan tidak melebar, yaitu :
1.Bagaimana efektifitas pidana penjara selama ini dalam prosesresosialisasi dan reintegrasi
narapidana?
2.Bagaimana peran lembaga pemasyarakatan dalam proses resosialisasidan reintegrasi
narapidana?

C.Tujuan Penyusunan
Tujuan dari penelitian makalah ini adalah untuk dapat menjelaskan, sertamenunjukkan,
mengenai:
1.Efektifitas pidana penjara selama ini dalam proses resosialisasi danreintegrasi
narapidana.
2.Peran lembaga pemasyarakatan dalam proses resosialisasi dan reintegrasinarapidana.

D. Metode Pendekatan
Dalam pendekatan makalah ini, penyusun menggunakan metode normatif yang
berdasarkan atas studi pustaka. Yaitu dengan cara membaca dan merangkumdata yang
berkenaan dengan materi yang dibahas dalam makalah ini sertamenggunkan data
sekunder yang didapatkan dari beberapa media masa baik cetak maupun elektronik

E. SISTEMATIKA PENULISAN
-Bab 1 menjelaskan tentang latar belakang, identifikasi masalah, tujuan masalah, metode
penyusunan dan metode pendekatan, serata sistematika penulisan ini sendiri.
-Bab 2 adalah tinajuan pustaka yang dimana disitu dicantumkan data-data bahan studi
yang digunakan untuk membuat makalah ini
-Bab 3 pembahasan yang menjawab identifikasi masalah-masalah yang dipaparkan di bab
1
-Bab 4 berisi kesimpulan dan saran tentang makalah yang saya buat .

BAB II
TINJAAUAN PUSTAKA PUSTAKA

A. Buku dan Literatur
Dwidja Priyatno, Sistem pelaksanaan pidana penjara di Indonesia
,Bandung: Refika Aditama, 2006.
Romli Atmasasmita, Sistem peradilan pidana kontemporer
, Jakarta:Kencana, 2010.P.A.F.
Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, 1984.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 2007.
Muladi, Lembaga Pidana bersayarat, Bandung: Alumni, 1985.
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dengan Pidana penjara
,Semarang: Badan penerbit Undip, 1996.
B. Peraturan Perundang-undangan Indonesia,
Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan
















BAB III
PEMBAHASAN


A. Efektivitas Pidana Penjara dalam Proses Resosialisasi dan Reintegrasi
Efektivitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu
aspek perlindungan masyarakat, dan aspek perbaikan si pelaku.yang dimaksud dengan
aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuanmencegah, mengurangi atau
mengendalikan tindak pidana dan memulihkankeseimbangan masyarakat (antara lain
menyelesaikan konflik, mendatangkan rasaaman, memperbaiki kerugian atau kerusakan,
menghilangkan noda-noda,memperkuat kembal nilai-nilai yang ada dalam masyarakat).
sedangkan yangdimaksud dengan aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan yaitu
antaralain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku
danmelindunginya dari perlakuan sewenang-wenang di luar hukum.1.

Efektivitas pidana penjara dilihat dari aspek perlindungan masyarakatdilihat dari aspek
perlindungan atau kepentingan masyarakat makasuatu pidana dikatakan efektif apabila
pidana itu sejauh mungkin dapatmencegah atau mengurangi kejahatan. jadi, karena
efektivitas dilihat dariseberapa jauh frekuensi kejahatan dapat ditekan. dengan kata lain,
kriterianyaterletak pada seberapa jauh efek pencegahan umum (general prevention) dari
pidana penjara dalam mencegah warga masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan
kejahatan (Barda Nawawi Arief, 2002 : 224,225).
Efektivitas pidana penjara dilihat dari aspek perbaikan si pelakudilihat dari aspek
perbaikan si pelaku, maka ukuran efektivitas terletak pada aspek pencegahan khusus
(special prevention) dari pidana. jadi,ukurannya terletak pada masalah seberapa jauh
masalah itu (penjara)mempunyai pengaruh terhadap si pelaku atau terpidana. ada dua
aspek pengaruh pidana terhadap terpidana, yaitu pencegahan awal (deterent aspect)dan
aspek perbaikan (reformative aspect).aspek pertama (deterent aspect), biasanya diukur
dengan indikator residivis. berdasarkan indicator inilah RM. Jackson menyatakan, bahwa
suatu pidana adalah efektif apabila si pelanggar tidak dipidana lagi dalam suatu periode
tertentu selanjutnya ditegaskan, bahwa efektivitas adalah suatu pengukuran dari
perbandingan antara jumlah pelanggar yang dipidana kembalidan yang tidak dipidana
kembali.aspek kedua yaitu aspek perbaikan (reformative aspect), berhubungandengan
maslah perubahan sikap dari terpidana. seberapa jauh pidan penjaradapat mengubah sikap
terpidana, masih merupakan masalah yang masih belum dapat dijawab secara memuaskan.
hal itu disebabkan adanya beberapa problem metodologis yang belum terpecahkan dan
belum ada kesepakatan,khususnya mengenai :a.

apakah ukuran untuk menentukan telah adanya tanda-tanda perbaikanatau adanya
perubahan sikap pada diri si pelaku; ukuran recidivism rateatau reconviction rate masih
banyak yang meragukan.

b. berapa lamanya periode tertentu untuk melakukan evaluasiterhadap adatidaknya
perubahan sikap setelah terpidana menjalani pidana penjara. berdasarkan masalah-
masalah metodologis yang dikemukakan di atasdapatlah dinyatakan, bahwa penelitian-
penelitian selama ini belum dapatmembuktikan secara pasti apakah pidana penjara itu
efektif atau tidak. terlebihmasalah efektivitas pidana sebenarnya berkaitan dengan banyak
factor (Barda Nawawi Arief, 2002 : 225, 229, 230).Paham abolisionisme mulai
dikembangkan oleh Louk Hulsman dariBelanda ketika ia menjadi ketua hukum pidana dan
kriminologi di universitasErasmus, Rotterdam, pada tahun 1964. Arah pemikiran Hulsman
yang secaraeksplisit memiliki perspektif tampak nyata dalam sebuah pidato
wisudanya,Handhaving van Recht (The Maintenance of Justice). Dalam pidatonya ia
sangatmemerhatikan aspek kemanusiaan yang dipandangnya dapat dikikis oleh
keadilanyang dicapai melalui pelaksanaan hukum pidana. Bahkan ia berpendapat
bahwahukum pidana seharusnya dipandang sebagai salah satu sarana untuk
mencapaitujuan pencegahan dan perbaikan terhadap ketidakadilan dalam
masyarakat.Lebih jauh lagi Hulsman menyimpulkan bahwa sistem peradilan pidanaharus
dihapuskan seluruhnya karena menurutnya bahwa secara logika sistem initidak akan
dapat menjadi sarana yang manusiawi dan peka dalam
menghadapikejahatan.Karakterisktik abolisionisme dalam konteks sistem peradilan
pidanaadalah bahwa sistem peradilan pidana mengandung masalah dan paham ini tidak
yakin kemungkinan terdapatnya kemajuan melalui pembaruan karena sistem ini
menderita cacat structural yang tidak dapat diperbaiki. Satu-satunya cara yangdianggap
realistic dan paling baik ialah dengan mengubah dasar-dasar struktur sistem
tersebut.Dalam perspektif Hulsman, criminal justice system atau sistem peradilan pidana
dipandang sebagai masalah social. Ada empat pertimbangan yangmelandasi pemikiran
Hulsman, yaitu :
1.Sistem peradilan pidana memberikan penderitaan
2.Sistem peradilan pidana tidak dapat bekerja sesuai dengan yang tujuanyang dicita-
citakannya.
3.sistem peradilan pidana tidak terkendalikan
4.pendekatan yang digunakan sistem peradilan pidana memiliki cacatmendasar.Keempat
pertimbangan tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :Bahwa sistem peradilan
pidana telah menjatuhkan pidana kepada pelakukejahatan; hal ini berarti terjadi
pembatasan kemerdekaan terhadap pelakutersebut dan mereka dipisahkan atau
diasingkan dari masyarakatlingkungannya.Lebih dari itu, mereka dan keluarganya sudah
dikenai stigma dandirendahkan martabatnya sehingga kedudukan mereka dalam
masyarakat menjadisangat marginal. penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan ini
memiliki pelbagai tujuan,mulai dari tujuan memberikan pembalasan dan melindungi
masyarakat, sampaitujuan yang bersifat rehabilitative dan sosialisasi. Akan tetapi semua
tujuan tersebut tidak pernah dapat dicapai secara optimal karena masing-masing
tujuanmemiliki berbagai kelemahan yang ternyata sangat menonjol dan banyak
memperoleh kritik tajam dibandingkan dengan hasil yang telah dicapai dari tujuan
pemidanaan tersebut.dalam mekanisme kerja sistem peradilan pidana ini, pelaku
kejahatan tidak pernah diikutsertakan sehingga pada gilirannya mereka tidak dapat
ikutmenentukan tujuan akhir dari pidan yang telah diterimanya. Bahkan para
korbankejahatan juga pernah memperoleh manfaatdari hasil akhir suatu sistem peradilan
pidana. penderitaan atau kerugian korban diwakilkan kepada jaksa penuntut
umumsehingga pada esensinya, perwakilan tersebut dipandang sebagai
mencurikesempatan dari konflik antara para pihak dan diwujudkan ke dalam dua pihak,
pertama Negara dan di lain pihak tersangka pelaku kejahatan.Dalam konteks pertimbangan
ketiga ini, Hulsman berpendapat bahwasistem peradilan pidana tidak terkendali apabila
menghadapi kebijaksanaan dari pengambil keputusan sehingga sering rentan dan berubah-
ubah, bahkan tiap-tiapinstansi memiliki kewenangan yang berbeda satu sama lain dalam
menanganimekanisme kerja sistem peradilan pidana yang sering merugikan hak
asasitersangka pelaku kejahatan. pertimbangan keempat menunjukkan bahwa selama ini
pendekatan yangdilakukan sistem peradilan pidanamengandung cacat, karena batasan
tentangkejahatan dan proses sseorang memperoleh pidana kurang tepat dan tidak
layak.Sedangkan menurut Hulsman, konsep kejahatan dan pidana berkaitan erat satu sama
lain sehingga tidak mudah menetapkan apa yang merupakan batasankejahatan dan pidana.
selain itu, keahatan merupakan konsep yang kompleks dantidak sekedar hanya
menetapkan apa yang benar dan tidak benar, apa yang salahdan tidak salah. penetapan
melalui cara demikian tampak menggunakan pendekatanindividual sedangkan sistem
peradilan pidana memerlukan pendekatan yang bersifat multivarian.Selama ini menurut
Hulsman terjadi kesalahan persepsi tentang pidana dankejahatan atau penjahat. Bahwa
antara konsep-konsep tersebut terdapat hubunganyang erat tidak selalu berarti jika ada
kejahatan (dan juga penjahat) harus selaluada pidana sehingga dalam konteks inilah
tampak bahwa sistem peradilan pidanatidak luwes dan tidak kreatif dalam menemukan
bentuk lain dari pengendaliansocial (social control).Cohen menegaskan kembali nilai-nilai
(values) yang melandasi perspektif abolisionis, sebagai berikut:
1.Masih masuk akal untuk mencari alternatif yang lebih manusiawi, layak,dan efektif
daripada lembaga seperti penjara.
2.kerjasama timbale balik, persaudaraan dan hidup bertetangga secara baik terkesan lebih
baik bergantung pada birokrasi dan para ahli3.

Kota-kota seharusnya diperuntukkan sedemikian rupa sehingga setiaporang merasa
memilikinya dan di mana gangguan ketertiban lebihditenggang rasa (ditoleransi) daripada
dibedakan dalam zona daerah rawandan aman pandangan masyarakatseharusnya
ditujukan kepada keadaan fisik dankebutuhan social5.

perlu dicari suatu cara yang dapat menghentikan proses yang sangatmerugikan di mana
masyarakat tetap memelihara klasifikasi, pengawasan,dan mengasingkan kelompok
masyarakat berdasarkan usia, etnis, tingkahlaku, status moral, kemampuan, dan
keunggulan fisik.kritik terhadap pidana penjara pada dasarnya dibagi menjadi dua
bagianyaitu kritik yang moderat dan kritik yang ekstrim.1.

kritik yang moderat pada intinya masih mempertahankan pidana penjaranamun
penggunaannya dibatasi. kritik yang menyangkut sudut Strafmodusmelihat dari sudut
pelaksanaan pidana penjara; jadi dari sudut sistem pembinaan/treatment dan
kelembagaan/institusinya. kritik dari sudutstrafmaat melihat dari susut lamanya pidana
penjara, khususnya inginmembatasi atau mengurangi penggunaan pidana penjara pendek.
kritik darisudut strafsoort ditujukan terhadap penggunaan atau penjatuhan pidana penjara
dilihat sebagai jenis pidana, yaitu adanya kecenderungan untuk mengurangi atau
membatasi penjatuhan pidana penjara secara limitativedan selektif.2.

kritik yang ekstrim menghendaki hapusnya sama sekali pidana penjara(prison abolition)
ini terlihat dengan adanya international conference on prison abolition (ICOPA) yang
diselenggarakan pertam kali pada bulanmei 1983 di Toronto Kanada, yang kedua pada
tanggal 24-27 juni 1985 diAmsterdam dan ketiga pada tahun 1987 di montreal, Kanada.
Pada konferensi ketiga ini istilah prison abolition telah diubah menjadi penalabolition.

B. Peran sistem pembinaan pemasyarakatan dalam proses resosialisasi
danreintegrasi Narapidana
Sehubungan dengan tujuan hukum pada umumnya ialah tercapainyakesejahteraan
masyarakat materiil dan spiritual, maka perbuatan yang tidak dikehendaki ialah perbuatan
yang mendatangkan kerugian atas wargamasyarakat.Kerugian itu berarti ada korbannya.
Perlu diingat bahwa korban dari perbuatan itu tidak hanya orang lain selain si pembuat,
akan tetap i dapat pula si pembuat sendiri. Korban ini dapat tampak dengan jelas, misalnya
pada pembunuhan, pencurian, pembakaran, pemberontakan dan sebagainya. Namundapat
pula korban itu tidak tampak, kerugiannya tidak segera dirasakan, misalnya pencemaran
lingkungan hidup oleh pabrik-pabrik besar, iklan yang sangatmerangsang untuk membeli,
pengambilan kayu dari hutan secara besar-besarantanpa perhitungan, abortus provocatus,
penggunaan narkotika, hubungan seks diluar perkawinan, dan sebagainya. yang jelas ialah
bahwa perbuatan yang tidak merugikan tidaklah boleh ditetapkan sebagai perbuatan yang
tidak dikehendaki.Sebaliknya tidak semua perbuatan yang merugikan perlu dicegah
denganmenggunakan hukum pidana.Tim perancang konsep rancangan KUHP 2004 telah
sepakat bahwa tujuan pemidanaan adalah :
1.Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukumdemi
pengayoman masyarakat.
2.Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehinggamenjadikannya
orang yang baik dan berguna.
3.Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkankeseimbangan
dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.4.

Membebaskan rasa bersalah pada terpidana (pasal 51 konsep RKUHP2004).Sedangkan
dalam pasal 51 ayat (2) konsep rancangan KUHP tersebut diatas memberikan makna
terhadap pidana dalam sistem hukumIndonesia.Ditegaskan bahwa pemidanaan tidak
dimaksudkan untuk menderitakandan tidak diperkenankan merendahkan martabat
manusia.Perumusan tersebut cukup memadai bilamana ditinjau dari
pandanganintegrative Pancasila, sebab faktor-faktor individual dan social diperhatikan
secaraintegralistik.Penjelasan pasal 51 Konsep Rancangan KUHP 2004 menyatakan
pemidanaan merupakan suatu proses.Sebelum Proses ini berjalan, peranan hakim penting
sekali.Ia mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-
undangan dengan menjatuhkan pidana terhadap tertuduhdalam kasus tertentu.Ketentuan
dalam pasal ini memuat tujuan ganda yang hendak dicapaimelalui pemidanaan.Dalam
tujuan pertama jelas tersimpul pandangan perlindungan masyarakat.Tujuan kedua
mengandung maksud bukan saja unutk merehabilitasi, tetapi juga meresosialisasi
terpidana dan mengintegrasikan yang bersangkutan ke dalam masyarakat.Tujuan ketiga
sejalan dengan pandanganhukum adat dalam arti reaksi adat itu dimaksudkan untuk
mengembalikankeseimbangan (magis) yang terganggu oleh perbuatan yang berlawanan
denganhukum adat.Jadi pidana yang dijatuhkan diharapkan dapat menyelesaikan konflik
atau pertentangan dan juga mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.Tujuanyang
keempat bersifat spiritual dicerminkan dalam Pancasila sebagai dasar NegaraRepublik
Indonesia.Berdasarkan praktek peradilan pidana di Indonesia untuk
dapatterselenggaranya sistem peradilan pidana (criminal justice system ) yang baik,maka
perlu dibuat suatu pedoman pemidanaan yang lengkap dan jelas. Pedomanini sangat
berguna bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara dan mempunyaidasar
pertimbangan yang cukup rasional. Maka sehubungan dengan hal tersebut diatas dalam
konsep rancangan KUHP 2004 pasal 52 terdapat pedoman pemidanaanyang bunyinya
sebagai berikut :
a.kesalahan pembuat tindak pidana
b.motif dan tujuan melakukannya tindak pidana
c.sikap batin pembuat tindak pidana
d.apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana
e.cara melakukan tindak pidana
f.sikap dan tindakan pembuat sesuadah melakukan tindak pidana
g.riwayat hidup dan keadaan social ekonomi pembuat tindak pidanah.pengaruh pidana
terhadap masa depan pembuat tindak pidanai.

pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban
pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan /atauk.

pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.Barda Nawawi Arief
menyatakan bahwa pidana penjara tidak hanyamengakibatkan perampasan kemerdekaan,
tetapi juga menimbulkan akibatnegative terhadap hal-hal yang berhubungan dengan
dirampasnya kemerdekaanitu sendiri.Akibat negative itu antara lain terampasnya juga
kehidupan seksualyang normal dari seseorang, sehingga sering terjadi hubungan
homoseksual danmasturbasi di kalangan terpidana. Dengan terampasnya kemerdekaan
seseorang juga berarti terampasnya kemerdekaan berusaha dari orang itu yang
dapatmempunyai akibat seirus bagi kehiduppan social ekonomi keluarganya.terlebih
pidana penjara itu dapat memberikan stigma yang akan terbawa terus walaupunyang
bersangkutan tidak lagi melakukan kejahatan. Akibat lain yang juga seringdisoroti ialah
bahwa pengalaman penjara dapat menyebabkan terjadinya degradasiatau penurunan
derajat dan harga diri manusia (Barda N., Arief, 1999 : 36,37)Jika dipandang dari sudut
kasus posisi di atas di mana tingkat residivisme,narapidana melarikan diri, ditambah
dengan membludaknya penghuni Lapas atauRutan jelas terlihat bahwa sistem
pemasyarakatan sebenarnya (walaupun tidak bisa dikatakan gagal) belum mampu
menjalankan apa yang menjadi cita-cita dantujuan dari dibentuknya Lembaga
pemasyarakatan. Belum lagi banyak narapidanayang meninggal dunia dengan cara tidak
wajar justru di dalam Lembaga pemasyarakatan yang seharusnya menjadi pengayom bagi
narapidana yang ada didalamnya, jual beli narkoba di dalam lapas, praktek perjudian,
praktek suap agar mendapat fasilitas yang lebih dari narapidana lain, atau paket tur ke bali
dengan bonus rambut palsu sudah bukan rahasia lagi bagi masyarakat sekarang
ini.membuat kita berpikir apakah Lembaga pemasyarakatan sebenarnya efektif untuk
mengayomi narapidana dalam proses resosialisasi dan reintegrasi ketika nantikeluar dari
Lembaga pemasayarakatan, atau malah sebaliknya justru Lembaga pemasyarakatan itu
sendiri yang menjadi guru yang baik bagi sebagian besar narapidana yang begitu keluar
malah menjadi penjahat kelas kakap.Saat ini Lembaga pemasyarakatan dirasa memang
belum bisa menjadi pengayom narapidana dalam proses resosialisasi dan reintegrasi
dalam rangkamerehabilitasi diri narapidana agar kembali menjadi warga yang baik dan
bertanggungjawab.Peran sistem pembinaan masyarakat dilaksanakan berdasarkan asas :
a.Pengayoman adalah perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatandalam rangka
melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginyatindak pidana oleh warga binaan
pemasyarakatan, juga memberikan bekalhidupnya kepada warga binaan pemasyarakatan
agar menajdi warga yang berguna dalam masyarakat.
b.Persamaan perlakuan dan pelayanan adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang
sam kepada warga binaan pemasyarakatan tanpamembeda-bedakan orang (tidak
termasuk kasus Artalytha Suryani).
c.Pendidikan adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dan bimbingandilaksanakan
berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan,
pendidikan kerohanian, dan kesempatanuntuk menunaikan ibadah.
d.Penghomatan harkat dan martabat manusia adalah bahwa sebagai orangyang tersesat
warga binaan pemasyarakatan harus tetap diperlukan sebagaimanusia.
e.Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan adalahwarga binaan
pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangkawaktu tertentu, sehingga
mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya.
f.Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu
adalah bahwa walaupun warga binaan pemasyarakatan berada di LAPAS, tetapi harus
tetap didekatkan dan dikenalkan denganmayararakat dan tidak boleh diasingkan dari
masyarakat.Dengan asas-asas yang tercantum di atas sudah seharusnya sistem pembinaan
masyarakat menjadi sarana yang tepat bagi narapidana untuk kembalike masyarakat tanpa
adanya ketakutan akan stigmatisasi yang buruk darimasyarakat. karena tujuan
pemidanaan yang paling baik adalah denganmemasyarakatkan kembali para narapidana
yang tersesat dan minghilangka rasa bersalah pada diri terpidana seperti yang tercantum
dalam Rancangan Konsep KUHP 2004.






















BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kami tarik dari makalah ini adalah
Tujuandiselenggarakannya sistem pemasyarakatan dalam rangka membentuk warga
binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari
kesalahanmemperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
diterimakembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunandan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggungjawab. Namun memang tidak selamanya seperti yang diharapkan karena
berbagai faktor penghambat kemajuan sistem peradilan pidana khususnya sistem
pemasyarakatan,yang tadi sudah kami jelaskan di atas yakni :
1.Kepemimpinan, kualitas sumber daya antisipasi, penghayatan danwawasan
terhadap standar minimum pengamanan di kalangan pegawai pemasyarakatan.
2.Rendahnya kualitas SDM petugas pengamanan karena kurangnya pemahaman
terhdap peraturan penjagaan Lembaga Pemasyarakatan(PPLP) dan prosedur tetap
(protap) pelaksanaan tugas pemasyarakatan.
3.Tidak memadainya jumlah petugas pengamanan.
4.Pengaruh situasi dan kondisi di luar/masyarakat.
5.Kurang lancarnya dan kurang selektifnya pelaksanaan kegiatan pembinaan
narapidana.
Sarana fisik dan sarana pengamanan yang kurang memenuhi standar minimum
pengamanan.
B. Saran
Meskipun dengan berbagai hambatan yang ada, bukan berarti sistem pemasyarakatan
yang gagal dalam proses resosialisasi dan reintegrasi narapidanaketika kembali ke
masyarakat nanti. dengan pengawasan yan tepat secara bersamadan tidak musiman, kami
yakin lembaga pemasyarakatan dapat merubah stigma buruk yang mulai mengendap
dalam sistem pemasyarakatan khususnya Lapasatau Rutan.Karawang.

Anda mungkin juga menyukai