Anda di halaman 1dari 22

DAMPAK PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE

TERHADAP PEMBAHARUAN HUKUM NASIONAL


MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
POLITIK HUKUM

Dosen Pengampu : Dr.Abdul Kadir, S.H.,M.H.

Oleh:
Muhdar
NIM : 22120044

MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS DARUL ULUM ISLAMIC CENTRE
SUDIRMAN GUPPI
( UNDARIS )

2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Dengan menyebut nama Allah


SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami lanjutkan muka dan puji
syukur atas khasiatnya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayahnya
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah guna untuk memenuhi
tugas mata kuliah Politik Hukum yang berjudul DAMPAK PENERAPAN
RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP PEMBAHARUAN HUKUM
NASIONAL (DITINJAU DARI ANALISIS YURIDIS). Terimakasih kepada
bapak Dr.Abdur Kadir,S.H.,M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah Politik
Hukum yang telah membimbing kami untuk menyelesaikan makalah ini sesuai
dengan prosedur yang ada. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca dan kami khususnya sebagai
penulis. Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam
penulisan, atau pun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah
ini, penulismohon maaf. Penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari
pembaca agar bisa membuat karya makalah yang lebih baik pada kesempatan
berikutnya. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Jakarta 22 juni 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mengetahui pilar-pilar ketatanegaraan di Indonesia dalam negara
demokrasi yang esensial salah satunya yaitu menyangkut tentang sistem
peradilan. Akan tetapi sampai saat ini sistem peradilan di Indonesia masih
dihadapkan pada sejumlah masalah walaupun berbagai pembenahan dan/atau
perbaikan sudah sering dilakukan. Perbaikan sistem yang sudah pernah
dilakukan belumlah memberikan jawaban yang memuaskan bagi para pencari
keadilan. Sejumlah masalah yang muncul dalam proses peradilan menunjukkan
realitas dari sistem peradilan di Indonesia yang kian karut marut. Sepertihalnya
dalam sistem peradilan pidana yang posisinya sedang dalam upaya penyelesaian
atau menangani suatu tindak kejahatan yang merupakan pelanggaran hukum
positif diharapkan dapat menghukum atau membebaskan seseorang dari
ancaman tindak pidana. Akan tetapi dalam sistem peradilan pidana belum dapat
dinyatakan adil bagi korban dari suatu tindak kejahatan yang terjadi, kedudukan
korban dalam sistem peradilan pidana kurang diperhatikan karena di dalam
sistem peradilan pidana cenderung berorientasi pada pelaku dan tindak
pidananya sedangkan kedudukan korban kurang diperhatikan.
Lain dari itu dalam kasus-kasus yang akhir-akhir ini marak terjadi telah
memperlihatkan pada semua kalangan masyarakat bahwa sistem peradilan
pidana di Indonesia masih belum bisa memberikan suatu kepastian hukum yang
mengedepankan rasa keadilan bagi semua orang. Hal tersebut bisa kita lihat dan
analisis pada kasus seorang nenek-nenek yang mempunyai nama panggilan
mbah minah yang didakwa telah mencuri 3 (tiga) buah kakao milik majikannya,
yang mana jikalau pada waktu itu Mejelis hakim dalam mengadili mbah minah
menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di
Indonesia mungkin mbah minah akan mendekam dalam penjara dan hal tersebut
dalam kepastian hukumnya sudah tidak lagi mengesampingkan rasa keadilan
maupun perikemanusiaan.
Mungkin dalam kasus lain masih banyak contoh dimana memang dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia masihlah jauh seperti apa yang diharapkan
oleh masyarakat indonesia dalam hal menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan
memberi perlindungan atas hak asasi manusia. Sehingga melihat apa yang telah
dipaparkan diatas mengenai sistem peradilan pidana di Indonesia, maka dalam
hal ini perlu adanya prospek pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).
Karena dalam pendekatan keadilan restoratif bisa diasumsikan sebagai
pergeseran paling mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja
dalam sistem peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada
saat ini.
Bahwa prospek pendekatan keadilan restoratif merupakan sebuah
konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana
dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan/atau korban
yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan
pidana yang ada pada saat ini. Dipihak lain, pendekatan keadilan restoratif juga
merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam
merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum di Indonesia.
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif
menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan
menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan keadilan restoratif makna
tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada
umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan
kemasyarakatan. Akan tetapi dalam pendekatan keadilan restoratif, korban
utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam
sistem peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan
menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya
suatu tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai proses pencarian
pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana keterlibatan
korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usahaperbaikan,
rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan

permasalahan yang menjadi topik pembahasan dalam makalah ini adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana prospek pendekatan keadilan restoratif bagi masyarakat?

2. Bagaimana upaya penyelsaian perkara melalui pendekatan keadilan

restoratif?

3. Bagaimana persoalan pengaturan kewenangan subsistem didalam dan diluar

sistem peradilan pidana terkait penerapan pendekatan keadilan restoratif?

4. Bagaimana kualifikasi tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan

pendekatan keadilan restoratif?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Prospek Pendekatan Keadilan Restoratif Bagi Masyarakat


Peluang untuk melakukan pendekatan terhadap keadilan restoratif
sebenarnya merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik beratkan pada
kondisi terciptanya keadilan dan/atau keseimbangan bagi masyarakat. Keadilan
restoratif merupakan sebuah pendekatan untuk membuat pemindahan dan
pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan. Di dalam rumusan sila kedua dan
sila kelima Pancasila, terdapat kata “keadilan” yang menunjukkan bahwa
memang keadilan itu harus ditegakkan dan dijunjung tinggi. Penegakan
keadilan dalam kehidupan bermasyarakat memiliki arti penting dalam salah satu
upaya membangun peradaban bangsa yang tinggi dan bermartabat. Tidak akan
maju peradaban dari suatu bangsa apabila tidak didasarkan atas peri kehidupan
berkeadilan. Disinilah hukum berfungsi sebagai pelindung kepentingan
manusia, menciptakan ketertiban dan keseimbangan sehingga tercapailah
keadilan yang diharapkan.
Keadilan restoratif (Restorative Justice) dapat diartikan sebagai
pemulihan keadilan bagi korban dan pelaku tindak pidana. Pengertian ini
berkembang setelah dimasukkan dalam sistem peradilan pidana, sehingga
pengertiannya menjadi proses penyelesaian yang sistematis atas tindak pidana
yang menekankan pada pemulihan atas kerugian korban dan atau masyarakat
sebagai akibat perbuatan pelaku. Dalam proses penyelesaian ini melibatkan
korban dan pelaku secara langsung dan aktif. Menurut Artidjo Alkostar,
Restorative justice adalah “metode pemulihan yang melibatkan pelaku
kejahatan, korban dan komunitasnya di dalam proses pemidanaan dengan
memberi kesempatan kepada pelaku untuk menyadari kesalahannya dan
bertobat sehingga pelaku dapat kembali kedalam kehidupan komunitasnya
kembali”. Dalam penegakan keadilan belum mencapai cita-cita keadilan bagi
para pihak, terutama korban dari suatu tindak kejahatan. Kegagalan
menegakkan keadilan disebabkan oleh beberapa hal:
1. Perlakuan yang tidak adil, beberapa perlakuan tersebut diantaranya
penahanan dan penangkapan tanpa alasan kuat, pemaksaan pengakuan,
pemalsuan bukti-bukti forensik, pembelaan hukum oleh para penasehat
hukum dibawah standar profesi, atau kesesatan hakim yang terlanjur
membebaskan terdakwa karena kesalahan teknis.
2. Peraturan hukum yang tidak adil, semata-mata demi kepastian hukum
3. Tindakan adanya pembenaran faktual dalam penerapan pidana dan tindakan
akibat kesalahan identitas atau pemidanaan terhadap orang yang tidak
bersalah, akibat kesalahan dalam sistem pembuktian.
4. Perlakuan yang merugikan dan tidak proposional terhadap tersangka,
terdakwa, dan terpidana, dibandingkan dengan kebutuhan untuk melindungi
hak-hak orang lain.

5. Hak-hak orang lain tidak dilindungi secara efektif dan proposional oleh
negara.

6. Perlakuan tidak adil terhadap korban akibat hukum yang tidak kondusif.

Keadilan restoratif (restorative justice) itu sendiri memiliki makna


keadilan yang merestorasi. Di dalam proses peradilan pidana konvensional
dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi
memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara
pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas
kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat
menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi
kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian,
kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Karena proses
pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat,
dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian
masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan
eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang
hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat
seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan
pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi
Tujuan dari keadilan restoratif adalah mendorong terciptanya peradilan
yang adil dan mendorong para pihak untuk ikut serta didalamnya. Korban
merasa bahwa penderitaannya di perhatikan dan kompensasi yang disepakati
seimbang dengan penderitaan dan kerugian yang dideritanya. Pelaku tidak
mesti mengalami penderitaan untuk dapat menyadari kesalahannya. Justru
dengan kesepakatan untuk mengerti dan memperbaiki kerusakan yang timbul,
kesadaran tersebut dapat diperolehnya. Semenntara bagi masyarakat, adanya
jaminan keseimbangan dalam kehidupan dan aspirasi yang ada tersalurkan oleh
pemerintah. Tujuan utama restorative justice adalah memberdayakan korban,
dimana pelaku didorong agar memperhatiakan pemulihan. Keadilan restoratif
mementingkan terpenuhinya kebutuhan material, emosional, dan sosial sang
korban. Keberhasilan keadilan restoratif, diukur oleh sebesar apa kerugian yang
telah dipulihkan pelaku, bukan diukur oleh seberat apa pidana yang dijatuhkan
hakim. Intinya, sedapat mungkin pelaku dikeluarkan dari proses pidana dan dari
penjara.
Munculnya sebuah ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan
sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif
menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik
tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi
korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga
dan sebagainya. Ciri yang menonjol dari restorative justice, kejahatan
ditempatkan sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial dan bukan
sekadar pelanggaran hukum pidana. Kejahatan dipandang sebagai tindakan
yang merugikan orang dan merusak hubungan sosial. Berbeda dengan hukum
pidana yang telah menarik kejahatan sebagai masalah negara. Hanya negara
yang berhak menghukum, meskipun sebenarnya komunitas adat bisa saja
memberikan sanksi. Sistem pemenjaraan sebagai pelampiasan kebencian
masyarakat yang diterima dan dijalankan negara. Munculnya ide restorative
justice karena proses pidana belum memberikan keadilan pada korban. Usaha
ke arah restorative justice sebenarnya sudah ada di lembaga pemasyarakatan,
meskipun masih belum menonjol. Penerapan itu misalnya, menempatkan masa
pembinaan sebagai ajang menyetarakan kembali hubungan narapidana dan
korban.
Proses keadilan restoratif pada dasarnya merupakan upaya pengalihan
dari proses peradilan pidana menuju penyelesaian secara musyawarah, yang
pada dasarnya merupakan jiwa dari bangsa Indonesia, untuk menyelesaikan
permasalahan dengan cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat. Keadilan
restoratif merupakan langkah pengembangan upaya non-penahanan dan
langkah berbasis masyarakat bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
Keadilan restoratif dapat menggali nilai-nilai dan praktek-praktek positif yang
ada di masyarakat yang sejalan dengan penegakan hak asasi manusia.
Pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan tindak pidana juga bertujuan
untuk menghindarkan pelakunya dari proses pemidanaan yang terkadang
dirasakan belum dapat mencerminkan nilai-nilai keadilan. Dalam upaya
penegakan hukum pidana, semestinya bukan hanya akibat tindak pidana itu
yang menjadi fokus perhatian, tetapi satu hal penting yang tidak boleh diabaikan
adalah faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana. Sasaran
dari proses peradilan pidana menurut perspektif keadilan restoratif adalah
menuntut pertanggung jawaban pelanggar terhadap perbuatan dan akibat-
akibatnya, yakni bagaimana merestorasi penderitaan orang yang terlanggar
haknya (korban) seperti pada posisi sebelum pelanggaran dilakukan atau
kerugian terjadi, baik aspek materiil maupun aspek immateriil.

B. Upaya Penyelesaian Perkara Melalui Pendekatan Keadilan Restoratif


Proses penyelesaian perkara, keadilan restoratif tidak lagi menggunakan
cara-cara konvensional yang selama ini digunakan dalam sistem peradilan
pidana, yang hanya berfokus pada mencari siapa yang benar dan siapa yang
salah, serta mencari hukuman apa yang pantas diberikan kepada pihak yang
bersalah tersebut. Sementara dalam penyelesaian perkara melalui restorative
justice bukan lagi kedua hal tersebut, yang diinginkan oleh restorative justice
adalah sebuah pemulihan terhadap pelaku agar ia tidak lagi melakukan
kejahatan, pemulihan turut pula ditujukan kepada korban sebagai pihak yang
dirugikan serta hubungan antar korban, pelaku serta masyarakat agar jalannya
kehidupan dapat kembali seperti semula. Keadilan Restoratif, melibatkan kedua
pihak yaitu korban dan pelaku dan berfokus pada kebutuhan pribadi mereka.
Selain itu, juga memberikan suatu bentuk bantuan bagi pelaku untuk
menghindari pelanggaran di masa depan. Hal ini didasarkan pada sebuah teori
keadilan yang menganggap kejahatan dan pelanggaran menjadi pelanggaran
terhadap individu atau masyarakat, bukan negara. Keadilan Restoratif yang
mendorong dialog antara korban dan pelaku menunjukkan tingkat tertinggi
kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku.
Dalam proses acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi
perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang
pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak
hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya
berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana. Proses formal pidana yang
makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun
korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara
korban dan pelaku, konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan
yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian
masalahnya. Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya
sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi
putusan pemidanaan, tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang
hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi
dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi
permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap
untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Kewenangan untuk menyampingkan perkara pidana itu sendiri dikenal
sebagai perwujudan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung.
Dalam praktiknya pun sebenarnya di tingkat penyidikan kepolisian sering
terbentur dengan tata acara pidana formil apabila hendak mengesampingkan
sebuah perkara pidana, diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak melingkupi
kewenangannya untuk menilai sebuah perkara untuk terus dilanjutkan atau
dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana yang cukup.
Apabila ada bukti telah terjadi sebuah tindak pidana, polisi akan terus
meneruskan perkara tersebut. Oleh karena itu di dalam RUU KUHAP yang
terbaru perlu didorong pendekatan penanganan tindak pidana yang lebih
humanis, lebih menekankan dan mendahulukan pendekatan restorative justice
dibandingkan pertimbangan legalistik yang formil.
Sasaran akhir konsep peradilan restorative ini mengharapkan
berkurangnya jumlah tahanan di dalam penjara; menghapuskan stigma / cap dan
mengembalikan pelaku kejahatan menjadi manusia normal, pelaku kejahatan
dapat menyadari kesalahannya, sehingga tidak mengulangi perbuatannya serta
mengurangi beban kerja polisi, jaksa, rutan, pengadilan, dan lapas; menghemat
keuangan negara tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah
dimaafkan oleh korban, korban cepat mendapatkan ganti kerugian;
memberdayakan masyarakat dalam mengatasi kejahatan dan; pengintegrasian
kembali pelaku kejahatan dalam masyarakat.
Istilah “penyelesaian di luar pengadilan” umumnya dikenal sebagai
kebijakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang
untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut: sebagai penentu keluaran akhir
dari suatu kasus sengketa, konflik, pertikaian atau pelanggaran, namun juga
memiliki wewenang melakukan diskresi / pengenyampingan perkara pidana
yang dilakukan oleh pihak tertentu, dilanjutkan dengan permintaan kepada
pelaku / pelanggar agar mengakomodasi kerugian korban. Istilah umum yang
populer adalah dilakukannya “perdamaian” dalam perkara pelanggaran hukum
pidana.
Keuntungan dari penggunaan “penyelesaian di luar pengadilan” dalam
menyelesaikan kasus-kasus pidana adalah bahwa pilihan penyelesaian pada
umumnya diserahkan kepada pihak pelaku dan korban. Keuntungan lain yang
juga amat menonjol adalah biaya yang murah. Sebagai suatu bentuk pengganti
sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan kompensasi yang dirundingkan /
disepakati dengan pihak korban. Dengan demikian, keadilan menjadi buah dari
kesepakatan bersama antar para pihak sendiri, yaitu pihak korban dan pelaku,
bukan berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan hakim. Sedangkan kelemahan
dari penggunaan “penyelesaian di luar pengadilan”, dapat menjadi sumber
penyalahgunaan wewenang dari para penegak hukum, khususnya apabila
diskresi dibelokkan menjadi ”komoditi”. Ketidakmauan menghukum juga dapat
dipersepsi sebagai melunaknya hukum dimata para pelaku kejahatan atau
pelanggar aturan.
Salah satu indikator penting yang membedakan sistem peradilan pidana
dan pendekatan keadilan restoratif adalah persoalan partisipasi korban dan
pelaku. Persoalan partisipasi ini menjadi sama pentingnya karena pada dasarnya
keadilan restorative yang menjadi tujuan akhir baru dapat terwujud apabila
korban dan pelaku terlibat secara langsung (berpartisipasi secara aktif) dalam
upaya menentukan solusi terbaik bagi semua pihak.
Tulisan ini lebih difokuskan pada bagaimana hukum acara pidana dapat
mewadahi partisipasi korban dan pelaku secara langsung dalam penyelesaian
perkara pidana. Dengan kata lain, terminologi “pendekatan keadilan restoratif”
yang dimaksud dalam tulisan ini memang lebih dititikberatkan pada
kesepakatan perdamaian antara pelaku dan korban dan bagaimana kemudian
hukum acara mengakui keberadaan kesepakatan perdamaian tersebut sebagai
kesepakatan yang memiliki kekuatan hukum. Namun demikian apa yang sangat
perlu mendapatkan perhatian adalah jangan sampai penerapan pendekatan
keadilan restoratif ini disimplifikasi dan diartikan secara dangkal sebatas sebuah
kesepakatan perdamaian karena jika demikian proses yang berjalan justru akan
terjebak pada sebatas menjalankan fungsi prosedural saja sehingga kebenaran
(khususnya kebenaran materil) dan keadilan tidak dapat tercapai.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, karakteristik hukum
pidana sebagai hukum publik yang tampak dari dominasi peran negara melalui
alat-alat kekuasannya dalam sistem peradilan pidana berimplikasi pada tidak
diakuinya keberadaan korban dan pelaku sebagai pihak yang menentukan dalam
penyelesaian suatu perkara pidana. Dalam sistem peradilan pidana, pemenuhan
rasa keadilan korban sangat tergantung pada empati Jaksa Penuntut Umum.
Keterangan saksi korban yang merupakan salah satu alat bukti diminta guna
mendukung atau dengan kata lain memberikan pembenaran atas dakwaan dan
tuntutan jaksa. Selain itu, pemidanaan terhadap pelaku juga dibatasi oleh jenis-
jenis sanksi yang ditentukan secara tegas oleh peraturan perundang-undangan
yang sebenarnya tidak menawarkan keuntungan apapun kepada korban karena
memang sanksi-sanksi pidana tersebut ditujukan sebagai alat pemberian derita
bagi pelaku. Selain korban, pelakupun ternyata berada dalam keadaan yang
tidak cukup menguntungkan karena pada dasarnya, sistem peradilan pidana
lebih difokuskan pada pembuktikan kesalahan pelaku, bukan pemulihan kondisi
seperti semula sebelum terjadinya tindak pidana. Bentuk pertanggungjawaban
pelaku (sanksi pidana) yang dijatuhkan juga sangat dibatasi oleh undang-
undang sehingga pelaku tidak dapat mewujudkan bentuk pertanggungjawaban
lain yang tidak diatur dalam undang-undang. Beberapa undang-undang yang
mengatur ketentuan mengenai pemberian restitusi dan kompensasi bagi korban
pada prinsipnya dapat menjadi instrumen pendukung penerapan pendekatan
keadilan restoratif. Namun demikian, penerapan pendekatan keadilan restoratif
ini masih sangat terbatas sifatnya karena ruang bagi korban dan pelaku untuk
menentukan bentuk pertanggungjawaban yang diinginkan belum mendapatkan
tempat.
Persoalan aspirasi korban yang tidak cukup terwakili dengan baik dalam
sistem peradilan pidana serta penyelesaian perkara pidana yang dianggap tidak
memberikan keuntungan yang dapat dirasakan secara langsung baik oleh
korban
maupun pelaku menjadi sejumlah permasalahan dalam sistem peradilan pidana.
Pendekatan keadilan restoratif hadir sebagai respon terhadap berbagai
persoalan tersebut dengan mencoba melibatkan korban yang merasa tersisih
dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada saat ini.
Selain itu, pendekatan keadilan restoratif juga merupakaan suatu kerangka
berpikir yang baru yang dapat digunakan penegak hukum dalam merespon
terjadinya tindak pidana. Beberapa hal yang kemudian harus diperhatikan
terkait operasionalisasi pendekatan keadilan restoratif dalam mengupayakan
partisipasi korban dan pelaku secara langsung ini adalah penerapan pendekatan
ini harus dilakukan secara sukarela dengan didasarkan pada persetujuan bebas
para pihak dan dapat dilakukan dalam setiap tahap dalam proses peradilan
pidana.
Terkait pilihan untuk menerapkan pendekatan keadilan restoratif yang
harus dilakukan secara sukarela, perdamaian sesungguhnya menjadi pintu
masuk
untuk dapat diterapkannya pendekatan ini. Selalu terdapat kemungkinan bahwa
para pihak yang terlibat dalam suatu konflik atau sengketa dalam hal terjadinya
tindak pidana memilih untuk melakukan perdamaian dan tidak melanjutkan
proses hukum atas perkara tersebut. Perdamaian dapat dilakukan para pihak
dengan melibatkan baik subsistem yang terdapat didalam maupun diluar sistem
peradilan pidana.

C. Persoalan Pengaturan Kewenangan Subsistem Didalam dan Diluar


Sistem Peradilan Pidana Terkait Penerapan Pendekatan Keadilan
Restoratif
Berbicara dalam konteks penerapan pendekatan keadilan restoratif,
terdapat subsistem-subsistem yang akan terlibat didalamnya, baik subsistem
yang berada didalam maupun diluar sistem peradilan pidana. Persoalan
mendasar yang kemudian muncul adalah undang-undang tidak mengatur
mengenai kekuatan hukum atas kesepakatan perdamaian antara pelaku dan
korban dan kewenangan masing-masing subsistem tersebut untuk menerapkan
pendekatan keadilan restoratif dalam hal terjadinya tindak pidana (termasuk
didalamnya mencatatkan perdamaian sebagai alasan penghentian proses hukum
atas perkara tersebut). Tulisan ini hanya akan spesifik membahas mengenai
kelemahan mendasar dalam undang-undang yang tidak mengatur secara jelas
kewenangan subsistem dalam sistem peradilan pidana saja (polisi, jaksa dan
hakim) untuk menerapkan pendekatan keadilan restoratif.
1. Kewenangan Polisi
Apabila ditelusuri, persoalan yang timbul dalam hal penerapan pendekatan
keadilan restoratif pada tahap pra adjudikasi yang dalam hal ini melibatkan
subsistem kepolisian sesungguhnya berakar dari definisi yang tidak
memadai yang diberikan undang-undang mengenai apa yang dimaksud
dengan penghentian penyidikan dan diskresi. Definisi penghentian
penyidikan dan diskresi tersebut menjadi sangat penting karena pada
prinsipnya kedua lembaga tersebut merupakan instrumen pendukung
penerapan pendekatan keadilan restoratif yang dalam hal ini jika dikaitkan
dengan bagian sebelumnya dari tulisan ini, polisi harus memiliki
kewenangan baik untuk mengalihkan perkara keluar sistem peradilan
pidana untuk ditangani subsistem lain diluar sistem peradilan pidana melalui
mekanisme diversi atau bertindak sebagai mediator untuk mendamaikan
pelaku dan korban melalui mekanisme mediasi penal. Baik diversi maupun
mediasi penal ini terkait erat dengan kewenangan diskresi dan penghentian
penyidikan oleh polisi.
2. Alasan penghentian penyidikan
Ketentuan Pasal 109 ayat 2 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) menyebutkan hal-hal yang dapat digunakan sebagai alasan untuk
menghentikan penyidikan adalah tidak terdapat cukup bukti, peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan
dihentikan demi hukum.33 Alasan penghentian penyidikan demi hukum ini
pada prisipnya sejalan dengan alasan penghentian penuntutan yang diatur
secara limitatif dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu
ne bis in idem (Pasal 76 KUHP), terdakwa meninggal dunia (Pasal 77
KUHP), daluwarsa penuntutan pidana (Pasal 78 KUHP), tidak adanya
pengaduan dalam delik aduan (Pasal 72 KUHP) dan affdoening buiten
procces, yaitu batalnya hak untuk melakukan penuntutan karena adanya
pembayaran denda yang setinggi-tingginya secara sukarela pada
pelanggaran-pelanggaran (Pasal 82 KUHP).
3. Diskresi kepolisian
Ketentuan Pasal 18 ayat 1 Undang Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian yang mengatur mengenai diskresi diterjemahkan sebagai
kewenangan yang dilaksanakan bilamana seorang petugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang bertugas seorang diri ditengah-tengah
masyarakat harus mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaiannya
sendiri apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban dan dan keamanan
umum atau apabila diperkirakan akan timbul bahaya bagi ketertiban dan
keamanan umum, dimana dalam keadaan seperti itu tidak mungkin baginya
untuk meminta petunjuk atau pengarahan terlebih dahulu dari atasannya.
Apabila mengacu pada kedua definisi tersebut, praktis polisi tidak memiliki
dasar yang kuat apabila hendak melakukan penghentian penyidikan atas
suatu perkara baik atas dasar diskresi maupun kewenangan menghentikan
penyidikan. Ruang untuk melakukan diversi maupun mediasi penal juga
tidak diatur undang-undang. Dengan demikian tidaklah salah jika sebagian
besar anggota kepolisian memandang bahwa setiap perkara yang
ditanganinya harus dilanjutkan prosesnya ke tahap penuntutan kecuali
dalam hal-hal yang memang diatur menurut hukum.
4. Kewenangan Jaksa
Persoalan serupa juga dijumpai dalam definisi terkait lembaga penghentian
penuntutan dan oportunitas jaksa yang diberikan undang-undang.
a. Alasan penghentian penuntutan
Ketentuan Pasal 140 ayat 2 KUHAP menyebutkan hal-hal yang dapat
digunakan sebagai alasan untuk menghentikan penuntutan adalah tidak
terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan
tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum. Perkara ditutup demi
hokum sebagai alasan penghentian penuntutan pada prinsipnya
didasarkan pada alasan ne bis in idem (Pasal 76 KUHP), terdakwa
meninggal dunia (Pasal 77 KUHP), daluwarsa penuntutan pidana (Pasal
78 KUHP), tidak adanya pengaduan dalam delik aduan (Pasal 72
KUHP) dan affdoening buiten procces (Pasal 82 KUHP).
b. Oportunitas jaksa
Sementara itu, terkait asas oportunitas, ketentuan Pasal 32 huruf c
Undang Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia menyatakan bahwa kewenangan untuk menyampingkan
perkara demi kepentingan umum (mendeponir perkara) hanya dimiliki
oleh Jaksa Agung dan tidak dimiliki oleh setiap Penuntut Umum yang
tengah menangani perkara pidana. Konsekuensinya, Penuntut Umum
yang menangani suatu perkara tidak memiliki kewenangan untuk
mengenyampingkan (mendeponir) perkara karena harus terlebih dahulu
melaporkannya kepada atasannya untuk dimintakan persetujuan dari
Jaksa Agung.
Kembali mengacu pada salah satu alternatif mekanisme penerapan
pendekatan keadilan restoratif melalui diversi yang dilakukan jaksa,
aturan hukum saat ini yang mengatur mengenai kewenangan jaksa untuk
menghentikan penuntutan atau mendeponir suatu perkara tampak belum
mendukung penerapan diversi tersebut. Mengingat mainstream berpikir
dari petugas penegak hukum yang sudah terpola dengan alur berpikir
konvensional sistem peradilan pidana, berbagai persoalan tersebut
berimplikasi pada persoalan tidak dapat dihentikannya penyidikan atau
penuntutan atas suatu perkara pidana karena memang persyaratan yang
ditentukan undang-undang secara limitatif untuk dapat dihentikannya
penyidikan atau penuntutan suatu perkara tidak terpenuhi.
Akibatnya, penerapan pendekatan keadilan restoratif baik melalui
mekanisme diversi maupun mediasi penal juga menjadi terhambat
karena perkara yang bersangkutan harus tetap diteruskan
pemeriksaannya sesuai ketentuan undang-undang.

c. Kewenangan Hakim
Sementara itu, ruang bagi hakim untuk menerapkan pendekatan
keadilan restoratif ini secara implisit tertuang dalam ketentuan Pasal 5 ayat
1 UndangUndang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang pada intinya menyatakan
bahwa hakim wajib menggali rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ini kemudian menjadi relevan
ketika dikaitkan dengan tindak pidana yang berujung dengan perdamaian
antara pelaku dan korban yang diterima para pihak sebagai apa yang bagi
mereka adalah adil. Namun demikian, kemungkinan penerapan pendekatan
keadilan restorative oleh hakim tersebut belum didukung dasar hukum yang
secara eksplisit menyatakan bahwa hakim memiiliki kewenangan untuk
menjadikan perdamaian yang telah disepakati korban dan pelaku sebagai
dasar peringan atau penghapus pidana atau membuat penetapan untuk tidak
dilanjutkannya penuntutan atas perkara pidana yang berujung dengan
perdamaian.
Selain melibatkan subsistem dalam sistem peradilan pidana,
penerapan pendekatan keadilan restoratif ini juga melibatkan subsistem
diluar system peradilan pidana, baik masyarakat, pengadilan adat atau
lembaga lain yang dalam hal ini kewenangannya juga harus secara tegas
diatur oleh undangundang sehingga kesepakatan perdamaian antara pelaku
dan korban yang difasilitasi subsistem diluar sistem peradilan pidana
tersebut tidak dipersoalkan keabsahan atau kekuatan hukumnya.

D. Kualifikasi Tindak Pidana yang Dapat Diselesaikan Dengan


Pendekatan Keadilan Restoratif
Sebagai hukum publik yang mengutamakan kepentingan umum,
penerapan hukum pidana melalui alat-alat kekuasaan negara mendapatkan
legitimasinya. Dalam hal ini, bukanlah orang-perorangan yang akan
bertindak jika terjadi pelanggaran hukum, tetapi negara melalui alat-alatnya.
Diutamakannya kepentingan umum (masyarakat) dapat terlihat melalui
penjatuhan sanksi pidana yang didahulukan jika dibandingkan dengan
pemberian ganti rugi atas dilanggarnya kepentingan pribadi korban. Dengan
mengancam pidana tingkah laku manusia, berarti negara mengambil alih
tanggung jawab mempertahankan peraturan-peraturan yang telah
ditentukan yang tidak lagi diserahkan kepada orang-perorangan. Negara
dalam hal ini memikul tugas menyidik dan menuntut pelanggaran peraturan
yang berisi ancaman pidana.43 Dalam konteks ini, negara justru hadir untuk
mencegah terjadinya tindakan “main hakim sendiri”. Namun demikian, saat
ini pemikiran tersebut justru dihadapkan pada realita kebutuhan masyarakat
atas mekanisme penyelesaian perkara pidana yang dianggap lebih
mengakomodasi partisipasi dan aspirasi korban dan pelaku. Pendekatan
keadilan restoratif hadir sebagai alternatif mekanisme penyelesaian perkara
pidana yang diharapkan dapat menutupi salah satu kekurangan dalam
system peradilan pidana tersebut.
Profesor Sudarto menyatakan bahwa fungsi khusus hukum pidana
ialah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak
memperkosanya dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih
tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum
lainnya. Kepentingan-kepentingan hukum ini dapat berupa kepentingan
hukum individu (yang dapat berupa kepentingan hukum atas hak hidup
(nyawa), tubuh, hak milik benda, harga diri atau nama baik dan kesusilaan),
kepentingan hukum masyarakat maupun kepentingan hukum negara.
Terkait fungsi khusus hukum pidana tersebut, apa yang perlu diperhatikan
adalah bahwa tidak semua tindak pidana dapat diselesaikan dengan
menggunakan pendekatan keadilan restoratif karena selain pendekatan
keadilan restoratif ini baru bisa diterapkan apabila ada persetujuan bebas
para pihak, pada prinsipnya kekhasan hukum pidana jika dibandingkan
dengan hukum-hukum lain justru terletak pada penderitaan yang bersifat
khusus berupa pembatasan dan perampasan kemerdekaan yang tertuang
dalam sanksi pidana atas kepentingan hukum yang “diperkosa” tersebut.
Singkat kata, mengingat besarnya kepentingan untuk melindungi
kepentingan hukum tersebut, perlindungan tersebut harus dilakukan dengan
menggunakan sanksi pidana yang bersifat khusus jika dibandingkan dengan
instrumen hokum lain.
Model pendekatan keadilan restoratif ini banyak digunakan untuk
tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja atau tindak pidana
yang berkaitan dengan penduduk asli tertentu (indigineous offenders).
Sementara itu, Eva Achjani Zulfa berpendapat bahwa pada dasarnya
penerapan pendekatan keadilan restoratif ini sangat mungkin diterapkan
dalam berbagai jenis tindak pidana yang sifatnya umum dan bukan
merupakan perbuatan yang pelaku dan korbannya tidak dapat teridentifikasi
secara jelas, bersifat politis dan mengancam keselamatan masyarakat secara
luas. Selain itu, patut pula diperhatikan bahwa penanganan tindak pidana
yang mengancam hak hidup (nyawa) dan tubuh serta kehormatan
kesusilaan, perlu dipertimbangkan perlu tidaknya penerapan pendekatan
keadilan restoratif mengingat karakteristik kasus dan sifat berbahayanya
tindak pidana terhadap masyarakat. Sementara terhadap tindak pidana yang
mengancam harga diri (nama baik) dan hak milik (harta benda), sifat privat
dari jenis tindak pidana ini menjadikan penanganan tindak pidana dengan
menggunakan keadilan restoratif secara murni dapat diterapkan. Kerugian
yang mengacu pada kepentingan orang-perorangan memungkinkan model
penyelesaian melalui jalur musyawarah dan mediasi menjadi lebih terbuka.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan diatas dapat disimpulkan, bahwa
konsep pendekatan keadilan restoratif sangatlah ideal, implementasi di
Indonesia yang harus dilihat ulang. Konsep peradilan dengan pendekatan
keadilan restoratif ketika akan diimpelementasikan di Indonesia butuh kesiapan
badan atau instansi sebagai perangkat pelaksananya yang menjalankannya
termasuk perspektif SDM di dalamnya. Pendekatan keadilan restoratif
dilakukan melalui mekanisme diversi, dimana adanya proses upaya perdamaian
antara kedua belah pihak antara pelaku dengan korban. Konsep ini sebaiknya
tidak diterapkan kepada semua perkara. Setiap perkara memiliki keunikan maka
penyelesaiannyapun sebaiknya juga memperhatikan keunikan tersebut.
B. Saran
1. Pendekatan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
harus mengedepankan KEADILAN BAGI SEMUA. Maka untuk kasus-
kasus tertentu (Kekerasan seksual, penyalahgunaan Napza, terorism, dan
pembunuhan) sebaiknya diversi dihindari.
2. Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dalam kepastian hukum
haruslah selalu bersandingan dengan rasa keadilan. Karena mengingat asas
ada 3 yakni : Keadilan, kepastian hukum dan manfaat.
DAFTAR PUSTAKA

BambangWaluyo,2011, ViktintologiPerlindunganSaksidan Korban, SinarGrafika,


Jakarta,hlm.8

Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Jakarta: Aksara
Baru, 1983, Hlm 24-25

Nanda Agung Dewantara, Kemampuan Hukum Pidana Menanggulangi Kejahatan


– Kejahatan Baru Yang Berkembang Dalam Syarakat, Yogyakarta: Liberty,
1988, Hlm. 38

Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru


1983, Hlm. 32 – 34

Dr. Jonlar Purba, SH, MH, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Bermotif
Ringan Dengan Restorative Justice, Jakarta; jala permata aksara, 2017, Hlm
54.

Purnianti, Mamik Sri Supatmi, Dan Ni Made Martini Tinduk, Analisa Situasi
Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) Di Indonesia,
UNICEF, Indonesia, 2003, Hlm 74

Suyanto, Hukum Acara Pidana. Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2018

https://media.neliti.com/media/publications/23105-ID-reformasi-kebijakan-
sertfifikasi-halal-majelis-ulama-indonesia-mui-sebagai-bentu.pdf

http://digilib.unila.ac.id/68413/3/TESIS%20TANPA%20BAB%20PEMBAHASA
N.pdf

http://digilib.iblam.ac.id/id/eprint/130/1/Feny%20Windiyastuti%20Tesis.pdf

Anda mungkin juga menyukai