Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PROSES PERADILAN HUMANIS DENGAN PENDEKATAN RESTORATIF


JUSTICE DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Peradilan
Pidana

Disusun Oleh:

Sesilia Barek Duli,S.H

NPM : 19100374101088

Dosen Pengampu:

Dr. Bambang Joyo Supeno,S.H.,M.Hum

NRP/NIDN : 1111116/0609026301

PROGRAM MAGISTER HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945

SIEMARANG

2022

1
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Menghadapi berbagai masalah yang terus datang silih berganti dalam
kehidupan manusia, kita tidak mengenal titik dan akhir zaman. Masalahnya
adalah menciptakan manusia sebagai makhluk yang kehilangan arah dan tujuan.
Manusia memiliki ambisi, keinginan, dan tuntutan dengan keinginan, tetapi
karena tidak dikendalikan dan dididik, masalah yang mereka hadapi semakin
meningkat.
Dalam kebijakan nasional ada Pancasila yang merupakan core philosopy
bangsa. Sebagai core philosopy bangsa maka Pancasila sumber nilai bagi adanya
sistem hukum di Indonesia. Pancasila dalam sila ke empat mengajarkan bahwa
dalam suatu peristiwa untuk menentukan sebuah keputusan, musyawarah yang
mufakat dengan nilai kekeluargaan adalah jalan yang baik, sehingga jika ditarik
ke belakang makna dari musyawarah itu mengandung lima prinsip sebagai
berikut: Pertama conferencing (bertemu untuk saling mendengar dan
mengungkapkan keingingan); Kedua search solution (mencari titik temu
terhadap masalah yang di hadapi); Ketiga, reconciliation (berdamai dan
bertanggung jawab masing-masing); Keempat, repair (memperbaiki akibat yang
timbul); Kelima, circles (saling menunjang). Prisip-prinsip ini adalah sebuah
kata kunci tentang rumusan paradigma restorative justice, sehingga secara aspek
ketatanegaraan nilai restorative justice menemukan dasar pijakan dalam falsafah
Pancasila sila ke-4.
Hukum dan keadilan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Ketika membicarakan masalah hukum maka secara jelas ataupun samar-samar,
kita akan menukik sampai kepada masalah keadilan. Itu berarti, hukum tidak
cukup dibicarakan dalam konteksnya sebagai suatu bangunan yang formal
belaka, melainkan sebagai bagian dari ekspresi cita-cita masyarakat. Tujuan
hukum bukan semata-mata dilihat secara legalitas formal untuk menjamin
keteraturan dan konsistensi dalam pelaksanaan suatu peraturan hukum,
melainkan secara substantif yang melandasi pengenalan supremasi nilai-nilai

2
kepribadian seseorang, dan sebagai institusi yang menyediakan bingkai kerja
untuk mengekspresikan keadilan secara utuh. (Mahmutarom, 2016)
Hukum ada tidak semata-mata untuk dirinya sendiri, tetapi untuk tujuan
dan makna sosial yang melampaui logika hukum. Sekalipun dalam negara
hukum,tetapi tidak semuanya secara total harus dilakukan dengan dan melalui
hukum. Menyerahkan dinamika dan proses dalam masyarakat sepenuhnya
kepada hukum bisa berakibat fatal. Proses-proses produktif dalam masyarakat,
termasuk keadilan, bisa macet atau setidak-tidaknya terganggu. (Satjipto, 2009)
Kerangka pemikiran yang mengaitkan hukum dan keadilan itu pulalah
yang mengisyaratkan bahwa untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat
termasuk di negara kesatuan Republik Indonesia ini – proses dan kualitas
penegakan hukum menjadi faktor yang sangat penting dan menentukan. Proses
dan kualitas penegakan hukum yang baik dan adil diharapkan dapat tercipta
kehidupan masyarakat yang baik dalam suasana saling menghormati menurut
prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Namun, dalam kenyataanya sampai saat ini
penegakan hukum di negara kita masih sangat lemah dalam mewujudkan rasa
keadilan bagi masyarakat pada umumnya, dan para pencari keadilan pada
khususnya.
Dalam penyelesaian suatu tindak pidana, dalam kerangka filosofis,
hadirnya pendekatan restorative justice dalam hukum pidana bukan bertujuan
untuk mengabolisi hukum pidana atau melebur hukum pidana dan hukum
perdata, karena pendekatan restorative justice yang mengutamakan jalur mediasi
antara korban dan pelaku. Pendekatan restorative justice justru mengembalikan
fungsi hukum pidana pada jalurnya semula yaitu pada fungsi ultimum remidium
suatu senjata pamungkas bilamana upaya hukum lain sudah tidak dapat
lagi digunakan dalam menghadapi suatu tindak pidana dalam masyarakat. Dalam
tatanan praktis penanganan dan penyelesaian perkara pidana dengan
menggunakan pendekatan restorative justice menawarkan alternatif jawaban atas
sejumlah masalah yang dihadapi dalam sistem peradilan pidana misalnya proses
administrasi peradilan yang sulit, lama dan mahal, penumpukan perkara atau
putusan pengadilan yang tidak menampung kepentingan korban.

3
Tidak semua tindak pidana dapat diselesaikan melalui proses restoratif.
Kualifikasi dalam hal mana penyelesaian tindak pidana yang dapat digunakan
dalam proses restoratif yaitu sengketa masih dalam batas yang wajar, tindak
pidana dimana ada komitment para pihak untuk menyelesaikannya, tindak
pidana yang menempatkan pelaku dalam keseimbangan posisi tawar menawar,
prosesnya bersifat pribadi dan hasilnya sangat rahasia. (Erdianto,, 2011)
Bila restorative justice dinyatakan sebagai suatu jawaban atas
ketidakpuasan atau kegagalan sistem peradilan pidana, maka keadilan restoratif
adalah sebuah konsep pemikiran yang merespons pengembangan sistem
peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat
dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem
peradilan pidana yang ada pada saat ini. (Herlina, 2004)
Pelanggaran hukum pidana dipahami sebagai konflik antara orang-orang
yang merugikan korban, masyarakat dan pelaku itu sendiri. Di antara ketiga
kelompok tersebut, yang paling utama adalah kepentingan korban kejahatan,
karena kejahatan utama adalah pelanggaran hak-hak korban.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : Bagaimanakah Proses Peradilan Humanis
Dengan Pendekatan Restoratif Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia?

4
BAB II

PEMBAHASAN

Sehubungan dengan masalah hukuman keseimbangan ini adalah bahwa


hukuman harus sesuai dengan manfaat Masyarakat, pelaku dan korban. Kalimat tidak
hanya menekankan satu perhatian. Atau, seperti yang dikatakan Roeslan Saleh,
pemidanaan tidak boleh hanya memperhatikan kepentingan masyarakat atau produsen,
atau perasaan korban dan keluarganya. (Roeslan, 1987)

Hukuman dari perspektif yang seimbang menarik bagi ketiganya masyarakat,


pelaku dan korban. Hanya dengan mengedepankan kepentingan masyarakat dapat
tercipta citra kriminal yang memperlakukan pelaku sebagai objek belaka. Di sisi lain,
pemusatan perhatian hanya pada kepentingan pelaku menghasilkan gambaran
pemidanaan yang sangat individualistis, pemusatan perhatian hanya pada hak pelaku
dan mengabaikan kewajibannya. Pada saat yang sama, penekanan yang berlebihan
terhadap kepentingan korban akan mengarah pada hukuman yang hanya dapat mencapai
kepentingan yang sangat terbatas, gagal untuk mempertimbangkan kepentingan pelaku
dan seluruh masyarakat.

Oleh karena itu, hukuman dari perspektif keseimbangan harus diinstruksikan.


Suatu cara di mana seorang terpidana tidak hanya dipandang sebagai objek, tetapi harus
ditempatkan sebagai individu, sebagai orang yang bersalah, dan sebagai badan hukum
yang utuh untuk melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan
masyarakat. Pada waktu bersamaan. Di sinilah titik tolak pandangan hidup bangsa
Indonesia, yang menurut ( Soediman , 1962) adalah keyakinan bahwa manusia itu
diciptakan dalam kebersamaan dengan sesamanya, individu dan kesatuan pergaulan
hidupnya (masyarakat) merupakan suatu kedwitunggalan. Oleh sebab itu kebersamaan
dengan sesamanya atau pergaulan hidup itu adalah unsur hakikat dalam eksistensi
manusia.

Ada tujuan dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan. Tujuan
penjatuhan sanksi pidana sangat dipengaruhi oleh filosofi yang mendasari ancaman dan

5
penjatuhan sanksi pidana. Filosofi pemidanaan erat kaitannya dengan pembenaran
(retaliasi, utility, dan target retaliation) atas adanya sanksi pidana. Filsafat pidana
merupakan landasan filosofis untuk merumuskan ukuran/dasar keadilan dalam hal
terjadi tindak pidana. Filosofi keadilan dalam hukum pidana memiliki dua pengaruh
yang kuat, yaitu keadilan berdasarkan filosofi retribusi (Retributive Justice) dan
keadilan berdasarkan filosofi pemulihan atau restorasi (Restorative Justice).

Keadilan restoratif lebih menekankan pada keterlibatan langsung para pihak.


Korban dapat memperoleh kembali unsur-unsur kontrol, dan pelaku kejahatan didorong
untuk memperbaiki kesalahan yang diakibatkan oleh kejahatan dan mengambil
tanggung jawab sebagai langkah dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan
aktif komunitas memperkuat komunitas itu sendiri dan menghubungkannya dengan rasa
saling menghormati dan nilai-nilai cinta. Dalam monopoli peradilan saat ini, peran
pemerintah telah berkurang secara signifikan. Keadilan restoratif membutuhkan upaya
kooperatif dari masyarakat dan pemerintah untuk mendamaikan konflik dan
menciptakan lingkungan di mana korban dan pelaku dapat memperbaiki luka lama.

Karakteristik Restorative Justice menurut Muladi dapat dikemukakan ciri-cirinya :

1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain


2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban
pada masa depan
3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi
4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai
tujuan utama
5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil
6. Kejahatan diakui sebagai konflik
7. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial
8. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restorative
9. Menggalakkan bantuan timbal balik
10. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui baik dalam permasalahan maupun

penyelesaian hak-hak dan kebutuhan si korban diakui, pelaku tindak pidana


didorong untuk bertanggung jawab.

6
11. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman
terhadap
perbuatan dan untuk membantu memutuskan mana yang paling baik.
12. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh moral, sosial dan ekonomis
13. Dosa atau hutang dan pertanggungjawaban terhadap korban diakui
14. Reaksi dan tanggapan difokuskan pada konsekuensi yang dari perbuatan si
pelaku
tindak pidana
15. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restorative
16. Ada kemungkinan dorongan untuk bertobat dan mengampuni yang bersifat
membantu
17. Perhatian ditujukan pertanggungjawaban terhadap akibat perbuatan (bandingkan

dengan retributive justice perhatian diarahkan pada debat antara kebebasan


kehendak (free will) dan determinisme sosial psikologis di dalam kausa
kejahatan).

Di samping keadilan tersebut di atas dikenal juga model keadilan, sebagai


justifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Sue Titus Reid.
Model keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran
setimpal (just desert model) yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan
pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retributisi (retribution). Dasar
retribusi dalam just desert model menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan
sanksi yang patut diterima oleh mereka mengikat kejahatan-kejahatan yang telah
dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan tindakan-
tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan.
(Hendrojono, 2005)

Dalam just desert model ini pelaku dengan kejahatan yang sama akan menerima
pemidanaan yang sama, dan pelaku kejahatan yang lebih serius akan mendapatkan
pidana yang lebih keras daripada pelaku kejahatan yang lebih ringan. Atas dasar ini
terdapat kritik untuk teori just desert, yaitu :

7
Pertama karena desert teori menempatkan secara utama menekankan pada
keterkaitan antara pidana yang layak dengan tingkat kejahatan, dengan kepentingan
memperlakukan kasus seperti itu. Teori ini mengabaikan perbedaan-perbedaan yang
relevan lainnya antara para pelaku. Seperti latar belakang pribadi pelaku dan
dampak pemidanaan kepada pelaku dan keluarganya, dan dengan demikian
seringkali memperlakukan kasus yang tidak sama dengan cara yang sama.

Kedua, secara keseluruhan tapi eksklusif menekankan pada pedoman-pedoman


pembeda dari kejahatan dan catatan kejahatan mempengaruhi psikologi dari
pemidanaan dan pihak yang dipidana.

Terutama dalam kaitannya dengan masalah di atas pembaharuan hukum pidana,


termasuk masalah-masalah pidana dan jenis-jenis pidana, dan lebih khusus lagi
penyusunan konsep-konsep hukum pidana baru, tidak lepas dari gagasan/kebijakan
pengembangan Pancasila sebagai suatu nilai. Hal ini juga bertujuan untuk
pemutakhiran KUHP berdasarkan ide-ide dasar Pancasila, antara lain keseimbangan
nilai/gagasan/paradigma, moral agama (ketuhanan), kemanusiaan (humanisme),
kebangsaan dan demokrasi. Selain itu, perlu adanya keserasian / sinkronisasi/
konsistensi antara pengembangan / pembaruan hukum domestik dengan nilai-nilai
atau aspirasi sosial filosofis dan sosiokultural yang ada di masyarakat. karena itu
untuk mempersiapkan revisi hukum pidana dalam negeri, kita perlu melakukan hal-
hal berikut.

Keadilan restoratif adalah ketika pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan


pihak terkait lainnya secara bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
lebih menekankan pada pemulihan ke keadaan semula daripada pembalasan.

Apabila penyelesaian suatu kejahatan melalui pendekatan remedial, maka


perselisihan atau kerusakan yang diakibatkan oleh kejahatan tersebut dianggap
sebagai perselisihan yang timbul dalam suatu hubungan antara anggota masyarakat
yang harus diselesaikan dan dipulihkan bersama oleh semua pihak. Lingkaran
rekonsiliasi berpusat pada keseimbangan dengan memberikan kesempatan kepada
korban untuk berperan dalam proses penyelesaian kegiatan kriminal.

(Umbreit, 2001) menjelaskan bahwa:

8
“restorative justice is a victim centered response to crime that allows the victim, the
offender, their families, and representatives of the community to address the harm
caused by the crime” (Keadilan restoratif adalah sebuah tanggapan terhadap tindak
pidana yang berpusatkan pada korban yang mengizinkan korban, pelaku tindak
pidana, keluarga-keluarga mereka dan para perwakilan dari masyarakat untuk
menangani kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana).

Bertentangan dengan pandangan tersebut, Daily mengatakan bahwa konsep


Ambright harus didukung oleh konsep ganti rugi, yaitu tindak pidana yang harus
didukung dengan pemulihan kerusakan dan kerugian yang diderita para korban
tindak pidana dan mewujudkan perdamaian. mengatakan, pihaknya fokus untuk
memperbaiki kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan.

Oleh karena itu, Tonie Marshall sebenarnya adalah keadilan restoratif, suatu cara
bagi semua pemangku kepentingan untuk bersama-sama mengejar suatu masalah
dan sekaligus mencari dan mengatasi solusi untuk menghadapi apa yang terjadi
setelah kejahatan itu terjadi. menyelesaikan kejahatan tertentu, termasuk Artinya di
masa depan. masa depan.

Prinsip utama pendekatan restoratif terhadap penyelesaian kejahatan adalah


rekonsiliasi, yang tidak hanya menjadi alat untuk mendorong seseorang untuk
berkompromi ketika membuat suatu kesepakatan, tetapi pendekatan tersebut harus
menjangkau jauh ke dalam hati dan pikiran semua pihak yang terlibat dalam
kejahatan. Memahami pengertian dan tujuan dari proses penyelesaian kejahatan.
Upaya hukum dan sanksi yang diambil bersifat perbaikan dan pencegahan.

Pendekatan restoratif sebenarnya telah dikenal dan dipraktikkan di Indonesia


menurut hukum adat Indonesia, seperti: di Papua, Bali, Toraja, Batak Minangkabau
dan masyarakat adat lainnya yang masih memegang teguh budayanya. Dalam
masyarakat biasa, ketika seseorang melakukan tindak pidana, penyelesaian sengketa
diselesaikan secara internal tanpa melibatkan pejabat negara. Ukuran keadilan tidak
didasarkan pada keadilan pembalasan dalam bentuk balas dendam (mata ganti mata)
atau penjara, tetapi lebih pada penghukuman dan pengampunan. (keadilan
restoratif). Meski delik biasa yang ditangani masyarakat sendiri melanggar hukum
positif, mekanisme ini terbukti berhasil menjaga kerukunan masyarakat.

9
Keterlibatan aparat penegak hukum negara seringkali memperumit dan
memperparah masalah. Jika setiap tindak pidana dalam sistem peradilan pidana
menurut hukum Barat merupakan pelanggaran hukum terhadap negara dan bukan
terhadap individu biasa, maka dalam hukum adat tindak pidana tersebut dapat
dianggap sebagai pelanggaran terhadap individu, pelanggaran terhadap kelompok
keluarga, atau pelanggaran terhadap kelompok keluarga. pelanggaran terhadap suatu
desa, maka masing-masing berhak mengurusnya.

Kesamaan restorative justice dengan mekanisme lokal (adat) adalah Suatu


keuntungan karena lebih diterima dan diamalkan oleh masyarakat luas. Selain itu,
masih banyak kemungkinan lain dalam penerapan restorative justice, yaitu:

1. Keadilan restoratif menitikberatkan pada keadilan bagi korban sesuai keinginan


dan kepentingan pribadinya, bukan pada negara yang memutuskan.
2. Menawarkan upaya hukum kepada semua pihak yang terlibat
3. Membuat pelaku bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukannya

Dalam proses penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restoratif,


individu-Individu perlu berperan aktif dalam pemecahan masalah, dan negara
ditempatkan sebagai pihak yang harus mendukung individu atau masyarakat yang
memiliki keinginan untuk menyelesaikan konflik yang dialaminya. Dari segi
restoratif harus berperan dan bertanggung jawab dalam penyelesaian sengketa
secara kolektif, sesungguhnya individulah yang tidak membebani negara, dan
negara bersifat eksklusif atau eksklusif dalam proses rekonsiliasi. peran dominan..
(Elsam, 2005)

Mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan keadilan restoratif didasarkan


pada musyarawarah mufakat dimana para pihak diminta berkompromi untuk
mencapai kesepakatan. Setiap individu diminta untuk mengalah dan menempatkan
kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi demi menjaga keharmonisan
bersama. Konsep musyarawarah terbukti efektif untuk menyelesaikan sengketa
dalam masyarakat di tengah kegagalan peran negara dan pengadilan dalam
memberikan keadilan.

10
Sistem peradilan saat ini, berdasarkan keadilan pembalasan dan restoratif, hanya
memberi wewenang kepada negara yang didelegasikan kepada aparat penegak
hukum. Pelaku dan korban memiliki sedikit kesempatan untuk menghadirkan versi
keadilan yang mereka inginkan. Negara menentukan derajat keadilan bagi korban
dengan cara memenjarakan pelakunya. Jim Consedin, salah satu pelopor Restorative
Justice di Selandia Baru, mengatakan bahwa konsep restorative justice berdasarkan
hukuman, balas dendam pada pelaku, pengusiran dan penghancuran didasarkan pada
rekonsiliasi, pemulihan korban dan integrasi ke dalam masyarakat. bahwa itu harus
diganti dengan keadilan restoratif.

Secara internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan beberapa


kebijakan pada prinsipnya mendorong setiap negara untuk menggunakan
pendekatan keadilan restoratif terhadap kejahatan secara umum. Kebijakan tersebut
merupakan bentuk kepedulian yang ditujukan untuk menyelesaikan konflik yang
timbul dari kejahatan melalui pendekatan yang lebih manusiawi dimana korban dan
pelaku berpartisipasi bersama-sama, dalam pemahaman bersama tentang tindak
pidana dan konsekuensinya, kami juga bekerja sama untuk mencari solusi yang
dapat memulihkan keadaan. ke keadaan aslinya.

Keadilan restoratif merupakan konsep yang harus diaplikasikan melalui proses


nyata. untuk dapat menyatakan bahwa proses tersebut merupakan proses restoratif
maka hal-hal yang menjadi ciri dari proses yang akan menggunakan pendekatan
restoratif. (Rukmini, 2006)

1. Fleksbilitas respon dari lingkungan baik terhadap tindak pidana yang terjadi.
Pelaku maupun korban bersifat individual dan harus dilihat kasus perkasus.
2. Respon yang diberikan atas perkara yang terjadi mencerminkan perhatian yang
mendalam dan persamaan perlakuan bagi setiap orang, membangun pengertian
antar sesama anggota masyarakat dan mendorong hubungan yang harmonis
antar warga masyarakat untuk menghilangkan kerusakan akibat tindak pidana.
3. Merupakan alternatif penyelesaian perkara di luar maupun dengan menggunakan

sistem peradilan pidana formal yang berlaku dan mencgah stigma negatif yang
timbul pada diri pelaku akibat proses tersebut. Pendekatan restoratif ini dapat

11
menggunakan hukum pidana sebagai upaya penyelesaiannya baik dalam proses
maupun pada jenis sanksi yang dijatuhkan.
4. Pendekatan ini juga melingkupi usaha-usaha untuk memecahkan masalah yang
terjadi dan menyelesakan segala konflik yang timbul
5. Pendekatan restoratif ini merupakan usaha yang ditujukan untuk menghilangkan
rasa bersalah pelaku dan merupakan media bagi usaha memenuhi kebutuhan
korban
6. Pendekatan ini harus disertai usaha mendorong pelaku mendapt korensi dan
masukan bagi perubahan perilakunya dan mendorong pelaku bertanggung jawab
melali perbuatan-perbuatan yang berarti
7. Fleksibilitas dan variable yang digunakan dalam pendekatan dengan
menggunakan paradigma ini dapat diadopsi dari lingkungan, tradisi hukum yang
hidup dalam masyarakat serta prinsip dan filosofi yang dianut dalam sistem
hukum nasional.

Sebagian, proses ini dianggap cocok untuk diterapkan pada berbagai tindak
pidana, termasuk kejahatan yang diklasifikasikan dalam kategori kejahatan tidak
konvensional 。 Bahkan pelanggaran pidana, penyalahgunaan kekuasaan secara
ilegal masuk dalam kategori kejahatan yang sangat biasa 。 Faktanya, konsep ini
juga bekerja dengan baik untuk kejahatan berat dan kejahatan negara.

Keadilan restoratif diharapkan memberi rasa tanggung jawab sosial. Cegah


tuduhan kriminal dan kriminal di masa depan.Oleh karena itu, konsep keadilan
restoratif diharapkan setidaknya membatasi tuntutan hukum yang diakumulasikan di
pengadilan (bahkan jika itu tidak dapat diselesaikan dengan penyelesaian
pengadilan) dan dapat digunakan sebagai solusi pencegahan kejahatan. (Wahid,
2009)

12
BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN
Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan
restoratif merupakan mekanisme yang paling dominan digunakan dalam sejarah
kehidupan manusia. Sistem ini telah dipraktikkan di berbagai masyarakat,
karena sebelum penyelesaian kasus pidana, negara atau kelompok kepentingan
yang kuat telah mengambil alih atau ikut campur. Keadilan restoratif adalah
suatu pendekatan yang bertujuan untuk menyelesaikan perkara pidana secara
musyawarah dengan memberdayakan pihak-pihak yang berkepentingan untuk
menyelesaikan perkara tersebut. Perjanjian penyelesaian siap memberikan ganti
rugi kepada korban agar memperoleh pengampunan dari korban. Penyelesaian
perkara dengan pendekatan keadilan restoratif harus dilakukan dengan
memberdayakan para pihak dalam perkara pidana yaitu pelaku, korban dan
masyarakat. Para pihak diharapkan dapat mencapai penyelesaian secara damai
untuk menyelesaikan kejahatan yang dilakukan dan penyelesaian perkara pidana
melalui pendekatan keadilan restoratif diharapkan dapat bermanfaat bagi semua
pihak (win-win Solution).

13
DAFTAR PUSTAKA
Soediman , K. (1962). Penglihatan Manusia TentangTempat Manusia dalam Pegaulan
Hidup,. Bandung: Unversitas Parahiyangan Bandung.

Elsam. (2005). Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancanga KUHP Position.
Papar Advokasi, .

Erdianto,, E. (2011). Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar. Bandung: Refika


Aditama.

Hendrojono. (2005). Kriminologi, Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum.


Jakartai: Dieta Persada.

Herlina, A. (2004). Restorative Justice. Jurnal Kriminologi Indonesia Volume 3 No.III.

Mahmutarom. (2016). Rekonstruksi Konsep Keadilan. Semarang: Universitas


Diponegoro.

Roeslan, S. (1987). Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru.

Rukmini, M. (2006). Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung: Alumni.

Satjipto, R. (2009). Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta:


Genta .

Umbreit, M. (2001). Introduction, Restorative Justice, Thorugh Victim Offender


Mediation, dalam.

Wahid, E. (2009). Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum


Pidana. Jakarta: Universitas Trisakti.

14

Anda mungkin juga menyukai