Abstrak
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengkaji gagasan mediasi penal sebagai salah satu
bentuk alternatif dispute resolution (ADR) dalam menangani perkara pidana yang dipandang penting
sebagai pebaharuan terhadap sistem peradilan pidana Indonesia yang selama ini belum mendapatkan
pengaturan secara khusus dalam tataran hukum positif meskipun secara materiel prinsip-prinsip itu
dianggap sebaga corak utama penyelesaian sengketa sosial dalam masyarakat Indonesia. Rumusan
masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah; pertama, bagaimanakah ruang lingkup mediasi
penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dikaji dari perspektif sejarah kemunculan, asas,
teori serta implementasinya dalam hukum dan sistem peradilan pidana; kedua, bagaimanakah model
pengintegrasian mediasi penal sebagai pembaharuan terhadap sistem peradilan pidana yang lebih
progresif. Hasil penelitian menunjukan bahwa mediasi penal merupakan suatu institusi alternatif
penyelesaian terhadap perkara pidana yang diadakan seiring terjadinya pergeseran paradigma
penegakan hukum pidana dari prinsip keadilan retributif menjadi keadilan restoratif yang pertama-
tama dikembangkan di Amerika dan mempengaruhi sistem hukum di negara lain. Di Indonesia,
prinsip-prinsip mediasi penal merupakan corak utama bangsa Indonesia dalam menyelesaikan
persoalan sosialnya. Hal ini terbukti meskipun secara hukum positif tidak ada satu undang-undang
pun yang mengantur mengenai penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, tetapi indikasi untuk
menuju ke arah itu telah terlihat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Pembaharuan
sistem peradilan pidana dengan mengintegrasikan mediasi penal perlu dilakukan untuk mewujudkan
sistem peradilan pidana bangsa Indonesia yang progresif dengan berlandaskan pada nilai-nilai luhur
Pancasila. Hal itu dapat dilakukan dengan penentuan kebijakan penal maupun non penal yang
menunjang terwujudnya kebijakan legislasi mediasi penal dalam hukum positif Indonesia.
Kata Kunci: mediasi penal, alternatif penyelesaian sengketa, pembaharuan, sistem peradilan
pidana.
1|Vol.1 |No.1|2019 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
2|Vol.1 |No.1|2019 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
3|Vol.1 |No.1|2019 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
4|Vol.1 |No.1|2019 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
perkara pidana di luar pengadilan, atau selama ini tidak ada dalam model
setidak-tidaknya melalui institusi di konsensus di mana keadilan terlebih
samping peradilan umum yang biasa dahulu dibentuk oleh negara sebagai
dipergunakan selama ini. bentuk formalitas kesepakatan seluruh
masyarakat. Sehingga sesungguhnya
Betapa pun konsep atau gagasan untuk keadilan yang dicapai dalam model
menyelesaikan perkara pidana di luar konsensus adalah keadilan bagi negara
pengadilan ini terasa janggal, tidak dapat secara umum dan dengannya bukan
dipungkiri bahwa keinginan itu keadilan yang khusus diperuntukan bagi
merupakan akibat dari kegagalan institusi para pihak yang bersengketa.
pengadilan dalam mewujudkan dan
memenuhi rasa keadilan melalui Gagasan untuk membentuk pranata
penanganan perkara-perkara pidana mediasi penal mulai mendapatkan posisi
selama ini. Penyelesaian perkara pidana sebagai opini internasional seiring dengan
dengan menempuh jalur litigasi lahirnya statemen dalam Dokumen
(pengadilan) biasanya selalu diikuti Penunjang A/CONF.169/6 pada Kongres
dengan adanya penjatuhan pidana oleh PBB ke-9/1995 (The Prevention of Crime
hakim terhadap pelaku, hal ini secara And The Treatment of Offenders) yang
filosofis dan sosiologis kadang-kadang menegaskan bahwa negara perlu untuk
tidak mampu memenuhi rasa keadilan mempertimbangkan "privatizing some law
bagi para pihak yang bersengketa. enforcement and justice functions". Di
samping itu, statemen internasional ini
Dalam hal ini Muladi berpendapat bahwa juga mengkhendaki adanya pranata
yang oleh karenanya muncul pemikiran- Alternative Dispute Resolution (ADR)
pemikiran untuk mengupayakan agar sebagai upaya untuk memperpendek
terselenggaranya model asensus dalam proses peradilan bagi kasus-kasus
penyelesaian perkara pidana. Model khususnya penggelapan dan kejahatan
asensus (disensus) yang dimaksud harus kerah putih (white colar crime) yang
dicapai melalui dialog antara para pihak cenderung sulit untuk dibuktikan, juga
yang berselisih untuk menyelesaikan untuk mereduksi angka residive atau
masalahnya.10 pengulangan tindak pidana.
5|Vol.1 |No.1|2019 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
Di satu sisi gagasan ini dianggap sebagai Barulah pada sekitar awal tahun 1970-an
suatu terobosan baru dalam hukum di Amerika, terjadi gerakan pembaharuan
pidana, yakni masyarakat mengkhendaki hukum di mana waktu itu banyak
adanya privatisasi institusi dalam hukum pengamat hukum dan masyarakat
pidana yang selama ini telah terlanjur akademik mulai menaruh perhatian yang
disepakati menjadi hak mutlak dari serius terhadap pengaruh negatif dari
negara. Tetapi di sisi yang lainnya, jalannya proses peradilan pidana.
gagasan ini justru bukan hal yang baru Jacqueline M. Nolan Haley menjelaskan
lagi dalam arti telah sejak lama ada dan bahwa dalam pandangan umum
menjadi corak alamiah manusia dalam masyarakat Amerika, upaya menuntut hak
menyelesaikan sengketa yang timbul di melalui jalur hukum, harus dilalui dengan
tengah-tengah kehidupannya. Hal ini jalan yang panjang dan berliku serta
terbukti pada abad pertengahan misalnya, memerlukan biaya yang tinggi. Sehingga
kesepakatan-kesepakan atas bentuk dengan kondisi yang demikian, orang-
hukum yang dijatuhkan kepada pelanggar orang mulai mencari alternatif lain
hukum adalah pranata utama bagi sebagai upaya untuk menembus
masyarakat dalam menyelesaikan suatu tersumbatnya proses peradilan tersebut.
permasalahan. Barulah jika hasil Hingga pada tahun 1974 di Kitchener,
kesepakatan tersebut tidak dapat dipenuhi, Ontario Kanada, program mediasi penal
maka terhadap pelanggar hukum mulai diperkenalkan. Untuk mendukung
dikenakan sanksi yang berupa hukuman program tersebut, maka pada sekitar tahun
badan (pidana).12 1976 diadakanlah berbagai diskusi
sebagai suatu gerakan ke arah
Hal tersebut menunjukan bahwa pada terbentuknya ADR. Sehingga pada tahun
masa lalu, konsep perundingan untuk itu juga American Bar Association secara
mencapai kesepakatan mengenai bentuk resmi mengakui pranata ADR sebagai
penyelesaian sengketa dalam masyarakat, cara lain dalam menyelesaikan perkara
termasuk dalam jenis sengketa pidana pidana dengan mendirikan Special
(mediasi penal), merupakan pranata utama Committee on Minor Dispute yang
(Dispute Resolution – DR) yang ditempuh kemudian menjadi Special Committee on
masyarakat. Namun seiring Dispute Resolution. Setelah melewati
perkembangan zaman dan corak perilaku diskusi yang panjang, maka barulah pada
manusia yang berkembang, saat ini tahun 1979 di Elkhart, Indiana Amerika
Serikat, mediasi penal untuk pertama kali
12
Pada masa abad pertengahan, pembayaran ganti di praktikan. Hal serupa juga mulai diikuti
kerugian terhadap korban kejahatan adalah jenis di Inggris pada tahun yang sama mulai
hukuman yang dikenal dan mula-mula diterapkan bagi mempraktikan mediasi penal di The
pelaku kejahatan. Mekanisme penjatuhan hukuman Exeter Youth Support Team.13
pada masa itu di awali dengan sebuah perundingan
untuk mencapai kesepakatan tentang jumlah dan jenis
ganti kerugian yang harus dibayar pihak pelaku kepada
13
korban. Bagi mereka yang tidak mampu membayar Lihat dalam Jacqueline M. Nolan Haley, Alternative
ganti kerugian yang disepakati, barulah kepadanya Dispute Resolution, West Publishing C., St. Paul, 1992,
diterapkan hukuman terakhir berupa hukuman badan hal. 4. Periksa juga DS. Dewi dan Fatilah A. Syukur,
(pidana). Lihat OC. Kaligis, Op, Cit., hal. 124. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice Di
6|Vol.1 |No.1|2019 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
7|Vol.1 |No.1|2019 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
8|Vol.1 |No.1|2019 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
9|Vol.1 |No.1|2019 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
ditempuh atas implikasinya di kemudian 2.1 Konstruksi Non Penal Policy Terhadap
hari. Mediasi Penal
Restorative justice may be used not only in a) Menolak atau mencela tingkah laku
adult and juvenile criminal matters, but also jahat serta memuji atau mendukung
in a range of civil matters, including family tingkah laku baik.
welfare and child protection, and disputes in b) Memiliki formalitas yang menyatakan
schools and workplace settings. For virtually tingkah laku seseorang jahat atau
all legal contexts involving criminal matters, menyimpang, yang diakhiri dengan
restorative justice processes are applied only menyatakan orang tersebut sudah
to offenders who have admitted to an dimaafkan.
offence.24 c) Memberikan hukuman atau pencelaan
tanpa proses labeling (mencitrakan).
Dari pendapatnya tersebut, bagi Adam d) Tidak menjadikan kesalahan atau
Graycar keberhasilan restoratif justice penyimpangan atau kejahatan sebagai
melalui mediasi penal sangat bergantung status utama (master status trait) dari
sekali pada stigmatisasi rasa malu melalui pelakunya.
adanya pengakuan dari pelaku suatu kejahatan
(applied only to offenders who have admitted Keberhasilan integrasi mediasi penal sebagai
to an offence). Stigmatisasi rasa malu itu bagian dari sistem peradilan pidana sangat
sendiri merupakan teori yang dikemukakan bergantung dengan reintegrative shaming
Braithwaite sebagai berikut: Reintegrative tersebut karena mediasi penal menitikberatkan
shaming as disapproval that isrespectful of penanganan konflik pada kesadaran individu
the person, is terminated by forgiveness, does dan sosial. Untuk itu perlu diupayakan agar
not label theperson as evil, nor allows stigmatisasi rasa malu ini dapat menjadi
condemnation to result in a master status bagian dari budaya hukum masyarakat
trait.The theory predicts that the practice of Indonesia. Upaya tersebut dapat dilakukan
reintegrative shaming will resultin less melalui program-program khusus sebagai
offending. Conversely, stigmatizing shaming rekayasa sosial yang diciptakan oleh aparat
is not respectful of the person, is not penegak hukum. Di samping menunjang
terminated by forgiveness, labels the person keberhasilan integrasi model mediasi penal
as evil andallows them to attain a master dengan sistem peradilan pidana dalam
status trait.25 penanganan konflik, stigmatisasi rasa malu ini
juga dapat menjadi upaya preventif dalam
Braithwaite memandang pemberian rasa menjegah terjadinya kejahatan.
malu (shaming) sebagai bagian dari semua
proses-proses sosial yang menunjukan adanya Selanjutnya kebijakan non-penal dalam
ketidaksetujuan dengan tujuan agar orang rangka melakukan integrasi model mediasi
yang melakukan penyimpangan atau penal ke dalam sistem peradilan pidana, tentu
pelanggaran hukum merasa menyesal dan memerlukan dukungan sumber daya manusia
malu. Teori stigmatisasi rasa malu ini dapat yang memadai. Di samping persoalan ini juga
dijadikan sebagai usaha pendekatan menjadi salah satu faktor lemahnya kinerja
sosiologis/kultural dalam menunjang sistem peradilan selama ini, mengingat pula
terintegrasinya model mediasi penal ke dalam bahwa pranata mediasi penal tidak dapat
sistem peradilan pidana dengan baik. dijalankan oleh para penegak hukum yang
tidak memiliki integritas. Untuk ini perlu pula
Adapun upaya yang dapat dilakukan dalam diadakan program-program kekhususan yang
rangkan mewujudkan stigmatisasi rasa malu bertujuan untuk menghasilkan sumber daya
itu adalah dengan cara menumbuhkan budaya manusia dalam peradilan pidana yang ahli
dalam masyarakat sebagaimana yang dalam bidang mediasi penal, baik yang
dikemukakan dalam teorinya Braithwaite26 diselenggarakan melalui lembaga penelitian
adalah: badan peradilan, maupun melalui pembekalan
materi dalam tataran akademis dan perguruan
24 tinggi hukum.
Ibid.
25
Braithwaite dalam Handbook of Restorative Justice.
“Shame, Shaming and Restorative justice: A critical 2.2. Konstruksi Penal Policy Terhadap
appraisal”. Routledge, New York. 2006, hal. 3. Mediasi Penal
26
Ibid.
Marc Ancel memberikan pengertian dengan suka rela bagi tindak pidana yang
mengenai penal policy (kebijakan hukum diancam dengan pidana penjara paling lama 1
pidana) sebagai suatu ilmu sekaligus seni (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis kategori III. Sedangkan sebagai alasan yang
untuk memungkinkan peraturan hukum menghapus kewajiban menjalankan pidana
positif dirumuskan secara lebih baik dan bagi pelaku yang telah dijatuhi putusan hakim
untuk memberi pedoman tidak hanya kepada berupa pidana penjara, dalam tahapan
pembuat undang-undang, tetapi juga kepada eksekusi mediasi penal sejalan dengan Pasal
pengadilan yang menerapkan undang-undang 57 RUU KUHP tentang perubahan atau
dan juga kepada penyelenggara atau penyesuaian pidana, yang dapat berupa
pelaksana putusan pengadilan.27 Ini berarti pencabutan atau penghentian sisa pidana atau
bahwa penal policy (kebijakan hukum pidana) tindakan dan penggantian jenis pidana atau
tidak terbatas pada pembentukan suatu tindakan lainnya.
undang-undang hukum pidana, melainkan
juga sebagai pedoman praktik guna Dalam perspektif Rancangan KUHP Tahun
memaksimalkan setiap upaya mencapai 2008, maka para pihak yang bersengketa
keadilan melalui pranata hukum pidana. dapat mengmbil alternatif penyelesaian
perkara yang dihadapinya melalui jalur
Dikaji dari perspektif ini, maka kebijakan- mediasi penal yakni pada tahap penuntutan
kebijakan hukum untuk menetapkan mediasi dan pada tahapan eksekusi, serta pada setiap
penal sebagai alternatif penyelesaian perkara tahapan proses (penyidikan, penuntutan,
pidana yang merupakan bagian dari proses eksekusi) untuk tindak pidana tertentu.
peradilan pidana sangat dibutuhkan, sehingga
mediasi penal dapat menjadi sarana Di samping kebijakan untuk menegaskan
penyelesaian perkara pidana yang sah dan pranata mediasi penal dalam dalam hukum
hasil kesepakatannya bersifat mengikat materiel, kebijakan untuk menentukan
terhadap para pihak, aparat penegak hukum, formulasi dan model mediasi penal dalam
dan masyarakat sehingga tindak pidana yang ranah hukum pidana formil (acara) juga
diselesaikan melalui mediasi penal merupakan hal yang penting dan harus
menghapuskan kewenangan untuk menuntut dilakukan. Adapun hal-hal yang harus
secara formal (litigatif) juga mencapai sasaran diperhatikan untuk membentuk kebijakan
keadilan yang ingin dicapai. hukum pidana dalam menentukan konstruksi
mediasi penal adalah sebagai berikut:
Konstruksi mediasi penal harus diakui dalam
kaedah-kaedah hukum pidana meteriel guna a. Kebijakan penentuan formulasi
memberikan ketegasan bahwa pranata mediasi pengertian yuridis mediasi penal
penal adalah juga merupakan lembaga yang
sah menurut hukum pidana, untuk Sehubungan bahwa mediasi penal secara
menyelesaikan perkara-perkara pidana yang yuridis normatif merupakan istilan yang
diatur dalam kaedah hukum pidana materiel berasal dari konsep hukum lain, maka dalam
tersebut. Hal ini telah sejalan dengan menentukan formulasi pengertian yuridis
kebijakan pidana mengenai konsep KUHP mediasi penal dalam sistem hukum Indonesia,
tahun 2008 tentang gugur atau hapusnya kiranya perlu untuk tetap memperhatikan dan
kewenangan menuntut suatu tindak pidana. mengacu kepada pengertian yuridis yang
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 145 huruf ditetapkan dalam Council Of Europe
d, e, dan f yang menentukan bahwa Committee Of Ministers dalam
kewenangan penuntutan gugur jika; (d). Recommendation No. R (99) 19 Of The
Penyelesaian di luar proses; (e). Maksimum Committee Of Ministers To Member States
pidana denda dibayar dengan suka rela bagi Concerning Mediation In Penal Matters,
tindak pidana yang dilakukan hanya diancam yaitu:
dengan pidana denda paling banyak katagori Penal mediation is any process
II; (f). Maksimum pidana denda dibayar whereby the victim and the offender are
enabled, if they freely consent, to
27
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum participate actively in the resolution of
Pidana, Op, Cit., hal. 23 matters arising from the crime through
Alkostar, Artidjo. 2010. Peran dan Covey. 1994. The Sevem Habits of Highly
Tantangan Advokat Dalam Era Effecive People (terjemahan),
Globalisasi, FH UII Press, Covey Leadership Center, Canada.
Yogyakarta, 2010
Dewi. DS. dan Fatilah A. Syukur. 2011.
Anwar , Yesmil dan Adang. 2011. Sistem Mediasi Penal: Penerapan
Peradilan Pidana; Konsep, Restorative Justice Di Pengadilan
Komponen & Pelaksanaannya Anak Indonesia, Indie Publishing,
164
Dalam Penegakan Hukum di Depok.
Indonesia, Cetakan Kedua, Widya
Padjajaran, Bandung. Goopaster, Gary.1999. Panduan
Negosiasi dan Mediasi, ELIPS,
Arief, Barda Nawaw. 1996. Bunga Jakarta.
Rampai Kebijakan Hukum Pidana.
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Hadikusuma, Hilman. 2003. Pengantar
Hukum Adat Indonesia, CV Mandar
Atmasasmita, Romli. 2010. Sistem Maju, Bandung.
Peradilan Pidana Kontemporer.
Kencana, Jakarta. Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara
Pidana, Edisi Kedua, Sinar Grafika,
A.Z. 1983. Bunga Rampai Hukum Jakarta.
Pidana, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta. Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan
Bazemore, Gordon And Lode Walgrave. KUHAP Penyidikan dan
1999. "Restorative juvenile justice: Penuntutan, Edisi ke-2, Cet. 8,
In search of fundamentals and an Sinar Grapika, Jakarta.
outline for systemic reform.". In
Restorative juvenile justice: Huda, Chairul. 2008. Dari Tiada Pidana
Repairing the harm of youth crime, Tanpa Kesalahan Menuju Kepada
Criminal Justice Press, New York. Tiada Pertanggungjawaban Pidana
Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta.
Black's Law Dictionary 9th iPad edition.
West Services Inc. Thomson Irianto, Sulistyowati dan Antonius
Reuters Legal, New York, 2011. Cahyadi. 2008. Runtuhnya Sekat
Perdata dan Pidana; Studi
Braithwaite. 2006. “Shame, Shaming and Peradilan Kasus Kekerasan
Restorative justice: A critical Terhadap Perempuan, Yayasan
appraisal”. Routledge, New York. Obor, Jakarta.
C. May, David at. al. 2008. Corrections Kaligis, OC. 2006. Perlindungan Hukum
and the Criminal Justice System, Atas Hak Asasi Tersangka,
Jones & Bartlett, Inc, Canada. Terdakwa dan Terpidana, Alumni,
Bandung.
Capeheart, Loreta & Dragan Milovanovic.
Social Justice, Theories, Issues and Kholil, Munawar et al. 1988. Silabus dan
Teaching Material Pilihan
Lyotard. Jean Francois. 2004. Nonet, Philippe & Philip Selznick. 2003.
Postmodernisme: Krisis dan Masa Hukum Responsif: Pilihan di Masa
Depan Pengetahuan (diterjemahkan Transisi, (Terjemahan) Ford
dari The Postmodern Condition: A Foundation HUMA, Jakarta.
Report On Knowledge). Mizan
Media Utama, Bandung. Packer. Herbert L. 1969. The Limit of
Criminal Sanction. Stanford
M. Jacqueline, Nolan Haley, 1992. University Press, California.
Alternative Dispute Resolution,
West Publishing C., St. Paul. Pangaribuan, Luhut M.P. 2006. Hukum
Acara Pidana Surat-Surat Resmi Di
Mansyur, Ridwan. 2010. Mediasi Penal Pengadilan Oleh Advokat;
Terhadap Perkara KDRT, Yayasan Praperadilan, Eksepsi, Pledoi,
Gema Yustisia, Jakarta. Duplik, Memori Banding Kasasi,
Peninjauan Kembali, Edisi Revisi,
Marzuki, Peter Mahmud. 2007. Penelitian Djambatan, Jakarta.
Hukum cetakan ke-3. Kencana,
Jakarta. Paton, G.W. 1964. A Text-book of
Marshall, Tony F. 1999. Restorative Jurisprudence, Oxford Univ Press,
Justice: On overview, Home Office, London.
London.
Rahardjo, Satjipto. 2002. Sosiologo
Meuwissen. 2009. Meuwissen Tentang Hukum:Perkembangan, Metode dan
Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Pemilihan Masalah. Universitas
Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Muhamadiyah Press, Surakarta.
diterjemahkan oleh B. Arief
Sidharta. PT. Refdika Aditama, ______. 2003. Sisi-sisi Lain dari Hukum
Bandung. di Indonesia, Kompas, Jakarta.