Anda di halaman 1dari 23

JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Perspektif


Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Indonesia

CSA. Teddy Lesmana, SH., MH.

Prodi Ilmu Hukum Universitas Nusa Putra


teddy.lesmana@nusaputra.ac.id

Abstrak

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengkaji gagasan mediasi penal sebagai salah satu
bentuk alternatif dispute resolution (ADR) dalam menangani perkara pidana yang dipandang penting
sebagai pebaharuan terhadap sistem peradilan pidana Indonesia yang selama ini belum mendapatkan
pengaturan secara khusus dalam tataran hukum positif meskipun secara materiel prinsip-prinsip itu
dianggap sebaga corak utama penyelesaian sengketa sosial dalam masyarakat Indonesia. Rumusan
masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah; pertama, bagaimanakah ruang lingkup mediasi
penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dikaji dari perspektif sejarah kemunculan, asas,
teori serta implementasinya dalam hukum dan sistem peradilan pidana; kedua, bagaimanakah model
pengintegrasian mediasi penal sebagai pembaharuan terhadap sistem peradilan pidana yang lebih
progresif. Hasil penelitian menunjukan bahwa mediasi penal merupakan suatu institusi alternatif
penyelesaian terhadap perkara pidana yang diadakan seiring terjadinya pergeseran paradigma
penegakan hukum pidana dari prinsip keadilan retributif menjadi keadilan restoratif yang pertama-
tama dikembangkan di Amerika dan mempengaruhi sistem hukum di negara lain. Di Indonesia,
prinsip-prinsip mediasi penal merupakan corak utama bangsa Indonesia dalam menyelesaikan
persoalan sosialnya. Hal ini terbukti meskipun secara hukum positif tidak ada satu undang-undang
pun yang mengantur mengenai penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, tetapi indikasi untuk
menuju ke arah itu telah terlihat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Pembaharuan
sistem peradilan pidana dengan mengintegrasikan mediasi penal perlu dilakukan untuk mewujudkan
sistem peradilan pidana bangsa Indonesia yang progresif dengan berlandaskan pada nilai-nilai luhur
Pancasila. Hal itu dapat dilakukan dengan penentuan kebijakan penal maupun non penal yang
menunjang terwujudnya kebijakan legislasi mediasi penal dalam hukum positif Indonesia.

Kata Kunci: mediasi penal, alternatif penyelesaian sengketa, pembaharuan, sistem peradilan
pidana.

A. Pendahuluan perkembangan pola dan dinamika dalam


sistem kehidupan masyarakat. Banyak
Wacana yang dibangun guna mendukung gagasan bermunculan seiring dengan
niat untuk melakukan perubahan terhadap beragam perspektif yang digunakan dalam
Sistem Peradilan Pidana (criminal justice rangka mendukung argumentasi yang
system)1 terus berkembang mengikuti dikemukakan. Tentu saja keragaman itu
dipengaruhi pula oleh latar belakang dari
1
Istilah “criminal justice system” (sistem peradilan masing-masing pengusung gagasan
pidana) untuk pertama kali diperkenalkan oleh para
pakar hukum pidana dan ahli hukum dalam “criminal kepolisian. Dengan konsep‟sistem‟ ini, penegakan
justice science” di Amerika Serikat serikat sekitar hukum menitik beratkan pada integrasi, koordinasi dan
Tahun 1960-an. Konsep sistem peradilan pidana ini sinkronisasi antara kinerja kepolisian, kejaksaan,
diperkenalkan sebagai akibat dari ketidakpuasan atas pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Lihat Romli
bentuk “law and order approach” dimana penegakan Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer,
hukum hanya mengandalkan efektivitas kinerja Kencana, Jakarta, 2010, hal. 27-30.

1|Vol.1 |No.1|2019 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

tersebut. Namun demikian dalam


perkembangannya dewasa ini, gagasan Kepentingan umum yang dimaksud oleh
dan wacana yang muncul itu masih konsep ini adalah adanya partisipasi
terbukti belum banyak memberikan semua orang dalam gagasan serta upaya-
perubahan yang fundamental atas upaya untuk memperoleh keadilan melalui
“karakteristik tradisional”2 yang telah keterwakilannya dalam perangkat-
melekat pada sifat utama sistem peradilan perangkat negara, sehingga wujud
pidana dalam sistem hukum di berbagai keadilan akan diperoleh secara sempurna.
negara pada umumnya. Konsekuensi dari konsep ini adalah
bahwa negara yang menetapkan norma-
Sulitnya merubah karakteristik tradisional norma keadilan, negara yang membentuk
dalam sistem peradilan pidana, baik di sekaligus pelaksana dari mekanisme
negara penganut sistem hukum civil law pencarian keadilan, sehingga pada
bahkan dalam sistem hukum common law gilirannya negara pula lah yang
sendiri, pada dasarnya disebabkan oleh memutuskan atau memberikan keadilan.
sifat hukum pidana itu sendiri yang
terlanjur telah disepakati dan dibakukan Demikian halnya dalam hukum pidana,
sebagai bagian dari hukum publik perbuatan pidana dipandang sebagai suatu
(algemene belangen). Dengan bentuk dan tindakan yang merusak atau merugikan
sifat ini, bagaimanapun juga tingkat kepentingan orang lain, dan dengannya
fleksibelitas kaedah-kaedah pidana itu menjadi dasar bagi korban sebagai pihak
disusun dan diberlakukan, pada akhirnya yang dirugikan untuk melakukan suatu
tetap saja menghasilkan polarisasi „kaku‟, pembalasan kepada pihak yang
yakni sedikitnya (jika enggan untuk merugikannya. Dalam perspektif
menyebut tidak ada) peranan individu, di kehidupan bersama pada suatu
mana penegakan hukum hanya bertumpu masyarakat, pembalasan tersebut
pada negara sebagai yang terutama bagi umumnya tidak hanya menjadi hak dari
penentu dan pemberi rasa keadilan.3 korban tindak pidana itu semata, tetapi
berkembang menjadi kewajiban bersama
Polarisasi yang demikian itu dapat seluruh keluarga, bahkan dalam beberapa
dipahami sebagai pengejawantahan dimensi dan peristiwa-peristiwa tertentu,
konsep hukum dalam hubungannya hal tersebut dipandang sebagai kewajiban
dengan gagasan untuk mendapatkan suatu dari masyarakat. Sehingga akhirnya
keadilan yang sempurna. Konsep dasar pemenuhan pembalasan tersebut menjadi
mengenai keadilan ini dicetuskan oleh bagian dari tanggung jawab bahkan tujuan
Plato yang pada intinya menekankan diadakannya suatu negara.
bahwa dalam hukum sebagai suatu
tatanan moral dan etika pertama-tama Konsep ini telah dan sedang berlaku di
diupayakan dan menitik beratkan pada Indonesia paling tidak sejak
kepentingan umum sebagai yang diundangkannya Kitab Undang-Undang
diutamakan.4 Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya
cukup ditulis KUHAP) melalui Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
2
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Edisi Kedua, Hukum Acara Pidana. Bahkan dalam
Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 7-9. konteks hukum kolonial, konsep dan
3
Luhut M.P Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Surat-
mekanisme ini telah berlaku sejak
Surat Resmi Di Pengadilan Oleh Advokat;
Praperadilan, Eksepsi, Pledoi, Duplik, Memori Banding Indonesia masih dalam penjajahan
Kasasi, Peninjauan Kembali, Edisi Revisi, Djambatan,
Jakarta, 2006, hal. 1.
4
Lihat Garuda Wiko, “Pembangunan Sisten Hukum sampai Implementasi, Editor Satya Arinanto dan Ninuk
Berkeadilan” dalam Memahami Hukum Dari Konstruksi Triyanti, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal. 10.

2|Vol.1 |No.1|2019 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Belanda, juga setelah kemerdekaan ketika kompleksitasnya mulai dari bentuk,


masih menggunakan Het Herziene kualifikasi sampai dengan akibat yang
Inlandsch Reglemen (HIR) yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut.
kemudian diperbaharui dengan Reglement Kaedah-kaedah pidana tidak lagi parsial
Indonesia yang diperbaharui (RIB) dalam sifat publiknya, melainkan
peninggalan Belanda sebagai Hukum cenderung dan relatif bergeser memasuki
Acara Pidana.5 ranah privat. Dalam konteks ini, tentu
upaya-upaya pencarian keadilan tidak
Memperhatikan secara seksama sistem dapat lagi hanya bertumpu pada negara
peradilan pidana yang dianut KUHAP, dengan prosedur legal formal dan proses
dapatlah dikatakan bahwa sistem verbal semata-mata, melainkan harus
peradilan pidana Indonesia telah diupayakan melalui hubungan-hubungan
mengurangi jika enggan untuk menyebut dan kerja sama sosial yang lebih
menghilangkan peranan penting individu kompetitif. Dalam hal ini, tepatlah
dalam upaya penyelesaian perkara pidana. bilamana merujuk pada konsep keadilan
Pencarian keadilan dalam perkara pidana yang seimbang dengan mengutamakan
sepenuhnya bertumpu pada kemampuan kesempurnaan prosedur tawar-menawar
dari integrasi sistem yang dibangun oleh yang fair antar individu sebagaiamana
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan yang dikemukakan oleh John Rawls
lembaga pemasyarakatan. Bahkan, setelah berikut ini:Prinsip keadilan adalah hasil
lahirnya Undang-Undang Nomor 18 dari persetujuan dan tawar-menawar
Tahun 2003 tentang Advokat, yang yang fair. Karena dengan adanya situasi
semula diharapkan dapat memperbesar posisi asali (para pihak tidak
peran individu melalui pendampingan dikondisikan oleh suatu sistem negara –
korban dan upaya-upaya di luar Penulis), relasi semua orang yang simetri,
pengadilan, ternyata tidak merubah sifat maka situasi awal ini adalah fair antar
„kaku‟ pada sistem peradilan pidana individu sebagaimana person moral,
Indonesia. Advokat baru akan berdaya yakni sebagai makhluk rasional dengan
guna dan dinilai perbuatannya dalam tujuan dan kemampuan mereka mengenali
rangka mencari keadilan, hanya atas rasa keadilan. Posisi asali ini dapat
tindakannya di muka persidangan dalam dikatakan merupakan status quo awal
pengadilan. Sementara hasil upaya yang yang pas, sehingga persetujuan
dilakukan diluar pengadilan, seperti hasil fundamental yang dicapai di dalamnya
perundingan dan perdamaian tidak adalah fair ... .6
memiliki kekuatan hukum untuk dinilai
sebagai bahan pertimbangan suatu Tegasnya, keadilan dicapai melalui
putusan sidang pengadilan. sebuah kesepakatan yang diambil oleh
pihak-pihak yang berperkara dan bukan
Sistem peradilan pidana Indonesia yang diberikan oleh negara. Karena keadilan
demikian itu jelas relevan dengan teori yang diberikan oleh negara tersebut belum
keadilan sempurna yang dimaksud oleh tentu bahkan seringkali tidak sesuai
Plato sebagaimana telah diuraikan di atas. dengan kehendak bebas para pencari
Padahal seiring berjalannya waktu serta keadilan itu sendiri, sebab pada dasarnya
perubahan dinamika masyarakat setiap orang membutuhkan dan mengejar
Indonesia dan dunia umumnya, kepentingan mereka serta dengan tingkat
perbuatan-perbuatan pidana pun semakin akseptabilitas yang beragam atas rasa
berkembang dan dirasakan keadilan. Keadilan semacam ini tidak
5 6
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan John Rawls, A Theory of Justice (Teori Keadilan),
Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Edisi diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,
ke-2, Cet. 8, Sinar Grapika, Jakarta 2006, hal. 1-2. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal. 13-14.

3|Vol.1 |No.1|2019 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

akan pernah ditemukan dalam grand


design sistem peradilan pidana Indonesia
yang berlaku sekarang. B. Rumusan Masalah

Inilah pokok persoalan dalam Berdasarkan uraian pada latar belakang


pembaharuan sistem peradilan pidana masalah, dapatlah dirumuskan permasalahan
Indonesia saat ini. “sistem peradilan” 7 sebagai pokok kajian dalam penelitian ini
adalah keharusan untuk dibentuk sebagai sebagai berikut:
konsekuensi dianutnya paham negara 1. Bagaimanakah ruang lingkup mediasi
hukum oleh Indonesia. Akan tetapi, penal sebagai alternatif penyelesaian
pluralitas komponen bangsa, kesenjangan perkara pidana dikaji dari perspektif
secara sosial-ekonomi dan tingkat sejarah kemunculan, asas, teori serta
pengetahuan yang sering menimbulkan implementasinya dalam hukum dan
ketimpangan antara yang kuat dan yang sistem peradilan pidana?
lemah, rakyat menuntut adanya 2. Bagaimanakah model pengintegrasian
penegakan hukum protektif bagi mediasi penal sebagai pembaharuan
kelompok rentan. Dengan kata lain, terhadap sistem peradilan pidana yang
sistem yang dibangun harus dapat benar- lebih progresif?
benar melindungi kepentingan semua
pihak. Sebuah kemustahilan untuk bisa
didapatkan dalam sistem peradilan pidana C. Pembahasan
saat ini.
1. Mediasi Penal Sebagai Alternatif
Dalam pada itu, barangkali gagasan mediasi Penyelesaian Dalam Perkara Pidana
penal dapat mewujudkan apa yang
dikemukakan oleh Artidjo Alkostar, bahwa Norma-norma hukum pidana dibangun
“Negara hukum yang otentik adalah negara dan dijalankan dalam konfigurasi
yang rakyatnya memiliki keyakinan kolektif, pemahaman dan doktrin bahwa negara
bahwa mereka akan diperlakukan secara adil memiliki hak untuk membetuk dan
oleh kedaulatan hukum”.8 Terutama ada menjalankan ketentuan perundang-
peluang yang sangat besar bagi rakyatnya undangan tentang hukum pidana baik
untuk mengupayakan dan menciptakan materiel maupun formil melalui alat-alat
keadilan tanpa terbelenggu oleh sistem, yang perlengkapan negara. Di samping itu,
justru tidak mampu merepresentasikan hukum pidana juga diberlakukan atas
keadilan yang diharapkannya. dasar hak negara untuk menjatuhkan
pidana pada seseorang yang telah terbukti
7
Sistem Peradilan, menurut Bahder Johan Nasution baik bersalah oleh lembaga pengadilan dan
dalam konsep rechtstaat maupun rule of law melakukan eksekusi atau pelaksanaan
mengarahkan titik sentralnya pada perlindungan HAM putusan pengadilan.9 Sehingga terasa
dengan tujuan diperoleh keadilan hukum melalui janggal jika dalam dimensi itu
pendekatan penegakan hukum itu sendiri. Berbeda
mengemuka gagasan mediasi penal atau
dengan konsep Negara Hukum Pancasila yang dianut
Indonesia yang titik sentralnya pada keserasian mediasi dalam perkara pidana, atau pun
hubungan antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan sekedar keinginan untuk menyelesaikan
kerukunan, dimana peradilan merupakan sarana
terakhir, tetapi dengan mengedepankan musyawarah
9
sebagai sarana utama dalam penyelesaian sengketa. Kedua konsep hak negara dalam kedaulatannya untuk
Lihat Bahder Johan Nasution, “Suatu Tinjauan Filosofis membentuk dan memberlakukan hukum pidana
dan Teoritis Tentang Konsep Negara Hukum dan terangkum dalam doktrin Ius Punale dan Ius Puniendi.
Kekuasaan Kehakiman”, Jurnal Ilmu Hukum Inovatif Lihat dalam P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum
Nomor II Edisi Mei-Agustus 2008, hal. 36. Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hal. 1-2.
8
Artidjo Alkostar, “Keadilan Restoratif”, Kompas, Lihat Juga dalam Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan
Opini, 4 April 2011, hal. 6. Sudarto, Semarang, 1990, hal. 9.

4|Vol.1 |No.1|2019 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

perkara pidana di luar pengadilan, atau selama ini tidak ada dalam model
setidak-tidaknya melalui institusi di konsensus di mana keadilan terlebih
samping peradilan umum yang biasa dahulu dibentuk oleh negara sebagai
dipergunakan selama ini. bentuk formalitas kesepakatan seluruh
masyarakat. Sehingga sesungguhnya
Betapa pun konsep atau gagasan untuk keadilan yang dicapai dalam model
menyelesaikan perkara pidana di luar konsensus adalah keadilan bagi negara
pengadilan ini terasa janggal, tidak dapat secara umum dan dengannya bukan
dipungkiri bahwa keinginan itu keadilan yang khusus diperuntukan bagi
merupakan akibat dari kegagalan institusi para pihak yang bersengketa.
pengadilan dalam mewujudkan dan
memenuhi rasa keadilan melalui Gagasan untuk membentuk pranata
penanganan perkara-perkara pidana mediasi penal mulai mendapatkan posisi
selama ini. Penyelesaian perkara pidana sebagai opini internasional seiring dengan
dengan menempuh jalur litigasi lahirnya statemen dalam Dokumen
(pengadilan) biasanya selalu diikuti Penunjang A/CONF.169/6 pada Kongres
dengan adanya penjatuhan pidana oleh PBB ke-9/1995 (The Prevention of Crime
hakim terhadap pelaku, hal ini secara And The Treatment of Offenders) yang
filosofis dan sosiologis kadang-kadang menegaskan bahwa negara perlu untuk
tidak mampu memenuhi rasa keadilan mempertimbangkan "privatizing some law
bagi para pihak yang bersengketa. enforcement and justice functions". Di
samping itu, statemen internasional ini
Dalam hal ini Muladi berpendapat bahwa juga mengkhendaki adanya pranata
yang oleh karenanya muncul pemikiran- Alternative Dispute Resolution (ADR)
pemikiran untuk mengupayakan agar sebagai upaya untuk memperpendek
terselenggaranya model asensus dalam proses peradilan bagi kasus-kasus
penyelesaian perkara pidana. Model khususnya penggelapan dan kejahatan
asensus (disensus) yang dimaksud harus kerah putih (white colar crime) yang
dicapai melalui dialog antara para pihak cenderung sulit untuk dibuktikan, juga
yang berselisih untuk menyelesaikan untuk mereduksi angka residive atau
masalahnya.10 pengulangan tindak pidana.

Asumsi dasar model asensus (disensus) Alasan yang mendasari munculnya


ini sesungguhnya berasal dari sifat statemen untuk menerapkan ADR dan
alamiah manusia sebagaimana yang privatizing some law enforcement and
dikemukakan John Rawls bahwa justice functions dalam dokumen PBB
“manusia sebagai makhluk rasional tersebut masih bersifat pragmatis dan
dengan tujuan dan kemampuannya, hanya terbatas pada soal yang bersifat
mereka akan mengenali rasa keadilan tekhnis. Padahal dorongan untuk
yang sesuai baginya”. 11 Artinya bahwa menerapkan mediasi penal sebagai bentuk
manusia akan cenderung mudah ADR dalam penyelesaian perkara pidana
menerima suatu keadilan dalam bentuk merupakan tuntutan atas rasa keadilan
apapun bilamana hal tersebut dikenalinya yang mengemuka dalam masyarakat, di
sebagai bentuk keadilan yang cocok mana masyarakat mengkhendaki adanya
baginya. Peluang untuk mengenali dan suatu upaya untuk menyelesaikan konflik
mengupayakan keadilan inilah yang yang lebih efisien antara pelaku dan
korban atau antara para pihak yang
10
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem berselisih. Dengan demikian,
Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas sesungguhnya gagasan ini menunjukan
Diponegoro, Semarang, 1997, hal.67. bahwa telah terjadi pergeseran paradigma
11
John Rawls, Loc., Cit.

5|Vol.1 |No.1|2019 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

yang signifikan tentang nilai-nilai konsep tersebut di pandang sebagai


keadilan dalam masyarakat. Masyarakat konsep alternatif (ADR) yang masih
tidak lagi hanya mengharapkan keadilan diperdebatkan keberadaannya mengingat
akan diberikan oleh negara, tetapi ada pranata utama penyelesaian perkara
kecenderungan niat untuk terlibat pidana adalah melalui jalur peradilan
langsung dalam mengupayakan keadilan. pidana.

Di satu sisi gagasan ini dianggap sebagai Barulah pada sekitar awal tahun 1970-an
suatu terobosan baru dalam hukum di Amerika, terjadi gerakan pembaharuan
pidana, yakni masyarakat mengkhendaki hukum di mana waktu itu banyak
adanya privatisasi institusi dalam hukum pengamat hukum dan masyarakat
pidana yang selama ini telah terlanjur akademik mulai menaruh perhatian yang
disepakati menjadi hak mutlak dari serius terhadap pengaruh negatif dari
negara. Tetapi di sisi yang lainnya, jalannya proses peradilan pidana.
gagasan ini justru bukan hal yang baru Jacqueline M. Nolan Haley menjelaskan
lagi dalam arti telah sejak lama ada dan bahwa dalam pandangan umum
menjadi corak alamiah manusia dalam masyarakat Amerika, upaya menuntut hak
menyelesaikan sengketa yang timbul di melalui jalur hukum, harus dilalui dengan
tengah-tengah kehidupannya. Hal ini jalan yang panjang dan berliku serta
terbukti pada abad pertengahan misalnya, memerlukan biaya yang tinggi. Sehingga
kesepakatan-kesepakan atas bentuk dengan kondisi yang demikian, orang-
hukum yang dijatuhkan kepada pelanggar orang mulai mencari alternatif lain
hukum adalah pranata utama bagi sebagai upaya untuk menembus
masyarakat dalam menyelesaikan suatu tersumbatnya proses peradilan tersebut.
permasalahan. Barulah jika hasil Hingga pada tahun 1974 di Kitchener,
kesepakatan tersebut tidak dapat dipenuhi, Ontario Kanada, program mediasi penal
maka terhadap pelanggar hukum mulai diperkenalkan. Untuk mendukung
dikenakan sanksi yang berupa hukuman program tersebut, maka pada sekitar tahun
badan (pidana).12 1976 diadakanlah berbagai diskusi
sebagai suatu gerakan ke arah
Hal tersebut menunjukan bahwa pada terbentuknya ADR. Sehingga pada tahun
masa lalu, konsep perundingan untuk itu juga American Bar Association secara
mencapai kesepakatan mengenai bentuk resmi mengakui pranata ADR sebagai
penyelesaian sengketa dalam masyarakat, cara lain dalam menyelesaikan perkara
termasuk dalam jenis sengketa pidana pidana dengan mendirikan Special
(mediasi penal), merupakan pranata utama Committee on Minor Dispute yang
(Dispute Resolution – DR) yang ditempuh kemudian menjadi Special Committee on
masyarakat. Namun seiring Dispute Resolution. Setelah melewati
perkembangan zaman dan corak perilaku diskusi yang panjang, maka barulah pada
manusia yang berkembang, saat ini tahun 1979 di Elkhart, Indiana Amerika
Serikat, mediasi penal untuk pertama kali
12
Pada masa abad pertengahan, pembayaran ganti di praktikan. Hal serupa juga mulai diikuti
kerugian terhadap korban kejahatan adalah jenis di Inggris pada tahun yang sama mulai
hukuman yang dikenal dan mula-mula diterapkan bagi mempraktikan mediasi penal di The
pelaku kejahatan. Mekanisme penjatuhan hukuman Exeter Youth Support Team.13
pada masa itu di awali dengan sebuah perundingan
untuk mencapai kesepakatan tentang jumlah dan jenis
ganti kerugian yang harus dibayar pihak pelaku kepada
13
korban. Bagi mereka yang tidak mampu membayar Lihat dalam Jacqueline M. Nolan Haley, Alternative
ganti kerugian yang disepakati, barulah kepadanya Dispute Resolution, West Publishing C., St. Paul, 1992,
diterapkan hukuman terakhir berupa hukuman badan hal. 4. Periksa juga DS. Dewi dan Fatilah A. Syukur,
(pidana). Lihat OC. Kaligis, Op, Cit., hal. 124. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice Di

6|Vol.1 |No.1|2019 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

persoalan, rendahnya biaya, serta yang


Dalam perkembangan berikutnya, istilah paling penting adalah adanya kesamaan
mediasi penal juga dikenal dengan istilah kekuasaan dan kekuatan bagi para pihak
lain yang terdapat dalam beberapa bahasa untuk menentukan proses dan hasil
di dunia seperti “mediation in criminal kesepakatan yang diinginkan.17
cases” atau ”mediation in penal matters”
yang dalam istilah Belanda disebut Mengenai kelebihan-kelebihan yang
strafbemiddeling, dalam istilah Jerman terkandung dalam mediasi penal tersebut
disebut ”Der Außergerichtliche Tataus- dapat ditelusuri dari pernyataan
gleich” (disingkat ATA), dan dalam dikemukakan oleh Umbreit sebagai
istilah Perancis disebut ”de mediation berikut:
pénale”.14 Semua pengertian istilah As a process that gives victims of
mediasi tersebut merujuk pada satu property crimes or minor assaults
pengertian dalam hukum pidana, yakni the opportunity to meet the
mempertemukan antara pelaku tindak perpetrators of these crimes in a
pidana dengan korban untuk safe and structured setting, with the
menyelesaikan perkara yang tengah goal of holding the offenders
dihadapi dengan jalan musyawarah untuk directly accountable while
mufakat. Karena sifatnya yang demikian providing important assistance and
itu, istilah mediasi penal juga dikenal compensation to the victim. First,
dengan sebutan ”Victim Offender victims volunteer to meet with the
Mediation” (VOM), Täter Opfer offender who committed an offense
Ausgleich (TOA), atau Offender-victim against them (and in many
Arrangement (OVA).15 Kemudian karena programs, offender participation is
sifatnya yang mencari jalan tengah also voluntary). Second, victims and
(alternatif) atas suatu penyelesaian offenders are encouraged by
perkara pidana, dikenal pula istilah ”the mediators to share their feelings
third way” atau ”the third path” dalam regarding the impact as well as the
upaya ”crime control and the criminal facts of the crime event. It is
justice system” untuk menyebut mediasi believed that this kind of exchange
penal ini.16 helps humanize the process by
"putting a face" on the offender
Praktik mediasi penal pada gilirannya and the victim: offenders see the
menyebar dan mempengaruhi corak impact of actions and the persons,
peradilan pidana ke selurug dunia. and victims can put a face to the
Pesatnya perkembangan tersebut person who has caused pain and
dikarenakan keunggulan-keunggulan yang loss. Third, typically there is an
ditawarkan oleh adanya pranata mediasi opportunity for offenders to help
penal sebagai alternatif penyelesaian "make things right" for the victim
seperti tingkat fleksibilitas prosesnya, through working out an agreement
kecepatan dalam menyelesaikan which may include a formal
apology, restitution, community
Pengadilan Anak Indonesia, Indie Publishing, Depok, service, or some response which the
2011, hal. 78. offender and victim mutually agree
14
Barda Nawawi Arief, Loc., Cit. to. The mediator may or may not
15
Ibid.
16 formalize this agreement into a
Lihat Deborah Macfarlane, “Family Mediation in
France”, Point de vue, Union Nationale des
Associations Familiales,Article on
http://www.unaf.fr/spip.php?article793#nb2-6, diakses
pada hari Selasa tanggal 4 Oktober 2011, pukul 21.53
17
WIB. Ibid.

7|Vol.1 |No.1|2019 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

written contract to be shared with a memberikan akses masyarakat pada


court.18 keadilan, sehingga permasyarakatan
istilah ADR mengundang rasa tidak
Pada pokok pernyataan Umbreit di atas, aman dan kecemburuan bagi insan
dapat dipahami bahwa mediasi penal pengadilan, sehingga penggunaan
menawarkan pola penyelesaian sengketa istilah ADR dianggap tidak taktis
secara damai di mana korban memiliki bagi upaya permasyarakatan dan
kesempatan seluas-luasnya dan dalam pencarian dukungan dari berbagai
tempo yang sesingkat-seingkatnya untuk kalangan.19
meminta pertanggungjawaban secara
langsung dari pelaku melalui suatu Sebagaimana Mas Achmad Santosa di
pranata yang aman dan terstruktur. Dalam atas, dalam kenyataannya memang
proses itu kedua belah pihak dibantu oleh gagasan untuk membentuk lembaga
seorang mediator ahli yang dapat mediasi penal bukan semata-mata ingin
menengahi situasi di mana korban mampu menandingi (lembaga tandingan) lembaga
memberitahu pelaku tentang kejahatan pengadilan. Meskipun gagasan itu
yang telah dilakukannya serta akibat- pertama-tama muncul dari rasa
akibat yang mempengaruhi diri dan ketidakpuasan atas hasil kinerja
kehidupannya setelah dilakukan perbuatan pengadilan. Sehingga pergeseran istilah
tersebut. Sehingga kedua belah pihak dari ADR menjadi DR semata-mata hanya
dapat terlibat secara langsung dalam untuk menghindarkan terjadinya dikotomi
membuat rencana restitusi sebagai bentuk antara lembaga mediasi penal dan
pertanggungjawaban pelaku terhadap lembaga peradilan, di samping tentu fakta
kerugian atau kerusakan yang ditimbulkan bahwa kecenderungan masyarakat saat ini
akibat perbuatannya. tidak lagi memandangnya sebagai
lembaga alternatif. Tegasnya, lembaga
Dengan adanya kelebihan-kelebihan mediasi penal saat ini sejajar dengan
tersebut, maka cukup beralasan jika pada institusi pengadilan yang menjadi harapan
saat ini pranata mediasi penal bergeser dan tumpuan bagi masyarakat untuk
dari ADR menjadi DR yang pertama-tama mengupayakan keadilan.
ditempuh oleh para pihak yang
bersengketa. Sehingga penyelesaian Perkembangan selanjutnya, mediasi penal
perkara pidana justru dipandang seolah- telah masuk dan menjadi bagian dari
olah hanya dapat diselesaikan melalui pembahasan-pembahasan di tingkat
jalur mediasi penal tersebut. Dalam hal ini Internasional, antara lain dalam Kongres
Mas Achmad Santosa mengungkapkan PBB ke-9 pada tahun 1955 serta Kongres
sebagai berikut: ke-10 tahun 2000 mengenai “Prevention
Penggantian istilah ADR menjadi of Crime and the Treatment of
DR, didasarkan atas pertimbagan Offenders”. Selain itu, telah pula
psikologis, yaitu dalam upaya untuk diadakan Konferensi Internasional
mendapatkan dukungan dari mengenai Pembaharuan Hukum Pidana
kalangan pengadilan (bukan (International Penal Reform Conferencee)
sebaliknya menentang pengadilan). pada tahun 1999. Hasil dari pertemuan
Sebab dengan istilah ADR terkesan, internasional tersebut kemudian
bahwa ADR merupakan jawaban
atas kegagalan pengadilan dalam 19
Mas Achmad Santoso, “Perkembangan Lembaga
ADR di Indonesia”. Materi Pelatihan tentang Pilihan
18
Mark S. Umbreit at. al., Obstacles And Opportunities Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute
For Developing Victim Offender Mediation For Resolution/ADR) di Bidang Lingkungan, Kerjasama
Juveniles: The Experience Of Six Oregon Counties, San PPLH Lemlit UNDIP, ICEL, Asia Foundation dan
Francisco, CA: Jossey-Bass, 2001, hal. 1. Depkeh, Semarang, 10-13 April 1999, Hal. 1-2.

8|Vol.1 |No.1|2019 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

mendorong untuk lahirnya instrumen


internasional tentang mediasi dalam Terkait dengan keadilan restoratif ini
perkara pidana sebagai konsekwensi dari Dignan mengemukakan sebagai berikut:
munculnya konsep peradilan restoratif, Restorative justice is a new
diantaranya: framework for responding to
1. The Recomendation of the Counsil wrongdoing and conflict that is
of Europe 1999 No. R (99) tentang rapidly gaining acceptance and
Mediation in Penal Matters; support by educational, legal, social
2. The EU Framework Decision 2001 work, and counseling professionals
tentang “The Standing of Victims in and community groups Restorative
Criminal Proceedings, dan; justice involves looking beyond
3. The UN Principles 2002 (draft retribution to find deeper solutions
Ecosoc) tentang Basic Principles on that heal broken relationships.20
the Use of Restorative Justice
Programes in Criminal Matters. Dalam definisi Dignan tersebut, dapat
dipahami bahwa konsep keadilan
Berdasarkan pada beberapan instrumen restoratif mensyaratkan adanya
internasional tersebut di atas, diketahui keseimbangan fokus perhatian antara
pula bahwa alasan lain yang mendorong kepentingan pelaku dan korban serta
untuk memberlakukan prosedur mediasi memperhitungkan pula dampak
penal dalam perkara pidana adalah penyelesaian perkara pidana tersebut
gagasan “restorative justice” (keadilan dalam masyarakat. Keseimbangan fokus
restoratif), sebagaimana dalam The UN perhatian dalam penyelesaian perkara
Principles 2002 tentang Basic Principles pidana menjadi syarat yang harus
on the Use of Restorative Justice terpenuhi, sehingga keterlibatan kedua
Programes in Criminal Matters. belah pihak dalam mewujudkan keadilan
restoratif ini menjadi sangat penting.
Prinsip keadilan restoratif ini pada intinya
mengkhendaki bahwa entitas peradilan Demikian halnya dengan Tony F.
lebih mempertajam analisis hukum serta Marshall yang merumuskan suatu
memperpeka naluri keadilan berdasarkan definisi bahwa keadilan restoratif sebagai
kepada nurani kemanusiaan dan nilai-nilai “a process whereby parties with a stake
moral. Peradilan harus menjadi sebuah in a specific collectively resolve how to
lembaga yang dapat menjadi sarana deal with the aftermath of the offence and
pemerataan keadilan, dengan memberikan its implications for the future”.21
peluang yang cukup bagi kehendak Tegasnya menurut Tony, dalam mencapai
individu untuk mengenali dan keadilan restoratif pihak-pihak
mewujudkan keadilan yang mereka berkepentingan harus bersama-sama
butuhkan. Proses peradilan pidana mencari cara untuk mencapai kesepakatan
diharapkan menjadi “laboratorium akal setelah terjadi suatu tindak pidana serta
sehat”, untuk menguji kebenaran fakta kesepakatan mengenai sikap yang akan
hukum dengan parameter-parameter
hukum dan hati nurani terdalam dari
manusia, sehingga menghasilkan
20
kebenaran dan keadilan bagi pelaku dan J. Dignan, Towards a Framework for Conceptualising
and Evaluating Models of Criminal Justice from a
korban, lebih jauh lagi dapat memenuhi
Victim’s Perspective, International Review of
rasa keadilan bagi masyarakat pada Victimology,dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief,
umumnya, juga demi tegaknya kedaulatan Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
hukum dan keadilan yang utuh dalam 1992, hal. 15-16.
21
tatanan kehidupan masyarakat. Lihat Tony F. Marshall, Restorative Justice : On
overview, Home Office, London, 1999, hal. 5

9|Vol.1 |No.1|2019 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

ditempuh atas implikasinya di kemudian 2.1 Konstruksi Non Penal Policy Terhadap
hari. Mediasi Penal

Berdasarkan pemahaman-pemahaman Jika dikaji dengan menggunakan kerangka


pemikiran hukum progresif, maka tidak perlu
tersebut terlihat bahwa gagasan untuk
untuk melakukan kebijakan legislasi dalam
memberlakukan pranata mediasi penal melakukan integrasi model mediasi penal ke
sebagai jalan untuk menyelesaikan dalam sistem peradilan pidana. Akan tetapi
perkara pidana, dijiwai oleh semangat proses tersebut memerlukan waktu yang
untuk menciptakan keadilan restoratif mungkin lebih lama jika dibandingkan dengan
yang dipandang sebagai bentuk keadilan upaya merekayasan sistem hukum melalui
paling wajar bagi manusia, karena dicapai kebijakan legislasi. Memang pada akhirnya
melalui proses yang paling alamiah yakni kedua model pembaharuan penal policy dan
dengan menempatkan posisi masing- non-penal policy ini harus berjalan beriringan
masing pihak yang berperkara dalam guna mencapai tujuan yang dikehendaki yakni
kedudukannya sebagai individu yang terciptanya sistem peradilan pidana Indonesia
yang berlandasakan pada nilai-nilai luhur
bebas. Namun demikian, tidaklah mudah
pancasila.
untuk serta-merta memberlakukan pranata
mediasi penal dalam upaya penyelesaian Barda Nawawi Arief mengemukakan
perkara pidana, terutama jika mengenai pola hubungan antaral Penal Policy
dihubungkan dengan untuk dengan upaya penanggulangan kejahatan,
mengintegrasikannya dengan sistem beliau mengemukakan menegaskan bahwa
peradilan pidana. Justifikasi yuridis pencegahan dan penanggulangan kejahatan
seringkali menjadi kendala yang paling harus digunakan dengan pendekatan integral
utama dalam konteks ini terutama bagi dan ada keseimbangan antara “penal” dan
negara-negara yang menganut aliran “non penal.22 Dari segi pendekatan non penal
hukum civil law. sebab sebagaimana policy, upaya mengintegrasikan model
mediasi penal ke dalam sistem peradilan
dipahami bahwa konsep mediasi penal
pidana perlu didukung dengan pendekatan-
berasal dari tradisi hukum common law pendekatan lainnya. Diantaranya adalah
system. pendekatan sosiologis dan kultural serta
pendekatan manajemen.
Meskipun corak sistem hukum dapat
menjadi kendala dalam penerapan mediasi Terkait dengan pendekatan
penal, tetapi karena dorongan untuk sosiologis/kultural, Director Australian
mewiujudkan gagasan itu begiru kuat, Institute of Criminologi, Adam Graycar23
hingga akhirnya banyak negara yang tidak mengemukakan bahwa keberhasilan mediasi
menganut aliran common law system tetap penal dalam mewujudkan keadilan restoratif
memberlakukan praktik mediasi penal sangatlah dipengaruhi oleh faktor sosiologis
masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa
dalam penyelesaian perkara pidana di
faktor sosiologis tersebut terutama bila
negaranya. Oleh sebab itu, dalam “reintegrative shaming” (stigmatisasi rasa
perkembangannya terdapat banyak model malu) dalam menyelesaikan konflik telah
mediasi penal yang bermuculan seiring benar-benar nyata dalam masyarakat. Lebih
dengan beragamnya sistem dan corak lanjut dikemukakan sebagai berikut:
hukum yang terdapat di negara yang
memberlakukannya.
22
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996,
hal. 29.
2. Model Integrasi Mediasi Penal Dalam 23
Adam Gaycar dalam Australian Institute of
Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Crimonology. Trends and Issues in crime and criminal
justice, Bullying and Victimisation In School: A
Restorative Justice Approach. No. 219, Pebruari 2002,
hal.2-3. http://www.aic.gov.au.

10 | V o l . 1 | N o . 1 | 2 0 1 9 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Restorative justice may be used not only in a) Menolak atau mencela tingkah laku
adult and juvenile criminal matters, but also jahat serta memuji atau mendukung
in a range of civil matters, including family tingkah laku baik.
welfare and child protection, and disputes in b) Memiliki formalitas yang menyatakan
schools and workplace settings. For virtually tingkah laku seseorang jahat atau
all legal contexts involving criminal matters, menyimpang, yang diakhiri dengan
restorative justice processes are applied only menyatakan orang tersebut sudah
to offenders who have admitted to an dimaafkan.
offence.24 c) Memberikan hukuman atau pencelaan
tanpa proses labeling (mencitrakan).
Dari pendapatnya tersebut, bagi Adam d) Tidak menjadikan kesalahan atau
Graycar keberhasilan restoratif justice penyimpangan atau kejahatan sebagai
melalui mediasi penal sangat bergantung status utama (master status trait) dari
sekali pada stigmatisasi rasa malu melalui pelakunya.
adanya pengakuan dari pelaku suatu kejahatan
(applied only to offenders who have admitted Keberhasilan integrasi mediasi penal sebagai
to an offence). Stigmatisasi rasa malu itu bagian dari sistem peradilan pidana sangat
sendiri merupakan teori yang dikemukakan bergantung dengan reintegrative shaming
Braithwaite sebagai berikut: Reintegrative tersebut karena mediasi penal menitikberatkan
shaming as disapproval that isrespectful of penanganan konflik pada kesadaran individu
the person, is terminated by forgiveness, does dan sosial. Untuk itu perlu diupayakan agar
not label theperson as evil, nor allows stigmatisasi rasa malu ini dapat menjadi
condemnation to result in a master status bagian dari budaya hukum masyarakat
trait.The theory predicts that the practice of Indonesia. Upaya tersebut dapat dilakukan
reintegrative shaming will resultin less melalui program-program khusus sebagai
offending. Conversely, stigmatizing shaming rekayasa sosial yang diciptakan oleh aparat
is not respectful of the person, is not penegak hukum. Di samping menunjang
terminated by forgiveness, labels the person keberhasilan integrasi model mediasi penal
as evil andallows them to attain a master dengan sistem peradilan pidana dalam
status trait.25 penanganan konflik, stigmatisasi rasa malu ini
juga dapat menjadi upaya preventif dalam
Braithwaite memandang pemberian rasa menjegah terjadinya kejahatan.
malu (shaming) sebagai bagian dari semua
proses-proses sosial yang menunjukan adanya Selanjutnya kebijakan non-penal dalam
ketidaksetujuan dengan tujuan agar orang rangka melakukan integrasi model mediasi
yang melakukan penyimpangan atau penal ke dalam sistem peradilan pidana, tentu
pelanggaran hukum merasa menyesal dan memerlukan dukungan sumber daya manusia
malu. Teori stigmatisasi rasa malu ini dapat yang memadai. Di samping persoalan ini juga
dijadikan sebagai usaha pendekatan menjadi salah satu faktor lemahnya kinerja
sosiologis/kultural dalam menunjang sistem peradilan selama ini, mengingat pula
terintegrasinya model mediasi penal ke dalam bahwa pranata mediasi penal tidak dapat
sistem peradilan pidana dengan baik. dijalankan oleh para penegak hukum yang
tidak memiliki integritas. Untuk ini perlu pula
Adapun upaya yang dapat dilakukan dalam diadakan program-program kekhususan yang
rangkan mewujudkan stigmatisasi rasa malu bertujuan untuk menghasilkan sumber daya
itu adalah dengan cara menumbuhkan budaya manusia dalam peradilan pidana yang ahli
dalam masyarakat sebagaimana yang dalam bidang mediasi penal, baik yang
dikemukakan dalam teorinya Braithwaite26 diselenggarakan melalui lembaga penelitian
adalah: badan peradilan, maupun melalui pembekalan
materi dalam tataran akademis dan perguruan
24 tinggi hukum.
Ibid.
25
Braithwaite dalam Handbook of Restorative Justice.
“Shame, Shaming and Restorative justice: A critical 2.2. Konstruksi Penal Policy Terhadap
appraisal”. Routledge, New York. 2006, hal. 3. Mediasi Penal
26
Ibid.

11 | V o l . 1 | N o . 1 | 2 0 1 9 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Marc Ancel memberikan pengertian dengan suka rela bagi tindak pidana yang
mengenai penal policy (kebijakan hukum diancam dengan pidana penjara paling lama 1
pidana) sebagai suatu ilmu sekaligus seni (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis kategori III. Sedangkan sebagai alasan yang
untuk memungkinkan peraturan hukum menghapus kewajiban menjalankan pidana
positif dirumuskan secara lebih baik dan bagi pelaku yang telah dijatuhi putusan hakim
untuk memberi pedoman tidak hanya kepada berupa pidana penjara, dalam tahapan
pembuat undang-undang, tetapi juga kepada eksekusi mediasi penal sejalan dengan Pasal
pengadilan yang menerapkan undang-undang 57 RUU KUHP tentang perubahan atau
dan juga kepada penyelenggara atau penyesuaian pidana, yang dapat berupa
pelaksana putusan pengadilan.27 Ini berarti pencabutan atau penghentian sisa pidana atau
bahwa penal policy (kebijakan hukum pidana) tindakan dan penggantian jenis pidana atau
tidak terbatas pada pembentukan suatu tindakan lainnya.
undang-undang hukum pidana, melainkan
juga sebagai pedoman praktik guna Dalam perspektif Rancangan KUHP Tahun
memaksimalkan setiap upaya mencapai 2008, maka para pihak yang bersengketa
keadilan melalui pranata hukum pidana. dapat mengmbil alternatif penyelesaian
perkara yang dihadapinya melalui jalur
Dikaji dari perspektif ini, maka kebijakan- mediasi penal yakni pada tahap penuntutan
kebijakan hukum untuk menetapkan mediasi dan pada tahapan eksekusi, serta pada setiap
penal sebagai alternatif penyelesaian perkara tahapan proses (penyidikan, penuntutan,
pidana yang merupakan bagian dari proses eksekusi) untuk tindak pidana tertentu.
peradilan pidana sangat dibutuhkan, sehingga
mediasi penal dapat menjadi sarana Di samping kebijakan untuk menegaskan
penyelesaian perkara pidana yang sah dan pranata mediasi penal dalam dalam hukum
hasil kesepakatannya bersifat mengikat materiel, kebijakan untuk menentukan
terhadap para pihak, aparat penegak hukum, formulasi dan model mediasi penal dalam
dan masyarakat sehingga tindak pidana yang ranah hukum pidana formil (acara) juga
diselesaikan melalui mediasi penal merupakan hal yang penting dan harus
menghapuskan kewenangan untuk menuntut dilakukan. Adapun hal-hal yang harus
secara formal (litigatif) juga mencapai sasaran diperhatikan untuk membentuk kebijakan
keadilan yang ingin dicapai. hukum pidana dalam menentukan konstruksi
mediasi penal adalah sebagai berikut:
Konstruksi mediasi penal harus diakui dalam
kaedah-kaedah hukum pidana meteriel guna a. Kebijakan penentuan formulasi
memberikan ketegasan bahwa pranata mediasi pengertian yuridis mediasi penal
penal adalah juga merupakan lembaga yang
sah menurut hukum pidana, untuk Sehubungan bahwa mediasi penal secara
menyelesaikan perkara-perkara pidana yang yuridis normatif merupakan istilan yang
diatur dalam kaedah hukum pidana materiel berasal dari konsep hukum lain, maka dalam
tersebut. Hal ini telah sejalan dengan menentukan formulasi pengertian yuridis
kebijakan pidana mengenai konsep KUHP mediasi penal dalam sistem hukum Indonesia,
tahun 2008 tentang gugur atau hapusnya kiranya perlu untuk tetap memperhatikan dan
kewenangan menuntut suatu tindak pidana. mengacu kepada pengertian yuridis yang
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 145 huruf ditetapkan dalam Council Of Europe
d, e, dan f yang menentukan bahwa Committee Of Ministers dalam
kewenangan penuntutan gugur jika; (d). Recommendation No. R (99) 19 Of The
Penyelesaian di luar proses; (e). Maksimum Committee Of Ministers To Member States
pidana denda dibayar dengan suka rela bagi Concerning Mediation In Penal Matters,
tindak pidana yang dilakukan hanya diancam yaitu:
dengan pidana denda paling banyak katagori Penal mediation is any process
II; (f). Maksimum pidana denda dibayar whereby the victim and the offender are
enabled, if they freely consent, to
27
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum participate actively in the resolution of
Pidana, Op, Cit., hal. 23 matters arising from the crime through

12 | V o l . 1 | N o . 1 | 2 0 1 9 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

the help of an impartial third party Selama proses mediasi penal


(mediator). berlangsung, para pihak baik korban
maupun pelaku dibebaskan untuk
(Mediasi penal adalah setiap proses di menarik dirinya dari proses mediasi
mana korban dan pelaku akan kapan saja. Hal ini menunjukan bahwa
diaktifkan, jika mereka secara suka mediasi penal pada hakikatnya
rela, untuk berpartisipasi secara aktif merupakan alternatif penyelesaian
dalam penyelesaian masalah-masalah sengketa yang dipilih dan dijalankan
yang timbul dari kejahatan melalui langsung oleh para pihak.
bantuan pihak ketiga yang netral 4. Asas Kerahasiaan (Confidential);
(mediator) – terjemahan bebas oleh Proses mediasi penal bersifat rahasia,
penulis) dalam arti para pihak baik korban, pelaku
tindak pidana maupun mediator harus
Pengertian dasar ini perlu dirumuskan secara memegang kerahasiaan yang terjadi
hati-hati karena pada gilirannya akan selama proses mediasi, termasuk
mempengaruhi model yang dipakai dalam kerahasiaan pernyataan-pernyataan yang
penerapannya. Modifikasi atas pengertian dinyatakan para pihak, alasan-alasan jika
tersebut dapat dilakukan dengan memasukan tidak tercapai kesepakatan maupun hal-
asas-asas dalam masyarakat Indonesia, hal lain yang timbul saat proses mediasi
misalnya dengan penyertaan kata penal berlangsung. Kecuali jika timbul
“musyawarah” dan kata “mufakat” yang hal-hal yang membahayakan para pihak,
sudah menjadi istilah umum dan digunakan seperti ancaman dan penyerangan fisik
sehari-hari dalam masyarakat Indonesia. dari satu pihak kepada pihak lain, maka
hal tersebut dapat dilaporkan kepada
b. Kebijakan penentuan asas-asas yang penyidik. Namun jika proses mediasi
melandasi mediasi penal tidak mencapai kesepakatan, mediator
hanya boleh menyampaikan kepada
Penyusunan kebijakan hukum pidana hakim bahwa mediasi tidak mencapai
mengenai mediasi penal perlu kesepakatan tanpa menguraikan alasan-
memformulasikan mengenai asas-asas serta alasannya, begitu pula mediator tidak
tujuan yang hendak dicapai melalui dapat bertindak sebagai saksi terhadap
pelaksanaan mediasi penal tersebut. Adapun pernyataan-pernyataan para pihak dalam
asas-asas yang dapat dijadikan sebagai proses peradilan.
rujukan dalam menentukan asas dan tujuan 5. Asas Kesepakatan Mengikat
mediasi penal adalah sebagai berikut: Oleh karena mediasi penal dilakukan
secara bebas dan sukarela maka setiap
1. Asas Bebas dan Sukarela; kesepakatan yang dihasilkan memiliki
Bahwa pelaksanaan mediasi penal kedudukan yang sama dengan perjanjian
didasarkan pada kehendak bebas dan yang mengikat para pihak yang
suka rela dari korban dan pelaku tindak menyetujuinya.
pidana, sehingga dalam memutuskan
apakah perkara pidananya akan Adapun dalam menentukan kebijakan
dimediasikan atau pun tidak harus mengenai tujuan dari mediasi penal kiranya
berdasarkan persetujuan bebas (freely dapat memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
consent) dari para pihak. 1. Mediasi penal dilaksanakan untuk
2. Asas Musyawarah untuk Mufakat menyelesaikan konflik pidana dengan
Bahwa mediasi penal bertujuan untuk mengadakan rekonsiliasi antar pelaku
mendapatkan cara penyelesaian perkara tindak pidana dan korban.
yang terbaik, yang menguntungkan 2. Mengupayakan agar terpenuhinya
semua pihak yang berperkara. Sehingga kepentingan-kepentingan korban baik
untuk mencapai kesepakatan tersebut berupa restitusi maupun ganti kerugian
perlu dilakukan dengan semangat dari pelaku.
musyawarah dan kekeluargaan. 3. Membangun dan merekatkan kembali
3. Kebebasan Para Pihak Untuk Menarik hubungan yang terganggu antara pelaku
Diri Selama Proses Mediasi; dan korban karena adanya tindak pidana,

13 | V o l . 1 | N o . 1 | 2 0 1 9 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

serta mengatasi kegoncangan magis 2. Tindak pidana yang terjadi karena


dalam masyarakat. kelalaian
4. Memperlancar proses rehabilitasi pelaku Dalam ajaran hukum pidana dikenal
dan pemulihan martabat korban. adanya asas “tiada pidana tanpa
kesalahan” (geen straf zonder schuld
Pada pokoknya, perumusan mengenai tujuan benginsel). Dengan kata lain,
mediasi penal dalam kebijakan hukum pidana pertanggungjawaban pidana ditentukan
harus dijiwai oleh semangat dalam dengan berdasarkan pada kesalahan si
mewujudkan restoratif justice yang pelaku perbuatan atau dikenal dengan
berorientasi pada kepentingan dan keadilan istilah “liability based on fault”.28
para pihak serta memperbaiki akibat negatif Ajaran ini secara tegas menempatkan
serta kekgoncangan sosial yang ditimbulkan kesalahan sebagai faktor penentu suatu
oleh adanya perbuatan pelaku. pertanggungjawaban pidana. Namun
demikian, Moeljatno mengatakan bahwa
c. Kebijakan dalam menentukan jenis-jenis “orang tidak mungkin dijatuhi pidana
tindak pidana yang dapat diselesaikan jika tidak melakukan perbuatan
melalui mediasi penal 29
pidana”. Pendapat tersebut menekankan
bahwa pertanggungjawaban pidana
Berdasarkan hasil pengkajian perbandingan pertama-tama akan sangat tergantung
yang dilakukan terhadap penerapan mediasi pada dilakukannya suatu tindak pidana.
penal di beberapa negara, maka dalam Sedangkan dilakukannya suatu perbuatan
menentukan mengenai jenis tindak pidana di dasari oleh adanya kesengajaan
yang dapat diselesaikan dengan menempuh (dolus/opzet) ataukah kealpaan (culpa)
jalur mediasi penal, kiranya dapat yang menyangkut sikap batin si pelaku.
mempedomani kriteria-kriteria sebagai Dalam suatu perbuatan yang terjadi
berikut: karena kelalaian, maka tindak pidana dan
1. Tindak pidana dengan ancaman pidana akibat yang terjadi bukan karena
yang rendah; kehendak pelaku, melainkan karena
Berat ringannya ancaman terhadap suatu adanya sikap tidak hati-hati dari pelaku.
tindak pidana secara umum Ini dapat menjadi dasar untuk membawa
menggambarkan mengenai tingkat penyelesaian perkara yang terjadi karena
keburukan perbuatan yang dilarang ketidak hati-hatian tersebut melalui jalur
tersebut. Di samping itu juga mediasi penal.
menggambarkan akibat yang timbul dari
tindak pidana tersebut. Hasil penelitian 3. Tindak Pidana Yang Termasuk Dalam
atas ketentuan mediasi penal di beberapa Delik Aduan
negara seperti di Amerika Serikat, Baik tindak pidana yang termasuk dalam
Jerman, Belgia, dan Perancis, delik aduan relatif maupun delik aduan
menunjukan bahwa rata-rata mediasi absolut kedua-duanya, penyelesaian
penal diterapkan pada jenis tindak pidana kedua delik tersebut di dasarkan atas
yang diancam dengan pidana rendah. adanya pengaduan dari pihak korban.
Ukuran pidana rendah tersebut dapat di Mediasi penal dapat diterapkan dalam
dasarkan pada hanya diancam jenis kedua jenis delik tersebut sehingga
ancaman dan bobot pidana misalnya memberikan kesempatan kepada
pidana denda atau ancaman pidana korban/pengadu untuk mencabut
penjara paling lama satu (1) tahun dan aduannya.
tindak pidana dengan ancaman pidana
penjara paling lama 5 tahun untuk tindak
pidana tertentu. Dalam hal ini dapat
dicontohkan misalnya tindak pidana yang
diatur dalam Pasal 359 KUHP Indonesia 28
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
saat ini tentang kelalaian yang
Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana
mengakibatkan matinya orang lain. Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2008, hal. 4.
29
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara,
Jakarta, 1983, hal. 155.

14 | V o l . 1 | N o . 1 | 2 0 1 9 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

4. Tindak Pidana Yang Melibatkan hukuman sebagaimana yang ditentukan dalam


Keluarga Baik Sebagai Pelaku Maupun undang-undang yang mengatur perbuatan
Sebagai Korban pelaku. Dengan kata lain jika terjadi hal
Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan demikian semestinya penyelesaian perkara
mediasi penal yaitu mengintegrasikan tersebut dapat dilakukan dengan
dan menyatukan atau memperkuat menggunakan pranta mediasi penal. 30
kembali hubungan antara pelaku tindak
pidana dan korban. Dengan demikian d. Kebijakan Penentuan Model dan Bentuk
apabila terjadi tindak pidana yang Pelaksanaan Mediasi Penal
melibatkan anggota keluarga maka
dimungkinkan untuk dilakukan proses Penentuan model mediasi penal yang tepat
mediasi penal. untuk diterapkan di Indonesia perlu di
dasarkan pada beberapa pertimbangan.
5. Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Pertama, dengan memperhatikan tingkat
Anak Di Bawah Umur keberhasilan pelaksanaan masing-masing
Terhadap anak di bawah umur yang model di beberapa negara yang
melakukan tindak pidana terdapat melaksanakannya. Kedua, jenis tindak pidana
ketentuan khusus, sehingga proses yang dapat diselesaikan melalui jalur mediasi.
peradilan pidana yang dijalaninya tidak Berdasarkan dua kriteria tersebut, penulis
menimbulkan trauma berkepanjangan berpendapat bahwa model dan pelaksanaan
yang akan mengganggu perkembangan mediasi penal dalam kebijakan hukum pidana
psikisnya, sehingga dibuka kemungkinan di masa mendatang dapat dikelompokan
besar untuk penyelesaian dengan jalan menjadi dua jenis sebagai berikut:
proses mediasi penal. 1. Model Informal Mediation;
Dalam model ini, mediasi penal
6. Tindak Pidana Yang Tidak Jelas dilakukan sama sekali di luar proses
Pengaturan Unsur-Unsurnya peradilan pidana (out of criminal justice
Hal ini terkait dengan suatu asas hukum process). Pemilihan model ini lebih di
yakni asas ius Curia Novit, pada dasarkan pada pertimbangan hubungan
pokoknya asas ini menekankan bahwa pelaku dengan korban, misalnya dalam
hakim tidak boleh menolak untuk tindak pidana yang melibatkan anggota
mengadili suatu Perkara dengan alasan
tidak ada hukumnya/tidak jelas 30
Contoh kasus yang dapat dikemukakan misalnya
hukumnya sebagaimana ditentukan dalam kasus Antasari Azhar yang divonis 18 tahun
dalam Pasal 16 UU Nomor 48 Tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, karena
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. terbukti melakukan pembunuhan terhadap Direktur PT
Ketentuan sebetulnya mengandung Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnaen,
resiko bahwa kalaupun diperoleh suatu meskipun kasus tersebut menimbulkan pro dan kontra
keputusan hakim atas perkara yang tidak karena kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam
diketahui hukumnya (atau setidak- proses persidangannya. Dalam perkembangannya,
tidaknya tidak jelas rumusannya) oleh seiring banyaknnya fakta-fakta yang menunjukan
bahwa kasus tersebut penuh dengan rekayasa, pihak
hakim, maka keputusan tersebut belum
keluarga korban akhirnya memberikan maaf kepada
tentu benar dan adil. Guna menghindari Antasari Azhar dan meminta agar diupayakan
terjadinya hal tersebut, perkara tersebut penyelesaian hukum secara lebih adil. Namun
lebih baik diselesaikan melalui jalur pemberian maaf tersebut tidak mempengaruhi
mediasi penal. keputusan hukum atas Antasari Azhar, bahkan
pengajuan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan
Di samping mendasarkan pada kriteria tindak pihak Antasari Azhar pun ditolak oleh Mahkamah
pidana, pelaku dan ancaman sanksi pidana, Agung. Lihat artikel “Keluarga Nasrudin Balik Dukung
menurut hemat penulis perlu juga Antasari” dalam
dipertimbangkan dari sisi korban. Dalam http://www.pedomannews.com/korupsi-dan-ham/2762--
keluarga-nasrudin-balik-dukung-antasari. Bandingkan
banyak kasus, sering terjadi ketika keluarga
dengan Natangsa Surbakti, “Gagasan Lembaga
korban telah memaafkan dan membuat atau Pemberian Maaf Dalam Konteks Kebijakan
menyatakan damai atas perbuatan pelaku, Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”,
tetapi terhadap pelaku tetap saja dikenakan Loc, Cit.

15 | V o l . 1 | N o . 1 | 2 0 1 9 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

keluarga sebagai pelaku atau korban, korban untuk menawarkan alternatif


serta terhadap tindak pidana yang penyelesaian perkara pidananya di
melibatkan anak di bawah umur sebagai luar proses peradilan. Dalam
pelakunya. Oleh karena itu, dalam tahapan ini Mediasi dilakukan
kebijakan perumusannya perlu secara rahasia sesuai dengan prinsip
ditentukan hal-hal sebagai berikut: confidentiality. Segala yang terjadi
a. Jenis tindak pidana yang dapat dan pernyataan-pernyataan yang
diselesaikan melalui mediasi penal muncul selama proses mediasi harus
dilakukan sama sekali di luar proses dirahasiakan oleh semua pihak
peradilan pidana (out of criminal termasuk mediator. Mediator tidak
justice process). dapat menjadi saksi dalam proses
b. Penegasan bahwa mediasi penal peradilan pidana atas segala sesuatu
yang dilakukan oleh pihak pelaku yang terjadi selama proses mediasi
dan korban di luar pengadilan untuk dan sebab-sebab mediasi tidak
tindak-tindak pidana tertentu diakui mencapai kesepakatan, jika mediasi
keabsahannya jika dilakukan secara tidak menghasilkan kesepakatan.
suka rela.
c. Penentuan pihak mediator dalam b. Pada tahap penuntutan;
pelaksanaan mediasi penal yakni Pada tahapan ini, Jaksa Penuntut
harus difasilitasi oleh mediator yang Umum setelah mempelajari tindak
telah bersertifikasi. pidana yang dilakukan oleh pelaku
d. Kekuatan hukum hasil kesepakatan berdasarkan kriteria-kriteria
yang dicapai oleh pihak pelaku dan tertentu, dapat menawarkan mediasi
korban, sebagai keputusan yang sah kepada korban dan pelaku tindak
dan final sehingga tidak dapat pidana. Pada pokoknya model ini
diganggu gugat dan tidak perlu menitik beratkan agar tercipta
dikuatkan melalui penetapan rekonsiliasi dan pembayaran ganti
pengadilan cukup apabila disahkan kerugian oleh pelaku kepada
dengan materai dan tanda tangan korban. Jika mediasi mencapai
semua pihak. Hal ini mengingat kesepakatan damai yang diterima
bahwa pelaksanaan mediasi penal oleh semua pihak, maka akta
adalah bersifat suka rela. kesepakatan berlaku sebagai
e. Hasil kesepakatan yang dicapai putusan yang final dan tidak dapat
dalam mediasi penal menjadi alasan diadakan penuntutan, sehingga
hapusnya penuntutan tindak pidana dapat berfungsi sebagai alasan
yang telah dimediasikan. penghapus penuntutan.

2. Penggabungan Model Informal c. Pada tahap sidang di pengadilan;


Mediation, Victim-Offender Mediation Model mediasi penal dalam tahapan
Dan Reparation Negotiation ini adalah diawali pada saat sakim
Programmes; selesai mempelajari kasus dan
Penggabungan model ini bertujuan agar tindak pidana yang dilakukan oleh
proses mediasi penal yang dilakukan terdakwa, hakim kemudian dapat
dapat mengambil manfaat dari semua menawarkan mediasi penal sebagai
jenis model, karena jika mediasi penal alternatif penyelesaian perkara
dilakukan dengan model ini akan dengan perdamaian para pihak.
terjadi beberapa tahapan penting yaitu:
a. Pada tahap penyidikan; d. Pada tahap menjalani pemidanaan;
Setelah melihat dan mempelajari Pada tahap pelaku menjalani masa
kasus atau tindak pidana yang hukuman atas perbuatannya,
dilakukan oleh pelaku dengan mediasi penal masih dapat
kriteria-kriteria tertentu (diuraikan dilakukan dengan cara mengajukan
dalam bahasan tindak pidana yang permohonan kepada korban dan
dapat dimediasikan), maka pihak kepada Jaksa Penuntut Umum.
penyidik memanggil pelaku dan Tujuan utama dari mediasi penal

16 | V o l . 1 | N o . 1 | 2 0 1 9 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

yang dilaksanakan pada tahapan ini penyelesaian sengketa dengan dibantu


adalah untuk meringankan pidana oleh mediator yang bisa berasal dari
yang diterima pelaku. aparat penegak hukum atau pihak-pihak
yang independen. Kesepakatan yang
Dengan diintrodusirnya semua model mediasi diperoleh dari mediasi penal bersifat
penal tersebut, diharapkan mampu
mengikat semua pihak dengan segala
memberikan fasilitas hukum yang memadai
bagi masyarakat dalam rangka mencari, konsekuensinya, sehingga merupakan
merumuskan dan menyepakati keadilan yang salah satu wujud keadilan yang paling
dikehendakinya. Di samping itu adanya baik karena diupayakan melalui
beberapa model tersebut memungkinkan bagi hubungan-hubungan dan kerja sama sosial
tercapainya tujuan mewujudkan restoratif yang lebih kompetitif.
justice melalui sistem peradilan pidana, sebab
proses peradilan pidana tidak semata-mata Pembaharuan sistem peradilan pidana
berorientasi pada penghukuman pelaku tetapi dengan mengintegrasikan mediasi penal
juga mempertimbangkan aspek-aspek perlu dilakukan untuk mewujudkan sistem
kepentingan korban dan rasa keadilan yang peradilan pidana bangsa Indonesia yang
materiel. progresif dengan berlandaskan pada nilai-
nilai luhur Pancasila. Pembaharuan
Kebijakan penal (penal policy) mengenai tersebut dapat dimulai dengan
mediasi penal sebagaimana telah diuraikan di
rekonstruksi konseptual dalam sistem
atas kiranaya dapat diwujudkan dalam bentuk
legislasi suatu undang-undang khusus yang peradilan pidana dari konsep-konsep
mengatur mengenai mediasi penal. Di formalistik menjadi lebih dinamis dan
samping itu tentu harus pula memperhatikan memiliki progress ke arah penerimaan
penyususnan KUHAP yang baru agar selaras hal-hal baru yang lebih bersifat
dengan penentuan-penentuan kebijakan kemanusiaan. Mediasi penal dapat
mediasi penal yang hendak diwujudkan menjadi salah satu faktor penting yang
tersebut. mampu memberikan perubahan yang
signifikan dalam hal itu. Pembaharuan
melalui pengintegrasian mediasi penal ke
D. Penutup dalam sistem peradilan pidana dapat
dilakukan dengan membentuk kebijakan
Mediasi penal merupakan suatu institusi non-penal dengan menggunakan
alternatif penyelesaian terhadap perkara pendekatan sosiologis/kultural dan aspek
pidana yang diadakan seiring terjadinya menejerial lembaga peradilan. Sedangkan
pergeseran paradigma penegakan hukum dari aspek kebijakan legislasi hukum
pidana dari prinsip keadilan retributif pidana (penal policy) dapat dilakukan
menjadi keadilan restoratif (restorative dengan menentukan asas-asas, tujuan,
justice). Prinsip ini menuntut proses kriteria tidak pidana serta hukum acara
peradilan pidana untuk memberikan pelaksanaan mediasi penal yang dapat
pemenuhan kepentingan-kepentingan dituangkan ke dalam satu undang-undang
korban sebagai pihak yang dirugikan khusus.
akibat perbuatan pelaku, sehingga
pandangan ini mendorong negara-negara
seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis
dan Belgia kemudian menerapkan dan DAFTAR PUSTAKA
mengembangkan model mediasi penal ini.
Pengembangan model mediasi penal pada A. Buku
pokoknya menitikberatkan pada Abbas, Syahrizzal. 2011. Mediasi Dalam
tercapainya kesepakatan antara para pihak Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
yang bersengketa mengenai bentuk

17 | V o l . 1 | N o . 1 | 2 0 1 9 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Hukum Nasional. Kencana Prenada Movement, Rutgers University


Media Group, Jakarta. Press.

Alkostar, Artidjo. 2010. Peran dan Covey. 1994. The Sevem Habits of Highly
Tantangan Advokat Dalam Era Effecive People (terjemahan),
Globalisasi, FH UII Press, Covey Leadership Center, Canada.
Yogyakarta, 2010
Dewi. DS. dan Fatilah A. Syukur. 2011.
Anwar , Yesmil dan Adang. 2011. Sistem Mediasi Penal: Penerapan
Peradilan Pidana; Konsep, Restorative Justice Di Pengadilan
Komponen & Pelaksanaannya Anak Indonesia, Indie Publishing,
164
Dalam Penegakan Hukum di Depok.
Indonesia, Cetakan Kedua, Widya
Padjajaran, Bandung. Goopaster, Gary.1999. Panduan
Negosiasi dan Mediasi, ELIPS,
Arief, Barda Nawaw. 1996. Bunga Jakarta.
Rampai Kebijakan Hukum Pidana.
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Hadikusuma, Hilman. 2003. Pengantar
Hukum Adat Indonesia, CV Mandar
Atmasasmita, Romli. 2010. Sistem Maju, Bandung.
Peradilan Pidana Kontemporer.
Kencana, Jakarta. Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara
Pidana, Edisi Kedua, Sinar Grafika,
A.Z. 1983. Bunga Rampai Hukum Jakarta.
Pidana, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta. Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan
Bazemore, Gordon And Lode Walgrave. KUHAP Penyidikan dan
1999. "Restorative juvenile justice: Penuntutan, Edisi ke-2, Cet. 8,
In search of fundamentals and an Sinar Grapika, Jakarta.
outline for systemic reform.". In
Restorative juvenile justice: Huda, Chairul. 2008. Dari Tiada Pidana
Repairing the harm of youth crime, Tanpa Kesalahan Menuju Kepada
Criminal Justice Press, New York. Tiada Pertanggungjawaban Pidana
Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta.
Black's Law Dictionary 9th iPad edition.
West Services Inc. Thomson Irianto, Sulistyowati dan Antonius
Reuters Legal, New York, 2011. Cahyadi. 2008. Runtuhnya Sekat
Perdata dan Pidana; Studi
Braithwaite. 2006. “Shame, Shaming and Peradilan Kasus Kekerasan
Restorative justice: A critical Terhadap Perempuan, Yayasan
appraisal”. Routledge, New York. Obor, Jakarta.

C. May, David at. al. 2008. Corrections Kaligis, OC. 2006. Perlindungan Hukum
and the Criminal Justice System, Atas Hak Asasi Tersangka,
Jones & Bartlett, Inc, Canada. Terdakwa dan Terpidana, Alumni,
Bandung.
Capeheart, Loreta & Dragan Milovanovic.
Social Justice, Theories, Issues and Kholil, Munawar et al. 1988. Silabus dan
Teaching Material Pilihan

18 | V o l . 1 | N o . 1 | 2 0 1 9 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Penyelesaian Sengketa(PPS)/ _______. 1995. Kapita Selekta Sistem


Alternative Dispute Resolution Peradilan Pidana, Universitas
(ADR), FHUI-Proyek ELIPS, Diponegoro, Semarang.
Jakarta.
_______. 1997. Hak Asasi Manusia,
Lamintang. P.A.F. 1984. Dasar-dasar Politik dan Sistem Peradilan
Hukum Pidana Indonesia, Sinar Pidana, Badan Penerbit Universitas
Baru, Bandung. Diponegoro, Semarang.

Lyotard. Jean Francois. 2004. Nonet, Philippe & Philip Selznick. 2003.
Postmodernisme: Krisis dan Masa Hukum Responsif: Pilihan di Masa
Depan Pengetahuan (diterjemahkan Transisi, (Terjemahan) Ford
dari The Postmodern Condition: A Foundation HUMA, Jakarta.
Report On Knowledge). Mizan
Media Utama, Bandung. Packer. Herbert L. 1969. The Limit of
Criminal Sanction. Stanford
M. Jacqueline, Nolan Haley, 1992. University Press, California.
Alternative Dispute Resolution,
West Publishing C., St. Paul. Pangaribuan, Luhut M.P. 2006. Hukum
Acara Pidana Surat-Surat Resmi Di
Mansyur, Ridwan. 2010. Mediasi Penal Pengadilan Oleh Advokat;
Terhadap Perkara KDRT, Yayasan Praperadilan, Eksepsi, Pledoi,
Gema Yustisia, Jakarta. Duplik, Memori Banding Kasasi,
Peninjauan Kembali, Edisi Revisi,
Marzuki, Peter Mahmud. 2007. Penelitian Djambatan, Jakarta.
Hukum cetakan ke-3. Kencana,
Jakarta. Paton, G.W. 1964. A Text-book of
Marshall, Tony F. 1999. Restorative Jurisprudence, Oxford Univ Press,
Justice: On overview, Home Office, London.
London.
Rahardjo, Satjipto. 2002. Sosiologo
Meuwissen. 2009. Meuwissen Tentang Hukum:Perkembangan, Metode dan
Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Pemilihan Masalah. Universitas
Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Muhamadiyah Press, Surakarta.
diterjemahkan oleh B. Arief
Sidharta. PT. Refdika Aditama, ______. 2003. Sisi-sisi Lain dari Hukum
Bandung. di Indonesia, Kompas, Jakarta.

Moeljatno. 1983. Asas-Asas Hukum ______. 2006. Membedah Hukum


Pidana, Bina Aksara, Jakarta. Progresif, Penerbit Kompas,
Jakarta.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992.
Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, ______. 2009. Hukum Progresif: Sebuah
Alumni, Bandung. Sintesa Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Jakarta.
_______. 1994. Sistem Peradilan Pidana,
Citra Baru, Jakarta. Ranuhandoko, I.P.M. 2008. Terminologi
Hukum Inggris-Indonesia cetakan
kelima, Sinar Grafika, Jakarta.

19 | V o l . 1 | N o . 1 | 2 0 1 9 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Rawls, John. 2006. Teori Keadilan (A


Theory of Justice), diterjemahkan Umbreit, Mark dan Mearilyn Peterson
oleh Uzair Fauzan dan Heru Amour. 2010. Restorative Justice
Prasetyo. Pustaka Pelajar, Dialogue: An Essential Guide for
Yogyakarta. Research and Practice, Springer
Publishing, New York.
Roger Fisher et al. 1983. Getting to Yes:
Negotiating Agreement Without Widnyana, I Made. 1993. Kapita Selekta
Giving In, Houghton Mifflin Hukum Pidana Adat, PT Eresco,
Company. Bandung.

Samosir. Djisman. 2002. Fungsi Pidana Wiko, Garuda. 2009 . “Pembangunan


Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Sisten Hukum Berkeadilan” dalam
di Indonesia, Putra Abardin CV, Memahami Hukum Dari Konstruksi
Jakarta. sampai Implementasi, Editor Satya
Arinanto dan Ninuk Triyanti,
Setiady, Tolib. 2009. Intisari Hukum Adat Rajawali Pers, Jakarta.
Indonesia (Dalam kajian
Kepustakaan), Alfabeta, Bandung. Witanto, D.Y. 2011. Hukum Acara
Mediasi Dalam Perkara Perdata di
Soekanto, Soerjono. 1981. Pengantar Lingkungan Peradilan Umum dan
Penelitian Hukum. UI Press, Peradilan AgamaMenurut Perma
Jakarta. Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan,
Soedarto. 1981. Hukum dan Hukum Alfabeta, Bandung.
Pidana, PT Alumni, Bandung.
B. Karya Ilmiah/Hasil Penelitian
______. 1983. Hukum Pidana dan Lasmadi, Sahuri. 2003.
Perkembangan Masyarakat, Sinar “Pertanggungjawaban Korporasi
Baru, Bandung. Dalam Perspektif Kebijakan Hukum
Pidana Indonesia”, Disertasi Doktor
______.1990. Hukum Pidana I, Yayasan Pasca Sarjana Universitas
Sudarto, Semarang. Airlangga, Surabaya.

Syukur, Fatahillah A. 2011. Mediasi Litbagkumdil MA RI. Laporan Tahunan


Perkara KDRT: Teori dan Praktik Badan Penelitian dan
Di Pengadilan Indonesia, Mandar Pengembangan dan Pendidikan dan
Maju, Bandung. Pelatihan Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI Tahun 2011.
Tutik, Titik Triwulan. 2010. Konstruksi
Hukum Tata Negara Pasca Luthan, Salman. “Mediasi Penal Dalam
Amandemen UUD 1945. Kencana Sistem Peradilan Pidana”. Makalah.
Prenada Media Group, Jakarta. Penelitian untuk wilayah Pengadilan
Tinggi Palangkaraya, Mataram,
Umbreit, Mark S. at. al. 2001. Obstacles Jambi dan Semarang, Badan
And Opportunities For Developing Litbang Diklat Kumdamil
Victim Offender Mediation For Mahkamah Agung RI, April-Mei
Juveniles: The Experience Of Six 2011.
Oregon Counties, CA: Jossey-Bass,
San Francisco.

20 | V o l . 1 | N o . 1 | 2 0 1 9 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Surbakti, Natangsa. 2003. “Gagasan Overview Of Restorative Justice


Lembaga Pemberian Maaf Dalam Around The World”. Paper.
Konteks Kebijakan Pembaharuan Workshop 2: Enhancing Criminal
Sistem Peradilan Pidana di Justice Reform Including
Indonesia”, Tesis S2 Hukum Restorative Justice, Bangkok,
Universitas Diponegoro, Semarang. Thailand, 18-25 April 2005.
Lasmadi, Sahuri. “Mediasi Penal Dalam
C. Jurnal Ilmiah Sistem Peradilan Pidana Indonesia”,
Marzuki, Peter Mahmud. “Penelitian Makalah. Disampaikan di hadapan
Hukum”, Yuridika Volume 16 No. Kalangan Hakim Dari 2 (dua)
2 Maret 2001. Lingkungan Peradilan di Wilayah
Jambi, Hotel Novita Jambi, 19 Mei
Nasution, Bahder Johan, “Suatu Tinjauan 2011.
Filosofis dan Teoritis Tentang
Konsep Negara Hukum dan Mulyadi, Lilik. “Penyelesaian Perkara Di
Kekuasaan Kehakiman”, Jurnal Luar Pengadilan Melalui Dimensi
Hukum Inovatif Nomor II Mei- Mediasi Penal (Penal Mediation)
Agustus 2008. Dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia”, Makalah. Penelitian
Sastroatmojo, Sudijono. “Konfigurasi untuk wilayah Pengadilan Tinggi
Hukum Progresif”, Artikel dalam Palangkaraya, Mataram, Jambi dan
Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8 No. 2 Semarang, Badan Litbang Diklat
September 2005. Kumdamil Mahkamah Agung RI,
April-Mei 2011.
D. Makalah Seminar
Adji, Indriyanto Seno “Arah dan Sistem Purba, Rehngena. “Lembaga Musyawarah
Peradilan (Pidana) terpadu Adat (Runggun) Dan Perdamaian
Indonesia (suatu Desa Sebagai Alternatif
tinjauanpengawasan aplikatif dan Penyelesaian Sengketa Di Luar
praktek)”. Makalah. Disampaikan Pengadilan Di Tanah Karo”. Pidato,
pada Seminar Hukum Nasional diucapkan pada waktu pengukuhan
Dengan Topik Mencari Format jabatan guru besar tetap dalam ilmu
Pengawasan Dalam System hukum adat pada Fakultas Hukum
Peradilan Terpadu, Komisi Hukum Universitas Sumatera Utara di
Nasional, Jakarta, Tanggal 18 April hadapan rapat terbuka Senat
2001. Universitas Sumatara Utara di
Gelanggang Mahasiswa USU,
Arief, Barda Nawawi. “Aspek Kebijakan Sabtu, 25 Nopember 2000.
Mediasi Penal dalam Penyelesaian
Sengketa di Luar Pengadilan”, Reksodipoetra, Mardjono. “Sistem
Seminar Nasional Peradilan Pidana Indonesia (Melihat
Pertanggungjawaban Hukum Kepada Kejahatan Dan Penegakan
Koorporasi dalam Konteks Good Hukum Dalam Batas Toleransi)”.
Corporate Governance, Program Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Doktor Ilmu Hukum UNDIP. Inter Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum
Continental Hotel Jakarta, 27 Maret pada Fakultas Hukum Universitas
2007. Indonesia, Tahun 1993.

Bazemore, Gordon And Lode Walgrave Santoso, Mas Achmad. “Perkembangan


dalam Daniel W. Van Ness. “An Lembaga ADR di Indonesia”.

21 | V o l . 1 | N o . 1 | 2 0 1 9 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Materi Pelatihan tentang Pilihan


Penyelesaian Sengketa (Alternative Detlev Frehsee,
Dispute Resolution/ADR) di Bidang http://wings.buffalo.edu/law/bclc/bc
Lingkungan, Kerjasama PPLH lr.htm
Lemlit UNDIP, ICEL, Asia
Foundation dan Depkeh, Semarang, Dieter Rössner, Mediation as a Basic
10-13 April 1999. Element of Crime Control:
Theoretical and Empirical
E. Surat Kabar dan Internet Comments,
Artidjo Alkostar, “Keadilan Restoratif”. wings.buffalo.edu/law/bclc/bclrartic
Kompas, Opini, 4 April 2011. les/3(1)/roessner.pdf

Australian Institute of Crimonology.


Trends and Issues in crime and John A.E. Vervaele, “The Transnational
criminal justice, Bullying and Ne Bis In Idem Principle In The EU
Victimisation In School: A Mutual Recognition And Equivalent
Restorative Justice Approach. No. Protection Of Human Rights”,
219, Pebruari 2002, dalam Utrech Law Review, Volume
http://www.aic.gov.au. 1, Issue 2, December 2005.
Published by Igitur,
Burhan Dahlan, “Peranan Hakim Agung http://www.utrechtlawreview.org/
Sebagai Pembaru Hukum Untuk
Mewujudkan Pengadilan Yang Mazhab Galur. “Jean-Francois Lyotard:
Bersih”, Makalah. Diakses melalui "Kondisi Pengetahuan di Era
http://www.dilmiltama.go.id/home/p Postmodern (Suatu Kajian
df/PERANAN%20MAHKAMAH%2 Epistemologi Sosial)” Artikel dalam
0AGUNG%20DALAM%20MENUJ http://kampusbebeck.blogspot.com/2
U%20PEMBAHARUAN%20PERA 010/05/bebeck-berkenalan-dengan-
DILAN.pdf, Kamis, 24 November jean-francois.html, diakses pada 19
2011. Mei 2012.

Bruce A. MacFarlane, “Wrongful Miers, David (2001): An International


Convictions: The Effect of Tunnel Review of Restorative Justice, p.7,
Vision and Predisposing dalam tulisan Dr. Juhani Iivari,
Circumstancesin the Criminal Victim-Offender Mediation – An
Justice System”. Article on Alternative, an Addition or Nothing
Cannadian Criminal Law. Publised But A Rubbish Bin in Relation to
by Bruce A. MacFarlane, Q.C. Legal Proceedings?,
download at www.restorativejustice.org/resource
http://www.canadiancriminallaw.co s/docs/iivari1/download
m/articles/articles%20
pdf/Wrongful-Convictions.pdf, Pedoman News. “Keluarga Nasrudin
Kamis 24 November 2011. Balik Dukung Antasari” dalam
http://www.pedomannews.com/koru
Deborah Macfarlane, “Family Mediation psi-dan-ham/2762--keluarga-
in France”, Point de vue, Union nasrudin-balik-dukung-antasari
Nationale des Associations
Familiales, Rahardjo, Satjipto. “Hukum itu Perilaku
http://www.unaf.fr/spip.php?article7 Kita Sendiri", artikel pada Harian
93#nb2-6 Kompas, 23 September 2002.

22 | V o l . 1 | N o . 1 | 2 0 1 9 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Tony Peters, From Community Sanctions


to Restorative Justice The Belgian
Example,
www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_
rms/no61/ch12.pdf

WikiMediation, “Penal Mediation in


France”. Article in WikiMediation,
international observatory of
mediation is initiated by the
mediators supported by European
Commission.
(http://en.wikimediation.org/index.p
hp?title=Penal_mediation_in_Fran
ce, 21 Mei 2012.

23 | V o l . 1 | N o . 1 | 2 0 1 9 JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Anda mungkin juga menyukai