Anda di halaman 1dari 190

KONSEP NOVASI DALAM HUBUNGAN HUKUM PADA PERJANJIAN

KARTU KREDIT DITINJAU DARI SEGI HUKUM PERDATA

Skripsi
diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Oleh
Dena Suryani
0503000824
Program Kekhususan I
Hukum Tentang Hubungan Antara Sesama Anggota Masyarakat

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA


DEPOK
2007

Konsep novasi..., Dena Suryani, FH UI, 2007


LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini dinyatakan bahwa mahasiswa :


Nama : Dena Suryani
Nomor Pokok Mahasiswa : 0503000824
Judul Skripsi : Konsep Novasi Dalam
Hubungan Hukum Pada Perjanjian Kartu Kredit Ditinjau
Dari Segi Hukum Perdata
Program Kekhususan : I (Hukum Tentang Hubungan
Sesama Anggota Masyarakat)

Telah menyelesaikan penulisan skripsinya dan telah menempuh


ujian skripsi.

Depok, Januari 2007

Pembimbing II Pembimbing I

Abdul Salam, S.H. DR. Rosa Agustina, S.H.,


M.H.

Mengetahui,
Ketua Bidang Studi Hukum Keperdataan

Prof. Wahyono Darmabrata, S.H., M.H.


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis haturkan kehadirat Allah SWT,

karena berkat rahmat dan hidayahNya Penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan Judul “Konsep

Novasi Dalam Hubungan Hukum Pada Perjanjian Kartu Kredit

Ditinjau Dari Segi Hukum Perdata”.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu prasyarat

untuk mencapai derajat kesarjanaan S1 pada Program Reguler

Universitas Indonesia dalam Bidang Ilmu Hukum Program

Kekhususan I (Hukum Tentang Hubungan Antara Sesama Anggota

Masyarakat).

Skripsi ini dapat disusun dan diselesaikan dengan

bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, Penulis

menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Kedua orangtua Penulis (papa dan mama tercinta)

yang telah mengasuh dan merawat Penulis dengan

tulus dan sabar hingga Penulis bisa seperti

sekarang ini dan bisa menyelesaikan studi S1

Penulis dan juga tidak lupa Riri adik Penulis yang

telah mengisi hari-hari Penulis selama di rumah.

i
2. Ibu DR. Rosa Agustina, S.H. M.H. selaku dosen

pembimbing I yang telah berkenan meluangkan waktu

untuk memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan

kepada Penulis dalam penulisan dan penyusunan

skripsi ini.

3. Bapak Abdul Salam, S.H. selaku pembimbing II yang

telah berkenan memberikan bimbingannya terutama

mengenai teknik penulisan yang baik dalam menulis

sebuah skripsi.

4. Ibu Nenah C. Raldianto selaku Penasihat Akademik

yang telah mengarahkan Penulis dalam memilih

matakuliah-matakuliah yang harus Penulis ambil

sesuai dengan program kekhususan Penulis.

5. Bapak Prof. Wahyono Darmabrata, S.H., M.H. selaku

Ketua Bidang Studi Hukum Keperdataan yang telah

mengizinkan Penulis untuk mengikuti sidang

skripsi.

6. Ibu Surini, S.H., M.H. selaku Sekretaris Bidang

Studi Hukum Keperdataan yang telah membantu

Penulis dalam proses administrasi penulisan

skripsi.

ii
7. Bapak Mulyono selaku staf Biro Pendidikan FHUI

untuk mahasiswa angkatan 2003 yang telah membantu

Penulis dalam melakukan semua proses akademik di

kampus.

8. Dosen-dosen pengajar FHUI yang telah mengajar

Penulis mulai dari semester I sampai semester VII

sehingga akhirnya Penulis bisa menyelesaikan

skripsi ini.

9. Teman Penulis Bela Dona Susanti yang telah

menemani Penulis mencari data-data yang dibutuhkan

sehubungan dengan permasalahan yang Penulis bahas

dalam skripsi ini.

10. Bela Dona Susanti, Arie Yuliarti, Arsy Febriya

Wardani, dan Badrya para sahabat yang telah

melalui hari-hari semasa kuliah bersama Penulis

dan saling membantu satu sama lain jika ada yang

mendapat kesulitan.

11. Miggi Sahabati, Lia Amalia, Siti Labiba, Sylvia M.

Mauren dan teman-teman seangkatan Penulis lainnya

(angkatan 2003) yang telah berhasil menyelesaikan

skripsinya dan akhirnya bisa sama-sama lulus

semester ini.

iii
12. Para pihak lainnya yang telah ikut membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang mana

tidak mungkin disebutkan satu-persatu namanya.

Atas bantuannya Penulis mendoakan semoga Allah SWT

akan membalas bantuan tersebut dengan pahala yang setimpal

dikemudian hari.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih

jauh dari sempurna. Oleh karena itu segala kritik dan saran

yang sehat serta konstruktif sangat Penulis harapkan dari

siapapun yang nantinya akan membaca skripsi Penulis ini.

Akhir kata Penulis berharap semoga nantinya skripsi

ini bisa bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Hukum, terutama

Hukum Perjanjian.

Depok, Desember 2006

Penulis

Dena Suryani

iv
ABSTRAK
Novasi atau disebut juga sebagai pembaharuan hutang
merupakan suatu pembuatan perjanjian baru yang menghapuskan
suatu perikatan lama sambil meletakan suatu perikatan baru
yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula. Dalam
KUHPerdata, novasi adalah hasil terjemahan dari kata
schuldvernieuwing dan secara umum dikenal sebagai
pembaharuan hutang yang pengaturannya tercantum dalam Buku
III KUHPerdata terdapat dalam Bab IV bagian tiga pasal 1413
sampai 1424. Meskipun demikian, sampai sekarang sebenarnya
belum ada istilah baku untuk menggantikan istilah novasi.
Jika dikaitkan dengan kartu kredit sebagai alat pembayaran,
maka dapat dilihat adanya penerapan konsep novasi ini.
Penggunaan kartu kredit oleh pemegang kartu adalah
berdasarkan perjanjian yaitu berawal dari perjanjian
penerbitan kartu kredit yang kemudian dilanjutkan dengan
perjanjian pemakaian kartu kredit. Perjanjian penerbitan
kartu kredit berupa pemberian fasilitas untuk membeli
barang/jasa dengan tidak harus membayar secara tunai,
antara penerbit dengan pemegang kartu. Perjanjian pemakaian
kartu kredit berupa kegiatan memanfaatkan kartu kredit oleh
pemegangnya untuk memperoleh barang/jasa dengan
pembayarannya memakai kartu kredit tersebut dimana
selanjutnya melibatkan tiga pihak yaitu penerbit, pemegang
kartu, dan merchant yang mana antara satu dengan yang
lainnya saling mempunyai hubungan hukum. Di dalam hubungan
hukum antara para pihak pada perjanjian kartu kredit inilah
terlihat adanya penerapan konsep novasi. Hal ini dapat
dilihat pada transaksi antara penerbit dengan merchant,
dimana disini terjadi novasi subjektif aktif (yang
diperbaharui adalah krediturnya), sedangkan pada
pengkonversian hubungan hukum jual beli antara pemegang
kartu dengan merchant menjadi hubungan hukum hutang piutang
antara pemegang kartu dengan penerbit terjadi novasi
objektif(yang diperbaharui adalah objek dari
perjanjiannya).

v
DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan Kata Pengantar Abstrak


Daftar isi
i

vi

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................... 1

B. Pokok Permasalahan ..................... 9

C. Tujuan Penelitian ..................... 10

D. Metode Penelitian ..................... 10

E. Sistematika Penulisan ..................... 13

BAB II: TINJAUAN UMUM KONSEP NOVASI SEBAGAI PEMBAHARUAN HUTANG


A. Istilah Dan Pengertian Novasi..............

16

B. Pengaturan Novasi Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) ...... 20

C. Macam-Macam Novasi ......................... 22

1. Novasi Objektif ......................... 23

vi
2. Novasi Subjektif ......................... 27

D. Para Pihak Yang Terlibat Dalam Novasi ........ 36

E. Syarat-Syarat Sah Novasi .................... 39

F. Bentuk Dan Cara Pembuatan Novasi............. 46

G. Akibat Hukum Novasi ......................... 47

H. Perbedaan Novasi Dengan Subrogasi Dan Cessie


Perbedaan Novasi Dengan Subrogasi.......

51

2. Perbedaan Novasi Dengan Cessie ......... 53

BAB III: TINJAUAN UMUM MENGENAI KARTU KREDIT

A. Sejarah Kartu Kredit ...................... 57

B. Pengertian Kartu Kredit Dan

Unsur-Unsurnya ........................... 62

C. Dasar Hukum Kartu Kredit 70

1. Segi Hukum Perdata...................... 71

2. Segi Hukum Publik ...................... 76

D. Para Pihak Yang Terlibat Dalam

Hubungan Hukum Dengan Kartu Kredit ............ 80

E. Klasifikasi Kartu Kredit ..................... 84

F. Mekanisme Transaksi Dengan Kartu Kredit ....... 89

G. Manfaat Kartu Kredit Bagi Para Pihak

vii
Yang Terlibat Dengan Kartu Kredit ............ 96

BAB IV: KONSEP NOVASI DALAM HUBUNGAN HUKUM

PADA PERJANJIAN KARTU KREDIT DITINJAU DARI SEGI HUKUM PERDATA


A. Hubungan Hukum Pada Perjanjian Kartu Kredit

Ditinjau Dari Segi Hukum Perdata ............ 102

Hubungan Hukum Antara Penerbit (Issuer) dengan Pemegang Kartu (Card Holder) ......
Hubungan Hukum Antara Penerbit (Issuer)
105

dengan Pedagang (Merchant) ............. 130

3. Hubungan Hukum Antara Pedagang (Merchant) denganPemegang Kartu Kredit (Card Holder)
B. Konsep Novasi Dalam Hubungan Hukum Pada Perjanjian Kartu Kredit......................
Novasi Subjektif Aktif Pada Transaksi 142

149

Antara Penerbit dengan Merchant ........ 150

2. Novasi Objektif Pada Pengkonversian

Hubungan Hukum Jual Beli Antara Merchant

dengan Pemegang Kartu Kredit Menjadi

Hubungan Hukum Utang Piutang Antara

Penerbit dengan Pemegang Kartu Kredit ... 161

viii
BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ........................... 166

B. Saran ........................... 174

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dengan semakin maraknya dunia bisnis tidak bisa

dihindari lagi adanya kebutuhan dana yang diperlukan oleh

kalangan usahawan dalam mengembangkan usahanya. Untuk

memperoleh dana tersebut, saat ini semakin banyak orang

yang mendirikan suatu lembaga pembiayaan yang bergerak di

bidang penyediaan dana ataupun barang. Awal mula

dibutuhkannya keberadaan lembaga pembiayaan pertama kali

disebutkan dalam Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988

(Keppres Nomor 61 Tahun 1988) tanggal 20 Desember 1988.

Peraturan ini kemudian dijabarkan lebih lanjut melalui

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988

(KepMenKeu Nomor 1251 Tahun 1988) tanggal 20 Desember 1988

tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga

1
Pembiayaan.1 Menurut Pasal 1 Keppres tersebut dijelaskan

bahwa:

lembaga pembiayaan adalah suatu badan usaha yang dalam


melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
dana atau barang modal dengan tidak menarik dana
secara langsung dari masyarakat.2

Adapun bidang-bidang usaha yang dilakukan oleh lembaga

pembiayaan antara lain meliputi bidang-bidang seperti:3

1. Sewa Guna Usaha

2. Modal Ventura (Venture Capital)

3. Perdagangan surat berharga

4. Anjak Piutang (Factoring)

5. Usaha Kartu Kredit

6. Pembiayaan Konsumen

Dalam skripsi ini Penulis akan membahas tentang kartu

kredit terutama mengenai hubungan hukum yang timbul dari

1
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hal.
123.
2
Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Lembaga Pembiayaan, Kepres No. 61 tahun 1988, ps.
1.
3
Departemen Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan Tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan,Kepmen Keuangan No. 1251/KMK. 013/1988, ps. 2.

2
perjanjian kartu kredit tersebut serta konsep Novasi yang

diterapkan dalam hubungan hukum tersebut.

Kartu kredit atau yang lebih dikenal dengan credit


card ini adalah suatu kartu plastik yang berukuran
hampir sama dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), yang
diterbitkan oleh penerbit (issuer) dan dipergunakan
oleh pemegang kartu (cardholder) yang berfungsi
sebagai alat pembayaran pengganti uang tunai pada
pihak penerima yaitu para pedagang (merchant) yang
telah ditentukan oleh penerbit.4

Kartu kredit tentunya sangat bermanfaat untuk

memperlancar dan mempermudah kegiatan baik bisnis maupun

non bisnis. Hal ini dikarenakan uang sebagai alat

pembayaran pada mulanya dirasa sudah tidak cukup aman bagi

pemegangnya dan tidak praktis untuk dibawa-bawa terutama

dalam jumlah yang cukup banyak. Oleh karena itulah kemudian

berkembang alat bayar lain yang berbentuk kartu plastik,

yang secara populer disebut kartu kredit. Di Indonesia

terdapat banyak sekali macam kartu kredit yang masing-

masingnya mempunyai klasifikasi tersendiri.

4
Simatupang, op.cit., hal. 150.

3
Sebagai alat pembayaran, kartu kredit diterbitkan

sesuai dengan perjanjian. Penerbitan kartu kredit itu

sendiri sebenarnya merupakan satu pemberian fasilitas

kredit oleh suatu bank penerbit kepada pemegang kartu.

Pemberian fasilitas ini tidaklah berdasarkan akte-akte

secara otentik melainkan hanya dengan akte-akte di bawah

tangan dan tidak mutlak harus ada jaminan kredit. 5 Akan

tetapi bukan berarti kartu kredit mudah diperoleh oleh

siapa saja, melainkan harus memenuhi persyaratan-

persyaratan yang sangat selektif yang ditentukan oleh

penerbit.

Disamping perjanjian penerbitan kartu kredit, ada lagi

perjanjian penggunaan kartu kredit yang melibatkan hubungan

hukum antara tiga pihak yaitu, pemegang kartu sebagai

pembeli, penerbit sebagai pembayar dan pengusaha/pedagang

sebagai penjual.6 Berdasarkan perjanjian tersebut, pemegang

kartu membeli barang/jasa dari penjual yang ditunjuk oleh

penerbit dengan pembayaran menggunakan kartu kredit.

5
Ibid., hal. 151.
6
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Muniarti, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 263.

4
Pembayaran oleh pembeli kepada penjual dilakukan melalui

penerbit.

Dahlan Siamat menyatakan bahwa konsep dasar kartu

kredit sebenarnya relatif sederhana dan jelas, yaitu suatu

alat identifikasi pribadi yang dimaksudkan untuk menunda

pembayaran atas transaksi jual beli barang/jasa.7 Namun

dalam prakteknya terdapat prosedur yang cukup kompleks

sehingga perlu diatur dengan Undang-Undang. Seperti di

Inggris, Perusahaan Kartu Kredit diatur dengan Consumers

Credit Act 1974. Dengan demikian, Perusahaan Karu Kredit

harus mengikuti ketentuan Undang-Undang, disamping

ketentuan Perbankan dan kontrak yang dibuat secara umum.

Dengan memperhatikan hal tersebut, maka tampak bahwa

hukum yang berlaku dalam pengaturan masalah kartu kredit

ini adalah berpegang pada asas kebebasan berkontrak. Hal

ini disebabkan bahwa dalam hukum perjanjian menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak diatur

secara khusus mengenai hal ini. Namun meskipun demikian

dalam Pasal 1319 KUHPerdata diatur mengenai kemungkinan

dibuatnya suatu perjanjian yang tidak diatur secara khusus

7
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta: Intermedia, 1995).

5
serta tidak mempunyai suatu nama khusus.8 Perjanjian ini

disebut juga perjanjian tak bernama (innominat).

Kondisi dan pelaksanaan yang demikian memiliki dampak

yang melemahkan kemanfaatan kartu kredit, karena dalam

prakteknya kebebasan membuat perjanjian khususnya dalam hal

kartu kredit ditinjau dari segi hukum, tidak menciptakan

keseimbangan hak dan kewajiban. Hal ini mengingat dalam

suatu produk hukum khususnya mengenai perjanjian, faktor-

faktor non hukum juga ikut mempengaruhi kesepakatan para

pihak. Kesepakatan itu sendiri sangat penting artinya dalam

kaitannya dengan sah atau tidaknya suatu perjanjian menurut

hukum (Pasal 1320 KUHPerdata).

Selain membahas mengenai hubungan hukum dalam

perjanjian kartu kredit ini, Penulis juga akan membahas

tentang penerapan konsep novasinya (pembaharuan hutang)

terutama:

1. Novasi subjektif aktif pada transaksi antara

penerbit dengan merchant.

2. Novasi objektif pada pengkonversian hubungan

hukum jual beli antara merchant dengan

8
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 29, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1999), Pasal 1319.

6
pemegang kartu kredit menjadi hubungan hukum

utang piutang antara penerbit dengan pemegang

kartu kredit.

Pengaturan tentang Novasi itu sendiri dapat dilihat

pada Pasal 1413 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa ada tiga

jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan hutang atau

novasi, yaitu:9

1. Apabila seorang yang berutang membuat suatu

perikatan utang baru guna orang yang

menghutangkannya, yang menggantikan utang yang

lama yang dihapuskan karenanya.

2. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk

menggantikan orang berutang lama, yang oleh si

berpiutang dibebaskan dari perikatannya.

3. Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru,

seorang kreditur baru ditunjuk untuk

menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si

berutang dibebaskan dari perikatannya.

Pembaharuan hutang (novasi) adalah suatu pembuatan

perjanjian baru yang menghapuskan suatu perikatan lama

sambil meletakan suatu perikatan baru yang ditempatkan

9
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa,1987), cet. XI, hal. 71.

7
sebagai pengganti perikatan semula. Jadi pihak kreditur dan

debitur memang bersepakat untuk menghapuskan perikatan lama

dan menggantinya dengan perikatan baru. Dikarenakan dalam

novasi perikatan yang lama hapus, maka pokok perikatan yang

baru dapat berbeda dari pokok perikatan yang lama.10 Namun

ada kemungkinan sifat hubungan hukum antara perikatan lama

yang sudah hapus dengan perikatan yang baru adalah sama.

Novasi ini disebut novasi objektif, karena yang

diperbaharui adalah perikatannya.11

Selanjutnya dikenal pula novasi subjektif dimana

terjadi kesepakatan tiga pihak antara kreditur, debitur,

dan pihak ketiga untuk melakukan pembaharuan hutang.12

Novasi subjektif ini dapat dibagi atas novasi subjektif

aktif dan novasi subjektif pasif. Novasi subjektif aktif

terjadi jika kreditur dalam perikatan yang lama diganti

oleh pihak ketiga sebagai kreditur dalam perikatan yang

baru. Sedangkan dalam novasi subjektif pasif, justru

10
A. Pitlo, Tafsiran Singkat Tentang Beberapa Bab Dalam Hukum Perdata, diterjemahkan oleh
M. Moetasad, (Jakarta: Intermasa, 1977), hal. 108.
11
Suharnoko dan Endah Hartati, Doktrin Subrogasi, Novasi, Dan Cessie Dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal.
58.
12
Ibid.

8
debitur dalam perikatan yang lama diganti oleh pihak ketiga

sebagai debitur dalam perikatan yang baru.

Dalam novasi kreditur baru tidak menempati posisi

kreditur lama demikian pula debitur baru tidak menempati

posisi debitur lama, karena perikatan yang lama sudah

hapus. Konsep inilah yang kemudian diterapkan dalam

hubungan hukum pada perjanjian kartu kredit, dimana dalam

hubungan hukum tersebut ada tiga pihak yang terlibat. Tiga

pihak itu antara lain adalah penerbit (issuer), pemegang

kartu (cardholder), dan para pedagang yang menerima

pembayaran dengan kartu kredit (merchant).

B. POKOK PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka

Penulis mengajukan beberapa pokok permasalahan yang akan

dibahas lebih lanjut dalam skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana KUHPerdata mengatur mengenai novasi

sebagai pembaharuan hutang?

2. Bagaimana hubungan hukum dalam perjanjian kartu

kredit dan pengaturannya dalam KUHPerdata?

3. Bagaimana penerapan konsep novasi pada hubungan

hukum dalam perjanjian kartu kredit?

9
C. TUJUAN PENELITIAN

Pendekatan pemanfaatan kartu kredit tidak hanya dapat

dilihat dari segi ekonomi saja. Pendekatan dari segi hukum

(legal approach) pun harus diperhatikan agar kartu kredit

tersebut diakui dan berlaku dalam hubungan hukum bisnis.

Oleh karena itu, tujuan penulis memilih ”KONSEP NOVASI

DALAM HUBUNGAN HUKUM PADA PERJANJIAN KARTU KREDIT DITINJAU

DARI SEGI HUKUM PERDATA” sebagai judul dari skripsi

Penulis, agar Penulis:

1. Mengetahui lebih lanjut mengenai pengaturan novasi

sebagai pembaharuan hutang dalam KUHPerdata.

2. Memahami tentang hubungan hukum yang ada dalam

perjanjian kartu kredit dan pengaturannya dalam

KUHPerdata.

3. Mengetahui penerapan konsep novasi pada hubungan

hukum dalam perjanjian kartu kredit.

D. METODE PENELITIAN

Dalam membuat skripsi ini Penulis menggunakan metode

penelitian kepustakaan dengan melakukan studi dokumen (data

sekunder) yang didukung dengan data lapangan. Data sekunder

dalam penelitian ini diambil dari bahan pustaka di bidang

10
hukum. Dari sudut pandang kekuatan mengikatnya, bahan hukum

yang dikaji meliputi:13

1. Bahan hukum primer

Adalah bahan-bahan hukum yang mengikat untuk

wilayah Republik Indonesia (RI) yang mencakup

antara lain peraturan perundang-undangan,

Yurisprudensi dan bahan hukum kodifikasi dari

jaman sebelum kemerdekaan, seperti KUHPerdata dan

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang

merupakan terjemahan yang secara yuridis formil

bersifat tidak resmi tetapi secara yuridis

praktis masih diberlakukan.

2. Bahan hukum sekunder

Adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum

primer, mencakup hasil-hasil penelitian di bidang

sosial, ekonomi, dan hukum, baik dalam bentuk

buku, makalah, artikel ilmiah maupun polpuler di

media massa.

13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 3, hal. 11-12.

11
3. Bahan hukum tertier

Adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder, seperti kamus dan ensiklopedi.

Ada berbagai cara dalam melakukan studi dokumen ini .

Salah satunya adalah melakukan analisa isi (content

analysis). Content analysis adalah teknik untuk menganalisa

tulisan atau dokumen dengan cara mengidentifikasi secara

sistematik ciri atau karakter dan pesan atau maksud yang

terkandung dalam suatu tulisan atau dokumen.14 Cara inilah

yang penulis gunakan dalam membuat skripsi ini. Sedangkan

data lapangan dalam hal ini dimaksudkan sebagai informasi

lebih lanjut dan lebih lengkap mengenai masalah yamg sedang

diteliti langsung pada objeknya di lapangan.

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis yaitu

suatu penelitian yang tujuannya menjelaskan atau memaparkan

suatu permasalahan, dengan pendekatan kualitatif.

Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data

yang seteliti mungkin dan menggambarkan secara tepat

mengenai permasalahan yang sedang diteliti. Kemudian data

14
Sri Mamudji, et. al., Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005).

12
tersebut dianalisis sehingga diperoleh berbagai informasi

yang bermanfaat.15

E. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I sebagai Pendahuluan untuk memasuki bab-bab

selanjutnya berisi tentang latar belakang penulisan yang

menguraikan situasi atau keadaan yang berkaitan dengan

permasalahan yang akan diteliti. Pokok permasalahan

merupakan perumusan dari minat, gagasan, dan ide. Sedangkan

tujuan penelitian menerangkan mengenai ruang lingkup

kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan masalah yang telah

dirumuskan. Kemudian dilanjutkan dengan metode penelitian

yang merupakan blueprint suatu penelitian, artinya segala

gerak dan aktivitas penelitian akan tercermin disini.

Terakhir adalah sistematika penulisan yang memberikan

kerangka sistematis dari pembahasan di setiap bab.

BAB II membahas tentang Tinjauan Umum Konsep Novasi

Sebagai Pembaharuan Hutang dengan penjabaran pada sub-

babnya mengenai: istilah dan pengertian novasi,

pengaturannya dalam KUHPerdata, macam-macam novasi, pihak

yang terlibat dalam novasi, syarat-syarat sah novasi,

15
Soekanto, op.cit., hal. 10.

13
akibat hukum suatu novasi, bentuk dan cara pembuatan

novasi, perbedaan novasi dengan subrogasi dan cessie.

BAB III menerangkan tentang Tinjauan Umum Mengenai

Kartu Kredit, yang selanjutnya membahas mengenai sejarah

kartu kredit, pengertian kartu kredit dan unsur-unsurnya,

dasar hukum kartu kredit yang ditinjau dari segi hukum

perdata dan hukum publik, para pihak yang terlibat dalam

hubungan hukum dengan kartu kredit, klasifikasi kartu

kredit, mekanisme transaksi dengan kartu kredit.

BAB IV membahas mengenai Konsep Novasi Dalam Hubungan

Hukum Pada Perjanjian Kartu Kredit Ditinjau Dari Segi Hukum

Perdata, yang isinya sebagai berikut: hubungan hukum pada

perjanjian kartu kredit yang menjabarkan tentang hubungan

hukum antara penerbit (Issuer) dengan pemegang kartu (Card

Holder), hubungan hukum antara penerbit (Issuer) dengan

pedagang (Merchant), hubungan hukum antara pedagang

(Merchant) dengan pemegang kartu kredit (Card Holder).

Kemudian dilanjutkan dengan konsep novasi dalam hubungan

hukum pada perjanjian kartu kredit yang membahas mengenai

novasi subjektif aktif pada transaksi antara penerbit

dengan merchant dan novasi objektif pada pengkonversian

hubungan hukum jual beli antara merchant dengan pemegang

14
kartu kredit menjadi hubungan hukum utang piutang antara

penerbit dengan pemegang kartu kredit.

BAB V merupakan bagian Penutup yang berisi kesimpulan

darikajianyangtelahdilakukandansaran-saran Penulis. dari

15
BAB II

TINJAUAN UMUM KONSEP NOVASI SEBAGAI PEMBAHARUAN HUTANG

A. ISTILAH DAN PENGERTIAN NOVASI

Menurut H.F.A Vollmar, ”novasi atau pembaharuan hutang

ialah suatu perjanjian dimana sebuah perjanjian yang sudah

ada dihapuskan dan seketika itu juga timbul suatu

perjanjian baru.”16 Sedangkan M. Yahya Harahap, S.H.

berpendapat bahwa novasi lahir atas dasar persetujuan.17

Dalam hal ini para pihak membuat suatu persetujuan dengan

jalan menghapuskan perjanjian lama dan pada saat yang

bersamaan dengan penghapusan tadi, perjanjian diganti

dengan perjanjian baru. Selain itu, Sri Soedewi Masjchoen

Sofwan menyatakan bahwa:

pembaharuan hutang (novasi) ialah suatu perjanjian


yaitu dengan itu suatu perjanjian yang sudah ada

16
H. F. A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid II, (Jakarta: CV Rajawali, 1984).
17
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cet. II, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 142.

16
ditiadakan dan sekaligus dijadikan sebuah perjanjian
baru.18

Dalam KUHPerdata, novasi adalah hasil terjemahan dari

kata schuldvernieuwing dan secara umum dikenal sebagai

pembaharuan hutang. Meskipun demikian, sampai sekarang

sebenarnya belum ada istilah baku untuk menggantikan

istilah novasi.19

Para sarjana dengan melihat pasal-pasal yang mengatur

novasi menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan novasi

adalah penggantian perikatan lama dengan suatu perikatan

baru.20 Apabila kita bandingkan semua pengertian tersebut,

maka kiranya lebih tepat bila novasi diartikan sebagai

pembaharuan perikatan. Hal ini patut dikemukakan karena

beberapa alasan.

Alasan pertama, dalam perkembangannya novasi terbagi-

bagi lagi menjadi beberapa macam. Diantaranya ada bentuk

novasi yang mengubah benda atau zaak dari perikatannya.

18
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukium Perdata Hukum Perhutangan Bagian B,
(Yogyakarta: Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gajahmada, 1980), hal. 99.
19
J. Satrio, Cessie, Novatie, Kompensatie Dan Percampuran Hutang, (Bandung: Alumni, 1991),
hal. 100.
20
Ibid., hal. 102.

17
Penggantian ini bukan merupakan penggantian hutang,

melainkan perikatannya yang diganti (diperbaharui).

Alasan kedua, sebagaimana pendapat para sarjana yang

diganti adalah perikatan yang lama dengan perikatan baru,

bukannya suatu hutang lama diganti dengan hutang baru.

Perikatan mempunyai pengertian yang lebih luas dibandingkan

dengan hubungan hutang piutang. Perikatan diatur dalam

keseluruhan Buku III KUHPerdata, sedangkan hutang piutang

merupakan bagian dari Buku III KUHPerdata, yaitu hanya

terdapat pada bagian khusus Buku III KUHPerdata yang

menyangkut adanya pembayaran terhadap suatu perikatan.

Alasan ketiga yang melandasi pola pikir di atas adalah

ketentuan pasal 1381 KUHPerdata yang mengatur mengenai

hapusnya perikatan. Pada pasal ini secara jelas disebutkan

bahwa salah satu sebab hapusnya perikatan adalah karena

adanya novasi. Pasalnya ini tidak menyebutkan hapusnya

hutang tetapi hapusnya perikatan.

Tetapi meskipun demikian, untuk mempermudah pembahasan

maka opini yang telah terbentuk yang mengartikan novasi

sebagai pembaharuan hutang masih akan dipergunakan dalam

tulisan ini. Hal ini dikarenakan novasi dimaksudkan untuk

menggantikan perikatan yang lama dengan yang baru, sehingga

18
novasi tidak akan terjadi kalau ternyata perikatan yang

lama tidak ada.21

Sebagaimana isi dari pasal 1381 KUHPerdata yang sudah

disebutkan sebelumnya, kalau kita perhatikan dengan

seksama, maka disana terdapat penegasan bahwa novasi

merupakan salah satu cara penghapusan perikatan. Namun dari

segi karakternya, novasi berbeda sedikit dengan cara-cara

penghapusan perikatan lain seperti pembayaran, kompensasi

ataupun dengan penghapusan hutang.

Pada cara dan bentuk penghapusan yang disebut

belakangan, maka penghapusan serta merta mengakhiri

hubungan hukum antara kreditur dengan debitur. Sebagai

contoh, misalnya pembayaran (betaling). Dengan pembayaran

hutang atau pembayaran barang yang dibeli, dengan

sendirinya berakhirlah hubungan hukum antara kreditur

dengan debitur.

Berbeda halnya dengan novasi. Sekalipun pada

prinsipnya novasi bertujuan menghapuskan perikatan, namun

hubungan hukum pada perikatan lama dilanjutkan dengan

perikatan baru. Terjadinya hal ini disebabkan penghapusan

21
S. v. Brakel, Leerboek van het Nederlands Verbintenissenrecht, Jilid I dan Jilid II, Cet. Ke-3,
(Zwollw: Tjeenk Willink, 1948), hal. 109.

19
perikatan dan hubungan hukum yang lama dibarengi sekaligus

dengan bentuk perikatan dan hubungan hukum yang baru yang

mana hal tersebut mengambil posisi atas perjanjian dan

hubungan hukum lama. Dengan kata lain, novasi adalah

pernyataan kehendak para pihak antara kreditur dengan

debitur yang berisi penghapusan perikatan lama dan pada

saat yang sama diganti dengan persetujuan baru yang berupa

kelanjutan dari perikatan lama.22

B. PENGATURAN NOVASI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

PERDATA (KUHPerdata)

Dalam sistem hukum perdata yang ada di Indonesia saat

ini, ketentuan Buku III KUHPerdata tentang perikatan belum

mengalami perubahan. Hal ini terjadi karena Buku III

KUHPerdata mengenal sistem terbuka, artinya adalah orang-

orang boleh secara leluasa untuk membuat perikatan apa

saja, dengan syarat tidak melanggar ketertiban umum dan

/atau kesusilaan. Keleluasaan ini juga diperbolehkan untuk

mengenyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam

Buku III KUHPerdata tersebut. Dengan kata lain peraturan-

22
Harahap, op.cit., hal. 143.

20

Konsep novasi..., Dena Suryani, FH UI, 2007


peraturan yang ditetapkan dalam Buku III KUHPerdata ini

hanya disediakan dalam hal para pihak yang membuat

perikatan tidak membuat peraturan sendiri. Oleh karena itu,

ketentuan dalam Buku III KUHPerdata ini disebut sebagai

peraturan pelengkap (aanvullend recht).23

Pada dasarnya Buku III KUHPerdata terbagi dalam dua

bagian besar, yaitu bagian umum dan bagian khusus. Bagian

umum terdapat dalam Bab I sampai Bab V pasal 1233 sampai

dengan pasal 1456. Bab VI sampai Bab XVII dari pasal 1457

sampai dengan 1864 merupakan bagian khusus. Novasi sebagai

salah satu perbuatan yang tercantum dalam Buku III

KUHPerdata terdapat dalam Bab IV bagian tiga pasal 1413

sampai 1424. Bab IV ini mengatur secara umum mengenai

hapusnya perikatan. Pengaturan novasi dalam bab tersebut

dikarenakan novasi termasuk sebagai salah satu penyebab

hapusnya perikatan. Perbedaan novasi dengan hapusnya

perikatan lain adalah bahwa dalam novasi hapusnya perikatan

harus disertai dengan dibentuknya perikatan baru.

Pasal 1413 ayat (1) KUHPerdata menyatakan “perikatan

baru ... menggantikan yang lama ... yang dihapuskan”. Pasal

1413 ayat (2) dan (3) menyatakan tentang ” ... dibebaskan

23
Subekti, op.cit., hal. 109.

21
dari perikatannya”. Pasal 1421 menyinggung masalah ” ...

piutang baru yang menggantikannya ... ” dan seterusnya.

Kata menggantikan mengandung arti, bahwa perikatan

yang lama ”sengaja dihapuskan” dan sebagai gantinya

dibuatkan perjanjian baru yang melahirkan perikatan sebagai

ganti yang lama.24 ”Sengaja dihapuskan” berarti bahwa para

pihak memang menghendakinya atau dengan perkataan lain

bahwa novasi selalu diperjanjikan.

C. MACAM-MACAM NOVASI

Pembagian macam-macam novasi dapat dilihat dari pasal

1413 KUHPerdata. Dalam pasal ini disebutkan bahwa ada tiga

macam jalan untuk melaksanakan pembaharuan hutang, yaitu:25

1. apabila seseorang yang berhutang membuat suatu

perikatan hutang-piutang baru guna orang yang

menghutangkan padanya, yang menggantikan hutang

yang lama, yang dihapuskan karenanya.

24
L. C. Hofmann, Het Nederlands Verbintenissenrecht, Cet. Ke-4, (Groningen: J. B. Wolters,
1935), hal. 366.
25
Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H.Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,
(Bandung: Alumni, 1983), hal. 176.

22
2. apabila seorang berhutang baru yang ditunjuk untuk

menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si

berpiutang dibebaskan dari perikatannya.

3. apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru,

seorang berpiutang baru ditunjuk untuk

menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa

si berhutang dibebaskan dari perikatannya.

Dari uraian pasal 1413 tersebut, dapat ditarik

kesimpulan bahwa bentuk novasi yang diatur undang-undang

adalah mengenai perikatannya itu sendiri dan mengenai pihak

yang membuat perikatan tersebut. Novasi mengenai

perikatannya diatur dalam ayat (1) dan dinamakan novasi

obyektif. Sedangkan novasi mengenai pihak yang membuat

perikatan diatur dalam ayat (2) dan (3) dari pasal tersebut

yang disebut juga dengan novasi subyektif.

1. Novasi Obyektif

Novasi obyektif adalah suatu novasi dimana perikatan

yang lama diganti dengan perikatan yang baru, yang di

dalamnya mengandung suatu obyek perikatan yang lain.26

Pertama-tama yang perlu diperhatikan adalah bahwa perubahan

26
J. Satrio, op.cit., hal. 106.

23
yang dimaksud disini bukan perubahan atas benda berwujud

(stoffelijk voorwerp) yang menjadi objek hak (milik) atau

kewajiban, tetapi perubahan benda/zaak yang merupakan objek

perikatan. Dengan demikian ada kemungkinan terjadi

perubahan-perubahan yang lebih besar tanpa menjadikan

perikatannya berubah identitasnya (menjadi perikatan yang

lain), dibanding dengan perubahan pada benda/zaak sebagai

objek hak (milik). Hal ini disebabkan karena disatu pihak

hanya perubahan-perubahan yang disetujui oleh para pihak

atas dasar perjanjian dan dibenarkan oleh undang-undang

sajalah yang perlu diperhatikan, sedangkan dilain pihak,

hal itu disebabkan karena objek perikatan tidak memegang

peranan yang demikian menentukan terhadap identitas

perikatan dibandingkan dengan pengaruhnya terhadap

identitas suatu hak kebendaan. Sehingga disini dapat

ditolerir perubahan-perubahan yang cukup besar tanpa

perikatannya menjadi lain (berubah menjadi perikatan yang

lain/baru)27. Terhadap perikatan tersebut jika dibandingkan

dengan hak kebendaan, maka causa mempunyai pengaruh yang

lebih menentukan.

27
E. M. Meyers, Algemene leer van het Nederlands Burgelijkrecht, Jilid I, De Algemene
begrippen van het Burgelijkrecht, (Leiden: Universitaire pers, 1948), hal. 102-103.

24
Adapun yang dimaksud dengan objek perikatan disini

adalah bisa meliputi benda/zaak-nya maupun causa-nya.

Meyers mengelompokkan hal ini dengan cara yang lain. Ia

membedakan penggantian perikatan atas dasar objeknya, causa-

nya, dan subjeknya. Sedangkan yang dimaksud dengan

penggantian objek perikatan adalah penggantian apa atau

terhadap mana orang mempunyai hak dan kewajiban.28

Perumusan novasi obyektif seperti yang dikemukakan

Meyers mencakup bidang yang lebih luas, sehingga diluar

perubahan atas apakah ada novasi, kalau perubahan tersebut

mengenai ketepatan jangka waktu dalam perikatan. Demikian

pula jika ada segi lain dari benda, causa, dan subjek

perikatan yang berubah.

Pada novasi obyektif ini ada suatu perjanjian antara

dua pihak (tweepartijencontract), dimana kreditur dan

debitur yang asli menciptakan perjanjian baru antara

mereka.29 Novasi obyektif bisa terjadi jika kewajiban

debitur untuk melakukan suatu prestasi tertentu yang sudah

diperjanjikan, diganti dengan prestasi lain. Obyek

28
Meyers, Ibid., hal. 102.
29
Hartono Soerjopratiknjo, Hutang Piutang, Perjanjian-Perjanjian, Pembayaran, Dan
Jaminan Hipotik, (Yogyakarta, 1984), hal. 16.

25
peikatannya yang diganti bisa meliputi benda/zaaknya maupun

causanya.30

Sehingga dengan demikian novasi obyektif dapat terjadi

dengan:

a. Mengganti atau mengubah isi dari perikatan

Penggantian perikatan terjadi jika kewajiban debitur

atas suatu prestasi tertentu diganti dengan prestasi lain.

Misalnya, kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu

diganti dengan kewajiban untuk menyerahkan suatu barang

tertentu.

b. Mengubah sebab dari perikatan

Novasi obyektif yang meliputi penggantian sebab dari

perikatan adalah dengan mengganti atau mengubah hubungan

obligatoir yang melahirkan perikatannya.31 Sebagai contoh,

orang berhutang karena membeli sesuatu dan belum dapat

membayar harganya. Dalam hal ini penjual dapat mengadakan

perjanjian dengan pembeli, bahwa pembeli dapat membayarnya

satu bulan lagi, dengan membayar bunga. Dengan demikian

maka perjanjian jual beli diganti dengan perjanjian hutang

piutang.

30
J. Satrio, op.cit., hal. 109.
31
Hofmann, op.cit., hal. 368.

26
2. Novasi Subyektif

Dinamakan novasi subyektif karena yang diperbaharui

dalam perikatannya adalah subyek atau orangnya. Dasarnya

adalah pasal 1413 ayat (2) dan (3) KUHPerdata. Perikatan

yang lama antara kreditur dengan debitur lama menjadi hapus

dan sebagai gantinya ada perikatan baru antara kreditur

baru dengan debitur atau antara kreditur dengan debitur

baru. Jadi dalam novasi subyektif ini ada tiga pihak yang

terlibat.

Novasi subyektif dapat dibagi menjadi dua macam,

yaitu:

a.Novasi subyektif aktif

Pada novasi subyektif aktif, yang diganti adalah

krediturnya. Dalam peristiwa seperti ini tidak dapat

dihindarkan bahwa perjanjian perlu melibatkan tiga pihak,

yaitu kreditur lama, kreditur baru dan debitur. Hal itu

tidak berarti bahwa novasi subyektif aktif harus dituangkan

dalam suatu perjanjian. Yang penting adalah bahwa sesudah

ada perjanjian antara kreditur baru dengan kreditur lama,

debiturnya menyetujui, dengan demikian debitur tahu kemana

ia harus memberikan pelunasannya.

27
Dalam novasi yang seperti ini, perikatan yang lama

antara kreditur lama dengan debitur menjadi hapus dan

sebagai gantinya ada perikatan baru antara kreditur baru

dengan debitur.

Contoh: A (debitur) berhutang kepada B (kreditur) dan

kemudian C menggantikan kedudukan B sebagai

kreditur. Untuk itu dibuat perjanjian antara A, B,

dan C, sehingga hak untuk menagih beralih dari B

ke C, dan A dibebaskan dari kewajiban terhadap B.

b.Novasi Subyektif Pasif

Sesuai dengan ayat (2) pasal 1413 KUHPerdata, novasi

subyektif pasif adalah suatu novasi dengan penggantian

debitur. Penggantian debitur ini menyebabkan perikatan

antara debitur lama dengan kreditur menjadi hapus dan

diganti dengan perikatan antara debitur baru dengan

kreditur. Penggantian debitur lama ini dapat terjadi dengan

dua cara yaitu secara delegasi dan exprommissio.

i. Delegasi (Pemindahan)

KUHPerdata dalam pasal 1417 menyebutkan cara orang

mengadakan suatu novasi subyektif pasif adalah dimana

debitur menawarkan kepada krediturnya seorang debitur baru

yang bersedia untuk mengikatkan dirinya demi keuntungan

28
kreditur atau dengan perkataan lain bersedia untuk membayar

hutang-hutang debitur. Dari uraian pasal tersebut, maka

kita dapat menyimpulkan bahwa inisiatif novasi berasal dari

pihak debitur lama. Hal inilah yang disebut dengan delegasi

atau pemindahan.32

Dalam kasus seperti ini, novasi baru terjadi kalau

kreditur setelah menerima/menyetujui debitur yang baru

menyatakan dengan tegas bahwa ia membebaskan debitur lama

dari keterikatannya berdasarkan perikatan yang lama dari

kewajibannya berprestasi lebih lanjut terhadap kreditur.

Dengan perkataan lain, dengan hanya menerima penawaran

seorang debitur baru saja yang ditawarkan oleh debitur lama

belum terjadi novasi. Dalam peristiwa yang seperti ini

orang mengatakan ada novasi yang tidak selesai (onvolledige

novatie), atau novasi yang gagal, karena memang tidak

terjadi novasi.33 Akibat hukum yang muncul dari peristiwa

seperti itu adalah bahwa kreditur sekarang mempunyai

tambahan seorang debitur lagi yang dapat ditagih untuk

32
J. Satrio, op.cit., hal. 118.
33
Ibid.

29
memenuhi perikatan yang ada antara kreditur dengan

debitur.34

Ketentuan tersebut adalah logis, karena orang pada

umumnya mengadakan hubungan hukum dengan melihat kepada

debitur, apalagi dalam hal suatu tagihan. Nilai tagihan

tersebut bergantung sekali dari bonafiditas dan kemampuan

debitur. Kalau setiap orang boleh memaksakan kepada

kreditur untuk menerima orang lain menjadi pengganti

debitur, maka kehidupan masyarakat bisa menmjadi kacau.

Itulah sebabnya undang-undang mensyaratkan bahwa

novasi baru terjadi jika kreditur sesudah menerima

penawaran debitur baru menyatakan secara tegas bahwa ia

membebaskan debitur lama. Pernyataan “membebaskan debitur

dari keterikatannya pada perikatan lama terhadap kreditur”

dapat diartikan sebagai kehendak yang nyata-nyata dari

kreditur untuk menghapuskan perikatan lama dan menggantinya

dengan perikatan baru, dimana para pihaknya sekarang adalah

kreditur lama dengan debitur baru.

Pada delegasi/pemindahan ini, perjanjiannya melibatkan

tiga pihak, yaitu debitur baru mengikatkan diri kepada dan

diterima oleh kreditur, kemudian kreditur dengan debitur

34
Ibid., hal. 119.

30
lama sepakat untuk membebaskan debitur lama.35 Ciri yang

menunjukkan adanya novasi disini adalah bahwa penerimaan

debitur baru yang diikuti dengan pembebasan debitur lama,

menimbulkan perikatan baru antara kreditur dengan debitur

baru, yang sekaligus menghapuskan dan menggantikan

perikatan lama antara kreditur dengan debitur lama.

Gambar I

Penggantian Debitur Dengan Cara Delegasi

kreditur

debitur debitur baru

Di dalam peristiwa delegasi/pemindahan ini, undang-

undang tidak mensyaratkan bahwa antara debitur lama dengan

debitur baru harus ada suatu hubungan hukum (perikatan

tersendiri), walaupun pada umumnya memang ada. Tidak

menutup kemungkinan bahwa debitur baru karena ia adalah

35
Hofmaan, op.cit., hal. 370.

31

Konsep novasi..., Dena Suryani, FH UI, 2007


keluarga debitur lama yang lebih mampu, atau merasa pernah

berhutang budi, dengan sukarela menyediakan diri untuk

mengganti debitur lama memenuhi kewajibannya terhadap

kreditur.

ii. Exprommissio

Pada exprommissio juga terjadi penggantian subyek

debitur melalui suatu novasi. Exprommissio adalah suatu

penggantian debitur lama oleh debitur baru tanpa adanya

bantuan dari debitur lama dalam mencari debitur baru.

Inisiatif novasi berasal dari kreditur. Dalam hal ini

kreditur seakan-akan mencari dan menemukan orang yang mau

mengikatkan diri dengan kreditur untuk memenuhi kewajiban-

kewajiban debitur lama, dengan menghapus perikatan lama

yang ada antara debitur lama dengan kreditur. Dasar adanya

exprommissio adalah pasal 1416 KUHPerdata, yang menyatakan

bahwa pembaharuan hutang dengan penunjukkan seorang

berhutang baru untuk mengganti yang lama, dapat dijalankan

tanpa bantuan orang yang berhutang pertama.

32
Gambar II

Penggantian Debitur Dengan Cara Exprommissio

kreditur

debitur debitur baru

Dalam exprommissio tidak disyaratkan adanya hubungan

hukum antara debitur baru dengan debitur lama, walaupun hal

itu dimungkinkan. Pada kenyataannya, kebanyakan untuk

exprommissio ini ada hubungan antara debitur lama dengan

debitur baru. Meskipun hubungan antara kreditur dengan

debitur merupakan hubungan terpisah dari hubungan antara

kreditur dengan debitur baru, tetapi antara keduanya dalam

batas-batas tertentu ada hubungan satu sama lain, karena

hubungan yang satu diadakan dengan maksud untuk

menggantikan yang lain. Sehingga kalau perikatan antara

kreditur dengan debitur baru batal karena cacad, maka

perikatan yang lama antara kreditur dengan debitur lama

tidak menjadi hapus. Sebaliknya kalau perikatan antara

33
kreditur dengan debitur lama batal, maka perikatan yang

baru tidak mempunyai causa yang sah, dan oleh karena itu

menjadi batal, kecuali perikatan yang baru justru sekaligus

untuk memperbaiki kekurangan yang ada pada perikatan yang

lama.36

Dalam hal terjadi bahwa perikatan yang lama antara

kreditur dengan debitur lama tidak batal tetapi dapat

dibatalkan (karena ada kesesatan, paksaan, penipuan, atau

ketidakcakapan), maka adanya perikatan baru dapat terjadi

bila debitur baru melakukan prestasinya. Pembatalan

perikatan lama hanya dapat dilakukan oleh debitur lama,

sehingga apabila debitur baru melakukan prestasinya, maka

dianggap perikatan baru sebagai perikatan yang memperbaiki

perikatan lama.

Pasal 1416 KUHPerdata menyatakan exprommissio dapat

terjadi tanpa ikut sertanya debitur lama. Ketentuan seperti

itu adalah logis karena disini yang mencari debitur baru

adalah kreditur sendiri, dan pada umumnya orang merasa

senang (dalam hal ini adalah debitur lama) kalau ia

dibebaskan dari kewajiban pembayaran, sehingga untuk itu

tidak perlu dimintakan persetujuannya lebih dahulu. Pada

36
v. Brakel, op.cit., hal. 191.

34
prinsipnya suatu perikatan dapat dipenuhi oleh pihak

ketiga, bahkan kalau ia tidak mempunyai kepentingan untuk

itu, asalkan ia bertindak atas nama dan demi

pelunasan/pembebasan dari debitur (pasal 1382 KUHPerdata).

Dengan demikian pada exprommissio, novasi dapat terjadi

dengan perjanjian dua pihak saja, yaitu antara kreditur

dengan debitur baru.

Dari pasal-pasal yang mengatur tentang novasi

subyektif pasif, baik secara delegasi maupun exprommissio,

memang tidak disyaratkan adanya hubungan hukum tersendiri

antara debitur lama dengan debitur baru. Pada kenyataannya,

terutama pada delegasi, antara debitur lama dengan debitur

baru biasanya ada suatu hubungan tersendiri. Hubungan itu

dapat berupa hubungan keluarga ataupun hubungan perikatan

yang lain. Dalam hal antara debitur lama dengan debitur

baru ada hubungan perikatan yang lain, dapat menimbulkan

suatu bentuk novasi yang lain yang dikenal dengan istilah

novasi ganda (dubbele novatie).

Novasi ganda adalah bentuk novasi dimana kewajiban

debitur lama diganti oleh debitur baru karena debitur baru

mempunyai kewajiban kepada debitur lama. Untuk memperjelas

35
hal diatas, dapat dikemukakan ilustrasi sebagai berikut: A

(kreditur) mempunyai tagihan terhadap B (debitur). Dalam

hubungan perikatan lain, B berkedudukan sebagai kreditur

terhadap C. Hubungan antara mereka bertiga dapat

disederhanakan dengan novasi ganda, yaitu B menawarkan

kepada A seorang debitur baru yaitu C. Selain itu, B juga

menawarkan seorang kreditur baru kepada C yaitu A. Bilamana

A menyetujui dan membebaskan B dari segala kewajibannya

berdasarkan hubungan perikatan di antara mereka, maka telah

terjadi novasi secara delegasi. Secara langsung, novasi

subyektif aktif dimana B sebagai kreditur terhadap C

digantikan oleh A. Dalam hal seperti inilah yang dimaksud

dengan novasi ganda.37

D. PIHAK YANG TERLIBAT DALAM NOVASI

Untuk mengetahui pihak yang terlibat dalam novasi,

maka kita harus kembali melihat macam-macam bentuk novasi.

Novasi obyektif tidak melibatkan pihak lain dalam perikatan

barunya. Perikatan baru hanya terjadi antara debitur dengan

kreditur yang terlibat pada perikatan lama, karena yang

diubah hanyalah menyangkut perikatannya. Adanya novasi

37
J. Satrio, op.cit., hal. 121.

36
obyektif hanya memungkinkan terjadinya perbedaan prestasi

yang harus dilakukan. Seperti pada contoh dalam pembahasan

novasi obyektif, prestasi yang harus dilaksanakan oleh

debitur berbeda. Demikian pula kontra-prestasi yang harus

dilaksanakan oleh kreditur dapat pula berbeda.

Berbeda dengan novasi obyektif, dalam novasi subyektif

maka pihak yang terlibat minimal harus ada tiga. Antara

novasi subyektif pasif dan novasi subyektif aktif yang

membedakannya terletak pada pihak baru dalam perikatan baru

(novasi).

1. Pihak Dalam Novasi Subyektif aktif

Dalam novasi subyektif aktif, pihak barunya adalah

kreditur baru. Jadi berdasarkan pasal 1413 ayat (3)

susunannya adalah kreditur lama, kreditur baru, dan

debitur.

a. Debitur adalah orang yang meminjam uang dari

kreditur dan oleh karena itu ia mempunyai

kewajiban untuk mengembalikan uang dengan bunganya

pada waktu yang sudah ditentukan kepada kreditur.

b. Kreditur lama adalah orang yang berhak menerima

prestasi dari debitur yaitu pelunasan hutang

37
dengan bunganya, dan karena sesuatu hal ia

mengalihkan hak menerima prestasi tersebut kepada

kreditur baru. Tapi dalam hal ini ia harus

mendapat persetujuan dari pihak debitur.

c. Kreditur baru adalah orang yang ditunjuk oleh

kreditur lama untuk menerima prestasi-prestasi

dari debitur. Tapi hal ini harus terlebih dahulu

disetujui oleh debitur. Dengan demikian hak untuk

menerima prestasi dihapuskan pada kreditur lama

dan dialihkan pada kreditur baru (pasal 1420

KUHPerdata).

2. Pihak Dalam Novasi Subyektif pasif

Dalam pasal 1412 KUHPerdata ayat (2) menyatakan bahwa

ada tiga pihak yang terlibat dalam novasi subyektif pasif

ini yaitu kreditur, debitur lama, dan debitur baru. Jadi

pihak baru disini adalah debitur.

a. Debitur lama adalah orang yang berhutang pada

kreditur dan dengan adanya novasi ia menunjuk

seseorang yang akan menggantikan kedudukannya

untuk melaksanakan kewajibannya terhadap kreditur

yaitu untuk menanggung atau melunasi hutang.

38
b. Debitur baru adalah orang yang ditunjuk oleh

debitur lama untuk menanggung atau melunasi hutang-

hutangnya pada kreditur. Penunjukkan debitur ini

haruslah disetujui oleh kreditur dan dengan

demikian debitur lama dibebaskan dari kewajibannya

seperti yang terdapat dalam perikatan yang lama

(pasal 1420 KUHPerdata).

c. Kreditur adalah pihak yang meminjamkan uang kepada

debitur dan oleh karenanya ia berhak untuk

menerima prestasi yaitu pelunasan hutang dari

debitur pada waktu yang sudah ditentukan

sebagaimana tercantum dalam perikatan antara kedua

belah pihak. Dengan adanya novasi yaitu pengalihan

kewajiban debitur lama kepada debitur baru, maka

kreditur berhak menerima prestasi dari debitur

baru dan dengan demikian ia pun membebaskan

kewajiban debitur lama terhadapnya.

E. SYARAT-SYARAT SAH NOVASI

Ada beberapa persyaratan pokok yang harus dipenuhi

apabila kreditur dan debitur setuju untuk menyelesaikan

hutang piutangnya dengan menggunakan lembaga novasi.

39
Sebagai suatu hubungan perikatan, maka novasi secara umum

harus memenuhi semua syarat sah suatu perikatan sesuai

dengan ketentuan dari pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1320

KUHPerdata menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian

harus memenuhi empat syarat, yaitu:

1. Sepakat Untuk Mengikatkan Dirinya

Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan bahwa kata sepakat

sah apabila diberikan tanpa kekhilafan, paksaan, atau

penipuan. Apabila suatu perikatan mengandung salah satu

dari hal tersebut, maka menurut pasal 1454 KUHPerdata

terhadap perikatan itu dapat dimintakan pembatalan sampai

jangka waktu lima tahun kemudian.

Maksud kekhilafan dalam suatu perikatan dapat terjadi

dalam dua kemungkinan yaitu kekeliruan terhadap orang atau

subyek hukum dan kekeliruan terhadap barang atau obyek

hukum.38 Suatu paksaan dapat terjadi terhadap badan (fisik),

paksaan terhadap jiwa (psikis), dan paksaan yang dilarang

oleh undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan penipuan

38
Marhainis Abdul Hay, Hukum Perdata Materiil, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1984), hal. 40.

40
adalah apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan

keterangan yang tidak benar.39

2. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan

Syarat ini berkaitan dengan pasal 1329 dan pasal 1330

KUHPerdata. Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap

orang adalah cakap melakukan perikatan, kecuali orang yang

dinyatakan undang-undang sebagai tidak cakap. Siapa-siapa

subyek yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap

terdapat dalam pasal 1330 KUHPerdata, yaitu:

i. orang yang belum dewasa

ii. mereka yang dibawah pengampuang (curatele)

iii. perempuan yang sedang mempunyai suami

Kedewasaan seseorang dalam hukum perdata dikaitkan

dengan usia orang tersebut. Pasal 330 KUHPerdata menyatakan

bahwa orang yang belum dewasa adalah mereka-mereka yang

belum menikah atau orang yang belum berumur 21 tahun.

Mengenai ketidakcakapan karena dibawah pengampuan

diterapkan pada orang yang sudah dewasa menurut umur tapi

39
Ibid.

41
dianggap tidak mampu melakukan perbuatan hukum karena

pemabuk, gila, atau boros.

Terhadap ketidakcakapan yang menyangkut wanita yang

sedang bersuami, pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan (UUP) telah mencabut ketentuan tersebut.

Berdasarkan pasal 31 UUP, seorang istri mempunyai kedudukan

yang sejajar dengan suaminya, sehingga ia cakap melakukan

perbuatan hukum. Konsepsi ini berbeda dengan konsepsi

KUHPerdata yang meletakan kedudukan istri di bawah

kedudukan suami.

Jadi ketidakcakapan menurut pasal 1330 KUHPerdata yang

berlaku sekarang ini di Indonesia hanyalah menyangkut orang

yang belum dewasa dan orang yang berada di bawah pengampuan

saja.

3. Suatu Hal Tertentu

Yang dimaksud dengan hal tertentu ini adalah obyek

hukum atau mengenai bendanya.40 Menurut pasal 1332

KUHPerdata, yang dapat menjadi pokok persetujuan hanyalah

barang-barang yang dapat diperdagangkan saja. Barang-barang

40
Ibid., hal. 44.

42
tersebut paling sedikit harus dapat ditentukan jenisnya,

sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 1333 KUHPerdata.

4. Suatu Sebab Yang Halal

Mengenai sebab yang halal bagi suatu perikatan,

pengaturannya terdapat pada pasal 1335 sampai dengan pasal

1337 KUHPerdata. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa

sebab yang halal adalah sebab yang tidak palsu dan tidak

terlarang. Penjelasan mengenai tidak terlarang dijabarkan

oleh pasal 1337 KUHPerdata, yaitu suatu terlarang apabila

dilarang oleh hukum, bertentangan dengan kesusilaan, dan

bertentangan dengan ketertiban.

Syarat pertama dan kedua disebut syarat subyektif,

yaitu syarat mengenai orang atau subyek hukumnya. Sedangkan

syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif, yaitu

syarat mengenai benda atau obyek hukumnya. Bilamana syarat

subyektif tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian dapat

dituntut suatu pembatalan. Sedangkan apabila yang tidak

terpenuhi adalah syarat obyektif, maka itu adalah batal

demi hukum.

43
Begitu juga dengan novasi. Dalam hal novasi mengandung

cacat syarat subyektif perjanjiannya, maka novasi itu dapat

dibatalkan. Demikian pula jika novasi sebagai suatu

perikatan akan batal demi hukum apabila novasi tersebut

melanggar syarat obyektif perikatan. Jika hal ini terjadi,

maka perikatan lama akan berlaku kembali.

Namun apabila yang cacat hukumnya itu adalah perikatan

lama, maka dapat terjadi dua kemungkinan. Kemungkinan

pertama, bila perikatan lama batal demi hukum, maka novasi

pun batal demi hukum, karena tidak ada suatu sebab yang

halal yang menyebabkan novasi. Dalam keadaan ini perikatan

lama merupakan sebab adanya perikatan baru. Kemungkinan

kedua, bila perikatan lama dapat dibatalkan karena

melanggar syarat subyektif, maka novasi bisa batal tetapi

bisa juga sah. Novasi batal apabila debitur sebelum

pelaksanaan perikatan baru karena novasi menuntut

pembatalan. Tetapi bilamana debitur telah melakukan

kewajiban sebagaimana diatur dalam perikatan baru, maka

pembatalan perikatan lama tidak dapat dilakukan karena

perikatan baru dapat dianggap meniadakan dan memperbaiki

perikatan lama.

44
Selain harus memenuhi syarat-syarat sah mengenai

perjanjian ini secara umum, maka suatu novasi secara khusus

juga harus memenuhi syarat-syarat:

1. Kecakapan Melakukan Perbuatan Hukum

Pasal 1414 KUHPerdata menentukan bahwa novasi hanya

dapat terjadi antara orang yang cakap membuat perikatan.

Sebenarnya syarat ini hanya menunjuk pada syarat-syarat

umum tentang sahnya perikatan, yaitu mengenai para

pihaknya. Novasi adalah suatu perjanjian yang menyebabkan

hapusnya suatu perikatan dan pada saat yang bersamaan

timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti

perikatan semula. Oleh karena itu novasi juga harus

memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 1320

KUHPerdata yaitu tentang syarat sahnya suatu perjanjian

pada umumnya, yang mana khusus mengenai para pihaknya

ditegaskan kembali dalam pasal 1414 KUHPerdata yuang

mengatur tentang novasi, yaitu novasi diadakan oleh orang

yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

45
2. Harus Dinyatakan Secara Tegas Oleh Para Pihak

Menurut pasal 1415 KUHPerdata ditentukan syarat novasi

yang kedua yaitu bahwa kehendak mengadakan novasi harus

ternyata tegas dari perbuatan hukum para pihak. Dengan kata

lain bahwa novasi tidak dipersangkakan. Jadi dari

perjanjian harus jelas bahwa para pihak menghendaki novasi

dan lebih baik dimuat kata “novasi” dalam perjanjiannya.

Jika tidak tegas-tegas dikehendaki novasi, maka dapat

timbul keraguan. Perubahan dalam hubungan para pihak harus

demikian penting sehingga tidak mungkin kehendak untuk

mengadakan novasi itu dielakkan oleh yang lain.

F. BENTUK DAN CARA PEMBUATAN NOVASI

Undang-undang tidak menentukan secara tegas mengenai

bagaimana cara pembuatan dan bentuk suatu novasi. Hal ini

berarti secara teoritis novasi dapat dilakukan baik secara

lisan maupun dengan tulisan.

Dalam pasal 1415 KUHPerdata dijelaskan bahwa pembuatan

suatu novasi tidak dapat dipersangkakan atau disimpulkan

saja, tetapi harus jelas dari tindakan atau perbuatan para

pihak. Jadi para pihak harus aktif, dimana yang satu

mengusulkan dan pihak yang lain menyetujui diadakannya

46
novasi tersebut. Namun tindakan atau perbuatan para pihak

tadi tidak disebutkan harus lisan atau tertulis. Walaupun

demikian sebaiknya dalam praktek novasi dibuat secara

notariil. Hal ini bertujuan agar tidak ada keraguan

dikemudian hari dan juga dapat dipertanggungjawabkan secara

hukum.

G. AKIBAT HUKUM SUATU NOVASI

Novasi atau pembaharuan hutang adalah perjanjian baru

yang menggantikan perjanjian lama. Adanya novasi berakibat

pada dua hal, yaitu terhadap perjanjian lama dan terhadap

para pihak yang terlibat dalam novasi.

1. Akibat Novasi Terhadap Perjanjian Lama

Akibat bagi perikatan lama sudah jelas, yaitu

perikatan tersebut menjadi hapus dan digantikan oleh

perikatan yang baru. Hapusnya perikatan lama juga menghapus

perikatan accessoir yang melekat pada perikatan tersebut.

Pasal 1421 KUHPerdata menyebutkan bahwa segala hak istimewa

dan hipotik (sebagai perjanjian accessoir) yang melekat

pada perikatan lama tidak berpindah pada perikatan yang

47
baru, kecuali kalau hal itu diperjanjikan dalam perikatan

yang baru.

2. Akibat Novasi Terhadap Para Pihak

Bagi para pihak, akibat adanya novasi bermacam-macam,

tergantung dari bentuk novasinya.

a. Dalam novasi subyektif pasif

i. Dalam hal novasi subyektif pasif, maka kreditur

hanya dapat menuntut prestasikepada debitur

baru, dan debitur lama dibebaskan dari

kewajibannya. Keadaan ini berlaku pula bila

debitur baru ternyata jatuh pailit atau tidak

mampu memenuhi kewajibannya (pasal 1418

KUHPerdata). Resiko yang diletakkan pada kreditur

dengan pertimbangan bahwa seorang kreditur dalam

menerima debitur baru sudah mempertimbangkan

kemampuan dari debitur baru tersebut. Tetapi

terhadap ketentuan ini undang-undang memberikan

pengecualian yaitu dalam hal debitur baru pailit

atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya, maka

debitur lama tetap bertanggung jawab. Jadi ada

suatu garansi dari debitur lama. Hak tagih

48
terhadap debitur lama bukan atas dasar perikatan

lama, tetapi berdasarkan suatu perjanjian

garansi. Perkecualian lain yang diberikan undang-

undang adalah bilamana pada saat suatu novasi

dilakukan secara delegasi, debitur baru sudah

dalam keadaan pailit atau keadaan kekayaannya

merosot. Meskipun hal ini mungkin terjadi secara

teori, namun sangat jarang dan kalaupun terjadi

adalah sangat tidak wajar, karena kreditur akan

selalu menilai kemampuan calon debiturnya

terlebih dahulu.

ii. Menurut pasal 1418 KUHPerdata, debitur lama tidak

dapat dituntut lagi oleh kreditur karena sudah

dibebaskan dari perikatannya, kecuali jika hak

penuntutan itu secara tegas dipertahankan.

iii. Debitur lama dibebaskan dari segala perikatannya

dengan kreditur apabila terjadi penggantian

debitur lama oleh debitur baru secara penunjukan.

Sedangkan hak-hak hipotik yang semula mengikuti

hutang lama tidak secara otomatis membebani

barang-barang debitur baru (pasal 1422

KUHPerdata).

49
iv. Debitur-debitur lainnya dapat dibebaskan

kewajibannya dalam perikatan hutang piutang jika

novasi diadakan antara kreditur dengan salah satu

dari para debitur yang terikat secara tanggung

menanggung (pasal 1424 KUHPerdata).

v. Debitur baru akan menyelesaikan segala kewajiban

yang menjadi tanggung jawab debitur lama.

Kewajiban-kewajiban itu antara lain adalah

pembayaran hutang pokok, hutang bunga, denda

bunga, dan biaya-biaya lain yang telah disepakati

bersama sebelumnya. Dengan adanya pengakuan

hutang dari debitur baru kepada kreditur, maka

pihak kreditur akan memberikan pembebasan kepada

debitur lama mengenai hutang yang telah

dibuatnya. Dengan adanya pengakuan hutang debitur

baru kepada kreditur, maka hutang debitur lama

kepada kreditur menjadi hapus atau musnah.

b. Dalam novasi subyektif aktif

i. Jika ada penggantian kreditur lama oleh kreditur

baru, maka debitur yang mengikatkan dirinya

kepada kreditur baru dibebaskan dari segala

perikatannya dari kreditur lama.

50
ii. Terhadap kreditur baru, debitur tidak dapat

mengajukan tuntutan-tuntutan (tangkisan-

tangkisan) yang sebenarnya hanya dapat diajukan

khususnya terhadap kreditur lama, sekalipun

mengenai hal tersebut tidak diketahuinya sewaktu

membuat perjanjian baru. Namun demikian, hal

tersebut tidak menutup kemungkinan bagi debitur

untuk menuntut kreditur lama (pasal 1419

KUHPerdata).

H. PERBEDAAN NOVASI DENGAN SUBROGASI DAN CESSIE

Dalam hal novasi dimana terjadi penggantian kreditur

atau yang disebut dengan novasi subyektif aktif, terdapat

perjanjian tiga pihak yang mirip dengan subrogasi yang

diatur dalam pasal 1400 sampai pasal 1403 KUHPerdata dan

cessie yang diatur dalam pasal 613 KUHPerdata.

1. Perbedaan Novasi Dengan Subrogasi

Menurut pasal 1400 KUHPerdata, yang dimaksud dengan

subrogasi adalah penggantian hak-hak si berpiutang

(kreditur) terhadap diri si berhutang (debitur) oleh

seorang pihak ketiga yang membayar kepada si berpiutang

51
(kreditur) itu. Dengan terjadinya subrogasi, maka piutang

dengan hak-hak accessoirnya beralih kepada pihak ketiga

yang menggantikan kedudukan kreditur (pasal 1401 ayat 1

KUHPerdata).

Subrogasi dapat terjadi karena persetujuan atau karena

penetapan undang-undang (pasal 1400 KUHPerdata). Subrogasi

karena persetujuan ini dapat terjadi antara kreditur dengan

pihak ketiga atau antara debitur dengan pihak ketiga.

Subrogasi ini harus dilakukan dengan tegas dan bersamaan

dengan pembayaran. Subrogasi juga dapat terjadi jika

debitur meminjam uang dari pihak ketiga untuk dibayarkan

kepada kreditur, dengan janji bahwa pihak ketiga akan

menggantikan kedudukan kreditur tersebut.41

Dengan demikian terdapat perbedaan besar antara novasi

dengan subrogasi, yaitu:

a. Pada novasi, perikatan aslinya lenyap dan

digantikan dengan perikatan baru yang

ditempatkan sebagai pengganti perikatan

semula. Sedangkan pada subrogasi, perikatan

aslinya tetap ada, hanya ada subyek lain

yang masuk ke dalam perikatan.

41
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1987), hal. 112.

52
b. Novasi terjadi dengan persetujuan pihak-

pihak yang bersangkutan, jadi dengan

perjanjian. Sedangkan subrogasi terjadi

karena penetapan undang-undang dan

perjanjian.

c. Novasi timbul karena perubahan-perubahan

dalam perjanjian, sedangkan subrogasi timbul

karena pembayaran.

d. Novasi dapat disimpulkan dari perbuatan para

pihak (pasal 1415 KUHPerdata), sedangkan

subrogasi dilakukan secara tegas dalam

perjanjian (pasal 1401 ayat 2 KUHPerdata).

e. Dalam novasi, hak accessoir yang berupa

pembebanan-pembebanan hipotik pada umumnya

tidak berpindah (pasal 1421 KUHPerdata).

Sedangkan pada subrogasi, semua hak dan

hipotik dalam perjanjian itu ikut berpindah

pada kreditur baru.

2. Perbedaan Novasi Dengan Cessie

Hak-hak piutang oleh hukum dipandang sebagai benda

bergerak yang dapat dijual kepada orang lain. Pemindahan

53
hak piutang itu dinamakan “cessie” yang sebetulnya

merupakan penggantian kreditur lama, yang dalam hal ini

dinamakan “cedent”, dengan seorang kreditur baru, yang

dalam hal ini dinamakan “cessionaris”.

Menurut pasal 613 ayat 1 KUHPerdata, pemindahan itu

harus dilakukan dengan akta otentik (notaris) atau akta di

bawah tangan. Jadi tidak boleh secara lisan ataupun dengan

penyerahan surat piutangnya saja.

Penggantian kreditur yang terjadi karena cessie itu

lahir tanpa campur tangan dari pihak debitur, hanya saja

cessie itu harus diberitahukan kepada debitur secara resmi

atau tertulis, disetujui dan diakuinya (pasal 613 ayat 2

KUHPerdata).

Hak piutang dianggap telah berpindah pada waktu cessie

itu dibuat, jadi tidak pada waktu akta cessie tersebut

diberitahukan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa cessie

itu adalah suatu macam “levering” guna pemenuhan jaminan

hukum berhubung dengan adanya suatu perjanjian.42

Yang diperlukan dalam cessie adalah:

i. Akta cessie

42
H. A. Chalik dan Marhainis Abdul Hay, Beberapa Segi Hukum Di Bidang Perkreditan,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), hal. 115.

54
ii. Penyerahan surat-surat piutangnya

iii. Endosemen seperlunya pada surat-surat piutang

tersebut

Dengan demikian, maka antara novasi dengan cessie

terdapat perbedaan sebagai berikut.

a. Pada novasi, perikatan aslinya lenyap dan

diganti dengan perikatan baru yang

ditempatkan sebagai pengganti perikatan

semula. Sedangkan pada cessie, perikatan

aslinya tetap ada, hanya ada subyek lain yang

masuk ke dalam perikatan.

b. Novasi dapat terjadi secara lisan atau

tertulis, sedangkan cessie harus tertulis,

yaitu dengan akta otentik maupun di bawah

tangan.

c. Dalam novasi, hak accessoir yang berupa

pembebanan-pembebanan hipotik pada umumnya

tidak berpindah (pasal 1421 KUHPerdata).

Sedangkan pada cessie, semua hak dan hipotik

dalam perjanjian itu ikut berpindah pada

kreditur baru.

55
d. Novasi memerlukan debitur turut serta dalam

menentukannya, sedangkan dalam cessie tidak,

cukup dengan pemberitahuan saja.

56
BAB III

TINJAUAN UMUM MENGENAI KARTU KREDIT

A. SEJARAH KARTU KREDIT

Sejarah memang tidak mungkin dilupakan. Maka apabila

kita melihat pada sejarah, bentuk transaksi yang paling tua

adalah bentuk tukar menukar atau barter. Model transaksi

barter ini sudah ada sejak zaman dahulu, karena model

transaksi inilah yang paling simpel untuk dilakukan. Tanpa

perlu suatu alat bayar apapun. Kemudian ketika manusia

mengenal alat bayar dalam bentuk uang, maka mulailah

berkembang transaksi jual beli.

Akan tetapi, ternyata uang sebagai alat bayarpun tidak

cukup aman bagi pemegangnya. Hal ini dikarenakan baik

karena tidak praktis, ataupun karena sering terjadi

perampokan atau kehilangan tanpa tersedia upaya pengamanan

yang berarti. Maka kemudian berkembanglah bentuk-bentuk

alat bayar lain seperti kartu kredit salah satunya.

57
Walaupun eksistensi kartu kredit tidak dimaksudkan

untuk menghapus secara total sistem pembayaran dengan

menggunakan uang tunai atau pun cek, tetapi terutama untuk

kegiatan pembayaran yang sehari-hari dengan jumlah

pembayaran tingkat menengah, maka keberadaan kartu kredit

sesungguhnya dapat menggeser peranan uang tunai ataupun

cek.43 Untuk pembayaran yang bukan tingkat menengah, memang

penggunaan kartu kredit masih belum populer. Hal ini

dikarenakan untuk transaksi kecil, orang cenderung

menggunakan uang cash. Sementara untuk transaksi yang besar

pilihannya jatuh pada alat bayar cek ataupun surat-surat

berharga lainnya.

Di Amerika Serikat, kartu kredit pertama sekali

dipergunakan dalam dekade 1920-an, yang diberikan oleh

Departement-Departement Store besar kepada para

pelanggannya.44 Tujuannya untuk mengidentifikasi

pelanggannya yang ingin berbelanja tetapi dengan pembayaran

bulanan. Oleh karena itu, kartu kredit seperti ini

berbentuk kartu pembayaran lunas (charge card), yang

43
Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan (Dalam Teori Dan Praktek), (Bandung: PT. Citra
44
Ronald A. Baker, “Problems of Credit Card Regulations AUS Prespective”, dalam
Newsletter No. 6 Tahun 1994, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 1994), hal. 1.

58
dibayar bulanan setelah ditagih dan tanpa kewajiban

membayar bunga. Jadi para pihaknya hanya dua pihak saja,

yaitu pihak pertama adalah toko sebagai penerbit, sedangkan

pihak kedua adalah pelanggan sebagai pemegang kartu kredit.

Diawal dasawarsa 1950-an, Dinner’s Club (USA) mulai

memperkenalkan kartu kredit tiga pihak yang mempunyai

hubungan hukum segitiga antara penerbit, pemegang kartu

kredit dan penjual barang/jasa, yang dibeli dengan memakai

kartu kredit tersebut.45 Setelah Dinner’s Club ini, lembaga-

lembaga lain yang menerbitkan kartu kredit adalah American

Express Company dalam tahun 1958 dan Hilton Credit

Corporation dalam tahun 1959.46

Selanjutnya diakhir dasawarsa 1950-an itu juga, Bank

of America menjadi pionir dengan memperkenalkan kartu

kredit “antarbank”, yang kemudian berkembang menjadi apa

yang sekarang dikenal dengan kartu kredit “VISA”. Demikian

juga yang dilakukan oleh Chase Manhattan Bank. Dalam tahun

1951, The First National Bank Long Island juga telah

45
Fuady, op.cit., hal. 173.
46
Ibid.

59
mengeluarkan kartu kreditnya. Sedangkan Barclays Bank di

Inggris memperkenalkan kartu kreditnya di tahun 1966.47

Dalam hal kartu kredit seperti VISA tersebut misalnya,

bukan hanya dipergunakan oleh satu bank saja, tetapi

dipergunakan secara bersama oleh beberapa bank dengan

sistem franchise. Fungsi bank-bank tersebut dapat berupa

(1) penerbit kartu kredit, atau dapat juga berupa (2) bank

perantara bayar (Collection Bank), yakni yang bertugas

untuk menerima slip penjualan dari penjual barang/jasa, dan

membayarnya kepada penjual tersebut, serta meneruskan slip

penjualan kepada bank penerbit untuk mendapat pembayaran

kembali, dan (3) dapat juga suatu bank bertindak sekaligus

sebagai bank penerbit dan bank perantara bayar.48

Demikianlah, maka akhirnya berkembanglah berbagai

macam kartu kredit dan menerobos tapal batas negara,

seiring dengan arus globalisasi. Perkembangan yang pesat

terhadap pemakaian kartu kredit tersebut tidak terkecuali

juga di Indonesia.

Sejak diperkenalkan di Indonesia mulai tahun 1980-an

oleh bank-bank tertentu, perkembangan penggunaan kartu

47
Ibid.
48
Ibid.

60

Konsep novasi..., Dena Suryani, FH UI, 2007


kredit boleh dikatakan sangat pesat. Perkembangan tersebut

sebenarnya didorong oleh berbagai faktor yang berkenaan

dengan penggunaan kartu kredit itu sendiri, antara lain

faktor keamanan, kemudahan, kepraktisan, dan prestise

(harga diri) pemegang kartu.49 Disamping itu, pemegang kartu

dipandang sebagai orang yang bonafid karena semua transaksi

jual beli barang/jasa dengan pihak penjual yang ditunjuk

oleh penerbit dijamin lancar dan memuaskan. Oleh karena

semakin pesat dan populernya perkembangan kartu kredit

kini, maka masyarakat lapisan menengah dan atas sudah

menganggap hal ini sebagai hal yang biasa.

Dalam perkembangan kartu kredit di Indonesia, Citybank

dan Bank Duta cukup berperan mempelopori penggunaan kartu

kredit dengan menerbitkan Visa Card dan Master Card, yang

kemudian diikuti oleh bank-bank lainnya sebagai penerbit.50

Selain dari Visa Card dan Master Card, jenis kartu kredit

yang telah beredar dan dapat digunakan oleh masyarakat

sebagai alat pembayaran saat ini adalah Amex Card,

International Dinners, BCA Card, Astra Card, Procard, Duta

Card, Kassa Card. Kartu kredit tersebut diterbitkan oleh

49
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, op.cit., hal. 265.
50
Ibid.

61

Konsep novasi..., Dena Suryani, FH UI, 2007


Bank Umum melalui prosedur yang diatur oleh Bank Indonesia.

Sedangkan Perusahaan Pembiayaan yang menerbitkan kartu

kredit harus dengan izin dari Departemen Keuangan. Kartu

kredit yang diterbitkan oleh Perusahaan Pembiayaan antara

lain adalah Dinners Card yang diterbitkan oleh PT. Diners

Jaya Indonesia Inrenasional, Kassa Card diterbitkan oleh

PT. Kassa Multifinance.51

B. PENGERTIAN KARTU KREDIT DAN UNSUR-UNSURNYA

1. Pengertian Kartu Kredit

Secara harfiah kartu kredit terdiri dari dua kata

yaitu kartu dan kredit. Masing-masingnya mempunyai

pengertian dan arti yang berbeda. Kartu adalah kertas tebal

yang tidak berapa besar biasanya persegi panjang/untuk

berbagai keperluan.52 Sedangkan kredit/credit berasal dari

bahasa Romawi “Credere” yang mempunyai arti “percaya”,

diadopsi masyarakat sebagai membeli atau menjual secara

angsuran.53 Meskipun demikian Purwodarminto memberi arti

51
Ibid.
52
Sri Redjeki Hartono, Penulisan Karya Ilmiah Tentang Aspek Hukum Penggunaan Kartu
Kredit, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1995), hal. 35.
53
Ibid.

62
kredit sebagai menjual/membeli barang dengan tiada membayar

tunai.54

Meskipun hingga saat ini belum ada definisi yang baku

mengenai kartu kredit, namun dari berbagai pendapat yang

diberikan oleh para ahli dapat dilihat beberapa persamaan.

Persamaan itu terletak pada adanya tiga pihak yang terlibat

dalam penerbitan dan penggunaan kartu kredit tersebut,

yaitu penerbit, pemegang kartu, dan pedagang (merchant).

Adapun beberapa kutipan definisi yang diberikan oleh para

ahli adalah sebagai berikut.

1. Menurut Thomas Russel

Kartu kredit (bank) bukanlah legal instrument untuk


transaksi seperti halnya uang atau cek, melainkan
suatu physical symbol dari suatu legal relationship
yang melibatkan tiga pihak (three party legal
relationship), dimana salah satu dari ketiga pihak
tersebut adalah bank sebagai penerbit kartu.55

2. Menurut Tony Dury dan Charles W. Ferrier

Credit cards is an instruments of payment which


enables the cardholder to obtain either goods or
services from merchant where arrangements have been
made (directly or indirectly) by the card issuer in
accordance with the terms of the particular scheme in

54
Ibid.
55
Thomas Russel, The Economics of Bank Credit Cards, (New York : Praeger Publishers, inc,
1975), hal. 1.

63
certain instances credit cards may be used to obtain
cash.56

3. Menurut David M. Walker

Kartu kredit adalah:


A small card issued to a person, containing a means
identification such as photograph or specimen
signature, enabling him to obtain goods and services
on credit and charge those obtained to his account
which he must settle perodically.57

4. Menurut Michaer Zender, Hakim Agung Inggris

Credit cards enable one to buy goods or services, or


to obtain money, on deffered credit terms. At the end
of the month the cardholders receives a statement
showing how much is due. The usual terms are that one
must pay the amount shown by the twentyfifth of the
month following in order to avoid interest charge.58

5. Menurut Imam Prayogo Suryohadibroto dan Prakoso

Kartu kredit adalah: suatu jenis alat pembayaran


sebagai pengganti uang tunai dimana kita sewaktu-waktu
dapat menukarkan apa saja yang kita inginkan yaitu
ditempat dimana saja ada bank/perusahaan yang
mengeluarkan atau dapat juga menguangkan pada bank
yang mengeluarkan atau pada cabang bank yang
mengeluarkan.59

6. Menurut The New Encyclopedia Britanica

Kartu kredit adalah:


56
Tony Dury & Charles W. Ferrier, Credit Cards, (London : Butterworths, 1984), page xii.
57
David M. Walker, The Oxford Companion To Law, (London: 1980), page 313.
58
Michael Zender, Guide To Law, (London: Pelhamsbooks, 1979), page 160.
59
Imam Prayogo Suryohadibroto dan Djoko Prakoso, Surat Berharga, (Jakarta: Rineka Group,
1991), hal. 355.

64
A small card containing a means of identification,
such as a signature or picture that authorized the
person named on it to charge goods or services to his
account, on which he is billed periodically.60

7. Menurut Dahlan Siamat

Kartu kredit atau credit card adalah jenis kartu yang


dapat digunakan sebagai alat pembayaran transaksi jual
beli barang/jasa dimana pelunasan atau pembayarannya
kembali dapat dilakukan dengan sekaligus atau dengan
cara mencicil sejumlah minimal tertentu.61

Jika ditinjau dari istilah yuridis, khusus dari hukum

perbankan istilah kredit sebagai istilah teknis perbankan

mengandung pengertian sebagai berikut:

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat


dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjaman-pinjaman antara bank dengan pihak
lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah
bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.62

Jadi kartu kredit yang terdiri dari dua kata yang

tidak sama dan tidak sepadan serta berbeda arti sama

sekali, apabila digabung menjadi kata majemuk menghasilkan

60
The New Encyclopedia Britanica, 15th edition, volume 3, page 722.
61
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta: Intermedia, 1995), hal. 257.
62
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perbankan, UU No. 7 Tahun 1992, LN No. tahun 1992.

65
pengertian yang khas yaitu sebagai salah satu jenis alat

pembayaran.

Kartu Kredit adalah alat pembayaran melalui jasa


Bank/Perusahaan Pembiayaan dalam transaksi jual beli
barang/jasa, atau alat untuk menarik uang tunai dari
Bank/Perusahaan Pembiayaan.63

Alat pembayaran tersebut diterbitkan berdasarkan

perjanjian penerbitan kartu kredit. Kartu kredit sebenarnya

tidak mutlak berkenaan dengan pembayaran secara kredit,

melainkan penundaan pembayaran beberapa waktu karena

pencairan dana pembayaran oleh penjual dilakukan melalui

Bank/Perusahaan Pembiayaan sebagai penerbit.

Penggunaan istilah kartu kredit merupakan terjemahan

dari bahasa Inggris Credit Card. Disamping itu, istilah

kartu kredit menunjukkan cara pembayaran yang tidak

menggunakan uang tunai (fresh money) walaupun transaksinya

dilakukan secara tunai.

Sebagai kartu identitas (Identity Card), pada kartu

kredit dicantumkan identitas pemegang kartu dan identitas

Bank/Perusahaan Pembiayaan selaku penerbitnya. Pemegang

63
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, op.cit., hal. 263.

66
kartu harus menandatangani di bagian belakang kartu pada

saan menerima kartu tersebut. Ini berarti pemegang kartu

setuju mengikatkan diri dan tunduk pada ketentuan-ketentuan

dan persyaratan yang terdapat dalam perjanjian penerbitan

kartu kredit, dan tidak boleh dipindahtangankan.

Adapun bentuk fisik dari kartu kredit mencantumkan:

a. Keterangan tentang badan hukum (perusahaan dan atau

bank) yang menerbitkan kartu kredit.

Keterangan ini penting karena ada pedagang yang

mengadakan perjanjian hanya dengan perusahaan

penerbit tertentu saja. Bagi penerbit sendiri

pencantuman ini juga berarti sebagai sarana promosi.

b. Nama dan tandatangan pemegang kartu.

Pencantuman nama dan tandatangan penting karena hanya

orang yang nama dan tandatangannya yang tercantum

dalam kartu kredit tersebut saja yang dapat

menggunakan kartu ini. Artinya kartu kredit tidak

dapat dipindahtangankan (untransferable).

c. Nomor urut kartu kredit.

Nomor urut kartu kredit berfungsi untuk mengetahui

berapa kartu kredit yang sudah dikeluarkan oleh

penerbit dan sebagai salah satu alat keamanan bagi

67
penerbit (dalam menerbitkan daftar hitam yang

disebarkan pada para pedagang).

d. Masa berlaku kartu kredit.

Pencantuman masa berlaku pada kartu kredit adalah

agar pedagang dapat mengetahui apakah kartu tersebut

masih berlaku (valid).

2. Unsur-Unsur Kartu Kredit

Berdasarkan definisi dan uraian yang telah dikemukakan

sebelumnya, maka dapat dipahami dan dirinci unsur-unsur

kartu kredit sebagai produk hukum dari transaksi penerbitan

kartu kredit dan transaksi penggunaan kartu kredit sebagai

berikut.

a. Subyek Kartu Kredit

Subyek kartu kredit adalah pihak-pihak yang terlibat

dalam transaksi penggunaan kartu kredit. Pihak-pihak

tersebut terdiri dari pemegang kartu (card holder) sebagai

pembeli, pengusaha dagang (merchant) sebagai penjual, dan

bank/perusahaan pembiayaan sebagai penerbit (issuer).

68
b. Obyek Kartu Kredit

Obyek kartu kredit adalah barang/jasa yang

diperdagangkan (merchandise) oleh pengusaha dagang sebagai

penjual, harga yang dibayar oleh pemegang kartu sebagai

pembeli, dan dokumen jual beli (sale document) yang terbit

dari transaksi jual beli.

c. Peristiwa Kartu Kredit

Peristiwa kartu kredit adalah perbuatan hukum (legal

act) yang menciptakan penerbitan kartu kredit antara

pemegang kartu dan penerbit. Disamping itu, perbuatan hukum

yang menciptakan perjanjian penggunaan kartu kredit antara

pemegang kartu sebagai pembeli, pengusaha dagang sebagai

penjual, dan bank/perusahaan pembiayaan sebagai penerbit.

d. Hubungan Kartu Kredit

Dalam perjanjian penerbitan kartu kredit timbul

hubungan kewajiban dan hak. Pemegang kartu wajib

menyetorkan dana kepada penerbit, dan penerbir wajib

menerbitkan dan menyerahkan kartu kredit kepada pemegang

kartu. Dalam perjanjian pengguanaan kartu kredit, pemegang

kartu wajib membayar harga barang/jasa kepada penjual

69
dengan cara menunjukkan kartu kredit dan menandatangani

tanda lunas pembayaran, penjual wajib menyerahkan

barang/jasa kepada pemegang kartu sebagai pembeli, dan

penerbit wajib membayar kepada penjual yang menyodorkan

tanda lunas pembayaran yang ditandatangani oleh pemegang

kartu.

e. Jaminan Kartu Kredit

Jaminan (security) bagi penerbit didasarkan pada

perjanjian penerbitan kartu kredit. Pemegang kartu adalah

orang yang dapat dipercaya oleh penerbit dan wajib mematuhi

ketentuan dan persyaratan perjanjian, secara berkala

pemegang kartu membayar tagihan yang disampaikan oleh

penerbit. Kepercayaan dan pembayaran tagihan adalah jaminan

bagi penerbit untuk membayar harga barang/jasa yang ditagih

oleh penjual.

C. DASAR HUKUM KARTU KREDIT

Pendekatan pemanfaatan kartu kredit tidak hanya

dilakukan dari segi kebutuhan ekonomi saja, melainkan juga

harus didukung oleh pendekatan hukum (legal approach),

sehingga diakui dan berlaku dalam hubungan hukum bisnis.

70
Kartu kredit merupakan salah satu bentuk kegiatan ekonomi

di bidang usaha pembiayaan yang bersumber dari berbagai

ketentuan hukum, baik perjanjian maupun perundang-undangan.

Perjanjian adalah sumber utama hukum kartu kredit dari segi

perdata, sedangkan perundang-undangan adalah sumber utama

hukum kartu kredit dari segi publik.

Pranata hukum kartu kredit di Indonesia dimulai sejak

diumumkannya Paket Kebijaksanaan 20 Desember 1988 (Pakdes

20, 1988) dengan pengaturan pertama kali dalam Keputusan

Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan dan

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251 Tahun 1988 tentang

Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.64

Pengaturan tersebut merupakan tonggak sejarah perkembangan

hukum kartu kredit di Indonesia.

1. Segi Hukum Perdata

Pada setiap kegiatan usaha pembiayaan, termasuk juga

kartu kredit, inisiatif mengadakan hubungan kontraktual

berasal dari para pihak terutama konsumen sebagai pembeli.

Dengan demikian, kehendak para pihak tersebut dituangkan

dalam bentuk tertulis berupa rumusan perjanjian yang

64
Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Lembaga Pembiayaan, Kepres No. 61 tahun 1988,
LN No. 53 tahun 1988, ps. 7.

71
menetapkan kewajiban dan hak masing-masing pihak dalam

hubungan penerbitan dan penggunaan kartu kredit. Dalam

perundang-undangan juga diatur mengenai kewajiban dan hak

para pihak dan hanya akan berlaku sepanjang para pihak yang

bersangkutan tidak menentukan lain secara khusus dalam

kontrak yang dibuat. Dengan demikian ada dua sumber hukum

perdata yang mendasari kartu kredit, yaitu asas kebebasan

berkontrak dan perundang-undangan di bidang hukum perdata.

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan hukum perjanjian dapat diklasifikasikan

menjadi dua jenis yaitu asas kebebasan berjanji dalam arti

yang luas (secara lisan dan tertulis) dan asas kebebasan

berkontrak dalam arti yang sempit (hanya secara tertulis).

Hubungan hukum kartu kredit selalu dibuat tertulis sebagai

dokumen hukum yang menjadi dasar kepastian hukum (legal

certainty). Dalam hubungan hukum kartu kredit selalu

terdapat dua perjanjian, yaitu perjanjian penerbitan kartu

kredit dan perjanjian penggunaan kartu kredit. Kedua

perjanjian tersebut dibuat berdasarkan asas kebebasan

berkontrak.

72
Perjanjian penerbitan kartu kredit adalah persetujuan

bilateral antara bank/perusahaan pembiayaan sebagai

penerbit dan pemegang kartu sebagai pihak peminjam uang.

Sebelum terjadi persetujuan, calon pemegang kartu

mempelajari lebih dahulu syarat-syarat yang berlaku

terhadap kartu kredit. Apabila syarat-syarat tersebut

disetujui, maka calon pemegang kartu mengajukan permohonan

untuk menjadi pemegang kartu kredit. Penerbit yang

menganggap calon pemegang kartu telah memenuhi kriteria

yang ditentukan memberitahukan persetujuan atas

permohonannya disertai penyerahan kartu kredit. Dengan

demikian, telah terjadi perjanjian penerbitan kartu kredit

dan mengikat secara sah.

Perjanjian penggunaan kartu kredit adalah persetujuan

segitiga antara pemegang kartu sebagai pembeli, perusahan

sebagai penjual, dan penerbit sebagai pembayar. Dalam

perjanjian tersebut disetujui oleh para pihak, bahwa

pemegang kartu yang membeli barang/jasa hanya menggunakan

kartu kredit dan menandatangani surat tanda pembelian yang

disodorkan oleh penjual. Penjual dengan menunjukkan surat

tanda pembelian yang ditandatangani pemegang kartu

melakukan penagihan kepada penerbit. Penerbit berdasarkan

73
perjanjian penerbitan kartu kredit membayar kepada penjual,

sebagai pengembaliannya penerbit melakukan penagihan kepada

pemegang kartu sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.

Perjanjian penerbitan kartu kredit adalah perjanjian

pokok, sedangkan perjanjian penggunaan kartu kredit adalah

perjanjian pelengkap (accessoir). Artinya pembeli tidak

akan dapat memperoleh barang/jasa dari penjual tanpa kartu

kredit yang diterbitkan oleh pihak penerbit berdasarkan

perjanjian penerbitan kartu kredit. Penjual tidak akan

dapat memperoleh pembayaran dari penerbit tanpa surat tanda

pembelian yang ditandatangani pemegang kartu berdasarkan

perjanjian penerbitan kartu kredit. Dengan demikian, kartu

kredit merupakan sumber terjadinya jual beli dan

pembayaran.

Perjanjian penerbitan dan penggunaan kartu kredit

merupakan dokumen hukum utama (main legal document) dibuat

secara sah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam

pasal 1320 KUHPerdata. Akibat hukum perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

bank/perusahaan pembiayaan sebagai penerbit, pemegang kartu

sebagai pembeli, dan perusahaan dagang sebagai penjual

(pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata). Konsekuensi yuridis

74
selanjutnya harus dilaksanakan dengan itikad baik (in good

faith) dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak

(unilateral unvoidable). Perjanjian penerbitan dan

penggunaan kartu kredit berfungsi sebagai dokumen bukti

yang sah. Disamping itu, perjanjian tersebut juga berfungsi

melengkapi dan sekaligus memperkaya hukum perdata tertulis.

b. Undang-Undang Bidang Hukum Perdata

Selain ketentuan tentang asas kebebasan berkontrak,

ada juga ketentuan-ketentuan dalam berbagai undang-undang

di luar KUHPerdata yang mengatur aspek perdata perjanjian

penerbitan dan penggunaan kartu kredit. Undang-undang yang

dimaksud adalah sebagai berikut.

i. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Badan

Usaha Milik Negara dan peraturan pelaksanaannya.65

Berlakunya undang-undang ini apabila perusahaan

kartu kredit berbentuk perusahaan perseroan

(persero).

ii. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang

Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya.66

65
Indonesia, Undang-Undang Tentang Badan Usaha Milik Negara, UU No. 9 tahun 1969,
LN No. 40 tahun 1969, TLN No. 2904.

75
Berlakunya undang-undang ini apabila perusahaan

kartu kredit berbentuk perseroan terbatas (PT).

iii. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria dan peraturan

pelaksanaannya.67 Berlakunya undang-undang ini

apabila perusahaan kartu kredit mengadakan

perjanjian mengenai hak-hak atas tanah.

iv. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.68 Berlakunya undang-undang

ini apabila perusahaan kartu kredit melanggar

kewajiban dan larangan yang secara perdata

merugikan konsumen.

2. Segi Hukum Publik

Sebagai usaha yang bergerak di bidang jasa pembiayaan,

kartu kredit juga banyak menyangkut kepentingan publik

(negara/pemerintah) terutama yang bersifat administratif.

66
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas, UU No. 1 tahun 1995, LN No. 13
tahun 1995, TLN No. 3587.
67
Indonesia, Undang-Undang Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria, UU No. 5 tahun
1960, LN No. 104 tahun 1960, TLN No. 2043.
68
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 tahun 1999, LN No.
42 tahun 1999, TLN No. 3821.

76
Oleh karena itu, kepentingan publik banyak diatur dalam

berbagai peraturan perundang-undangan administrasi negara.

a. Undang-Undang Bidang Hukum Publik

i. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib

Daftar Perusahaan dan peraturan pelaksanaannya.69

Berlakunya undang-undang ini karena perusahaan

kartu kredit melakukan pendaftaran, pendaftaran

ulang, dan pendaftaran likuidasi perusahaan.

ii. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta

peraturan pelaksananya.70 Berlakunya undang-undang

ini karena perusahaan kartu kredit wajib membayar

pajak bumi dan bangunan, penghasilan, pertambahan

nilai dan jenis pajak lainnya.

iii. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen

Perusahaan.71 Berlakunya undang-undang ini karena

69
Indonesia, Undang-Undang Tentang Wajib Daftar Perusahaan, UU No. 3 tahun 1992.
70
Indonesia, Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No.
16 tahun 2000, LN No. 126 tahun 2000, TLN No. 3984.
71
Indonesia, Undang-Undang Tentang Dokumen Perusahaan, UU No. 8 tahun 1997, LN No.
18 tahun 1997, TLN No. 3674.

77
perusahaan kartu kredit wajib melaksanakan

pembukuan dan pemeliharaan dokumen perusahaan.

iv. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.72

Berlakunya undang-undang ini apabila perusahaan

kartu kredit adalah bank atau berurusan dengan

bank.

b. Peraturan Tentang Lembaga Pembiayaan

Peraturan tentang lembaga pembiayaan mengatur bidang

usaha, pendirian dan perizinan, modal usaha, kepemilikan

saham, pembatasan kegiatan usaha pengawasan dan pembinaan,

sanksi karena pelanggaran.

i. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 198873

Keputusan Presiden ini mengatur tentang lembaga

pembiayaan. Dalam keputusan presiden tersebut

yaitu pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa kartu

kredit merupakan salah satu jenis usaha dari

lembaga pembiayaan yang berbentuk perusahaan

kartu kredit. Sementara dalam pasal 1 ayat (7)

72
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perbankan, UU No. 10 tahun 1998 .
73
Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Lembaga Pembiayaan, Kepres No. 61 tahun 1988,
LN No. 53 tahun 1988.

78
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perusahaan

kartu kredit adalah badan usaha yang melakukan

usaha pembiayaan dalam rangka pembelian

barang/jasa dengan mempergunakan kartu kredit.

Selanjutnya menurut pasal 3 dari Keppres No. 61

ini, yang dapat melakukan kegiatan pembiayaan

tersebut termasuk kegiatan kartu kredit adalah:

Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank, dan Perusahaan

Pembiayaan.

ii. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251 Tahun 198874

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251 Tahun 1988

mengatur tentang Ketentuan dan Tata Cara

Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Kemudian

keputusan tersebut diubah dan disempurnakan oleh

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 468 Tahun 1995.

Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa lembaga

pembiayaan melakukan kegiatan yang meliputi

antara lain usaha kartu kredit (pasal 2).

Kegiatan usaha kartu kredit dilakukan dalam

bentuk penyediaan dana bagi pemegang kartu untuk

74
Departemen Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan Tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, Kepmen Keuangan No. 1251/KMK. 013/1998.

79
pembelian barang yang pembayarannya dilakukan

dengan menggunakan kartu kredit.

D.PARA PIHAK YANG TERLIBAT DALAM HUBUNGAN HUKUM DENGAN

KARTU KREDIT

Pihak pihak dalam hubungan kartu kredit adalah subyek

yang berperan dalam hubungan hukum penerbitan dan

penggunaan kartu kredit. Dengan demikian para pihak yang

terlibat dalam hubungan dengan kartu kredit adalah sebagai

berikut.

1. Pihak Penerbit (Issuer)

Penerbit kartu kredit adalah bank/perusahaan

pembiayaan sebagai pihak dalam perjanjian penerbitan kartu

kredit.75 Apabila penerbit itu Bank Umum, maka dia harus

mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Apabila penerbit itu Perusahaan Pembiayaan, dia harus

terlebih dahulu memperoleh izin dari Departemen Keuangan.

75
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, op.cit., hal. 269.

80
2. Pihak Pemegang Kartu Kredit (Card Holder)

Pemegang kartu adalah orang perseorangan sebagai pihak

dalam perjanjian penerbitan kartu kredit, yang telah

memenuhi syarat dan prosedur yang ditetapkan oleh penerbit,

sehingga dia berhak menggunakan kartu kredit dalam

transaksi jual beli barang/jasa, atau dalam penarikan uang

tunai dari pihak penerbit.76 Syarat pokok yang wajib

dipenuhi oleh pemegang kartu adalah jumlah minimum

penghasilan dalam setahun.

Pemegang kartu terdiri dari pemegang kartu utama

(Basic Card Holder) dan pemegang kartu suplemen

(Supplementary Card Holder) yang biasanya adalah anggota

keluarga yang menjadi tanggungan pemegang kartu utama.

Pemegang kartu utama bertanggung jawab atas tagihan

terhadap pemegang kartu suplemen. Pemegang kartu wajib

mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh penerbit

dalam melakukan transaksi yang menggunakan kartu kredit dan

bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkannya.

76
Ibid., hal. 268.

81
3. Pihak Penjual Barang/Jasa (Merchant)

Penjual adalah pengusaha dagang (merchant) yang

ditunjuk oleh pihak penerbit berdasarkan perjanjian

penggunaan kartu kredit, seperti pengusaha supermarket,

restoran, hotel, travel bureu, perusahaan pengangkutan.77

Penjual merupakan pihak dalam perjanjian penggunaan kartu

kredit yang berhak menerima pembayaran dari penerbit

berdasarkan surat tanda pembelian yang ditunjukkan

kepadanya.

4. Pihak Perantara

Perantara adalah pihak pengelola penggunaan kartu

kredit dalam hal penagihan antara penjual dan penerbit dan

pembayaran antara pemegang kartu dan penerbit.78 Pihak

perantara ini terdiri dari perantara penagihan (antara

penjual dan penerbit), dan perantara pembayaran (antara

pemegang kartu dan penerbit).79

Pihak perantara penagihan antara penjual dan penerbit

yang disebut juga dengan acquirer, adalah pihak yang

77
Ibid., hal. 270.
78
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, op.cit., hal. 271.
79
Fuady, op.cit., hal. 177.

82
meneruskan tagihan kepada penerbit berdasarkan tagihan yang

masuk kepadanya yang diberikan oleh penjual barang/jasa.80

Pihak perantara penagihan inilah yang melakukan pembayaran

kepada pihak penjual tersebut. Apabila pihak perantara

penagihan ini terpisah dari pihak penerbit, maka seperti

juga tagihan perantara penagihan tersebut kepada penerbit,

maka jumlah yang harus dibayar kepada penjual pun terkena

pemotongan komisi oleh pihak perantara.

Selanjutnya yang dimaksud dengan perantara pembayaran

antara pihak pemegnag kartu dengan pihak penerbit adalah

bank-bank dimana pembayaran kredit/harga dilakukan oleh

pemilik kartu kredit.81 Bank-bank ini kemudian akan

mengirimkan uang pembayaran tersebut kepada penerbit. Pihak

perantara pembayaran ini berkedudukan dan mempunyai hak dan

kewajiban yang sama saja seperti pemberian jasa pengiriman

uang lainnya yang biasa dilakukannya. Dalam hal ini bank

perantara ini akan mendapatkan bayaran berupa fee tertentu.

80
Ibid.
81
Ibid.

83
E. KLASIFIKASI KARTU KREDIT

Sebagai dampak dari semakin pesatnya perkembangan

ekonomi dan ditambah dengan kreativitas dari penjual jasa

kartu kredit, maka yang namanya kartu kredit itu banyak

macam ragamnya. Pada dasarnya kartu kredit itu dapat

diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu pertama

berdasarkan fungsinya, dan yang kedua berdasarkan wilayah

berlakunya.

1. Kartu Kerdit Berdasarkan Fungsinya

Ditinjau dari kriteria fungsinya, maka kartu kredit

dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu credit card dan

charge card. Keduanya akan diuraikan satu demi satu.

a. Credit Card

Ini adalah jenis kartu kredit yang dapat digunakan

sebagai alat pembayaran transaksi jual beli barang/jasa.

Pembayaran oleh pemegang kartu kepada penerbit dapat

dilakukan sekaligus atau dengan cicilan sejumlah minimum

tertentu. Apabila pembayaran dilakukan dengan cicilan, maka

jumlah cicilan tersebut dihitung dari nilai saldo tagihan

ditambah bungan bulanan. Jadi mirip dengan mencicil kredit

84
pada bank. Tagihan bulan yang lalu termasuk bunga adalah

pokok pinjaman bulan berikutnya.

Pembayaran harus sudah dilakukan paling lambat pada

tanggal jatuh tempo setiap bulan yang telah ditetapkan oleh

penerbit. Keterlambatan pembayaran mengakibatkan pengenaan

denda (late charge). Credit card dapat digunakan pula untuk

menarik uang tunai, baik langsung melalui meja kasir bank

(bank counter) pada kantor bank yang bersangkutan maupun

melalui Auto Teller Machine (ATM) yang berlogo atau namanya

sama dengan kartu kredit yang dimiliki. Kartu kredit jenis

ini yang paling banyak digunakan adalah Visa Card dan

Master Card.

b. Charge Card

Ini adalah jenis kartu kredit yang dapat digunakan

sebagai alat pembayaran transaksi jual beli barang/jasa.

Pemegang kartu harus membayar seluruh tagihan secara penuh

pada akhir bulan atau bulan berikutnya dengan atau tanpa

beban biaya tambahan. Oleh karena itu, kartu kredit ini

disebut juga kartu pembayaran penuh/lunas pada tanggal

jatuh tempo, yang memiliki sifat penundaan pembayaran. Jika

85
tidak dibayar penuh, pemegang kartu akan dibebani denda

(charge).

Charge card ini kurang populer jika dibandingkan

dengan credit card, hal ini mungkin disebabkan karena

pembayaran kredit secara penuh pada tanggal jatuh tempo itu

dirasakan lebih berat ditambah pula dengan ancaman denda.

Namun penggunaannya tidak jauh berbeda dengan credit card.

Dimana charge card ini juga dapat dipergunakan sebagai alat

bayar, jika hendak membeli sesuatu barang/jasa tertentu,

dengan prosedur yang sama dengan credit card, antara lain

dengan menandatangani slip yang disodorkan oleh penjual

barang/jasa.

Bedanya dengan credit card hanya pada cara

pembayarannya oleh pihak pemegangnya. Dengan sistem charge

card, sesuai dengan namanya maka pihak pemegang kartu

tersebut akan melakukan pembayaran seluruh transaksi yang

dibuatnya pada saat ditagih oleh penerbitnya. Jadi tidak

dibayar secara cicilan. Sehingga dengan penggunaan charge

card ini yang terjadi sebenarnya hanyalah penundaan

pembayaran. Yakni tidak dilakukan pada saat pembelian

barang/jasa kepada pihak penjual, tetapi pada saat ditagih

oleh penerbit kartu tersebut. Sehingga pihak pemegang kartu

86
dalam melakukan pembelian barang/jasa, dengan demikian

tidak perlu membawa uang tunai kemana-mana untuk

berbelanja. Adapun contoh charge card yang telah digunakan

di Indonesia adalah BCA Card, Hero Master, Dinners Club.

2. Kartu Kredit Berdasarkan Wilayah Berlakunya

Ditinjau dari kriteria wilayah berlakunya, maka kartu

kredit dibedakan menjadi dua macam, yaitu Kartu Kredit

Nasional (lokal) dan Kartu Kredit Internasional.

a. Kartu Kredit Nasional

Ini adalah jenis kartu kredit yang hanya berlaku dan

digunakan sebagai alat pembayaran di suatu wilayah negara

tertentu saja, misalnya wilayah Indonesia. Kartu kredit

yang demikian tidak mempunyai jaringan operasi

internasional. Contohnya adalah BCA Card, Kassa Card.

Karena pesatnya perkembangan penggunaan kartu kredit, maka

beberapa perusahaan pengecer (retail company) menerbitkan

kartu kredit sendiri guna memberi pelayanan yang lebih

aman, mudah, dan praktis kepada nasabahnya. Contohnya

adalah Hero, Astra Card, Golden Truly, Garuda Executive

Card.

87
b. Kartu Kredit Internasional

Ini adalah jenis kartu kredit yang berlaku dan

digunakan sebagai alat pembayaran internasional atau manca

negara. Kartu kredit internasional ini dimaksudkan sebagai

kartu kredit yang penggunaannya dapat dilakukan di mana

saja tanpa terikat dengan batas antar negara. Kartu kredit

internasional atau mancanegara yang paling dikenal adalah

Visa Card dan Master Card. Dua kartu ini paling banyak

digunakan dan memiliki jaringan kerja antarbenua. Kedua

kartu tersebut masing-masing telah dikuasai oleh pemegang

kartu yang tersebar dikota-kota seluruh dunia dan dapat

digunakan untuk melakukan transaksi hampir di semua kota.

Selain dari Visa Card dan Master Card, ada lagi jenis

kartu kredit internasional yang banyak digunakan, yaitu

Dinners Club, American Express. Visa Card dimiliki oleh

perusahaan kartu Visa International. Jaringan kerja dan

penggunaannya didasarkan pada lisensi dari Visa

International dengan sistem franchise. Sedangkan Master

Card dimiliki oleh perusahaan kartu Master Card

International. Kartu Dinners Club dimiliki oleh perusahaan

kartu Citicorp. Jaringan kerjanya dilakukan dengan

mendirikan subsidiary atau dengan sistem franchise. Kartu

88
kredit American Express dimiliki oleh perusahaan kartu

American Express Travel Related Services Incorporated.

Jaringan kerjanya dilakukan dengan mendirikan subsidiary.

American Express pada dasarnya adalah Charge Card.

Selain itu kartu kredit juga dapat dibedakan

berdasarkan afiliasinya, yaitu:

1. Co-Branding card

Diterbitkan atas kerjasama antara pengelola kartu dengan

beberapa bank.

2. Affinity card

Jenis kartu yang dipergunakan oleh golongan masyarakat

tertentu. Misalnya: Beauty card, yaitu kartu khusus bagi

wanita yang dikeluarkan oleh Bank Bali.

F. MEKANISME TRANSAKSI DENGAN KARTU KREDIT

Mekanisme atau tata kerja kartu kredit pada dasarnya

dimulai dengan suatu hubungan hukum antara penerbit dengan

calon pemegang kartu kredit. Hubungan antara penerbit

dengan pemegang kartu kredit diawali dengan

permohonan/permintaan calon pemegang menjadi pemegang

kartu. Permintaan tersebut sebenarnya dimulai dengan adanya

89
penawaran kartu kredit tentang fasilitas tertentu dengan

mempergunakan kartu kredit produknya masing-masing.

Apabila penawaran dari perusahaan kartu kredit atau

bank penerbit kartu kredit yang ditawarkan disambut dan

dapat diterima dan diminati oleh calon pemegang kartu

kredit, maka yang bersangkutan mengajukan permintaan

sebagai calon pemegang kartu. Apabila permintaan memenuhi

syarat dan dapat diterima oleh penerbit, maka terjadi kata

sepakat yang merupakan awal dari hubungan hukum antara

perusahaan penerbit kartu kredit dengan pemegang kartu

kredit. Kata sepakat tersebut akan menjadi dasar terjadinya

perjanjian.

Perusahaan kartu kredit sebagaimana perusahaan lain,

dalam rangka memperluas pangsa pasar membina hubungan dan

kerjasama dengan berbagai jenis perusahaan yang mempunyai

potensi dan peluang besar untuk berhubungan dengan konsumen

secara langsung. Perusahaan atau jenis usaha yang mempunyai

bidang usaha yang berhubungan langsung dengan konsumen,

merupakan mitra yang efektif dan dapat memperlancar usaha

kartu kredit. Hubungan dan kerjasama antara perusahaan

penerbit/bank penerbit kartu kredit dengan perusahaan lain

(merchant) dijalin dengan sangat erat berdasarkan suatu

90
perjanjian yang saling menguntungkan. Pihak yang bersedia

mengadakan kerjasama dengan perusahaan kartu kredit,

setelah diadakan perjanjian terjalin hubungan hukum yang

pada umumnya akan berjalan dalam rentang waktu yang relatif

lama.

Kegiatan operasional perusahaan kartu kredit maupun

pemegang kartu kredit dan terhadap relasinya yang lain

termasuk merchant membutuhkan legalitas tertentu.

Legalisasi usaha kartu kredit ada di bawah Departemen

Keuangan.

Mekanisme berlakunya kartu kredit oleh pemegang kartu

sebagai alat bayar kepada merchant diawali oleh suatu

prosedur menjadi pemegang kartu kredit pada salah satu

perusahaan/bank penerbit kartu kredit.

Tahap selanjutnya adalah tahap pemanfaatan kartu

kredit pada tempat-tempat yang telah ditunjuk. Pemegang

kartu kredit yang akan melakukan pembayaran dengan kartu

kredit cukup memperlihatkan kartunya, yang akan diperiksa

oleh petugas pembayaran yang bersangkutan mengenai beberapa

hal sebagai berikut dengan prosedur:82

82
Hartono, op.cit., hal. 53-54.

91
a. Meneliti masa berlakunya kartu kredit yang

bersangkutan, apakah masih berlaku atau sudah

kadaluwarsa. Apabila ternyata kartu kredit itu

sudah tidak berlaku lagi, maka kasir akan

menolaknya

b. Jika kartu kredit masih berlaku, maka kasir akan

memeriksa daftar hitam (black list) yang

terakhir, yang dikirimkan oleh bank penerbit

secara berkala. Pemeriksaan daftar hitam ini

untuk mengetahui apakah nomor kartu kredit yang

bersangkutan ada di dalam kartu hitam, yang

berarti kartu kredit tersebut merupakan kartu

yang dilaporkan hilang oleh pemiliknya atau

diduga telah dipalsukan. Bila nomor kartu

terdapat dalam daftar hitam, maka kasir akan

menolaknya

c. Setelah nyata bahwa kartu kredit tersebut tidak

terdaftar dalam daftar hitam, kasir kemudian

meletakkan kartu di atas alat imprinter beserta

faktur rangkap tiga untuk di-print.

d. Kemudian kasir tersebut mendorong pegangan

imprinter sekali ke kanan dan sekali ke kiri,

92
sehingga data pemegang kartu dan pihak penerima

tercetak jelas di atas faktur rangkap tiga

tersebut.

e. Sesudah itu kasir yang bersangkutan akan mengisi

atau menuliskan tanggal transaksi dan jumlah

transaksi dalam faktur

f. Bila jumlah pembayaran transaksi melebihi batas

pembelian, maka kasir terlebih dahulu akan

menghubungi pihak penerbit untuk meminta

persetujuan. Andaikata bank penerbit menyetujui,

maka nomor otorisasi harus ditulis dalam faktur

g. Barulah kemudian kasir mempersilahkan pemegang

kartu untuk menandatangani faktur, tanpa

diperbolehkan melihat tandatangan yang tertera

pada kartu kredit. Kasir akan mencocokkan apakah

tandatangan tersebut sama dengan tandatangan yang

tertera pada kartu kredit

h. Faktur rangkap tiga akan dipisahkan, lembaran

pertama bagi merchant (pihak penerima

pembayaran), lembaran kedua bagi pemegang kartu

dan lembaran ketiga disimpan, yang kemudian akan

93
dikirimkan kepada bank penerbit untuk melakukan

penagihan

Beberapa hari kemudian pihak penerima pembayaran akan

mengirim penagihan rekening dilampiri dengan faktur

pembayaran tersebut kepada perusahaan/bank penerbit.

Sekitar satu atau dua minggu kemudian tagihan baru dapat

dicairkan. Sebelum tagihan dibayarkan, bank penerbit akan

memotong 3% sampai dengan 7% dari jumlah keseluruhan,

sebagai komisi.

Bank penerbit akan mengirimkan rekening penagihan ke

alamat pemegang kartu sekitar permulaan tiap bulan. Tagihan

yang tercantum dalam rekening tersebut harus dibayar

selambat-lambatnya pada tanggal jatuh tempo dari setiap

bulan penagihan.

94
Sebagai gambaran berikut ini disajikan skema tentang

mekanisme sebagai berikut.

Gambar III

Mekanisme Transaksi Menggunakan Kartu Kredit

Perusahaan/Bank Penerbit

Barang/Jasa
Pemegang Kartu Kredit Tempat-tempat yang bersedia menerima kartu kredit/

Kartu Kredit

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka dapat dikatakan

bahwa kartu kredit itu sebenarnya merupakan kartu yang

95
berfungsi sebagai media untuk memperoleh kredit, karena

barang/jasa yang diinginkan sudah langsung dapat diperoleh

dan dinikmati, sedangkan pembayarannya baru dilakukan

beberapa waktu kemudian. Meskipun kartu kredit merupakan

sarana pemberian fasilitas kredit, namun hal tersebut

tidaklah dilakukan berdasarkan akta otentik, melainkan

cukup dengan akta bawah tangan.

G. MANFAAT KARTU KREDIT BAGI PARA PIHAK YANG TERKAIT DENGAN

KARTU KREDIT

Kartu kredit yang bentuk fisiknya hanya berupa kartu

yang dibuat dari bahan sejenis plastik, sehingga disebut

sebagai “uang plastik” mengandung berbagai manfaat bagi

semua pihak. Secara umum pembayaran dengan memanfaatkan

menggunakan kartu kredit dapat mengurangi peredaran uang

kartal di dalam masyarakat. Disamping itu bagi para pihak,

kartu kredit dianggap bermanfaat dan praktis serta secara

tidak langsung dapat menekan berbagai hal yang kurang

diinginkan antara lain mengurangi peredaran uang dan

mencegah tindak kejahatan yang mungkin terjadi, misalnya

pencurian dan sebagainya.

96
Secara lebih luas lagi, di dalam suatu rangkaian

jaringan pemasaran barang/jasa atas berbagai jenis produk,

pemanfaatan/pemakaian kartu kredit mempunyai peran yang

sangat besar. Hal ini dikarenakan dengan menggunakan kartu

kredit dapat meningkatkan volume jumlah barang/jasa yang

dapat terjual karena faktor psikologis pemegang kartu.

Jadi secara langsung maupun tidak langsung pemanfaatan

kartu kredit sangat besar artinya bagi kegiatan ekonomi

pada umumnya serta memberi peluang yang sangat besar juga

bagi semua pihak dalam rangka kegiatan ekonomi dan

distribusi barang/jasa.

1. Manfaat Bagi Pihak Pemegang Kartu

Bagi pihak pemegang kartu, manfaat yang dapat

diperoleh dari pemggunaan kartu kredit antara lain

meliputi:

a. Adanya jaminan keamanan dan bersifat praktis dalam

melakukan pembayaran. Praktis karena pemegang tidak

perlu membawa uang tunai dalam jumlah besar,

sehingga tidak akan merasa repot. Aman karena

dengan membawa kartu kredit dan tidak perlu membawa

uang tunai dalam jumlah besar, maka tidak perlu

97
khawatir kecurigaan adanya tindak kejahatan.

Apabila kartu kreditnya hilang, maka pemegang juga

tidak perlu khawatir, sebab cukup melapor secara

tertulis kepada penerbit dan akan segera menerima

kartu baru setelah memenuhi beberapa persyaratan

dan prosedur.

b. Kartu kredit merupakan alat pembayaran secara

kredit atau sarana kredit. Disebut demikian oleh

karena pembayaran baru dilakukan beberapa waktu

kemudian, setelah dikirimkannya rekening penagihan

oleh pihak penerbit ke alamat pemegang kartu.

Dengan demikian meskipun pada saat pemegang kartu

sebenarnya sedang tidak mempunyai/membawa uang

tunai, ia tetap dapat melakukan transaksi pemberian

barang/jasa dengan menunjukkan kartu kreditnya. Hal

ini tentu saja sangat menguntungkan dan membantu

bagi pihak pemegang kartu kredit.

c. Adanya jaminan asuransi dari pihak penerbit. Bagi

pemegang kartu yang hendak bepergian dan membeli

tiket angkutan umum (misalnya pesawat terbang)

dengan menggunakan kartu kreditnya, otomatis telah

diasuransikan oleh pihak penerbit. Asuransi

98
tersebut tidak hanya berlaku bagi pemegang kartu,

melainkan juga bagi anggota keluarganya.

2. Manfaat Bagi Pihak Penerima Pembayaran

Pihak penerima pembayaran dengan kartu kredit pada

umumnya adalah pedagang atau merchant yang telah ditentukan

oleh penerbit, yang terdiri dari berbagai jenis usaha. Bagi

pihak tersebut, dapat ditarik beberapa manfaat umum sebagai

berikut.

a. Adanya kepastian dalam pembayaran. Hal ini karena

pembayaran dengan menggunakan kartu kredit sebagai

alat bayar mendapat jaminan dari penerbit bahwa

pembayaran akan dipenuhi.

b. Kartu kredit merupakan sarana promosi. Dengan

menyediakan diri menjadi penerima kartu kredit

sebagai alat bayar, maka nama perusahaan yang

bersangkutan akan dimuat dalam buku pegangan bagi

pemegang kartu kredit, sehingga nama perusahaan

akan terkenal di dalam maupun luar negeri. Hal ini

berarti merupakan promosi bagi perusahaan yang

menjadi penerima pembayaran dengan kartu kredit.

99
c. Menerima pembagian keuntungan. Perusahaan

(merchant) yang bersedia menerima pembayaran

dengan kartu kredit akan menerima pembayaran

keuntungan dari penerbit, diberikan oleh bank

penerbit.

3. Manfaat Bagi Penerbit

Manfaat penerbitan dan penggunaan kartu kredit bagi

perusahaan/bank penerbit adalah sebagai berikut.

a. Bisnis kartu kredit menambah pemasukan bagi bank

penerbit, baik yang berasal dari uang pangkal,

iuran tahunan keanggotaan maupun komosi atau

pembagian keuntungan antara pihak penerbit dengan

pihak penerima pembayaran.

b. Menambah sarana jasa yang diberikan oleh bank

sebagai perusahaan yang memberikan pelayanan jasa

perbankan, kepada para nasabahnya, sehingga bank

menjadi bank serba ada, yaitu bank yang dapat

melayani segala kebutuhan nasabahnya.

c. Dalam pemasaran kartu kredit dengan cara atau

sistem “Co-Branded” atau “Cooperanding” yaitu

suatu pemasaran dengan cara mengajak beberapa bank

100
sekaligus untuk bekerjasama dengan perjanjian yang

saling menguntungkan para pihak, maka pihak

penerbit akan memperoleh manfaat yang besar karena

dengan sendirinya bank yang diajak bekerjasama

akan merekomendasikan nasabahnya menjkadi pemegang

kartu kredit terbitan mereka. Sebaliknya manfaat

yang diperoleh pihak bank yang diajak bekerjasama

adalah tidak kalah menariknya, yaitu logo bank

yang diajak bekerjasama akan tercantum pada kartu

kredit tersebut, yang tentu saja hal ini merupakan

sarana promosi bagi bank yang bersangkutan. Selain

itu bank yang diajak bekerjasama akan menerima

imbalan dari pihak penerbit untuk setiap kartu

yang berhasil diterbitkannya.

101
BAB IV

KONSEP NOVASI DALAM HUBUNGAN HUKUM PADA PERJANJIAN KARTU

KREDIT DITINJAU DARI SEGI HUKUM PERDATA

A. HUBUNGAN HUKUM PADA PERJANJIAN KARTU KREDIT DITINJAU

DARI SEGI HUKUM PERDATA

Pada dasarnya penggunaan atau pemanfaatan kartu kredit

di dalam lalu lintas pembayaran merupakan realisasi dari

perjanjian yang telah dilakukan oleh para pihak yang

terkait dalam penggunaan kartu kredit. Perjanjian yang

dilakukan oleh para pihak ini merupakan perjanjian segitiga

antara tiga pihak, yaitu:

1. Perusahaan /bank penerbit kartu kredit dengan

pemegang kartu kredit (card holder)

2. Perusahaan/bank penerbit kartu kredit dengan

pengusaha/pedagang penerima kartu kredit

(merchant)

102
3. Pemegang kartu kredit dengan pengusaha/pedagang

yang menerima pembayaran dengan kartu kredit.

Perjanjian segitiga tersebut dapat digambarkan sebagai

berikut.

Gambar IV

Perjanjian Penggunaan Kartu Kredit

Penerbit Perusahaan/Bank Penerbit Kartu Kredit

Jaminan membayar
Kredit

Perjanjian
Insidental
Pemegang ----------- Penerima Pembayaran

Kartu Kredit Barang/Jasa dengan Kartu Kredit

103
Perjanjian segitiga tersebut, pada dasarnya adalah

perjanjian-perjanjian yang masing-masing berdiri sendiri,

tapi secara materiil saling menguntungkan dengan subyek

ganda adalah perusahaan/bank penerbit kartu kredit.

Perjanjian utama terjadi antara penerbit dengan pemegang

kartu kredit, yang intinya memberikan fasilitas kredit.

Perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh para pihak di

dalam perjanjian segitiga ini, secara mendasar harus dibuat

atas dasar persyaratan dan ketentuan Undang-Undang

sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata, khususnya

pasal 1320 yang merupakan syarat utama untuk sahnya setiap

perjanjian, yaitu harus dipenuhinya empat syarat sebagai

berikut.

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Atas dasar perjanjian yang telah diadakan oleh para

pihak di dalam perjanjian penggunaan kartu kredit,

terjadilah hubungan hukum di antara mereka, sehingga mereka

masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang satu

terhadap yang lain. Meskipun demikian, hubungan hukum

104
tersebut selanjutnya akan menciptakan kondisi hubungan

hukum yang berbeda pula.

1. Hubungan Hukum Antara Penerbit (Issuer) dengan

Pemegang Kartu (Card Holder)

Ditinjau dari aspek hukum, penggunaan kartu kredit

oleh pemegang kartu adalah berdasarkan perjanjian yaitu

berawal dari perjanjian penerbitan kartu kredit yang

kemudian dilanjutkan dengan perjanjian pemakaian kartu

kredit. Perjanjian penerbitan kartu kredit berupa pemberian

fasilitas untuk membeli barang/jasa dengan tidak harus

membayar secara tunai, antara penerbit dengan pemegang

kartu. Perjanjian pemakaian kartu kredit berupa kegiatan

memanfaatkan kartu kredit oleh pemegangnya untuk memperoleh

barang/jasa dengan pembayarannya memakai kartu kredit

tersebut dimana selanjutnya melibatkan tiga pihak yaitu

penerbit, pemegang kartu, dan merchant.

Mengingat dan berdasarkan asas yang tercantum pada KUH

Perdata pasal 1338 ayat (1) bahwa perjanjian merupakan

undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, maka dapat

dikatakan bahwa penggunaan atau pemakaian kartu kredit

secara yuridis adalah berawal dari ketentuan tersebut.

105
Penggunaan kartu kredit sebagai alat pembayaran di dalam

lalu lintas pembayaran adalah timbul sebagai akibat

langsung dari perjanjian-perjanjian yang telah ada. Apabila

dikaji lebih lanjut, ternyata di dalam KUHPerdata dan juga

KUHD tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang kartu

kredit. Namun meskipun demikian berdasarkan ketentuan pasal

1319 KUHPerdata yang menentukan bahwa perjanjian baik yang

mempunyai nama maupun yang tidak bahkan dengan nama apapun

yang dibuat oleh para pihak tunduk pada ketentuan umum

tentang perjanjian, sebagaimana yang diatur dalam Bab

kesatu dan Bab Kedua Buku III KUHPerdata.

Berdasarkan ketentuan pasal 1338 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa perjanjian dan syarat-syarat perjanjian

yang sudah dibuat secara sah mengikat para pihak seperti

undang-undang serta berdasarkan atas asas kebebasan

berkontrak bagi para pihak, maka semua ayarat perjanjian

dan isi perjanjian yang sudah disepakati juga merupakan

undang-undang bagi para pihak. Demikian pula halnya dengan

perjanjian penerbitan kartu kredit.

Perjanjian kartu kredit dapat dikatakan masuk dalam

klasifikasi perjanjian baku (perjanjian standar).

Diklasifikasikannya kartu kredit dalam perjanjian baku

106
adalah karena dokumen yang mengandung syarat perjanjian

sudah dipersiapkan dan ditentukan terlebih dahulu oleh

penerbit/issuer/sebagai kreditur. Sehingga dengan demikian

pihak pemegang kartu kredit (sebagai debitur) hanya ada

pilihan apakah menerima syarat-syarat yang sudah ditentukan

itu dan menandatangani naskah perjanjian sebagai tanda

setuju, atau tidak menandatanganinya sebagai pernyataan

tidak setuju sehingga tidak menjadi pemegang kartu kredit.

Jadi apabila calon pemegang kartu kredit sebagai pemohon

sudah memenuhi semua persyaratan dan kemudian menandatangai

naskah perjanjian maka terjadilah kata sepakat dan masing-

masing pihak terikat pada syarat perjanjian yang sudah

ditandatangani. Dari naskah perjanjian kartu kredit ini

dapat diketahui hubungan hukum para pihak dan seberapa jauh

hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.

Dengan demikian jika dijabarkan lebih lanjut, maka

prosedur yang harus ditempuh oleh seorang calon pemegang

kartu kredit adalah sebagai berikut.

1. Mengajukan permohonan kepada penerbit dengan cara

mengisi formulir aplikasi yang terdiri dari:

a. Data pribadi, yaitu: nama, alamat, telepon,

status, pendidikan, dan lain-lain.

107
b. Data pekerjaan, yaitu: nama dan alamat

perusahaan, jabatan, lama bekerja, alamat

penagihan dan pengiriman kartu, dan lain-

lain.

c. Data penghasilan, yaitu: gaji pertahun,

penghasilan tambahan, dan lain-lain.

d. Data untuk fasilitas kartu suplemen bagi

anggota keluarga, yang umumnya ditentukan

berusia diatas 17 tahun atau usia tertentu

tergantung kebijakan masing-masing penerbit

(untuk kartu utama ditentukan minimal berusia

21 tahun).

2. Melampirkan dokumen yang diperlukan pada formulir

aplikasi yang terdiri dari:

a. Bagi karyawan: fotokopi Kartu Tanda Penduduk

(KTP), fotokopi surat keterangan penghasilan.

b. Bagi Dokter atau pengacara: Fotokopi KTP dan

fotokopi surat keterangan izin praktek.

c. Bagi pengusaha: Fotokopi KTP, fotokopi

SIUP/akte pendirian/tanda daftar perusahaan.

108
d. Bila pemohon adalah orang asing, diperlukan

fotokopi paspor/KIMS (Keterangan Izin Menetap

Sementara).

3. Menyampaikan formulir aplikasi yang sudah diisi

bersama lampiran yang diperlukan kepada penerbit.

Tandatangan pemohon pada formulir yang diserahkan

mengandung asumsi bahwa data yang diisi dalam

formulir adalah benar. Penerbit telah diberi kuasa

oleh pemohon untuk memeriksa kebenaran data

tersebut dengan cara yang layak. Pemohon akan

tunduk dan terikat pada syarat-syarat dan

keterangan bagi pemegang kartu sebagaimana

ditetapkan oleh penerbit. Pemegang

bertanggungjawab membayar semua biaya yang timbul

dari penggunaan kartu.

Adapun hal yang kemudian dilakukan oleh penerbit

setelah menerima formulir aplikasi adalah:

1. Penerbit melakukan analisa terhadap aplikasi dan

lampirannya, bila perlu dilakukan pengecekan

setempat untuk memastikan kebenaran dari data yang

disampaikan, termasuk kepada penerbit lain dalam

109
hal pemohon mencantumkan bahwa ia sudah menjadi

pemegang kartu kredit dari penerbit lain.

2. Penerbit mengabulkan atau menolak permohonan

tersebut berdasarkan hasil analisa mereka.

Keputusan penerbit yang menolak permohonan calon

pemegang kartu tidak perlu disertai dengan alasan.

3. Keputusan tersebut disampaikan kepada pemohon

melalui surat.

4. Jika permohonan dikabulkan, maka akan dipersiapkan

pembuatan kartu kredit.

5. Kartu kredit dikirimkan kepada pemegang kartu

dengan melampirkan petunjuk layanan yang berisi

petunjuk yang menjelaskan pada pemegang kartu cara

menggunakan kartu tersebut dengan segala

fasilitasnya, termasuk pemberitahuan mengenai

batas maksimal kredit yang diberikan.

6. Pemegang kartu menandatangani bagian belakang

kartu kredit. Degan ditandatanganinya kartu

tersebut, maka kartu itu sudah bisa digunakan.

Selanjutnya segala kewajiban yang harus dipenuhi

pemegang kartu akan disampaikan setiap bulannya

oleh penerbit dalam bentuk tagihan bulanan.

110
Dari uraian tersebut terlihat bahwa hubungan hukum

antara penerbit dengan pemegang kartu tidak dirumuskan

dalam suatu perjanjian. Aturan main kedua pihak tercantum

di dalam formulir aplikasi, petunjuk layanan, dan tagihan

tiap bulannya yang mana ketiganya dibuat oleh penerbit

secara baku. Secara tidak langsung dapat dikatakan hak dan

kewajiban yang terkandung di dalamnya juga dibuat secara

baku dan sepihak oleh penerbit.

a. Perjanjian Pemegang Kartu Kredit

Dalam buku karangan Dahlan Siamat, hubungan hukum

antara penerbit dengan pemegang kartu disebut perjanjian

pemegang kartu.83 Pada prinsipnya perjanjian ini memuat

pokok-pokok ketentuan sebagai berikut (lihat lampiran

contoh perjanjian pemegang kartu):

a. Pemilikan kartu

1) Secara hukum kartu adalah milik penerbit,

sehingga penerbit berhak enarik kembali kartu

yang telah berada di tangan pemegang kartu

atas dasar alasan tertentu.

2) Kartu akan dikirimkan kepada pemegang dan saat

pemegang menerimanaya harus menandatangani

83
Siamat, op.cit., hal. 247.

111
bagian belakang kartu. Dengan

ditandatanganinya kartu tersebut berarti

pemegang kartu setuju untuk mengikatkan diri

dan tunduk pada ketentuan-ketentuan serta

persyaratan yang terdapat dalam perjanjian

tersebut. Hak memiliki kartu ada di pihak

penerbit, tapi hak menggunakan atau menikmati

penguasaan terletak di tangan pemegang kartu.

3) Kartu tidak boleh dipindahtangankan.

4) Pemegang kartu harus membayar uang pangkal dan

iuran tahunan. Dengan semakin banyaknya

persaingan antara sesama penerbit, maka

mengenai uang pangkal dan iuran tahunana ini

penerbit dapat membebaskan pemegang selama

tahun tertentu.

b. Masa berlakunya kartu

1) Kartu hanya dapat digunakan selama masa

berlakunya kartu yang tercantum dalam kartu

tersebut.

2) Perpanjangan kartu dapat dilakukan secara

otomatis atas persetujuan penerbit.

112
c. Transaksi-transaksi

1) Pemegang kartu harus menandatangani setiap

pembelian barang/jasa yang dibayar dengan

kartu dan cash advance slip untuk setiap

pengambilan uang tunai.

2) Pemegang kartu bertanggungjawab atas semua

transaksi termasuk tagihan-tagihan, ongkos-

ongkos dan bungan yang dibebankan pada

rekeningnya.

3) Penerbit tidak bertanggungjawab terhadap

merchant yang menolak pembayaran dengan kartu

dan setiap permasalahan yang menyangkut

pembelian barang/jasa oleh pemegang kartu.

d. Pembayaran Tagihan

1) Pernyataan tagihan akan dikirim penerbit

setiap sebulan sekali kepada pemegang kartu

dan pemegang kartu wajib melakukan pembayaran

minimum selambat-lambatnya dalam jangka waktu

tertentu dari tanggal pernyataan tagihan

dikeluarkan.

2) Apabila ada kesalahan terhadap tagihan yang

terdapat dalam pernyataan tagihan harus

113
diberitahukan selambat-lambatnya beberapa hari

sejak pernyataan tagihan itu diterima.

3) Besar pembayaran minimum tiap bulan.

4) Tagihan atas penggunaan kartu suplemen adalah

tanggungjawab pemegang kartu utama dan ditagih

bersama-sama dalam satu pernyataan tagihan.

5) Penerbit dapat melakukan pemotongan langsung

atas tagihan pemegang kartu yang mempunyai

rekening pada penerbit (dalam hal penerbit

adalah bank).

e. Bunga dan biaya-biaya

1) Biaya administrasi dikenakan pada pemegang

kartu yang melakukan pembayaran seluruh jumlah

tagihan setelah tanggal jatuh tempo.

2) Atas sisa tagihan yang belum dibayar dikenakan

bunga.

3) Pemegang kartu yang tidak melunasi pembayaran

minimum sampai dengan jatuh tempo atau

pemegang kartu membayar kurang dari jumlah

minimum tersebut akan dikenakan biaya

administrasi yang ditentukan oleh penerbit.

114
f. Limit Kredit

1) Pemegang kartu tidak dibenarkan menggunakan

kartu lebih dari limit kredit yang telah

ditetapkan penerbit.

2) Apabila penggunaan kartu melebihi limit

kredit, akan dikenakan bunga sebesar yang

diperhitungkan sejak terjadinya transaksi yang

melampaui limit kredit.

g. Penarikan uang tunai

1) Pemegang kartu dapat menarik uang tunai

disetiap tempat yang ditunjuk.

2) Penarikan uang tunai tersebut dikenakan biaya

administrasi sebesar persentase tertentu atau

sejumlah tertentu dari jumlah penarikan.

h. Transaksi dalam valuta asing

Transaksi yang dilakukan dalam valuta asing akan

ditagih dalam mata uang rupiah berdasarkan nilai

konversi yang ditentukan oleh penerbit pada saat

tagihan atas transaksi tersebut diterima penerbit.

115
i. Kehilangan kartu

1) Apabila terjadi pencurian atau kehilangan

kartu, pemegang kartu harus seketika itu juga

memberitahukan kepada penerbit.

2) Pemegang kartu harus bertanggungjawab

sepenuhnya atas transaksi yang telah terjadi

sebelum diterimanya laporan kehilangan

tersebut.

3) Penerbit akan mengenakan biaya administrasi

untuk penggantian kartu yang dilaporkan

hilang.

j. Jasa pihak ketiga

Dalam hal pemegang kartu tidak membayar tagihannya

yang masih terhutang sesudah keanggotaannya

dibatalkan, penerbit berhak menggunakan jasa pihak

ketiga untuk melakukan penagihan terhadap pemegang

kartu tersebut. Semua biaya yang timbul akibat

penagihan ini menjadi beban pemegang kartu.

k. Tanggungjawab pemegang kartu

1) Pemegang kartu wajib memberitahukan penerbit

apabila ada perubahan alamat tagihan.

116
2) Pemegang kartu yang diterbitkan oleh penerbit

di Indonesia yang bukan Warga Negara Indonesia

(WNI) dan akan kembali ke negaranya karena

masa kerjanya di Indoesia sudah habis atau

alasan apapun, harus melunasi semua sisa

tagihannya dan mengembalikan kartunya.

3) Untuk menjamin pelunasan pembayaran seluruh

tagihan berkenaan dengan penggunaan kartu,

pemegang kartu berjanji dan mengikatkan diri

bahwa harta kekayaan pemegang kartu baik yang

berupa benda bergerak maupun tidak bergerak

ataupun rekening bank yang ada atau yang akan

ada dikemudian hari merupakan jaminan

pelunasan kewajiban pemegang kartu kepada

penerbit.

l. Pengakhiran perjanjian

1) Penerbit berhak memblokir atau membatalkan

penggunaan kartu tanpa pemberitahuan

sebelumnya dan seluruh tagihan pemegang kartu

menjadi jatuh tempo serta harus dibayar

seketika dalam hal keadaan pemegang kartu

tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan

117
penerbit, dinyatakan pailit, melakukan

perbuatan melawan hukum, meninggal dunia

(kewajiban-kewajibannya diselesaikan oleh ahli

waris), dinyatakan mengundurkan diri dari

keanggotaan.

2) Kartu harus dikembalikan apabila terjadi

pembatalan atau pengakhiran perjanjian.

3) Penerbit berhak untuk memblokir penggunaan

kartu atau permohonan otorisasi tanpa

memberikan alasan apapun atau pemberitahuan

terlebih dahulu dan tidak bertanggungjawab

untuk setiap kerugian yang diderita oleh pihak

pemegang kartu akibat pemblokiran atau

penolakan tersebut.

4) Berakhirnya perjanjian adalah mengenyampingkan

pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata yang melibatkan

hakim untuk membatalkan perjanjian.

m. Lain-lain

1) Penerbit berhak merubah perjanjian ini setiap

saat dan setiap perubahan akan diberitahukan

kepada pemegang kartu secara tertulis.

118
2) Penerbit berhak bertukar informasi tentang

dana pemegang kartu dengan pusat-pusat kartu

lainnya.

Apabila dikembalikan kepada sistem KUHPerdata, maka

perjanjian pemegang kartu termasuk dalam perikatan yang

lahir dari persetujuan. Untuk mengetahui sejauh mana Buku

Ketiga KUHPerdata berlaku bagi perjanjian pemegang kartu

ini maka perlu dibedakan terlebih dahulu apakah unsur-unsur

perjanjian pemegang kartu tersebut termasuk perjanjian

bernama atau tidak bernama. Suatu perjanjian bernama selain

karena namanya diberikan oleh undang-undang juga diberikan

pengaturan secara khusus dalam undang-undang. Sedangkan

perjanjian disebut tidak bernama dikarenakan belum ada

pengaturannya secara khusus dalam undang-undang.

Pasal 1319 KUHPerdata menyatakan asas umum yang

dimuat dalam ketentuan umum, yaitu Bab I, II, dan IV

KUHPerdata berlaku bagi perjanjian bernama maupun tidak

bernama. Namun untuk perjanjian bernama karena telah diarur

oleh undang-undang secara khusus, maka selain berlaku

ketentuan umum juga berlaku ketentuan-ketentuan mengenai

perjanjian bernama yang terdapat dalam Bab V-XVIII

KUHPerdata. Sedangkan untuk perjanjian tidak bernama tunduk

119
pada ketentuan umum dan undang-undang lainnya yang ada

diluar KUHPerdata yang mengatur tentang hal tersebut.

Adapun materi perjanjian pemegang kartu ini pada

dasarnya terdiri dari perjanjian pemberian fasilitas kredit

dan perjanjian pemakaian kartu kredit sebagai alat

pembayaran. Untuk mengetahui apakah perjanjian pemegang

kartu ini termasuk perjanjian bernama atau tidak adalah

dengan melihat apakah semua unsur pokok perjanjian tersebut

memenuhi unsur-unsur pokok perjanjian bernama atau tidak.

a.1. Perjanjian Pemberian Fasilitas Kredit

Perjanjian antara pihak penerbit dengan pihak pemegang

kartu kredit ini mirip dengan perjanjian kredit bank,

dimana hutang akan dibayar kembali secara mencicil pada

kartu kredit (credit card) dan akan dibayar kembali

sekaligus pada waktu penagihan jika memakai kartu

pembayaran tunai (charge card).

Dalam perjanjian pemberian fasilitas kredit ini

terdapat karakteristik perjanjian pinjam-meminjam

(verbruiklening).84 Hal ini dikarenakan uang sebagai objek

84
Munir Fuady, op.cit., hal. 184.

120
perjanjian memenuhi kriteria obyek perjanjian pinjam

meminjam dalam KUHPerdata, yaitu bersifat habis karena

pemakaian (vide pasal 1754-1773 KUHPerdata).

Menurut pasal 1754 KUHPerdata yang dimaksud dengan:

perjanjian pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan


mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain
suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis
karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang
belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama
dari macam dan keadaan yang sama pula85

Adapun pemberi pinjaman disini adalah penerbit yang

berkedudukan sebagai kreditur, sedangkan peminjam adalah

pemegang kartu kredit yang berkedudukan sebagai debitur.

Salah satu karakteristik dari perjanjian pinjam meminjam

adalah bahwa begitu perjanjian selesai dilakukan, maka

barang pinjaman tersebut menjadi milik mutlak dari peminjam

(pemegang kartu/debitur), sehingga apabila barang tersebut

musnah karena sebab apapun, maka kerugian tersebut menjadi

tanggungan peminjam sendiri (vide pasal 1755 KUHPerdata).

Karakteristik lainnya adalah pemberi pinjaman

(penerbit/kreditur) tidak dapat meminta kembali barang yang

85
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], op.cit., Pasal 1754.

121
dipinjamkan (in casu pembayaran hutang) sebelum lewat waktu

yang telah ditentukan di dalam perjanjian (pasal 1759

KUHPerdata). Kecuali jika ada syarat-syarat yang tidak

dipenuhi, yang menurut perjanjian tersebut pihak peminjam

diharuskan membayar hutang sebelum jatuh tempo. Tetapi

pemutusan perjanjian karena salah satu syarat tidak

terpenuhi haruslah dilakukan lewat jalur pengadilan (pasal

1266 KUHPerdata).

Seringkali dalam praktek, pasal 1266 KUHPerdata ini

dengan tegas dikesampingkan oleh para pihak. Hal ini sering

ditemukan dalam beberapa kasus pengadilan, seperti misalnya

kasus pemutusan perjanjian kredit bank, dimana walaupun

pasal 1266 KUHPerdata tersebut telah dengan tegas

dikesampingkan oleh para pihak, tapi oleh pengadilan

pemutusan perjanjian tersebut dianggap tidak sah. Dengan

demikian pengadilan menafsirkan bahwa ketentuan yang

terdapat dalam pasal 1266 tersebut sebagai mandatory, yang

tidak dapat dikesampingkan oleh kedua belah pihak. Melihat

bunyi pasal 1266 tersebut, sepertinya penafsiran pengadilan

yang demikian memang sudah tepat, walaupun ketentuan

tersebut terasa sangat kaku dan tidak praktis bila

dipraktekkan.

122
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa

perjanjian penerbitan kartu kredit tergolong perjanjian

khusus yang obyeknya adalah barang pakai habis yang diatur

dalam pasal 1754 sampai dengan pasal 1773 KUHPerdata.

Dengan demikian, ketentuan-ketentuan tersebut berlaku

terhadap dan sejauh relevan dengan perjanjian penerbitan

kartu kredit, kecuali apabila dalam perjanjian diatur

secara khusus menyimpang.

a.2. Perjanjian Penggunaan Kartu Kredit

Perjanjian penggunaan kartu kredit merupakan kegiatan

memanfaatkan kartu kredit oleh pemegangnya untuk memperoleh

barang/jasa dengan pembayarannya memakai kartu kredit

tersebut. Dalam perjanjian antara pemegang kartu dan

penerbit terdapat klausul bahwa kartu kredit adalah milik

penerbit, namun hak pemakaiannya diberikan pada pemegang

kartu dengan syarat dan kondisi tertentu. Perjanjian

penggunaan kartu kredit ini merupakan implikasi dari adanya

perjanjian penerbitan kartu. Hal ini dikarenakan penggunaan

kartu kredit sebagai alat pembayaran di dalam lalu lintas

pembayaran adalah timbul sebagai akibat langsung dari

perjanjian penerbitan kartu. Pada perjanjian penggunaan

123
kartu kredit terdapat keikutsertaan pihak ketiga, yaitu

dalam hal ini pedagang/merchant sebagai penjual barang/jasa

yang nantinya akan dibeli oleh pemegang kartu kredit dengan

menggunakan kartu kredit yang dimilikinya. Jadi dengan

demikian kedudukan perjanjian penggunaan kartu kredit dalam

hubungan hukum antara penerbit dengan pemegang kartu adalah

sebagai perjanjian accessoir (pelengkap). Artinya si

pemegang kartu tidak akan dapat memperoleh barang/jasa dari

penjual/merchant tanpa kartu kredit yang diterbitkan oleh

penerbit berdasarkan pejanjian penerbitan kartu kredit.

Dari penggunaan kartu kredit ini sebagai alat pembayaran

timbul hubungan hutang piutang antara penerbit dengan

pemegang kartu kredit, dimana si pemegang kartu akan

membayar transaksi yang telah dilakukannya dengan merchant

kepada penerbit (baik seara langsung maupun dengan cara

mencicil) berdasarkan tagihan yang dikirimkan oleh penerbit

kepadanya.

Mengingat dan berdasarkan asas yang tercantum pada

KUHPerdata pasal 1338 ayat (1) bahwa perjanjian merupakan

undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, maka dapat

dikatakan bahwa penggunaan atau pemakaian kartu kredit

secara yuridis adalah berawal dari ketentuan pasal

124
tersebut. Apabila dikaji lebih lanjut, ternyata dalam

KUHPerdata maupun KUHD tidak ada satu pasal pun yang

mengatur mengenai kartu kredit. Namun meskipun demikian

berdasarkan ketentuan pasal 1319 KUHPerdata yang menentukan

bahwa perjanjian baik yang mempunyai nama maupun yang tidak

bahkan dengan nama apapun yang dibuat oleh para pihak

tunduk pada ketentuan umum tentang perjanjian sebagaimana

diatur oleh Bab Kesatu dan Bab Kedua Buku III KUHPerdata.

b. Hak dan Kewajiban Para Pihak

b.1. Hak Penerbit Terhadap Pemegang Kartu

1) Memperoleh iuran tahunan dan uang pangkal

2) Memperoleh pembayaran atas transaksi yang telah

dilakukan oleh pemegang kartu termasuk bunga

keterlambatan pembayaran

3) Membatalkan/memperpanjang keanggotaan pemegang

kartu secara sepihak

4) Mengubah atau menambah persyaratan bagi para

calon pemegang kartu

5) Menarik kembali kartu kredit yang ada atau segala

fasilitas yang diberikan kepada pemegang kartu

125
setiap saat bila dianggap perlu, baik yang masih

berlaku ataupun yang sudah habis masa berlakunya

6) Mencantumkan nomor kartu kredit kedalam daftar

hitam terhadap kartu kredit yang telah dibatalkan

secara sepihak oleh penerbit atau atas dasar

permintaan pemegang kartu

7) Menolak transaksi yang dilakukan oleh pemegang

kartu bila yang bersangkutan belum memenuhi

kewajibannya kepada penerbit atau transaksi

tersebut diragukan oleh penerbit

8) Menyerahkan tuntutan pembayaran yang masih

terhutang oleh pemegang kartu kepada pengacara

b.2. Kewajiban Penerbit Terhadap Pemegang Kartu

1) Menjamin pembayaran dengan menggunakan kartu

kredit yang dilakukan oleh pemegang kartu

2) Mengganti dengan kartu baru bagi pemegang yang

kartunya hilang, kemudian mencantumkan nomor

kartu kredit yang hilang kedalam daftar hitam

3) Melakukan penagihan ke alamat pemegang kartu

atas sejumlah uang yang telah dibelanjakan oleh

pemegang dengan menggunakan kartu kreditnya

126
4) Memberikan pelayanan dan informasi kepada

pemegang kartu

b.3. Hak Pemegang Kartu Terhadap Penerbit

1) Pemegang kartu kredit yang namanya tercantum pada

kartu tersebut berhak menggunakan kartunya

sebagai alat pembayaran kepada pedagang/pengusaha

yang menyatakan menerima pembayaran dengan kartu

kredit

2) Memperoleh barang/jasa dari merchant

3) Mengambil uang tunai pada semua bank yang

memasang logo kartunya selama masih dalam masa

berlaku

4) Menggunakan kartu kreditnya sampai dengan batas

maksimal penggunaan kartu kredit yang telah

ditentukan oleh bank atau penerbit. Jika melebihi

batas maksimal maka harus mendapat persetujuan

dari pihak penerbit

5) Memperoleh kartu pengganti baik yang telah hilang

maupun yang sudah habis masa berlakunya

127
6) Mendapatkan informasi dari penerbit mengenai

perkembangan kreditnya serta tentang kemudahan-

kemudahan yang dapat diperolehnya.

b.4. Kewajiban Pemegang Kartu Terhadap Penerbit

1) Diwajibkan membuka rekening Koran atau deposito

berjangka pada bank yang menerbitkan kartu kredit

2) Bertanggungjawab atas pembayaran setiap transaksi

yang dilakukan dengan kartu tersebut, baik oleh

dirinya sendiri ataupun oleh orang yang diberi

kuasa olehnya untuk menggunakan kartu tersebut

(pemegang kartu tambahan)

3) Membayar iuran tahunan untuk setiap kartu dan

akan ditagih dalam rekening pemegang kartu serta

tidak dapat dibebaskan ataupun diminta kembali

bila sudah dibayar

4) Harus membayar kepada bank dengan jumlah harga

keseluruhan yang tertera dalam slip penjualan

atas barang/jasa yang diberikan oleh merchant

karena penggunaan kartu kredit tersebut tang

dibebankan oleh bank ke dalam tagihan pemegang

128
5) Membayar kepada bank jumlah tagihan yang

terhutang seperti yang tertera dalam rekening

tagihan setiap bulan pada waktu yang ditentukan.

Bila terdapat kesalahan maka hal ini harus

dilaporkan ke bank dalam waktu 14 hari dimana

rekening tagian akan menjadi dasar atas tagihan

yang terhutang kepada bank

6) Melaporkan kepada bank secara tertulis untuk

setiap perubahan alamat dan atau pekerjaan

7) Bertanggungjawab atau berkewajiban menjaga agar

kartu tidak hilang, dimana bila samapai terjadi

kehilangan maka pemegang kartu diwajibkan

memberitahukan kepada bank secepatnya dengan

melampirkan surat laporan kehilangan dari

kepolisian setempat

8) Apabila bank menggunakan jasa pihak ketiga untuk

menagih kepada pemegang kartu maka semua biaya

penagihan tersebut dibebankan kepada pemegang

kartu dan harus segera dibayar pada saat ditagih

oleh bank

9) Wajib menyerahkan kartu kreditnya apabila diminta

pihak bank

129
2. Hubungan Hukum Antara Penerbit (Issuer) dengan Pedagang

(Merchant)

Hubungan hukum yang timbul antara penerbit kartu

dengan merchant adalah dalam konteks perjanjian penggunaan

kartu kredit yang bersifat hubungan segitiga. Jadi

penerbitan kartu kredit (antara penerbit dengan pemegang

kartu) baru permulaan atau sebagian dari hubungan segitiga

tersebut. Perjanjian segitiga ini baru sempurna berlaku

jika jual beli telah dilakukan antara pemegang kartu dengan

penjual. Kemudian perjanjian segitiga tersebut diperkuat

setelah diberikan otorisasi terhadap merchant dalam jual

beli tersebut.

Otorisasi dapat dikatakan sebagai pernyataan

persetujuan penerbit untuk membayar harga pembelian. Akan

tetapi meskipun tanpa otorisasi, artinya hanya dengan

penerbitan kartu kredit saja, sebenarnya pihak penerbit

sudah terikat secara hukum asal jual beli dilakukan dengan

syarat-syarat tertentu, misalnya tidak boleh melanggar

syarat batas maksimum pembelian yang diperbolehkan. Dengan

130
kata lain, otorisasi baru harus dilakukan apabila harga

pembelian melebihi floor limit86 yang ditetapkan penerbit.

Hubungan yang terjadi antara penerbit dengan merchant

adalah berdasarkan perjanjian yang saling menguntungkan

yang didasarkan dalam suatu perjanjian. Melihat isi

perjanjian yang lazim diperjanjikan diantara kedua belah

pihak, dapat diketahui bahwa sifat hubungan hukum dalam

perjanjian yang dimaksud adalah hubungan hukum untuk

melakukan pekerjaan tertentu. Dalam hal ini merchant

berkewajiban melayani transaksi barang/ jasa dengan setiap

pemegang kartu kredit yang telah dikeluarkan oleh penerbit.

Sedangkan issuer berkewajiban membayar setiap tagihan yang

diajukan oleh merchant sebagai akibat dari transaksi yang

telah terjadi dengan kartu kredit yang bersangkutan.

Perjanjian antara penerbit/issuer dengan merchant pada

dasarnya merupakan realisasi dari hubungan timbal balik

yang saling menguntungkan. Perjanjian antara kedua belah

pihak diawali dengan kata sepakat sebagai dasar perjanjian

untuk melakukan kerjasama. Pada umumnya perjanjian ini juga

merupakan perjanjian baku yang syarat-syaratnya sudah

86
floor limit adalah batas maksimal yang diberikan kepada merchant atas suatu transaksi tanpa
perlu dimintakan otorisasi dari penerbit.

131
ditetapkan secara sepihak oleh penerbit. Mengingat beberapa

keuntungan yang dapat diperoleh dengan kesediaan merchant

untuk menerima syarat-syarat yang ditawarkan oleh penerbit,

maka hal ini pun diterima tanpa syarat oleh merchant.

Mengingat sasaran yang ingin dicapai oleh perusahaan

(bank penerbit kartu kredit) untuk memperoleh pangsa pasar

yang seluas-luasnya, tentu saja penerbit perlu memperluas

kerjasama dengan merchant seluas-luasnya, sehingga sudah

dipersiaphan perjanjian standar. Merchant sendiri juga

harus memberikan jaminan bahwa harga yang diberikan kepada

konsumen pemegang kartu kredit adalah sama dengan harga

untuk konsumen yang lain. Disamping itu masih ada kewajiban-

kewajiban lain yang sifatnya prosedural pembayaran dalam

rangka pengamanan seluruh proses transaksi.

a. Perjanjian Merchant

Perjanjian antara penerbit dengan merchant lazim

disebut dengan perjanjian merchant yang dibuat dengan

syarat baku oleh pihak penerbit. Adapun prosedur yang harus

ditempuh oleh merchant agar dapat melakukan transaksi

dengan menerima kartu kredit adalah sebagai berikut.

132
a. Melampirkan permohonan kepada penerbit dengan cara

mengisi formulir aplikasi selengkap-lengkapnya.

b. Melampirkan dokumen yang diperlukan berupa:

1) Copy Nilai Pokok Wajib Pajak (NPWP)

2) Copy Surat Ijin Usaha Perusahaan (SIUP)

3) Copy KTP pemilik perusahaan

c. Penerbit melakukan pengecekan kebenaran data yang

disampaikan.

d. Jika penerbit merasa yakin akan kebenaran data

tersebut, maka permohonan akan dikabulkan.

e. Dibuat perjanjian kerjasama antara penerbit dengan

merchant yang berisikan hak dan kewajiban kedua

belah pihak.

f. Penerbit menyediakan peralatan yang diperlukan,

misalnya: imprinter/point of sale/electronic data

capture pada merchant dalam rangka permintaan

otorisasi suatu transaksi.

g. Merchant akan menempelkan sticker berbentuk lambang

kartu kredit ditempat yang mudah terlihat, misalnya

dipintu masuk tokonya agar pemegang kartu

mengetahui bahwa toko tersebut melayani transaksi

dengan menggunakan kartu kredit.

133
h. Penerbit memberikan edukasi/pelatihan kepada

merchant mengenai tatacara melayani transaksi yang

menggunakan kartu kredit.

Dikarenakan hubungan hukum yang terjadi antara

penerbit kartu kredit dengan merchant dilandasi oleh suatu

perjanjian, tentunya ada berbagai hal/kalusula yang dapat

dituangkan dalam perjanjian tersebut. Adapun klausula-

klausula pokok yang umum diatur dalam suatu perjanjian

merchant antara lain sebagai berikut (lihat lampiran contoh

perjanjian merchant).

a. Merchant akan menerima semua merek kartu tertentu

sampai dengan jumlah floor limit yang ditetapkan.

b. Merchant akan senantiasa memeriksa keabsahan kartu,

misalnya mengenai masa berlakunya yang diperiksa

dengan melihat daftar void card (kartu yang sah)

yang secara rutin dikeluarkan oleh penerbit. Bisa

juga diperiksa mengenai kebenaran tandatangan

pemegang yang ada di kartu dengan yang tertera di

slip penjualan.

c. Merchant harus menggunakan hanya slip penjualan

yang disediakan oleh penerbit dan meminta setiap

pemegang kartu yang melakukan transaksi untuk

134
menandatangani slip penjualan kemudian mencetak

data kartu dengan menggunakan imprinter.

Selanjutnya merchant memberikan satu copy slip

penjualan kepada pemegang kartu.

d. Merchant akan mengklaim pembayaran kembali setelah

dikurangi discount dari penerbit pada waktunya,

misalnya dalam waktu tiga hari, sepuluh hari, atau

lima belas hari dan seterusnya.

e. Rekening bank merchant akan dikredit sebesar jumlah

penjualan dikurangi discount87, tergantung ada

tidaknya slip penjualan yang invalid (tidak sah)

dan ditolak pembayarannya oleh penerbit.

f. Merchant harus menjual barang/jasa tidak melebihi

harga penjualan tunai. Dalam klausula ini mencakup

pula mengenai semua slip penjualan untuk dimintakan

pembayarannya kepada penerbit harus dijamin bahwa:

1) Semua data benar

2) Merchant benar-benar telah menjual dan

menyerahkan barang/jasa dengan nilai seperti

tertera dalam slip penjualan dengan harga

yang tidak melebihi harga normal dan tidak

87
Discount adalah fee atau komisi yang diberikan kepada penerbit atau acquirer.

135
terdapat unsur kredit untuk tujuan lain

apapun

3) Pemberian kredit atas penjualan barang/jasa

dengan menerbitkan slip penjualan adalah

melanggar ketentuan perjanjian

g. Merchant memberikan hak kepada penerbit untuk

mendebet rekening banknya sejumlah yang harus

dibayarkan, antara lain sebagai berikut:

1) Discount

2) Pajak atas discount

3) Refund (pengembalian) kepada pemegang kartu

4) Nilai slip penjualan yang diterbitkan yang

mana tidak sesuai dengan ketentuan yang

terdapat dalam perjanjian

5) Bunga atas setiap jumlah yang harus dibayar

merchant

6) Setiap jumlah yang berkaitan dengan

kewajiban merchant kepada penerbit

h. Kontrak perjanjian dapat diakhiri beberapa minggu

setelah pemberitahuan oleh pihak siapa pun.

Imprinter (alat pencetak), Point of Sales Terminal

(POS Terminal), dan Electronic Draft Capture

136
Terminal (EDC Terminal) untuk alat otorisasi serta

Take One Box (tanda yang harus dipasang di lokasi

yang strategis yang menunjukan merchant menerima

transaksi dengan kartu kredit) tetap milik penerbit

dan harus dikembalikan setelah pemutusan kontrak.

i. Masalah lain yang mungkin diatur dalam perjanjian

yaitu meliputi hal-hal khusus mengenai ketentuan

tidak berlakunya sales voucher (slip penjualan)

yaitu:

1) Transaksi yang dilakukan jelas-jelas ilegal

2) Tandatangan pada voucher penjualan berbeda

dengan yang tertera di kartu

3) Terdapat perbedaan antara voucher yang

diserahkan untuk pembayaran dengan copy yang

diserahkan kepada pemegang kartu, atau

voucher tidak lengkap

4) Harga yang dikenakan melebihi harga eceran

normal

5) Harga melebihi floor limit mechant dan tidak

dimintakan otorisasi

137
6) Terjadi penyimpangan dari ketentuan-

ketentuan yang diatur dalam perjanjian

merchant

7) Kartu yang dipakai untuk transaksi termasuk

dalam daftar hitam bank (Warning

Bulletin/Card Recovery Bulletin)88

a.1. Perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga

Perjanjian merchant merupakan suatu perjanjian untuk

kepentingan pihak ketiga (derden beding) yaitu card holder.

Hal ini dikarenakan dalam perjanjian merchant disebutkan

bahwa merchant setuju dan berkewajiban untuk menerima semua

transaksi kartu kredit tanpa membedakan card holder dengan

pembeli yang membayar tunai. Selain itu juga terdapat

kesediaan dari penerbit untuk memenuhi kewajiban yang

ditimbulkan oleh pemegang kartu kredit, yaitu kewajiban

membayar harga atas pembelian barang/jasa yang dilakukan

pemegang kartu.

Sebagaimana diketahui, perjanjian merchant ini adalah

perjanjian antara merchant dengan penerbit. Sehingga dengan

88
Daftar Hitam Bank adalah daftar yang disediakan Bank dan atau Organisasi, Badan Usaha
lainnya yang diberi wewenang oleh penerbit kartu yang diberikan kepada merchant secara berkala atau
setiap saat bila dianngap perlu oleh bank. Daftar tersebut memuat keterangan-keterangan tentang kartu
yang hilang, dicuri, dibatalkan atau tidak berlaku lagi karena alasan apapun.

138
demikian dapat dikatakan bahwa kedudukan pemegang kartu

pada perjanjian ini adalah sebagai pihak ketiga. Adapun

maksud dari para pihak (penerbit dan merchant) mengadakan

perjanjian adalah adanya kesediaan salah satu pihak untuk

melakukan prestasi tertentu terhadap pihak lainnya bagi

kepentingan pihak ketiga. Perjanjian seperti ini di dalam

KUHPerdata dimungkinkan dan diatur dalam pasal 1316.

a.2. Perjanjian pemberian kuasa

Perjanjian merchant ini juga mengandung unsur

pemberian kuasa. Hal ini dapat dilihat dalam hal pembayaran

barang/jasa yang dibeli pemegang oleh penerbit dan ketika

penerbit diberi hak untuk mendebet dari rekening bank

merchant atas fee atau discount yang dikenakan. Unsur

pemberian kuasa ini merupakan perjanjian bernama yang

diatur dalam Bab XVI Buku Ketiga KUHPerdata tentang

pemberian kuasa secara khusus (pasal 1792 jo 1795

KUHPerdata).

a.3. Perjanjian Pinjam Pakai

Dalam hal pemakaian alat otorisasi oleh merchant yang

dipinjamkan oleh penerbit terdapat unsur pinjam pakai (Bab

139
XII Buku Ketiga KUHPerdata). Hal ini dikarenakan alat

tersebut tetap merupakan milik penerbit yang mana harus

dikembalikan merchant apabila perjanjian sudah berakhir

(vide pasal 1741). Selain itu, alat otorisasi tersebut

merupakan barang yang tidak musnah karena pemakaian

sebagaimana objek dari perjanjian pinjam pakai itu sendiri

(vide pasal 1742 KUHPerdata).

b. Hak dan Kewajiban Para Pihak

b.1. Hak Penerbit Terhadap Merchant

1) Menerima biaya adminstrasi dari jumlah tagihan

yang diajukan kepada penerbit

2) Menerima pembayaran dari pemegang kartu

3) Menerima discount

4) Menahan/menunda pembayaran atas transaksi yang

diragukan walaupun sudah mendapat kode otorisasi

5) Memutuskan secara sepihak perjanjian merchant

dengan pemberitahuan tertulis

b.2. Kewajiban Penerbit Terhadap Merchant

1) Membayar setiap tagihan dari merchant dalam

jangka waktu yang telah ditentukan atas setiap

slip yang dikirimkan

140
2) Memberikan daftar hitam secara berkala

3) Meminjamkan alat pendukung transaksi dengan kartu

kredit, seperti: imprinter, sales draft, POS, dan

lain-lain

b.3. Hak Merchant Terhadap Penerbit

1) Berhak menolak pembayaran yang dilakukan oleh

seseorang atas pembelian sejumlah barang/jasa

dengan mempergunakan kartu kredit, apabila pihak

penerima meragukan keabsahan berlakunya kartu

kredit tersebut

2) Menerima pembagian keuntungan dari pihak penerbit

atas sejumlah pembayaran transaksi pembelian yang

dilakukan dengan kartu kredit

3) Menempelkan/memajang sticker kartu kredit dari

bank penerbit yang bekerjasama dengannya di pintu

depan toko, kaca etalase, kaca kasir maupun

tempat-tempat lainnya yang dimungkinkan untuk itu

4) Menerima daftar hitam secara berkala

5) Memutuskan secara sepihak perjanjian merchant

dengan pemberitahuan tertulis

141
b.4. Kewajiban Merchant Terhadap Penerbit

1) Melayani segala transaksi atas pembelian

barang/jasa yang dilakukan dengan kartu kredit

yang sah dan memang berasal dari bank penerbit

yang bekerjasama dengannya

2) Menghubungi pihak penerbit untuk memberitahu

setiap transaksi yang terjadi

3) Menghubungi penerbit apabila menemui kejanggalan-

kejanggalan dalam suatu pemakaian kartu kredit

4) Memeriksa daftar hitam yang dikirimkan secara

berkala oleh pihak penerbit, sebelum menerima

pembayaran dengan menggunakan kartu kredit

5) Mengirimkan faktur pembelanjaan dengan kartu

kredit untuk tagihan yang dilakukan terhadap

penerbit

3. Hubungan Hukum Antara Pedagang (Merchant) dengan

Pemegang Kartu Kredit (Card Holder)

a. Transaksi jual beli barang atau pelayanan jasa

Antara pemegang kartu kredit dengan pihak penjual

barang/jasa terhadap mana kartu kredit dipergunakan, juga

terdapat suatu hubungan hukum berupa perjanjian, bahkan

142
seringkali tidak tertulis. Yang paling lazim tentunya

perjanjian jual beli. Namun dalam hal ini ada keikutsertaan

pihak penerbit sebagai salah satu pihak dalam perjanjian

jual beli tersebut. Sehingga perjanjian jual beli itu

menjadi suatu perjanjian segitiga antara pihak penjual

barang/jasa, pemegang kartu kredit (sebagai pembeli), dan

penerbit kartu kredit. Perjanjian tiga pihak ini merupakan

accessoir terhadap perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian

penerbitan kartu kredit antara pihak penerbit dengan pihak

pembeli (pemegang kartu).

Hubungan hukum antara pemegang kartu dengan merchant

sifatnya adalah insidental atau sementara. Hubungan

tersebut terjadi dan timbul pada saat terjadi transaksi,

yaitu transaksi jual beli atau pelayanan jasa. Perjanjian

yang timbul antara pemegang kartu dengan merchant merupakan

perjanjian timbal balik. Hal ini dapat diketahui dari hak

dan kewajiban mereka yang pada dasarnya seimbang.

Merchant sebagai penjual berkewajiban menyerahkan

barang/jasa kepada pemegang kartu sebagai pembeli.

Sedangkan kewajiban pemegang kartu secara langsung tidak

perlu dipenuhi kepada merchant yang karena perjanjian kartu

kredit diambil alih oleh penerbit. Sebaliknya hak merchnat

143
secara langsung tidak dapat dituntut kepada pembeli

(pemegang kartu kredit) tetapi harus dialihkan kepada

penerbit kartu kredit.

Jadi dalam hal ini, ketika penjual setuju untuk

menjual barang/jasanya kepada pembeli dengan menggunakan

kartu kredit, maka sebenarnya sudah terdapat suatu

understanding yang mengikat. Apabila terdapat otorisasi

dari pihak penerbit atau siapapun yang menjadi agennya,

maka pihak penjual telah setuju bahwa jual beli tersebut

tidak dibayar secara tunai. Pembayaran tersebut nantinya

akan dilakukan oleh pihak penerbit atau agennya ketika slip

yang sudah ditandatangani oleh pihak pembeli diserahkan

oleh penjual kepada penerbit atau agennya.

Dengan demikian, maka understanding diantara pihak

penjual dengan pembeli tersebut merupakan terms and

conditions dari perjanjian jual beli yang secara hukum

mengikat kedua belah pihak, sama mengikatnya dengan

perjanjian jual beli tersebut. Jika kita kembalikan kepada

sistem perjanjian yang dianut oleh Buku Ketiga KUHPerdata,

maka terms and conditions berupa understanding antara pihak

pembeli dengan pihak penjual bahwa harga akan dibayar oleh

penerbit kartu tersebut sudah mengikat. Sehingga apabila

144
terjadi pembatalan secara sepihak harus dilakukan melalui

Pengadilan Negeri yang berwenang (pasal 1266 KUHPerdata).

Bagaimana jika seandainya setelah jual beli dilakukan

pihak penerbit tidak bersedia membayar uang harga pembelian

kepada penjual? Masihkah pihak penjual bisa menggugat pihak

pembeli? Untuk hal ini, maka bagi pihak pnjual terdapat dua

pilihan hukum yaitu:

(1) Penjual dapat menggugat pihak pembeli berdasarkan

teori bahwa yang terjadi antara penjual dengan

pembeli adalah semacam perjanjian jual beli

dengan syarat batal (pasal 1253 KUHPerdata).

Artinya, jual beli itu sudah terjadi ketika slip

pembayaran telah ditandatangani oleh pihak

pembeli, dan perjanjian jual beli itu akan batal

jika syarat pembayaran oleh pihak penerbit dengan

alasan apapun tidak dilakukan. Oleh karena itu,

sebagai akibat hukumnya apabila syarat batalnya

terjadi (tidak dibayarnya harga oleh pihak

penerbit kartu kredit), maka menurut pasal 1265

KUHPerdata barang tersebut harus dikembalikan

kepada pihak penjualnya.

145
(2) Pihak penjual dapat juga langsung menuntut pihak

penerbit, berhubung pihak penerbit telah

memberikan persetujuannya untuk membayar dengan

memberikan otorisasi kepada pihak penjual. Dengan

otorisasi tersebut pihak penerbit telah sepakat

mengikatkan dirinya untuk membayar harga

pembelian barang/jasa tersebut. Sehingga jika

pihak penerbit tidak membayarnya penjual dapat

langsung menggugat penerbit yang bersangkutan.

Akan tetapi, jika perjanjian kartu kreditnya

batal, misalnya ada penipuan oleh pihak pemegang,

maka jual beli pun harus dianggap batal. Hal ini

dikarenakan perjanjian penggunaan kartu kredit

(antara pihak penerbit, pemegang, dan penjual)

tersebut adalah accessoir terhadap perjanjian

pokoknya berupa perjanjian penerbitan kartu

kredit antara pemegang kartu dengan penerbit.

Apabila pihak penjual merasa dirugikan karenanya,

maka ia dapat menggugat siapa yang telah

melakukan penipuan tersebut, dalam hal ini adalah

pemegang kartu. Gugatan ganti rugi tersebut dapat

146
didasari atas perbuatan melanggar hukum (pasal

1365 KUHPerdata).

b. Hak dan Kewajiban Para Pihak

b.1. Hak Merchant Terhadap Pemegang Kartu

1) Meminta pemegang kartu untuk menandatangani slip

pembelian

2) Menolak untuk menjual barang/jasa jika tidak

terdapat otorisasi dari penerbit kartu kredit

yang bersangkutan

b.2. Kewajiban Merchant Terhadap Pemegang Kartu

1) Menyerahkan barang yang ditransaksikan kepada

pembeli (pemegang kartu kredit)

2) Memberikan pelayanan jasa yang ditransaksikan

3) Mencetak data pemegang kartu pada slip penjualan

dengan menggunakan imprinter

4) Melakukan pengecekan atau otorisasi tentang

penggunaan dan keabsahan kartu kredit yang

bersangkutan bila dianggap perlu

5) Meminta pemegang kartu untuk membubuhkan

tandatangan pada slip penjualan pada saat terjadi

147
transaksi dan merchant wajib mencocokkan

tandatangan tersebut dengan contoh tandatangan

yang tertera pada kartu

6) Memberikan satu copy slip penjualan kepada

pemegang kartu sebelum atau pada waktu penyerahan

barang/jasa

b.3. Hak Pemegang Kartu Terhadap Merchant

1) Melaksanakan transaksi di tempat-tempat

(merchant) yang memasang logo kartu kredit yang

dipakainya

2) Menerima dan menikmati barang/jasa yang sudah

ditransaksikan secara riil

3) Mendapat pelayanan sebaik mungkin dari merchant

saat melakukan transaksi jual beli atau pelayanan

jasa

4) Menerima satu copy slip penjualan dari merchant

sebelum atau pada waktu penyerahan barang/jasa

5) Dapat mengajukan klaim/keluhan secara langsung

kepada merchant sehubungan dengan pembelian

barang/jasa yang dilakukan dengan menggunakan

kartu kredit

148
b.4. Kewajiban Pemegang Kartu Terhadap Merchant

1) Membayar harga barang/jasa yang dinikmati dengan

cara menandatangani slip yang diberikan oleh

merchant pada saat terjadi transaksi

2) Tidak melakukan pembelian dengan kartu kredit

yang melebihi batas maksimum

B. KONSEP NOVASI DALAM HUBUNGAN HUKUM PADA PERJANJIAN KARTU

KREDIT

Mekanisme atau tata kerja kartu kredit pada saat

dimanfaatkan oleh masyarakat pada dasarnya melibatkan

beberapa pihak, dimana antara yang satu dengan yang lainnya

saling bergantung meskipun tidak dalam suatu hubungan hukum

yang langsung. Hubungan hukum yang merupakan hubungan hukum

segitiga adalah keadaan setelah terjadi perjanjian diantara

para pihak. Dari perjanjian yang telah disepakati oleh para

pihak secara lebih rinci dapat dikaji beberapa hal yang

pada akhirnya dapat menjawab sifat hubungan hukum tersebut,

serta seberapa jauh sifat hubungan tersebut dapat mengikat

para pihak.

Jika bertolak dari fungsinya sebagai alat bayar, maka

kartu kredit dapat pula berfungsi sebagai alat untuk

149
memenuhi prestasi, yaitu prestasi debitur terhadap

kreditur. Dalam hal inilah terlihat adanya penerapan konsep

novasi. Novasi atau disebut juga sebagai pembaharuan hutang

merupakan salah satu cara untuk menghapus adanya perikatan.

Pembaharuan hutang (novasi) adalah suatu pembuatan

perjanjian baru yang menghapuskan suatu perikatan lama

sambil meletakan suatu perikatan baru yang ditempatkan

sebagai pengganti perikatan semula. Jadi pihak kreditur dan

debitur memang bersepakat untuk menghapuskan perikatan lama

dan menggantinya dengan perikatan baru.

1. Novasi Subjektif Aktif Pada Transaksi Antara Penerbit

dengan Merchant

a) Dari segi para pihak

Transaksi antara bank sebagai penerbit dengan merchant

yang berupa pembayaran terlebih dahulu dari pihak penerbit

atas transaksi yang telah dilakukan oleh pemegang kartu

dengan merchant memenuhi ketentuan pasal 1413 KUHPerdata

mengenai novasi. Hal ini dikarenakan adanya animus novandi

yaitu keinginan penerbit untuk menggantikan kedudukan

merchant, yaitu untuk menerima pembayaran dari pemegang

kartu. Transaksi ini timbul karena adanya hubungan hukum

150
yang terjadi antara pihak pemegang kartu kredit dengan

merchant, yang mana kedua belah pihak ini melakukan

transaksi jual beli barang atau pelayanan jasa dengan

menggunakan kartu kredit yang telah diterbitkan oleh

penerbit. Dalam transaksi tersebut ada keikutsertaan dari

pihak penerbit, sehingga ada unsur pihak ketiga.

Walaupun transaksi yang terjadi itu melibatkan pihak

ketiga, tapi unsur-unsurnya tidak memenuhi ketentuan

tentang cessie (vide pasal 613 ayat (1) dan (2) KUHPerdata)

dan ketentuan mengenai subrogasi (vide pasal 1401

KUHPerdata). Hal ini dikarenakan transaksi ini bukan

merupakan penyerahan tagihan oleh merchant kepada penerbit,

sehingga tidak dapat dikatakan sebagai cessie, sebab cessie

harus dilakukan dengan akta dan diberitahukan kepada

pemegang kartu. Demikian pula dengan subrogasi. Transaksi

antara penerbit dengan merchant bukan merupakan subrogasi.

Meskipun setelah penerbit membayar kepada merchant penerbit

menggantikan kedudukan merchant, tapi transaksi tersebut

tidak memenuhi unsur harus dinyatakan dan dilakukan tepat

pada waktu pembayaran sebagaimana halnya subrogasi. Hal ini

disebabkan karena kewajiban pemegang kartu kredit kepada

penerbit baru timbul pada saat jatuh tempo pembayaran kartu

151
kredit, sedangkan penerbit membayar kepada merchant

terlebih dahulu sebelum penerbit menagih pada pemegang

kartu. Sehingga ada perbedaan mengenai waktu pembayaran

antara penerbit kepada merchant dengan pemegang kartu

kepada penerbit.

Dalam transaksi ini penerbit (kreditur baru)

berkedudukan menggantikan peran merchant sebagai kreditur

pertama terhadap pemegang kartu kredit (debitur). Penerbit

membayar terlebih dahulu harga transaksi yang telah

dilakukan olen pemegang kartu dengan merchant sesuai dengan

nota yang diterimanya dari merchant. Kemudian penerbit

mengirimkan tagihan-tagihan kepada pemegang kartu

berdasarkan nota yang telah diterimanya dari merchant itu

atas transaksi yang telah dilakukan oleh pemegang dengan

merchant yang bersangkutan. Sehingga dengan demikian

pemegang kartu tidak membayar harga dari transaksi yang

telah dilakukannya itu kepada merchant, melainkan kepada

penerbit. Jadi disini penerbit berkedudukan sebagai

kreditur baru terhadap pemegang kartu.

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa novasi yang

terjadi disini adalah novasi subjektif. Pada novasi

subjektif ini terjadi kesepakatan tiga pihak antara

152
kreditur, debitur, dan pihak ketiga untuk melakukan

pembaharuan hutang. Jika dikaitkan dengan transaksi yang

dilakukan dengan menggunakan kartu kredit, maka yang

menjadi debitur disini adalah pemegang kartu kredit.

Sementara itu merchant berkedudukan sebagai kreditur dan

penerbit sebagai pihak ketiga, yang untuk selanjutnya

berkedudukan sebagai kreditur baru.

Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa

memang ada keinginan dari pihak penerbit untuk menggantikan

kedudukan merchant sebagai kreditur terhadap pemegang

kartu. Keinginan tersebut kemudian dituangkan dalam salah

satu pasal dalam perjanjian, baik dalam perjanjian

penerbitan kartu kredit (antara penerbit dengan pemegang

kartu) maupun perjanjian merchant (antara penerbit dengan

merchant).

Dengan terpenuhinya unsur-unsur novasi sebagaimana

yang diatur dalam pasal 1413 KUHPerdata, maka dapat ditarik

suatu kesimpulan bahwa transaksi dengan menggunakan kartu

kredit, terutama mengenai transaksi antara bank dengan

merchant merupakan contoh adanya penerapan konsep novasi

(pembaharuan hutang). Dikarenakan yang diperbaharui disini

adalah krediturnya, yaitu yang mana semula yang menjadi

153
kreditur adalah merchant, kemudian digantikan oleh penerbit

sebagai kreditur baru, maka jenis novasi yang terjadi dapat

dikategorikan sebagai novasi subjektif aktif. Novasi

subjektif aktif terjadi jika kreditur dalam perikatan yang

lama diganti oleh pihak ketiga sebagai kreditur dalam

perikatan yang baru. Hal inilah yang terjadi pada transaksi

tersebut.

Dalam novasi subyektif aktif, pihak barunya adalah

kreditur baru. Jadi berdasarkan pasal 1413 ayat (3)

susunannya adalah kreditur lama, kreditur baru, dan

debitur.

i. Debitur adalah orang yang meminjam uang dari

kreditur dan oleh karena itu ia mempunyai

kewajiban untuk mengembalikan uang dengan bunganya

pada waktu yang sudah ditentukan kepada kreditur.

Jika dikaitkan dengan kartu kredit, maka yang

menjadi debitur adalah pemegang kartu. Pemegang

kartu mempunyai perjanjian karu kredit dengan

penerbit, yang kemudian menggunakan kartu tersebut

untuk bertransaksi dengan merchant. Pemegang kartu

melakukan transaksi jual beli barang atau

pelayanan jasa dengan merchant, oleh karena itu

154
setelah pemegang kartu menerima barang/jasa

tersebut ia mempunyai kewajiban untuk membayarnya.

Pembayaran tersebut dilakukan dengan menggunakan

kartu kredit.

ii. Kreditur lama adalah orang yang berhak menerima

prestasi dari debitur yaitu pelunasan hutang

dengan bunganya, dan karena sesuatu hal ia

mengalihkan hak menerima prestasi tersebut kepada

kreditur baru. Tapi dalam hal ini ia harus

mendapat persetujuan dari pihak debitur.

Jika dihubungkan dengan kartu kredit, maka yang

menjadi kreditur lama adalah pihak merchant.

Merchant berhak menerima prestasi dari pemegang

kartu dalam bentuk pembayaran terhadap barang/jasa

yang telah dijualnya kepada pemegang kartu.

Dikarenakan pembayarannya menggunakan kartu

kredit, maka penerbit yang mengeluarkan kartu

kredit tersebut harus membayar terlebih dahulu

transaksi tersebut. Dengan demikian pemegang kartu

nantinya akan membayar pada penerbit. Ini berarti

merchant mengalihkan hak menerima prestasinya

kepada penerbit, dan untuk hal ini sudah mendapat

155
persetujuan dari debitur yaitu pemegang kartu yang

mana hal ini dapat dilihat dalam perjanjian

merchant.

iii. Kreditur baru adalah orang yang ditunjuk oleh

kreditur lama untuk menerima prestasi-prestasi

dari debitur. Tapi hal ini harus terlebih dahulu

disetujui oleh debitur. Dengan demikian hak untuk

menerima prestasi dihapuskan pada kreditur lama

dan dialihkan pada kreditur baru (pasal 1420

KUHPerdata).

Jika dikaitkan dengan kartu kredit, maka yang

menjadi kreditur baru adalah penerbit. Disini

penerbit berfungsi untuk menggantikan kreditur

lama (merchant) dalam menerima prestasi-prestasi

dari debitur (pemegang kartu), sebab hak untuk

menerima prestasi yang berupa pembayaran dari

pemegang kartu sudah dialihkan oleh merchant

kepada penerbit. Hal ini pun sudah mendapat

persetujuan dari debitur, yang mana hal tersebut

dapat dilihat dalam perjanjian pemegang/penerbitan

kartu kredit. Dengan demikian hak merchant untuk

menerima prestasi hapus dan dialihkan pada

156
penerbit sebagai akibat pembayaran yang dilakukan

terlebih dahulu oleh penerbit kepada merchant.

b) Dinyatakan dengan tegas

Menurut pasal 1415 KUHPerdata ditentukan syarat novasi

yaitu bahwa kehendak mengadakan novasi harus ternyata tegas

dari perbuatan hukum para pihak. Dengan kata lain bahwa

novasi tidak dipersangkakan. Jika dikaitkan dengan

transaksi menggunakan kartu kredit, maka hal ini dapat

dilihat dalam perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak.

Dalam perjanjian merchant yang dibuat oleh pihak penerbit

dengan merchant, ada salah satu klausula yang menyatakan

bahwa merchant menyetujui untuk menerima transaksi

pembelian dengan kartu kredit dan bank berjanji akan

menerima setiap nota dari penggunaan kartu kredit tersebut

serta akan membayar merchant atas jumlah penjualannya

sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan dalam perjanjian

(vide pasal 2 perjanjian merchant).

Sementara itu dalam perjanjian penerbitan kartu

kredit, disebutkan bahwa bank/penerbit akan membayar dahulu

kepada pedagang atau bank lain semua transaksi yang

dilakukan dengan kartu tersebut berdasarkan faktur

157
transaksi yang diserahkan kepada bank/penerbit yang mana

kemudian bank akan mengirimkan tagihannya kepada pemegang

kartu sesuai dengan kesepakatan (vide pasal 3 perjanjian

pemegang kartu kredit).

Dari kalusula-klausula tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa para pihak dalam perjanjian kartu kredit

jelas menyetujui adanya novasi. Walaupun tidak secara jelas

menyebutkan kata ”novasi”, tapi hal ini dapat disimpulkan

dari perbuatan hukum para pihak. Perbuatan hukum tersebut

merupakan realisasi dari perjanjian-perjanjian yang telah

dibuatnya, yang mana dalam perjanjian tersebut terdapat

salah satu klausula yang menginginkan adanya pembayaran

kepada pihak ketiga.

c) Dari segi akibat hukum yang timbul

i) Dengan adanya penggantian kreditur lama oleh

kreditur baru, maka debitur yang mengikatkan

dirinya kepada kreditur baru dibebaskan dari segala

perikatannya dari kreditur lama. Demikian juga

dalam bertransaksi dengan menggunakan kartu kredit.

Dengan digantinya merchant yang merupakan kreditur

lama dengan penerbit yang berkedudukan sebagai

158
kreditur baru, maka debitur (yang dalam hal ini

adalah pemegang kartu) yang mengikatkan dirinya

kepada kreditur baru dibebaskan dari segala

perikatannya dengan kreditur lama. Sehingga dengan

demikian pemegang kartu setelah melakukan transaksi

jual beli barang atau pelayanan jasa dengan

merchant tidak ada hubungan hukum lagi dengan

merchant, sebab perikatannya dengan merchant

sebagai kreditur lama sudah hapus dan ia dibebaskan

dari kewajibannya terhadap merchant. Sebagai

gantinya, maka pemegang kartu harus memenuhi

kewajibannya terhadap penerbit yang mana dalam hal

ini berkedudukan sebagai kreditur baru. Adapun

bentuk kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang

kartu terhadap penerbit adalah dengan membayar

setiap tagihan-tagihan yang dikirimkan oleh

penerbit yang didasarkan pada transaksi yang telah

dilakukan oleh pemegang kartu dengan merchant.

ii) Terhadap kreditur baru, debitur tidak dapat

mengajukan tuntutan-tuntutan (tangkisan-tangkisan)

yang sebenarnya hanya dapat diajukan khususnya

terhadap kreditur lama, sekalipun mengenai hal

159
tersebut tidak diketahuinya sewaktu membuat

perjanjian baru. Hal ini dapat dilihat dalam

perjanjian pemegang kartu dimana salah satu pasal

di dalamnya menyebutkan bahwa bank/penerbit tidak

bertanggungjawab atas setiap cacat atau kekurangan-

kekurangan lain baik dalam jumlah, mutu, kesesuaian

dan segala sesuatu pada barang-barang atau jasa-

jasa yang dibeli dan dibayar dengan menggunakan

kartu (vide pasal 7 perjanjian pemegang kartu).

Apabila timbul tuntutan atau sengketa dengan

pedagang/merchant, pemegang kartu tidak berhak

untuk menolak membayar rekening atau setiap bagian

dari padanya. Namun demikian, hal tersebut tidak

menutup kemungkinan bagi debitur untuk menuntut

kreditur lama (pasal 1419 KUHPerdata).

Jadi berdasarkan uraian tersebut, maka dapat ditarik

suatu kesimpulan bahwa transaksi yang terjadi antara

penerbit dengan merchant dalam hal penerbit mengikatkan

diri kepada merchant untuk membayar suatu jumlah terhutang

oleh pemegang kartu memenuhi unsur-unsur dalam pasal 1413

KUHPerdata tentang novasi. Dalam hal ini penerbit akan

160
membayar suatu jumlah terhutang oleh pemegang kartu kepada

merchant asalkan barang/jasa yang telah diserahkan sesuai

dengan ketentuan dan syarat yang sudah disepakati

berdasarkan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.

2. Novasi Objektif Pada Pengkonversian Hubungan Hukum Jual

Beli Antara Merchant dengan Pemegang Kartu Kredit

Menjadi Hubungan Hukum Utang Piutang Antara Penerbit

dengan Pemegang Kartu Kredit

a) Dari segi Objek yang diperjanjikan

Hubungan hukum yang terjadi antara pemegang kartu

kredit dengan merchant merupakan perjanjian yang berupa

transaksi jual beli barang atau pelayanan jasa. Sedangkan

hubungan hukum antara penerbit dengan pemegang kartu

merupakan hubungan hukum hutang piutang dalam bentuk

pemberian fasilitas kredit dari penerbit kepada pemegang

kartu. Jika dikembalikan pada perjanjian kartu kredit

secara keseluruhan, maka kedua hubungan hukum tersebut

dapat dikatakan menganut konsep novasi (pembaharuan

hutang). Dikatakan demikian karena kedua hubungan hukum

tersebut merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan

satu dengan yang lainnya.

161
Hubungan hukum jual beli antara pemegang kartu dengan

merchant akan melahirkan hubungan hukum hutang piutang

antara pemegang kartu dengan penerbit. Hal ini dikarenakan

penerbitlah yang berkewajiban untuk membayarkan terlebih

dahulu kepada merchant harga transaksi yang terjadi antara

pemegang kartu dengan merchant. Sehingga dengan demikian,

pemegang kartu tidak perlu membayar secara tunai kepada

merchant. Sebagai gantinya pemegang kartu berkewajiban

untuk membayar harga tersebut kepada penerbit sesuai dengan

tagihan yang dikirimkan.

Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa disini

telah terjadi perubahan objek dari perjanjian kartu kredit

tersebut. Dimana semula objeknya adalah jual beli antara

pemegang kartu dengan merchant yang pembayarannya

menggunakan kartu kredit, kemudian diubah menjadi hutang

piutang antara pemegang kartu dengan penerbit yang

merupakan akibat adanya pembayaran dengan kartu kredit yang

diterbitkan oleh penerbit yang bersangkutan.

Dikarenakan yang diubah disini adalah objek

perjanjiannya, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai

jenis novasi objektif. Novasi obyektif adalah suatu novasi

dimana perikatan yang lama diganti dengan perikatan yang

162
baru, yang di dalamnya mengandung suatu obyek perikatan

yang lain. Adapun yang dimaksud dengan objek perikatan

disini adalah bisa meliputi benda/zaak-nya maupun causa-

nya. Untuk kasus kartu kredit ini maka objek perikatan yang

dirubah adalah yang meliputi causa-nya, artinya mengubah

sebab dari perikatannya. Novasi obyektif yang meliputi

penggantian sebab dari perikatan adalah dengan mengganti

atau mengubah hubungan obligatoir yang melahirkan

perikatannya.

Jika dikaitkan dengan kartu kredit dapat digambarkan

sebagai berikut:

1) Pemegang kartu mengadakan perjanjian/transaksi jual

beli barang atau pelayanan jasa dengan merchant,

dimana dalam transaksi tersebut ada kesepakatan

bahwa pembayaran akan dilakukan dengan menggunakan

kartu kredit. Jadi tidak secara tunai.

2) Berdasarkan perjanjian merchant (antara merchant

dengan penerbit) dan perjanjian pemegang kartu

(antara pemegang kartu dengan penerbit), maka

penerbitlah yang harus membayarkan terlebih dahulu

atas harga dari transaksi yang dilakukan oleh

merchant dengan pemegang kartu kepada merchant.

163
3) Atas pembayaran yang dilakukan oleh penerbit kepada

merchant itu, maka secara tidak langsung pemegang

kartu mempunyai hubungan hutang piutang terhadap

penerbit. Sehingga pemegang kartu tidak lagi harus

membayar harga transaksi yang dilakukannya kepada

merchant melainkan dibayar kepada penerbit.

Mengenai cara pembayarannya ini telah diatur dalam

perjanjian pemegang kartu.

Dengan merujuk pada uraian tersebut, maka dapat

ditarik suatu kesimpulan bahwa memang ada konsep novasi

objektif dalam perjanjian kartu kredit, dimana hubungan

hukum jual beli antara pemegang kartu dengan merchant

dikonversi menjadi hubungan hukum hutang piutang antara

pemegang kartu dengan penerbit. Jadi objek perikatan yang

semula berupa jual beli antara pemegang kartu dengan

merchant diubah menjadi hutang piutang antara pemegang

kartu dengan penerbit.

b) Dari segi akibat hukum yang timbul

Dengan adanya novasi, maka perikatan asli akan lenyap

atau hapus dan digantikan dengan perikatan baru yang

164
ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula. Jika

dikaitkan dengan kartu kredit, maka perikatan yang semula

terjadi antara pemegang kartu dengan merchant yang

berbentuk transaksi jual beli menjadi hapus dengan

diterimanya barang/jasa secara riil oleh pembeli (pemegang

kartu) dan diganti dengan perikatan antara penerbit dengan

pemegang kartu yang mana pemegang kartu diharuskan untuk

membayar sejumlah tagihan yang timbul akibat transaksi yang

dilakukannya dengan merchant.

165
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Mengenai Novasi

a) Sampai sekarang sebenarnya belum ada istilah baku

untuk menggantikan istilah novasi. Meskipun demikian

para sarjana dengan melihat pasal-pasal yang mengatur

novasi menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan novasi

adalah penggantian perikatan lama dengan suatu

perikatan baru.

b) Sebagaimana isi dari pasal 1381 KUHPerdata kalau kita

perhatikan dengan seksama, maka disana terdapat

penegasan bahwa novasi merupakan salah satu cara

penghapusan perikatan. Namun dari segi karakternya,

novasi berbeda sedikit dengan cara-cara penghapusan

perikatan lain seperti pembayaran, kompensasi ataupun

dengan penghapusan hutang. Sekalipun pada prinsipnya

novasi bertujuan menghapuskan perikatan, namun

166
hubungan hukum pada perikatan lama dilanjutkan dengan

perikatan baru. Terjadinya hal ini disebabkan

penghapusan perikatan dan hubungan hukum yang lama

dibarengi sekaligus dengan bentuk perikatan dan

hubungan hukum yang baru yang mana hal tersebut

mengambil posisi atas perjanjian dan hubungan hukum

lama.

c) Pembagian macam-macam novasi dapat dilihat dari pasal

1413 KUHPerdata. Dalam pasal ini disebutkan bahwa ada

tiga macam novasi yaitu:

i. Novasi objektif

adalah suatu novasi dimana perikatan yang lama

diganti dengan perikatan yang baru, yang di

dalamnya mengandung suatu obyek perikatan yang

lain. Novasi obyektif dapat terjadi dengan:

1) Mengganti atau mengubah isi dari perikatan.

2) Mengubah sebab dari perikatan

ii. Novasi subjektif aktif

Pada novasi subyektif aktif, yang diganti adalah

krediturnya. Dalam peristiwa seperti ini tidak

dapat dihindarkan bahwa perjanjian perlu

167
melibatkan tiga pihak, yaitu kreditur lama,

kreditur baru dan debitur.

iii. Novasi subjektif pasif

Novasi subyektif pasif adalah suatu novasi dengan

penggantian debitur. Penggantian debitur ini

menyebabkan perikatan antara debitur lama dengan

kreditur menjadi hapus dan diganti dengan

perikatan antara debitur baru dengan kreditur.

Penggantian debitur lama ini dapat terjadi dengan

dua cara yaitu:

1) Delegasi (Pemindahan)

debitur menawarkan kepada krediturnya seorang

debitur baru yang bersedia untuk mengikatkan

dirinya demi keuntungan kreditur atau dengan

perkataan lain bersedia untuk membayar hutang-

hutang debitur. Inisiatif novasi berasal dari

pihak debitur lama.

2) Exprommissio

adalah suatu penggantian debitur lama oleh

debitur baru tanpa adanya bantuan dari debitur

lama dalam mencari debitur baru. Inisiatif

novasi berasal dari kreditur.

168
2. Mengenai Kartu Kredit dan Hubungan Hukum Diantara Para

Pihaknya

a) Kartu Kredit adalah alat pembayaran melalui jasa Bank

/Perusahaan Pembiayaan dalam transaksi jual beli

barang/jasa, atau alat untuk menarik uang tunai dari

Bank/Perusahaan Pembiayaan. Alat pembayaran tersebut

diterbitkan berdasarkan perjanjian penerbitan kartu

kredit.

b) Dalam hubungan hukum kartu kredit selalu terdapat dua

perjanjian, yaitu perjanjian penerbitan kartu kredit

dan perjanjian penggunaan kartu kredit. Kedua

perjanjian tersebut dibuat berdasarkan asas kebebasan

berkontrak.

c) Perjanjian penerbitan kartu kredit dapat dikatakan

masuk dalam klasifikasi perjanjian baku (perjanjian

standar) karena dokumen yang mengandung syarat

perjanjian sudah dipersiapkan dan ditentukan terlebih

dahulu oleh penerbit/issuer/sebagai kreditur.

d) Perjanjian pemegang kartu ini pada dasarnya terdiri

dari perjanjian pemberian fasilitas kredit dan

169
perjanjian pemakaian kartu kredit sebagai alat

pembayaran.

e) Dalam perjanjian pemberian fasilitas kredit ini

terdapat karakteristik perjanjian pinjam-meminjam

(verbruiklening).89 Hal ini dikarenakan uang sebagai

objek perjanjian memenuhi kriteria obyek perjanjian

pinjam meminjam dalam KUHPerdata, yaitu bersifat habis

karena pemakaian (vide pasal 1754-1773 KUHPerdata).

f) Mengenai perjanjian pemakaian kartu kredit sebagai

alat pembayaran, dalam perjanjian antara pemegang

kartu dan penerbit terdapat klausul bahwa kartu kredit

adalah milik penerbit, namun hak pemakaiannya

diberikan pada pemegang kartu dengan syarat dan

kondisi tertentu. Perjanjian penggunaan kartu kredit

merupakan kegiatan memanfaatkan kartu kredit oleh

pemegangnya untuk memperoleh barang/jasa dengan

pembayarannya memakai kartu kredit tersebut.

Perjanjian penggunaan kartu kredit ini merupakan

implikasi dari adanya perjanjian penerbitan kartu.

89
Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan (Dalam Teori Dan Praktek), (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2002), hal. 184.

170
g) Hubungan hukum yang timbul antara penerbit kartu

dengan merchant adalah dalam konteks perjanjian

penggunaan kartu kredit yang bersifat hubungan

segitiga. Perjanjian segitiga ini baru sempurna

berlaku jika jual beli telah dilakukan antara pemegang

kartu dengan penjual. Melihat isi perjanjian yang

lazim diperjanjikan diantara kedua belah pihak, dapat

diketahui bahwa sifat hubungan hukum dalam perjanjian

yang dimaksud adalah hubungan hukum untuk melakukan

pekerjaan tertentu.

h) Perjanjian antara penerbit dengan merchant lazim

disebut dengan perjanjian merchant yang dibuat dengan

syarat baku oleh pihak penerbit. Perjanjian merchant

merupakan suatu perjanjian untuk kepentingan pihak

ketiga (derden beding) yaitu card holder. Perjanjian

merchant ini juga mengandung unsur pemberian kuasa,

yaitu dalam hal pembayaran barang/jasa yang dibeli

pemegang oleh penerbit dan ketika penerbit diberi hak

untuk mendebet dari rekening bank merchant atas fee

atau discount yang dikenakan. Dalam hal pemakaian alat

otorisasi oleh merchant yang dipinjamkan oleh penerbit

terdapat unsur pinjam pakai (Bab XII Buku Ketiga

171
KUHPerdata). Hal ini dikarenakan alat tersebut

merupakan milik penerbit yang mana harus dikembalikan

merchant apabila perjanjian sudah berakhir.

i) Antara pemegang kartu kredit dengan pihak penjual

barang/jasa terhadap mana kartu kredit dipergunakan,

juga terdapat suatu hubungan hukum berupa perjanjian,

bahkan seringkali tidak tertulis. Yang paling lazim

tentunya perjanjian jual beli. Namun dalam hal ini ada

keikutsertaan pihak penerbit sebagai salah satu pihak

dalam perjanjian jual beli tersebut.

3. Mengenai Konsep Novasi Dalam Hubungan Hukum Pada

Perjanjian Kartu Kredit

a) Jika bertolak dari fungsinya sebagai alat bayar, maka

kartu kredit dapat pula berfungsi sebagai alat untuk

memenuhi prestasi, yaitu prestasi debitur terhadap

kreditur. Dalam hal inilah terlihat adanya penerapan

konsep novasi.

b) Transaksi antara bank sebagai penerbit dengan merchant

yang berupa pembayaran terlebih dahulu dari pihak

penerbit atas transaksi yang telah dilakukan oleh

pemegang kartu dengan merchant memenuhi ketentuan

172
pasal 1413 KUHPerdata mengenai novasi. Hal ini

dikarenakan adanya animus novandi yaitu keinginan

penerbit untuk menggantikan kedudukan merchant, yaitu

untuk menerima pembayaran dari pemegang kartu.

Keinginan tersebut kemudian dituangkan dalam salah

satu pasal dalam perjanjian, baik dalam perjanjian

penerbitan kartu kredit (antara penerbit dengan

pemegang kartu) maupun perjanjian merchant (antara

penerbit dengan merchant).

c) Hubungan hukum jual beli antara pemegang kartu dengan

merchant akan melahirkan hubungan hukum hutang piutang

antara pemegang kartu dengan penerbit. Hal ini

dikarenakan penerbitlah yang berkewajiban untuk

membayarkan terlebih dahulu kepada merchant harga

transaksi yang terjadi antara pemegang kartu dengan

merchant. Sehingga dengan demikian, pemegang kartu

tidak perlu membayar secara tunai kepada merchant.

Sebagai gantinya pemegang kartu berkewajiban untuk

membayar harga tersebut kepada penerbit sesuai dengan

tagihan yang dikirimkan. Jadi dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa disini telah terjadi perubahan objek

dari perjanjian kartu kredit tersebut. Dimana semula

173
objeknya adalah jual beli antara pemegang kartu dengan

merchant yang pembayarannya menggunakan kartu kredit,

kemudian diubah menjadi hutang piutang antara pemegang

kartu dengan penerbit yang merupakan akibat adanya

pembayaran dengan kartu kredit yang diterbitkan oleh

penerbit yang bersangkutan. Hal ini dapat

dikategorikan sebagai jenis novasi objektif. Untuk

kasus kartu kredit ini maka objek perikatan yang

dirubah adalah yang meliputi causa-nya, artinya

mengubah sebab dari perikatannya.

B. SARAN

Berkenaan dengan pembahasan yang telah Penulis uraikan

sebelumnya, maka Penulis mempunyai beberapa saran, yaitu:

1. Perkembangan penggunaan kartu kredit sebagai fungsi

pembayaran hendaknya lebih diperhatikan, terutama dalam

hal mengenai perangkat hukumnya. Hendaknya mulai

direncanakan suatu bentuk peraturan yang khusus mengatur

mengenai kartu kredit, yang mengatur tentang usaha kartu

kredit beserta persyaratannya, dan juga mengenai syarat-

syarat formil serta materiil dari setiap perjanjian yang

174
timbul dalam rangka penggunaan kartu kredit sebagai alat

pembayaran.

2. Meskipun dalam perjanjian antara para pihak yang

terlibat dengan transaksi menggunakan kartu kredit ada

salah satu klausula yang menyatakan bahwa merchant

menyetujui untuk menerima transaksi pembelian dengan

kartu kredit dan bank/penerbit setuju membayar terlebih

dahulu atas transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu

dengan merchant yang mana hal tersebut mencerminkan

adanya novasi, tapi sebaiknya dalam perjanjian tersebut

dituliskan dengan nyata kata “novasi”, agar tidak

terjadi keraguan apakah dalam perjanjian tersebut ada

konsep novasi atau tidak.

175
DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus. K.U.H.Perdata Buku III Hukum


Perikatan Dengan Penjelasan. Bandung: Alumni. 1983.

Baker, Ronald A. “Problems of Credit Card Regulations AUS


Prespective”. dalam Newsletter No. 6 Tahun 1994.
Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum. 1994.

Brakel, S. v. Leerboek van het Nederlands


Verbintenissenrecht. Jilid I dan Jilid II. Cet. Ke-3.
Zwollw: Tjeenk Willink. 1948.

Chalik, H. A. dan Marhainis Abdul Hay. Beberapa Segi Hukum


Di Bidang Perkreditan. Jakarta: Pradnya Paramita.
1986.

Dahlan Siamat. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta:


Intermedia. 1995.

Departemen Keuangan. Keputusan Menteri Keuangan Tentang


Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga
Pembiayaan. Kepmen Keuangan No. 1251/KMK. 013/1988.

Dury, Tony & Charles W. Ferrier. Credit Cards. London :


Butterworths. 1984.

Fuady, Munir. Hukum Tentang Pembiayaan (Dalam Teori Dan


Praktek). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2002.

Harahap, M. Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Cet. II.


Bandung: Alumni. 1986.

Hartono,Sri Redjeki. Penulisan Karya Ilmiah Tentang Aspek


Hukum Penggunaan Kartu Kredit. Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. 1995.

Hay, Marhainis Abdul. Hukum Perdata Materiil. Jakarta:


Pradnya Paramita. 1984.

Hofmann, L. C. Het Nederlands Verbintenissenrecht. Cet. Ke-


4. Groningen: J. B. Wolters. 1935.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Agraria. UU No. 5 tahun 1960. LN No. 104 tahun 1960.
TLN No. 2043.

. Undang-Undang Tentang Badan Usaha Milik Negara.


UU No. 9 tahun 1969. LN No. 40 tahun 1969. TLN No.
2904.

. Keputusan Presiden Tentang Lembaga Pembiayaan.


Kepres No. 61 tahun 1988. LN No. 53 tahun 1988.

. Undang-Undang Tentang Perbankan. UU No. 7 Tahun


1992 .

. Undang-Undang Tentang Wajib Daftar Perusahaan.


UU No. 3 tahun 1992.

. Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas. UU No.


1 tahun 1995. LN No.13 tahun 1995. TLN No. 3587.

. Undang-Undang Tentang Dokumen Perusahaan. UU No.


8 tahun 1997. LN No. 18 tahun 1997. TLN No. 3674.

. Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen. UU


No. 8 tahun 1999. LN No. 42 tahun 1999. TLN No. 3821.

. Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan. UU No. 16 tahun 2000. LN No. 126
tahun 2000. TLN No. 3984.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek].


diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio.
cet. 29. Jakarta: Pradnya Paramita. 1999.

Mamudji, Sri et. al. Metode Penelitian Dan Penulisan


Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. 2005.

Meyers, E. M. Algemene leer van het Nederlands


Burgelijkrecht. Jilid I. De Algemene begrippen van het
Burgelijkrecht. Leiden: Universitaire pers. 1948.
Muhammad, Abdulkadir dan Rilda Muniarti. Segi Hukum Lembaga
Keuangan Dan Pembiayaan. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti. 2000.

Pitlo, A. Tafsiran Singkat Tentang Beberapa Bab Dalam Hukum


Perdata. diterjemahkan oleh M. Moetasad. Jakarta:
Intermasa. 1977.

Russel, Thomas. The Economics of Bank Credit Cards. New


York : Praeger Publishers inc. 1975.

Satrio, J. Cessie, Novatie, Kompensatie Dan Percampuran


Hutang. Bandung: Alumni. 1991.

Setiawan, R. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Alumni.


1987.

Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta:


Intermedia. 1995.

Simatupang, Richard Burton. Aspek Hukum Dalam Bisnis.


Jakarta: Rineka Cipta. 1995.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI


Press. 1986. cet. 3.

Soerjopratiknjo, Hartono. Hutang Piutang, Perjanjian-


Perjanjian, Pembayaran, Dan Jaminan Hipotik.
Yogyakarta. 1984.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perdata Hukum


Perhutangan Bagian B. Yogyakarta: Seksi Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Gajahmada. 1980.

Subekti. Hukum Perjanjian. cet. XI. Jakarta: PT Intermasa.


1987.

Suharnoko dan Endah Hartati. Doktrin Subrogasi, Novasi, Dan


Cessie Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. 2005.
Suryohadibroto, Imam Prayogo dan Djoko Prakoso. Surat
Berharga. Jakarta: Rineka Group. 1991.

The New Encyclopedia Britanica. 15th edition. volume 3.

Vollmar, H. F. A. Pengantar Studi Hukum Perdata. Jilid II.


Jakarta: CV Rajawali. 1984.

Walker, David M. The Oxford Companion To Law. London: 1980.

Zender, Michael. Guide To Law. London: Pelhamsbooks. 1979.

Anda mungkin juga menyukai