Anda di halaman 1dari 167

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN NEGARA SEBAGAI


SUBJEK HUKUM PERDATA DI DALAM KONTRAK BAGI
HASIL / PRODUCTION SHARING CONTRACT (PSC) PADA
KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI DI
INDONESIA

SKRIPSI

HISAR JOHANNES MANULLANG


0806342270

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
DEPOK
JULI 2014

Analisis yuridis kedudukan..., Hisar Johannes, FH UI, 2014


UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN NEGARA SEBAGAI


SUBJEK HUKUM PERDATA DI DALAM KONTRAK BAGI
HASIL / PRODUCTION SHARING CONTRACT (PSC) PADA
KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI DI
INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

HISAR JOHANNES MANULLANG


0806342270

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG HUBUNGAN ANTARA SESAMA
ANGGOTA MASYARAKAT
DEPOK
JULI 2014
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,

dan semua number baik yang dikutip maupun yang dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nzma

NPM 2270

Tanda tangan

Tanggal
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan


oleh
Hisar Johannes
h'ama Manuliang 0806342270
NPM 11mu Hukum
Program Studi A ALISIS YURIDIS KEDUDUKAN NEGARA
Judul Skripsi SEBAGAI SUBJEK HUKUM PERDATA DI
D.ATAU KONTRAK RAGT HAST.
PRODUCTION SHARING CONTRACT (PSC)
PADA KEGIATAN USAHA HULL MINYAK
DAN GAS BLIMI DI INDONESIA

Telah berhasil dipertatiaakan di hadapan Dewar Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum peda Program Studi Ilmu Hakum, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUIN

Pembimbing Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H.

Pembimbing Dr. Tri Hayati, S.H., M.H.

Penguji Suhamoko, S.H., MQ

Penguji Endah Hartati, S.H., M.H.

Penguji Abdul Salam, S.H., M.H.

Ditetapkan di Depok
Tanggal 7 Juli 2014
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Bapa di surga, Allah Putra
dan Allah Roh Kudus karena kasih setia-Nya yang tidak pernah pudar atas diri
saya sebagai pribadi yang penuh kekurangan dan kelemahan dihadapan-Nya. Atas
seizin-Nya, saya menerima kesempatan terbaik untuk menempuh pendidikan di
fakultas terbaik di universitas terbaik di negeri ini, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Begitu juga kini, meskipun banyak tingkah laku saya yang tidak baik,
tetapi saya tetap dipercaya untuk bisa memanfaatkan dengan baik kesempatan
yang terakhir ini untuk tidak mengkhianati kasih setia dari Allah tersebut dan
tidak menyia-nyiakan kepercayaan yang sudah saya terima.
Segala puji dan syukur juga saya haturkan ke hadirat Bunda Maria
Perawan yang Agung, Bunda setiap keluarga, Bunda yang Baik dan Murah Hati,
tempat segala doa dikabulkan. Banyak hal yang sudah saya lalui, sampai akhirnya
saya dipertemukan dengan rahmat-Mu melalui Novena 3 Salam Maria. Melalui
pertemuan tersebut, saya telah menjadi saksi bahwa memang tidak akan pernah
kau membiarkan orang yang datang meminta pertolongan-Mu. Dengan itu juga
saya belajar untuk memperbaiki kekurangan dan kelemahan saya, dan yang utama
adalah mau mencontoh teladan putra-Nya yang Kudus untuk teguh memikul
salibku sendiri.
Atas campur tangan Yang Ilahi itu, saya juga dipertemukan dengan
perantara-perantara-Nya yang baik di dunia ini. Semua pihak yang ada di sekitar
saya, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, telah turut
mengambil bagian di dalam penulisan skripsi ini sampai dengan selesai. Melalui
pertemuan dengan perantara-perantara yang baik tersebutlah saya bisa merasakan
campur tangan Tuhan atas penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, maka pada
kesempatan ini saya juga ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Keluarga besar saya, Manullang dan Siagian dimanapun berada (terlebih-
lebih Ompungku di kampung), yang sudah saya buat heboh dan panik
karena saya masih saja berulah bahkan di tingkat akhir pendidikan. Begitu
juga kepada kedua orangtua saya, Parpunguan Manullang dan Asty
Tionim Siagian. Kita berbeda sekali dalam banyak hal dan saya harus akui
bahwa saya tidak seperti kebanyakan anak yang penurut dan perhatian
dengan orang tuanya. Tetapi disamping itu semua, ucapan terima kasih
yang tidak terhingga saya sampaikan untuk semua pengorbanan, doa dan
kasih yang tidak berbatas atas saya.
Mungkin agak tersendat jalannya bagi saya untuk bisa membanggakan
keluarga, tapi saya yakin doa dan dukungan dari keluarga jugalah pada
akhirnya nanti yang akan menghantarkan saya kepada keadaan yang lebih
baik dari sekarang ini. Hingga tiba saatnya nanti, saya akan berpegang
teguh dengan apa yang sudah menjadi bekal saya, yaitu bahwa molo Anak
ni Raja ingkon i ula ulaonni Harajaon, i ma: Sijujung Ni Ninggor,
Sitingkos Ni Ari, Hatian Na So Ra Monggal.

2. Para pembimbing saya selama penulisan skripsi ini, yaitu Ibu Prof. Dr.
Rosa Agustina, S.H., M.H. dan Ibu Dr. Tri Hayati, S.H., M.H. Terima
kasih atas kesediaannya untuk membimbing disela-sela kesibukannya yang
padat dan juga untuk semua waktu, tenaga dan pemikiran yang telah
dicurahkan, serta untuk semua nasihat, semangat dan ilmu yang berharga
bagi saya dan bagi skripsi ini agar bisa menjadi sempurna. Terima kasih
juga karena sudah menjadi pembimbing yang di luar perkiraan saya. Saya
dipertemukan dengan dosen pembimbing yang sangat peduli dan
mengayomi anak bimbingannya, tidak sungkan untuk menghadirkan
senyuman disela-sela bimbingan, sehingga suasana menjadi tidak terlalu
menegangkan lagi bagi saya. Jadi dengan itu, sejujurnya sedikit banyak
saya merasa tidak hanya dibimbing tapi tertolong juga dari kesan dan
suasana yang saya terima selama bimbingan.

3. Para dosen penguji, yaitu Bapak Suharnoko, S.H., M.H., Ibu Endah
Hartati, S.H., M.H., dan Bapak Abdul Salam, S.H., M.H. Terima kasih
sudah berkenan untuk mengambil bagian dalam penuntasan skripsi saya
ini dengan menjadi tim penguji atas skripsi ini. Terima kasih untuk waktu,
tenaga dan pemikirannya yang digunakan untuk membuat skripsi saya ini
semakin sempurna. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas ilmu yang
telah diberikan selama kuliah dalam mempelajari ilmu-ilmu hukum
perdata.

4. Pembimbing akademis saya, Ibu Flora Dianti S.H., M.H., yang senantiasa
memberikan nasihat dan motivasi yang berharga bagi saya selama
menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

5. Seluruh rekan-rekan LKP & POP yang sudah saya anggap seperti saudara
sendiri. Terima kasih karena saya masih diingat dan tetap diperhatikan.
Terima kasih juga untuk semangat dan motivasi yang sudah diberikan.
Terima kasih walaupun disela-sela kesibukannya masih mau meluangkan
waktu untuk bertanya. Terima kasih atas inisiatifnya tiba-tiba saja muncul
di rumah saya, untuk memberi semangat. Di luar itu, banyak kekurangan
saya, entah ada yang merasa saya bohongi ataupun kurang puas dengan
jawaban yang saya berikan terkait dengan penyelesaian skripsi yang terlalu
lambat ini. Untuk itu semua, dengan segala kerendahan hati saya juga
menyatakan permohonan maaf, karena mungkin saya sudah cukup
mengecewakan sebagai teman.

6. Sahabat-sahabat saya sejak kecil, Alexander Bayu, Erick Salim, Fabio


Octaviano, Genta Dwiatma Agusta, Gustaft Achmadi, Ignatius Dwi,
Martin Ade Putra (Alm.), Robby Moesco, David Gunawan serta kepada
anggota-anggota futsal AMI FC lainnya. Mungkin ini agak terkesan
seperti memanfaatkan, tapi dengan tulus saya ucapkan terima kasih karena
sudah menjadi bagian dari kehidupan saya yang selalu bisa membawa
keceriaan dan gelak tawa di saat saya suntuk. Ketika saya bertemu teman-
teman semua, pada saat itu juga semua kepenatan bisa hilang. Terima
kasih juga karena kemampuan saya bermain futsal menjadi semakin baik
dan lumayan masuk hitungan sekarang, haha…!!!
Terima kasih juga kepada teman-teman alumni Santo Andreas atas doa
dan dukungannya.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa pasti ada kekurangan di dalam
skripsi ini, baik di dalam teknis penulisan maupun substansi materi yang
diberikan. Untuk itu, kritik dan saran yang bisa membuat skripsi ini lebih baik lagi
menjadi sangat penting dan berharga untuk dapat digunakan sebagai pembelajaran
lebih lanjut. Saya berharap bahwa skripsi ini dapat membawa manfaat bagi setiap
pihak yang membacanya.

Tangerang, 2 Juli 2014

Hisar Johannes Manullang


Penulis
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA TULIS ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama : Hisar Johannes Manullang


NPM 0806342270
Program 3niai : iimu i-iuâum
Fakultas : Hukum
Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, berketetapan untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia xah aches Rovalti New Eksklasif INon-exclusive
RoyatJ-Free f g hi atas karya tulis iimiah saya yang berjudui:

" ANAT.ISTS YIIRIDIS YEDUDUKAN NEGARA SEBAGAI SUBJEK


HUKUM I•ERDATA DI DALAM KONTRAK BAGI HASIL /
PROaUcrioN BZt4art6' CONTRACT (PSC) PABA KEGIATAN USAHA
HULIJ MINYAK DAN €iAS BUMI DI TNDDNEfiIA ”

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Nonekslusif ini tJniversitas Indonesia berhak untuk menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola, dalam bentuk pangkalan data (database ),
merawat, dan mempublikasikan karya tulis ilmiah saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dari sebagai pemegang Hak
Cipta.

Demikian pemyataan ini saya buat denp•an sebenamya.

Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 7 Juli
2014

Yanenyatakan
ABSTRAK

Nama : Hisar Johannes Manullang


Program Studi : Ilmu Hukum
Judul : ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN NEGARA
SEBAGAI SUBJEK HUKUM PERDATA DI DALAM
KONTRAK BAGI HASIL / PRODUCTION SHARING
CONTRACT (PSC) PADA KEGIATAN USAHA HULU
MINYAK DAN GAS BUMI DI INDONESIA

Kontrak Bagi Hasil minyak dan gas bumi / Production Sharing Contract (PSC)
sangat penting di dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia.
Melalui kontrak tersebut tercermin berbagai kepentingan dari para pihak,
termasuk juga kepentingan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
pemilik sumber daya alam minyak dan gas bumi yang sah berdasarkan amanah
konstitusi (UUD 1945). Negara di dalam perkembangannya merupakan sebuah
organisasi / badan hukum yang sah menurut hukum perdata untuk dapat
melakukan perbuatan-perbuatan hukum perdata, termasuk juga untuk mengadakan
perjanjian / kontrak privat. Namun di dalam perkembangannya hubungan hukum
yang terbentuk dari kontrak tersebut menjadi sumber permasalahan yang
digunakan sebagai alasan untuk mengajukan permohonan judicial review di
Mahkamah Konstitusi (MK) atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi. Atas permohonan tersebut, kemudian MK memutuskan
bahwa hubungan hukum yang diwujudkan dalam bentuk kontrak tersebut telah
merendahkan martabat negara serta mengancam kedudukan negara sehingga
bertentangan dengan amanah Pasal 33 UUD 1945.

Kata kunci:
Kontrak Bagi Hasil, Minyak dan Gas Bumi, Kedudukan Negara, Subjek Hukum
Perdata
ABSTRACT

Name : Hisar Johannes Manullang


Study Program : Law
Title : JURIDICAL ANALYSIS ON THE COUNTRY LEGAL
POSITION AS THE SUBJECT OF CIVIL LAW IN THE
PRODUCTION SHARING CONTRACT (PSC) ON THE
PETROLEUM AND NATURAL GAS UPSTREAM
INDUSTRY IN INDONESIA

Production Sharing Contract (PSC) is very important in the petroleum and natural
gas upstream industry in Indonesia. Through these contracts reflected the various
interests of the parties, including the interests of the Republic of Indonesia as the
legitimate owner on the natural resources of petroleum and natural gas under the
constitutional mandate (1945 Constitution). Country in its development is an
organization / legal entity authorized by law to perform legal acts under the civil
law, as well as to make an agreement / private contract. However in the
development, the legal relationship derived by that contract has turned out to be
the source of problems which were used as a reason to apply for judicial review in
the Constitutional Court (MK) of Law No. 22 Year 2001 on Oil and Gas. To the
application, then the Court has decided that the legal relationship embodied in the
contract has been degrading the country dignity and has threatened the position of
the state that is contrary to the mandate of Article 33 of the 1945 Constitution.

Keyword:
Production Sharing Contract, Oil and Gas, Country Legal Position, Subject of
Civil Law
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS....................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................iii
KATA PENGANTAR............................................................................................iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS.................................viii
ABSTRAK..............................................................................................................ix
DAFTAR ISI...........................................................................................................xi

Bab I PENDAHULUAN..........................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah...............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................12
1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................12
1.4 Definisi Operasional..................................................................................13
1.5 Metode Penelitian......................................................................................14
1.6 Sistematika Penulisan.................................................................................18

Bab II RUANG LINGKUP PENGELOLAAN MINYAK DAN GAS


BUMI.............................................................................................20
2.1 Perkembangan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi di
Indonesia....................................................................................................20
2.1.1 Masa Sebelum Kemerdekaan Indonesia........................................20
2.1.2 Masa Awal Kemerdekaan Indonesia.............................................23
2.1.3 Masa Undang-Undang Prp No. 44 Tahun 1960.............................25
2.1.4 Masa Undang-Undang No. 22 Tahun 2001...................................30
2.2 Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Minyak dan Gas Bumi di
Indonesia....................................................................................................34
2.3 Sifat dan Ruang Lingkup Hukum Kontrak Migas di
Indonesia....................................................................................................40
2.4 Sejarah / Perkembangan Kontrak Kerja Sama dalam Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi di Indonesia.........................................................42
2.4.1 Konsesi...........................................................................................45
2.4.2 Kontrak Karya................................................................................49
2.4.3 Kontrak Bagi Hasil / Production Sharing Contract (PSC)...........51
2.5 Tinjauan Umum Mengenai Kontrak Bagi Hasil / Production Sharing
Contract di Indonesia.................................................................................53
2.5.1 Karakteristik Production Sharing Contract...................................53
2.5.2 Kelemahan Sistem Production Sharing Contract..........................56
2.5.3 Penyelesaian Sengketa di dalam Kontrak Bagi Hasil / Production
Sharing Contract............................................................................58

Bab III KONTRAK BAGI HASIL MIGAS / PRODUCTION


SHARING CONTRACT SEBAGAI PERJANJIAN PERDATA
......................................................................................................62
3.1 Unsur Perdata dan Publik dari Kontrak Bagi Hasil...................................62
3.2 Kontrak sebagai Dasar Lahirnya Perikatan................................................64
3.2.1 Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian..........................................66
3.2.2 Para Pihak dalam Kontrak..............................................................68
3.2.3 Pemerintah sebagai Subjek Hukum Perdata..................................69
3.2.4 Pemberian Kuasa............................................................................72
3.3 Aspek Hukum Perdata dari Kontrak Bagi Hasil / Production Sharing
Contract (PSC)...........................................................................................74
3.3.1 Para Pihak dalam Production Sharing Contract............................74
3.3.2 Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban Para Pihak di dalam
Production Sharing Contract........................................................74
3.3.3 Asas-Asas Hukum Perjanjian Perdata dalam Kontrak Bagi Hasil /
Production Sharing Contract........................................................77

Bab IV ANALISIS KEDUDUKAN NEGARA SEBAGAI SUBJEK


HUKUM PERDATA DI DALAM KONTRAK BAGI HASIL
MIGAS / PRODUCTION SHARING CONTRACT...................83
4.1 Negara sebagai Subjek Hukum Perdata.....................................................83
4.2 Dalam Konsesi...........................................................................................85
4.3 Dalam Kontrak 5A.....................................................................................86
4.4 Dalam Kontrak Karya...............................................................................87
4.5 Dalam Kontrak Bagi Hasil / PSC pada Masa UU 44 Prp 1960….............88
4.6 Dalam Kontrak Bagi Hasil / PSC pada Masa UU Migas 2001…..............92
4.7 Kedudukan Negara pada Masa SKK Migas..............................................96

Bab V PENUTUP....................................................................................98
5.1 Kesimpulan................................................................................................98
5.2 Saran..........................................................................................................99

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................102

LAMPIRAN
1. Draft Baku Production Sharing Contract pada Masa Badan Pelaksana
Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS)
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
(Migas) mengatur antara lain tentang penyelenggaraan kegiatan sektor migas,
yang salah satunya adalah kegiatan hulu migas (upstream). Kegiatan hulu migas
ini berintikan kegiatan mencari (exploration) dan mengangkat minyak dan gas
bumi dari dalam perut bumi dan menjualnya (exploitation). Minyak dan gas bumi
di dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU No 22 Tahun 2001 tersebut ditegaskan
sebagai sumber daya alam strategis yang tak terbarukan. Dikatakan tak terbarukan
karena, apabila sejumlah sumbernya dieksploitasikan maka untuk mengganti
sumber sejenis untuk jumlah yang sama belum tentu akan terjadi dalam waktu
jutaan tahun yang akan datang.
Namun begitu, minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia tetap diakui
merupakan komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak dan sangat
penting bagi kehidupan manusia. Di dalam tinjauan ekonomi mikro, komoditas ini
dikategorikan sebagai komoditas yang bersifat inelastis, yang maknanya adalah
berapapun harga dari komoditas ini, masyarakat akan tetap membelinya dalam
jumlah yang relatif sama.1 Hal tersebut menunjukkan bahwa walaupun
dihadapkan pada ancaman akan terjadinya kelangkaan migas di masa mendatang,
tetapi kebutuhan manusia akan minyak dan gas bumi tersebut tidak akan
berkurang, bahkan cenderung meningkat. Sejalan dengan kebutuhan manusia
yang tinggi akan minyak dan gas bumi tersebut, maka sektor minyak dan gas
bumi menduduki peran yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Begitu besar harapan yang disandarkan pada sektor ini, dikarenakan sektor
ini merupakan penyumbang devisa terbesar kedua setelah pajak. Setiap tahunnya,
sektor hulu migas menyumbang sekitar 30 persen dari penerimaan Negara. Migas

1
Dwi Condro Triono, Peran Negara dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam,
http://jurnal-ekonomi.org/peran-negara-dalam-pengelolaan-sumber-daya-alam/, diakses pada
tanggal 11 Maret 2014, pukul 21.30 wib.
juga menjadi penyedia energi bagi ekonomi nasional. Bahkan jauh sebelum
industri lain berkembang, hulu migas menjadi sumber utama devisa. Data
menunjukkan bahwa realisasi penerimaan dari sektor hulu migas sampai dengan
akhir tahun 2012 terus mengalami peningkatan.

Tabel I. 1 Realisasi Distribusi Penerimaan Sektor Hulu Migas


Buletin SKMigas – Januari 2013

Presiden Republik Indonesia, Soesilo Bambang Yudhoyono, pada saat


pembukaan konvensi dan pameran Indonesia Petroleum Association (IPA) ke-37,
Mei 2013 lalu menyampaikan bahwa sektor industri migas tetap menjadi salah
satu sektor andalan dan menjadi tulang punggung penerimaan Negara. Industri
hulu migas membukukan penerimaan negara sebesar US$31,315 miliar di
sepanjang tahun 2013.2 Pendapatan Negara sebesar kurang lebih 300 triliun rupiah
per tahun, tentu sangat penting untuk dipertahankan bahkan untuk ditingkatkan.3
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 diletakkan oleh para pendiri bangsa
sebagai dasar demokrasi ekonomi dan juga merupakan sumber hukum tertinggi di
dalam bidang perekonomian. Ketentuan tersebut sangat berperan di dalam
menentukan kebijakan-kebijakan terhadap pembangunan ekonomi termasuk
pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi.4 Terkait dengan
industri migas, maka kebijakan tersebut terwujud dan dengan jelas ditegaskan
sebagaimana tertulis di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut, yang
berbunyi,

2
http://www.skkmigas.go.id/industri-hulu-migas-bukukan-penerimaan-negara-us31315-
miliar, diakses pada tanggal 13 Maret 2014, pukul 01.00 wib.
3
“Review Utama Mendorong Investasi Migas Nasional,” Business Review Edisi 09,
(Desember 2013), hlm. 32.
4
Elli Ruslina, Dasar Perekonomian Indonesia dalam Penyimpangan Mandat Konstitusi
UUD Negara Tahun 1945, Yogyakarta: Total Media, 2013, hal 74.
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.

Kemakmuran atau kesejahteraan rakyat adalah esensi murni dari tujuan


demokrasi. Demi tercapainya cita-cita tersebut, maka diperlukan suatu
kemampuan dalam menciptakan nilai tambah, efisiensi dalam perekonomian
sehingga dapat terwujud kesejahteraan sebagai bagian penting dari demokratisasi.
Salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan kemampuan untuk
menggeser sumber pertumbuhan ekonomi dari yang bertumpu pada konsumsi ke
investasi.5 Pada masa sebelum reformasi, peraturan perundang-undangan tentang
investasi dituangkan ke dalam UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing (PMA).
Walaupun pembangunan ekonomi harus didasarkan pada kemandirian,
kemampuan serta kesanggupan rakyat Indonesia sendiri sebagaimana telah
diisyaratkan oleh Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dan UU No 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UUSPPN) yang dijabarkan
pelaksanaannya dalam Peraturan Presiden No 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (PPRPJMN), namun penggunaan
modal asing juga perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk mempercepat
pembangunan ekonomi Indonesia.6 Kebijakan perekonomian dengan mengundang
investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia terus berlanjut bahkan
sampai dengan diundangkannya UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal sebagai pengganti untuk UU No 1 Tahun 1967 tersebut. Pasal 3 ayat (1)
huruf d UU No 25/2007 tersebut menyatakan bahwa penanaman modal
diselenggarakan berdasarkan “asas perlakuan sama yang tidak membedakan asal
negara”. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan terkait perekonomian
yang dibuat sangat menyadari masih pentingnya peran asing di dalam langkah
percepatan pembangunan perekonomian nasional.

5
Suyitno Patmosukismo, Migas: Politik, Hukum & Industri, Politik hukum Pengelolaan
Industri Migas Indonesia dikaitkan dengan Kemandirian dan Ketahanan Energi dalam
Pembangunan Perekonomian Nasional, Jakarta: Fikahati Aneska, 2011, hlm. 78.
6
Ibid., hlm. 79.
Hal tersebut dikarenakan kebutuhan akan dana untuk membiayai
pembangunan yang sangat besar. Oleh sebab itu, penanaman modal dari luar
negeri sangat dibutuhkan, khususnya digunakan untuk bidang-bidang usaha yang
bersifat padat modal dan beresiko tinggi (penuh ketidakpastian), padat
keterampilan dan teknologi atau dengan kata lain, digunakan dalam bidang-bidang
yang dalam waktu dekat belum dapat dilaksanakan oleh modal Indonesia sendiri,
seperti dalam industri migas.
Kegiatan industri hulu migas memiliki keunikan tersendiri dibandingkan
dengan industri lainnya, diantaranya adalah:
1. Lamanya waktu antara saat terjadinya pengeluaran (expenditure)
dengan pendapatan (revenue);
2. Keputusan yang dibuat berdasarkan risiko dan ketidakpastian
(uncertainty) yang tinggi serta melibatkan teknologi canggih;
3. Sektor ini memerlukan investasi biaya kapital yang relatif besar.
Hal yang pasti dan yang dapat dipastikan dari bisnis hulu migas adalah
ketidakpastian untuk menemukan cadangan. Ketidakpastian tersebut membawa
dampak terhadap proses bisnis itu sendiri. Ketidakpastian hasil yang akan
diperoleh dari suatu bisnis berbanding lurus dengan risiko investor kehilangan
uangnya. Seluruh dana yang dipakai untuk kegiatan eksplorasi disediakan oleh
investor sepenuhnya. Apabila tidak ditemukan cadangan maka risikonya adalah
kehilangan 100% uang yang telah dikeluarkan. Setiap tahunnya ada saja
perusahaan yang “bubar” dan kontraknya dihentikan karena tidak menemukan
cadangan. Sebagai contoh berdasarkan data yang dikeluarkan oleh SKK MIGAS,
sebanyak 12 Kontraktor Kontrak Kerja (KKKS) Minyak dan Gas Bumi asing
mengalami kerugian hingga US$1,9 miliar atau Rp19 triliun di 16 Blok Eksplorasi
di laut dalam akibat gagal mendapatkan cadangan minyak dan gas yang ekonomis.
Seluruh kerugian dalam kurun waktu 2009 hingga 2013 tersebut ditanggung
sendiri oleh KKKS asing tersebut dan tidak diganti oleh Negara.7 Selanjutnya
harus dipahami bahwa penemuan suatu cadangan tidak berarti secara otomatis

7
http://www.skkmigas.go.id/12-kkks-asing-rugi-rp19-triliun-cari-cadangan-migas-di-
laut-dalam-indonesia, diakses pada 13 Maret 2014 pukul 01.00 wib.
merupakan jaminan lapangan atau wilayah kerja (WK) tersebut komersial.8 Masih
ada faktor-faktor lainnya untuk menilai sisi komersialitas wilayah tersebut, yaitu
tergantung pada jumlah cadangannya, harga migas yang dapat ditawarkan dan
faktor lainnya, termasuk infrastruktur. Biasanya masih memerlukan waktu lagi
untuk menentukan apakah cadangan yang ditemukan tersebut secara ekonomis
dapat dikembangkan. Jika iya, maka masih dibutuhkan waktu lagi untuk
membangun fasilitas produksi.
Kembali pada UU No 1 Tahun 1967. Pada pasal 8 UU tersebut dinyatakan
bahwa penanaman modal asing khusus di bidang pertambangan didasarkan pada
suatu kerja sama dengan Pemerintah atas dasar Kontrak Karya atau bentuk lain
sesuai dengan peraturan Pemerintah. Hal inilah yang mempelopori lahirnya rezim
kontrak di dalam dunia migas Indonesia.
Pola PMA atas dasar kerja sama antara investor asing dengan Pemerintah
pertama kali diterapkan di dalam Perjanjian Karya atau Kontrak Karya (PK) di
bidang minyak dan gas bumi yang ditandatangani pada tahun1963 berdasarkan
Undang-Undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi (UUMigas 1960), yang kemudian berganti dengan Production Sharing
Contract (PSC) atau Kontrak Bagi Hasil (KBH).
KBH sebenarnya telah lama dikenal dan diterapkan secara luas di
Indonesia, yaitu perjanjian bagi hasil tanah pertanian, yang diatur menurut Hukum
Adat setempat. Konsep bagi hasil ini kemudian dikembangkan secara nasional
untuk kegiatan hulu migas disesuaikan dengan asas-asas Hukum Perjanjian yang
berlaku sebagaimana diatur di dalam ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata).
Model KBH yang mulai diperkenalkan pertama kali pada awal tahun
1960-an telah diterima dan diadaptasi oleh banyak negara di dunia untuk
penanaman modal asing pada bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Hal ini
karena dirasakan kontrak tersebut berhasil mengakomodasi kepentingan politik

8
A Rinto Pudyantoro, A to Z Bisnis Hulu Migas, Jakarta: Petromindo, 2012. Hlm. 127.
Pemerintah dan kepentingan komersial kontraktor.9 Hal ini juga berkaitan erat
dengan kepastian hukum dimana kontrak dijadikan landasan dan perlindungan
hukum dari pertemuan hak-hak dan kepentingan-kepentingan masing-masing
pihak, mengingat industri ini sangat berisiko tinggi, padat modal serta penuh
ketidakpastian. Kepastian hukum merupakan faktor yang sama pentingnya dengan
peluang ekonomi dan kestabilan politik dalam upaya menarik investasi baik dari
dalam maupun luar negeri.
Thomas Waelde dan W.T. Onorato mengemukakan bahwa KBH hanya
dapat ditemukan di negara-negara berkembang (developing countries) yang
memiliki kemampuan dana dan teknologi terbatas tetapi juga menganggap unsur
“hak menguasai oleh negara” (sovereignty) penting dalam pengelolaan kekayaan
alam. KBH tidak dapat ditemukan di negara-negara maju atau liberal. 10 Sebagai
contoh, di Perancis digunakan sistem konsesi dengan royalti / pajak.
Adanya unsur hak menguasai oleh negara seperti yang disampaikan
sebelumnya, menunjukkan bahwa Negara sebagai pemegang hak atas sumber
daya migas, atau dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah, akan selalu ada di dalam
setiap pengambilan keputusan berkaitan dengan industri migas atau menjadi salah
satu pihak, sesuai dengan pengertian subjek hukum perdata, di dalam kontrak-
kontrak migas, termasuk Kontrak Bagi Hasil (KBH).
Adanya fakta bahwa model KBH telah dipergunakan oleh banyak negara
di dunia (terutama di negara-negara berkembang) menunjukkan bahwa KBH
terbukti dapat mengakomodasi konsep mengenai hak menguasai oleh negara atas
kekayaan alam. Akan tetapi, perkembangan sejarah menunjukkan bahwa setelah
mencapai puncaknya pada tahun 1977 kegiatan usaha hulu migas di Indonesia
cenderung menurun.11

9
Madjedi Hasan, Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan Kepastian
Hukum, Jakarta: Fikahati Aneska, 2009, hlm 7.
10
Ibid.
11
Draft Buku Putih Ditjen Migas Kementerian ESDM, Buku Putih Permasalahan Kritis
Sektor Migas dan Dampaknya bagi Perekonomian Indonesia, Jakarta: Ditjen Migas, 2006.
Seperti negara-negara pengekspor minyak lainnya yang memperoleh
keuntungan mendadak (windfall profit) pada tahun 1970-an, Indonesia tidak
mampu memanfaatkan dengan baik hasil dari kenaikan harga minyak. Hal ini
mengakibatkan Indonesia termasuk ke dalam negara-negara yang menjadi korban
kutukan sumber daya atau resource curse, yang menggambarkan kondisi
bertentangan (paradoks) dimana negara yang kaya akan migas justru cenderung
mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat daripada negara-negara yang
tidak memiliki kekayaan alam yang melimpah. Hal ini umumnya terjadi di
negara-negara berkembang, seperti di negara-negara miskin di benua Afrika dan
Amerika Latin. Misalnya, kasus yang dialami Nigeria yang memiliki kekayaan
sumber daya alam berupa minyak bumi. Kebijakan Presiden Goodluck Jonathan
yang menaikkan harga minyak di Nigeria menyebabkan kerusuhan besar.12 Pada
akhirnya, kebijakan itu ditarik kembali dengan menurunkan harga minyak dalam
negeri sebesar 30% ketika negara itu sudah terlanjur hancur dengan kerugian yang
cukup besar. Jadi, bisa dikatakan sektor industri ini adalah sektor kehidupan yang
penting bagi negara tetapi juga dapat menghancurkan negara.
Umumnya, negara berkembang mengeksploitasi sumber daya alamnya
secara intensif dan menggantungkan sumber pendapatan per kapitanya dari
ekstraksi sumber daya alam tersebut. Kegiatan ekstraktif tersebut biasanya tidak
melibatkan penciptaan nilai tambah (value added) yang besar karena hanya
dilakukan sebatas mengekspor sumber daya alam sebagai bahan baku (raw
materials). Selain itu, kegiatan ekstraktif dan eksploitasi secara berlebihan akan
mengancam keberlanjutan dari pembangunan ekonomi karena cepat atau lambat
sumber daya alam itu bisa habis sama sekali (depletable resources).13
Salah satu fenomena Natural Resource Curse yang terkenal adalah Dutch
Disease atau yang sering disebut sebagai “penyakit Belanda” yang pernah dialami
oleh Belanda. Terminologi ini pertama kali diperkenalkan oleh The Economist

12
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/01/22/minyak-itu-ampas-setan-sumber-
kekacauan-432566.html, diakses pada 30 Maret 2013, pada pukul 20.00 wib.
13
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/01/18/kutukan-sumber-daya-alam-dan-
perekonomian-indonesia-334124.html, diakses pada tanggal 30 Maret 2013, pada pukul 20.00 wib.
pada tahun 1997 untuk menjelaskan penurunan di sektor industri manufaktur di
Belanda setelah penemuan sumber gas alam besar di tahun 1959. Dutch disease
merupakan suatu konsep yang menunjukkan hubungan antara peningkatan
eksploitasi sumber daya alam dengan penurunan kompetitivitas sektor industri.
Dengan kata lain, secara tidak langsung fenomena natural resource curse dan
Dutch disease telah menjadi salah satu penyebab terjadinya kemerosotan industri
di negara yang memiliki sumber daya alam melimpah.14
Para ahli dari mancanegara mengenai Sumber Daya Alam juga
menyatakan pendapatnya yang sama terkait dengan fenomena tersebut. Macartan
Humphreys, Jeffrey D. Sachs, dan Joseph E. Stiglitz mengemukakan,
“Countries with large endowments of natural resources, such as oil and
gas, often perform worse in terms of economic development and good
governance than do countries with fewer resources. Many natural
resource-rich countries have struggled to generate self-sustaining
economic take-off and growth and have even succumbed to deep economic
crises.15
…even when resource-rich countries have done fairly well, they’ve often
been plagued by rising inequality-they become rich countries with poor
people.”16

Indonesia diketahui merupakan negeri yang kaya akan sumber daya alam
(SDA) seperti minyak, mineral dan batubara. Minyak Indonesia berada pada
urutan ketiga setelah Arab Saudi dan Iran, yaitu setara 4,17 juta barel per hari.
Indonesia juga termasuk urutan ke tujuh eksportir gas terbesar di dunia.17
Sebagian pihak meyakini bahwa Indonesia telah mengalami apa yang disebut
sebagai natural resource curse karena pada kenyataannya walaupun Indonesia
memiliki sumber daya alam yang melimpah, namun kemiskinan dan kesenjangan
masih terjadi di berbagai pelosok nusantara. Bahkan, di beberapa provinsi yang

14
Ibid.
15
Macartan Humphreys, Jeffrey D. Sachs, dan Joseph E. Stiglitz, Escaping The Resource
Curse, Columbia University Press: New York, 2007, hlm. 1.
16
Ibid., hlm. 2.
17
M. Kholid Syeirazi, Di Bawah Bendera Asing Liberalisasi Industri Migas di Indonesia,
Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009, hlm. 19.
kaya sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi tinggi, masih banyak
masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Kebijakan-kebijakan terkait, serta peraturan perundang-undangan yang
dibuat sehubungan dengan industri migas di Indonesia juga seringkali menjadi
pemicu permasalahan. Hal ini terbukti dengan Indonesia yang telah beberapa kali
melakukan penggantian undang-undang, mulai dari UU No 44 Prp Tahun 1960
tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, UU No 15 Tahun 1962 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 1962
tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, UU
No 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi,
sampai dengan yang terakhir UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi.
UU No 22 Tahun 2001-pun yang masih berusia 10 tahun, tercatat bahwa
telah 3 kali dilakukan pengujian (Judicial Review) di Mahkamah Konstitusi R.I.
judicial review tersebut diajukan oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat,
Serikat Pekerja Pertamina maupun perorangan agar diputuskan oleh Majelis
Hakim bahwa UU Migas ini bertentangan dengan konstitusi dan tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam UUD
1945, karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat dan harus dibatalkan demi
hukum.
Untuk pertama kalinya, dilakukan pengujian secara formil dan materiil
terhadap UU Migas No 22 tahun 2001 oleh MK dan telah diputus sebagaimana
diputuskan dalam putusan MK No 002/PUU-I/2003. Adapun amar dari putusan
tersebut adalah menolak permohonan dalam uji formil dan hanya memutuskan
sepanjang kata-kata “diberi wewenang” dan “paling banyak” tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Kemudian, untuk kedua kalinya diajukan kembali
judicial review terhadap UU Migas sebagaimana telah diputuskan melalui putusan
MK No 20/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa permohonan dari para
pemohon tidak dapat diterima.
Akhirnya perjuangan dari beberapa kalangan tersebut membuahkan hasil
pada proses judicial review yang ketiga kalinya di Mahkamah Konstitusi. Hal ini
juga telah membawa dampak perubahan yang begitu besar dalam wajah
perindustrian migas nasional. Amar putusan MK No 36/PPU-X/2012 telah
membatalkan beberapa pasal pada UU Migas No 22 Tahun 2001. Beberapa pasal
dan frasa dalam UU Migas No 22 Tahun 2001 tersebut dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Di
dalam petimbangan hukumnya, Majelis Hakim menyampaikan bahwa Mahkamah
menemukan beberapa permasalahan konstitusional sesuai dengan apa yang
diajukan dalam permohonan tersebut, salah satunya adalah mengenai kedudukan
dan wewenang BP Migas sebagai perwakilan Negara serta mengenai Kontrak
Kerja Sama migas.
Hal ini menunjukkan bahwa Kontrak Migas yang merupakan tonggak
pelaksanaan kegiatan hulu migas dimana di dalamnya diakomodasi pertemuan
dari kepentingan-kepentingan dan aspirasi antara pihak pemilik sumber daya
alam, dalam hal ini adalah Negara, dengan pihak investor justru menjadi sumber
masalah di Indonesia. KBH yang telah masuk ke dalam ke generasi keempat (IV),
artinya telah beberapa kali diadakan penyesuaian isi kontrak sesuai dengan
kebutuhan zaman, dan diharapkan dapat memberikan perlindungan dan kepastian
hukum tersebut justru dipermasalahkan. Begitu juga terkait dengan dualisme
peran negara, sebagai regulator dan pelaku bisnis, yang seringkali berdampak
pada benturan kepentingan dan seringkali menyebabkan perbedaan penafsiran,
serta menimbulkan kerancuan di dalam pelaksanaan fungsinya.
Terkait dengan keberadaan BP Migas yang mewakili Negara, Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi pada putusan MK No 36/PPU-X/2012 berpendapat
di dalam pertimbangan hukumnya bahwa konsepsi BP Migas menurut UU No 22
Tahun 2001 hanyalah merupakan organ Pemerintah yang khusus hanya
melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan migas
yang menurut UU tersebut hanya bisa dilakukan oleh Badan Usaha dan Bentuk
Usaha Tetap. Negara dalam hal ini tidak dapat melakukan pengelolaan secara
langsung atas sumber daya alam migas. Menurut Majelis Hakim, model hubungan
antara BP Migas sebagai representasi Negara dengan Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap dalam pengelolaan migas telah mendegradasi makna penguasaan
Negara atas sumber daya alam migas. Hal ini bertentangan dengan amanat Pasal
33 UUD 1945. Hal ini kemudian berujung kepada status hukum BP Migas yang
secara serta merta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan pada saat yang
sama juga dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat (dianggap
bubar).
UU No 22 Tahun 2001 ini mengkonstruksikan hubungan antar Negara
dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan pengelolaan
migas adalah hubungan keperdataan melalui KKS. KKS sebagaimana
dimaksudkan oleh Pasal 1 angka 19 UU Migas tersebut salah satunya adalah
Kontrak Bagi Hasil atau yang dikenal dengan Production Sharing Contract
(PSC). Oleh karena itu, maka kegiatan usaha hulu migas tunduk kepada asas-asas
perjanjian baik yang universal / berlaku internasional maupun yang diatur di
dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
Dalam konsep yang demikian, hubungan yang bersifat keperdataan antara
BP Migas (Negara) dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap menempatkan
posisi para pihak dalam keadaan yang sederajat. Dengan tunduk pada rezim
kontrak yang menganut asas kebebasan berkontrak, maka para pihak bebas untuk
menentukan apa saja yang akan diperjanjikan, tanpa melihat status atau
kedudukan. Oleh karena itu, ketika kontrak telah ditandatangani Negara menjadi
terikat pada isi KKS atau dengan kata lain tidak bisa bertindak diluar dari apa
yang telah diperjanjikan di dalam kontrak tersebut. Hal ini menyebabkan Negara
kehilangan diskresi untuk membuat regulasi bagi kepentingan rakyat, sehingga
Negara kehilangan kedaulatannya dalam penguasaan sumber daya alam, serta
kedaulatannya untuk mengatur migas.
Meskipun begitu, sampai dengan saat ini KBH yang tengah berjalan masih
dianggap berlaku dan saat ini sedang dilakukan pembahasan di tingkat legislatif
untuk menciptakan suatu perangkat hukum dan mencari model hubungan yang
paling baik untuk mengawal pelaksanaan kegiatan hulu migas di Indonesia. Oleh
karena itu, sepanjang hubungan antar Negara dan sumber daya alam dengan
investor masih dikonstruksikan dalam bentuk KBH seperti yang digunakan saat
ini, maka industri migas Indonesia akan selalu dibayangi dengan amar putusan
MK No 36/PPU-X/2012 yang menyatakan bahwa konsep bagi hasil yang saat ini
digunakan bertentangan dengan prinsip penguasaan Negara sebagaimana
dimaksudkan oleh konstitusi.
Dengan latar belakang sebagaimana telah diuraikan di atas, penulis
merangkumnya ke dalam suatu permasalahan hukum mendasar yang terus
diperdebatkan dalam berbagai kesempatan bahkan sampai dengan saat ini, setelah
lebih dari puluhan tahun industri hulu migas ini berjalan di Indonesia.
Permasalahan hukum tersebut adalah terkait dengan kedudukan Negara sebagai
subjek hukum perdata di dalam Kontrak Bagi Hasil (KBH) / Production Sharing
Contract (PSC) pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia. Hal
tersebut sangat menarik dan merupakan materi yang penting untuk dapat
dianalisis dengan maksud agar mendapatkan pemahaman yang baik dengan
argumentasi hukum yang tepat atas permasalahan hukum tersebut.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang atas timbulnya permasalahan hukum terkait
Kedudukan Negara sebagai subjek hukum perdata dalam Kontrak Bagi Hasil atau
Production Sharing Contract (PSC) pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas
bumi di Indonesia, dirumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai fokus
dalam penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana Negara dapat menjadi subjek hukum dari suatu perjanjian perdata?
2. Apakah kedudukan para pihak di dalam Kontrak Bagi Hasil / Production
Sharing Contract (PSC) menjadi tidak seimbang dengan Negara sebagai
subjek hukumnya di satu sisi?

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memberikan wawasan dan
pengetahuan baik kepada peneliti maupun kepada pembaca melalui studi
keilmuan tentang Kedudukan Negara di dalam rangka kegiatan usaha hulu minyak
dan gas bumi di Indonesia. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1.3.1 Memaparkan dengan detail permasalahan atau kendala yang muncul
mengenai kedudukan Negara sebagai subjek hukum perdata di dalam
industri hulu minyak dan gas bumi di Indonesia, terkait dengan Kontrak
Bagi Hasil / Production Sharing Contract (PSC);
1.3.2 Memberikan analisis yuridis terhadap kedudukan Negara sebagai subjek
hukum perdata di dalam Kontrak Bagi Hasil / Production Sharing
Contract (PSC) pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di
Indonesia,

1.4 Defenisi Operasional


Dalam penelitian ini terdapat beberapa defenisi mengenai penggunaan
beberapa istilah pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia.
1.4.1 Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau
bertumpu pada kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi.18
1.4.2 Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi
mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan
cadangan minyak dan gas bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.19
1.4.3 Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan
minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas
pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan,
penyimpanan dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak
dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.20
1.4.4 Gas bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam
kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fase gas yang diperoleh
dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi.21

18
Indonesia, Undang-Undang Tentang Minyak dan Gas Bumi, UU. No 22 Tahun 2001,
LN. No. 136 Tahun 2001, TLN No. 4125, Ps. 1 butir 7.
19
Ibid., Ps. 1 butir 8.
20
Ibid., Ps. 1 butir 9.
21
Indonesia, Undang-Undang Tentang Minyak dan Gas Bumi, UU. No 22 Tahun 2001,
LN. No. 136 Tahun 2001, TLN No. 4125, Ps. 1 butir 2.
1.4.5 Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja
sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih
menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.22
1.4.6 Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan
pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di Bidang Minyak dan Gas Bumi.23
1.4.8 Kontrak adalah perjanjian pelaksanaan pekerjaan penyediaan barang/jasa
antara Kontraktor KKS dengan Penyedia Barang/Jasa yang dituangkan
dalam kesepakatan tertulis dan bersifat mengikat. Kontrak dapat berupa
antara lain Surat Pesanan (Purchase Order) atau Kontrak Jasa (Service
Contract), Surat Perjanjian (Agreement).24

1.5 Metode Penelitian


Di dalam suatu penelitian, posisi metodologi sangatlah penting sebagai
suatu pedoman. Fungsi dari metodologi dalam suatu penelitian adalah untuk
memberikan pedoman bagi ilmuwan tentang cara-cara mempelajari, menganalisa,
dan memahami lingkungan yang dihadapinya.25 Dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode penelitian yang diperoleh dari bahan pustaka. Penelitian
merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi,
yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis berarti
sesuai dengan cara atau metode tertentu dalam hal ini adalah metode ilmiah
sekurang-kurangnya dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:26
1. Merumuskan serta mendefenisikan masalah;
2. Mengadakan Studi Kepustakaan;
3. Memformulasikan Hipotesis;

22
Ibid., Ps. 1 butir 19.
23
Ibid., Ps. 1 butir 23.
24
Ibid., Butir 1.19.
25
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 6.
26
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2007, Hal. 52-53.
4. Menentukan Model untuk Menguji Hipotesis;
5. Mengumpulkan Data;
6. Menyusun, Menganalisis, dan Memberikan Interpretasi;
7. Membuat Generalisasi dan Kesimpulan; dan
8. Membuat Laporan Ilmiah
Sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti
tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Sedangkan
penelitian hukum adalah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan metode,
sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.27

1.5.1 Bentuk Penelitian


Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian skripsi ini
adalah metode yang bersifat yuridis normatif, artinya penelitian ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui norma hukum tertulis. Dalam penelitian yuridis
normatif ini, penelitian mengacu pada Peraturan Perundang-Undangan, doktrin
dan norma terkait dalam menganalisis permasalahan yang ada.

1.5.2 Jenis Data yang Digunakan


Berdasarkan jenis dan bentuk data yang dikumpulkan, data yang dipakai
pada penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan melalui studi
kepustakaan. Namun demikian, penulis juga melengkapi penelitian ini dengan
data primer yaitu dengan mengadakan wawancara dengan beberapa narasumber
terkait yang memiliki kompetensi dalam pengkajian Analisa Yuridis Kedudukan
Negara Sebagai Subjek Hukum Perdata Di Dalam Kontrak Bagi Hasil /
Production Sharing Contract (PSC) Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan
Gas Bumi Di Indonesia

27
Ibid., Hal. 42-43.
1.5.3 Jenis Bahan Hukum yang Digunakan
Pada penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer, sekunder,
dan tersier. Adapun bahan-bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah
sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer (bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
berupa peraturan perundang-undangan Indonesia), terdiri atas: Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Peraturan
Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak
dan Gas Bumi, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2005 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang menjelaskan bahan
hukum primer (bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum
primer dan dapat membantu menganalisa bahan hukum primer), seperti
buku, jurnal, makalah, artikel, koran, dan internet.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi keterangan
maupun petunjuk bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan
ensiklopedia.28

1.5.4 Alat Pengumpulan Data


Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan studi
dokumen atau penelusuran kepustakaan. Penelurusan kepustakaan digunakan
untuk mendapatkan data mengenai pengaturan sistem Kontrak Bagi Hasil /
Production Sharing Contract (PSC) dalam rangka kegiatan usaha hulu minyak
dan gas bumi di Indonesia, serta untuk mendapatkan data dan analisis akurat
mengenai kedudukan Negara di dalam Kontrak.

28
M. Syamsudin, Operasional Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007,
hlm. 25.
1.5.5 Metode Pengolahan Data dan Analisis Data
Dalam mengolah dan menganalisis data yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif
memusatkan kepada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-
satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola yang dianalisis,
gejala-gejala sosial budaya dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum positif
yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang
berlaku.29 Pendekatan kualitatif akan menghasilkan data deskriptif analitis yaitu
apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis,
atau lisan, dan perilaku nyata. Bahan penelitian yang sudah terkumpul akan
dianalisis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang akan
dikomparasikan dengan kenyataan yang ada pada prakteknya.

1.5.6 Tipologi Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan
tipologi penelitian menurut sifatnya adalah penelitian Deskriptif (dimaksudkan
30
untuk memberikan data yang seteliti mungkin demi mempertegas hipotesis),
mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, agar dapat
membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka
menyusun teori-teori baru. Menurut bentuknya, penelitian ini akan dilakukan
dengan menggunakan tipe penelitian evaluatif (bertujuan untuk menilai keadaan
sekitar yang terkait permasalahan). Menurut tujuannya adalah Penelitian problem-
identification dilanjutkan dengan problem-solution yaitu berusaha untuk
menemukan permasalahan hukum dalam Kontrak Bagi Hasil / Production
Sharing Contract (PSC) terkait dengan kedudukan Negara dalam kegiatan usaha
hulu minyak dan gas bumi di Indonesia, hingga akhirnya menganalisis
permasalahan tersebut. Menurut sudut penerapannya, penelitian ini tergolong

29
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, hlm. 20.
30
Soerjono Soekanto, Op.Cit., Hal. 10.
sebagai penelitian berfokus masalah (problem focused research)31 dengan adanya
pengkajian akan kedudukan Negara sebagai subjek hukum perdata di dalam
Kontrak Bagi Hasil / Production Sharing Contract (PSC) dalam rangka Kegiatan
Usaha hulu Minyak dan Gas Bumi di Indonesia. Menurut ilmu yang digunakan,
penelitian ini ialah penelitian monodisipliner.

1.5.7 Bentuk Hasil Penelitian


Bentuk hasil penelitian ini didasarkan pada tipologi penelitian. Dilihat dari
bentuk hasil penelitian, penelitian ini akan menghasilkan penelitian deskriptif-
analitis dan penelitian evaluatif-analitis karena seperti dijelaskan pada tipologi
penelitian bahwa penelitian ini tergolong sebagai penelitian deskriptif yaitu untuk
memberikan data seteliti mungkin mengenai kedudukan Negara sebagai subjek
hukum perdata di dalam Kontrak Bagi Hasil / Production Sharing Contract (PSC)
pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia serta tergolong pula
sebagai penelitian evaluatif karena bertujuan untuk melakukan tinjauan yuridis
mengenai Negara sebagai subjek hukum perdata.

1.6 Sistematika Penulisan


Dalam menguraikan permasalahan dan pembahasan penulisan yang
berjudul “Kedudukan Negara Sebagai Subjek Hukum Perdata di dalam
Kontrak Bagi Hasil / Production Sharing Contract (PSC) pada Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi”, penulis membagi penelitian ini dalam 4
Bab, yaitu:
BAB 1 berupa pendahuluan yang merupakan latar belakang permasalahan
yang akan dibahas, kemudian mengangkat permasalahan-permasalahan yang akan
dibahas dalam penelitian ini, yang kemudian diikuti dengan tujuan penulisan,
definisi operasional, metodologi penulisan, dan diakhiri dengan sistematika
penulisan.

31
Ibid., Hal. 10.
BAB 2 membahas mengenai ruang lingkup dan pola penguasaan
pertambangan minyak dan gas bumi di Indonesia.
BAB 3 membahas mengenai unsur-unsur keperdataan dari kontrak bagi
hasil migas / production sharing contract.
BAB 4 menganalisis mengenai kedudukan Negara sebagai subjek hukum
perdata di dalam Kontrak Bagi Hasil / Production Sharing Contract (PSC) dengan
perbandingan terhadap kontrak-kontrak yang berlaku sebelumnya
BAB 5 sebagai penutup memberikan kesimpulan dari keseluruhan
penulisan dan saran atas permasalahan yang ditemukan.
BAB II

RUANG LINGKUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA MIGAS

2.1 Perkembangan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi di


Indonesia
Sebagai cabang industri yang strategis dan penting bagi bangsa serta
banyaknya pihak yang terus menyumbangkan perhatiannya kepada sektor industri
ini, maka industri ini telah mengalami banyak perubahan sampai dengan saat ini.
Berikut ini akan dibahas berbagai perkembangan yang terjadi pada industri hulu
migas di Indonesia.

2.1.1 Masa sebelum Kemerdekaan Indonesia


Industri migas di Indonesia dimulai ketika Jan Reerink mulai melakukan
pemboran untuk mencari minyak di selatan Cirebon (Jawa Barat). Meskipun
berhasil menemukan minyak, Jan Reerink terpaksa menghentikan usahanya
setelah lima tahun, karena kekurangan modal dan hasil penemuannya dipandang
tidak komersial. Upaya pencarian minyak ini kemudian dilanjutkan oleh A.J.
Zijlker, seorang manajer dalam perkebunan tembakau di Sumatera Utara, yang
mendapatkan konsesi dari Sultan Langkat.32
Pada tahun 1885 Zijlker berhasil menemukan minyak di Telaga Said
(Aceh) dalam jumlah yang cukup untuk dipasarkan (komersial). Dengan
penemuan ini Zijlker kemudian membentuk Koninklijke Nederlandsche
Maatschappij tot Exploitatie van Petroleumbronnen in Nederlansch Indie yang
kemudian berganti nama menjadi Royal Dutch Company.33
Penemuan minyak di Sumatera Utara ini kemudian diikuti dengan
kegiatan-kegiatan di bagian lain Indonesia, antara lain di Kalimantan Timur

32
Madjedi Hasan, Pacta Sunt Servanda: Penerapan Asas “janji itu mengikat” dalam
Kontrak Bagi Hasil di Bidang Minyak dan Gas Bumi, Jakarta: Fikahati Aneska, 2005, hlm. 42.
33
Ruth Sheldon Knowles, Indonesia Today: The Nation That Helps Itself, Los Angeles:
Nash Publishing, 1973, hlm 42-43.
berdasarkan izin konsesi yang diberikan oleh Sultan Kutei, dan Sumatera Selatan
dan Jawa Timur. Pada tahun 1907 Shell dan Royal Dutch bergabung menjadi
perusahaan dengan nama Royal Dutch-Shell, yang tumbuh dengan pesat dengan
mengambil alih perusahaan-perusahaan lain.
Royal Dutch-Shell, melalui anak perusahaannya Bataafssche Petroleum
Maatschappij (BPM), mendominasi kegiatan hulu migas di tanah air dengan 44
konsesi meliputi wilayah seluas 3.2 juta hektar.34
Pada tahun 1899, Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Indische
Mijnwet yang mengatur kegiatan pertambangan bahan galian termasuk minyak
bumi. Dengan undang-undang ini semua bahan galian menjadi dikuasai oleh
Pemerintah dan kegiatan pertambangan hanya dapat dilakukan dengan izin
konsesi yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal. Menurut Indische Mijnwet,
konsesi hanya diberikan kepada warga negara Belanda, penduduk Belanda dan
Hindia Belanda, atau perusahaan-perusahaan yang didirikan di negeri Belanda
atau Hindia Belanda. Dengan demikian, hak para Sultan untuk mengeluarkan izin
konsesi ditiadakan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Untuk peraturan pelaksanaan, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan
Mijnordonantie pada tahun 1 Mei 1907, yang kemudian diperbaharui dengan
Mijnordonantie 1930 yang dikeluarkan pada 1 Juli 1930. Selain itu Pemerintah
Hindia Belanda juga mengeluarkan Mijn Politie Reglement yang khusus mengatur
Pengawasan Keselamatan Kerja Pertambangan dan yang hingga kini masih
berlaku disamping peraturan-peraturan keselamatan kerja lain.35 Pasal-pasal yang
penting dalam Indische Mijnwet antara lain:
1. Pasal 13 yang menetapkan jangka waktu konsesi untuk 75 tahun;
2. Pasal 16 yang menetapkan bahwa pemegang konsesi mempunyai hak
untuk mengendalikan bahan galian dalam wilayah konsesinya yang berada
diatas dan dibawah permukaan tanah;

34
Ooi Jin Bee, The Petroleum Resources, Kualalumpur: Oxford University Press, 1982,
hlm 2-3.
35
Soetarjo Sigit dan S. Yudonarpodo, Legal Aspects of the Mineral Industry in Indonesia,
Indonesian Mining Association (IMA), Jakarta, 1993, hlm 7.
3. Bab VI yang mengatur penerimaan Pemerintah, yaitu berasal dari pajak
perseroan, iuran tetap (vast recht) yang dihitung berdasarkan luas wilayah
konsesi, dan pungutan hasil kotor pertambangan (cijns).
Dalam tahun 1910, Pemerintah Hindia Belanda menambahkan Pasal 5A
pada Indische Mijnwet. Penambahan Pasal 5A ini merupakan perubahan yang
cukup mendasar, karena dengan ketentuan baru ini:
1. Pemerintah berwenang untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi selama
hal ini tidak bertentangan dengan hak-hak yang telah diberikan kepada
penyelidik atau pemegang hak konsesi;
2. Pemerintah dapat melakukan sendiri eksplorasi dan eksploitasi atau
mengadakan perjanjian dengan perorangan atau perusahaan di mana
perusahaan wajib melaksanakan eksploitasi atau eksplorasi dan
eksploitasi; dan
3. Perjanjian demikian itu tidak akan dilaksanakan kecuali telah disahkan
dengan undang-undang (ketentuan ini kemudian hanya diberlakukan untuk
kegiatan eksploitasi berdasarkan amendemen tahun 1918).36
Dengan berlandaskan pada Pasal 5A tersebut, Pemerintah Hindia Belanda
kemudian melaksanakan sendiri usaha pertambangan migas.37 Dalam
pelaksanaannya Pemerintah mengadakan kontrak dengan perusahaan migas dalam
bentuk kontrak, yang dapat berbentuk Kontrak Eksplorasi (Kontrak 5AE) atau
Kontrak Eksplorasi dan Eksploitasi (Kontrak 5AEE). Kontrak 5A ini memuat
persyaratan tertentu antara lain jangka waktu berlakunya 40 tahun. Berbeda
dengan konsesi, Kontrak 5A dimuat dalam Staatsblad (Lembaran Negara) karena
migas dianggap sebagai bahan galian yang penting.38
Dengan ketentuan tersebut Pemerintah dapat melaksanakan pengawasan
bidang usaha ini secara langsung. Jika dengan konsesi murni pengawasan berupa

36
Soetarjo Sigit, Potensi Sumber Daya Mineral dan Kebangkitan Pembangunan
Indonesia, Pidato Ilmiah Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa di ITB, Bandung, 9 Maret
1996, hlm. 10.
37
Departemen Pertambangan, Op. Cit.
38
Madjedi Hasan, Op. Cit., hlm. 48.
perizinan, peraturan perpajakan dan lalu lintas devisa maka dengan Pasal 5A ini
pengawasan diperluas dengan kekuasaan mengendalikan produksi minyak dan
pembagian keuntungan. Di samping kewajiban membayar pajak perseroan sesuai
dengan Ordonansi Pajak Perseroan 1925, iuran tetap dan pungutan hasil
pertambangan (kewajiban akibat ketentuan perundang-undangan), perusahaan
minyak wajib menyerahkan bagian Pemerintah dari hasil usahanya, yang dihitung
atas laba bersih (jumlah produksi komersial dikurangi biaya eksplorasi dan
produksi) menurut satu rumusan yang ditetapkan dalam kontrak (kewajiban yang
timbul dari kontrak).39
Menjelang pecahnya Perang Dunia II produksi minyak Indonesia setiap
hari telah mencapai 350 ribu barrel dengan lima kilang pengolahan minyak di
Pangkalan Susu (Sumatra Utara), Plaju dan Sei Gerong (Sumatera Selatan),
Wonokromo (Jawa Timur) dan Balikpapan (Kalimantan Timur). Sebagian besar
produksi minyak diekspor dan dengan tingkat produksi tersebut Indonesia
menduduki peringkat kelima di antara negara produsen minyak di dunia.
Menjelang berakhirnya perang perjuangan kemerdekaan, Pemerintah
Belanda mengeluarkan ketentuan mengenai pemberian insentif untuk usaha
rehabilitasi, berupa kelonggaran dalam penggunaan devisa yang diatur dalam
suatu pengaturan keuangan yang dikenal dengan “Let Alone Agreement”.
Pengaturan ini merupakan penyimpangan dari peraturan umum yang berlaku
dalam lalu lintas devisa dengan memberikan kebebasan kepada perusahaan
minyak untuk menahan dan mengeluarkan valuta asing berasal dari hasil ekspor
minyak bumi, mengeluarkan biaya dalam valuta asing untuk keperluan rehabilitasi
dan melakukan ekspor dan impor untuk keperluan operasinya.40

2.1.2 Masa Awal Kemerdekaan Indonesia


Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia lahir sebagai negara merdeka
dengan membawa semangat baru untuk melakukan pembaruan terhadap berbagai

39
Ibid, hlm. 49.
40
Departemen Pertambangan, Op. Cit.
peraturan perundang-undangan peninggalan zaman kolonial Belanda, antara lain
Indische Mijnwet. Dalam Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri perang
kemerdekaan, Indonesia sepakat untuk menjamin hak para investor asing, namun
demikian Pemerintah juga ingin mendapatkan porsi yang lebih besar dari hasil
penggalian kekayaan alamnya karena merasa tidak mendapatkan hasil pembagian
keuntungan yang adil dari sistem konsesi.41
Pada Agustus 1951 Dewan Perwakilan Rakyat menerima mosi dari
Tengku Mohamad Hasan, yang pada intinya meminta agar Pemerintah
membekukan pemberian izin konsesi baru sampai dikeluarkannya undang-undang
baru tentang pertambangan menggantikan Indische Mijnwet.
Dengan dibekukannya pemberian konsesi baru dan adanya tuntutan untuk
melakukan nasionalisasi dari kelompok yang berafiliasi dengan partai komunis,
kegiatan mencari ladang minyak baru di daerah-daerah lain juga praktis terhenti
dan kegiatan industri migas yang beroperasi pada saat itu (Shell, Stanvac dan
Caltex) terbatas pada pengembangan ladang-ladang yang sudah ditemukan
sebelumnya. Hal tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan oleh
Fabrikant42:
“Selama tahun 1950 terjadi pengurangan di industri migas dan kegiatan
eksplorasi praktis terhenti. Pengurangan in sebagian karena berkurangnya
peluang ekspor, tetapi juga karena tuntutan untuk melakukan nasionalisasi
seluruh lapangan migas, yang menyebabkan pemerintah menolak
menandatangani kontrak konsesi baru dan membatasi pemegang konsesi
pada daerah yang ada. Juga, keberadaan panitia negara yang dibentuk pada
tahun 1951 untuk membuat undang-undang pertambangan Indonesia yang
selaras dengan keadaan sekarang, kesemuanya itu telah menyebabkan
perusahaan-perusahaan merasa bahwa mereka beroperasi dalam masa
peralihan perundang- undangan (legal twilight zone).”

Pada tanggal 26 Oktober 1960, Pemerintah menerbitkan dua Peraturan


Pemerintah Pengganti Undang- Undang untuk menggantikan Indische Mijnwet,

41
Madjedi Hasan, Op. Cit., hlm. 50.
42
Robert Fabrikant, Production Sharing Contract in the Indonesian Petroleum Industry
& Oil Discovery And Technical Change in Southeast Asia: Legal Aspect of Production Sharing
Contracts in Indonesian Petroleum Industry, Harvard International Law Journal, vol. 16, 1975,
hlm. 307-308.
yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor
37 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan (UUP) dan Undang-undang Nomor 44
Prp Tahun1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 1960).
Tujuan dari dibentuknya kedua peraturan tersebut adalah agar kegiatan
pertambangan dapat terlaksana sesuai dengan amanat dalam Undang-undang
Dasar.
Meskipun begitu harus diakui bahwa hal mengenai peran modal asing di
dalam pengusahaan migas tampaknya memang sudah menjadi persoalan pokok
sejak awal sebagai dampak dari terbatasnya dana dan keterampilan dari dalam
negeri.

2.1.3 Masa Undang-Undang Prp No 44 Tahun 1960


Pasal 3 UU Migas 1960 menetapkan bahwa pertambangan minyak dan gas
bumi hanya dapat dilaksanakan oleh Negara yang pengoperasiannya dilakukan
oleh Perusahaan Negara. Hal ini berarti bahwa Pemerintah tetap memegang “Hak
Penguasaan” dan Perusahaan Negara mendapatkan “Kuasa Pertambangan”.
Menyadari bahwa kegiatan industri migas memerlukan dana yang besar
dan ketrampilan, dalam Pasal 6 UU Migas 1960 menegaskan bahwa Menteri
Pertambangan dapat menunjuk pihak ketiga sebagai kontraktor dari Perusahaan
Negara bilamana Perusahaan Negara tidak dapat melakukannya sendiri, dimana
konsep hubungannya dicerminkan ke dalam Perjanjian Karya.
Pada saat UU Migas 1960 dikeluarkan, terdapat tiga perusahaan asing
yang beroperasi di Indonesia, yaitu Royal Dutch-Shell, Stanvac dan Caltex dan
menurut Pasal 22 UU Migas 1960 ketiga perusahaan multinasional tersebut
diberikan prioritas (preferential treatment) untuk ditunjuk sebagai kontraktor.
Akan tetapi, ternyata kesepakatan agak sulit terkait rumusan bagi hasil dan
keinginan perusahaan-perusahaan untuk tetap memegang kendali operasi dan hak
eksklusif untuk menetapkan harga minyak.
Dengan tidak adanya kemajuan dalam perundingan, pada bulan April 1963
Presiden Sukarno mengeluarkan pemberitahuan kepada tiga perusahaan minyak
asing yang beroperasi di Indonesia bahwa mereka diberi waktu tujuh minggu
untuk membuat keputusan, menerima atau menolak tawaran Pemerintah, dan
apabila dalam jangka tersebut tidak tercapai kesepakatan maka Pemerintah akan
mengambil tindakan sepihak.
Menghadapi ultimatum ini Presiden Kennedy memutuskan untuk
mengutus William Wyatt sebagai mediator.43 Pertemuan tiga hari yang dilakukan
di Tokyo akhirnya menghasilkan kesepakatan, di mana ketiga perusahaan minyak
tersebut sepakat untuk menyerahkan kembali konsesinya dan menjadi kontraktor
Perjanjian Karya. Persyaratan dalam Perjanjian Karya ini mengacu pada
Keputusan Presiden, yaitu rumusan bagi hasil keuntungan 60-40 yang dihitung
dengan menggunakan harga minyak yang sebenarnya direalisasikan (realized
price). Perjanjian Karya tersebut menetapkan jangka waktu kontrak selama 20
tahun untuk wilayah-wilayah yang sudah berproduksi dan 30 tahun untuk
wilayah-wilayah baru dekat dengan wilayah-wilayah yang sudah berproduksi.
Dengan tercapainya kesepakatan, dalam keterangannya William Wyatt
pembagian laba 60/40 sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan pembagian
keuntungan 50/50 yang berlaku di Timur Tengah. Hal ini disebabkan bahwa
dalam menghitung keuntungan Indonesia menggunakan harga penjualan yang
sebenarnya dan tanpa ada pungutan lain, sementara di Timur Tengah digunakan
“posted price”, yaitu harga yang disepakati kedua pihak.44
Dengan latar belakang pendirian dan kepentingan kelompok yang berbeda,
ketiga Perusahaan Negara tampak tidak memiliki visi yang sama dalam
menjalankan misinya. Setelah peristiwa G-30S, PERMIGAN diambil alih oleh
PERTAMINA yang kemudian disusul dengan digabungkannya PERTAMIN dan
PERMINA pada tahun 1968 menjadi PERTAMINA. Kedudukan, misi dan
organisasi PERTAMINA kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 8
Tahun 1971 Tentang PERTAMINA (UU Pertamina).
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Karya yang berdasarkan UU Migas
1960, Indonesia mempunyai landasan baru dalam mengembangkan sumber

43
Madjedi Hasan, Op. Cit., hlm. 56.
44
Ibid., hlm. 58.
minyak dan gas buminya. Namun perkembangan politik dalam negeri masih
dipenuhi dengan pertentangan. Tuntutan untuk melakukan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing terus dilontarkan.
Perdebatan juga terus berlanjut antara dua kelompok yang setuju dengan
Perjanjian Karya dan kelompok yang menganggap Perjanjian Karya tidak lebih
baik dari sistem konsesi. Kelompok yang tidak setuju dengan Perjanjian Karya
dipelopori oleh Ibnu Sutowo yang memimpin PERMINA dan menjabat Menteri
Negara Urusan Perminyakan dalam Kabinet Sukarno. Dalam wawancara dengan
Ruth Sheldon Knowles, Ibnu Sutowo menamakan Perjanjian Karya sebagai
“dressed-up concession agreements”. Dalam pernyataannya Ibnu Sutowo
menjelaskan sebagai berikut:
“Perbedaan yang penting antara sistem konsesi dan bukan konsesi adalah
masalah kepemilikan minyak. Prinsip pokok dalam sistem konsesi adalah
minyak dimiliki oleh pemerintah dalam bentuk geologi di dalam bumi,
tetapi segera seseorang memproduksinya maka dia menjadi pemilik
minyak tersebut. Dengan lain kata, minyak yang berada di kepala sumur
dimiliki oleh perusahaan asing dan perusahaan membayar pajak 60 persen
dari keuntungan penjualan minyak. Dalam perjanjian karya, setiap kita
membutuhkan minyak kita dapat memintanya tetapi maksimum hanya 20
persen dari produksi. Dua aspek ini menunjukkan bahwa perjanjian karya
tidak lebih baik dari sistem konsesi. Tetapi jika kita berpegang pada
prinsip bahwa minyak dimiliki oleh rakyat Indonesia, maka yang
pertama kendali manajemen operasi perminyakan harus berada di tangan
Indonesia.”45

Dari pandangan lain, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa dari


segi praktek memang Perjanjian Karya memberikan hak dan kewajiban kepada
Kontraktor sama dengan pemegang konsesi. Misalnya, penerapan peraturan
keselamatan kerja Mijn Politie Reglement tidak berbeda dan hanya perlu
mengganti kata-kata pemegang konsesi menjadi kontraktor. Namun demikian
Mochtar Kusumaatmadja tidak dapat menyetujui bahwa Kontrak Karya dan
konsesi itu sama, berdasarkan dua alasan. Alasan yang pertama ialah jangka
waktu dalam Kontrak Karya lebih terbatas, dan alasan kedua yang lebih penting
dipandang dari segi hukum ialah hak kontraktor dalam Kontrak Karya sangat

45
Ibid., hlm. 60.
berbeda dengan hak dalam konsesi. Berdasarkan Indische Mijnwet hak konsesi
adalah “right in rem” yang dapat dijadikan jaminan, sementara hak kontraktor
dalam Kontrak Karya adalah rights in personam yang tidak dapat dijadikan
jaminan. Dalam Kontrak Bagi Hasil hak Kontraktor adalah sama dengan Kontrak
Karya, yaitu “rights in personam”.46
Slamet Bratanata, Menteri Pertambangan dalam Kabinet Suharto yang
pertama, adalah salah satu pihak yang mendukung konsep Perjanjian Karya /
Kontrak Karya. Menurut Slamet Bratanata rumusan pembagian keuntungan
(bukan produksi) sebagaimana tertera dalam Perjanjian Karya sudah cukup bagi
Indonesia dan cara yang tercepat untuk mengembangkan minyak dan gas bumi
adalah dengan membagi wilayah-wilayah kerja dalam blok-blok yang kecil dan
menawarkannya melalui tender terbuka dengan pembayaran bonus pada saat
penandatanganan perjanjian.47
Selanjutnya, sebagai Direktur Utama PERMINA (juga merangkap sebagai
Direktur Jendral Migas), pada bulan Agustus 1966 Ibnu Sutowo menandatangani
Kontrak Bagi Hasil dengan IIAPCO, sebuah perusahaan minyak dari Amerika
Serikat untuk wilayah lepas pantai laut Jawa, yang kemudian diikuti dengan
Refican (Canada) dan dua perusahaan dari Jepang, yaitu Japan Petroleum
Exploration Company dan Kyushu untuk wilayah kerja di lepas pantai Kalimantan
Timur dan Kalimantan Selatan.48
Pada saat bersamaan, Menteri Pertambangan mengusulkan kepada
Presiden agar meneruskan Perjanjian Karya dan mengalihkan bentuk kontrak-
kontrak yang sudah ditandatangani oleh PERMINA menjadi Perjanjian Karya.
Perselisihan antara kedua pejabat tinggi tersebut mencapai puncaknya dalam awal
tahun 1967 ketika Presiden Suharto memberitahukan kepada Menteri
Pertambangan bahwa beliau telah memutuskan untuk menerima Kontrak Bagi
Hasil dan menempatkan Direktorat Jendral Minyak dan Gas langsung dibawah

46
Ibid., hlm. 61.
47
Ibid., hlm. 62.
48
Ibid., hlm. 63.
kabinet. Sebagai tindak lanjut, Presiden juga mengangkat Menteri Pertambangan
baru Sumantri Brodjonegoro menggantikan Slamet Bratanata dan menempatkan
kembali Direktorat Jendral Minyak dan Gas Bumi dibawah Menteri
Pertambangan.
Salah satu masalah yang menjadi keberatan bagi perusahaan minyak asing
untuk menandatangani Kontrak Bagi Hasil pada awalnya adalah adanya ketentuan
bahwa manajemen berada di tangan PERTAMINA. Menanggapi hal ini, Ibnu
Sutowo menjelaskan kepada Donald Todd (Direktur IIAPCO yang
menandatangani Kontrak Bagi Hasil yang pertama) bahwa PERTAMINA tidak
bermaksud melakukan interupsi terhadap kegiatan operasi dalam melaksanakan
haknya sebagai manajemen dalam Kontrak Bagi Hasil, namun PERTAMINA
memandang perlu tersedianya hak tersebut untuk membuat keputusan bilamana
dipandang perlu.49
Dalam upaya agar konsep Kontrak Bagi Hasil dapat diterima, Ibnu Sutowo
menerapkan strategi dasar untuk mulai menawarkan konsep tersebut kepada
perusahaan-perusahaan kecil, yang umumnya baru, tidak memiliki aset di negara
asalnya dan khusus didirikan untuk menangani Kontrak Bagi Hasil. Untuk
mendukung strategi ini, dalam melaksanakan pengawasan PERMINA tidak
mencampuri terlalu ke dalam operasi kontraktor sebagaimana yang dijanjikan
oleh Ibnu Sutowo. Hal ini ternyata berhasil memberikan daya tarik kepada
perusahaan-perusahaan minyak multinasional untuk akhirnya bersedia menerima
klausula “manajemen ditangan Perusahaan Negara” dalam Kontrak Bagi Hasil.
Sampai dengan tahun 1968 lebih dari 15 Kontrak Bagi Hasil telah ditandatangani,
lima diantaranya adalah perusahaan-perusahaan multinasional.
Dengan meningkatnya kebutuhan akan “risk capital”, lingkup kerja sama
minyak dan gas bumi telah berkembang meliputi lapangan-lapangan yang
dioperasikan PERTAMINA dan wilayah pertambangan yang awalnya
dicadangkan untuk PERTAMINA. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai

49
Knowles, Ruth Sheldon, Op. Cit., hlm 76.
ragam kontrak, seperti Technical Assistance Contract (TAC), Enhanced Oil
Recovery Joint Operating Body Contract (EOR-JOB) dan Joint Operating
Agreement (JOA-PSC). Meskipun bentuknya berbeda, berbagai turunan
kontrak tersebut semuanya mengacu pada ketentuan dan persyaratan dalam
Kontrak Bagi Hasil tentang pembagian hasil operasi.

2.1.4 Masa Undang-Undang No 22 Tahun 2001


Pada tahun 1999 Pemerintahan Habibie mengajukan Rencana Undang-
undang Tentang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas 2001) untuk menggantikan
UU Migas 1960 dan UU Pertamina. Dalam jawaban atas pandangan umum fraksi-
fraksi DPR, pada tanggal 24 Maret 1999 Menteri Pertambangan dan Energi
menjelaskan pola pikir yang mendasari penyusunan RUU Migas 2001, yaitu
semua yang merugikan rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung perlu
diakhiri dengan menata kembali sektor yang mempunyai peran yang sangat
penting dan strategis bagi kehidupan rakyat. Untuk mencapai sasaran tersebut
perlu dilakukan pemisahan yang tegas antara peran Pemerintah dan peran
perusahaan.50
Dalam RUU Migas 2001 yang disampaikan kepada DPR, perubahan
mendasar yang diusulkan antara lain:
1. Mencabut hak pertambangan yang diberikan kepada PERTAMINA dan
dibentuknya Badan Pelaksana Usaha Kegiatan Hulu Minyak dan Gas
Bumi (Badan Pelaksana) untuk melaksanakan penyelenggaraan
pengusahaan menggantikan PERTAMINA. Dengan demikian, semua
Perjanjian Kerja Sama Migas akan dilakukan oleh Badan Pelaksana
sebagai wakil Pemerintah.
2. Menghapuskan hak-hak eksklusif atau monopoli PERTAMINA untuk
mengolah dan memasarkan produk minyak dan gas di dalam negeri dan
membuka partisipasi swasta untuk kegiatan hilir tersebut dan dibentuknya

50
Menteri Pertambangan dan Energi RI, Tanggapan Pemerintah atas Pengantar
Musyawarah Fraksi-Fraksi, Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta, 22 April 1999.
Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas sebagai regulator dalam kegiatan
hilir.
3. Mengurangi subsidi BBM dengan menyerahkan harga BBM dalam negeri
kepada mekanisme pasar.
4. Mengalihkan status PERTAMINA yang didirikan dengan UU Pertamina
menjadi Persero dan memberlakukan PERTAMINA sama dengan
perusahaan- perusahaan lain. Pengalihan ini dilakukan dengan tujuan agar
PERTAMINA tidak dibebani dengan tugas pengaturan dan pengawasan
dan dapat mefokuskan usahanya dalam bisnis untuk menjadikannya
perusahaan minyak terkemuka di dunia.
5. Memisahkan kegiatan transportasi gas dari kegiatan eksplorasi dan
produksi untuk meningkatkan pemanfaatan gas dalam negeri.
6. Mengizinkan bentuk perjanjian lain disamping Kontrak Bagi Hasil untuk
kegiatan hulu.
7. Membagi penerimaan negara dari kegiatan migas antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah.
8. Meningkatkan ketrampilan perusahaan nasional dan penggunaan produk
dan jasa dalam negeri secara transparan melalui pemberian kesempatan
yang sama bagi seluruh industri.
Pada dasarnya dapat dibedakan tiga kelompok dalam menyikapi RUU
tersebut, yaitu mereka yang tidak melihat urgensinya mengganti UU Migas 1960,
mereka yang memandang perlu diadakan pembaruan dan penataan kembali secara
komprehensif untuk memperbaiki iklim usaha yang kondusif dalam situasi dunia
yang sudah berubah, dan mereka yang setuju untuk mengganti UU Migas 1960
dan pembaruan tetapi tidak setuju dengan penataan yang komprehensif, termasuk
penghapusan monopoli dan dialihkannya tugas pengawasan kepada bukan
BUMN. Mereka yang tidak menyetujui RUU berpendapat bahwa untuk
menciptakan iklim usaha yang kondusif cukup dilakukan dengan menghilangkan
KKN dan memperbaiki kinerja PERTAMINA.
Termasuk dalam kelompok yang tidak menyetujui RUU Migas 2001 ini
ialah PERTAMINA sendiri yang merasa tidak pernah diikut sertakan dalam
membuat RUU Migas 2001 tersebut. Sampai dengan berakhirnya Pemerintahan
Habibie RUU Migas 2001 ini gagal mendapatkan persetujuan dari DPR. Dari
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disiapkan oleh DPR diketahui salah satu
yang menjadi permasalahan pokok adalah berhubungan dengan dialihkannya
tugas pengawasan perjanjian kerja sama kepada bukan BUMN, dan diizinkannya
bentuk perjanjian diluar Perjanjian Bagi Hasil.51
Setelah dilakukan perbaikan redaksional, RUU Migas 2001 ini kemudian
diajukan kembali kepada DPR baru, sementara dengan Direksi baru sikap
PERTAMINA dalam menanggapi RUU Migas 2001 juga berubah, yaitu
menyerahkan sepenuhnya kepada kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Melalui perdebatan yang cukup lama akhirnya dalam Rapat Paripurna pada
tanggal 23 Oktober 2001 DPR menyetujui RUU Migas 2001 yang kemudian di
undang-undangkan sebagai Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang
Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
Dibandingkan dengan RUU Migas 2001 yang diajukan dalam
Pemerintahan Habibie UU Migas yang disahkan ini tidak mengalami perubahan
yang mendasar. Seperti pada masa persidangan yang terdahulu, pokok-pokok
masalah yang diperdebatkan adalah penghapusan monopoli dan liberalisasi
pemasaran BBM dalam negeri dan kewenangan atau dialihkannya tugas
pengawasan perjanjian kerja sama kepada bukan BUMN.
Dengan telah diundang-undangkannya UU Migas 2001, maka konsep
penguasaan dan pengusahaan migas adalah sebagai berikut:
1. Migas yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan
Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara
(penguasaan).
2. Negara memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk
menyelenggarakan pengusahaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi atau
Pemerintah adalah pemegang Kuasa Pertambangan.

51
Dewan Perwakilan Rakyat RI, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan
Undang-Undang Tentang Minyak dan Gas Bumi, April 1999.
3. Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan
Pelaksana untuk melaksanakan penyelenggaraan pengusahaan.
4. Pelaksanaan penyelenggaraan pengusahaan yang dilakukan oleh Badan
Pelaksana diwujudkan dengan melakukan Kontrak Kerja Sama (KKS)
dengan Badan Usaha dan/atau Bentuk Usaha Tetap. KKS dapat berupa
Kontrak Bagi Hasil atau bentuk-bentuk lainnya. UU Migas 2001 tidak
menjelaskan lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk lain, dan hanya
menetapkan bahwa:
a. Pengendalian sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai
titik penyerahan;
b. Pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; dan
c. Modal serta risiko seluruhnya ditanggung oleh Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Badan Pelaksana dalam
menanda tangani KKS bertindak dalam kapasitasnya sebagai kuasa dari
pemegang Kuasa Pertambangan, yaitu Pemerintah. Hal ini berbeda dengan yang
diatur dalam UU Migas 1960, di mana Kuasa Pertambangan berada di Perusahaan
Negara.
Sebagai tanggapan terhadap disahkannya RUU Migas 2001 tersebut dalam
Rapat Paripurna sejumlah 11 orang anggota DPR mengajukan
“Minderheidsnota”, yang intinya menyatakan bahwa mereka tidak dapat
menerima, tidak menyetujui dan tidak ikut bertanggung jawab atas disahkannya
RUU Migas 2001 menjadi undang-undang. Menurut 11 orang anggota DPR
tersebut, RUU Migas 2001 memiliki kelemahan strategis yang sangat mendasar,
yaitu bertentangan atau sekurang-kurangnya tidak sesuai dengan jiwa Pasal 33
ayat (2) dan (3) UUD 1945. Selain dari pada itu para anggota DPR berpendapat
bahwa:
1. RUU Migas 2001 telah mengabaikan peran serta daerah-daerah penghasil
migas.
2. RUU Migas 2001 tidak mengandung klausula yang tegas yang
bertujuan memberdayakan perusahaan-perusahaan nasional.
3. Kebijaksanaan untuk menyerahkan harga minyak kepada mekanisme pasar
akan menimbulkan konflik antar Daerah.
4. Tidak melihat urgensinya untuk mengganti UU Nomor 44 Prp Tahun
1960.
5. Mengkhawatirkan implikasi hukum bilamana terjadi persengketaan
dengan investor karena dialihkannya hak pertambangan ke Pemerintah
(Badan Pelaksana).

2.2 Hak Menguasai dari Negara atas Sumber Daya Minyak dan Gas
Bumi di Indonesia
Seperti yang telah dibahas di bab I bahwa negara-negara berkembang yang
kaya akan sumber daya migasnya menganggap “hak menguasai dari negara”
sebagai sumber yang penting di dalam pengelolaan kekayaan alam. Banyak
negara memisahkan kepemilikan sumber daya alam dari kepemilikan atas tanah
dan menempatkan penguasaan migas dalam keadaan alamiah yang terkandung
dalam bumi pada Negara, termasuk di Indonesia.
Pengecualian dari konsep tersebut terdapat di Amerika Serikat dimana
kepemilikan swasta (private ownership) atas kekayaan alam diakui. Di Amerika
Serikat berdasarkan Rule of Capture, pemilik tanah memiliki hak (title) atas migas
yang terkandung di bawah tanah miliknya. Di Inggris juga sebelum
diberlakukannya Petroleum (Production) Act tahun 1934, kepemilikan mineral
yang terkandung di dalam tanah juga berada di tangan pemilik tanah.52
Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya bahwa jauh sebelum
memasuki konsep penguasaan sumber daya alam seperti yang sekarang ini,
kepemilikan migas ada pada para Sultan. Hak para Sultan ini kemudian ditiadakan
setelah Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Indische Mijnwet pada tahun
1899, yang menetapkan bahwa migas dikuasai oleh Pemerintah Kolonial dan
kegiatan pertambangannya hanya dapat dilakukan dengan ijin konsesi yang

52
Madjedi Hasan, Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan Kepastian
Hukum, Jakarta: Fikahati Aneska, 2009, hlm. 27
dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal. Ijin konsesi tersebut juga hanya diberikan
kepada penduduk Belanda dan perusahaan-perusahaan dari Belanda.
Setelah proklamasi, hak menguasai dari negara atas kekayaan alam
kemudian dituangkan ke dalam konstitusi UUD 1945 oleh para pendiri bangsa
pada BAB XIV tentang Kesejahteraan Sosial, yakni di Pasal 33 ayat (2) dan ayat
(3). Pada ayat (3) ditegaskan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.” Selanjutnya, di ayat (2) ditegaskan bahwa
“cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
Ketentuan ini kemudian juga diterangkan di dalam Pasal 4 UU No 22
Tahun 2001 yang menyatakan bahwa migas sebagai sumber daya alam tak
terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia
dikuasai negara. Penguasaan oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah
sebagai pemegang hak kuasa pertambangan. Hal ini menunjukkan bahwa baik
masyarakat maupun pelaku usaha tidak memiliki hak kepemilikan atau
penguasaan atas migas, meskipun ditemukan di bawah sebidang tanah yang
menjadi hak miliknya.
Prinsip hak menguasai oleh Negara atas Sumber Daya Alam ini
sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing dan bahkan telah diakui sepenuhnya oleh
hukum internasional sebagaimana dapat dijumpai dalam berbagai dokumentasi
resmi, antara lain:53
1. Resolusi Majelis Umum PBB 626 (VII) tanggal 21 Desember 1952
tentang prinsip penentuan nasib sendiri di bidang ekonomi setiap negara
(economic self-determination), yang menegaskan hak setiap negara untuk
memanfaatkan dan eksploitasi secara bebas kekayaan dan sumber daya

53
Agus Salim, artikel Kementrian ESDM Edisi Jumat, 23 September 2011,
http://www.esdm.go.id/berita/artikel/56-artikel/4940-pengusahaan-migas-di-indonesia-dalam-
perspektif-kedaulatan-negara-3-kedaulatan-negara-dalam-pengusahaan-migas-.html, diunduh pada
tanggal 16 Oktober 2012, pukul 02.15 wib.
alamnya, kemanapun yang dikehendaki untuk kemajuannya dan
pengembangan ekonomi;
2. Resolusi Majelis Umum PBB 1803 (XVII) tanggal 14 Deseember 1962,
Resolusi PBB 2158 (XXI) tanggal 25 November 1966, dan Resolusi 3016
(XXVIII) 18 Desember 1972. Resolusi ini memperluas ruang lingkup
prinsip hak penguasaan permanen (permanent sovereignty) atas kekayaan
alam di dasar laut dan tanah di bawahnya yang masih berada dalam
yurisdiksi suatu Negara;
3. Resolusi Majelis Umum PBB 3201 (S-VI) tanggal 1 Mei 1974 tentang
Deklarasi Pembentukan Tata Ekonomi Internasional Baru dan Resolusi
3281 (XXIX) tanggal 12 Desember 1974 tentang Program Hak-hak
Ekonomi dan Kewajiban Negara (Charter of Economic Rights and Duties
of States). Resolusi tersebut menegaskan kembali mengenai hak
menguasai oleh Negara untuk mengawasi kekayaan alamnya dalam upaya
meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
4. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESR)
dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICPR) tanggal
16 Desember 1966 yang menegaskan hak suatu negara untuk
memanfaatkan secara bebas kekayaan alamnya;
5. Declaration on the Human Environment Tahun 1972 di Stockholm. Dalam
Pasal 11 dan 12 ditegaskan bahwa negara memiliki hak berdaulat untuk
memanfaatkan Sumber Daya Alamnya sesuai dengan kebijakan
pemeliharaan lingkungannya masing-masing. Dalam pemanfaatan itu,
Negara bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan yang merugikan
lingkungan, baik di wilayahnya sendiri, maupun di wilayah negara lain.
Pengakuan hak dari negara atas kekayaan alam dalam hukum internasional
tersebut sejalan dengan tuntutan dari negara-negara berkembang akan haknya
untuk menikmati manfaat dari eksploitasi sumber daya alam. Dengan begitu,
maka resolusi-resolusi Majelis Umum PBB tersebut memperkuat prinsip
penguasaan sumber daya alam sebagaimana tercantum pada Pasal 33 ayat (2) dan
(3) UUD 1945.
Meskipun begitu, ternyata di dalam prakteknya beberapa keadaan telah
memaksa adanya penyesuaian melalui program-program Pemerintah, seperti
tuntutan percepatan pembangunan perekonomian nasional yang membutuhkan
daya dan modal asing untuk mendukung dan mencapai tujuan pembangunan. Hal
ini menyebabkan pengendalian oleh Negara mungkin belum mampu untuk
memenuhi harapan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Hal inilah kemudian
yang mempelopori lahirnya kritik dan persoalan dari berbagai kalangan yang
menyatakan bahwa negara telah kehilangan kedaulatannya atas sumber daya alam.
Dilihat dari perkembangannya, kata-kata “dikuasai negara” sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 33 UUD 1945 tersebut tampak mempunyai beberapa
pengertian, yaitu mulai dari kepemilikan dan pengelolaan secara langsung atau
tidak langsung oleh negara hingga pengertian bahwa yang terpenting adalah
negara tetap mengatur dan mengatasi cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.54
Dengan berbagai perbedaan penafsiran yang lahir, makna penguasaan dari
negara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 UUD 1945 ini ternyata menjadi
persoalan tersendiri. Hal tersebut terbukti dengan seringnya diajukan Judicial
Review di Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang yang berkaitan dengan
sumber daya alam, seperti Judicial Review terhadap UU No 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air, UU No 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan UU No
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi itu sendiri.
Oleh karena persoalan perbedaan penafsiran tersebut, maka Mahkamah
Konsitusi telah memberikan makna mengenai penguasaan Negara dalam Pasal 33
UUD 1945 sebagaimana telah dipertimbangkan dalam putusan MK No 20/PUU-
V/2007 atau putusan dari Judicial Review kedua terhadap UU Migas No 22 Tahun
2001, yang menyatakan bahwa,
“…penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 memiliki
pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam
konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan
konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat
yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik)

54
Madjedi Hasan, Op. Cit., hlm. 42.
maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat
itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus
pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan
doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian
kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik
oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah milik
publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara
untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”

Dalam putusan tersebut dipertimbangkan pula bahwa makna “dikuasai


oleh Negara tidak dapat hanya diartikan sebagai hak untuk mengatur saja. Oleh
karena itu, dalam putusan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa,
“… pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna
penguasaan oleh Negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan
dari konsep kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan
“bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk
pula di dalamnya pengertian publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-
sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan
oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada Negara untuk mengadakan
kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan
(toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh Negara dilakukan oleh Pemerintah
dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas
perizinan (vergunning), lisensi (licentie) dan konsesi (consessie). Fungsi
pengaturan oleh Negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan
legislasi oleh DPR bersama Pemerintah dan regulasi oleh Pemerintah.
Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme
pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung
dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik
Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q.
Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber
kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Demikian pula fungsi pengawasan oleh Negara (toezichthoudensdaad)
dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan
mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh Negara atas sumber-
sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat … Yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: (i)
cabang-cabang produksi itu penting bagi Negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak; atau (ii) penting bagi Negara, tetapi tidak menguasai
hajat hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi Negara, tetapi
menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh
Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat …”

Dari beberapa pengertian tersebut di atas, maka Mahkamah berpendirian


bahwa penguasaan Negara yang dikonstruksikan oleh UUD 1945 tidak hanya
terbatas pada pengaturan saja, tetapi juga memberikan mandat kepada Negara
untuk melakukan pengelolaan untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut mahkamah, kriteria konstitusional untuk mengukur makna konstitusional
dari penguasaan Negara itu terdapat pada frasa “untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.
Kemudian, para ekonom sumber daya alam memandang konsep
penguasaan sumber daya alam tersebut sebagai the right of bundle, karena
sebenarnya dalam satu kata penguasaan itu mengandung empat pengertian.
Pengertian yang dimaksud adalah sebagai berikut:55
1. Use Right (hak untuk menggunakan). Hak ini terbatas kepada hak
untuk memanfaatkan lahan tersebut seduai dengan peruntukkan yang
telah disepakati bersama.
2. Management Right (hak untuk mengelola). Hak ini lebih tinggi
derajatnya daripada sekedar untuk menggunakan. Dengan hak ini,
penguasa juga memiliki hak untuk pengelolaan. Pengelolaan yang
dimaksud adalah hak untuk melakukan pengorganisasian dan hak
untuk memutuskan wujud dari penggunaan hak tersebut.
3. Transfer Right (hak yang dimiliki dapat dipindahtangankan).
Pengalihan hak tersebut dapat dilakukan untuk sebagian atau seluruh
hak tergantung kepada perjanjian dengan pemberi kuasa.
4. Ownership (hak yang paling sempurna yaitu hak untuk memiliki). Jika
sumber daya alam tersebut dimiliki, maka pemilik dapat
menggunakan, mengelola dan juga sudah pasti dapat
memindahtangankan hak tersebut. Konsep ownership inilah yang
digunakan di dalam industri hulu migas di Indonesia.

55
A Rinto Pudyantoro, A to Z Bisnis Hulu MIGAS, Jakarta: Petromindo, 2012, hlm. 107.
Selanjutnya Gibb dan Bromley membagi paham yang mendasari pola
pengelolaan sumber daya alam menjadi empat rezim yaitu:56
1. State Property
Sumber daya alam dikuasai oleh negara. Seperti yang diterangkan di
dalam UUD 1945 dan UU No 22 Tahun 2001 tentang migas bahwa
sumber daya alam migas dikuasai oleh negara. Dengan demikian
pengelolaan sumber daya alam migas menggunakan rezim state
property.
2. Private Property (Individual or Corporation)
Rezim ini menggambarkan pemahaman bahwa sumber daya alam
dikuasai secara pribadi. Dalam hal ini bisa dimiliki oleh orang-
perorangan atau badan usaha. Dengan begitu maka hak
pengelolaannya menjadi milik pribadi, begitu juga dengan risikonya.
3. Common Property or Communal Property
Hal ini berarti bahwa sumber daya alam dikuasai oleh sekelompok
orang. Umumnya hal ini terjadi tanpa sengaja dari suatu kebiasaan /
budaya yang berlangsung secara terus menerus.
4. Open Access
Sumber daya alam dapat dikuasai oleh semua orang. Semua orang
bebas untuk keluar masuk dari area tersebut. Ketika setiap orang
mengakui memiliki sumber daya alam tersebut maka di saat yang sama
sebenarnya tidak ada satu orangpun yang dapat menguasai atau
memilikinya.

2.3 Sifat dan Ruang Lingkup Hukum Kontrak Migas di Indonesia


Kontrak migas di negara-negara berkembang adalah suatu perjanjian
antara Pemerintah suatu negara berdaulat dengan investor.57 Dalam kontrak ini,
badan Pemerintah dapat diwakili oleh badan publik negara atau perusahaan

56
Ibid., hlm. 108-109.
57
Madjedi Hasan, Op. Cit., hlm. 45.
minyak milik negara (BUMN). Misalnya, di Indonesia pada awalnya badan yang
mewakili Pemerintah dalam PSC adalah PERTAMINA, yang kemudian
digantikan oleh BP MIGAS yang dibentuk berdasarkan UU MIGAS No 22 Tahun
2001 dan PPMIGAS No 42 Tahun 2002, yang kini berganti nama menjadi SKK
MIGAS berdasakan PerPres No 9 Tahun 2013.
Melihat dari para pihak yang berkontrak, Kontrak Migas di Indonesia
dapat berupa kontrak nasional dan kontrak internasional. Sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 9 UU No 22 Tahun 2001 bahwa selain badan hukum asing (Bentuk
Usaha Tetap atau BUT), kegiatan usaha hulu migas dapat dilaksanakan oleh
badan-badan hukum yang didirikan di Indonesia seperti BUMN, BUMD,
Koperasi / usaha kecil dan swasta lain.
Apabila suatu kontrak tersebut terdapat unsur asingnya atau melibatkan
dua pihak dengan kewarganegaraan yang berbeda, maka hal tersebut akan
membawa konsekuensi hukum sendiri terhadap status kontrak yang terkait dengan
status hukum personal masing-masing warga negara tersebut yang berbeda. Hal
tersebut akan berdampak pada hukum apa yang akan digunakan atau berlaku
terhadap kontrak tersebut.
Selanjutnya dikaitkan dengan pengertian kontrak internasional, maka
kontrak migas termasuk ke dalam kontrak internasional dalam bidang komersial
yang akan tunduk pada aturan-aturan hukum Perdata. 58 Ia tidak masuk ke dalam
kategori perjanjian internasional dalam bidang publik yang tunduk pada aturan-
aturan hukum publik.
Dengan demikian, maka kontrak migas juga menganut prinsip-prinsip
hukum umum dari aturan-aturan hukum internasional yang diterapkan terhadap
kontrak internasional, seperti pacta sunt servanda dan itikad baik.59 Dengan
prinsip ini, maka setiap perjanjian harus dilaksanakan oleh para pihak dengan
itikad baik. Prinsip penting lainnya adalah prinsip tanggung jawab dan
kompensasi. Menurut hukum internasional dan juga hukum kontrak internasional
58
Madjedi Hasan, Op. Cit., hlm. 47.
59
George Hecke, Contract Subject to International or National Law, in Hans Smit, et.al.,
International Contracts, Mathew Bender, New York, 1981.
dinyatakan bahwa setiap perbuatan yang merugikan pihak lainnya harus
mendatangkan kompensasi atau ganti rugi.60
Melihat para pihak yang berkontrak, kontrak internasional dapat
digolongkan ke dalam empat (4) bentuk yaitu:
1. Antara perusahaan domestik dengan perusahaan asing;
2. Antara negara dengan perusahaan asing;
3. Antara negara dengan negara; dan
4. Antara organisasi internasional dengan perusahaan.
Dalam hal kontrak internasional antara negara dengan perusahaan asing
seperti Kontrak Migas di Indonesia akan ditampilkan dua subjek hukum dengan
kapasitas yang berbeda.61 Negara adalah subjek hukum yang sempurna dan
memiliki kekuasaan untuk membuat dan melaksanakan hukum serta mengubah
hukum. Sedangkan disisi lain, perusahaan adalah subjek hukum dengan kapasitas
terbatas.
Perbedaan kapasitas dari kedua subjek hukum tersebut berkaitan erat
dengan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap suatu kontrak internasional
(choice of law). Hal ini sangat penting di dalam suatu kontrak, karena pilihan
hukum ini nantinya yang akan menentukan terwujudnya kepastian hukum.
Pengertian pilihan hukum ini juga dapat berpengaruh kepada pilihan forum
(choice of forum) yaitu pemilihan tempat menyelesaikan sengketa.

2.4 Sejarah / Perkembangan Kontrak Kerja Sama dalam Kegiatan Usaha


Hulu Minyak dan Gas Bumi di Indonesia
Di Indonesia, transaksi investasi langsung (Foreign District Investment)
atau Penanaman Modal Asing (PMA) telah menjadi sumber pendanaan yang
penting karena sangat mendukung peningkatan produktivitas dalam mencapai

60
Madjedi Hasan, Op. Cit., hlm. 48.
61
Madjedi Hasan, Op. Cit., hlm. 49.
pertumbuhan ekonomi.62 Salah satu variabel yang sangat mendukung
meningkatnya PMA adalah keberadaan sumber daya alam seperti minyak dan gas
bumi (migas), batubara dan bahan galian lainnya. PMA dalam industri migas
merupakan “resource seeking kind” yang berarti salah satu alasan utama untuk
perusahaan minyak dari luar negeri menanamkan modalnya di suatu Negara
adalah karena sumber daya alam di Negara tersebut.63
Industri hulu migas adalah bisnis yang berisiko tinggi atau penuh
ketidakpastian (uncertainty). Risiko terbesarnya adalah tidak ditemukannya
cadangan migas, dengan tingkat kegagalan mencapai 70% hingga 80%.64 Artinya
jika mengerjakan 10 blok dengan masing-masing blok diperkirakan membutuhkan
US$ 50 juta untuk melakukan eksplorasi, maka secara total dibutuhkan US$ 500
juta dengan kemungkinan gagal 8 blok dan 2 blok berhasil. Kemudian dari 2 blok
tersebut yang ditemukan cadangan biasanya hanya 1 saja, atau mungkin malah
keduanya dinyatakan tidak komersial.
Untuk mencari dan menemukan cadangan migas tersebut dibutuhkan
teknologi tinggi karena tidak bisa ditebak-tebak. Konsekuensinya adalah biaya
yang tinggi pula. Untuk saat ini, kegiatan seismik 2D (dua dimensi) rata-rata
membutuhkan biaya kurang lebih US$ 5 juta atau sekitar Rp 46 miliar. Semakin
luas areanya akan membutuhkan biaya yang semakin besar. Sedangkan untuk
seismik 3D (tiga dimensi) hampir dua kali lipat biayanya. Berbeda pula biaya
untuk pencarian cadangan di tengah laut. Pada beberapa kasus, pencarian di laut
dalam biasanya bisa mencapai lebih dari US$ 15 juta- US$ 20 juta, atau sekitar
Rp134 miliar – Rp184 miliar.
Kemudian, untuk pekerjaan analisis data, studi geologi dan geofisika juga
membutuhkan biaya yang tidak murah. Dana yang dibutuhkan bisa mencapai

62
Abdel-Rahman, A. M.M., The Determinants of Foregin Direct Investment in the
Kingdom of Saudi Arabia. Working Paper No. 200238, The Economic Research Forum for the
Arab Countries, Iran and Turkey (ERF), 2002.
63
ADB, Asian Development Outlook 2004: Foreign Direct Investments in Developing
Asia. Asian Development Bank (ADB), 2004.
64
A Rinto Pudyantoro, Op. Cit., hlm. 125-127.
US$2 juta – US$10 juta (tergantung ruang lingkupnya). Biaya yang mahal juga
diperlukan untuk melakukan pengeboran sumur eksplorasi yang berkisar US$3
juta – US$10 juta (sekitar Rp27 miliar – Rp92 miliar). Untuk saat ini, ada
sebanyak 193 Wilayah Kerja yang masih dalam tahap eksplorasi. Jadi akan
membutuhkan 193 kali dari dana yang diperkirakan akan dikeluarkan, yaitu
kurang lebih Rp 44 triliun – Rp 79 triliun.
Banyak sekali kalangan yang tidak mau tahu mengenai hal ini dan dengan
lantang menyuarakan agar industri migas segera dikerjakan oleh perusahaan
dalam negeri karena merasa sumber daya alam Indonesia telah dikuasai asing.
Segala kegiatannya harus diusahakan dari dalam negeri sendiri agar hasil dan
keuntungannya dapat 100% dirasakan oleh bangsa sendiri.
Sejarah mencatat bahwa dengan diberlakukannya UU No 22 Tahun 2001,
sejak tahun 2004 kegiatan hulu migas di Indonesia telah melibatkan perusahaan-
perusahaan dalam negeri. Akan tetapi, investor-investor dari dalam negeri tersebut
gagal menjalankan komitmennya dan mengalihkannya ke perusahaan asing
sehingga perusahaan dalam negeri hakekatnya hanyalah sebagai pialang
(broker).65
Dengan mempertimbangkan hal tersebut di atas, maka sampai saat ini
langkah yang masih paling baik bagi Indonesia adalah dengan mengundang
investor asing yang memiliki kemampuan serta modal yang sangat besar untuk
melakukan kegiatan tersebut. Oleh karena itu, maka kegiatan bisnis hulu migas ini
menghubungkan Pemerintah atau Negara sebagai pemilik sumber daya alam
dengan perusahaan asing / swasta multinasional / kontraktor. Dengan adanya
pembiayaan oleh perusahaan minyak dari luar negeri dalam proyek-proyek
pengembangan migas di sektor hulu, maka Negara pun bersedia memberikan hak-
hak tertentu kepada perusahaan dari luar negeri tersebut. 66 Oleh karena itu, untuk
menjaga suasana investasi yang kondusif dengan adanya kepastian hukum maka

65
Majedi Hasan, Op. Cit., hlm. 11.
66
Majedi Hasan, Op. Cit., hlm. 2-3.
para pihak mengikatkan diri ke dalam suatu kontrak kerja sama dimana
kepentingan-kepentingan dari para pihak akan terwakili disana.
Melihat perkembangannya di Indonesia sampai saat ini, di dalam
perjalanannya hubungan melalui sistem kontrak ini telah beberapa kali mengalami
perubahan.

2.4.1 Konsesi
Kontrak Konsesi adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh negara pemilik
atau pemegang kuasa pertambangan dengan kontraktor untuk melakukan
eksplorasi, eksploitasi dan memasarkan hasil produksinya tanpa adanya campur
tangan dari Negara pemberi konsesi dalam manajemen operasi. Hak-hak tersebut
diperoleh sebagai imbalan dari pemenuhan kewajiban kontraktor untuk
melakukan pembayaran-pembayaran kepada Negara yang berupa royalti, pajak-
pajak serta bonus.67
Konsesi merupakan bentuk yang paling tua dan paling banyak digunakan
di dunia. Negara-negara yang menggunakan sistem ini antara lain Inggris,
Thailand, Amerika Serikat dan beberapa Negara Timur Tengah. Sebagai bentuk
perjanjian yang paling tua, konsesi telah berkembang dari bentuk klasik hingga
bentuk modern.68 Konsesi klasik umumnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Diberikan atas wilayah kerja yang relatif sangat luas;
2. Untuk jangka waktu yang relatif panjang;
3. Kepada kontraktor diberikan wewenang penuh untuk mengatur operasi
pertambangan;
4. Dan menyisakan hanya sedikit hak kepada Negara yaitu hak untuk
menerima pembayaran (royalty) berdasarkan hasil produksi.

67
Rine Nine Furusine, “Pembenahan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi dalam Rangka Pengembangan Industri Hulu Migas, (Tesis Universitas
Indonesia, Jakarta, 2011), hlm. 21.
68
Rudi M. Simamora, Hukum Minyak dan Gas Bumi, (Jakarta: Djambatan, 2000),
hlm.56.
Sedangkan konsesi modern telah dikembangkan sebagai konsep perjanjian
administratif (administrative contracts). Konsep ini berasal dari Perancis yang
dikenal dengan Droit Administrtive. Salah satu prinsip droit administrative
menurut hukum Perancis yang berkaitan dengan konsesi adalah bahwa hubungan
kontraktual yang berdasarkan droit administrative tunduk pada ketentuan
perundang-undangan Negara atau badan pemerintah yang berkepentingan.69 Oleh
karena itu kewenangan kontraktor dalam konsesi modern tidak lagi sebesar
Konsesi Klasik.
Di Indonesia, istilah konsesi lahir pertama kali melalui Peraturan
Perundang-undangan yang mengatur tentang minyak dan gas bumi pada zaman
Hindia Belanda yaitu ”Indische Mijn Wet (IMW)” yang diundangkan pada tahun
1899. Kontrak konsesi adalah bentuk perjanjian pengelolaan dan pengusahaan
minyak dan gas bumi yang dibuat pada masa zaman Hindia Belanda. Dalam
sistem kontrak konsesi di Indonesia, kontraktor diberikan keleluasaan untuk
mengelola minyak dan gas bumi, mulai dari kegiatan eksplorasi, eksploitasi
sampai memasarkan hasil produksi yang dihasilkannya. Kontraktor diberikan
kewajiban untuk membayar pajak tanah untuk setiap hektar area konsesi yang
diberikan Negara (dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda) kepadanya. Jika
kontraktor telah berhasil berproduksi dan memasarkan hasil produksinya,
kontraktor diwajibkan untuk membayar royalti, sejumlah pajak dan bonus kepada
Pemerintah. Dalam Indische Mijnwet, royalti kepada pemerintah ditetapkan
sebanyak 4% dari produksi kotor.
Prinsip kerjasama di dalam sistem konsesi secara umum adalah sebagai
berikut:
1. Kepemilikan sumber daya minyak dan gas yang dihasilkan berada
ditangan kontraktor (mineral right);
2. Kontraktor diberi kewenangan penuh dalam mengelola operasi
pertambangan, yang bertindak sebagai operator sekaligus bertanggung
jawab atas manajemen operasi (mining right);

69
Rine Nine Furusine, Op. Cit., hlm. 22.
3. Kepemilikan asset berada di tangan kontraktor, dalam batas-batas tertentu;
4. Negara mendapatkan sejumlah royalty yang dihitung dari pendapatan
kotor yaitu sebesar 4% atas pendapatan kotor dari hasil penjualan minyak
dan gas bumi yang dihasilkan;
5. Kontraktor diwajibkan membayar pajak tanah dan pajak penghasilan dari
penghasilan bersih.70
Pada masa itu, pengelolaan pertambangan minyak dan gas bumi dikuasai
oleh tiga perusahaan asing, yaitu Caltex, Shell dan Stanvac. Modal yang dimiliki
ketiga perusahaan tersebut berasal dari modal asing, sementara pemerintah Hindia
Belanda tidak memiliki saham di ketiga perusahaan tersebut.
Dalam perkembangannya Indische Minjwet tersebut diubah pada tahun
1910, pemerintah Hindia Belanda menambahkan Pasal 5a dalam Indische
Minjwet. Sejak saat itu, kontrak konsesi di Indonesia dikenal juga dengan sebutan
Kontrak 5A. Ketentuan Pasal 5a dalam Indische Minjwet berbunyi sebagai
berikut:
1. Pemerintah berwenang untuk melakukan penyelidikan dan ekploitasi
selama hal itu tidak bertentangan dengan hak-hak yang telah diberikan
kepada penyelidik atau pemegang konsesi;
2. Untuk hal tersebut, pemerintah dapat melakukan sendiri penyelidikan dan
eksploitasi atau mengadakan perjanjian dengan perorangan atau
perusahaan yang memenuhi persyaratan sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 4 Undang-Undang ini dan sesuai dengan perjanjian itu mereka
wajib melaksanakan eksploitasi, ataupun penyelidikan dan ekploitasi yang
dimaksud;
3. Perjanjian yang demikian itu tidak akan dilaksanakan, kecuali telah
disahkan dengan Undang-Undang.71

70
Dira, Perkembangan Model Pengelolaan Migas,
http://Casdiraku.wordpress.com/2010/02/03/perkembangan-model-pengelolaan-migas/, diakses
tanggal 22 Januari 2012.
71
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta : UII Press, 2004)
Inti dari ketentuan Pasal 5a Indische Mijnwet adalah memberikan
kewenangan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk dapat ikut serta pada
kegiatan eksplorasi dan ekploitas pertambangan, baik dalam bentuk pengusahaan
sendiri atau dengan bentuk kerjasama dengan pihak lain. Dengan diberlakukannya
ketentuan baru tersebut, sejak tahun 1910 tidak hanya pihak swasta yang dapat
melakukan pengusahaan minyak dan gas bumi, melainkan pemerintah Hindia
Belanda juga dapat melakukan pengusahaan atas hasil tambang ini.
Konsensi di Indonesia terjadi juga Pada Agustus 1951, ketika Mr.
Mohammad Hasan selaku Ketua Komisi Perdagangan dan Industri DPR telah
melakukan penelitian yang menghasilkan 2 (dua) kesimpulan yaitu:
1. Diyakini penuh, dengan berbagai alasan yang kuat, bahwa ladang-ladang
minyak di Sumatera Utara dapat dinasionalisasi dengan pembayaran ganti
rugi sedemikian rupa;
2. Indonesia tidak mendapatkan pembagian setimpal atas operasi minyak
asing menurut perjanjian Konsesi dan peraturan perpajakan yang berlaku.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diajukan mosi kepada Pemerintah
untuk membentuk Panitia Negara Urusan Pertambangan dengan tugas
diantaranya adalah mempersiapkan rencana undang-undang pertambangan
dan mengajukan usul mengenai pertambangan yang menguntungkan
Pemerintah. Atas desakan DPR, Pemerintah kemudian menunda
pemberian konsesi eksploitasi maupun perpanjangannya sampai Panitia
Negara Urusan Pertambangan memberikan rekomendasi.
Dalam perundingan antara Mr. Mohammad Hasan dan manajemen
perusahaan minyak asing di Indonesia, muncul usulan dari Mr. Mohammad Hasan
agar pembagian hasil (50% - 50%) diambil dari hasil produksi, tanpa ikut serta
dalam pembiayaan operasi.
Berdasarkan perundingan tersebut, pada Maret 1954 dihasilkan
kesepakatan antara Pemerintah dan Stanvac yang diantaranya:
1. Untuk menfasilitasi penanaman modal kepada Stanvac diberikan
pembebasan bea masuk untuk semua impor barang modal;
2. Penerapan perpajakan yang akhirnya menghasilkan pembagian 50% -
50%;
3. Upaya Indonesianisasi karyawan akan dilakukan sebesar mungkin;
4. Jangka waktu Konsesi untuk empat tahun.
Kesepakatan tersebut juga menjadi dasar perpanjangan konsesi Shell dan
Caltex, dimana pada perpanjangan berikutnya yaitu pada tahun 1960 diharapkan
dapat diatur sesuai Undang-Undang Perminyakan yang baru.
Jenis kontrak tersebut terus berlanjut hingga dikeluarkannya UU No. 44
Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi merupakan lex
specialis dari UU No. 37 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan.

2.4.2 Kontrak Karya


Pengertian kontrak karya dapat ditemukan melalui penjelasan yang
dikemukakan oleh Sri Woelan Aziz, yaitu
“suatu kerjasama dimana pihak asing membentuk badan hukum Indonesia
dan badan hukum Indonesia ini bekerjasama dengan badan hukum
Indonesia yang menggunakan modal nasional”72

H. Salim HS. juga menjelaskan pengertian kontrak karya di dalam


bukunya. Pengertian ini baginya adalah untuk melengkapi pengertian yang telah
dikemukakan oleh Ismail Suny dan Sri Woelan Aziz, yaitu:
“suatu perjanjian yang dibuat antara Pemerintah Indonesia/pemerintah
daerah (provinsi/kabupaten/kota) dengan kontraktor asing semata-mata
dan/atau merupakan patungan antara badan hukum asing dengan badan
hukum domestik untuk melakukan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi
dalam bidang pertambangan umum, sesuai dengan jangka waktu yang
disepakati oleh kedua belah pihak”73

Kedua pengertian tersebut menunjukkan bahwa kontrak karya bersifat


perdata, dan merupakan kesepakatan bersama antara para pihak (Pemerintah
Republik Indonesia dengan Kontraktor) dalam kerja sama tersebut. Azas
72
Sri Woelan Aziz, Aspek-aspek hukum ekonomi pembangunan di Indonesia, Surabaya :
Citra Media, 1996, hlm.62.
73
Salim HS, Hukum Pertambangan Di Indonesia, Cetakan 2005-1-2, (Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada), hlm. 129.
kesepakatan terhadap kontrak meliputi keseluruhan terms and conditions yang
tercantum di dalam kontrak termasuk para pihak yang terkait di dalam kontrak.
Perubahan terhadap terms and conditions kontrak karya hanya dimungkinkan
apabila didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak yang kemudian dituangkan
secara resmi dalam bentuk amandemen kontrak.74 Perjanjian di dalam kontrak
karya ini memenuhi unsur-unsur, syarat, dan asas-asas perjanjian pada umumnya.
Prinsip-prinsip dasar kontrak karya yang berlaku di Indonesia adalah
sebagai berikut:
1. Manajemen berada di tangan kontraktor;
2. Aset yang dimiliki kontraktor yang berupa peralatan yang digunakan
dalam kegiatan eksplorasi dan ekploitasi minyak dan gas bumi tetap
menjadi milik kontraktor sampai berakhirnya masa penyusutan Prinsip ini
dilatar belakangi oleh kenyataan bahwa peralatan yang ada dalam operasi
kontrak karya telah dimiliki sebelumnya oleh para kontraktor sebelum
adanya kontrak karya. Batasan sampai masa penyusutan merupakan
akomodasi kepentingan Negara di satu sisi dan kontraktor disisi lain dalam
hal kepemilikan asset;
3. Pembagian hasil didasarkan pada hasil penjualan minyak dan gas bumi
dengan perbandingan 60% untuk Negara dan 40% untuk kontraktor
dengan terlebih dahulu dikurangi biaya-biaya. Prinsip ini sejalan dengan
konsep kontrak karya sebagai perjanjian pembagian pendapatan, dimana
yang menjadi patokannya adalah hasil penjualan produksi;
4. Kepemilikan atas minyak dan gas bumi yang dihasilkan berada ditangan
Negara;
5. Kontrak karya berlaku setelah disahkan dengan Undang-Undang.
Kontrak karya adalah suatu perjanjian yang mengatur tentang pembagian
keuntungan atau pendapatan. Prinsip kerjasamanya adalah profit sharing, atau
pembagian keuntungan antara Pemerintah dan kontraktor. Dengan dasar
pemikiran tersebut maka aspek manajemen dan kepemilikan asset bukan menjadi

74
Menjembatani pemahaman praktek pertambangan: KP dan PKP2B,
http://www.apbiicma.com/newa.php?pid=5563&act=detail, diakses tanggal 1 November 2010.
pertimbangan penting. Oleh karena itu dalam kontrak karya, manajemen operasi
berada ditangan kontraktor dan kepemilikan aset berada di tangan kontraktor
sampai aset tersebut terdepresiasi. Sedangkan untuk kepemilikan minyak dan gas
bumi yang dihasilkan pada prinsipnya berada di tangan Negara yang dalam hal ini
diwakili oleh perusahaan Negara.
Dalam kontrak karya, kontraktor diberi kuasa pertambangan, tetapi tidak
memiliki hak atas tanah permukaan. Dalam menjalankan operasinya, kontraktor
berkewajiban untuk mendanai semua kegiatan eksplorasi, pengembangan serta
pemasaran. Biaya-biaya tersebut nantinya akan dikembalikan dari hasil produksi.
Untuk menjamin tersedianya minyak dan gas bumi untu dikonsumsi dalam negeri,
kontraktor diwajibkan untuk memberikan pembayaran dalam bentuk minyak dan
gas bumi sampai dengan 25% dari total produksi tahunan. Masa berlakunya
kontrak karya adalah 30 tahun dengan areal yang relatif luas. Atas areal yang telah
diberikan, kontraktor diwajibkan untuk mengembalikan atau menyisihkan
sebagian wilayahnya kepada Negara setelah jangka waktu tertentu.

2.4.3 Kontrak Bagi Hasil / Production Sharing Contract (PSC)


Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas, tidak didapatkan pengertian PSC. Namun untuk dapat mengetahui
pengertiannya, kita dapat membaca dalam Pasal 1 angka (1) PP Nomor 35 Tahun
1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerja Sama Kontak Bagi Hasil Minyak
dan Gas Bumi. Production Sharing Contract adalah:
“Kerja sama antara Pertamina dan Kontraktor untuk melaksanakan
usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan
prinsip pembagian hasil produksi”.75

PSC merupakan perjanjian bagi hasil di bidang minyak dan gas bumi. Para
pihaknya adalah PERTAMINA dan kontraktor. Sementara itu, sejak berlaku
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 para pihaknya adalah badan pelaksana

75
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Syarat-Syarat dan Pedoman Kerja Sama
Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi, PP No. 35 Tahun 1994, LN No. 64 Tahun 1994
dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap. Dengan demikian, definisi ini perlu
dilengkapi dan disempurnakan. Production Sharing Contract adalah:
“Perjanjian atau kontrak yang dibuat antara badan pelaksana dengan
badan usaha dan atau bentuk usaha tetap untuk melakukan kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi di bidang minyak dan gas bumi dengan prinsip
bagi hasil”.76

Pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi telah mencatat sejarah


yang panjang dan pola pengusahaan yang beragam. Kontrak bagi hasil sendiri
sudah melahirkan beberapa generasi, munculnya istilah kontrak bagi hasil juga
tidak terlepas dari sejarah perjuangan perminyakan nasional yang dahulu dalam
membangun PT. Permina (yang sekarang bernama PERTAMINA). Dr. Ibnu
Sutowo menjalankan kebijaksanaannya mula-mula menurut arah yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang tentang pertambangan minyak dan gas bumi
(Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.44 tahun 1960), yaitu
dengan jalan kontrak karya. Akan tetapi setelah mengetahui bahwa sistem bagi
hasil (Production Sharing Contract) seperti yang disarankan Mr. T. Mohammad
Hasan lebih menguntungkan Negara, maka PT. Permina mengadakan hanya
perjanjian bagi hasil (production sharing contract) dengan kontraktor-kontraktor
asing, sehingga dalam waktu pendek Permina keuntungan cepat meningkat
menjadi besar.77
Dalam sejarahnya, kontrak production sharing pertama sekali diterapkan
di Indonesia yaitu pada Kontrak Production Sharing antara Pertamina dan
IIAPCO pada tahun 1966. Kemudian diikuti oleh beberapa negara lainnya seperti
Malaysia, Guatemala, Libya, Mesir, Syria, Jordan, Bangladesh, Gabon, RRC, dan
Myanmar.78

76
H. Salim HS, Op.Cit. Hal. 258
77
Mr. H. Teuku Moehammad Hasan, Sejarah Perjuangan Perminyakan Nasional,
Jakarta: Yayasan Sari Pinang Sakti, 1985, hlm. 64.
78
Rudi M. Simamora, Hukum Minyak dan Gas Bumi, (Jakarta : Djambatan, 2000), hal.
59.
Konsep kontrak production sharing yang ditawarkan oleh Ibnu Sutowo,
kemudian dituangkan dalam pasal 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971
tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Dalam ketentuan itu
ditentukan bahwa:
“Perusahaan dapat mengadakan kerja sama dengan pihak lain dalam
bentuk kontrak production sharing”.

Prinsip kontrak production sharing ini kemudian dikuatkan oleh Undang-


Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, ditentukan bahwa
para pihak yang terkait dalam kontrak production sharing adalah Badan Pelaksana
dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, bukan lagi Pertamina. Sementara
itu, status Pertamina saat ini adalah sebagai Perusahaan Perseroan (Persero). 79
Sehingga kedudukan pemegang Kuasa Pertambangan yang semula berada di
tangan Pertamina menjadi berada di tangan Pemerintah, dimana dalam
pelaksanaannya Pemerintah membentuk Badan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi. (BPMIGAS) untuk mengendalikan kegiatan usaha hulu
migas tersebut. Pola PSC hingga dengan saat ini adalah pola yang masih paling
banyak digunakan dalam kegiatan usaha hulu pertambangan minyak dan gas bumi
di Indonesia.

2.5 Tinjauan Umum Mengenai Kontrak Bagi Hasil / Production Sharing


Contract di Indonesia
Berikut ini akan dibahas beberapa hal yang menjadi ciri khas dari Kontrak
Bagi Hasil atau Production Sharing Contract (PSC).

2.5.1 Karakteristik Production Sharing Contract


PSC dapat dibagi ke dalam empat generasi, yaitu:
1. PSC generasi I (1964-1977)

79
Salim HS, Op.Cit, Hal. 267.
Kontrak ini merupakan bentuk awal PSC dengan karakteristik sebagai
berikut:
- Manajemen operasi berada di tangan Pertamina;
- Kontraktor menyediakan seluruh biaya operasi perminyakan;
- Kontraktor akan memperoleh kembali seluruh biaya operasinya
dengan ketentuan maksimum 40% setiap tahun;
- Dari 60% dibagi menjadi 65% untuk Pertamina dan 35% untuk
Kontraktor
- Pertamina membayar pajak pendapatan kontraktor kepada Pemerintah;
- Kontraktor wajib memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM)
untuk dalam negeri secara proporsional (maksimum 25% bagiannya)
dengan harga US$ 0.20 / barel;
- Semua peralatan dan fasilitas yang dibeli oleh Kontraktor menjadi
milik Pertamina;
- Interest kontraktor ditawarkan kepada Perusahaan Nasional Indonesia
setelah dinyatakan komersial;
- Sejak tahun 1974 – 1977, kontraktor diwajibkan memberikan biaya
tambahan pembayaran kepada Pemerintah.
2. PSC generasi II (1978-1987)
Lahir terpengaruh dari kebijakan IRS Ruling yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Amerika Serikat di tahun 1976. Karakteristiknya sebagai
berikut:
- Tidak ada pembatasan pengembalian biaya operasi yang
diperhitungkan oleh kontraktor;
- Setelah dikurangi biaya-biaya, pembagian hasil menjadi minyak
65,91% untuk Pertamina, 34,09% untuk kontraktor. Sedangkan gas
31,80% untuk Pertamina, 68,20% untuk kontraktor;
- Kontraktor membayar pajak 56% secara langsung kepada Pemerintah;
- Kontraktor mendapat insentif, yaitu harga ekspor penuh minyak
mentah Domestic Market Obligation setelah lima tahun pertama
produksi;
- Insentif pengembangan 20% dari modal yang dikeluarkan untuk
fasilitas produksi.
3. PSC generasi III (1988-2002)
Pada tahun 1984, Pemerintah menetapkan peraturan perundang-undangan
pajak yang baru untuk PSC dengan tarif 48%. Namun, dalam
perjalanannya kebijakan tersebut baru dapat diterapkan pada kontrak yang
ditandatangani pada tahun1988. Karakteristiknya adalah minyak menjadi
65% untuk Pertamina dan 15% untuk kontraktor, sedangkan gas 70%
untuk Pertamina dan 30% untuk kontraktor.
4. PSC generasi IV
Generasi ini dimulai dengan momentum diberlakukannya UU No 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Melalui UU ini bukan
Pertamina lagi yang memegang peranan melainkan BP Migas sebagai
Badan Pelaksana yang ditunjuk oleh UU tersebut. Untuk generasi ini,
pembagian hasilnya adalah minyak 85% untuk BP Migas dan 15 % untuk
kontraktor, sedangkan gas 70% untuk BP Migas dan 30% untuk
Kontraktor. Karakteristik yang unik dari kontrak ini adalah bahwa
kontraktor bertindak sebagai operator kegiatan eksplorasi dan eksploitasi,
sedangkan BP Migas berperan sebagai manajemen. Risiko ditanggung
sendiri oleh kontraktor dan kontraktor yang menyiapkan dana. Dana
tersebut hanya akan dikembalikan bila bisnis berhasil. Dengan bahasa
yang lebih sederhana, semangat dari pola bisnis PSC dapat dikatakan
sebagai berikut, “Mari kita berbisnis. Silahkan anda siapkan dananya dan
anda juga yang mengerjakan. Kalau ada masalah, andalah yang
bertanggungjawab. Seluruh asset yang anda beli menjadi milik saya. Kalau
rugi atau gagal maka uang anda hilang. Tapi kalau untung kita bagi-bagi.
Dan pastikan bahwa bagian saya lebih besar dari bagian anda”.80

80
A Rinto Pudyantoro, Op. Cit., hlm. 138.
2.5.2 Kelemahan Sistem Production Sharing Contract
PSC atau Kontrak Bagi Hasil telah beberapa kali mengalami revolusi yang
dapat dijabarkan ke dalam empat generasi seperti yang telah diuraikan pada
subbab sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa selalu ada permasalahan yang
timbul terkait dengan pelaksanaan kontrak tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Kontrak Migas di
Indonesia menampilkan dua subjek hukum dengan kapasitas berbeda. Negara
adalah subjek hukum yang sempurna, sedangkan perusahaan asing adalah subjek
hukum dengan kapasitas terbatas. Kedudukan hukum yang tidak seimbang ini
akan berdampak antara lain dalam masalah kedudukan para pihak, masalah
hukum yang berlaku dan masalah penyelesaian sengketa.81
Adanya kepentingan umum yang harus dilindungi menjadikan pentingnya
peran negara atau dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah dalam kontrak migas itu
sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam kontrak-kontrak antara Pemerintah
dengan pihak swasta akan menimbulkan ketidakseimbangan, meskipun kontrak
pada hakekatnya dari segi perdata memiliki sifat kedudukan yang sederajat bagi
para pihak di dalam kontrak.
Sebagai negara yang berdaulat, negara memiliki imunitas atau hak
kekebalan dari gugatan dalam pengadilan di negara lain. Imunitas ini diberikan
pula kepada badan-badan pemerintahan yang bukan merupakan badan hukum
terpisah. Tuntutan hanya dimungkinkan apabila suatu negara telah dianggap
melakukan tindakan yang merugikan warga dan negara lain, maka negara ini
dapat diajukan oleh negara lain tersebut kepada Mahkamah Agung Internasional
di Den Haag.82
Dalam perkembangannya, penerapan kekebalan hukum secara mutlak
tersebut telah menimbulkan kesulitan. Menghadapi kedudukan yang kurang
seimbang ini, maka telah dikembangkan suatu konsep yang memisahkan status
negara sebagai suatu negara yang berdaulat (jure imperii) dan status negara yang

81
Madjedi hasan, Op. Cit., hlm. 177.
82
Madjedi Hasan, Op. Cit., hlm. 183.
melakukan tindakan-tindakan komersial (jure gestiones). Berdasarkan konsep
jure gestiones, negara dianggap telah melepaskan atau menanggalkan imunitas
atau kedaulatannya sehubungan dengan tindakan negara tersebut di bidang bisnis.
Hal ini diperlukan agar kedudukan para pihak seimbang di dalam kontrak bisnis
tersebut.
Dr Kurtubi sebagaimana keterangannya pada saat menjadi ahli dalam
Judicial Review UU No 22 Tahun 2001 berpendapat bahwa kontrak migas di
dalam konsep UU Migas No 22 Tahun 2001 menganut pola hubungan business to
government (B to G). Oleh karena Pemerintah yang berkontrak maka kedaulatan
negara menjadi hilang sebab posisi pemerintah menjadi sejajar dengan
kontraktor.83
Kemudian dalam kontrak migas, agak sulit untuk dapat ditekankan kehati-
hatian dan ketentuan yang rinci mengenai ekspektasi para pihak dalam hal ingkar
janji. Hal ini dirasa semakin sulit karena asas kepatuhan tehadap kontrak (sanctity
of contract) akan selalu dibayangi oleh prinsip hak menguasai dari negara atas
kekayaan alam, yang membolehkan negara untuk melakukan tindakan sepihak
membatalkan atau mengamandemen kontrak tersebut.84
Argumentasi antara kedua pihak pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan
persepsi mengenai risiko. Investor asing cenderung untuk menekankan kesucian
kontrak, yang dipandang merupakan prinsip dasar yang melandasi partisipasi
mereka dalam kegiatan ini.
Di sisi lain Pemerintah akan menanggapinya bahwa investor asing ini
tentu saja selalu menghormati kontrak karena persyaratannya telah dirundingkan
dalam keadaan yang telah menguntungkan mereka. Kontrak ini dibuat dengan
beberapa ketidakpastian mengenai mutu dan harga dari komoditas; dengan
demikian pemerintah umumnya menghendaki kontrak tersebut cukup fleksibel
dan dapat diamendemen dengan berubahnya keadaan politik dan ekonomi baik di
dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu Pemerintah memandang kontrak

83
Putusan MK No. 36/PUU-X/2012, hlm 32-33.
84
Madjedi Hasan, Op. Cit., hlm. 281.
sebagai dokumen perencanaan yang dijadikan sebagai acuan dan diamendemen
dengan berkembangnya hubungan antara para pihak. Hal ini yang kemudian
sering menimbulkan perbenturan dalam kontrak-kontrak berjangka panjang.
Sebagai industri yang beresiko tinggi dan berjangka panjang, kontrak
migas rentan terhadap perubahan keadaan. Perubahan keadaan yang mungkin
terjadi tersebut menimbulkan ketidakseimbangan yang membawa ancaman
terhadap keadilan dan kepastian hukum atas kontrak tersebut.
Kepastian hukum ini menurut Radburch dikendalikan oleh negara yang
diberi kekuasaan atau negara memegang peranan yang menentukan kapan
keadilan itu dapat ditetapkan, karena negara memiliki kemauan dan kekuasaan
untuk melakukannya.85

2.5.3 Penyelesaian Sengketa di dalam Kontrak Bagi Hasil / Production


Sharing Contract (PSC)
Istilah penyelesaian sengketa berasal dari terjemahan bahasa Inggris yaitu
dispute resolution. Richard L. Abel mengartikan sengketa (dispute) sebagai
“Pernyataan publik mengenai tuntutan yang tidak selaras (inconsistent
claim) terhadap sesuatu yang bernilai”86

Steven Rosenberg mengartikan konflik sebagai perilaku bersaing antara


dua orang atau kelompok. Konflik terjadi ketika dua orang atau lebih berlomba
untuk mencapai suatu tujuan yang sama atau memperoleh sumber yang jumlahnya
terbatas.
Sedangkan, pola penyelesaian sengketa adalah suatu bentuk atau kerangka
untuk mengakhiri suatu pertikaian atau sengketa yang terjadi antara para pihak.
Pola penyelesaian sengketa dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu melalui
Pengadilan; dan alternatif penyelesaian sengketa. Putusan yang dihasilkan dari
penyelesaian sengketa melalui Pengadilan bersifat mengikat dan menjamin suatu

85
Leawoods H., Gustav Radburch: An Extraordinary Legal Philosopher, Journal of Laws
and Policy, Vol 2:489, hlm 511.
86
Lawrence M Friedman, American Law an Introduction, Jakarta: Tata Nusa, 2001.
bentuk ketertiban umum, yang tertuang dalam undang-undang baik secara
eksplisit maupun implisit.
Penyelesaian sengketa melalui alternative penyelesaian sengketa atau
alternative dispute resolution (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni
penyelesaian sengketa di luar Pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 angka 10 UU No 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa).
Di dalam UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak
dapat ditemukan pasal yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa. Pola
penyelesaian sengketa telah ditentukan dan dituangkan ke dalam production
sharing contract (PSC) yang ditandatangani oleh para pihak.
Pada masa Pertamina masih memegang kuasa pertambangan migas, pola
penyelesaian sengketa ini dapat ditemukan dalam standar kontrak PSC yang
dibuat antara Pertamina dengan Kontraktor pada Section XI tentang Consultation
and Arbitration. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa pola penyelesaian
sengketa dapat dilalui dalam dua tahap yaitu tahap perdamaian dan arbitrase.
Tahap perdamaian sifatnya adalah musyawarah, dimana para pihak harus
menjelaskan tentang permasalahan yang timbul di antara mereka, menjelaskan
interpretasi mereka masing-masing atas substansi kontrak dan pelaksanaan
kontrak. Jika tidak ditemukan jalan keluar dalam tahap perdamaian tersebut, maka
akan ditempuh tahap arbitrase. Dalam proses arbitrase, jumlah wasitnya terdiri
atas 3 orang dengan komposisi:
1. Satu orang wasit dari pihak Pertamina;
2. Satu orang wasit dari pihak Kontraktor;
3. Satu orang wasit yang bersifat netral yang ditunjuk oleh Pertamina dan
Kontraktor.
Pada masa BP Migas, pola penyelesaian berikut ini dapat kita temukan
dalam standar kontrak tentang production sharing contract yang dibuat antara BP
Migas dengan kontraktor. Pola penyelesaian sengketa yang diatur dalam Seksi XI
tentang Consultation and Arbitration adalah melalui konsultasi dan arbitrase.
Konsultasi adalah perundingan yang dilakukan antara BP Migas dengan
Kontraktor. Ada dua hal yang dapat dikonsultasikan, yaitu:
1. Pelaksanaan operasi pengeboran minyak dan gas bumi; dan
2. Penyelesaian masalah yang timbul antara BP Migas dengan kontraktor.
Timbulnya perselisihan antara BP Migas dengan Kontraktor adalah karena
salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasinya dengan baik sesuai dengan
substansi kontrak PSC yang telah disepakati bersama oleh para pihak. Cara
pertama yang dapat dilakukan adalah menyelesaikannya secara damai dan
persuasif. Hal itu dilakukan dengan melayangkan surat teguran dari salah satu
pihak tentang hal-hal yang dipersoalkan dan dalam waktu 90 hari akan dilakukan
perundingan antara kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan atas apa yang
menjadi persoalan (Seksi 11.2 PSC).
Apabila dalam tahap pertama tersebut tidak ditemukan kesepakatan, maka
akan ditempuh upaya penyelesaian melalui arbitrase (Seksi 11.3 sampai Seksi
11.5). jumlah wasitnya terdiri dari tiga orang dengan komposisi
1. Satu orang wasit berasal dari pihak BP Migas;
2. Satu orang wasit dari pihak Kontraktor;
3. Satu orang wasit netral yang dipilih dan ditunjuk oleh BP Migas dan
Kontraktor.
Kehadiran para wasit tersebut diharapkan dapat menyelesaikan
perselisihan yang terjadi. Apabila para arbiter tersebut tidak mampu
menyelesaikan perselisihan, maka para pihak dapat mengajukan persoalan
tersebut kepada presiden dari International Chamber of Commerce (ICC) di Paris.
Sebagai suatu lembaga yang tidak mencari keuntungan, ICC tersebut menawarkan
suatu metode penyelesaian sengketa yang mudah dan cepat. Putusan dari ICC
tersebut bersifat final dan mengikat. Secara metode, apabila sengketa tersebut
terjadi antara Badan Usaha dengan Badan Pelaksana, maka hukum yang
digunakan adalah hukum Indonesia karena kedua belah pihak merupakan badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia. Akan tetapi apabila sengketa
yang terjadi adalah antara Bentuk Usaha Tetap dengan Badan Pelaksana, maka
yang digunakan adalah aturan dari ICC karena Bentuk Usaha Tetap ini merupakan
perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
BAB III
KONTRAK BAGI HASIL MIGAS / PRODUCTION SHARING CONTRACT
SEBAGAI PERJANJIAN PERDATA

4.1 Unsur Perdata dan Publik dari Kontrak Bagi Hasil


Hukum di dalam klasifikasinya terbagi atas hukum privat dan hukum
publik. Hukum privat yaitu hukum yang mengatur hubungan antara satu orang
dengan orang lain atau subjek hukum lain dengan menitikberatkan pada
kepentingan perseorangan. Sedangkan, hukum publik adalah hukum yang
mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan negara atau
negara dengan warga negara.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Pemerintah di dalam kegiatannya sehari-
hari dapat melakukan tindakan-tindakan privat dengan pihak non-Pemerintah /
swasta. Kegiatan usaha hulu migas di Indonesia, menghubungkan Pemerintah
(pemegang hak atas sumber daya migas) dengan perusahaan swasta multinasional
yang menyediakan dana, teknologi dan peralatan yang diperlukan. Kontrak yang
melibatkan penguasa sebagai pihak ini, lazim disebut sebagai government
contract. Yohanes Sogar Simamora menterjemahkan istilah tersebut dengan
kontrak pemerintah.87 Saat pemerintah memasuki hubungan kontraktual dalam
skala privat, pemerintah mempunyai peran yang ganda (double role). Disatu sisi,
pemerintah mempunyai kedudukan seperti subjek privat lain, tetapi di sisi lain
kedudukannya adalah badan publik yang tidak terlepaskan.
Dengan demikian, kontrak-kontrak migas yang demikian mengandung
unsur-unsur perdata dan publik. Unsur perdata merupakan konsekuensi dari sifat
kontrak dan komersial dari transaksi, sementara unsur publik meliputi kendali
Pemerintah, partisipasi negara, penyediaan kebutuhan minyak dalam negeri dan
keselamatan kerja dan perlindungan lingkungan.
Adanya peran Pemerintah dalam mengatur peran negara dalam
hubungannya dengan beberapa aspek hak menguasai atas sumber daya alam,

87
Y. Sogar. Simamora, Prinsip Hukum Kontrak dalam Pengadaan Barang dan Jasa oleh
Pemerintah, Yogyakarta: Laksbang PRESSindo, 2009, hlm. 55.
cenderung untuk mengatakan bahwa Kontrak migas adalah kontrak publik. Unsur
regulasi dalam kontrak migas berasal dari peraturan perundang-undangan, yang
sebagian besar ditetapkan oleh DPR dan hanya sebagian kecil yang
dinegosiasikan antara Pemerintah dan perusahaan migas. Pendukung pandangan
ini juga menyatakan bahwa kontrak migas merupakan strategi utama dari negara
tuan rumah, dan karenanya sebagaimana dinyatakan oleh Asante, kontrak Migas
harus dipandang sebagai instrumen utama kebijakan publik jadi masuk ke dalam
ranah hukum publik.88
Di sisi lain, memang harus diakui bahwa negara memiliki kekuasaan untuk
mengatur yang berasal dari konstitusi. Namun adanya Pemerintah sebagai pihak
dalam kontrak bukan harus menjadikan kontrak tersebut sebagai kontrak publik.
Kontrak migas pada dasarnya adalah perjanjian antara investor dengan negara
dimana investor hanya mendapatkan hak untuk mencari dan memproduksikan
minyak yang ditemukan dan untuk itu perusahaan membayar kepada negara.
Dengan begitu, unsur kontraktual dalam kontrak migas seharusnya tidak menjadi
kendala terhadap hukum publik.
Berdasarkan pemikiran bahwa fungsi hukum Perdata sebagai hukum
umum, maka kontrak migas di Indonesia dapat dipandang sebagai kontrak bisnis
yang tunduk pada hukum Perdata. Menurut kriteria yang ditetapkan oleh
Hikmahanto Juwana, KBH di Indonesia juga bukan termasuk dalam pengertian
kontrak bisnis yang berdimensi publik, karena BP Migas adalah BHMN yang
merupakan subjek hukum dalam Hukum Perdata walaupun penguasaannya ada di
tangan Pemerintah / Negara dan BP Migas mendapatkan kuasa dari Pemerintah
sebagai pihak yang mewakili kepentingan Pemerintah di dalam kontrak.89
Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan Dian Puji N Simatupang,
bahwa90

88
Madjedi Hasan, Op. Cit., hlm 278.
89
Hikmahanto Juwana dalam keterangan ahli di putusan MK. No 36/PPU-X-2012
90
http://www.tambangnews.com/berita/utama/3003-production-sharing-contract-psc-
termasuk-tindakan-kepemerintahan-bersegi-dua.html, diakses pada 1 Mei 2014.
“PSC sebagai tindakan kepemerintahan Bersegi Dua tunduk pada
ketentuan hukum perdata, sehingga tidak serta merta dikesampingkan
karena adanya ketentuan lain yang mengatur tindakan kepemerintahan
menurut ketentuan hukum publik. Oleh sebab itu, ketentuan hukum publik
sebagai suatu kaidah tidak serta merta diterapkan pada produk PSC
sebagai suatu tindakan kepemerintahan bersegi dua yang berlaku pada
ranah hukum perdata. Dengan demikian, kaidah dalam hukum publik tidak
dapat dan tidak perlu diatasi untuk dijadikan berlaku pada suatu tindakan
hukum keperdataan dalam PSC. Karena karakter hukum PSC merupakan
tindakan kepemerintahan bersegi dua yang bersandarkan pada hukum
perdata yang berbeda dengan hukum publik, keduanya memiliki kesamaan
kekuatan yang tidak dapat saling mengesampingkan atau saling mengatasi
satu sama lain dengan alasan sifat publiknya atau sifat privatnya”

Kemudian Y. Sogar Simamora menyatakan bahwa ketika Pemerintah


menjalin perikatan dalam skala privat maka sejak itu Pemerintah dinilai telah
menyatakan tunduk pada aturan privat. Dalam situasi ini maka berlakulah segala
konsekuensi hukum yang timbul akibat hubungan yang dibentuk itu yaitu
konsekuensi akan berlakunya prinsip dan aturan hukum dalam lapangan Hukum
Perdata baik yang bersifat materiil maupun formil.91

4.2 Kontrak sebagai Dasar Lahirnya Perikatan


Pengertian perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1313 KUH
Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih. Subekti menamakan perjanjian sebagai
persetujuan dan kata “kontrak” mempunyai arti lebih sempit, karena ditujukan
kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.
Selanjutnya, Black’s Law Dictionary memberikan definisi “contract”
sebagai suatu perjanjian antara dua atau lebih pihak yang menimbulkan kewajiban
yang dapat ditegakkan atau diakui oleh hukum.92

91
Y. Sogar. Simamora, Op. Cit., hlm. 93.
92
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, 7th. Edition, West Group, St. Paull Minn,
1999, pg. 318: “An agreement between two or more person creatingobligations that are
enforceable or otherwise recognizable at law.”
Lebih lanjut, Black Law’s Dictionary mengutip pernyataan William R
Anson bahwa istilah “kontrak” digunakan secara acak juga untuk menyatakan tiga
macam hal, yaitu satu rangkaian tindakan-tindakan operasional dari para pihak
yang menimbulkan hubungan hukum baru, dokumen yang dilaksanakan oleh para
pihak sebagai bukti akhir telah dijalankannya oleh para pihak tindakan-tindakan
operasional, dan hubungan hukum akibat dari tindakan operasional, yang terdiri
dari hak atau hak-hak pribadi and kewajibannya, yang disertai dengan kekuasaan,
hak istimewa dan kekebalan, dan hubungan hukum ini sering disebut
“kewajiban”.93
Kemudian berdasarkan namanya, kontrak dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu yang bernama dan tidak bernama. Perjanjian bernama (benoemd)
adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yaitu diatur dan diberi nama
oleh pembentuk undang-undang atau merupakan perjanjian yang terdapat dan
dikenal dalam KUHPerdata dan undang-undang lain. Perjanjian tidak bernama
(onbenoemde overeenkomst) merupakan perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup
dan berkembang dalam masyarakat.
Termasuk dalam perjanjian tidak bernama ini antara lain adalah Kontrak
Bagi Hasil, Kontrak Karya di bidang migas dan pertambangan non-migas,
Kontrak Operasi Bersama Panas Bumi antara PERTAMINA dan Investor dan
Kontrak Jual Beli Listrik antara PLN dan PERTAMINA dan Investor. Lahirnya
perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Perjanjian tidak
bernama ini diatur dalam satu ketentuan di KUH Perdata, yaitu Pasal 1319 yang
menyatakan:
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang
tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum
yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain.”

93
William R Anson, Principles of the Law of Contract: “The term contract has benn used
indifferently to refer to three different things (1) the series of operative acts by the parties
resulting for new legal relations; (2) the physical document executed by the parties as the lasting
evidence of their having performed the necessary operationve acts and also as an operative fact in
itself; (3) the legal relations resulting from the operative acts, consisting of a right or rights in
personam and their corresponding duties, accompanied by certain powers, privileges and
immunities. The sum of these legal relations is often called obligations.”
Dengan demikian, para pihak yang mengadakan kontrak tidak bernama ini
tunduk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata dan
berbagai peraturan yang mengaturnya. Karena merupakan ketentuan hukum yang
bersifat khusus, maka pada perjanjian tidak bernama ini berlaku asas “Lex
specialis derogaat lex generalis”

4.2.1 Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian


Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan pada para pihak untuk
membuat perjanjian apapun bahkan menyimpang dari ketentuan undang-undang,
namun tidak semua ketentuan undang-undang dapat disimpangi, khususnya yang
mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian.94 Ketentuan mengenai syarat sahnya
perjanjian perlu diperhatikan oleh para pihak dalam perjanjian karena pelanggaran
terhadap syarat tersebut memiliki akibat hukum berupa pembatalan perjanjian atau
batal demi hukum.
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu; dan
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat-syarat sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1320 KUHPerdata
tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
1. Kata sepakat
Kesepakatan antara para pihak yang membuat perjanjian berarti terjadinya
kesesuaian kehendak di antara para pihak, dan kesepakatan tersebut harus
diberikan secara bebas, artinya bebas dari paksaan, kekhilafan, dan penipuan.95

94
Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, Cet. ke-1,
Jakarta: Gitama Jaya, 2008, hlm. 128.
95
Pasal 1321: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kehilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Paksaan termasuk di dalamnya adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa, bukan
semata-mata paksaan badan. Khilafan atau kekeliruan terjadi apabila salah satu
pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang
sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian ataupun
mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Penipuan terjadi apabila
satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau
tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya
memberikan persetujuannya.
2. Kecakapan
Para pihak yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum untuk
melakukan perbuatan hukum. Pasal 1330 KUHPedata menyatakan tak cakap
untuk membuat suatu perjanjian adalah:
1. Orang-orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-
undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
3. Hal tertentu
Hal tertentu maksudnya adalah obyek perjanjian atau prestasi yang
diperjanjikan harus jelas, dapat dihitung, dan dapat ditentukan jenisnya.96
Berdasarkan Pasal 1332 KUHPerdata97 yang dapat menjadi obyek perjanjian
hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan. Dalam perjanjian jual beli
misalnya hal tertentu adalah harga dan barang jadi dalam perjanjian jual beli tidak
dimungkinkan untuk membuat perjanjian tanpa ditentukan harganya dan jenis

Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. ke-34, Jakarta: Pradnya
Paramita, 2004.
96
Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Op. Cit., hlm. 131-132.
97
Pasal 1332: “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok
suatu perjanjian.” Op. Cit., diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio.
barang yang dijual, meskipun barang yang dijual tidak harus telah ada pada saat
perjanjian disepakati.98
4. Sebab yang halal
Peraturan perundang-undangan tidak menjelaskan yang dimaksudkan
dengan sebab. Wirjono Prodjodikoro menafsirkan sebab sebagai maksud atau
tujuan dari perjanjian yang menyebabkan lahirnya suatu perjanjian, 99 sedangkan
Subekti menafsirkan sebab dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.100
Sebab yang halal maksudnya adalah isi suatu perjanjian tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang di sini adalah undang-undang yang bersifat
melindungi kepentingan umum, sehingga jika dilanggar dapat membahayakan
kepentingan umum.101
Syarat sahnya perjanjian berupa kata sepakat dan kecakapan disebut
dengan syarat subyektif. Hal ini disebabkan kedua syarat tersebut menyangkut
subyek yang membuat perjanjian. Di sisi lain, syarat sahnya perjanjian berupa hal
tertentu dan sebab yang halal disebut syarat obyektif karena menyangkut obyek
yang diperjanjikan. Pelanggaran terhadap syarat subyektif memberikan akibat
hukum yang berbeda dengan pelanggaran terhadap syarat obyektif. Pelanggaran
syarat subyektif mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (vodiable). Pengertian
dapat dibatalkan adalah perjanjian tetap sah selama para pihak tidak keberatan
terhadap pelanggaran syarat tersebut atau tidak melakukan upaya pembatalan
perjanjian melalui pengadilan. Akibat hukum terhadap pelanggaran syarat
obyektif adalah perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum sejak semula

98
Pasal 1334 ayat (1): “Barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi
pokok suatu perjanjian.” Op. Cit., diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio.
99
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Cet. ke-12, Bandung: Sumur
Bandung, 1993, hlm. 35.
100
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. ke-21, Jakarta: Intermasa, 2005, hlm. 20.
101
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet. ke-2, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm. 99.
dan tidak mengikat para pihak yang membuat perjanjian, biasa disebut dengan
batal demi hukum (null and void).

4.2.2 Para Pihak dalam Kontrak


Di dalam KUH Perdata ketentuan mengenai pihak-pihak dalam suatu
dapat dilihat dari Pasal 1315 jo Pasal 1340, yaitu para pihak yang mengadakan
perjanjian itu sendiri.
Para pihak yang mengikatkan diri tersebut dalam perjanjian tersebut
adalah subjek hukum perdata. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono
Soekanto, dengan subjek hukum dimaksudkan adalah setiap yang menjadi
pendukung hak dan kewajiban yang terdiri dari pribadi kodrati, pribadi hukum
dan pejabat atau tokoh.102 Sedangkan, Black’s Law Dictionary memberikan
pengertian tentang “persona” (person) adalah (1) manusia; (2) badan (seperti
perusahaan) yang diakui hukum mempunyai hak dan kewajiban manusia; dan (3)
badan yang hidup dari manusia.103
Selanjutnya John Salmond sebagaimana yang dikutip dalam Black’s Law
Dictionary memberikan pengertian bahwa dari teori hukum, “persona” adalah
setiap pribadi yang mampu mempunyai hak dan kewajiban. Sesuatu yang mampu
adalah “persona”, apakah dia manusia atau bukan, yang tidak mampu bukanlah
“persona”, meskipun dia manusia. Persona adalah yang susbstansinya memiliki
hak dan kewajiban. Hanya dengan cara seperti ini persona memiliki arti dalam
hukum, dan ini merupakan pandangan yang eksklusif dimana kepribadian
(personality) mendapatkan pengakuan hukum.104

102
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto, Sendi-Sendi Hukum dan Tata Hukum,
Alumni Bandung, 1982, hlm. 50.
103
Black, Henry Campbell, Op. Cit., hlm. 1162: “a person is (1) a human being; (2) an
entity (such as corporation) that is recognized by law as having the rights and duties of a human
being; (3) the living of body of a human being.”
104
Ibid., John Salmond: “So far as legal theory is concerned, a person is any being whom
the law regards as capable of rights and duties. Any being that is so capable is a person, whether
a human being or not, and no being that is not so capable is a person, eventhough he be a man.
Persons are the substances of which rights and duties are the attributes. It is only in this respect
4.2.3 Pemerintah sebagai Subjek Hukum Perdata
Dari uraian tersebut menjadi jelas bahwa subjek hukum dalam perjanjian
perdata dapat berupa perorangan atau badan hukum. Dalam KUHPerdata,
ketentuan-ketentuan mengenai badan hukum (definisi dan kewenangannya) diatur
dalam Pasal 1653 sampai dengan Pasal 1665. Dalam Pasal 1653 dinyatakan
sebagai berikut:
“Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan
hukum juga diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh
kekuaaan umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula badan
hukum itu diterima sebagai yang diperkenankan atau telah didirikan untuk
suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang
atau kesusilaan.”

Selanjutnya, Pasal 1654 KUH Perdata menegaskan kewenangan badan hukum


untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata sebagai berikut:
“Semua badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang
swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa
mengurangi perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu,
membatasi atau menundukkannya kepada tata cara tertentu.”

Lebih lanjut, Pasal 1655 KUH Perdata menetapkan kewenangan pengurus badan
hukum sebagai berikut:
“Para pengurus badan hukum, bila tidak ditentukan lain akta pendiriannya,
dalam surat perjanjian atau dalam reglemen, berkuasa untuk bertindak
demi dan atas nama badan hukum itu kepada pihak ketiga atau sebaliknya
dan untuk bertindak dalam sidang pengadilan, baik sebagai penggugat
maupun sebagai tergugat.”

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah merupakan


jenis badan hukum yang didirikan oleh kekuasaan umum. Dengan demikian
Pemerintah selaku badan hukum dapat melakukan tindakan perdata dan sebagai

that persons possess juridical significance, and this is the executive point of view from which
personality receives legal recognition.”
subjek hukum perdata Pemerintah dapat mengikatkan diri dengan pihak ketiga,
dapat pula digugat atau menggugat di Pengadilan perdata.105
Dalam perjanjian ini kedudukan para pihak adalah sejajar, karena itu
sebagai subjek hukum perdata, Pemerintah harus memposisikan dirinya sejajar
dengan mitranya dalam pemenuhan kewajiban dan hak seperti yang tercantum
dalam kesepakatan. Meskipun demikian, dalam kenyataannya sering sulit untuk
menetapkan kapan pemerintah menjalankan tindakan komersial (acts jure
gestionis) dan kapan pemerintah menjalankan kegiatan pemerintahan (acts jure
imperil).
Masalah lain yang berkaitan dengan Pemerintah sebagai subjek hukum
perdata adalah siapa yang dimaksud dengan pengurus yang bertindak untuk dan
atas nama Pemerintah. Dalam suatu Perseroan Terbatas (PT) hal ini tidak
menimbulkan masalah karena telah dicantumkan dalam anggaran dasar PT.
Menurut Bagir Manan, meskipun belum ada hukum nasional yang
mengatur secara umum mengenai badan-badan atau lembaga yang merupakan
badan hukum, namun tidak berarti sama sekali tidak pengaturannya. Untuk
menjawab pertanyaan ini dapat digunakan pemahaman dan hukum positif di
Belanda, sehingga yang merupakan badan hukum dalam perbuatan keperdataan
yang dilakukan Pemerintah adalah Negara Republik Indonesia, Daerah Propinisi
atau Daerah Kabupaten dan Kota, bukan Pemerintah Republik Indonesia dan juga
bukan Pemerintah Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Kota.106
Lebih lanjut Hikmahanto Juwana menyatakan bahwa rujukan untuk
mengetahui siapa yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Pasal 1655
KUHPerdata dan Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Keppres APBN 1995), yang telah
mengalami beberapa kali perubahan. Dalam Pasal 4 ayat (1) Keppres APBN 1995
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Departemen/Lembaga adalah lembaga

105
Hikmahanto Juwana, Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional,
Jakarta: Lentera Hati, 2001, hlm. 42.
106
Bagir Manan, Bentuk-Bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan oleh
Pemerintah Daerah, Bandung: Majalah Ilmiah UNPAD No. 3 Vol. 14 Tahun 1986, hlm 23.
tertinggi/tinggi negara, kantor menteri kordinator dan kantor menteri negara,
departemen, kejaksaan agung, sekretariat negara dan lembaga pemerintah non-
departemen. Selanjutnya, Pasal 4 ayat (4) Keppres APBN 1995 dinyatakan bahwa
pengeluaran beban anggaran belanja negara dilakukan dengan penerbitan surat
keputusan otorisasi (SKO), sementara Pasal 16 menetapkan bahwa Menteri/Ketua
Lembaga yang menguasai bagian anggaran mempunyai wewenang otorisasi, di
antaranya untuk menetapkan pejabat yang diberi wewenang untuk menanda
tangani SKO (sering disebut Pimpinan Proyek).107
Dengan demikian, Hikmahanto Juwana menyimpulkan bahwa pihak yang
dapat menandatangani kontrak bisnis yang berdimensi publik sebagai wakil
Pemerintah adalah Menteri atau Ketua Lembaga atau Pimpinan Proyek. Keppres
APBN 1995 tersebut tidak mengatur tentang kewenangan dari pejabat-pejabat di
daerah dan juga dalam praktik sering dijumpai bahwa para pejabat pemerintah
yang menandatangani kontrak bisnis ini sangat beragam, yang kesemuanya
menyebutkan bahwa pihak yang menandatangani bertindak untuk dan atas nama
Pemerintah. Selanjutnya, Hikmahanto Juwana menyarankan agar Pemerintah
menerbitkan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur pejabat
mana yang berhak untuk mewakili Pemerintah apabila Pemerintah menjadi pihak
dalam sebuah kontrak bisnis.108

4.2.4 Pemberian Kuasa


Menurut KUH Perdata, pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan
mana seorang memberikan kekuasaan (wewenang) kepada seorang lain, yang
menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan (Pasal 1792
KUHPerdata). Dengan menyelenggarakan suatu urusan dimaksudkan adalah
melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu suatu perbuatan yang mempunyai atau
menelorkan suatu akibat hukum. Pemberian kuasa itu menerbitkan “perwakilan”,
yaitu adanya seorang yang mewakili orang lain untuk melakukan suatu perbuatan

107
Madjedi Hasan, Op. Cit., hlm. 21.
108
Madjedi Hasan, Op. Cit., hlm. 22.
hukum. Perwakilan seperti itu ada juga yang dilahirkan oleh atau menemukan
sumbernya pada undang-undang.
Orang yang menerima kuasa atau penerima kuasa melakukan perbuatan
hukum tersebut atas nama orang yang memberikan kuasa atau juga mewakili
pemberi kuasa. Artinya menurut Subekti adalah apa yang dilakukan adalah atas
tanggungan pemberi kuasa dan segala hak dan kewajiban yang timbul dari
perbuatan yang dilakukannya itu menjadikan hak dan kewajiban pemberi kuasa,
atau bahwa kalau yang dilakukan itu berupa membuat suatu perjanjian, maka
pemberi kuasalah yang menjadi pihak dalam perjanjian itu.109
Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya
satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala
kepentingan pemberi kuasa (Pasal 1795 KUHPerdata). Penerima kuasa tidak
boleh melakukan apapun yang melampaui kuasanya, kekuasaan yang diberikan
untuk menyelesaikan suatu perkara secara damai, tidak mengandung hak untuk
menggantungkan penyelesaian perkara pada keputusan wasit (Pasal 1797
KUHPerdata).
Pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang dengan siapa
penerima kuasa telah bertindak dalam kedudukannya dan menuntut dari padanya
pemenuhan perjanjiannya (Pasal 1799 KUHPerdata). Sebagaimana telah diuraikan
di muka, dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh penerima kuasa dengan
pihak ketiga, yang memperoleh hak dan menerima kewajiban dari perjanjian-
perjanjian tersebut adalah orang yang memberi kuasa, dan ia menjadi pihak dalam
perjanjian-perjanjian itu; karena itu ia berhak menuntut langsung pihak lawannya.
Pasal 1807 KUHPerdata menetapkan pemberi kuasa diwajibkan
memenuhi perikatan-perikatan yang diperbuat oleh penerima kuasa menurut
kekuasaan yang ia telah berikan kepadanya. Ia tidak terikat pada apa yang telah
dilakukan di luar kekuasaan itu kecuali jika ia telah menyetujui hal itu secara
tegas atau diam-diam.

109
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 141.
4.3 Aspek Hukum Perdata dari Kontrak Bagi Hasil / Production Sharing
Contract (PSC)
Berikut ini akan diuraikan mengenai unsur-unsur hukum keperdataan di
dalam kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi.

3.3.1 Para Pihak di dalam Production Sharing Contract


Pada masa berlakunya UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi, para pihak yang terkait di dalam PSC adalah Negara, yang diwakili oleh
Badan Pelaksana Migas (BP Migas) dan kontraktor yang merupakan badan usaha
dan/atau badan usaha tetap (Pasal 11 ayat (1) UU No 22 Tahun 2001).
Kemudian, Mahkamah Konstitusi pada tanggal 12 November 2012
mengeluarkan putusan MK No 36/PPU-X/2012 yang mengakibatkan BP Migas
secara hukum bubar. Untuk itu, demi mengisi kekosongan hukum dan sambil
menunggu rampungnya pembahasan undang-undang migas yang baru di
parlemen, maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No 9 Tahun 2013
tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) peraturan tersebut dinyatakan bahwa
Penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi
dilaksanakan oleh satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan
gas bumi dan untuk selanjutnya dalam Peraturan Presiden ini disebut SKK Migas.
Secara umum, SKK Migas memiliki fungsi yang sama dengan BP Migas
serta untuk melanjutkan tugas-tugas dan tanggung-jawab BP Migas. Oleh karena
itu, untuk saat ini para pihak yang terkait di dalam PSC adalah SKK Migas
dengan Kontraktor (Badan Usaha dan/atau Badan Usaha Tetap).

3.3.2 Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban Para Pihak di dalam Production


Sharing Contract
Sebagaimana lazimnya suatu perjanjian yang senantiasa berkaitan erat
dengan pemenuhan prestasi, para pihak dalam perjanjian ini diberikan hak
sekaligus dibebani sejumlah kewajiban atau prestasi. Berikut akan dijabarkan hak
dan kewajiban para pihak sebagaimana yang tertuang di Pasal 5 Kontrak Bagi
Hasil antara BP Migas dengan Kontraktor.110
Kewajiban Kontraktor:
1. Menyediakan semua dana dan membeli atau menyewa semua peralatan
dengan menggunakan valuta asing sesuai dengan rencana kerja.
2. Menyediakan semua bantuan teknis, termasuk tenaga kerja asing yang
pembayarannya menggunakan valuta asing.
3. Menyediakan dana-dana lain seperti dana untuk pembayaran kepada pihak
ke-3 negara asing, yang melaksanakan jasa-jasa sebagai kontraktor.
4. Bertanggung jawab untuk penyiapan dan pelaksanaan rencana kerja.
5. Melakukan pemeriksaan dasar terhadap lingkungan awal aktivitas
kontraktor
6. Melakukan tindakan pencegahan untuk melindungi sistem ekologi,
navigasi dan perikanan, juga mencegah terjadinya polusi di area perairan
sesuai dengan rencana kerja
7. Setelah kontrak berakhir atau putus atau setelah penyisihan sebagian
wilayah kerja atau ditinggalkannya suatu lapangan, kontraktor wajib
memindahkan seluruh peralatan sesuai dengan aturan BPMIGAS dan
melakukan pemulihan lingkungan dari area tersebut
8. Mempersiapkan dan melaksanakan rencana-rencana dan program-program
pendidikan untuk pendidikan dan latihan untuk pekerja Indonesia pada
segala klasifikasi pekerjaan sepanjang berhubungan dengan operasi
perminyakan.
9. Setelah produksi dimulai kontraktor berkewajiban untuk menyuplai
kebutuhan dalam negeri Indonesia.
Hak Kontraktor:
1. Berhak untuk menjual, mengalihkan, menyerahkan atau melepaskan
dengan cara lain atas seluruh atau sebagian dari hak dan interest atas
kontrak ini kepada pihak ketiga yang bukan afiliasi dengan persetujuan

110
Berdasarkan Section V Salinan Kontrak Baku antara BP MIGAS dengan Kontraktor.
tertulis dari BPMIGAS dan harus dikabulkannya secepatnya, kemudian
pihak yang menerima pengalihan hak dan keuntungan (assignee) tidak
boleh memegang lebih dari satu (1) TAC atau PSC, kecuali selama 3 tahun
pertama kontrak. Kontraktor harus memiliki participating intrest yang
dominan dibanding pihak lain dan berperan sebagai operator atas
pelaksanaan kontrak ini.
2. Tetap memiliki kontrol semua peralatan yang disewa dengan mata uang
asing dan dibawa ke Indonesia dan punya hak untuk mengekspor kembali.
3. Mempunyai hak setiap waktu untuk keluar masuk dari dan ke wilayah
kerja ke tempat fasilitas ditempatkan.
4. Mempunyai hak untuk mempergunakan dan mengakses melalui
BPMIGAS dan Pemerintah Indonesia terhadap semua informasi yang
bersifat geologi, geophisika, pengeboran sumur produksi, informasi dan
lainnya.
5. Mempunyai hak selama jangka waktu kontrak untuk mengambil dengan
bebas, menjual dan mengekspor minyak mentah yang menjadi bagian
kontraktor dan menahan hasil penjualannya diluar negeri.
Kewajiban Badan Pelaksana (BPMIGAS):
1. Bertanggung jawab atas manajemen dan operasi, dan membantu
pelaksanaan program kerja kontraktor
2. Membebaskan kontraktor dari bea ekspor, yang dibawa masuk oleh
Kontraktor sepanjang diperlukan selama operasi perminyakan.
Hak Badan Pelaksana (BPMIGAS):
1. Berhak atas perolehan minyak
2. Berhak atas data asli yang dihasilkan dari operasi minyak dengan
ketentuan data, tidak boleh mengumumkan kepada pihak ketiga tanpa
sepengetahuan kontraktor
3. Selama tidak menggangu operasional, maka kontraktor berhak untuk
menyetujui permohonan penggunaan assetnya oleh pihak ke-3 (tiga).
3.3.4 Asas-Asas Hukum Perjanjian Perdata dalam Kontrak Bagi Hasil /
Production Sharing Contract (PSC)
Melihat perkembangan kegiatan usaha hulu sejak tahun 1910, Indonesia
telah mengenal tiga macam bentuk kontrak pengelolaan migas. Bentuk kontrak
yang pertama adalah berdasarkan Pasal 5A Indische Mijnwet, yang digunakan
sampai dengan tahun 1963 dan kemudian diganti dengan Perjanjian Karya dan
Kontrak Bagi Hasil menurut UU Migas 1960 dan UU Migas 2001. Karena itu
kegiatan usaha hulu migas tersebut tunduk pada asas- asas Hukum Perjanjian baik
yang universal maupun yang diatur dalam Buku III KUH Perdata.
Di dalam hukum kontrak terdapat asas-asas yang dikenal dalam ilmu
hukum perdata. Asas-asas tersebut antara lain asas kebebasan berkontrak, asas
pacta sunt servanda, asas konsensualisme, asas itikad baik. Dalam menyusun
sebuah kontrak, khususnya Kontrak Production Sharing, hendaknya asas-asas
hukum kontrak tersebut diterapkan.
Asas Kebebasan berkontrak merupakan asas yang mengatakan bahwa
suatu pihak dapat memperjanjikan dan/atau tidak memperjanjikan apa-apa yang
dikehendakinya dengan pihak lain. Asas ini dituangkan dengan berbagai istilah,
antara lain Freedom of Contract, Liberty of Contract, dan laissez faire. Kebebasan
berkontrak berlatar belakang pada faham individualisme yang secara embrional
lahir dalam zaman Yunani, dan berkembang pesat dalam zaman Renaisance
melalui ajaran-ajaran dari Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke, dan
Rosseau. Puncak perkembangannya tercapai dalam periode setelah revolusi
Perancis.111
Menurut Hugo De Groot, kontrak adalah suatu tindakan suka rela dari
seseorang dimana ia berjanji sesuatu kepada orang lain dengan maksud bahwa
orang lain itu akan menerimanya. Kontrak tersebut adalah lebih dari sekedar suatu
janji, karena suatu janji tidak memberikan hak kepada pihak yang lain atas

111
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2001, hlm. 84.
pelaksanaan janji itu.112 Sedangkan menurut Hobbes, kontrak adalah metode
dimana hak-hak fundamental dari manusia dapat dialihkan, sebagaimana halnya
denga hukum alam yang menekankan tentang perlunya ada kebebasan bagi
manusia, maka hal itu berlaku juga berkaitan dengan kontrak-kontrak.113
Dalam Hukum Perjanjian di Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, KUH
Perdata Indonesia dan perundang-undangan lainnya tidak memberikan ketentuan
secara tegas mengenai berlakunya asas kebebasan berkontrak. Asas ini dapat
disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa segala
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak lain
dari pernyataan bahwa setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Dan dari
pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa membuat perjanjian
apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.
Terdapat pro dan kontra dalam menentukan asas kebebasan berkontrak
sebagai asas utama dalam kontrak. Menurut Adam Smith sebagai pelopor
ekonomi laissez faire, ia berkeyakinan bahwa peraturan perundang-undangan dan
hakim seyogyanya tidak digunakan untuk mencampuri kebebasan berkontrak,
karena kebebasan berkontrak penting artinya bagi kebebasan industri.114 Berjalan
dengan waktu, pandangan Adam Smith ini dianggap sudah tidak relevan. Banyak
para ahli hukum yang menentang berlakunya asas kebebasan berkontrak yang
mutlak. Menurut Prof Asikin Kusuma Atmadja, dalam makalahnya, asas
kebebasan berkontrak yang mutlak tidak dapat diterapkan dalam membuat suatu
perjanjian, karena akan menimbulkan ketidakadilan manakala salah satu pihak
dalam perjanjian tersebut memiliki posisi yang lebih kuat. Oleh karena itu Hakim
memiliki hak untuk meneliti dan menilai suatu kontrak serta menyatakan bahwa

112
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993,
hal. 20.
113
Ibid
114
Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam kebebasan berkontrak, Jakarta: Program Pasca
Sarjana fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm. 32.
kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang tidak
seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk
menyatakan kehendaknya. Menurut Prof Erman Rajagukguk, kebebasan
berkontrak hanya bisa mencapai tujuannya bila para pihak mempunyai bargaining
power yang seimbang, jika ada ketidak seimbangan maka pihak yang kuat dapat
menekan pihak yang lemah demi keuntungan dirinya sendiri.115 Namun begitu
menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, asas kebebasan berkontrak tetap
perlu dipertahankan sebagai asas utama di dalam Hukum Perjanjian Nasional.
Dalam Hukum Perjanjian Nasional, asas kebebasan berkontrak yang
bertanggung jawab, yang mampu memelihara keseimbangan perlu tetap
dipertahankan, yaitu “pengembangan kepribadian” untuk mencapai kesejahteraan
dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras, dan seimbang dengan
kepentingan masyarakat.116 Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan
individu, sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu,
sehingga dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya
kebebasan untuk berkontrak.
Namun begitu adanya batasan terhadap asas kebebasan berkontrak
menjadi sangat penting untuk menghindari adanya ketidakadilan, mengingat suatu
perjanjian tidak hanya dibuat oleh pihak yang memiliki bargaining power yang
sama, tapi juga oleh pihak-pihak yang memiliki kedudukan yang berbeda.
Secara historis kebebasan berkontrak mengandung makna adanya 5 (lima)
macam kebebasan, yaitu:117
1. Kebebasan bagi para pihak untuk menutup atau tidak menutup kontrak;

115
Prof. Erman Rajagukguk, Filsafat Hukum Ekonomi, Jakarta: Program Pasca Sarjana
fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm. 66.
116
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hlm. 85-87.
117
Johannes Gunawan, dalam Bernadette M. Waluyo, “Hukum Perjanjian sebagai Ius
Constituendum (Lege Ferenda)” dalam Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas: Menelaah
Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2003, hlm. 60-61.
2. Kebebasan untuk menentukan dengan siapa para pihak akan menutup
kontrak;
3. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan bentuk kontrak;
4. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan isi kontrak;
5. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan cara pembuatan kontrak.
Asas Konsensualisme asas yang menyatakan bahwa suatu perjanjian
cukup ada suatu kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian tanpa diikuti
oleh perbuatan hukum lain, kecuali perjanjian yang bersifat formil. Asas ini dapat
disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Pada pasal tersebut
ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata
kesepakatan antara kedua belah pihak. Perjanjian itu sudah ada dalam arti telah
mempunyai akibat hukum atau sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat.
Sedangkan dalam pasal 1329 KUH Perdata tidak disebutkan suatu formalitas
tertentu di samping kata sepakat yang telah tercapai itu, maka disimpulkan bahwa
setiap perjanjian itu adalah sah. Artinya mengikat apabila sudah tercapai kata
sepakat mengenai hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan. Terhadap asas
konsensualitas ini terdapat pengecualian yaitu apabila ditentukan suatu formalitas
tertentu untuk beberapa macam perjanjian dengan ancaman batal apabila tidak
dipenuhi formalitas tersebut.
Asas itikad baik adalah asas yang menyatakan bahwa setiap orang yang
membuat suatu perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Asas itikad baik
tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi: “Perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Asas ini berasal dari pemikiran para ahli hukum Romawi, yaitu Domat dan
Pothier yang menyatakan bahwa hukum alam dan hukum kebiasaan menentukan
bahwa setiap kontrak harus sesuai dengan itikad baik, sebab kejujuran dan
integritas harus selalu ada dalam semua kontrak yang menuntut pemenuhan
kontrak harus sesuai dengan kepatutan. Selanjutnya menurut Thomas Aquinas,
kontrak yang dibuat dibawah pengaruh paksaan atau penipuan tidak hanya jahat
tapi juga tidak sah.118
Di dalam Black Law Dictionary, Itikad baik didefenisikan sebagai: “In or
with good faith, honestly, openly and sincerely, without deceit or fraud truly,
actually, without simulation or pretense.” Sutan Remy Sjahdeini secara umum
menggambarkan itikad baik sebagai berikut: “Itikad baik adalah niat dari pihak
yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun
tidak merugikan kepentingan umum”.119
Mengenai pembagian asas itikad baik, diuraikan oleh Muliadi Nur sebagai
berikut, “Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang subyektif dan
itikad baik yang obyektif. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat
diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan
hukum, yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada saat diadakan
suatu perbuatan hukum. Sedang itikad baik dalam pengertian yang obyektif
dimaksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada
norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat.” 120
Menurut Baldus, Hakim dapat menggunakan itikad baik untuk dua tujuan,
Pertama untuk mengetahui apakah kontrak megikat atau tidak. Kedua, untuk
mengetahui apa yang menjadi kewajiban para pihak dan apakah mereka telah
memenuhi kewajiban tersebut.121
Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal dalam hukum gereja.
Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada
kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal
ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak
merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan.

118
Ridwan Khirandy, Op.Cit,hal 145
119
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit. Hal.112
120
Muliadi Nur, Asas Kebebasan Berkontrak dalam Kaitannya dengan Perjanjian Baku
(Standard Contract). www.pojokhukum.com, diakses tanggal 30 Desember 2013.
121
Loc. Cit, hal 146
Asas Pacta Sunt Servada dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata. Asas ini adalah suatu asas dalam hukum perjanjian yang
berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara
sah oleh para pihak adalah mengikat bagi mereka yang membuat seperti kekuatan
mengikat suatu undang-undang, artinya bahwa perjanjian yang dibuat secara sah
oleh para pihak akan mengikat mereka seperti undang-undang. Adapun tujuan
dari asas ini adalah untuk memberikan perlindungan kepada para konsumen
bahwa mereka tidak perlu khawatir akan hak-haknya karena perjanjian itu berlaku
sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya.
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt
servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah
undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak. Menurut Peter Mahmud Marzuki, Asas
Pacta Sunt Servanda adalah suatu pactum, yaitu persesuaian kehendak, tidak
perlu dilakukan di bawah sumpah, atau dibuat dengan tindakan atau formalitas
tertentu, menurut hukum, persesuaian kehendak itu membentuk suatu perjanjian
yang mengikat.122

122
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2005
BAB IV
ANALISIS KEDUDUKAN NEGARA SEBAGAI SUBJEK HUKUM
PERDATA DI DALAM KONTRAK BAGI HASIL MIGAS /
PRODUCTION SHARING CONTRACT

4.1 Negara Sebagai Subjek Hukum Perdata


Sebagaimana diketahui bahwa negara merupakan subjek hukum yang
didirikan oleh kekuasaan umum.123 Berdasarkan Hak Penguasaan yang diperoleh
melalui UUD 1945, Negara mempunyai sifat dari segi privat, yakni pada saat
terjadinya suatu hubungan hukum di antara negara sebagai badan hukum publik
dengan pihak badan hukum perdata, swasta (Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, Koperasi, Perusahaan atau Badan Usaha Asing, dan
Penanaman Modal Asing) dalam hal pengusahaan kegiatan usaha hulu migas. Hal
ini terjadi karena negara, yang diwakili oleh Pemerintah dalam menjalankan
fungsi mengurus objek kekayaan alam, mewujudkan hubungan hukum tersebut
dalam bentuk kerja sama. Dalam keadaan yang demikian ini, penguasa negara
atau Pemerintah menurut Kranenburg dan Vegting bertindak sebagai organ dari
badan publik yang berupa private rechtpersoonlijkeheid.124
Di dalam aturan hukum perdata di Indonesia, hal tersebut juga didukung
dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 1653 sampai dengan 1655
KUHPerdata sebagaimana juga telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa
selain perseroan perdata, yang dimaksud dengan badan hukum adalah termasuk
juga perhimpunan orang-orang yang diakui dan didirikan oleh kekuasaan umum
dengan maksud tertentu tanpa melawan undang-undang.125 Selanjutnya, dengan

123
Syahrul Mustofa dan Saipul Mustofa, Kedudukan Hukum Negara dalam Perjanjian
Kontrak Karya (Studi Perjanjian Kontrak Karya Pertambangan Antara Pemerintah RI dengan
PT. NNT), yang mengutip Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto, Sendi-Sendi Hukum dan
Tata Hukum, Alumni Bandung, 1982, hlm 50.
124
Y. Sogar. Simamora, Prinsip Hukum Kontrak dalam Pengadaan Barang dan Jasa
oleh Pemerintah, Yogyakarta: Laksbang PRESSindo, 2009, hlm. 58.
125
Pasal 1653 KUHPerdata: “Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang
sebagai badan hukum juga diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuaaan
umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula badan hukum itu diterima sebagai yang
mengaitkan kepada pendapat yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa atas
perbuatan hukum keperdataan yang dilakukan oleh Pemerintah, selaku penerima
mandat untuk menjalankan kekuasaan, maka yang dimaksudkan dengan badan
hukum di dalam konteks sektor industri hulu migas disini adalah Negara Republik
Indonesia.126 Berdasarkan atas uraian-uraian tersebut, maka negara merupakan
badan hukum yang berdiri dengan sah sehingga dapat melakukan perbuatan-
perbuatan perdata dan juga dapat mengadakan hubungan hukum dengan pihak
ketiga.127
Negara sebagai subjek hukum memiliki kekayaan yang dimilikinya dalam
posisi sebagai majikan dan badan hukum perdata sebagai pemborong atau
pembeli. Hal ini dilakukan karena peranan negara disini sebagai pemegang
kekuasaan, maka berwenanglah untuk memberikan hak pengusahaan
pertambangan kepada badan usaha atau perorangan untuk melakukan
pengusahaan atau juga pengelolaan atas bahan galian yang ada dalam wilayah
hukum pertambangan Indonesia.128
Dengan melihat pentingnya peran negara, maka subbab berikutnya akan
dibahas mengenai kedudukan negara di dalam beberapa sistem kontrak migas
yang pernah digunakan dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di
Indonesia, sebagai bahan perbandingan nantinya terhadap kedudukan negara di
dalam kontrak bagi hasil migas (production sharing contract) yang masih dipakai
saat ini.

diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan
undang-undang atau kesusilaan.”
126
Bagir Manan, Op.Cit., hlm 23.
127
Pasal 1654 KUHPerdata: “Semua badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula
orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa mengurangi
perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasi atau menundukkannya kepada tata
cara tertentu.”
Pasal 1655 KUHPerdata: “Para pengurus badan hukum, bila tidak ditentukan lain akta
pendiriannya, dalam surat perjanjian atau dalam reglemen, berkuasa untuk bertindak demi dan atas
nama badan hukum itu kepada pihak ketiga atau sebaliknya dan untuk bertindak dalam sidang
pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat.”
128
Y. Sogar. Simamora, Op. Cit., hlm. 58.
4.2 Dalam Konsesi
Jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia, konsep ini diawali oleh aturan
Hukum Adat yang bersifat “Publik” (Hak Ulayat), yaitu pemberian kesempatan
menambang oleh Pemuka Adat, Raja, Sultan atau Pembesar kerajaan kepada
anggota kelompok masyarakat yang memang secara turun-temurun mempunyai
keahlian untuk itu (tambang tradisional). Hak para Sultan untuk mengeluarkan ijin
konsesi ini kemudian ditiadakan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada masa
penjajahan dengan dikeluarkannya peraturan Indische Mijnwet. Meskipun pada
masa itu belum lahir UUD 1945, namun dalam perkembangannya dapat dilihat
dari berbagai kebijakan yang dimiliki oleh Pemerintah Kolonial Belanda bahwa
pada saat itu sumber daya migas telah diakui sebagai cabang produksi yang
penting bagi negara dan dikuasai oleh negara, seperti yang tertulis di dalam Pasal
33 ayat (2) UUD 1945. Hanya saja, dikarenakan Pemerintah Belandalah yang
menjadi penguasa negara pada saat itu dan merekapun datang atas kepentingannya
sendiri, maka sektor industri migas tersebut tidak digunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, melainkan hanya demi keuntungan Pemerintah
Belanda. Dengan aturan Indische Mijnwet yang diterbitkan oleh Pemerintah
Belanda pada tahun 1899 tersebut, maka ijin konsesi hanya diberikan kepada
warga negara atau perusahan Belanda.
Dari konsep tersebut, dapat terlihat bahwa kedudukan negara, yang pada
saat itu dikuasai oleh Pemerintah Kolonial, di dalam hubungan keperdataan yang
terbentuk dari pemberian ijin konsesi adalah tidak sejajar dengan konsesionaries /
atau pihak yang diberikan ijin konsesi pertambangan migas. Hal tersebut
disebabkan oleh kekuasaan yang dimiliki Pemerintah Kolonial Belanda untuk
dapat menentukan pihak yang memenuhi syarat untuk menerima ijin konsesi
tersebut, kemudian membuat regulasi yang menguntungkan demi kepentingan
pihak Pemerintah Belanda, dan sewaktu-waktu dapat mencabut ijin tersebut.
Dengan konsep yang demikian, maka pemerintahan pada saat itu secara
tidak langsung telah menyatakan imunitas kedaulatannya terhadap sumber daya
alam migas, sehingga tidak dapat digugat di mahkamah internasional. Hal inilah
yang kemudian yang menjadi perbedaan mendasar antara rezim konsesi dengan
rezim kontrak. Rezim konsesi / izin dianggap sebagai konsep yang lebih baik
daripada kontrak di dalam hal menjaga martabat negara. Dengan imunitas
kedaulatan yang dimilikinya, maka ia dapat terhindar dari gugatan dan penyitaan
atas aset yang dimilik negara seandainya kalah di dalam gugatan tersebut.
Hal tersebut berbeda dengan konsep kontrak dimana para pihak yang telah
mengikatkan diri di dalam perjanjian tersebut harus memposisikan dirinya dengan
sejajar / seimbang. Dengan hubungan kontraktual tersebut, maka para pihak harus
menundukkan diri terhadap aturan-aturan ataupun asas-asas hukum perjanjian
perdata baik yang berlaku secara umum di dalam lingkungan perjanjian perdata
internasional / kontrak bisnis internasional maupun perjanjian perdata nasional,
sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata. Oleh karena itu, walaupun Indonesia
belum mengadopsi klausul waiver of sovereignty (mengesampingkan imunitas
kedaulatan) di dalam kontrak migasnya, tetapi karena hubungan kontraktual
tersebut maka negara secara tidak langsung telah memposisikan dirinya sejajar
dengan lawan kontraknya. Berdasarkan hal tersebut, maka konsep kontrak
dianggap merugikan telah mendegradasi martabat negara, sehingga selanjutnya
negara dapat dihadapkan dengan ancaman gugatan oleh lawan kontraknya serta
penyitaan aset negara seandainya kalah di dalam gugatan tersebut.

4.3 Dalam Kontrak 5A


Sebagaimana telah diuraikan pada BAB II, bahwa kontrak 5A lahir dari
amandemen pertama atas Indische Mijnwet 1899 di tahun 1910. Amandemen ini
dilakukan karena sektor industri migas ini dianggap semakin penting dan aturan
yang ada dianggap terlalu diskriminatif, maka untuk meningkatkan minat investor
swasta asing non-Belanda ditambahkanlah Pasal 5 A yang bersifat Perdata
(Kontrak) terhadap Pasal 5 yang bersifat Publik (Konsesi) di dalam Indische
Mijnwet tersebut.
Melalui kontrak 5A ini, Pemerintah Hindia Belanda bermaksud untuk
tidak menjadi pengawas lagi seperti pada konsesi, tetapi juga dapat melaksanakan
sendiri usaha pertambangan dan juga menjadi kontraktor di dalam kerja sama
dengan perusahaan swasta. Dengan begitu, maka ini para pihak dalam kontrak
adalah Pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan minyak yang ditunjuk. Dalam
perjanjian ini kedudukan para pihak adalah sejajar, karena itu sebagai subjek
hukum perdata, Pemerintah harus memposisikan dirinya sejajar dengan mitranya
dalam pemenuhan kewajiban dan hak seperti yang tercantum dalam kesepakatan.
Sebagai subjek hukum perdata Pemerintah dapat mengikatkan diri dengan pihak
ketiga dan dapat pula digugat atau menggugat di pengadilan perdata.

4.4 Dalam Kontrak Karya


Kontrak karya adalah bentuk dari perjanjian yang bersifat khusus antara
negara yang diwakili oleh Pemerintah RI untuk melakukan perjanjian dengan
badan hukum swasta. Sifat khusus tersebut lahir dari kuasa yang khusus di dalam
bidang pertambangan diterima oleh Pemerintah berdasarkan UUD 1945 untuk
mewakili kepentingan negara. Kuasa atau kewenangan tersebut kemudian
dilimpahkan kepada kementerian ESDM selaku badan hukum di bidang sumber
daya alam, yang selanjutnya kementerian ESDM menentukan pihak ketiga dalam
melakukan pengusahaan pertambangan.129 Meskipun begitu, di dalam kontrak
karya pihak yang tertulis dalam kontrak adalah Pemerintah RI, bukan Menteri
ESDM.
Hal yang menjadi ciri khusus dari kontrak karya adalah Pemerintah RI
sendiri yang menjadi pihak di dalam kontrak. Hal tersebut dapat terlihat jelas dari
judul kontrak, misalnya Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dan
PT. X. , serta di dalam bagian pembuka kontrak dengan jelas dinyatakan bahwa
“Persetujuan ini disepakati dan dibuat di Jakarta, Republik Indonesia pada
tanggal 2 Desember 1986 oleh dan antara Pemerintah Republik Indonesia,
dalam hal ini diwakili oleh Menteri Pertambangan dan Energi Republik
Indonesia (selanjutnya disebut Pemerintah) dan PT. X…”130

Dengan begitu, hubungan yang terbentuk antara Pemerintah RI dengan


kontraktor di dalam kontrak karya adalah hubungan kontraktual. Para pihak dapat
129
Lihat H. Salim. HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2005, bag. lampiran, hlm. 449. Pada bagian tersebut dilampirkan Kontrak Karya antara
Pemerintah Republik Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara.
130
Ibid.
melakukan perbuatan hukum perdata dan memiliki kedudukan yang sama di
dalam perjanjian. Dengan kedudukan yang sejajar tersebut, maka hak imunitas
negara atau Pemerintah yang berdaulat menjadi dikesampingkan karena pola
kerjasama yang dilakukan dalam bentuk kontrak. Hubungan yang terbentuk ini
jelas memberikan kelemahan bagi sisi Pemerintah, karena dengan Pemerintah
sendiri yang menjadi pihak di dalam kontrak maka akibatnya Pemerintah-pun
dapat digugat melalui Pengadilan seandainya terjadi sengketa. Kemudian, apabila
Pemerintah kalah di dalam gugatan tersebut, maka aset-aset Pemerintah yang akan
disita. Oleh karena itu, konsep kerjasama melalui kontrak karya ini bisa dikatakan
telah mendegradasi atau merendahkan martabat negara sebagaimana yang
dimaksudkan oleh para pemohon uji materil dari UU Migas 2001 di dalam
putusan MK No. 36/PPU-X/2012
Selanjutnya, kontrak karya adalah kontrak yang tidak terlalu jauh berbeda
dan masih banyak mengadopsi konsep yang ada di dalam Kontrak 5A. Kontrak
karya adalah kontrak mengenai pembagian keuntungan / profit sharing. Oleh
karena itu, manajemen operasi bukan menjadi hal yang penting sehingga menjadi
hak dari kontraktor. Berdasarkan hal tersebut dapat terlihat bahwa pada masa itu
peran Negara sangat terbatas, terutama di dalam hal pengawasan karena yang
diperlukan pada saat itu hanya pembagian keuntungan 60% bagi negara dan 40%
bagi kontraktor. Hal tersebut menunjukkan bahwa walaupun pada saat itu telah
lahir UUD 1945 tetapi pada pelaksanaannya, kontrak karya bertentangan dengan
konsep hak menguasai oleh negara sebagaimana diatur oleh Pasal 33 UUD 1945
dan penafsiran dari konsep penguasaan negara oleh MK sebagaimana dituangkan
pada putusan MK No. 36/PPU-X/2012, dimana pengelolaan juga termasuk bagian
dari hak penguasaan oleh negara.

4.5 Dalam Kontrak Bagi Hasil / PSC Pada Masa UU 44 Prp 1960
Abrar Saleng berpandangan bahwa menurut UU Migas 1960 kedudukan
Pemerintah berada di atas para pihak, karena PERTAMINA yang bertindak

sebagai pihak yang menandatangani kontrak.131 Dengan kedudukan demikian,


Pemerintah dapat memposisikan dirinya sebagai pembimbing atau pengawas yang
dapat mencegah timbulnya sengketa. Kalaupun terjadi sengketa, Pemerintah dapat
menjadi mediator atau wasit sebelum sengketa para pihak di bawa ke forum
arbitrase.
Meskipun tidak diundang-undangkan seperti pada Perjanjian Karya,
penandatanganan kontrak bagi hasil ini dilakukan setelah mendapatkan
persetujuan Presiden yang merupakan mandataris MPR. Sebagai tanda
persetujuan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Pertambangan ikut
menandatangani Kontrak Bagi Hasil. Penandatanganan oleh Pemerintah dalam
naskah perjanjian ini baru dilakukan setelah diundang-undangkannya UU
Pertamina dan mengacu pada Penjelasan Pasal 12 UU Pertamina yang
menyatakan:
“Dalam mengadakan kerja sama ini harus diusahakan syarat-syarat yang
paling menguntungkan bagi Negara. Dengan sendirinya Pemerintah hanya
akan menyetujui kerja sama ini setelah Dewan Komisaris Pemerintah
mengizinkan Perusahaan mengadakan kerja sama. Setiap Kontrak
Production Sharing yang telah disetujui oleh Presiden diberitahukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”

Sebagai wakil Pemerintah, PERTAMINA wajib mengikuti kebijakan yang


digariskan oleh Pemerintah dalam melakukan kerja sama dan melaksanakan hak
dan kewajibannya dalam Kontrak Bagi Hasil atau Perjanjian Karya. Misalnya,
Pasal 12 ayat (2) UU Pertamina menetapkan bahwa syarat-syarat kerja sama
dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil akan diatur oleh Pemerintah dan kontrak akan
mulai berlaku setelah disetujui oleh Presiden, persetujuan mana dicerminkan
dengan ikut menandatangani kontrak.
Menurut T.N. Machmud, keikutsertaan Pemerintah menandatangani
Kontrak Bagi Hasil tidak harus diartikan bahwa Pemerintah merupakan pihak
dalam perjanjian, melainkan lebih pada penunjukan berlakunya perjanjian.132

131
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, Yogyakarta: UII Press, 2004, hlm. 160-161.
132
T. N. Machmud, The Indonesian Production Sharing Contract, Kluwer Law
International, The Hague, 2000, hlm. 56
Keikutsertaan Pemerintah menandatangani kontrak dapat juga diartikan sebagai
jaminan Pemerintah bahwa PERTAMINA akan mentaati dan menjalankan
kewajibannya sesuai dengan kontrak.
Lebih lanjut, menurut UU Migas 1960 PERTAMINA dan perusahaan-
perusahaan milik Negara sebelum dilebur (PERMINA, PERTAMIN dan
PERMIGAN) merupakan wakil Pemerintah selaku Pemegang Hak Kekuasaan
Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia. Sebagai pemegang Kuasa
Pertambangan, PERTAMINA menerima pendelegasian penyelenggaraan
pengusahaan pertambangan migas. Kepada PERTAMINA disediakan seluruh
wilayah hukum pertambangan Indonesia, sepanjang mengenai pertambangan
migas (Pasal 11 ayat (1) UU Pertamina). Dengan demikian, para calon penanam
modal hakekatnya hanya mempunyai satu pilihan apabila ingin melakukan
kegiatan usaha hulu migas di Indonesia, yaitu bekerja sama dengan
PERTAMINA.
Dengan kewenangan yang besar yang dimiliki oleh PERTAMINA saat itu,
serta kuasa yang dilimpahkan padanya atas pengelolaan industri pertambangan
migas di seluruh Indonesia, maka hal tersebut menjadi sangat bertentangan
dengan konsep penguasaan negara sebagaimana dimaksudkan di dalam Pasal 33
UUD 1945 dimana negaralah yang seharusnya tetap memegang kuasa tersebut.
Sebagai perusahaan negara yang mencari keuntungan, kekuasaan besar yang
dimiliki oleh PERTAMINA cenderung akan menyebabkan terjadinya
penyalahgunaan kewenangan. Dalam perkembangannya juga, PERTAMINA
seperti memiliki dualisme fungsi dimana disatu sisi ia menjadi pelaku bisnis yang
terlibat dalam kontrak dan disisi lain ia harus bertindak sebagai regulator dalam
menerapkan aturan permainan. Hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian
hukum di dalam hubungan antar para pihak.
Jadi, yang dapat disimpulkan dari periode ini adalah bahwa kedudukan
negara tetap superior dimana negara tetap sebagai penguasa sumber daya alam
dan Pemerintah diberikan mandat untuk menjalankan penguasaan itu. Negara
tidak akan dapat turut digugat karena perusahaan negara yang menandatangani
kontrak, sehingga perusahaan negara tersebutlah yang bertanggung jawab atas
kesepakatan yang telah disetujuinya dalam kontrak tersebut. 133 Jadi, dari konsep
kerjasama ini yang berkedudukan sejajar dengan kontraktor adalah
PERTAMINA, sebuah entitas bisnis milik negara dalam bidang pertambangan
minyak dan gas bumi. Kemudian, yang menjadi tidak tepat adalah bahwa hak
kuasa pertambangan itu diteruskan kepada PERTAMINA, untuk
melaksanakannya sepanjang itu adalah pertambangan migas. Kekuasaan besar
yang dimiliki oleh Pertamina di dalam industri migas ini dapat diketahui dengan
jelas apabila memperhatikan contoh kontrak bagi hasil atau production sharing
contract (psc) pada saat itu. Pada bagian pembuka dari kontrak tersebut
dinyatakan secara tegas bahwa PERTAMINA memiliki kewenangan eksklusif
terhadap pertambangan migas di Indonesia dan berusaha untuk melaksanakan
pengembangan wilayah, yang bunyi lengkapnya adalah
“WHEREAS, PERTAMINA has an exclusive “Authority to Mine” for
mineral oil and gas throughout the area described…
WHEREAS, PERTAMINA wishes to promote the development of the
Contract Area and CONTRACTOR wishes to assist PERTAMINA in
accelerating the exploration, and development of the resources within the
Contract Area.”134

Kemudian hal tersebut juga ditegaskan kembali pada Section I dari kontrak
tersebut, yang menyatakan
“This Contract is a Production Sharing Contract. In accordance with the
provisions herein contained, PERTAMINA shall have and be responsible
for the management of the operations contemplated hereunder.
CONTRACTOR shall be responsible to PERTAMINA for the execution of
such operation in accordance with the provisions of this Contract, and is
hereby appointed and constituted the exclusive company to conduct
Petroleum Operations.”

Dari kedua pernyataan tersebut sangat jelas bahwa memang PERTAMINA


telah ditunjuk dan bertanggungjawab penuh atas segala kegiatan pertambangan

133
Berdasarkan Section I draft baku Production Sharing Contract pada masa
PERTAMINA yang terdapat pada lampiran buku Rudi M. Simamora, Hukum Minyak dan Gas
Bumi, Jakarta: Djambatan, 2000, hlm. 150.
134
Lihat Rudi M. Simamora, Hukum Minyak dan Gas Bumi, Jakarta: Djambatan, 2000,
hlm. 150. Pada bagian lampiran buku tersebut terdapat Draft Baku Production Sharing Contract
pada masa PERTAMINA.
minyak dan gas bumi di Indonesia pada saat itu. Hal tersebut sangat berbeda
dengan production sharing contract pada periode selanjutnya, yakni pada masa
BP Migas, yang akan dibahas pada subbab selanjutnya.

4.6 Dalam Kontrak Bagi Hasil / PSC Pada Masa UU Migas 2001
UU Migas yang diundang-undangkan pada akhir tahun 2001 ini lebih
menegaskan kedudukan dan peran Pemerintah dalam pelaksanaan Kontrak Kerja
Sama. Dalam UU Migas 2001 ini Pemegang Kuasa Pertambangan kembali
kepada Pemerintah, di mana Pemerintah kemudian membentuk Badan Pelaksana
yang akan menerima delegasi kewenangan dari Pemerintah untuk menandatangani
dan mengendalikan manajemen operasi kegiatan usaha hulu migas.
Dengan berlakunya UU Migas 2001, kedudukan PERTAMINA sebagai
pihak yang berkontrak digantikan oleh Pemerintah yang diwakili oleh Badan
Pelaksana yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2002 Tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP
BP Migas). Tugas Badan Pelaksana sebagaimana ditetapkan dalam PP BP Migas
adalah sebagai berikut:
1. Memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam
hal penyiapan dan penawaran wilayah kerja serta kontrak kerja sama;
2. Melakukan penandatanganan kontrak kerja sama;
3. Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang
pertama kali akan diproduksikan dalam suatu wilayah kerja kepada
Menteri untuk mendapatkan persetujuan;
4. Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan, selain yang
tercantum pada angka 3 di atas;
5. Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
6. Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai
pelaksanaan kontrak kerja sama;
7. Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang
dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.
Berdasarkan UU Migas 2001 dan PP BP Migas tersebut, maka Negara
sebagai pemegang kekuasaan berwenang memberikan hak kepada badan usaha
(dalam hal ini Badan Pelaksana) untuk melakukan pengusahaan pengelolaan atas
bahan galian yang ada dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia. Dengan
melakukan kerja sama dengan badan hukum perdata dalam suatu kontrak, maka
penguasa Negara atau Pemerintah menurut Kranenburg dan Vegting bertindak
sebagai organ dari badan publik yang berupa badan hukum perdata.
Bertolak dari pendapat di atas, maka Negara dalam Kontrak Bagi Hasil
berdasarkan UU Migas 2001 menjadi subjek hukum yang memiliki hak dan
kewajiban. Kedudukan aparatur Pemerintah selaku subjek pendukung hak dan
kewajiban dalam hubungan kontraktual mempunyai karakter khusus, sebab
Pemerintah tidak bertindak sebagai pemegang kekuasaan publik, tetapi sebagai
pihak yang bersifat keperdataan.
Posisi Pemerintah sebagai subjek hukum ini dipertegas dalam Pasal 94
ayat (1) PP BP Migas beserta penjelasannya yang menyatakan bahwa dalam
melaksanakan penandatangan Kontrak Kerja Sama, Badan Pelaksana bertindak
sebagai pihak yang berkontrak dan sebagai pihak yang berkontrak Pemerintah
menjamin bahwa Badan Pelaksana dapat melaksanakan ketentuan dalam KKS
atau Kontrak lain yang terkait dengan KKS. Selanjutnya Pasal 94 ayat (2) dan (3)
PP Migas menetapkan bahwa penandatanganan KKS dengan Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Menteri atas
nama Pemerintah dan secara tertulis akan dilaporkan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat beserta salinan naskah kontrak setelah ditandatangani.
Bab II PPBP Migas menyatakan bahwa BP Migas berstatus Badan Hukum
Milik Negara atau BHMN (Pasal 2) dan bersifat tidak mencari keuntungan atau
nirlaba (Pasal 4). Selanjutnya, Bab III menyatakan bahwa BPMigas memiliki
kekayaan yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan (Pasal 5), menerima
imbalan atas pelaksanaan fungsi dan tugasnya sebesar presentase tertentu dari
penerimaan negara dari setiap kegiatan usaha hulu yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan (Pasal 6) serta mengelola keuangannya sesuai standar akuntansi
keuangan (Pasal 9).
Istilah badan hukum dalam kepustakaan sudah lazim digunakan dalam
sistem hukum di Indonesia, yang merupakan terjemahan dari hukum belanda,
yaitu reschtpersoon. Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur
mengenai keberadaan badan hukum adalah Pasal 1653 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa terdapat 4 kelompok badan hukum yaitu yang
diadakan/didirikan oleh penguasa (ingesteld), diakui oleh penguasa (erkend),
diperbolehkan dan didirikan untuk maksud tertentu. Dalam perkembangan
selanjutnya di Indonesia Pasal 1653 KUHPerdata dihilangkan kekuatannya oleh
Staatsblad 1870 No 64, khususnya Pasal 1 yang menyatakan tidak ada badan
hukum sebelum ada campur tangan (erkend) dari penguasa dan dengan demikian
sejak adanya Staatsblad 1870 No 64, pengakuan (pengesahan) dari Pemerintah
merupakan syarat suatu badan hukum.
Implikasi BPMigas sebagai BHMN adalah dapat diperlakukan sebagai
subjek hukum, dapat memiliki kekayaan sendiri, dapat menggugat dan digugat
dimuka Pengadilan dan perbuatan hukumnya diwakili oleh pengurus BPMigas.
sebagai badan hukum status hukum BPMigas tidak berbeda dengan status hukum
Pertamina. Kedua-duanya dibentuk oleh Pemerintah melalui peraturan perundang-
undangan, sementara kepengurusannya diangkat oleh Presiden. Perbedaan yang
ada hanya terletak pada lingkup tugas yaitu tugas BP Migas terbatas sebagai wakil
Pemerintah dalam pelaksanaan KBH yang dilakukan tanpa elemen keuntungan
usaha, sementara lingkup tugas Pertamina lebih luas meliputi kegiatan-kegiatan
bisnis lain yang bermotif mencari keuntungan. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka
BP Migas dan Pertamina mempunyai status hukum yang sama sebagai wakil
Pemerintah dalam KBH, sehingga kedua-duanya akan diperlakukan sama dalam
forum penyelesaian sengketa.
Perbedaan tersebut juga dapat diketahui dengan melihat kontrak pada
masa BP Migas, dimana pada bagian pembukanya dengan jelas dinyatakan bahwa
BP Migas adalah Badan Hukum (State-Owned Legal Entity). Jadi, bukan entitas
bisnis milik negara (State Enterprise) seperti pada masa PERTAMINA, yang
memungkinkan timbulnya penyalahgunaan wewenang karena perusahaan negara
pasti melaksanakan operasi demi keuntungan dirinya sendiri. Kemudian, bahwa
kuasa pertambangan migas tetap ada pada negara, dalam hal ini dipegang oleh
Pemerintah Republik Indonesia juga dapat dilihat pada kontrak, yang berbunyi
“WHEREAS, in accordance with Law No. 22/ 2001 and Government
Regulation No 35/2004 as amended by Government Regulations No.
34/2005, the Government of the Republic of Indonesia has an “Authority
to Mine” and wishes to promote the development of the Contract Area and
appoint CONTRACTOR in accelerating the exploration, and development
of the resources within the Contract Area.”135

Hal tersebut jelas sangat berbeda dengan masa PERTAMINA dimana


kuasa pertambangan tersebut menjadi hak eksklusif dari PERTAMINA sendiri.
Kedudukan pemerintah pada masa UU Migas 1960 dan UU Migas 2001
dalam menghadapi investor manakala terjadi sengketa hakekatnya tidak berubah.
Adanya kekhawatiran bahwa pengalihan pihak yang berkontrak dari Pertamina ke
BP Migas akan menyebabkan posisi Pemerintah menjadi lebih rawan karena
dianggap disejajarkan dengan kontraktor dengan demikian kurang berasalan.
Hakim Konstitusi Harjono yang juga menangani perkara No 36/PPU-
X/2012, di dalam dissenting opinion-nya, berpendapat bahwa keberadaan BP
Migas tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan apabila terjadi sengketa maka
bukan Negara yang langsung berperkara melainkan BP Migas. Prof. Dr. Erman
Rajagukguk juga berpendapat sama bahwa tidak benar UU Migas bertentangan
dengan Pasal 33 UUD 1945.
Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Guru Besar Universitas
Indonesia, di dalam keterangannya pada saat menjadi ahli Pemerintah dalam
sidang pengujian UU No. 22/2001 tentang Migas - Nomor 36/PUU-X/2012 - di
Mahkamah Konstitusi tanggal 1 Agustus 2012 berpendapat,
“…Apabila BP Migas ternyata memang harus bersengketa di luar negeri
melalui arbitrase dengan mitranya dan BP Migas dinyatakan kalah, ini
tidak berarti merupakan kekalahan Negara Republik Indonesia dan terjadi
perendahan martabat bangsa. Dalam hukum kontrak, kekalahan BP Migas
tidak berarti kekalahan negara. Kekalahan BP Migas bermakna lembaga
penyelesaian sengketa menganggap BP Migas melakukan cedera janji
sebagaimana yang dituduhkan oleh mitranya. Penyelesaian melalui

135
Berdasarkan draft baku Production Sharing Contract pada masa BP MIGAS, yang
dilampirkan pada bagian akhir penulisan skripsi ini.
arbitrase pun tidak berarti merendahkan martabat bangsa mengingat
arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa antar subjek hukum
perdata. BP Migas dalam kontrak kerja sama bertindak sebagai subjek
hukum perdata yang tidak membawa-bawa martabat bangsa.
Bahwa BP Migas sebagai wakil dari negara, memiliki kedudukan berbeda
dengan negara ketika berkontrak dengan perusahaan mitra. Negara dalam
Undang-Undang Pertambangan Umum, misalnya Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1967, melakukan kontrak dengan perusahaan kontraktor yang
disebut kontrak karya. Berdasarkan kontrak karya, negara dapat digugat
oleh perusahaan kontraktor ke lembaga penyelesaian sengketa yang
disepakati oleh para pihak. Bila negara dikalahkan dan harus menanggung
kerugian, maka aset negara untuk membayar kerugian tersebut, tidak bisa
dibatasi”.

Oleh karena itu, jika suatu saat terjadi sengketa dan BP Migas kalah di
mahkamah internasional maka hanya BP Migas yang dituntut dan hanya harta
atau aset dari BP Migas yang akan disita. Perselisihan usaha tersebut tidak akan
sampai kepada Pemerintah.
Hal tersebut juga dapat diketahui dengan melihat kembali isi kontrak
dimana pada bagian Section I ditegaskan tanggung jawab BP Migas atas kontrak
yang disepakatinya, yang berbunyi
“This CONTRACT is a cooperation agreement in the form of a Production
Sharing Contract. In accordance with the provisions herein contained,
BPMIGAS shall have and be responsible for the management of the
Petroleum Operations contemplated hereunder.”

Jadi, pembentukan BP Migas bukanlah dimaksudkan untuk


memindahtangankan kuasa pertambangan minyak dan gas bumi. Kuasa
Pertambangan tetap pada Pemerintah atas nama negara. BP Migas hanya dibentuk
dan diberikan kewenangan untuk pengendalian dan pengaturan agar sumber daya
alam migas tersebut dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat.

4.7 Kedudukan Negara Pada Masa SKK Migas


Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi (SKK Migas) adalah institusi yang dibentuk oleh pemerintah Republik
Indonesia melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. SKK
Migas bertugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas
bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama.
SKK Migas adalah badan yang dibentuk untuk mengelola sektor industri
hulu migas menggantikan BP Migas yang dibubarkan oleh putusan MK No
36/PPU-X/2012. Berbeda dari BP Migas, SKK Migas adalah satuan unit di bawah
Kementerian ESDM yang berarti bahwa badan ini merupakan departemen
pemerintahan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini juga dapat dilihat dari Pasal 1
dan Pasal 6 PerPres No 9 Tahun 2013 dimana Menteri ESDM bertanggungjawab
untuk membina, mengoordinasikan dan mengawasi penyelenggaraan pengelolaan
kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Oleh karena itu, maka sekarang ini
SKK Migas juga memiliki tanggung jawab kepada Menteri ESDM sebagai yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya
mineral.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan Pemerintah dan
SKK Migas dalam KBH meliputi pemberian kuasa, yang diatur dalam KUH
Perdata. Pemberian kuasa ini menerbitkan perwakilan di mana SKK Migas
sebagai penerima kuasa adalah pihak yang mewakili pemberi kuasa (Pemerintah)
untuk melakukan perbuatan hukum. Pengertiannya adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Subekti bahwa apa yang dilakukan itu adalah atas tanggungan
Pemerintah sebagai pemberi kuasa dan segala hak dan kewajiban yang timbul dari
perbuatan yang dilakukannya itu menjadilah hak dan kewajiban Pemerintah,
sehingga Pemerintah sebagai pemberi kuasa juga memposisikan dirinya menjadi
pihak di dalam KBH itu.
Dengan konsep yang demikian, maka kedudukan negara pada saat ini
justru menjadi lebih berbahaya karena pihak yang diberikan wewenang untuk
mewakili negara dalam penandatanganan kontrak adalah Pemerintah itu sendiri /
SKK Migas yang merupakan bagian tidak terpisah dari badan pemerintahan. Oleh
karena itu, dengan tetap menganut rezim kontrak maka kedudukan negara, yang
diwakili oleh Pemerintah menjadi sejajar dengan lawan kontraknya. Dalam
konsep seperti ini justru terjadi pendegradasian martabat negara karena negara
melalui Pemerintah telah mensejajarkan diri dalam perjanjian.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Subjek hukum mempunyai peran dan kedudukan yang sangat penting di
dalam bidang hukum, khususnya hukum keperdataan, karena pada subjek
hukum tersebutlah melekat perbuatan-perbuatan hukum. Di dalam hukum
perdata, dikenal ada 2 macam subjek hukum perdata yaitu manusia /
naturlijk persoon dan badan hukum / recht person. Negara di dalam
tindakan kesehariannya dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum
menurut perspektif hukum perdata. Di dalam perspektif hukum perdata,
maka negara merupakan kumpulan dari badan-badan hukum, yaitu berupa
badan-badan atau organ pemerintahan. Tindakan hukum yang dapat
dilakukan oleh badan hukum Pemerintah ini adalah sama layaknya
sebagaimana yang terjadi pada manusia dan badan hukum privat lainnya
dalam lalu lintas pergaulan hukum. Melalui penulisan ini diketahui bahwa
salah satu tindakan keperdataan yang dapat dilakukan Pemerintah adalah
terlibat di dalam suatu kegiatan komersial / bisnis atau privat. Pemerintah
menjadi salah satu pihak atau subjek hukum perdata di dalam suatu
kontrak bisnis, yaitu kontrak bagi hasil (KBH) minyak dan gas bumi atau
yang lebih dikenal dengan Production Sharing Contract. Badan hukum
atau organ pemerintahan yang dimaksudkan di sini adalah BP Migas yang
dibentuk melalui UU Migas No 22 Tahun 2001 untuk mewakili
kepentingan Negara di dalam lingkup kegiatan usaha hulu minyak dan gas
bumi di Indonesia. BP Migas bertindak mewakili kepentingan Negara,
selaku penguasa sumber daya alam migas Indonesia, yang kemudian
menyerahkan kuasa pertambangan kepada Pemerintah dan dengan kuasa
tersebut membentuk badan pelaksana untuk mengawasi dan
mengendalikan industri hulu migas.
2. Atas dasar hubungan yang terbentuk dari kontrak tersebut maka Negara,
yang diwakili oleh Pemerintah, dengan tindakan keperdataannya tersebut
telah menyatakan tunduk kepada ketentuan-ketentuan perdata yang
berlaku baik secara umum dalam lingkungan kontrak bisnis internasional
maupun yang berlaku di Indonesia, melalui KUHPerdata. Oleh karena itu,
dengan tunduknya Pemerintah pada ketentuan perdata, maka dalam
hubungan kontraktual tersebut kedudukan Pemerintah menjadi sejajar atau
sederajat / seimbang dengan lawan kontraknya.

5.2 Saran
1. Dalam kaitannya bahwa Negara menjadi subjek hukum perdata suatu
perjanjian, melalui Pemerintah, di dalam kontrak bagi hasil migas, maka
sebaiknya peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat mengatur
dengan jelas hubungan hukum dan akibat hukum yang timbul dari
tindakan keperdataan yang dilakukan oleh Pemerintah. Pendelegasian
kewenangan sebagai akibat dari penguasaan sumber daya migas harus
dapat dengan mudah dimengerti oleh semua pihak, agar tidak timbul
multitafsir mengenai kuasa yang diterima oleh Pemerintah dan badan yang
dibentuk setelahnya untuk mewakili kepentingan negara. Hal yang penting
juga untuk dapat dengan tegas diatur adalah mengenai hak imunitas
Negara di dalam kontrak. Hal ini penting demi terciptanya kepastian
hukum, apakah Pemerintah hadir di dalam kontrak dalam perannya
sebagai pemilik sumber daya alam dan regulator atau hanya sebagai
kontraktor.

2. Sebaiknya hubungan yang sejajar antara Negara, dalam hal ini diwakili
oleh Pemerintah, tidak seharusnya menjadi persoalan. Pendapat yang
menyatakan bahwa martabat negara telah direndahkan melalui hubungan
kontraktual PSC tersebut adalah tidak beralasan. Justru yang terjadi adalah
Pemerintah membentuk BP Migas sebagai pihak untuk mewakili
berkontrak dengan kontraktor. Sebagaimana diketahui bahwa BP Migas
adalah BHMN, sama halnya seperti PERTAMINA yang adalah BUMN
dulu, memiliki kekayaan sendiri. Jadi dikarenakan BP Migas yang
berkontrak maka BP Migas yang bertanggung jawab atas perbuatan-
perbuatan hukum atau prestasi-prestasi yang telah disetujuinya melalui
kontrak tersebut. Dengan begitu seandainya terjadi sengketa, maka BP
Migaslah yang akan digugat dan asset BP Migas yang akan disita
seandainya kalah. Jadi posisi Negara disini justru lebih aman, karena kuasa
Pertambangan tetap ada pada Pemerintah. Dengan kuasa yang dimiliki
Pemerintah membentuk Badan Pelaksana hanya untuk berkontrak, bukan
untuk mengalihkan kuasa yang diterima oleh Pemerintah melalui UUD
1945.
Selanjutnya, apabila dibandingkan dengan kondisi sekarang setelah adanya
putusan MK yang membubarkan BP Migas, kemudian dibentuklah SKK
Migas berdasarkan Peraturan Presiden tahun 2013 yang menyatakan SKK
Migas adalah satuan unit dibawah kementerian ESDM, maka kondisi
sekaranglah justru yang lebih mengancam posisi Pemerintah di dalam
kontrak PSC ke depannya, karena jelas posisi SKK Migas sebagai bagian
dari suatu Departemen Pemerintahan.
Selanjutnya, Pemerintah sebaiknya lebih menghormati adanya konsep
sanctity of contract. Sebagaimana diketahui bahwa telah banyak peraturan
yang diterbitkan untuk industri hulu migas, begitu juga dengan pola
pertambangan yang digunakan mulai dari izin konsesi sampai dengan
rezim kontrak. Apabila memang yang diharapkan adalah lebih besarnya
porsi untuk negara dalam penerimaan dari produksi minyak, maka konsep
bagi hasil adalah konsep yang paling baik sejauh ini bila dibandingkan
dengan konsesi dan kontrak karya. Oleh karena itu, sebaiknya kontrak
yang telah ada dikuatkan saja, agar tercipta kepastian hukum di dalam
lingkungan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia.
Apabila kepastian hukum sudah terbentuk, segala peraturan jelas dan
semua pihak mengerti perannya maka sejatinya kontraktorpun tidak akan
mungkin mempermasalahkan kontrak dan mengancam akan membawa ke
arbitrase internasional karena tidak ada ketentuan yang terlanggar.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945

. Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No. 22 Tahun


2001, LN No. 136 Tahun 2001, TLN No. 4152.

Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Syarat-Syarat dan Pedoman Kerja


Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi, PP No. 35 Tahun
1994, LN No. 64 Tahun 1994

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh


Soesilo dan Pramudji. Jakarta: WIPRESS, 2007.

Buku
Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Aziz, Sri Woelan. Aspek-aspek hukum ekonomi pembangunan di Indonesia,


Surabaya : Citra Media, 1996.

Badrulzaman, Mariam Darus. Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra


Aditya Bakti, 2001.

Bakhri, Syaiful. MIgas Untuk Rayat: Pergulatan Pemikiran dalam Peradilan


Mahkamah Konstitusi, cet. 1. Jakarta: Grafindo Khazana Ilmu,
2013.

Bee, Ooi Jin. The Petroleum Resources, Kualalumpur: Oxford University Press,
1982.
Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, Cet.
ke-1, Jakarta: Gitama Jaya, 2008.

Fabrikant, Robert. Production Sharing Contracts in the Indonesian Petroleum


Industry & Oil Discovery and Technical Change in Southeast
Asia: Legal Aspect of Production Sharing Contracts in Indonesian
Petroleum Industry, Harvard International Law Jurnal, vol. 16,
1975.

Friedman, Lawrence M. American Law an Introduction, Jakarta: Tata Nusa, 2001.

Hasan, H. Teuku Moehammad. Sejarah Perjuangan Perminyakan Nasional,


Jakarta: Yayasan Sari Pinang Sakti, 1985.

Hasan, Madjedi. Pacta Sunt Servanda: Penerapan Asas “Janji itu Mengikat”
dalam Kontrak Bagi Hasil di Bidang Minyak dan Gas Bumi, cet.1.
Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2005.

. Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan Kepastian


Hukum, cet. 1. Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2009.

HS, Salim. Hukum Pertambangan di Indonesia, ed. Revisi, cet. 3. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2007.

Humphreys, Macartan, Jeffrey D. Sachs, dan Joseph E. Stiglitz, Escaping The


Resource Curse, Columbia University Press: New York, 2007.

Hutagalung, Sophar Maru. Kontrak Bisnis di ASEA: Pengaruh Sistem Hukum


Common Law dan Cicil Law, cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Juwana, Hikmahanto. Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional,
Jakarta: Lentera Hati, 2001.
Khairandy, Ridwan. Itikad Baik dalam kebebasan berkontrak, Jakarta: Program
Pasca Sarjana fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.

Knowles, Ruth Sheldon, Indonesia Today: The Nation That Helps Itself, Los
Angeles: Nash Publishing, 1973.

Lubiantara, Benny. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas,


cet. 1. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2012.

Partowidagdo, Widjajono. Migas dan Energi di Indonesia: Permasalahan dan


Analisis Kebijakan, cet. 1. Jakarta: Development Studies
Fondation, 2009.

Patmosukismo, Suyitno. Migas: Politik Hukum Pengelolaan Industri Migas


Indonesia Dikaitkan dengan Kemandirian dan Ketahanan Energi
Dalam Pembanguan Perekonomian Nasional, cet.1. Jakarta: PT.
Fikahati Aneska, 2011.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Perjanjian, Cet. ke-12, Bandung:


Sumur Bandung, 1993.

Pudyantoro, A. Rinto. A to Z Bisnis Hulu Migas, cet. 1. Jakarta: Petromindo,


2012.

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekamto, Sendi-Sendi Hukum dan Tata


Hukum, Alumni Bandung, 1982.

Rajagukguk, Erman. Filsafat Hukum Ekonomi, Jakarta: Program Pasca Sarjana


fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet. ke-2,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Ruslina, Eli. Dasar Perekonomian Indonesai Dalam Penyimpangan Mandat
Konstitusi UUD Negara Tahun 1945, cet. 1. Yogyakarta: Total
Media, 2013.

Saleng, Abrar. Hukum Pertambangan, Yogyakarta: UII Press, 2004.

Sigit, Soetarjo dan S. Yudonarpodo, Legal Aspects of the Mineral Industry in


Indonesia, Indonesian Mining Association (IMA), Jakarta, 1993.

Simamora, Y. Sogar. Prinsip Hukum Kontrak dalam Pengadaan Barang dan Jasa
oleh Pemerintah, Yogyakarta: Laksbang PRESSindo, 2009.

Simamora, Rudi M. Hukum Minyak dan Gas Bumi, cet. 1. Jakarta: Djambatan,
2000.

Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang


Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,
Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993.

Subekti, R. Aneka Perjanjian, cet. 10. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.

. Hukum Perjanjian, Cet. ke-21, Jakarta: Intermasa, 2005.

. Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 32. Jakarta: PT. Intermasa,


2005.

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada, 2007.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

Syamsudin, M. Operasional Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada,


2007.

Syeirazi, M. Kholid. Di Bawah Bendera Asing: Liberalisasi Industri Migas di


Indonesia, cet. 1. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009.

Tesis
Furusine, Rine Nine. “Pembenahan UU No. 22 Tahun 2001tentang Minyak dan
Gas Bumi dalam Rangka Pengembangan Industri Hulu Migas.”
Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia. Jakarta, 2011.

Organisasi
Kementerian ESDM, Ditjen Migas. Buku Putih Permasalahan Kritis Sektor
Migas dan Dampaknya bagi Perekonomian Indonesia, Jakarta:
Ditjen Migas, 2006.

CWC School For Energy, World Legal Systems & Contracts For Oil & Gas,
(Singapore: Thecwcgroup, 2012)

Makalah
Mustofa, Syahrul dan Saipul Mustofa, Kedudukan Hukum Negara dalam
Perjanjian Kontrak Karya (Studi Perjanjian Kontrak Karya
Pertambangan Antara Pemerintah RI dengan PT. NNT).

H, Leawoods dan Gustav Radburch: An Extraordinary Legal Philosopher,


Journal of Laws and Policy, Vol 2:489.

Majalah
Petromindo. “OGE Asia: Oil, Gas, Electricity.”, vol. 33. (December 2013 –
Januari 2014).

PT. Multimedia Internetindo. “GEO Energi: Jalan Pintas Tuntaskan Persoalan


Gas.” (edisi 38. Tahun IV Desember 2013)

PT. Kreasi Multimedia. “Business Review: Solusi Terbaik Pengelolahan Migas.”


(edisi 9, tahun XII, Desember 2013).

Manan, Bagir. Bentuk-Bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan


oleh Pemerintah Daerah, Bandung: Majalah Ilmiah UNPAD No. 3
Vol. 14 Tahun 1986.

Internet
Salim, Agus. artikel Kementrian ESDM Edisi Jumat, 23 September 2011,
http://www.esdm.go.id/berita/artikel/56-artikel/4940-pengusahaan-
migas-di-indonesia-dalam-perspektif-kedaulatan-negara-3-
kedaulatan-negara-dalam-pengusahaan-migas-.html, diunduh pada
tanggal 16 Oktober 2012.

Triono, Dwi Condro. Peran Negara dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam,
http://jurnal-ekonomi.org/peran-negara-dalam-pengelolaan-
sumber-daya-alam/, diakses pada tanggal 11 Maret 2014.

http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/01/22/minyak-itu-ampas-setan-
sumber-kekacauan-432566.html, diakses pada 30 Maret 2013.

http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/01/18/kutukan-sumber-daya-alam-
dan-perekonomian-indonesia-334124.html, diakses pada tanggal
30 Maret 2013.
http://www.tambangnews.com/berita/utama/3003-production-sharing-contract-
psc-termasuk-tindakan-kepemerintahan-bersegi-dua.html, diakses
pada 1 Mei 2014.

http://www.skkmigas.go.id/industri-hulu-migas-bukukan-penerimaan-negara-
us31315-miliar, diakses pada tanggal 13 Maret 2014.

Menjembatani pemahaman praktek pertambangan: KP dan PKP2B,


www.djmbp.esdm.go.id, diakses tanggal 5 Feberuari 2014.
PRODUCTION SHARING CONTRACT
BETWEEN
BADAN PELAKSANA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI
(BPMIGAS)

AND
.......................................................................
CONTRACT AREA: ................................

SECTION TITLE INDEX

I SCOPE AND DEFINITIONS 3


II TERMS AND COMMERCIALITY OF CONTRACT AREA 8
III RELINQUISHMENT OF AREAS 12
IV WORK PROGRAM AND BUDGET 14
V RIGHTS AND OBLIGATIONS OF THE PARTIES 17
VI RECOVERY OF OPERATING COSTS
AND HANDLING OF PRODUCTION 26
VII VALUATION OF CRUDE OIL AND NATURAL GAS 29
VIII BONUS AND ASSISTANCE 32
IX PAYMENTS 33
X TITLE TO EQUIPMENT 34
XI CONSULTATION AND ARBITRATION 35
XII EMPLOYMENT AND TRAINING OF INDONESIAN PERSONNEL 36
XIII TERMINATION 37
XIV BOOKS AND ACCOUNTS AND AUDITS 39
XV OTHER PROVISIONS 40
XVI PARTICIPATION 43
XVII EFFECTIVENESS 45

EXHIBITS

“A” DESCRIPTION OF CONTRACT AREA


“B” MAP OF CONTRACT AREA
“C” ACCOUNTING PROCEDURE
“D” MEMORANDUM OF PARTICIPATION
PRODUCTION SHARING CONTRACT
BETWEEN
BADAN PELAKSANA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI
(BPMIGAS)
AND
...........................................................

This Production Sharing Contract (“CONTRACT”), is made and entered into on this 5th
day of May, 2009 by and between BADAN PELAKSANA KEGIATAN USAHA HULU
MINYAK DAN GAS BUMI (hereinafter called "BPMIGAS"), a State-Owned Legal Entity,
established under the Government Regulation No. 42/2002 with reference to Law No.
22/2001, party of the first part, and ...................................., a corporation organized and
existing under the laws of ……………(hereinafter called "CONTRACTOR") party of the
second part.
BPMIGAS and CONTRACTOR hereinafter sometimes referried to e ther individually as the
"Party" or collectively as the "Parties."
WITNESSETH
WHEREAS, all mineral oil and gas existing within the statutory mining territory of
Indonesia are national riches controlled by the State; and
WHEREAS, in accordance with Law No. 22/2001 and Government Regulation No.
35/2004 as amended by Government Regulation No. 34/2005, the Government of the
Republic of Indonesia has an “Authority to Mine” and wishes to promote the development
of the Contract Area and appoint CONTRACTOR in accelerating the exploration, and
development of the rceesosuwrithi n the Contract Area; and
WHEREAS, in accordance with Law No. 22/2001 and Government Regulation No.
42/2002, BPMIGAS is authorized to enter into this CONTRACT and to oversee Petroleum
upstream business activities carried out by CONTRACTOR in the Contract Area; and
WHEREAS, CONTRACTOR represents that it has financial ability, technical competence,
and professional skills necessary to carry out the Petroleum Operations hereinafter
described, and is willing to enter into this CONTRACT with BPMIGAS under the terms and
conditions described herein; and
NOW THEREFORE, in consideration of the mutual covenants herein contained, it is
hereby agreed as follows:
SECTION I
SCOPE AND DEFINITIONS

1.1 SCOPE
1.1.1 This CONTRACT is a cooperation agreement in the form of a Production
Sharing Contract. In accordance with the provisions herein contained,
BPMIGAS shall have and be responsible for the management of the
Petroleum Operations contemplated hereunder.
1.1.2 CONTRACTOR shall be responsible to BPMIGAS for the execution of
such Petroleum Operations in accordance with the provisions of this
CONTRACT, and is hereby appointed and constituted the exclusive
company to conduct Petroleum Operations hereunder.
1.1.3 CONTRACTOR shall provide all the financial and technical assistance,
including skills required for the execution of Petroleum Operations.
1.1.4 CONTRACTOR shall carry the risk in carrying out Petroleum Operations
and shall therefore have an economic interest in the development of the
Petroleum deposits in the Contract Area.
1.1.5 CONTRACTOR may recover any costs required to carry out Petroleum
Operations classified as Operating Costs as provided for in Section VI.
1.1.6 During the term of this CONTRACT the total production of Petroleum
achieved in the conduct of such Petroleum Operations shall be divided in
accordance with the provisions of Section Vl hereof.
1.1.7 In the case that CONTRACTOR comprises of more than one Participating
Interest Holder, then the following provisions shall apply :
(a) CONTRACTOR shall appoint one of the Participating Interest
Holders as an Operator which is authorized to execute Petroleum
Operations hereunder and represent them in communicating and
liaising with BPMIGAS, GOI and any other parties in relation to this
CONTRACT and the performance thereof;
(b) As a general rule, the Operator to be proposed to BPMIGAS shall
have the necessary skills, experience, financial capability and
qualified personnel to conduct Petroleum Operations hereunder.
(c) The appointment of Operator or its subsequent successor(s) shall be
subject to the prior written approval of BPMIGAS and BPMIGAS
shall notify GOI of such appointment. Approval of such request shall
not be unreasonably withheld, provided that the requirements in Sub-
section 1.1.7.(b) are satisfied;
(d) In addition to the responsibilities and functions of Operator referred to
in paragraph (a) of this Sub-section 1.1.7, BPMIGAS shall solely look
to Operator for the performance of CONTRACTOR under this
CONTRACT.
1.2 DEFINITIONS
For the purposes of this CONTRACT, except as expressly stated otherwise
herein, the words and terms defined in Article 1 of Law No. 22/2001, when used
herein, shall have the meaning in accordance with such definitions. In addition,
the following definitions shall apply.
1.2.1 Abandonment and Restoration Funds or AARF means the
accumulation of funds deposited in an escrow account jointly controlled by
BPMIGAS and CONTRACTOR reserved for the conduct of abandonment
and site restoration in the manner and pursuant to the procedures
described in Sub-section 5.2.6.
1.2.2 Affiliated Company or Affiliate means a company or other entity that
Controls or is Controlled by, or which is Controlled by a company or other
entity which Controls, a Party to this CONTRACT.
1.2.3 Barrel, means a quantity or unit of oil, forty-two (42) United States gallons
at the temperature of sixty (60) degrees Fahrenheit.
1.2.4 Barrel of Oil Equivalent or BOE means six thousand (6,000) standard
cubic feet of Natural Gas based on the gas having a calorific value of one
thousand (1,000) British Thermal Unit per cubic foot (BTU/ft3).
1.2.5 Budget of Operating Costs means cost estimates of all items included in
the Work Program.
1.2.6 Calendar Year or Year means a period of twelve (12) months
commencing January 1 and ending on the following December 31,
according to the Gregorian calendar.
1.2.7 Change of Control means any direct or indirect change of Control of a
Participating Interest Holder (whether through merger, sale of shares or
other equity interests, or otherwise) through a single transaction or series
of related transaction in which the Participating Interest is the only
substantive asset involved in such series of related transactions.
1.2.8 Commercial Contract Area means the first Field within the Contract Area
(other than Limited Commercial Contract Area) approved to be produced
commercially for the first time by the Minister.
1.2.9 Contract Year means a period of twelve (12) consecutive months
according to the Gregorian calendar counted from the Effective Date of
this CONTRACT or from the anniversary of such Effective Date.
1.2.10 Contract Area means the area where CONTRACTOR is appointed to
carry out Petroleum Operations, as described and outlined in Exhibits "A"
and “B" attached hereto and made part hereof, less all areas relinquished
pursuant to this CONTRACT.
1.2.11 Control means ownership directly or indirectly of at least 50% of (a) the
voting stock, if the company is a corporation issuing stock, or (b) the
controlling rights or interests, if the other entity is not a corporation. The
terms Controls and Controlled by shall be construed accordingly.
1.2.12 Crude Oil means crude mineral oil, asphalt, ozokerite and all kinds of
hydrocarbons and bitumen, both in solid and in liquid form, in their natural
state or obtained from Natural Gas by condensation or extraction.
1.2.13 Exploration Period means the exploration term of six (6) Contract Years,
commencing on the Effective Date. Such a term may be extended once for
a maximum period of 4 (four) Contract Years.
1.2.14 Exploitation Period means the part of this CONTRACT term where
exploitation activities are allowed to take place, which commences
immediately after CONTRACTOR’s proposed POD for the first field in the
Contract Area is approved by the Minister.
1.2.15 Effective Date means the date of the approval of this CONTRACT by
GOI.

1.2.16 Field means a certain part of Contract Area within which Petroleum is
produced commercially.
1.2.17 Firm Commitment means the Work Programs during the first three (3)
Contract Years, as set forth in Sub-section 4.2 of this CONTRACT, for
which CONTRACTOR is committed and obligated to complete.
1.2.18 First Tranche Petroleum or FTP means a certain portion of Petroleum
produced and saved from the Contract Area in a Calendar Year to which
BPMIGAS and CONTRACTOR are entitled to first take and receive in
each Calendar Year, before any deduction for recovery of Operating Costs
and handling of production.
1.2.19 Force Majeure means delays or failure in performance under this
CONTRACT caused by circumstances beyond the control and without the
fault or negligence of the Party affected by an event of Force Majeure that
may affect economically or otherwise the continuation of Petroleum
Operations under this CONTRACT. It is understood that an event of Force
Majeure shall include but not restricted to acts of God or the public
enemy, perils of navigation, fire, hostilities, war (declared or undeclared),
blockade, labor disturbances, strikes, riots, insurrections, civil commotion,
quari ant ne, restrictions, epidemics, storm, tsunami, earthquakes, or
accidents.
1.2.20 Foreign Exchange means currency other than that of the Republic of
Indonesia but acceptable to GOI, BPMIGAS and CONTRACTOR.
1.2.21 GOI means the Central Government of the Republic of Indonesia
represented by the ministry which has the authority in the oil and gas
sector.
1.2.22 Grids mean graticular sections defined by meridians of longitude
(reference the meridian of Greenwich) and by parallels of latitude
(reference the Equator).
1.2.23 Gross Negligence or Willful Misconduct means :
any act or omission by CONTRACTOR’s senior management or senior
supervisory personnel which (i) was intended to cause or which was in
reckless disregard of, or wanton in indifference to, the harmful
consequences such person, knew or should have known, such act or
omission would have on the safety or property of another person or entity or
(ii) seriously deviates from a diligent course of action and which is in
reckless disregard of or indifference to harmful consequences.
1.2.24 Indonesia Income Tax Law means the applicable Indonesian Income
Tax Law including all of its implementing regulations as of the Effective
Date.
1.2.25 Indonesian National Company means a limited liability company (PT)
established and existing in accordance with Indonesian laws and
regulations which domiciles and operates in Indonesia and is fully owned
by Indonesian citizens and/ or other Indonesian national company (ies).
1.2.26 Indonesian Participant Interest means a ten percent (10%) Participating
Interest in this CONTRACT that is obligated to be offered by
CONTRACTOR to a Local Government Owned Company designated by
the Local Government or Indonesian National Company designated by the
Minister as referred to in Section 16.1, after the first POD in the Contract
Area proposed by CONTRACTOR is approved by the Minister.
1.2.27 Limited Commercial Contract Area means a certain part of the Contract
Area where a Field within which is approved to be produced commercially
for the first time by the Minister, whereby CONTRACTOR may recover
Operating Costs incurred for such approved Field only. This definition is
only related to unitization as detailed under Sub-section 2.3.
1.2.28 Local Government Owned Company or LGOC means a company
established and existing in accordance with Indonesian laws and
regulations which domiciles and operates in Indonesia and is owned by
the Local Government(s) of the Republic of Indonesia.
1.2.29 Minister
sector. means the minister who has the authority in the Oil and Gas
1.2.30 Natural Gas means all associated and/or non-associated gaseous
hydrocarbons produced from a well, including wet mineral gas, dry mineral
gas, casing head gas and residue gas remaining after the extraction of
liquid hydrocarbons from wet gas.
1.2.31 Net Realized Price FOB means the realized price of Crude Oil as
determined by GOI
1.2.32 Operating Costs means expenditures made and obligations incurred in
carrying out Petroleum Operations hereunder, determined in accordance
with the Accounting Procedure attached hereto and made a part hereof as
Exhibit "C".
1.2.33 Operator means the CONTRACTOR or, in the case CONTRACTOR
comprises of more than one Participating Interest Holder, one of the
Participating Interest Holders appointed by the other Participating Interest
Holder(s) to represent them under this CONTRACT.
1.2.34 Participating Interest means the undivided rights, interests and
obligations of CONTRACTOR in and under this CONTRACT. For
avoidance of doubt, if CONTRACTOR comprises more than one
Participating Interest Holder, each of such Participating Interest Holders
constituting CONTRACTOR shall have the rights and interests hereunder
in the same percentage share of the Participating Interest it holds under
this CONTRACT.
1.2.35 Participating Interest Holder, means CONTRACTOR, or in the case that
CONTRACTOR comprises more than one Business Entity (ies) and or
Permanent Establishment(s), those Business Entity (ies) and/or
Permanent Establishment(s) which holds certain percentage of
Participating Interest, as approved by BPMIGAS.
1.2.36 Petroleum means both or either of Crude Oil and Natural Gas.
1.2.37 Petroleum Operations means all exploration, development, extraction,
production, transportation, marketing, abandonment and site restoration
operations authorized or contemplated under this CONTRACT.
1.2.38 Plan of Development or POD means a plan proposed by CONTRACTOR
for the development of a field in which Petroleum is discovered in a
quantity and quality that may be produced commercially, the plan of which
describes in reasonable detail all information required by BPMIGAS,
including, inter alia, the estimated quantities of reserves and production of
Petroleum, expenditures required to develop the field in question and
production costs of Crude Oil and/ or Natural Gas, costs for abandonment
and restoration required for post mining operations including its funding
program, plan of utilization of the Crude Oil and/ or Natural Gas to be
produced, method and process of the exploitation of the Crude Oil and/ or
Natural Gas, the estimated amount of GOI’s revenues resulting from such
development and the plan in utilizing Indonesian national manpower and
domestic goods and services. The POD proposed by CONTRACTOR for
the development of Petroleum discovery in the first field within the
Contract Area shall be submitted to BPMIGAS for the approval of the
Minister, whilst the POD for the development of Petroleum discovery in the
subsequent field(s) shall be submitted to BPMIGAS for BPMIGAS
approval, based on consideration of all pertinent operating and financial
data made available by CONTRACTOR.
1.2.39 Point of Export means the point of delivery contemplated by Law No.
22/2001, which is the outlet flange of the loading arm after final sales
meter at the delivery terminal, or, some other point(s) mutually agreed by
the Parties.
1.2.40 Work Program means a statement itemizing the Petroleum Operations to
be carried out in the Contract Area as set forth in Section IV.
SECTION II
TERM AND COMMERCIALITY OF CONTRACT AREA

2.1 TERM OF CONTRACT


2.1.1 Subject to the following provisions of this CONTRACT, the term of this
CONTRACT shall be thirty (30) Contract Years as from the Effective Date.
The term of this CONTRACT consists of Exploration Period and
Exploitation Period.
2.1.2 The initial term of Exploration Period shall be six (6) Contract Years as
from the Effective Date. At the end of the initial term of Exploration Period,
CONTRACTOR shall have the option to request a onetime extension to
BPMIGAS for a maximum period of four (4) Contract Years, and the
approval of such request shall not be unreasonably withheld, provided that
CONTRACTOR shall have fully complied with the requirements of
relinquishment of Contract Area referred to in Section III, and fully
performed its Firm Commitment referred to in Sub-section 4.2 of Section
IV hereof.
2.1.3 If at the end of the initial six (6) Contract Years of the Exploration Period
or, as the case may be, the approved Contract Years extension thereto,
no Petroleum in commercial quantities is discovered in the Contract Area,
then without prejudice to Section XIII, Sub-sections 13.6 (b) hereof, this
CONTRACT shall automatically terminate forthwith in its entirety, and
CONTRACTOR shall relinquish all remaining Contract Area to GOI
through BPMIGAS immediately after the receipt of BPMIGAS notification.
2.2 COMMERCIALITY OF CONTRACT AREA

2.2.1 If within the Exploration Period, Petroleum is discovered in the Contract


Area in a quantity and quality which CONTRACTOR has reasonably
determined can be produced commercially, CONTRACTOR shall
immediately report such discovery to BPMIGAS and GOI, for BPMIGAS
evaluation and written acknowledgement. Such report shall specify in
reasonable detail the estimated amount of the reserves and quality of the
Petroleum, supported with the relevant data, such as certificate regarding
the quantity and quality of Petroleum reserves discovered by
CONTRACTOR. BPMIGAS will not unreasonably withhold the delivery of
its acknowledgement letter to CONTRACTOR.
2.2.2 Upon receipt of BPMIGAS acknowledgement letter of such report of
discovery, CONTRACTOR shall, as soon as practicable, but in no case
shall exceed three (3) Years thereafter, submit a proposed Plan of
Development or POD for the field in which Petroleum is discovered for the
first time, to BPMIGAS for evaluation. BPMIGAS will invite
CONTRACTOR and confer in good faith for clarification of any information
and data included in the POD. BPMIGAS shall convey the result of its
evaluation and its recommendation to the Minister for POD approval. If
during such three (3) Years time limit, CONTRACTOR does not submit a
proposed POD and the Exploration Period has been expired, then this
CONTRACT shall automatically terminate.
Notwithstanding the above, CONTRACTOR may request to BPMIGAS a
maximum two (2) Years extension to the foregoing three (3) Years time
limit, in relation to:
(i) the discovery of hydrocarbon in frontier or deep water areas, or other
certain areas the development of which, in BPMIGAS’ judgment, are
technically difficult; and/or
(ii) the discovery of Natural Gas field (except field containing associated
Natural Gas), the sales and purchase commitment for which cannot
be agreed by CONTRACTOR, having negotiated in good faith, and
buyer(s) within such (3) Years time limit.
2.2.3 If the Minister approves CONTRACTOR’s proposed POD for the first field
in the Contract Area, such POD approval shall constitute the declaration of
commerciality of the entire Contract Area and CONTRACTOR shall
commence to develop the field in which the Petroleum is discovered.
If prior to the expiration the Exploration Period, CONTRACTOR has
submitted to BPMIGAS a notification as provided for in Sub-section 2.2.1
of this CONTRACT, notwithstanding Sub-section 2.1.3 and Sub-section
2.2.2, this CONTRACT shall not terminate on the expiration of the
Exploration Period or its extension, until and unless CONTRACTOR
receives a letter from BPMIGAS notifying that either: (i) BPMIGAS does
not agree to issue the acknowledgment of discovery reported by
CONTRACTOR for such first field in question, or (ii) Minister does not
approve CONTRACTOR’s proposed POD for the first field in the Contract
Area.
In the case that CONTRACTOR receives such BPMIGAS notification
letter, this CONTRACT shall automatically terminate on the date of receipt
of such BPMIGAS notification letter, and CONTRACTOR shall
immediately relinquish all remaining Contract Area to GOI through
BPMIGAS.
2.2.4 In the event that CONTRACTOR which has received a POD approval to
develop its first field in the Contract Area fails to conduct Petroleum
Operations for the development of such first field within a maximum
period of five (5) consecutive Years (meaning sixty (60) months) after the
end of the Exploration Period, in accordance with the schedules proposed
in the approved POD , then unless the Parties otherwise agree this
CONTRACT shall automatically terminate on the expiration date of such
five (5) Years time limit.
BPMIGAS shall notify CONTRACTOR of the expiration of such five (5)
Years time limit and the expiration of this CONTRACT. Upon receipt of
such notification letter, CONTRACTOR shall be obliged to relinquish all
remaining Contract Area to GOI through BPMIGAS.
2.2.5 An exception to the foregoing five (5) Years time limit may be made in the
event of development of Natural Gas field. If it is anticipated that during
such five (5) Years time limit CONTRACTOR shall have not successfully
entered into any commercial gas sales agreement, at the request of
CONTRACTOR, BPMIGAS may extend such five (5) Years time limit to a
reasonable period(s) of time to be determined by BPMIGAS. If at the end
of such time limit extension, CONTRACTOR remains unable to enter into
a commercial gas sales agreement, the Parties shall confer in good faith
to determine all reasonable steps, including the possibility of not granting
CONTRACTOR with additional extension. If eventually BPMIGAS
determines not to grant any additional extension to CONTRACTOR,
BPMIGAS shall advise CONTRACTOR of its decisaion nd the expiration
of the term of this CONTRACT, and CONTRACTOR shall, without
prejudice to CONTRACTOR’s obligations to fulfill any of its outstanding
obligations under this CONTRACT, be obliged to relinquish remaining
Contract Area to GOI through BPMIGAS.

2.3 LIMITED COMMERCIAL CONTRACT AREA


2.3.1 Limited Commercial Contract Area Due To Unitization

If during the Exploration Period Petroleum is discovered in a field adjacent


to the Contract Area which straddles in the Contract Area which in the
judgment of BPMIGAS, such field cannot be produced commercially by
the Contract Area on its own, other than through unitization of the field
with the part of such field located substantially in other contract area
adjacent to the Contract Area, then if the POD of such field is approved by
the Minister, the part of the field located in the Contract Area will be
declared as a Limited Commercial Contract Area. Upon the
commencement of commercial production of Petroleum from such Limited
Commercial Contract Area, CONTRACTOR shall have the right to the
Petroleum produced from and to recover Operating Costs incurred for the
conduct of Petroleum Operations within the Limited Commercial Contract
Area only.
2.3.2 Consequences of Declaration of Limited Commercial Contract Area
Notwithstanding the other provisions of this CONTRACT which set out
otherwise, to the extent that the circumstances described in Sub-Section
2.3.1 above occurred, the following provisions shall apply:
(a) CONTRACTOR shall not be entitled to recover Operating Costs
incurred for the conduct of Petroleum Operations outside the Field
within Limited Commercial Contract Area from any revenue derived
from the Field declared as Limited Commercial Contract Area; and
(b) If until the expiration of the Exploration Period or its extension under
this CONTRACT no Petroleum is discovered from other field within
the Contract Area (outside the Limited Commercial Contract Area) in
a quantity which may be produced commercially, then the Limited
Commercial Contract Area shall be carved out and separated from
the original Contract Area, and shall be treated as producing acreage
of the Contract Area, where the terms and conditions of this
CONTRACT shall continue to apply, whilst the remaining
opfortion the Contract Area outside the Limited Commercial Contract
Area shall be relinquished to GOI through BPMIGAS.
2.4 SUBSEQUENT PETROLEUM DISCOVERY
2.4.1 Any Petroleum subsequently discovered in the Contract Area shall be
immediately reported to BPMIGAS and GOI for BPMIGAS evaluation.
2.4.2 Upon receipt of the foregoing report, if BPMIGAS considers that such
discovery may be produced commercially, BPMIGAS shall issue an
acknowledgement letter of such commercial discovery. Following
agreement with CONTRACTOR of such commercial discovery,
CONTRACTOR shall, as soon as practicable, but consistent with the
deadlines set forth in Sub-section 2.2.2, submits a proposed POD of the
field in which the Petroleum is discovered to BPMIGAS, for approval. In
the event CONTRACTOR fails to submit the POD within the prescribed
period CONTRACTOR shall be obliged to relinquish a portion of the
Contract Area corresponding to the surface area where such field is
located to GOI through BPMIGAS.
SECTION III
RELINQUISHMENT OF AREAS

3.1 On or before the end of the initial three (3) Contract Years as from the Effective
Date, CONTRACTOR shall relinquish ten percent (10%) of the original total
Contract Area.

3.2 If at the end of the third (3rd) Contract Year the Firm Commitment has not been
completed by CONTRACTOR pursuant to Sub-section 4.2 of Section IV, upon
consideration and evaluation of BPMIGAS, CONTRACTOR shall be obliged to
relinquish an additional fifteen percent (15%) of the original total Contract Area at
the end of the third Contract Year.

3.3 On or before the end of the sixth (6th) Contract Year CONTRACTOR shall
relinquish additional portion(s) of Contract Area so that the area retained thereafter
shall not be in excess of twenty percent (20%) of the original total Contract Area.

3.4 Notwithstanding Sub-section 3.3 above, on or before the end of the sixth (6 th)
Contract Year, if any part of the Contract Area corresponding to the surface area
in which Petroleum has been discovered, is greater than twenty percent (20%) of
the original Contract Area, then CONTRACTOR shall not be obliged to relinquish
such excess to BPMIGAS for the purpose of the economic development of the
Contract Area.

3.5 With regard to the portion of the Contract Area remaining after the mandatory
relinquishments as set forth in Sub-sections 3.1, 3.2 and 3.3 above, BPMIGAS
and CONTRACTOR shall maintain a reasonable exploration effort. In respect of
any part of such remaining unexplored portion of the Contract Area for which
CONTRACTOR does not during two (2) consecutive Years conduct any
exploration program, BPMIGAS shall, after giving a reminder to CONTRACTOR,
by written notice to CONTRACTOR require CONTRACTOR to choose either to: (i)
conduct an exploration program within six (6) months after receipt of such
reminder and thereafter immediately submit and obtain an approval of POD or (ii)
relinquish such part of the Contract Area.
In the event that CONTRACTOR fails to fulfill its obligation provided for in (i) of this
Sub-section 3.5, CONTRACTOR shall be obliged to relinquish such part of the
Contract Area.

3.6 Upon thirty (30) days written notice to BPMIGAS, prior to the end of the second
Contract Year and prior to the end of any succeeding Contract Year,
CONTRACTOR shall have the right to relinquish any portion of the Contract Area,
and such portion shall then be credited to that portion of the Contract Area which
CONTRACTOR is next required to relinquish under the provisions of Sub-sections
3.1, 3.2 and 3.3 hereof.

3.7 CONTRACTOR shall advise BPMIGAS in advance of the date of relinquishment


of the portion to be relinquished. For the purpose of such relinquishment,
CONTRACTOR and BPMIGAS shall consult with each other regarding the shape
and size of each individual portion of the areas being relinquished, provided,
however, that so far as reasonably possible, such portion shall each be of
sufficient size and convenient shape to enable Petroleum Operations to be
conducted thereon.

3.8 The portion of the Contract Area to be relinquished shall be in a number of Grids in
accordance with longitude and latitude of spheroids.

3.9 CONTRACTOR’s non-compliance with the relinquishment requirements specified


in Sub-sections 3.1, 3.2 (if applicable) and/or 3.3 may be considered as a ground
for BPMIGAS not to approve CONTRACTOR’s request for extending the initial
term of the Exploration Period referred to in Sub-section 2.1.2.
SECTION IV
WORK PROGRAM AND BUDGET

4.1 CONTRACTOR shall commence Petroleum Operations hereunder not later than
six (6) months after the Effective Date.
4.2 The Work Program to be carried out by CONTRACTOR in conducting exploration
operations pursuant to the terms of this CONTRACT during the first three (3)
Contract Years after the Effective Date and in conducting Petroleum Operations
pursuant to the terms of this CONTRACT during the next three (3) Contract Years
and the projected estimated Work Program and Budget of Operating Costs in
respect of each of such Contract Years is as follows:

CONTRACT ACTIVITY BUDGET


YEARS DESCRIPTION
AMOUNT
AMOUNT UNIT
UNIT

G and G US.$
Seismic 2D
KM US.$
Acquisition and processing
Seismic 3D
KM2 US.$
Acquisition and processing
First Exploratory well Well US.$
Seismic 2D
KM US.$
Acquisition and processing
Seismic 3D
KM2 50 US.$
Acquisition and processing
Exploratory well Well US.$

G and G US.$
Seismic 2D
Acquisition and processing KM US.$
Third Seismic 3D
Acquisition and processing KM2 US.$
Exploratory well Well 1 US.$

G and G US.$
Seismic 2D
KM US.$
Acquisition and processing
Fourth Seismic 3D
KM2 50 US.$
Acquisition and processing
Exploratory well Well US.$

G and G US.$
Seismic 2D
KM US.$
Acquisition and processing
Fifth Seismic 3D
KM2 US.$
Acquisition and processing
Exploratory well Well US.$
G and G US.$
Seismic 2D
KM US.$
Acquisition and processing
Sixth Seismic 3D
KM2 US.$
Acquisition and processing
Exploratory well Well 1 US.$

Subject to the provisions of this CONTRACT, during the first three (3) Contract
Years, CONTRACTOR shall carry out the Work Program as set out above in
respect of each of those Years. The work activity projected during the first three
(3) Contract Years shown above will be called the “Firm Commitment”.
If during any Contract Year CONTRACTOR performs less work than required in
such Contract Year, CONTRACTOR may, with BPMIGAS’s consent, carry
forward such work not performed in such Contract Year and add it to the work to
beformper ed in the following Contract Years without prejudice to
CONTRACTOR’s rights and obligations hereunder.
If during any Contract Year CONTRACTOR performs more work than required to
be so performed, CONTRACTOR may subtract such excess from the work to be
so performed by CONTRACTOR during the succeeding Contract Years.
4.3 CONTRACTOR shall submit a performance bond for the benefit of GOI c/o the
Director General of Oil and Gas for the sum of one million and five hundred
thousand United State Dollars (US$ 1,500,000) related to activity as set forth in
clause 4.2 above on the first three Contract Years. Such submission shall be
made not later than the day of the signing of this CONTRACT.

The value of the performance bond shall be reduced annually by deducting the
amount included in CONTRACTOR’s annual Work Program and Budget,
approved by BPMIGAS.
4.4 In the event CONTRACTOR requests for an extension of the Exploration Period
after the sixth Contract Year as set forth in Sub-section 2.1.2 of Section II,
(a) such an extension request shall be accompanied by CONTRACTOR’s
proposed annual exploration program up to the end of the proposed
extension of Exploration Period to BPMIGAS; and

(b) The proposed exploration program referred to in paragraph (a) of this Sub-
section 4.4 shall include the Work Program which has not been completed
during the preceding Contract Years and additional exploration program to be
carried out during the extension of the Exploration Period.
4.5 In the case that BPMIGAS approves CONTRACTOR’s proposed extension of
Exploration Period as referred to in Sub-section 4.4 above more than two (2)
Years , if at the end of the eight (8th) Contract Year CONTRACTOR failed to
complete the Work Program proposed for the 7th and 8th Contract Years which may
include Work Programs not completed during the first six (6) Contract Years and
carried on to be completed until the end of the eight (8th) Contract Year, then
notwithstanding anything to the contrary, this Contract shall
automaticamlliy ter nate forthwith in its
entirety, and CONTRACTOR shall
immediately relinquish
all remaining Contract Area to GOI through BPMIGAS immediately after the
receipt of BPMIGAS notification.

4.6 At least three (3) months prior to the beginning of each Calendar Year or at such
other time as otherwise mutually agreed by the Parties, CONTRACTOR shall
prepare and submit for approval to BPMIGAS a Work Program and Budget of
Operating Costs for the Contract Area setting forth the Petroleum Operations
which CONTRACTOR proposes to carry out during the ensuing Calendar Year.
4.7 Should BPMIGAS wish to propose a revision as to certain specific features of said
Work Program and Budget of Operating Costs, it shall within thirty (30) days after
receipt thereof notify CONTRACTOR specifying in reasonable detail its reasons
therefore. Promptly thereafter, the Parties will meet and endeavor to agree on the
revisions proposed by BPMIGAS. In any event, any portion of the Work Program
as to which BPMIGAS has not proposed a revision shall insofar as possible be
carried out as prescribed herein.
4.8 It is recognized by the Parties that the details of a Work Program may require
changes in the light of existing circumstances and nothing herein contained shall
limit the right of CONTRACTOR to make such changes, provided they do not
change the general objective of the Work Program, nor increase the expenditures
in the approved Budget of Operating Costs.
4.9 It is further recognized that in the event of emergencies or extra ordinary
circumstances requiring immediate actions, either Party may take all actions it
deems proper or advisable to protect its interests and those of its respective
employees and any costs so incurred shall be included in the Operating Costs.
4.10 BPMIGAS agrees that the approval of a proposed Work Program and Budget of
Operating Costs will not be unreasonably withheld.
SECTION V
RIGHTS AND OBLIGATIONS OF THE PARTIES

5.1 Subject to the provisions of Sub-sections 5.2.7 and 5.2.8 of Sub-section 5.2
herein below:
5.2 CONTRACTOR shall:

5.2.1 advance all necessary funds and purchase or lease all equipment,
supplies and materials required to be purchased or leased with either
Rupiah or Foreign Exchange pursuant to the Work Program;

5.2.2 furnish all technical aid, including foreign personnel, required for the
performance of the Work Program, payment whereof requires Foreign
Exchange;
5.2.3 furnish such other funds for the performance of the Work Program that
requires payment in Rupiah or Foreign Exchange, including payment to
foreign third parties that perform service as a contractor to
CONTRACTOR;
5.2.4 Be responsible for the preparation and execution of the Work Program,
which shall be implemented in a workmanlike manner and by appropriate
scientific methods. In addition, CONTRACTOR shall, in conducting
Petroleum Operations, implement the occupational health, safety &
environmental protection standards applicable in oil and gas industry, take
all reasonable and necessary precautions so as to prevent injury to or
death of person and damage to environment and property, and comply
with all applicable safety and environmental laws and regulations;
5.2.5 submit to BPMIGAS and maintain regular reports, on the performance of
this CONTRACT, including its operational, technical, safety and financial
aspects thereof;
5.2.6 (a) conduct an environmental baseline assessment at the beginning of
CONTRACTOR’s activities; and thereafter conduct any obligation
pursuant to applicable law requirements, such as analysis of
environmental impact (AMDAL);
(b) take the necessary precautions for protection of ecological systems,
navigation and fishing and shall prevent extensive pollution of the
area, sea or rivers and other as the direct result of Petroleum
Operations undertaken under the Work Program;
(c) subject to the provisions of paragraphs (e) and (f) of this Sub-section
5.2.6, upon the relinquishment of part of the Contract Area, or
abandonment of any field, be responsible for the removal of all
equipment and installations from such part of the Contract Area that
is relinquished in a manner acceptable to BPMIGAS and GOI, and
perform all necessary site restoration activities in accordance with
the applicable Government regulations to prevent hazards to human
life and property of others or environment; provided however, if third
party appointed by GOI takes over any Contract Area or any field
prior to such relinquishment or abandonment, CONTRACTOR shall
be released from its obligations for the removal of the equipment
and installations and performance of the necessary site restoration
activities of the field in such Contract Area. In such event the
CONTRACTOR’s right of control and utilization of all the
accumulated fund reserved for the removal and restoration
operations for such Contract Area deposited in the escrow account
referred to in paragraph (e) of this Sub-.2section .6 shall be
5 transferred to BPMIGAS.
Thereafter, BPMIGAS shall immediately transfer such
CONTRACTOR’s right of control and utilization of such accumulated
fund to the third party appointed by GOI as AARF for financing the
eventual abandonment and site restoration by the third party
appointed by GOI to take over the Contract Area or field referred to
above;
(d) Include in the annual Budget of Operating Costs, an estimate of the
anticipated abandonment and site restoration costs for each
exploratory well in the Work Program. All expenditures incurred by
CONTRACTOR in the abandonment of all such wells and restoration
of their drill sites shall be treated as Operating Costs in accordance
with the Accounting Procedure attached hereto as Exhibit "C";
(e) Include with requisite Plan of Development for each commercial
discovery, an abandonment and site restoration program required
after relinquishment of any part of Contract Area or abandonment of
any Field together with a funding procedure for such program. The
amount of monies estimated to be required for such abandonment
and restoration program will be called “Abandonment and
Restoration Funds” or “AARF” and shall be determined each Year
in conjunction with the Budget of Operating Costs for the Plan of
Development and Work Program and Budget of Operating Costs
and be reviewed in the subsequent Years in accordance with Exhibit
C. All such amount of money which constitutes the AARF shall be
deposited in an escrow account controlled by, and in a prime bank
operated in Indonesia acceptable to, CONTRACTOR and
BPMIGAS, provided that the implementation of which shall be in
accordance with the applicable regulations. Any amount deposited in
the escrow account for the AARF shall be treated as Operating Costs
in accordance with the Accounting Procedure attached hereto as
Exhibit "C", and any interest earned there from shall become part of
the AARF;
(f) notwithstanding the foregoing, if for any reason CONTRACTOR
(whether existing or its permitted assignees or transferees) is
required by law or otherwise to remove the equipment and
installations and perform the necessary abandonment and site
restoration activities of the field in any part of Contract Area prior to
the termination of this CONTRACT, CONTRACTOR may, with the
approval of GOI through BPMIGAS, withdraw an amount of AARF
required to conduct such abandonment and site restoration activities
from the escrow account, which approval shall not be unreasonably
withheld;
(g) without prejudice to paragraph (c) of Sub-section 5.2.6, upon the
expiration or termination of this CONTRACT, CONTRACTOR shall
be responsible for conducting the abandonment and site restoration
of the Contract Area, and for such purposes, CONTRACTOR may,
with the approval of GOI through BPMIGAS, withdraw an amount of
AARF required to conduct such abandonment and site restoration
activities from the Escrow Account, which approval shall not be
unreasonably withheld. In the event the remaining amount of AARF
does not suffice to finance the required abandonment and
restoration, CONTRACTOR shall, at its own account and expenses,
be responsible and liable for completing the abandonment and
restoration pursuant to the requirement of the applicable laws and
regulation;
5.2.7 have the right to sell, assign, transfer, convey or otherwise dispose of all or
any part of its share of Participating Interest under this CONTRACT to
any Affiliated Companies upon the prior written consent of BPMIGAS and
GOI, which consent shall not be unreasonably withheld, provided that any
assignee to whom such Participating Interest is assigned under any
provision of this CONTRACT shall not hold any Participating Interest in
any other Production Sharing Contract or any other form of Cooperation
Contract at any given time;
5.2.8 have the right to sell, assign, transfer, convey or otherwise dispose of all or
any part of its share of Participating Interest under this CONTRACT to
any non-Affiliated Companies upon the prior written consent of BPMIGAS
and GOI, which consent shall not be unreasonably withheld, provided that
any assignee to whom such Participating Interest is assigned under any
provision of this CONTRACT shall not hold Participating Interest in any
other Production Sharing Contract or any other form of Cooperation
Contract at any given time; and provided further that during the first three
(3) Contract Years, CONTRACTOR shall remain a majority holder
(greater than 50%) of the Participating Interest and shall hold the
operatorship of this CONTRACT;
5.2.9 undertake to notify and obtain the approval of BPMIGAS and GOI prior to
any proposed direct or indirect Change of Control, which approval shall not
be unreasonably withheld provided that CONTRACTOR shall continue to
meet the qualifications as CONTRACTOR and to be fully liable in
executing Petroleum Operations and the approved Work Program and
Budget of Operating Costs under this CONTRACT;

5.2.10 any change of operatorship or Change of Control shall be executed


without making any major modification of any existing standard, method,
system, technology which may result in any material additional costs and
expenses. CONTRACTOR shall not recover such material additional
costs and/ or expenses, unless CONTRACTOR can demonstrate
that any change proposed by CONTRACTOR shall improve
efficiency and effectiveness and reduce overall Operating Costs; and

such changes have been approved in writing by BPMIGAS before the


implementation thereof;
5.2.11 retain control of all leased property paid for with Rupiah and/or Foreign
Exchange and brought into Indonesia, and be entitled to freely remove the
same from Contract Area;
5.2.12 have the right of ingress to and egress from the Contract Area and to and
from facilities wherever located at all times;
5.2.13 have the right to use and have access through BPMIGAS, and GOI shall
furnish all data and information of geological, geophysical, drilling, well,
production in the Contract Area held by GOI. All costs incurred in obtaining
such data and information shall be provided by CONTRACTOR, and shall
be included in Operating Costs;
5.2.14 submit through BPMIGAS to GOI copies of all such original geological,
geophysical, drilling, well, and production data resulting from the
Petroleum Operations conducted in the Contract Area and other data and
report as it may compile during the term hereof;
5.2.15 submit the original data as set forth in Sub-section 5.2.14 to GOI through
BPMIGAS at the time when CONTRACTOR relinquish all or a part of
Contract Area, and CONTRACTOR may retain copies of the original data
subject to approval by GOI;

5.2.16 prepare and carry out plans and programs for industrial training and
education of Indonesians for all job classifications with respect to
Petroleum Operations contemplated hereunder;
5.2.17 have the right during the term hereof to freely lift, dispose of and export its
share of Crude Oil, and retain abroad the proceeds obtained there from;
5.2.18 appoint an authorized representative with respect to this CONTRACT, who
shall have an office in Jakarta;
5.2.19 after commercial production commences, fulfill its obligation towards the
supply of the domestic market .CONTRACTOR agrees to sell and deliver
to GOI a portion of the share of Crude Oil, and to deliver and sell to
domestic gas buyers, a portion of the share of Natural Gas, to which
CONTRACTOR is entitled pursuant to Sub-sections 6.2.3 and 6.3.2 of
Section VI calculated for each Year as follows:
i. For Crude Oil:
(a) Compute twenty five percent (25%) of CONTRACTOR’s
entitlement as provided under Sub-section 6.2.3 of Section VI
hereof multiplied by total quantity of Crude Oil produced from
the Contract Area;
(b) The price at which such Crude Oil be delivered and sold under
this Sub-section 5.2.19 shall be twenty five percent (25%) of the
price determined under Sub-section 6.2.2 of Section VI hereof,
and CONTRACTOR shall not be obligated to transport such
Crude Oil beyond the Point of Export but upon request
CONTRACTOR shall assist in arranging transportation and
such assistance shall be without costs or risk to
CONTRACTOR;

(c) In the case that the recoverable Operating Costs exceed the
total sales proceeds from Crude Oil produced and saved
hereunder after being deducted by the First Tranche Petroleum,
the price at which such Crude Oil be delivered and sold under
this Sub-section 5.2.19 shall be the price determined under
Sub-section 6.2.2 of Section VI hereof;
(d) Notwithstanding the foregoing, for the period of five (5)
consecutive Years (meaning sixty (60) months) starting the
month of the first delivery of Crude Oil produced and saved
from each new Field in the Contract Area, the fee per Barrel for
the quantity of Crude Oil supplied to the domestic market from
each such Field shall be equal to the price determined in
accordance with Section VI hereof for Crude Oil from such Field
taken for the recovery of Operating Costs. The proceeds in
excess of the aforesaid twenty five percent (25%) shall
preferably be used to assist financing of continued exploration
efforts by CONTRACTOR in the Contract Area or in other areas
of the Republic of Indonesia if such opportunity exists. In case
no such opportunity can be demonstrated to exist in
accordance with good oil field practices, CONTRACTOR shall
be free to use such proceeds at its own discretion;
ii. For Natural Gas:

For every new reservoir of Natural Gas discovered in the period


following the Effective Date which can be produced commercially,
CONTRACTOR shall fulfill its obligation towards the supply of the
domestic market as set out below.
(a) Upon the discovery of a new reservoir of Natural Gas following
the Effective Date, CONTRACTOR shall notify GOI regarding
such discovery;
(b) Following such notification as stipulated in paragraph (a) above
the Parties shall agree on the quantity of proven reserves of
Natural Gas in the discovered reserves;
(c) Within the period of one (1) Year following agreement by the
Parties on the quantity of proven reserves as stipulated in (b)
above, GOI shall give the opportunity for domestic buyer to
purchase such Natural Gas as calculated in Sub-section 5.2.19
(ii)(g);
(d) Not later than three (3) months following the expiration of one
(1) Year period stipulated in paragraph (c) above, GOI shall
notify CONTRACTOR concerning the condition of domestic
market demand;
(e) In case that in the period as stipulated in paragraph (d) above, GOI
notifies CONTRACTOR of the existence of potential domestic gas
buyer, CONTRACTOR shall enter into negotiations with such
potential domestic gas buyer for the sale of the domestic market
quantity as stipulated in this Sub- section 5.2.19;
(f) In case that in the period as stipulated in paragraph (d) above GOI
does not notify CONTRACTOR of the existence of potential
domestic gas buyer or the negotiation as stipulated in paragraph (e)
above fail, CONTRACTOR shall request the approval of GOI to
market and sell the domestic market quantity of natural gas in the
international market;
(g) The quantity of Natural Gas which CONTRACTOR shall be
obligated to supply for the consumption of domestic market shall
be calculated as follows:
(i) Computing twenty five percent (25%) of the quantity of
Natural Gas proven reserves in the newly discovered
reservoir in the Contract Area;
(ii) Multiply the amount stipulated in (i) with the percentage of
CONTRACTOR’s entitlement provided under Sub-section
6.3.2 of Section VI hereof.
CONTRACTOR shall not be obligated to transport such Natural Gas
beyond the Point of Export but upon request of BPMIGAS,
CONTRACTOR shall assist in arranging transportation and such
assistance shall be without costs or risk to CONTRACTOR;
5.2.20 Notwithstanding the foregoing, CONTRACTOR recognizes GOI policy to
at any time satisfy domestic consumption to its maximum. The Parties
however agree that such policy shall not be implemented as to prevent or
impede CONTRACTOR from fulfilling its obligations pursuant to any
existing commitment/agreement to sell Natural Gas to a third party; or to
materially erode the agreed economic of the gas project;

5.2.21 Give preference to such goods and services, which are produced in
Indonesia or rendered by Indonesian nationals, provided such goods and
services are offered at equally advantageous conditions with regard to
quality, price, availability at the time and in the quantities required;
5.2.22 Furnish such other funds and be responsible to conduct a community
development programs relating to the community surrounding and/or
adjacent to the Contract Area during the term of this CONTRACT. Subject
to Exhibit C, the expenditure required for performing such development
programs shall be for the account of CONTRACTOR;
5.2.23 severally be subject to and pay to the Government of the Republic of
Indonesia the income tax and the final tax on profits after tax deduction if
applicable, imposed on it pursuant to applicable Income Tax Law, and
comply with the requirements of the tax law in particular with respect to
filing of returns, assessment of tax, and keeping and showing of books
and records;
5.2.24 Comply with all applicable laws of the Republic of Indonesia. It is also
understood that the execution of the Work Program shall be exercised so
as not to conflict with obligations imposed on Government of the Republic
of Indonesia by international laws;

5.2.25 not disclose any geological, geophysical, petrophysical, engineering, well


logs and completion, status reports and any other data as CONTRACTOR
may compile during the term hereof to third parties without GOI’s written
consent. This sub- section shall survive the life of this CONTRACT for the
period of time pursuant to the applicable laws and regulations; and
5.2.26 Secure and maintain sufficient insurance during the term of this
CONTRACT, including on all facilities, materials, equipment’s, supplies,
Petroleum produced and kept in storage before delivery. Without
prejudice to the right of the insurance companies to reinsure the risks to
reputable international re-insurance companies, all policies for such
insurance shall be affected with reputable insurers established and doing
business in Indonesia on terms and conditions as BPMIGAS may
approve, which approval shall not be unreasonably withheld. The policy
shall provide that BPMIGAS is also named as co-insured. CONTRACTOR
shall obtain waivers of subrogation in favor of GOI and BPMIGAS and
their respective officers, directors, employees, servants, agents, consultant
and appointed representatives.
5.3 BPMIGAS shall:

5.3.1 Have and be responsible for the management of the operations


contemplated hereunder, however, BPMIGAS shall assist CONTRACTOR
with a view to the fact that CONTRACTOR is responsible for the Work
Program.
In performing its management function contemplated in this Sub-section
5.3.1, BPMIGAS shall have the right to review the reasonableness of the
work programs, budget, costs and expenses and the appropriateness of
any technical, methods, system, standards proposed by CONTRACTOR
in relation to POD, Work Program, and/or Budget of Operating Costs.
Notwithstanding any review made and approval granted by BPMIGAS,
CONTRACTOR shall remain responsible for the execution of Petroleum
Operations in compliance with the requirements of this CONTRACT and
Indonesian law.
5.3.2 subject to the provisions of subsequent paragraphs below and prevailing
regulations, assume and discharge import duties on materials, equipment
and supplies brought into Indonesia by CONTRACTOR in connection with
Petroleum Operations performed hereunder by CONTRACTOR, value
added tax on goods imported and actually used to conduct Petroleum
Operations; and shall reimburse CONTRACTOR for value added tax and
tax on luxurious taxable goods and services acquired by CONTRACTOR
for the conduct of Petroleum Operations hereunder. BPMIGAS shall also
assume and discharge taxes and retribution imposed by regional
Government of the Republic of Indonesia.
BPMIGAS shall not be obliged to pay CONTRACTOR's income tax
including the final tax on profits after tax deduction nor taxes on tobaccos,
liquor, income tax of any CONTRACTOR’s contractors; income tax of any
personnel of CONTRACTOR and its contractors, and other taxes not listed
above.
In the event that pursuant to the applicable laws and regulations
CONTRACTOR is required to pay Indonesian tax(es) and retribution
described in the fairst paragr ph of this Sub-section directly,
BPMIGAS
shall reimburse such Indonesian tax and retribution payment only out of
BPMIGAS’s share of production hereunder (but excluding BPMIGAS’s
entitlement to First Tranche Petroleum referred to in Sub-section 6.4.
BPMIGAS should be consulted prior to payment of such taxes by
CONTRACTOR or by any other party on CONTRACTOR's behalf.
The foregoing provisions shall apply only if CONTRACTOR fully complies
with the requirements and procedures set forth in the prevailing
regulat.ions
With regard to this sub-section 5.3.2, Government of the Republic of
Indonesia will ensure that the terms under which the Contractor’s
obligations under this CONTRACT should apply are the current
regulations. And thereby, Government of the Republic of Indonesia will
ensure that BPMIGAS is in a position to fully execute the CONTRACT;
5.3.3 otherwise assist and expedite CONTRACTOR’s execution of the Work
Program by providing facilities, supplies and personnel including, but not
limited to, supplying or otherwise making available all necessary visas,
work permits, transportation, security protection and rights of way and
easements as may be requested by CONTRACTOR and made available
from the resources of BPMIGAS. In the event such facilities, supplies or
personnel are not readily available, then BPMIGAS shall promptly secure
the use of such facilities, supplies and personnel from alternative sources.
Expenses thus incurred by BPMIGAS at CONTRACTOR's request shall
be reimbursed to BPMIGAS by CONTRACTOR and included in the
Operating Costs. Such reimbursement will be made in United States
Dollars computed at the rate of exchange at the time of conversion.
CONTRACTOR shall advance to BPMIGAS before the beginning of each
annual Work Program a minimum amount of seventy five thousand United
States Dollars (US$ 75,000) for the purpose of enabling BPMIGAS to
meet Rupiah expenditures incurred pursuant to this Sub-section 5.3.3,
provided that the balance of any unexpended amount shall be returned to
CONTRACTOR upon termination of this CONTRACT as stipulated in
Section XIII.
If at any time during the annual Work Program period the minimum
amount advanced under this Sub-section 5.3.3 has been fully expended,
separate additional advance payment as may be necessary to provide for
the Rupiah expenses estimated to be incurred by BPMIGAS during the
balance of such annual Work Program period will be made. If any amount
advanced hereunder is not expended by BPMIGAS by the end of an
annual Work Program period, such unexpended amount shall be credited
against the minimum amount to be advanced pursuant to this Sub-section
5.3.3 for the succeeding annual Work Program period;
5.3.4 ensure that at all times during the term hereof sufficient Rupiah funds shall
be available to cover the Rupiah expenditure necessary for the execution
of the Work Program;
5.3.5 With the agreement of CONTRACTOR, approve the usage of assets by
third parties to the extent that it does not interfere with CONTRACTOR's
performance of the Petroleum Operations. Notwithstanding the foregoing
BPMIGAS shall have the right to propose or facilitate the utilization of any
assets controlled by CONTRACTOR by another contractor of BPMIGAS
under a cooperation contract contemplated by Law No. 22 of 2001, for
efficiency or optimum utilization of such asset, provided that the other
contractor wishing to utilize such asset is willing to coimnpensate a
reasonable amount approved by BPMIGAS and to indemnify and hold
harmless BPMIGAS and CONTRACTOR from any losses, claims or
damages arising from the third party use of such assets and provided
further that the amount received by CONTRACTOR shall be credited to
CONTRACTOR’s Operating Costs or shared between BPMIGAS and
CONTRACTOR pursuant to Sub-section 6.2.3 or Sub-section 6.3.2,
whichever is applicable; and
5.3.6 not disclose all original data resulting from Petroleum Operations including
but not limited to geological, geophysical, petrophysical, engineering, well
and completion logs, status reports and any other data as CONTRACTOR
may compile during the term hereof to third parties without informing
CONTRACTOR and getting the consent of CONTRACTOR for disclosure
of such data.
SECTION VI
RECOVERY OF OPERATING COSTS AND HANDLING OF PRODUCTION

6.1 RECOVERY OF OPERATING COSTS

6.1.1 CONTRACTOR will recover Operating Costs out of the sales proceeds or
other disposition of the required quantity of Petroleum equal in value to
such Operating Costs, which is produced and saved hereunder and not
used in Petroleum Operations in the manner specified in Sub-section 6.1.2
below. The Operating Costs shall be available as a deduction for the
purposes of CONTRACTOR’s tax filing and calculating CONTRACTOR’s
taxable income.
6.1.2 The right of CONTRACTOR to recover Operating Costs referred to in Sub-
section 6.1.1 above shall be subject to the following:
a) CONTRACTOR may recover Operating Costs only out of Petroleum
commercially produced from a particular Field or Fields which is
approved based on a particular POD.
b) The Operating Costs that may be recovered from the Petroleum
produced from a particular Field or Fields approved by a particular
POD shall consist of the following:
(1) The Exploratory Expenditures defined in Sub-section 2.2.4 of
Exhibit C incurred by CONTRACTOR for the conduct of
exploration activities within the Contract Area prior to the date of
approval of the POD for such Field or Fields, provided that such
Exploratory Expenditures have not been included under the
Field(s) previously approved by a particular POD.
(2) All Capital Costs and Non Capital Costs other than the
Exploratory Expenditures referred to in paragraph (1) of this
Sub-section 6.1.2 (b) incurred by CONTRACTOR for the
conduct of Petroleum Operations in the relevant Field.
6.2 CRUDE OIL
6.2.1 CONTRACTOR is authorized by BPMIGAS and obligated to market all
Crude Oil produced and saved from the Contract Area subject to the
provisions hereinafter set forth.
6.2.2 Except as provided in Section VII Sub-sections 7.1.4 and 7.1.5,
CONTRACTOR shall be entitled to take and receive and freely export
such Crude Oil. For purposes of determining the quantity of Crude Oil
delivered to CONTRACTOR required to recover said Operating Costs, the
weighted average price of all Crude Oil produced and sold from the
Contract Area during the Calendar Year will be used, excluding however
deliveries made pursuant to Sub-section 5.2.19 of Section V. If, in any
Calendar Year, the Operating Costs exceed the valueCorf the ude Oil
produced and saved hereunder and not used in Petroleum Operations,
then the unrecovered excess shall be recovered in succeeding Years.
6.2.3 Of the Crude Oil remaining after the deduction of FTP referred to in Sub-
section 6.4 and the recovery of Operating Costs referred to in Sub-section
6.1.2, BPMIGAS and CONTRACTOR shall be entitled to take and receive
each Year, respectively seventy-three point two one four three percent
(73.2143%) for BPMIGAS and twenty-six point seven eight five seven
percent (26.7857%) for CONTRACTOR.

6.2.4 Title to CONTRACTOR's portion of Crude Oil under Sub-section 6.2.3 as


well as to such portion of Crude Oil exported and sold to recover
Operating Costs shall pass to CONTRACTOR at the Point of Export, or, in
the case of oil delivered to GOI pursuant to Sub-section 5.2.19 or
otherwise, at the point of delivery.
6.2.5 CONTRACTOR will use its best reasonable efforts to market the Crude Oil
to the extent markets are available.
Notwithstanding the foregoing, either Party shall be entitled to take and
receive their respective portion in kind. If CONTRACTOR is required to
market BPMIGAS’ portion of Crude Oil, then all proceeds resulting there
from shall be deposited or caused to be deposited by CONTRACTOR to
Government of Republic of Indonesia bank account in Indonesia notified
by BPMIGAS to CONTRACTOR from time to time.

6.2.6 If BPMIGAS elects to take any of its portion of Crude Oil in kind, it shall so
advise CONTRACTOR in writing not less than ninety (90) days prior to the
commencement of each semester of each Calendar Year specifying the
quantity which it elects to take in kind, such notice to be effective for the
ensuing semester of each Calendar Year, provided however, that such
election shall not interfere with proper performance of any Crude Oil sales
agreement for Petroleum produced within the Contract Area which
CONTRACTOR has executed prior to the notice of such election.
Failure to give such notice shall be conclusively deemed to evidence the
election not to take in kind. Any sale of BPMIGAS’ portion of Crude Oil by
CONTRACTOR shall not be for a term of more than one Calendar Year
without BPMIGAS' consent.
6.3 NATURAL GAS

6.3.1 Any Natural Gas produced from the Contract Area to the extent not used
in Petroleum Operations hereunder, including for effectuating the
maximum economic recovery of Petroleum by secondary recovery, re-
pressuring and recycling operations, may be flared if the processing and
utilization thereof is not economical.
6.3.2 However, should BPMIGAS and CONTRACTOR consider that the
development and/ or the processing and utilization of Natural Gas is
economical and choose to participate in the development and/ or the
processing and utilization thereof, in addition to that used in secondary
recovery operations, then the construction and installation of facilities for
such development and/ or processing and utilization shall be carried out
pursuant to an approved Work Program. It is hereby agreed that all costs
and revenues derived from such development and/ or processing,
utilization and sale of Natural Gas, shall be treated on a basis equivalent
to that provided for herein concerning Petroleum Operations and
disposition of Crude Oil, except that for Natural Gas, or the propane and
butane fractions extracted from Natural Gas but not spiked in Crude Oil,
remaining after the deduction of the FTP and Operating Costs associated
with the Natural Gas operations as stipulated in Exhibit “C”, BPMIGAS
and CONTRACTOR shall be entitled to take and receive each Year as
follows : BPMIGAS forty-six point four two eight cseix per nt
(46.4286%),
and CONTRACTOR fifty-three point five seven one four percent
(53.5714%).
6.3.3 In the event, however, CONTRACTOR considers that the development
and/or the processing and utilization of Natural Gas under a certain field
is not economical, then BPMIGAS may choose to carve out such gas field
apart from the Contract Area. In the case that BPMIGAS exercises its
option mentioned above, CONTRACTOR shall, upon receipt of notification
from BPMIGAS with respect to its decision to exercise its option, return
the same to GOI through BPMIGAS. However the foregoing provisions
shall not be applicable to any Field priondgucCr ude Oil and associated
Natural Gas.
6.3.4 In any event, title to CONTRACTOR's portion of Natural Gas pursuant to
Sub-section 6.3.2 as well as to such portion of Natural Gas exported or
sold to recover Operating Costs shall pass to CONTRACTOR at the Point
of Export.
6.4 FIRST TRANCHE PETROLEUM

6.4.1 Notwithstanding anything to the contrary elsewhere contained in this


CONTRACT, BPMIGAS and CONTRACTOR shall be entitled to first take
and receive each Year a quantity of Petroleum twenty percent (20%) of the
Petroleum production of each such Year, called the "First Tranche
Petroleum", before any deduction for recovery of Operating Costs and
handling of production as provided under this Section Vl.
6.4.2 Such First Tranche Petroleum for each Calendar Year is shared for Crude
Oil between BPMIGAS and CONTRACTOR in accordance with the
sharing splits provided under paragraph 6.2.3. Operating Cost shall not be
recovered from CONTRACTOR share of FTP. The contractor share from
the FTP is exempt from cost recovery. For avoidance of doubt the
CONTRACTOR share of FTP is subject to Indonesia Income Tax law.

6.4.3 For Natural Gas, such First Tranche Petroleum for each Calendar Year is
shared between BPMIGAS and CONTRACTOR in accordance with the
sharing splits provided under paragraph 6.3.2. Operating Cost shall not be
recovered from CONTRACTOR share of FTP. The contractor share from
the FTP is exempt from cost recovery. For avoidance of doubt the
CONTRACTOR share of FTP is subject to Indonesia Income Tax Law.
SECTION VII
VALUATION OF CRUDE OIL AND NATURAL GAS

7.1 Crude Oil sold to third parties shall be valued as follows:


7.1.1 All Crude Oil taken by CONTRACTOR including its share and the share
for the recovery of Operating Costs and sold to third parties shall
be valued at the Net Realized Price FOB Indonesia received by
CONTRACTOR for such Crude Oil.
7.1.2 All BPMIGAS' Crude Oil taken by CONTRACTOR and sold to third parties
shall be valued at the Net Realized Price FOB Indonesia received by
CONTRACTOR for such Crude Oil.
7.1.3 BPMIGAS shall be duly advised before the sales referred to in Sub-
sections 7.1.1 and 7.1.2 is made.
7.1.4 Subject to any existing Crude Oil sales agreement, if a more favorable net
realized price is available to BPMIGAS for the Crude Oil as referred to in
Sub-sections 7.1.2 , then BPMIGAS shall so advise CONTRACTOR in
writing not less than ninety (90) days prior to the commencement of the
deliveries under BPMIGAS's proposed sales contract. Forty five (45) days
prior to the commencement of such deliveries, CONTRACTOR may
notify BPMIGAS regarding CONTRACTOR's intention to meet the more
favorable net realized price in releatiqon to thuantity and period of delivery
concerned in said proposed sales contract. In the absence of such notice
BPMIGAS shall market said Crude Oil through other party appointed by
BPMIGAS; and CONTRACTOR shall deliver such BPMIGAS’ portion of
Crude Oil to the Point of Export.
7.1.5 BPMIGAS's marketing of such Crude Oil as referred to in Sub-section
7.1.4 shall continue until forty five (45) days after BPMIGAS’s net realized
price on said Crude Oil becomes less favorable. CONTRACTOR’s
obligation to market said Crude Oil shall not apply until after BPMIGAS
has given CONTRACTOR at least forty five (45) days advance notice of its
desire to discontinue such sales. As long as BPMIGAS is marketing the
Crude Oil referred to above, it shall account to CONTRACTOR, on the
basis of the more favorable net realized price.
7.1.6 Without prejudice to any of the provisions of Section VI and Section VII,
CONTRACTOR may at its option transfer to BPMIGAS during any
Calendar Year the right to market any Crude Oil which is in excess of
CONTRACTOR’s normal and contractual requirement provided that the
price is not less than the net realized price from the Contract Area.
BPMIGAS's request stating the quantity and expected loading date must
be submitted in writing at least thirty (30) days prior to lifting said Crude
Oil. Such lifting must not interfere with CONTRACTOR's scheduled tanker
movements. BPMIGAS shall account to CONTRACTOR in respect of any
sale made by it hereunder.
7.1.7 BPMIGAS shall have the option, in any Year in which the quantity of
Petroleum to which BPMIGAS is entitled pursuant to Sub-sections 6.2.3
and 6.3.2 hereof is less than fifty percent (50%) of the total Petroleum
production, by ninety (90) days written notice in advance of that Year, to
market for the account of CONTRACTOR, at the price provided for in
Section VII hereof for the recovery of Operating Costs, a quantity of
Petroleum which together with BPMIGAS' entitlement under Sub-sections
6.2.3 and 6.3.2 equals fifty percent (50%) of the total Petroleum produced
and saved from the Contract Area.
7.2 Crude Oil sold to other than third parties shall be valued as follows:
7.2.1 by using the weighted average per unit price received by CONTRACTOR
and BPMIGAS from sales to third parties (excluding, however,
commissions and brokerages paid in relation to such third party sales)
during the three (3) months preceding such sale adjusted as necessary for
quality, grade and gravity; or
7.2.2 If no such third party sales have been made during such period of time,
then on the basis used to value Indonesian Crude Oil of similar quality,
grade and gravity and taking into consideration any special circumstances
with respect to sales of such Indonesian Crude Oil.
7.3 Third party sales referred to in this Section Vll shall mean sales by
CONTRACTOR to purchasers independent of CONTRACTOR, that is, purchasers
with whom (at the time the sale is made) CONTRACTOR has no contractual
interest involving directly or indirectly any joint interest.
7.4 Commissions or brokerages incurred in connection with sales to third parties, if
any, shall not exceed the customary and prevailing rate.
7.5 During any given Calendar Year, the handling of production (i.e. the
implementation of the provisions of Section VI hereof) and the proceeds thereof
shall be provisionally dealt with on the basis of the relevant Work Program and
Budget of Operating Costs based upon estimates of quantities of Petroleum to be
produced, of internal consumption in Indonesia, of marketing possibilities, of prices
and other sale conditions as well as of any other relevant factors.
Within thirty (30) days after the end of said given Year adjustment and cash
settlements between the Parties shall be made on the basis of the actual
quantities, amounts and prices involved, in order to comply with the provisions of
this CONTRACT.

7.6 In the event the Petroleum Operations involve the segregation of Crude Oil of
different quality and/or grade and if the Parties do not otherwise mutually agree:
7.6.1 any and all provisions of this CONTRACT concerning evaluation of Crude
Oil shall separately apply to each segregated Crude Oil;
7.6.2 each Crude Oil produced and segregated in a given Year shall contribute
to:
(a) the "required quantity" destined in such Year to the recovery of all
Operating Costs pursuant to Sub-section 6.1.2;
(b) the "required quantity" of Crude Oil to which a Party is entitled in
such Year pursuant to Sub-sections 6.2.3 and 6.4.2;
(c) the "required quantity" of Crude Oil which CONTRACTOR agrees to
sell and deliver in such Year for domestic consumption in Indonesia
pursuant to Sub-section 5.2.19 of Section V , out of the share of
Crude Oil to which it is entitled pursuant to Sub-sections 6.2.3 and
6.4.2;
with quantities, each of which shall bear to the respective "required
quantity" referred to in letters (a), (b), or (c) above, the same
proportion as the quantity of such Crude Oil produced and
segregated in such given Year bears to the total quantity of Crude Oil
produced in such Year from the Contract Area.
7.7 All Natural Gas sold to third parties shall be valued at contract sales price.
7.8 Natural Gas sold to other than third parties shall be valued as follows:
7.8.1 by using the weighted average per unit price received by CONTRACTOR
and BPMIGAS from sales to third parties (excluding, however,
commissions and brokerages paid in relation to such third party sales)
during the three (3) months preceding such sale adjusted as necessary for
quality and specification; or
7.8.2 if no such third party sales have been made during such period of time,
then on the basis used to value Indonesian Natural Gas of similar quality
and specification and taking into consideration any special circumstances
with respect to sales of such Indonesian Natural Gas.
SECTION VIII
BONUS AND ASSISTANCE

8.1 CONTRACTOR shall pay to GOI a signature bonus (awarded compensation) the
sum of one million United States Dollars (US$ 1,000,000), after approval of this
CONTRACT by GOI in accordance with the provisions of applicable law. Such
payment shall be made within thirty (30) days after the Effective Date to a bank
account designated pursuant to Sub-section 9.1, the failure of which shall give
GOI right to cash the signature bonus bond delivered to GOI prior to the execution
of this CONTRACT.
8.2 CONTRACTOR shall within thirty (30) days after GOI’s request in writing during
the first Contract Year provide GOI with equipment and/or services in an amount
not exceeding the sum of one hundred thousand United States Dollars (US$
100,000), for special purposes.
8.3 CONTRACTOR shall pay production bonus to GOI the sum of one million United
States Dollars (US$ 1,000,000), within thirty (30) days after cumulative Petroleum
production from the Contract Area has reached twenty five million Barrels of Oil
Equivalent (25 MMBOE); and
8.4 CONTRACTOR shall pay production bonus to GOI the sum of two million United
States Dollars (US$ 2,000,000), within thirty (30) days after cumulative Petroleum
production from the Contract Area has reached fifty million Barrels of Oil
Equivalent (50 MMBOE); and
8.5 CONTRACTOR shall pay production bonus to GOI the sum of three million United
States Dollars (US$ 3,000,000), within thirty (30) days after cumulative Petroleum
production from the Contract Area has reached seventy five million Barrels of Oil
Equivalent (75 MMBOE).
8.6 The bonus payments respectively referred to in Sub-section 8.1 up to, including
Sub-section 8.5 hereof shall be solely borne by CONTRACTOR and shall neither
be included in the Operating Costs nor used as reduction of taxable income of
CONTRACTOR.
SECTION IX
PAYMENTS

9.1 All payments which this CONTRACT obligates CONTRACTOR to make to


BPMIGAS or GOI shall be made in United States Dollars currency at a bank
operating in Indonesia to be designated by each of them and agreed upon by
Bank Indonesia; or at CONTRACTOR's election, other currency acceptable to
them, except that CONTRACTOR may make such payments in Indonesian
Rupiahs to the extent that such currencies are realized as a result of the domestic
sale of Crude Oil or Natural Gas or Petroleum products, if any.
9.2 All payments due to CONTRACTOR shall be made in United States Dollars or, at
BPMIGAS’s election, other currencies acceptable to CONTRACTOR at a bank to
be designated by CONTRACTOR.
9.3 Any payments required to be made pursuant to this CONTRACT, unless
specifically stated otherwise hereunder, shall be made within thirty (30) days
following the end of the month in which the obligation to make such payments
occurs.
SECTION X
TITLE TO EQUIPMENT

10.1 Equipment purchased by CONTRACTOR pursuant to the Work Program becomes


the property of Government of the Republic of Indonesia (in case of import, when
landed at the Indonesian ports of import) and will be used in Petroleum Operations
hereunder.
10.2 The provisions of Sub-section 10.1 of this Section X shall not apply to leased
equipment belonging to third parties who perform service as a contractor to the
CONTRACTOR, which equipment may be freely removed from the work location
within the Contract Area or re-exported from Indonesia.
SECTION XI
CONSULTATION AND ARBITRATION

11.1 Periodically, BPMIGAS and CONTRACTOR shall meet to discuss the conduct of
the Petroleum Operations envisaged under this CONTRACT and will make every
effort to settle amicably any problem arising there from.
11.2 Disputes, if any, arising between BPMIGAS and CONTRACTOR relating to this
CONTRACT or the interpretation and performance of any of the provisions
contained in this CONTRACT shall be settled amicably and persuasively within
ninety (90) days after the receipt by one Party of a notice from the other Party of
the existence of the dispute.
11.3 Dispute pursuant to Sub-section 11.2 which cannot be settled amicably, shall be
submitted to the decision of arbitration by a three (3) person arbitration panel
conducted in accordance with the UNCITRAL arbitration rules contained in
resolution 31/98 adopted by the United Nations General Assembly on December
15, 1976 and entitled “Arbitration Rules of the United Nations Commission on
International Trade Law” as in force at the time such arbitration is commenced.
BPMIGAS on the one hand and CONTRACTOR on the other hand shall each
appoint one arbitrator and so advise the other Party and these two arbitrators will
appoint a third. If either Party fails to appoint an arbitrator within thirty (30) days
after receipt of a written request to do so, such arbitrator shall, at the request of
the other Party, if the Parties do not otherwise agree, be appointed by the
Secretary General of the International Centre for Settlement of Investment
Disputes. If the first two arbitrators appointed as aforesaid fail to agree on a third
within thirty (30) days following the appointment ofstehceo nd arbitrator, the
third arbitrator shall, if the Parties do not otherwise agree, be appointed, at the
request of either Party, by the Secretary General of the International Centre for
Settlement of Investment Disputes. The third arbitrator appointed hereunder shall
act as the chairman of the arbitral panel. If an arbitrator fails or is unable to act, his
successor will be appointed in the same manner as the arbitrator whom he
succeeds. Pending decision of the arbitral panel, the Parties shall diligently
proceed pursuant
to the provisions and termissof th CONTRACT hereof.
11.4 The award rendered in any arbitration commenced under this CONTRACT shall
be final and binding upon the Parties, and judgment thereon may be entered in
any court having jurisdiction for its enforcement. The Parties hereby renounce
their right to appeal from the decision of the arbitral panel and agree that neither
Party shall appeal to any court from the decision of the arbitral panel and
accordingly the Parties hereby waive the applicability of any provision of laws and
regulations or any competent authority that would otherwise give the right to
appeal the decisions of the arbitral panel. In addition, the Parties agree that
neither Party shall have any right to commence nor maintain any suit nor legal
proceeding concerning the dispute hereunder, except the legal proceeding
required for the enforcement of the execution of the award rendered by the arbitral
panel.
11.5 Arbitration shall be conducted in the English language at a place to be agreed
upon by both Parties.
SECTION XII
EMPLOYMENT AND TRAINING OF INDONESIAN PERSONNEL

12.1 CONTRACTOR agrees to employ qualified Indonesian personnel and after


commercial production commences will undertake the schooling and training of
Indonesian personnel for labor and staff positions including administrative and
executive management positions. At such time, CONTRACTOR shall also
consider with BPMIGAS a program of assistance for training of GOI’s and
BPMIGAS's personnel.
12.2 Costs and expenses of training Indonesian personnel for its own employment shall
be included in Operating Costs. Costs and expenses for a program of training for
GOI’s and BPMIGAS's personnel shall be borne on a basis to be agreed by GOI,
BPMIGAS and CONTRACTOR.
SECTION XIII
TERMINATION

13.1 This CONTRACT cannot be terminated by CONTRACTOR during the first three
(1) Contract Years as from the Effective Date.
13.2 At any time following the end of the third (3rd) Contract Year as from the Effective
Date, if in the opinion of CONTRACTOR circumstances do not warrant
continuation of the Petroleum Operations, CONTRACTOR may, by giving written
notice to that effect to BPMIGAS and after consultation with BPMIGAS, relinquish
its rights and be relieved of its obligations pursuant to this CONTRACT, except
such rights and obligations related to the period prior to such relinquishment.
13.3 If at the end of the third (3rd) Contract Year, CONTRACTOR has not completed its
Firm Commitment pursuant to Sub-section 4.2, CONTRACTOR may, after
consultation with BPMIGAS terminate this CONTRACT and relinquish its rights
hereunder by rendering a ninety (90) days prior written notice to BPMIGAS.
CONTRACTOR shall not be relieved of its obligations under this CONTRACT
unless and until CONTRACTOR transfers the remaining amount of the estimated
expenditure for the remaining unperformed Work Program for the three (3)
Contract Years Firm Commitment to GOI. However, in the event all programs
during the first three (3) Contract Years have been completed by CONTRACTOR
and CONTRACTOR spent less than the estimated amount budgeted for the Firm
Commitment Work Program pursuant to Sub-section 4.2, CONTRACTOR shall not
be obliged to transfer the remaining amount of the initial three (3) Contract Years
estimated expenditures to GOI.
13.4 Notwithstanding anything to the contrary herein, this CONTRACT shall
automatically terminate in its entirety on the expiration date specified in and in
accordance with the provisions of Sub-section 2.1.3, 2.2.4, 2.2.5 or 4.5 , as
applicable.
13.5 If at any time during the term of this CONTRACT, CONTRACTOR has failed to
perform as a reasonable and prudent operator and has failed to fulfill any of its
obligations under this CONTRACT, particularly those specified in Sections III, IV,
V and VIII hereof, BPMIGAS shall have the right to issue to CONTRACTOR a
"Performance Deficiency Notice". Said Notice shall detail the specific performance
deficiencies of CONTRACTOR under this CONTRACT.

Upon receipt of the Performance Deficiency Notice, CONTRACTOR shall, within


thirty (30) days after receipt of the Performance Deficiency Notice from BPMIGAS,
have an option to either dispute such Performance Deficiency Notice in
accordance with arbitration procedure stipulated in Section XI, or remedy the
deficiencies detailed in said Performance Deficiency Notice within one hundred
and twenty (120) days after the receipt thereof. Unless CONTRACTOR disputes
the Performance Deficiency Notice in accordance with arbitration procedure
stipulated in Section XI, should CONTRACTOR fail to remedy the deficiencies
within the specified one hundred and twenty (120) days or the Parties fail to agree
on an extension of the period of time in which CONTRACTOR can remedy the
deficiencies, the elapse of such one hundred and twenty (120) days or its agreed
extension, if any, notwithstanding the requirement under Sub-section 13.6, shall
become a conclusive evidence of CONTRACTOR’s breach that can be used by
BPMIGAS as a sole basis to terminate this CONTRACT in its entirety and
thereupon CONTRACTOR shall immediately relinquish all remaining Contract
Area to GOI through BPMIGAS.

13.6 Without prejudice to the provisions stipulated in Sub-section 13.1 and except in
the case stipulated in Sub-section 13.5 herein above,
(a) Either Party shall be entitled to terminate this CONTRACT in its entirety by
ninety (90) days written notice if a major breach of CONTRACT is committed
by the other Party, provided that conclusive evidence thereof is proved by
arbitration as stipulated in Section XI.
(b) Termination of this CONTRACT, for any reason, shall not release
CONTRACTOR from its outstanding obligations, including the obligation to
perform any necessary abandonment of any fields, removal of any equipment
and installations and site restoration pursuant to Sub-section 5.2.6.
SECTION XIV
BOOKS AND ACCOUNTS AND AUDITS

14.1 BOOKS AND ACCOUNTS


Subject to the requirements of Sub-section 5.2.23 of Section V, BPMIGAS shall be
responsible for keeping complete books and accounts with the assistance of
CONTRACTOR reflecting all Operating Costs as well as monies received from the
sale of Petroleum, consistent with modern petroleum industry practices and
proceedings as described in Exhibit "C" attached hereto. However, BPMIGAS
delegates to CONTRACTOR its obligations to keep books and accounts. Should
there be any inconsistency between the provisions of Sub-section 6.1 of Section
VI of this CONTRACTt and he provisions of Exhibit "C", the provisions of Sub-
section 6.1 of Section VI of this CONTRACT shall prevail.
14.2 AUDITS
14.2.1 BPMIGAS and the authorized Central Government Institution shall have
the right to inspect and audit CONTRACTOR's books and accounts
relating to this CONTRACT for any Calendar Year covered by this
CONTRACT. Any exception must be made in writing within sixty (60) days
following the completion of such audit. In addition, BPMIGAS and the
authorized Central Government Institution may require CONTRACTOR to
engage its independent accountants to examine, in accordance with
generally accepted auditing standards, the CONTRACTOR’s books and
accounts relating to OthiNsTCRACT for any Calendar Year or perform
such auditing procedures as deemed appropriate by BPMIGAS.

14.2.2 A copy of the independent accountant’s report or any exceptions shall be


forwarded to BPMIGAS within sixty (60) days following the completion of
such audit. The costs related to the engagement of such independent
accountants shall be included in Operating Costs.
14.2.3 CONTRACTOR shall have the right to inspect and audit BPMIGAS's
books and accounts but only with respect to the use of advance payment
referred to in Sub-section 5.3.3 of this CONTRACT. Any such audit will be
satisfied within twelve (12) months after its commencement. Any exception
must be made in writing within sixty (60) days following the end of such
audit and failure to give such written exception within such time shall
establish the correctness of BPMIGAS's books and accounts.
SECTION XV
OTHER PROVISIONS

15.1 NOTICE

Any notices required or given by either Party to the other shall be deemed to have
been delivered when properly acknowledged for receipt by the receiving Party.
All notices to BPMIGAS shall be addressed to:
BADAN PELAKSANA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI
(BPMIGAS)
Patra Office Tower, Lt. 21 Wing 1
Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav.32-34
Jakarta, 12950
Attn : Kepala BPMIGAS

and

All notices to CONTRACTOR shall be addressed to:

Either Party may substitute or change such address upon rendering a prior written
notice thereof to the other.
15.2 LAWS AND REGULATIONS
15.2.1 The laws of the Republic of Indonesia shall apply to this CONTRACT.

15.2.2 No terms or provisions of this CONTRACT, including the agreement of the


Parties to submit to arbitration hereunder, shall prevent or limit the
Government of the Republic of Indonesia from exercising its inalienable
rights.
15.3 FORCE MAJEURE

15.3.1 Except for the failure or inability of a Party to make its payment obligation
when due hereunder, any failure or delay on the part of either Party in the
performance of their obligations or duties hereunder shall be excused to
the extent attributable to Force Majeure.
15.3.2 If operations are delayed, curtailed or prevented by such causes, then the
time for carrying out the obligations thereby affected, the term of this
CONTRACT and all rights and obligations hereunder shall be extended for
a period equal to the period thus involved.

15.3.3 The Party whose ability to perform its obligations so affected by event of
Force Majeure and intends to seek relief under Sub-section 15.3.1 and/or
extension of the term of CONTRACT referred to in Sub-section 15.3.2
shall notify the other Party thereof in writing as soon as practicable but in
no case shall be later than forty eight (48) hours after the occurrence of
Force Majeure or after such Force Majeure is known by the Party so
affected, specifying the cause, nature extent of the circumstances giving
rise to Force Majeure, and both Parties shall do all reasonably possible
within their power to remove such cause or to find a solution by which this
CONTRACT may be performed despite the continuance of the Force
Majeure.
15.3.4 In case of dispute with respect to the existence of Force Majeure claimed
by a Party, such dispute shall be settled pursuant to Section XI.
15.4 FINAL TAX ON PROFIT , TAX TREATY AND CHANGE OF TAX LAW
15.4.1 BPMIGAS and CONTRACTOR agree that all of the percentages
appearing in Sub-sections 6.2.3 and 6.3.2 of Section VI of this
CONTRACT have been determined on the assumption that
CONTRACTOR is subject to final tax on profits after tax deduction under
Article 26 (4) of the Indonesia Income Tax Law and is not sheltered by any
tax treaty to which the Government of the Republic of Indonesia has
become a party. In the event that, subsequently, CONTRACTOR or any of
Participating Interest Holder(s) comprising CONTRACTOR under this
CONTRACT becomes not subject to final tax deduction under Article 26
I(n2) of the donesia Income Tax Law and/ or subject to a tax treaty, all of
the percentages appearing in Sub-sections 6.2.3 and 6.3.2 of Section VI of
this CONTRACT, as applicable to the portions of CONTRACTOR and
BPMIGAS so affected by the non applicability of such final tax deduction
or the applicability of a tax treaty, shall be adjusted accordingly in order to
maintain the same net income after-tax for all CONTRACTOR’s portion of
Petroleum produced and saved under this CONTRACT.
For avoidance of doubt, any CONTRACTOR or Participating Interest
Holder which is subject to payment of tax on profit which does not
constitute as final tax shall not be considered as having paid additional
payment to corporate tax, and therefore the share of such CONTRACTOR
or Participating Interest Holder shall be subject to adjustment of
percentages appearing in Sub-sections 6.2.3 and 6.3.2 of Section VI of
this CONTRACT.
15.4.2 If at any time throughout the term of this CONTRACT, CONTRACTOR or
any of the Participating Interest Holders, as the case may be, become(s)
not subject to final tax deduction under Article 26 (4) of the Indonesia
Income Tax Law and/or subject to a tax treaty giving right to
CONTRACTOR or such Participating Interest Holder(s) to pay less than
the amount stipulated in Article 26 (4) of the Indonesia Income Tax Law,
then such CONTRACTOR or such Participating Interests Holder(s) shall
refund to BPMIGAS an amount equal in value to the additional amount of
production share that such CONTRACTOR or such Participating Interests
Holder(s) enjoy resulting from the foregoing circumstances, or the share
percentages appearing in Sub-sections 6.2.3 and 6.3.2 of Section VI of
this CONTRACT, shall be revised in order to maintain the same net
income after tax for all Participating Interest Holders under this
CONTRACT. The revision or adjustment of such share may be calculated
and coordinated by Operator, or may be exercised individually by the
Participating Interest Holder(s) affected, whichever is practicable and
acceptable to BPMIGAS.

15.4.3 It is agreed further in this CONTRACT that in the event that a new
prevailing Indonesia Income Tax Law comes into effect, or the Indonesia
Income Tax Law is changed, and CONTRACTOR becomes subject to the
provisions of such new or changed law, all the percentages appearing in
Section VI of this CONTRACT as applicable to the portions of
CONTRACTOR and GOI’s share so affected by such new or changed law
shall be revised in order to maintain the same net income after tax for
CONTRACTOR or all Participating Interest Holders in this CONTRACT.
15.5 PROCESS ASSOCIATED PRODUCTS

In principle, unless the associated product requires a special and different


treatment, or falls under other than crude oil and gas upstream regulatory regime,
the production, processing and marketing of such associated product referred
shall be treated as production, processing and marketing of hydrocarbon product
under this CONTRACT and the revenues received by CONTRACTOR shall be
credited to Operating Costs hereunder or shared between BPMIGAS and
CONTRACTOR pursuant to Sub-section 6.2.3 or Sub-section 6.3.2, whichever is
applicable.
SECTION XVI
PARTICIPATION

16.1 At the time the first Plan of Development is approved by GOI, CONTRACTOR
shall have obligation to offer a ten percent (10%) Participating Interest under this
CONTRACT (hereinafter called “Indonesian Participant Interests”) to Local
Government Owned Company or LGOC to be designated by the Local
Government within which the Contract Area is located, or Indonesian National
Company or INC to be designated by the Minister. The existence of ten percent
(10%) Participating Interest to be offered to LGOC or INC mentioned above shall
be notified by CONTRACTOR to the Local Government or to the Minister referred
to above through BPMIGAS.
16.2 CONTRACTOR’s obligation referred to in Sub-section 16.1 shall lapse unless
BPMIGAS advises CONTRACTOR of LGOC or INC designated by Local
Government or Minister, as the case may be, to whom CONTRACTOR has to
make an offer, not later than one (1) month after CONTRACTOR’s notification
referred to in Sub-section 16.1 above was sent by registered letter to BPMIGAS.
16.3 CONTRACTOR shall make its offer by registered letter of the Indonesian
Participant Interests within sixty (60) days after receipt of BPMIGAS’s registered
letter referred to in Sub-section 16.2. The offer by CONTRACTOR is firstly given
to LGOC and such offer shall be effective for a period of sixty (60) days as of the
date of CONTRACTOR’s notification by a registered letter to LGOC. If LGOC is
not interested in such offer as notified by registered letter to CONTRACTOR or no
notification specifying its interest in such offer is given within the said period,
CONTRACTOR shall have the obligation referred to in Sub-section 16.1 to offer
the same to INC.

16.4 If INC is not interested in this offer as notified by registered letter to


CONTRACTOR or no notification specifying its interest in such offer is given within
sixty (60) days after the date of the offer, CONTRACTOR shall be released from
the obligation referred to in this Section XVI and the offer shall be deemed
terminated. In the case that LGOC or INC is interested in the Indonesian
Participant Interests offer within the period of such sixty (60) days, LGOC or INC
may conduct a due diligence.
The due diligence conducted by LGOC or INC, as the case may be, shall have
been completed within one hundred eighty (180) days as of the date of notification
of LGOC’s or INC’s interest in the Indonesian Participant Interests offer issued by
CONTRACTOR.
16.5 Not later than the latest day of the one hundred eighty (180) days due diligence
LGOC shall advise CONTRACTOR of its decision whether it is interested or not
interested in the Indonesian Participant Interests offer. If at the latest day of the
one hundred eighty (180) days due diligence, LGOC does not accept the
Indonesian Participant Interests offer or no notification specifying its acceptance in
the Indonesian Participant Interests offer is given, then the offer is given to INC
which shall be effective within sixty (60) days as of the date of notification by
registered letter from CONTRACTOR.
If INC is not interested in this offer as notified by registered letter to
CONTRACTOR or no notification specifying its interest in such offer is given within
sixty (60) days as of the date of the offer, CONTRACTOR shall be released from
the obligation referred to in this Section XVI and the offer shall be deemed
terminated.
If INC is interested in the Indonesian Participant Interests offer within the period of
such sixty (60) days, INC may conduct a due diligence within the period as stated
in Sub-section 16.4 of this Section XVI.
Not later than the latest day of the one hundred eighty (180) days due diligence
INC shall advise CONTRACTOR of its decision whether it is interested or not
interested in the Indonesian Participant Interests offer. In the case that at the latest
day of the one hundred eighty (180) days due diligence INC does not accept the
Indonesian Participant Interests offer or no notification specifying its acceptance in
Indonesian Participant Interests offer is given, then CONTRACTOR shall be
released from the obligation referred to in this Section XVI and the offer shall be
deemed terminated.
16.6 CONTRACTOR’s offer to LGOC or INC referred to in Sub-sections 16.3 and 16.5.
Of this Section XVI shall be accompanied by a copy of this CONTRACT and a
draft of an operating agreement embodying the manner in which CONTRACTOR
and LGOC or INC shall cooperate. The main principles of the draft of an operating
agreement are contained in Exhibit "D” to this CONTRACT.
16.7 In the event of acceptance by LGOC or INC of CONTRACTOR’s offer, the LGOC
or INC, as the case may be, shall be deemed to have acquired the undivided
interest on the date of CONTRACTOR's notification to LGOC or INC referred to in
Sub-sections 16.3 and 16.5 of this Section XVI. LGOC or INC, as the case may
be, shall not sell, assign, transfer, convey or otherwise dispose of all or any part of
the Indonesian Participant Interests during the first three (3) Years as from the
effective date of the participation on farm-in agreement entered into by
CONTRACTOR and LGOC or INC, as the case may be.

16.8 For the acquisition of a ten percent (10%) Participating Interest in this
CONTRACT, LGOC or INC as applicable, shall reimburse CONTRACTOR an
amount equal to ten percent (10%) of the sum of Operating Costs which
CONTRACTOR has incurred for and on behalf of its activities in the Contract Area
up to the date of CONTRACTOR’s notification to LGOC or the INC mentioned in
Sub-sections 16.3 and 16.5 of this Section XVI, and ten percent (10%) of the
awarded compensation and equipment and or services as respectively mentioned
in Sub-section 8.1 and 8.2 of Section VIII, hereof.
16.9 The amount of reimbursement as stipulated in Sub-section 16.8 of this Section XVI
shall be made by a transfer of cash within ninety (90) days as of the date of its
acceptance of CONTRACTOR’s offer referred to in Sub-sections 16.3 and 16.5 of
this Section XVI, to CONTRACTOR’s account at a banking institution to be
designated by it, in the currency in which the relevant costs have been financed.
16.10 BPMIGAS shall be notified in writing by CONTRACTOR with regard to all process
of Indonesian Participant Interests offer referred to in this Section XVI.
SECTION XVII
EFFECTIVENESS

17.1 This CONTRACT shall come into effect on the Effective Date.
17.2 This CONTRACT shall not be annulled, amended or modified in any respect,
except by the mutual consent in writing of the Parties hereto and approved by the
Minister.
IN WITNESS WHEREOF, the Parties hereto have executed this CONTRACT, in
triplet, in Jakarta and in the English language, as of the day and year first above
written, each of the executed copies shall be deemed as the original copy which
has the same legal force and effect.

BADAN PELAKSANA KEGIATAN


USAHA HULU MINYAK DAN
........................................................
GAS BUMI (BPMIGAS)

................................................
……………….. Country Manager & Head Representative,
Chairman Indonesia

APPROVED BY THE MINISTER OF ENERGY AND MINERAL RESOURCES


this [date] day of [month] [year]
on behalf of the
GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA

[MINISTER OF ENERGY AND MINERAL RESOURCES]

Anda mungkin juga menyukai