Anda di halaman 1dari 94

Konsensus Penatalaksanaan

Gangguan Skizofrenia

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia


2011
Konsensus Penatalaksanaan
Gangguan Skizofrenia

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia


2011
Sambutan Ketua Seksi Skizofrenia

Sambutan Ketua Seksi Skizofrenia


Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia

Sejawat yang saya hormati,

Perkembangan layanan kesehatan jiwa semakin hari semakin menantang. Harapan penderita
dan keluarga menjadi hal yang patut kita perhatikan. Dengan melihat perkembangan dan
penyebaran tenaga kesehatan jiwa di wilayah Indonesia yang begitu luas, kiranya perlu
diperhatikan standar layanan yang lebih merata dan memiliki kualitas yang sama.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, maka Seksi Skizofrenia PDSKJI sebagai bagian
dari organisasi profesi kesehatan Jiwa, merasa perlu untuk menyusun konsensus yang
merupakan kesepakatan para pakar dalam manajemen gangguan skizofrenia yang akan
menjadi pedoman umum penatalaksanaan gangguan skizofrenia secara komprehensif.

Konsensus ini dibuat melalui tahapan penelusuran kepustakaan, jajak pendapat para
praktisi di lapangan dan diskusi yang panjang dari para pakar di bidang Skizofrenia. Kami
sadari dengan perkembangan ilmu yang demikian cepat, masih dimungkinkan ada revisi
dalam berjalannya waktu.

Harapan kami mudah-mudahan hasil konsensus ini dapat menjadi panduan yang dirujuk
saat membuat standar layanan di tempat tugas sejawat masing-masing.

Salam,

A.A.A.A. Kusumawardhani
Ketua Seksi Skizofrenia PDSKJI

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia i


ii Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia
Sambutan Ketua Umum

Sambutan Ketua Umum Pengurus Pusat


Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

Puji Syukur kehadirat Allah SWT, karena atas perkenanan-Nya-lah maka Konsensus
Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia ini dapat mencapai purnanya.

Selamat saya ucapkan kepada Tim Penyusun dan seluruh anggota Seksi Skizofrenia
PDSKJI yang telah berupaya sungguh untuk menghasilkan sebuah kesepakatan bersama
tentang tatalaksana ini.

Sebuah organisasi profesi diharapkan mampu memberikan media yang terbaik untuk
para anggotanya untuk meningkatkan kapasitas dan memberikan layanan terbaik. Oleh
karenanya organisasi perlu untuk menyediakan sarana pengembangan diri dengan sistem
penunjang yang baik dan berkembang secara terus menerus. Salah satu media untuk
pengembangan tersebut adalah melalui konsensus penatalaksanaan semacam ini, karena
konsensus dapat berperan sebagai panduan dalam melakukan tatalaksana baik dimulai
dari penegakkan diagnosis sampai perencanaan tatalaksana dengan terapi biologi maupun
intervensi psikososial. Pada akhirnya, konsensus ini diharapkan mampu meningkatkan
kualitas hidup orang dengan skizofrenia dalam proses pemulihannya.

Konsensus ini diharapkan akan terus mengalami pembaharuan dan semakin mampu
menjawab kebutuhan secara luas. Artinya, konsensus ini akan secara inklusif menjadi
panduan bagi berbagai tingkat layanan, bermacam-macam profesi tenaga kesehatan
baik psikiater maupun non psikiater, dan pemangku kepentingan lainnya seperti para
akademisi, pengambil kebijakan di tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota serta
konsumen.

Semoga konsensus ini juga dapat menjadi dasar dan motivasi pengembangan konsensus-
konsensus lainnya di bidang psikiatri.

Selamat berkembang dan terus bermanfaat bagi semua.


Wassalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Tun K. Bastaman
Ketua Umum PP PDSKJI

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia iii


iv Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia
Pengantar

Pengantar

Gangguan skizofrenia merupakan masalah kesehatan yang kompleks dan membutuhan


perhatian khusus. Oleh sebab itu kami merasa perlu untuk menyusun kesepakatan ilmiah
dalam penatalaksanaan gangguan skizofrenia yang merujuk pada sumber keilmuan
mutakhir dan sesuai untuk diterapkan di Indonesia .

Melalui proses diskusi ilmiah dan kerjasama yang efektif maka dalam waktu relatif singkat
kami telah berhasil menyelesaikan buku konsensus penatalaksanaan skizofrenia yang kami
harapkan dapat menjadi bahan acuan bagi profesional kesehatan jiwa dalam memberikan
tatalaksana pada orang dengan skizofrenia.

Selanjutnya kami merencanakan untuk melakukan penyempurnaan secara berkala sesuai


dengan perkembangan ilmu dan terapan praktis di lapangan. Oleh sebab itu komentar dan
masukan terhadap isi buku sangat kami harapkan.

Kami ucapkan terima kasih kepada PT AstraZeneca Indonesia yang telah mendukung
seluruh rangkaian kegiatan sehingga terwujudnya buku Konsensus ini.

Selamat menggunakan buku panduan ini, semoga bermanfaat.

Jakarta, 1 Juli 2011.

Suryo Dharmono
Ketua Tim Penyusunan

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia v


vi Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia
Daftar Isi

DAFTAR ISI

Sambutan Ketua Seksi Skizofrenia PDSKJI ........................................................... i


Sambutan Ketua PP PDSKJI ................................................................................ iii
Pengantar .......................................................................................................... iv
Daftar Isi ........................................................................................................... v
Bab I. Pendahuluan ............................................................................................ 1
Bab II. Diagnosis dan Penilaian ........................................................................... 7
Bab III. Terapi Biologik ....................................................................................... 13
Bab IV. Intervensi Psikososial .............................................................................. 61
Daftar Rujukan .................................................................................................. 69
Lampiran A. Glosari ............................................................................................ 73
Lampiran B. Instrumen-instrumen Pengukuran ..................................................... 79

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia vii


viii Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia
Pendahuluan

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kelompok gangguan psikotik menempati angka 1% dari populasi penduduk di Indonesia
dan di dunia, bahkan untuk beberapa provinsi di Indonesia data Riskesdas tahun 2007
menunjukkan angka yang jauh lebih besar. (Badan Litbangkes Depkes RI, 2008) Di Jakarta
misalnya, untuk populasi penduduk usia >15 tahun, 2,03% di antaranya menunjukkan
gejala positif untuk gangguan psikotik, sehingga kita akan lebih memahami bahwa angka
yang sesungguhnya untuk gangguan psikotik sebenarnya lebih tinggi.

Dari kelompok gangguan tersebut, gangguan Skizofrenia merupakan kelompok gangguan


terbanyak yang ditemukan di masyarakat. Deteksi dini dan penegakan diagnosis skizofrenia
terutama dengan gejala positif sebenarnya mudah untuk dilakukan. Namun sayang cakupan
kasus masih rendah belum mencapai 30% dari total kasus yang seharusnya ada. Kasus
yang ditemukan pun bila ditinjau dari kualitas manajemennya sangat bervariasi dan belum
tentu benar-benar menjawab kebutuhan orang dengan gangguan skizofrenia.

Gangguan skizofrenia merupakan penyakit kronis, kambuhan, dan menyebabkan penurunan


fungsi yang semakin lama semakin berat terutama bila tidak mendapatkan manajemen
yang adekuat. Dengan kata lain, gangguan skizofrenia jelas mengakibatkan disabilitas
yang sering kali ireversibel dan menimbulkan beban yang berat baik bagi individu tersebut
maupun untuk keluarganya.

Perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin pesat membawa dampak positif bagi
perkembangan strategi terapi yang ada dengan dimungkinkannya pilihan yang semakin
bervariasi dan semakin baik dari waktu ke waktu. Pilihan ini tentunya harus diupayakan
untuk semakin rasional dengan tetap menempatkan kepentingan pasien di posisi yang
utama. Untuk itu klinisi perlu untuk tetap mengikuti perkembangan terkini riset ilmiah
dan menggabungkan pengetahuan ilmiah ini dengan pengalaman klinis dan situasi tiap
individu pasien dan preferensinya. Hal ini yang disebut dengan praktik berbasis bukti
(ilmiah). (Sackett D et al., 2000)

Suatu konsensus manajemen penyakit atau pedoman praktik klinis (clinical practice
guideline) membahas rencana perawatan, menyediakan pedoman untuk praktik yang
direkomendasikan dan menggambarkan luaran yang mungkin terjadi. Pedoman ini
menyediakan tuntunan akan praktik terbaik, suatu kerangka kerja yang di dalamnya
keputusan klinik dibuat, dan digunakan sebagai tolok ukur untuk evaluasi praktik klinik.
(Turner T et al., 2008)

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 1


Pendahuluan

Berangkat dari situasi inilah, maka Seksi Skizofrenia PDSKJI sebagai bagian dari organisasi
profesi psikiater, merasa penting untuk menyusun konsensus penatalaksanaan gangguan
skizofrenia sebagai acuan untuk manajemen yang lebih berkualitas.

Pedoman Manajemen
Pedoman manajemen klinis adalah “kumpulan pernyataan yang secara sistematis
dikembangkan untuk membantu klinisi dan pasien dalam membuat keputusan tentang
pengobatan apa yang tepat untuk kondisi tertentu” (Departemen Kesehatan UK, 1998).
Pedoman klinis tidak dimaksudkan untuk menggantikan pengetahuan profesional dan
pertimbangan klinis. Penggunaan pedoman dibatasi oleh berbagai faktor: ketersediaan
bukti riset yang berkualitas, penggunaan metode dalam penyusunan pedoman tersebut,
kemampuan hasil penelitian untuk digeneralisir, dan keunikan tiap individu pasien.

Pedoman klinis dapat membantu dalam hal: menyediakan rekomendasi yang berbasis
bukti serta terkini dalam hal menejemen kondisi dan gangguan oleh tenaga kesehatan;
digunakan sebagai dasar untuk menetapkan standar untuk penilaian praktik profesional
kesehatan; sebagai dasar pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan; membantu pengguna
jasa pelayanaan kesehatan dan pelaku rawat dalam membuat keputusan berdasarkan
informasi tentang pengobatan dan perawatan; memperbaiki komunikasi antara profesional
kesehatan, pengguna jasa layanan dan pelaku rawat; serta membantu dalam menentukan
prioritas penelitian ke depan.

Tujuan
1. Menyusun konsensus manajemen terapi yang komprehensif dan mampu laksana pada
gangguan skizofrenia di Indonesia
2. Menerbitkan konsensus sebagai panduan terapi bagi anggota profesi khususnya dan
para pemangku kepentingan lainnya

Aktivitas
Kegiatan-kegiatan yang telah diselenggarakan untuk mempersiapkan konsensus tersebut
terbagi dalam 5 fase kegiatan:

a. Fase penilaian kebutuhan (need assessment):


Pada fase ini, Tim Inti Penyusunan menyebarkan kuesioner penilaian kebutuhan
kepada para psikiater yang bekerja di berbagai institusi (layanan, institusi pendidikan,
pemerintahan). Penilaian kebutuhan meliputi jenis gangguan yang paling sering
dihadapi, jumlah kasus, pola manajemen yang selama ini dijalankan, hal-hal yang
membantu maupun menghambat proses manajemen, kebutuhan untuk mengatasi

2 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Pendahuluan

hambatan dan tantangan, rekomendasi untuk perbaikan pola manajemen. Data diolah
dan dianalisis sebagai masukan bagi konsensus.
b. Fase penelusuran literatur
Pada fase ini Tim Inti melakukan studi terhadap berbagai literatur dari dalam maupun
luar negeri termasuk kebijakan seperti INA-DRG.
c. Fase penulisan draft konsensus
Tim Penilaian Kebutuhan bertemu dengan tim literatur untuk melakukan konsolidasi
dan memulai penulisan draft konsensus. Hasil penulisan draft tersebut didistribusikan
ke Tim Pengkaji (reviewer) untuk mendapatkan masukan yang lebih baik dan
komprehensif sebagai draft final.
d. Fase pre-launching dan launching
Draft final disosialisasikan pada perwakilan PDSKJI cabang untuk dapat dipergunakan
secara luas melalui pertemuan pre-launching sebelum pada akhirnya di fase launching,
Tim Inti akan mempresentasikan hasil konsensus yang telah disusun pada PIDT
2011 di Bandung sekaligus pembagian buku konsensus bagi peserta yang mengikuti
simposium.
e. Fase monitoring dan evaluasi
Fase ini akan berlangsung selama 1 tahun pasca launching untuk mendapatkan input
dari berbagai pemangku kepentingan yang dapat dipergunakan untuk penyempurnaan
selanjutnya.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 3


Pendahuluan

Organisasi Tim Penyusunan


Ketua Pengarah : dr. A.A.A. Agung Kusumawardhani, Sp.KJ(K);
Ketua Seksi Skizofrenia PDSKJI
Ketua : Dr. Suryo Dharmono, Sp.KJ(K)
Sekretaris : Dr. Hervita Diatri, Sp.KJ
Bendahara : Ervina

Tim Penilaian Kebutuhan


Koordinator : Dr. Albert Maramis, Sp.KJ(K)

Tim Literatur
Koordinator : Dr. Kristiana Siste, Sp.KJ

Tim Pengkaji
Koordinator : DR. Dr. Nurmiati Amir, Sp.KJ(K)
Anggota : 1. Dr. Mustafa M. Amin, Sp.KJ
2. Dr. I. D. G. Basudewa, Sp.KJ
3. Dr. Handoko Daeng, Sp.KJ(K)
4. Dr. Margarita Maramis, Sp.KJ
5. Dr. Siti Khalimah, Sp.KJ
6. Dr. Robert Reverger, Sp.KJ(K)
7. Dr. Rihadini, Sp.KJ
8. Dr. Lely Setiawati, Sp.KJ
9. DR. dr. Suparno, Sp.KJ
10. Dr. Alifiati Fitrikasari Sutomo, Sp.KJ
11. Prof. Dr. AJ Tanra, Ph.D, Sp.KJ(K)
12. Prof. DR. Dr. Tuti Wahmurti, Sp.KJ(K)

Sasaran
Petugas kesehatan, baik psikiater maupun non-psikiater.

4 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Pendahuluan

URAIAN UMUM PENATALAKSANAAN SKIZOFRENIA

Diagnosis dan Penilian

Menyusun Perencanaan Tatalaksana

Tatalaksana di Fase Akut Manajemen


Farmakologi dan Intervensi Psikiatrik
Psikososial
dan
Penilaian
Modifikasi dan Penyesuaian yang
terhadap timbulnya respon yang
Berkelanjutan
inadekuat

Tatalaksana di Fase Stabilisasi


Farmakologi, Intervensi Psikososial,
dan Psikoterapi

Tatalaksana di Fase Stabil


Farmakologi, Intervensi Psikososial,
dan Komunikasi

Sumber: Treating Schizophrenia: A Quick Reference Guide for Psychiatrist, American Psychiatric Association, 2004.

Gambar 1. Skema umum penatalaksanaan kasus skizofrenia.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 5


Pendahuluan

CATATAN :

6 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Diagnosis dan Penilaian

BAB II
DIAGNOSIS DAN PENILAIAN

Diagnosis Skizofrenia
Kriteria Diagnosis PPDGJ III

Status Klinis
Risiko keberbahayaan terhadap diri dan atau orang lain
Akses terhadap kemungkinan bunuh diri atau pembunuhan
adanya halusinasi yang bersifat menyuruh

Gangguan jiwa lainnya

Gangguan Penyalahgunaan Alkohol dan Zat Psikoaktif Lainnya

Komorbiditas dengan Gangguan Medik Saat ini dan Riwayat


Penyakit Dahulu
Kondisi, tatalaksana, dan medikasi fungsi jantung
Konsultasi dengan dokter, jika dibutuhkan

Riwayat Psikiatrik Sebelumnya


Episode terakhir
Keberbahayaan terhadap diri atau orang lain
Respons tatalaksana sebelumnya
Riwayat penyalahgunaan zat psikoaktif

Riwayat Psikososial

Riwayat Keluarga

Gambar 2. Bagan prosedur umum diagnosis kasus skizofrenia.

Sumber: Treating Schizophrenia: A Quick Reference Guide for Psychiatrist, American Psychiatric Association, 2004

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 7


Diagnosis dan Penilaian

ALUR DIAGNOSIS GANGGUAN SKIZOFRENIA

Gangguan dalam penilaian realita mengakibatkan gangguan fungsi dan penderitaan

Adanya kondisi medis umum yang secara fisiologis dapat


mempengaruhi susunan saraf pusat:
• Penyakit herediter/kongenital
Gangguan Mental Organik:
• Penyakit infeksi
Delirium
• Penyakit akibat trauma
Demensia
• Penyakit akibat gangguan vaskuler
Gangguan Psikotik Organik
• Penyakit degenerative dan autoimun
• Penyakit akibat gangguan metabolik-endokrin
• Penyakit akibat keganasan

Adanya riwayat penyalahgunaan alkohol dan zat psikoaktif:


• Alkohol
Gangguan Mental Akibat
• Amfetamin
Penyalahgunaan Alkohol dan Zat
• Kanabis/mariyuana
Psikoaktif
• Halusinogen
• Inhalan

• Berlangsung paling sedikit 1 (satu) bulan


• Disertai dengan tilikan yang buruk
Gangguan Skizofrenia
• Tidak ditemukan gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif,
gangguan mood mayor, autisme

Gangguan Skizofrenia Paranoid Predominan gejala waham dan halusinasi

Predominan gejala afek tumpul, tidak serasi, proses pikir asosiasi


Gangguan Skizofrenia Hebefrenik longgar hingga inkoherensi, waham tak sistematis, disertai perilaku
disorganisasi (seperti menyeringai dan mannesrisme)

Predominan gejala stupor katatonik atau mutisme, negativistic katatonik,


Gangguan Skizofrenia Katatonik rigiditas katatonik, postur katatonik (Flexibilitas cerea), kegembiraan
katatonik

Mempunyai halusinasi, waham, dan gejala-gejala psikotik aktif yang


Gangguan Skizofrenia Tak Terinci
menonjol sehingga tidak dapat digolongkan secara spesifik

Dalam keadaan remisi dari keadaan akut tetapi masih memperlihatkan


Gangguan Skizofrenia Residual gejala-gejala residual (penarikan diri secara sosial, afek datar, atau tak
serasi, perilaku eksksentrik, asosiasi melonggar, atau pikiran tak logis)

Menderita skizofrenia selama 12 bulan terakhir, beberapa gejala


skizofrenia masih tetap ada, gejala-gejala depresif menonjol dan
Gangguan Depresi Pasca Skizofrenia
mengganggu, memenuhi sedikitnya kriteria untuk suatu episodee
depresif dan telah ada paling sedikit 2 minggu

Gangguan Skizofrenia Simpleks


Lain-lain dari yang telah disebutkan di atas
Gangguan Skizofreniform YTT

Gambar 3. Skema langkah-langkah diagnosis skizofrenia berdasarkan


PPDGJ III/ICD-10

8 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Diagnosis dan Penilaian

Terminologi
Gangguan skizofrenia adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya distorsi realita,
disorganisasi, dan kemiskinan psikomotor.

Rincian Gejala
Gejala psikotik ditandai oleh abnormalitas dalam bentuk dan isi pikiran, persepsi, emosi,
motivasi, neurokognitif, serta aktivitas motorik. Gejala pada skizofrenia sering kali dikenal
sebagai gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif meliputi waham, halusinasi, dan
gangguan pikiran formal. Gejala negatif merefleksikan tidak adanya fungsi yang pada
kebanyakan orang ada. Tampil dalam bentuk kemiskinan pembicaraan, penumpulan dan
pendataran afek, anhedonia, penarikan diri secara sosial, kurangnya inisiatif atau motivasi,
dan berkurangnya atensi.

Berikut adalah gejala-gejala yang dapat diamati pada skizofrenia:

a. Gangguan Pikiran:
a.1. Gangguan proses pikir
Gejala-gejala yang menunjukkan adanya gangguan proses pikir di antaranya:
1. Asosiasi longgar
2. Inkoherensi
3. Tangensial
4. Stereotipik verbal
5. Neologisme
6. Terhambat (Blocking)
7. Mutisme
8. Asosiasi bunyi (clang association)
9. Ekolalia
10. Konkretisasi
11. Alogia

a.2. Gangguan isi pikir


Gejala-gejala yang termasuk dalam gangguan isi pikir pada skizofrenia adalah
adanya waham. Semakin akut skizofrenia, semakin sering ditemui waham
disorganisasi atau waham tidak sistematis seperti waham kejar, waham kebesaran,
waham dikendalikan, waham nihilistik, waham cemburu, erotomania, waham
somatic, waham rujukan, waham penyiaran pikiran, waham penyisipan pikiran.
Pada kelompok dengan predominan gejala negatif akan tampak gejala-gejala
seperti alogia, miskin ide,

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 9


Diagnosis dan Penilaian

b. Gangguan persepsi
Gangguan persepsi ditandai dengan gejala:
1. Halusinasi
2. Ilusi dan depersonalisasi

c. Gangguan Emosi
Ada tiga afek dasar yang sering:
1. Afek tumpul atau datar
2. Afek tak serasi
3. Afek labil
4. Kedangkalan respons emosi sampai anhedonia

d. Gangguan penampilan dan perilaku umum


Tidak ada penampilan atau perilaku yang khas untuk skizofrenia. Beberapa bahkan
dapat tampil dan berperilaku sama dengan kebanyakan orang. Gejala-gejala yang
mungkin ditemui dalam kelompok gangguan perilaku di antaranya:
1. Penelantaran penampilan
2. Menarik diri secara sosial
3. Gerakan tubuh yang aneh dan wajah yang menyeringai
4. Perilaku ritual
5. Sangat ketolol-tololan
6. Agresif
7. Perilaku seksual yang tidak pantas
8. Gejala katatonik (stupor atau gaduh gelisah)
9. Fleksibilitas serea
10. Katalepsi
11. Stereotipi dan mannerism
12. Negativisme
13. Automatisme komando
14. Echolalia
15. Ekhopraxia

e. Gangguan motivasi
Aktivitas yang disadari sering kali menurun atau hilang pada orang dengan skizofrenia.
Gejala-gejala gangguan motivasi di antaranya:
1. kehilangan kehendak
2. disorganisasi
3. tidak berkegiatan

10 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Diagnosis dan Penilaian

f. Gangguan neurokognitif
Defisit neurokognitif atau intelektual merupakan gambaran inti dari gangguan
Skizofrenia. Gejala-gejala yang menyertai:
1. defisit dalam atensi dan performa
2. menurunnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah
3. gangguan dalam memori 9termasuk spasial dan verbal), serta
4. fungsi eksekutif

Diagnosis Banding
Diagnosis-diagnosis yang juga memiliki gejala psikosis aktif di antaranya: (dapat dilihat
pada alur diagnosis)

a. Gangguan kondisi medis umum misalnya epilepsi lobus temporalis, tumor lobus
temporalis atau frontalis, stadium awal sklerosis multipel dan sindrom lupus
eritematosus
b. Penyalahgunaan alkohol dan zat psikoaktif
c. Gangguan skizoafektif
d. Gangguan afektif berat
e. Gangguan waham
f. Gangguan perkembangan pervasif
g. Gangguan kepribadian skizotipal
h. Gangguan kepribadian skizoid
i. Gangguan kepribadian paranoid

Kriteria Diagnosis Skizofrenia menurut PPDGJ III (ICD-10


Chapter V)
Persyaratan normal untuk diagnosis skizofrenia adalah: dari gejala-gejala di bawah ini
harus ada paling sedikit satu gejala yang sangat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih
apabila gejala-gejala itu kurang jelas) dari salah satu kelompok (a) sampai 9d) atau paling
sedikit dua dari kelompok (e) sampai (h), yang harus selalu ada secara jelas pada sebagian
besar waktu selama satu bulan atau lebih

a. Thought echo, thought insertion, atau thought withdrawal, dan thought broadcasting
b. Waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi (delusion of influence)
atau waham pasivitas (delusion of passivity) yang jelas merujuk pada gerakan tubuh
atau gerakan extremitas, atau pikiran, perbuatan atau perasaan (sensasi) khusus;
delusional perception
c. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien atau
mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri, atau jenis suara halusinasi
lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 11


Diagnosis dan Penilaian

d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar serta
sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau politik,
atau kekuatan dan kemampuan “makhluk super” (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain)
e. Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik oleh waham
yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, atau pun oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap,
atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus
menerus
f. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang berakibat
inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme
g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap tubuh tertentu
(posturing), atau fleksibilitas serea (waxy flexibility), negativisms, mutisme, dan
stupor
h. Gejala-gejala negative seperti bersikap masa bodoh (apatis), pembicaraan yang terhenti,
dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunkan kinerja sosial, tetapi harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptik,
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptik;
i. Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari
beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tidak
bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self absorbed attitude) dan penarikan diri
secara sosial.

Apabila didapati kondisi yang memenuhi kriteria gejala di atas tetapi baru dialami kurang
dari satu bulan, maka harus dibuat diagnosis Gangguan Psikotik Lir Skizofrenia Akut
(F23.2). Apabila gejala-gejala berlanjut lebih dari satu bulan dapat dilakukan klasifikasi
ulang.

Instrumen-instrumen yang dapat dipergunakan untuk melakukan penilaian pada gangguan


skizofrenia

a. Menggunakan alat diagnosis – PPDGJ III/ICD-10


b. MINI-ICD-10
c. Calgary Depression Scale for Schizophrenia (CDSS)
d. Personal and Social Performance Scale (PSP)
e. Brief Psychiatry Rating Scale (BPRS)
f. Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS)
g. Clinical Global impression (CGI)

12 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

BAB III
TERAPI BIOLOGIK
Terapi biologik skizofrenia mengalami kemajuan pesat terutama setelah ditemukan obat
antipsikotika generasi kedua (APG-II). Obat APG-II mempunyai kelebihan dan keterbasan.
Orang dengan skizofrenia (ODS) lebih nyaman dengan APG-II karena kurangnya efek
samping ekstrapiramidal, misalnya distonia, parkinsonisme, dan akatisia. Manfaatnya lebih
terasa pada penggunaan jangka panjang karena jarangnya terjadi tardive diskinesia. Luaran
(outcome) jangka panjangnya lebih baik sehingga ia dapat memfasilitasi keberhasilan
terapi psikososial dan rehabilitasi. Di samping kelebihannya, APG-II mempunyai
keterbatasan yaitu risiko efek samping penambahan berat badan, diabetes dan gangguan
kardiovaskuler.

Terapi somatik pada skizofrenia meliputi tiga fase yaitu fase akut, stabilisasi dan stabil atau
rumatan. Fase akut ditandai dengan gejala psikotik yang membutuhkan penatalaksanaan
segera. Gejalanya dapat terlihat pada episode pertama atau ketika terjadinya kekambuhan
skizofrenia. Fokus terapi pada fase akut yaitu untuk menghilangkan gejala psikotik. Fase
akut biasanya berlangsung selama 4-8 minggu.

Setelah fase akut terkontrol, ODS memasuki fase stabilisasi. Risiko kekambuhan sangat
tinggi pada fase ini terutama bila obat dihentikan atau ODS terpapar dengan stresor.
Selama fase stabilisasi, fokus terapi adalah konsolidasi pencapaian terapetik. Dosis obat
pada fase stabilisasi sama dengan pada fase akut. Fase ini berlangsung paling sedikit
enam bulan setelah pulihnyai gejala akut.

Fase selanjutnya adalah fase stabil atau rumatan. Penyakit pada fase ini dalam keadaan
remisi. Target terapi pada fase ini adalah untuk mencegah kekambuhan dan memperbaiki
derajat fungsi. (Marder SR and Kane JM, 2005)

FASE AKUT SKIZOFRENIA


Agitasi merupakan gejala yang paling sering ditemui pada fase akut skizofrenia. Pada
agitasi terlihat adanya ansietas yang disertai dengan kegelisahan motorik, peningkatan
respon terhadap stimulus internal atau eksternal, peningkatan aktivitas verbal atau motorik
yang tidak bertujuan.

Agitasi juga bermanifestasi sebagai iritabilitas, tidak kooperatif, ledakan kemarahan, sikap
atau ancaman secara verbal, destruktif, dan penyerangan fisik. Selain itu, sensitivitas
sosialnya menurun dan impulsivitasnya meningkat. Misalnya, secara tiba-tiba ODS
melempar makanan ke lantai.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 13


Terapi Biologik

Tindakan impulsivitas yang serius dapat berupa melukai orang lain atau bunuh diri.
Tindakan ini dapat disebabkan oleh adanya waham atau halusinasi yang berbentuk perintah
yang menyuruh ODS melakukan tindakan tersebut. Adanya riwayat tindakan kekerasan
sebelumnya atau perilaku yang berbahaya selama di rumah sakit, halusinasi dan waham
dapat memprediksi tindakan kekerasan.

Selama periode agitasi, ODS terlihat susah tidur, gejala-gejala berfluktuasi dengan cepat.
Secara subjektif, ODS sangat menderita akibat gejala-gejala yang ada. Selain itu, agitasi
merupakan gejala yang sangat menakutkan karena sering meningkat menjadi perilaku
atau tindakan kekerasan (violence) dan destruktif. Tindakan kekerasan yaitu agresi fisik
oleh seseorang yang ditujukan kepada orang lain. Yang sering menjadi korban kekerasan
adalah keluarga, petugas medik atau ODS lainnya. Oleh karena itu, intervensi cepat sangat
diperlukan untuk mencegah ODS melukai dirinya, keluarga atau orang lain. (Morh P et al.,
2005)

Pada fase akut skizofrenia, perilaku agresif juga sering terlihat. Agresif merupakan
sikap melawan secara verbal atau kekerasan fisik yang ditujukan kepada benda atau
orang lain. Risiko terjadinya perilaku agresif meningkat bila ia berkomorbiditas dengan
penyalahgunaan alkohol atau zat, kepribadian antisosial, tidak mempunyai pekerjaan,
dan gangguan neurologi serta riwayat kekerasan sebelumnya. Ide-ide kejaran dan/atau
halusinasi perintah dikaitkan dengan agresivitas. Mengidentifikasi faktor risiko terkait
perilaku agresif dan menilai perilaku yang membahayakan adalah hal yang penting pada
fase akut. (Moran P et al., 2003)

Agitasi akut dapat dipresipitasi oleh berbagai faktor, baik psikiatrik maupun nonpsikiatrik.
Misalnya, agitasi dapat disebabkan oleh kondisi medik umum atau gangguan sistem saraf
pusat (SSP). Hal ini hendaklah menjadi salah satu pertimbangan dalam pemilihan terapi.
Untuk menentukan adanya gangguan organik, derajat kesadaran ODS merupakan tanda
utama. Oleh karena itu, sebaiknya dihindari menggunakan terapi yang menyebabkan sedasi
berlebihan karena dapat mengganggu penegakan diagnosis dan dapat pula mengganggu
hubungan dokter-ODS. Terapi yang tepat dengan awitan kerja yang cepat sangat diperlukan
untuk mencegah atau mengurangi penderitan ODS. (Yildiz A et al., 2003)

Pemeriksaan Pada Fase Akut


Pemeriksaan awal, misalnya riwayat lengkap tentang kondisi medik umum dan psikiatrik,
pemeriksaan fisik dan status mental, hendaklah dilakukan pada setiap ODS. Kadang-
kadang pemeriksaan yang adekuat tidak mungkin dilakukan pada saat pertemuan pertama
dengan ODS karena ODS dalam keadaan gaduh gelisah. Dalam keadaan darurat atau
adanya risiko keselamatan ODS, berbicara dengan keluarga sangat diperlukan meskipun
ODS tidak mengizinkan. Selain itu, sering ODS tidak mampu memberikan riwayat penyakit
yang akurat pada pemeriksaan pertama sehingga diperlukan data dari keluarga.

14 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

Beberapa faktor yang sering berkontribusi dalam terjadinya kekambuhan adalah


ketidakpatuhan terhadap obat antipsikotika, penyalahgunaan zat, dan adanya stresor
kehidupan. Ketidakpatuhan terhadap obat antipsikotika dapat dinilai berdasarkan
laporan ODS, anggota keluarga atau pengasuh lainnya, menghitung pil, dan pengulangan
pengambilan resep. Untuk beberapa obat, penilaian kadar obat dalam darah mungkin
diperlukan.

Perhatian terhadap interaksi obat yang dapat memengaruhi kadar obat dalam darah
atau meningkatkan toksisitas sehingga menimbulkan ketidakpatuhan, harus pula dinilai.
Apabila kekambuhan diduga akibat ketidakpatuhan, alasan ketidakpatuhan terhadap
pengobatan tersebut harus dievaluasi dan dibuat perencanaan untuk mengatasinya.
Kadang-kadang, meskipun ODS makan obat secara teratur, kekambuhan dapat pula terjadi
karena perjalanan penyakit skizofrenia itu sendiri.

Penyalahgunaan zat harus dievaluasi secara rutin. Pemeriksaan urin, untuk melihat
adanya penyalahgunaan zat, bila ada indikasi, perlu dilakukan. Perlu disadari bahwa
beberapa obat yang disalahgunakan, misalnya halusinogen tidak terditeksi di dalam urin.
Bila ada dugaan ke arah tersebut, pemeriksaan darah dapat dilakukan. Putus alkohol atau
beberapa zat lainnya dapat memperburuk gejala psikotik. Kemungkinan adanya putus zat
dapat dievaluasi dengan mengetahui riwayat medik dan memantau tanda-tanda vital pada
semua ODS yang mengalami eksaserbasi akut.

Kondisi medik yang juga berkontribusi dalam terjadinya kekambuhan dievaluasi dengan
menanyakan riwayat medik, pemeriksaan neurologi, fisik, radiologi dan laboratorium.
Pemeriksaan berat badan dan tanda-tanda vital, misalnya denyut nadi, tekanan darah,
frekuensi nafas, dan temperatur harus pula dilakukan. Pemeriksaan laboratorium lainnya,
misalnya pemeriksaan darah tepi, pengukuran elektrolit darah, glukosa, kolesterol,
trigliserida, fungsi hati, ginjal dan tiroid, dapat pula dilakukan. Bila diduga ada indikasi,
penentuan status HIV dan hepatitis C, harus pula dilaksanakan. Penilaian adanya
komorbiditas dengan kondisi medik umum sangat perlu karena akan memengaruhi
pemilihan obat untuk ODS.

Pemeriksaan pencitraan otak, misalnya CT-scan dan MRI dapat pula memberikan
informasi, terutama dalam menilai ODS dengan awitan baru atau dengan bentuk klinik yang
atipik. Meskipun demikian, CT-scan atau MRI tidak dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis skizofrenia. Hasil CT-scan atau MRI yang menunjukkan pelebaran ventrikel dan
berkurangnya volume korteks dapat meningkatkan kepercayaan terhadap diagnosis dan
memberikan informasi yang relevan tentang rencana pengobatan dan prognosis. Karena
neuropatologi, pada skizofrenia, kadang-kadang bentuknya sangat ringan, penggunaan
MRI lebih bisa diandalkan daripada CT-scan.

Adanya potensi bunuh diri dan halusinasi berbentuk perintah, perlu diperhatikan.
Pertanyaan mengenai adanya ide-ide bunuh diri, mood depresi, tindakan bunuh diri
sebelumnya dapat memprediksi tindakan bunuh diri selanjutnya pada penderita dengan

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 15


Terapi Biologik

skizofrenia. Faktor risiko bunuh diri lainnya, misalnya ansietas, ketidakberdayaan, efek
samping ekstrapiramidal (akatisia), gangguan penyalahgunaan zat, perlu pula diketahui.
Adanya penyalahgunaan zat dapat meningkatkan risiko kekerasan. Evaluasi mengenai
perilaku berbahaya atau agresif, kemungkinan ODS melukai orang lain, atau bentuk
kekerasan lainnya, perlu dilakukan. Karena perilaku sebelumnya dapat memprediksi
perilaku selanjutnya, anggota keluarga sering dapat membantu memberikan keterangan
adanya risiko ODS melukai dirinya atau orang lain.

Gangguan kepribadian antisosial atau ciri-ciri kepribadian antisosial perlu pula dievaluasi.
Gangguan kepribadian ini dapat pula berkomorbiditas dengan skizofrenia. Adanya gangguan
kepribadian ini dapat meningkatkan tindakan kekerasan. Selain itu, riwayat tindakan
kekerasan, cacatan kriminal sebelumnya, dan isi wahamnya perlu segera diketahui pada
penderita skizofrenia yang bekomorbiditas dengan gangguan kepribadian antisosial.

Episode Pertama
Tanda-tanda atau gejala-gejala harus diobservasi dengan cermat dan didokumentasikan
karena episode pertama sering memiliki gejala yang polimorfik. Gejala-gejala tersebut
dapat menyerupai berbagai gangguan, misalnya gangguan skizofreniform, gangguan
bipolar, atau gangguan skizoafektif.

Sebagian besar ODS dengan episode pertama memberikan respon yang baik terhadap
pengobatan. Meskipun responnya baik, ODS lebih rentan terhadap efek samping. Oleh
karena itu, dosis obat yang dibutuhkan sering lebih rendah.

Sekitar 70% ODS dengan episode pertama mencapai remisi gejala atau tanda-tanda
psikotik dalam tiga hingga empat bulan pengobatan. Sebanyak 83% mencapai remisi
stabil setelah satu tahun. Mengurangi risiko kekambuhan pada ODS yang telah mengalami
remisi sangat perlu. Mempertahankan kepatuhan terhadap pengobatan merupakan salah
satu usaha mencegah kekambuhan. Oleh karena itu, edukasi dan dukungan perlu diberikan
kepada ODS dan anggota keluarganya. (Lehman AF et al., 2004)

Tatalaksana Psikiatrik Pada Fase Akut


Tujuan terapi pada fase akut adalah mencegah ODS melukai dirinya atau orang lain,
mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala psikotik dan gejala
terkait lainnya, misalnya agitasi, agresi, dan gaduh gelisah. Langkah pertama yang harus
dilakukan adalah berbicara kepada ODS dan memberinya ketenangan. Langkah selanjutnya
yaitu keputusan untuk memulai pemberian obat oral. Pengikatan atau penempatan ODS
di ruang isolasi (seklusi) mungkin diperlukan dan hanya dilakukan bila ODS berbahaya
terhadap dirinya dan orang lain serta bila usaha restriksi lainnya tidak berhasil. Pengikatan
tersebut hanya boleh untuk sementara yaitu sekitar dua-empat jam dan ini digunakan
untuk memulai pengobatan. Setelah mendapat obat, biasanya ODS akan lebih tenang.

16 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

Pengisolasian dan pengikatan harus didokumentasikan dengan baik. Kondisi fisik dan
psikologiknya harus selalu dipantau atau ODS tidak boleh dibiarkan begitu saja. Semua
perubahan dan kemajuannya harus dicatat. Isolasi tidak boleh dilakukan terhadap ODS
dengan penyakit fisik berat. (Morh P et al., 2005)

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya episode akut, perlu pula diketahui.


Mengembalikan ODS sesegera mungkin ke derajat fungsi paling tinggi sebelumnya,
mengembangkan aliansi dengan ODS dan keluarga, memformulasikan rencana terapi
jangka pendek dan jangka panjang, menghubungkan ODS dengan institusi perawatan yang
sesuai di komunitas, perlu pula dilakukan.

Usaha membangun kerja sama, aliansi terapetik, dengan keluarga atau caregiver lainnya
sering lebih berhasil ketika fase akut, baik pada episode pertama maupun episode
eksaserbasi. Keadaan akut merupakan stresor yang bermakna sehingga keluarga sangat
memerlukan dukungan dan biasanya pendekatan kepada keluarga lebih mudah dilakukan
ketika ODS dalam keadaan akut. (Lehman AF et al., 2004)

Meskipun terapi oral lebih baik, pilihan obat injeksi untuk mendapatkan awitan kerja yang
lebih cepat serta hilangnya gejala dengan segera perlu dipertimbangkan. Trankuilisasi
cepat yaitu pengulangan pemberian obat dengan interval waktu yang pendek, biasanya
dalam satu atau satu setengah jam, kadang-kadang diperlukan. Pemberian haloperidol
dengan dosis yang sangat tinggi untuk mengatasi agitasi akut, dahulu, selalu
direkomendasikan. Sekarang, pemberian dosis tinggi ini tidak dianjurkan lagi karena tidak
ada perbedaan efektivitas antara dosis tinggi dengan dosis terapetik. Ada dua penelitian
yang membuktikannya yaitu penelitian yang membandingkan rerata dosis haloperidol 48
mg/hari dengan 12,5 mg/ hari dan penelitian lainnya yang membandingkan haloperidol
dengan dosis eskalasi mulai dari 20 mg/hari atau 100mg/hari pada hari kelima, dan 100
mg pada hari kesepuluh yang dibandingkan dengan dosis stabil haloperidol 10 mg. Kedua
penelitian ini tidak memperlihatkan adanya perbedaan efektivitas antara penggunaan
dosis tinggi dengan dosis terapetik. Sebaliknya, efek samping lebih sering terlihat pada
dosis besar. (Neoborsky R et al., 1981)

Di samping intervensi farmakologik, intervensi nonfarmakologik, perilaku, dan intervensi


sosial, serta lingkungan harus pula dilakukan. Dengan kata lain, pendekatan pada fase
akut hendaklah komprehensif. Semua objek berbahaya yang dapat digunakan ODS
sebagai senjata, segera disingkirkan. Situasi yang dapat merangsang ODS, misalnya
radio atau televisi sebaiknya dimatikan. Jumlah petugas di ruang akut, hendaklah cukup.
Petugas tidak boleh membelakangi ODS. ODS harus didekati dengan penuh percaya diri,
berbicara dengan tenang tetapi tegas. ODS dibiarkan bertanya atau diajukan pertanyaan
yang bersifat mendukungnya atau yang dapat memventilasikan masalahnya. Kontak mata
sangat diperlukan tetapi kalau ODS merasa tidak nyaman, jangan dilakukan.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 17


Terapi Biologik

Tantangan terapetik utama bagi klinikus adalah memilih dan menentukan dosis baik
farmakaologi maupun intervensi psikososial sesuai dengan gejala, fungsi, dan perilaku
sosial yang terlihat pada ODS. Fase akut tidak selalu memerlukan hospitalisasi. Dengan
berkembangnya pengobatan dan program berbasis komunitas, penatalaksanaan fase akut
mungkin dapat dilakukan di luar rumah sakit.

Diagnosis yang akurat mempunyai implikasi yang amat penting dalam perencanaan terapi
jangka pendek dan jangka panjang. Meskipun demikian, diagnosis adalah suatu proses
bukan suatu peristiwa sesaat. Informasi baru tentang ODS mungkin saja didapat setelah
diagnosis ditegakkan. Oleh karena itu, perubahan diagnosis dapat saja terjadi dan rencana
terapi dapat pula berubah.

Penggunaan Antipsikotika Pada Fase Akut


Bila sudah ditegakkan diagnosis, target terapi harus ditentukan supaya ukuran luaran, yang
mengukur efek terapi, dapat diperkirakan. Target terapi dan juga penilaiannya, misalnya
gejala positif, negatif, depresi, ide atau perilaku bunuh diri, gangguan penyalahgunaan
zat, komorbiditas dengan penyakit medik, isolasi sosial, tidak mempunyai pekerjaan,
keterlibatan dalam kriminal, harus pula dievaluasi.

Faktor-faktor psiksosial harus pula dievaluasi dan kemudian intervensinya diformulasikan


dan diimplementasikan. Formulasikan pula pemilihan modalitas terapi, tipe terapi yang
spesifik, dan tempat pemberian terapi. Mengevaluasi kembali diagnosis dan terapi secara
periodik perlu pula dilakukan agar tercapai praktik klinik yang baik.

Terapi farmakologi harus segera diberikan kepada ODS dengan agitasi akut karena agitasi,
baik pada episode pertama maupun eksaserbasi akut, berkaitan dengan penderitaan,
mengganggu kehidupan ODS, berisiko melukai diri sendiri, orang lain, dan merusak
benda-benda. Walaupun demikian, terapi yang diberikan jangan sampai memengaruhi
penilaian terhadap diagnosis.

Sebelum pemberian antipsikotika, pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan. Selain itu,


jika memungkinkan, manfaat dan risiko obat yang akan diberikan didiskusikan terlebih
dahulu dengan ODS dan keluarga. Meskipun ODS dalam keadaan agitasi atau dengan
gangguan isi pikir, hubungan dokter-ODS harus dibangun sejak hari pertama.

Aliansi terapetik dapat meningkat bila dokter dan ODS, secara bersama-sama, bisa
mengidentifikasi target gejala, misalnya ansietas, gangguan tidur, halusinasi dan waham
yang secara subjektif merupakan penderitaan bagi ODS. Selain itu, ODS dapat pula
mengalami defisit atensi dan kognitif lainnya yang sering menjadi lebih berat ketika
eksaserbasi akut. Gejala-gejala ini dapat dijadikan alasan untuk mendorong ODS bersedia
menerima pengobatan. Pemberian edukasi kepada ODS bahwa antipsikotika berfungsi
mengatasi gejala-gejala yang dideritanya, dapat meningkatkan aliansi terapetik, pada
keadaan akut. Jadi, klinikus dapat mencari gejala yang mengganggu ODS (dengan

18 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

menanyakan kepada ODS) dan kemudian meyakinkan ODS bahwa obat dapat mengatasi
gejala tersebut. Kiat ini dapat membantu untuk membangun aliansi terapetik.

Obat APG-I
Injeksi APG-I sering digunakan untuk mengatasi agitasi akut pada skizofrenia. Kerja obat
ini sangat cepat. Walaupun demikian, ada beberapa efek samping yang sering dikaitkan
dengan injeksi APG-I, misalnya distonia akut dan pemanjangan QTc. Efek samping ini
dapat menyebabkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan.(7) (Addonizio G and Alexopoulos
GS, 1988)

Penggabungan antara APG-I dengan benzodiazepin juga sering digunakan. Penggunaannya


juga terbatas karena seringnya terjadi efek samping. Misalnya, benzodiazepin dapat
menyebabkan depresi pernafasan, sedasi berlebihan, atau dapat menginduksi perilaku
disinhibisi yang dapat memperburuk keadaan. Selanjutnya, APG-I, misalnya haloperidol,
dapat pula menyebabkan gejala ekstrapiramidal (EPS), abnormalitas elektrokardiogram
(EKG), sedasi berlebihan atau sindrom neuroleptik malignansi (SNM). Efek samping ini
dapat menimbulkan penderitaan bagi ODS dan memberikan dampak buruk terhadap
kepatuhan dan penerimaan terhadap terapi jangka panjang. (Marder SR and Kane JM,
2005)

Obat APG-II
Obat APG-II, baik oral maupun injeksi, bermanfaat dalam mengendalikan agitasi pada fase
akut skizofrenia. Selain itu, tolerabilitas dan keamanannya lebih baik bila dibandingkan
dengan APG-I. Hasil penelitian menunjukkan bahwa obat injeksi jangka pendek APG-II,
misalnya olanzapin, aripiprazol, dan ziprasidon efektif mengontrol agitasi pada fase akut
skizofrenia. (Breier A et al., 2002; Brook S et al., 2005; Andrezina R et al., 2006)

Saat ini, tersedia beberapa injeksi APG-II dengan efek samping akut minimal. Meminimalkan
efek samping akut, misalnya distonia akut, dapat meningkatkan penerimaan ODS terhadap
pengobatan dan keinginan ODS melanjutkan terapi antipsikotika.

Inisiasi cepat pada terapi emergensi diperlukan bila ODS memperlihatkan perilaku agresif
terhadap dirinya, orang lain atau objek. Ketika ODS di dalam ruangan gawat darurat, unit
perawatan, atau fasilitas terapi akut lainnya, protokol standar operasional baku untuk
mengatasi keadaan akut yang tersedia harus diikuti agar terapi yang diberikan sesuai
dengan yang diharapkan.

Sebagian besar ODS dalam fase akut, biasanya memperlihatkan ketakutan dan kebingungan.
Oleh karena itu, keterlibatan beberapa petugas pada intervensi pertama sangat diperlukan.
Petugas rumah sakit harus berbicara kepada ODS dan berusaha menenangkannya. Usaha
menenangkan ODS harus dilakukan terlebih dahulu. Apabila gagal menenangkan ODS,
mengisolasi atau mengikat ODS dapat dilakukan. Pengikatan ODS hanya dilakukan oleh

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 19


Terapi Biologik

tim yang sudah terlatih. Tindakan pengikatan ODS bertujuan untuk mengurangi risiko
ODS melukai dirinya atau petugas lainnya. Oleh karena itu, pengikatan jangan sampai
melukai ODS.

Pemilihan obat sering ditentukan oleh pengalaman ODS dengan antipsikotika sebelumnya,
misalnya respon terhadap gejala, pengalaman efek samping, dan cara (route) pemberian
obat. Dalam pemilihan obat, klinikus dapat mempertimbangkan respon ODS terahadap
obat sebelumnya -termasuk respon ODS yang sifatnya subjektif, misalnya disforik- dan efek
samping obat. Adanya komorbiditas dengan kondisi medik umum, dan potensi interaksi
dengan obat lain harus pula diperhatikan.

Sebagian besar ODS memilih penggunaan obat secara oral. Jika ODS bersedia menggunakan
obat oral, bentuk sediaan yang cepat larut (olanzapin dan risperdon), dapat digunakan
untuk mendapatkan efek yang lebih cepat dan mengurangi ketidakpatuhan. Selain itu,
formula dalam bentuk cair, misalnya risperidon dalam bentuk cair juga bermanfaat untuk
mengatasi agitasi akut. Apabila ODS tidak bersedia menggunakan obat oral, pemberian
obat injeksi dapat dilakukan meskipun ODS menolak. Jadi, tawaran penggunaan obat oral
merupakan usaha pertama yang dilakukan untuk mengatasi keadaan agitasi.

Injeksi antipsikotika sangat membantu untuk mengurangi agitasi. Formula injeksi jangka
pendek APG-II, misalnya olanzapin, ziprasidon, dan aripiprazol dengan atau tanpa
benzodiazepin, misalnya lorazepam, dapat digunakan untuk mengatasi agitasi. Dosis yang
direkomendasikan harus efektif dan tidak menyebabkan efek samping yang secara subjektif
sulit ditoleransi oleh ODS. Pengalaman yang tidak menyenangkan dapat memengaruhi
kepatuhan terhadap terapi jangka panjang.

Titrasi dosis harus dilakukan dengan cepat, hingga mencapai target dosis terapetik.
Walaupun demikian, kemampuan toleransi ODS terhadap obat yang diberikan, harus
pula dipertimbangkan. Apabila ada efek samping yang tidak nyaman, pemantauan status
klinik ODS selama 2-4 mingggu perlu dilakukan untuk mengevaluasi respon ODS terhadap
pengobatan. Pada ODS yang responnya lambat, klinikus harus lebih bersabar dalam
meningkatkan dosis. Dengan kata lain, peningkatan dosis yang cepat harus dihindari.
Bila tidak ada perbaikan, perlu dilakukan evaluasi kemungkinan adanya ketidakpatuhan
terhadap pengobatan, cepatnya metabolisme, atau buruknya absorbsi obat.

Obat tambahan sering pula diberikan untuk mengatasi komorbiditas pada fase akut.
Misalnya, benzodiazepin sering digunakan untuk mengatasi katatonia, ansietas, dan agitasi
hingga efek terapetik antipsikotika tercapai. Antidepresan dapat pula dipertimbangkan
untuk mengobati komorbiditas dengan depresi mayor atau dengan gangguan obsesif-
kompulsif. Walaupun demikian, kewaspadaan terjadinya eksaserbasi psikotik akibat
pemberian antidepresan perlu pula ditingkatkan. Stabilisator mood dan beta-bloker dapat
pula dipertimbangkan untuk mengurangi beratnya rekuren hostilitas dan agresi. Terjadinya
interaksi obat perlu diperhatikan terutama yang terkait dengan ensim sitokrom P450.

20 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

Efek samping akut, misalnya hipotensi ortostatik, pusing, gejala ekstrpiramidal (misalnya,
reaksi distonia akut dan akatisia), insomnia, sedasi, harus pula didiskusikan dengan
ODS. Sebaliknya, efek samping jangka panjang belum perlu dibahas hingga episode akut
teratasi. Menjelaskan kemungkinan efek samping akut dapat meningkatkan kemampuan
ODS untuk mengidentifikasi dan melaporkan keberadaan efek samping tersebut dan hal
ini dapat mempertahankan aliansi terapetik.

Olanzapin Injeksi
Sebuah penelitian dilakukan untuk mengetahui manfaat injeksi jangka pendek
olanzapin 10 mg dalam mengatasi agitasi pada skizofrenia dalam keadaan akut. Sebagai
pembandingnya yaitu haloperidol 7,5 mg dan plasebo. Untuk menilai agitasi digunakan
instrumen the Excited Component of the Positive and Negative Syndrome Scale atau
PANSS-EC yang terdiri dari lima butir yaitu ketegangan, ketidakkooperatifan, hostilitas,
buruknya pengendalian impuls, dan gaduh gelisah. Kisaran nilai pada masing-masing
butir PANSS-EC adalah antara 1-7. Skor 1 = absen; 2 = minimal, 3 = ringan, 4 = sedang,
5 = berat sedang; 6 = berat; 7 = berat sekali.

Penilaian dengan PANSS-EC dilakukan pada 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 menit setelah
injeksi pertama. Luaran dinilai setelah dua jam. Efek samping dinilai dengan instrumen
Barnes Akathisia Scale (BAS) dan Simpson Angus Scale (SAS) yang terdiri dari 10 butir
yang nilainya berkisar antara 0-4 (0 = absen, 1 = ringan, 2 = sedang, 3 = berat; 4 =
berat sekali). Selain itu, instrumen the Agitated Behavior Scale (ABS) dan the Agitation
Calmness Evaluation Scale (ACES) yang terdiri dari sembilan butir skala (misalnya, 1 =
agitasi jelas, 4 = perilaku normal, 9 = tidak dapat dibangunkan), juga digunakan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa olanzapin efektif untuk mengurangi agitasi akut,
pada subjek dan awitan kerjanya, secara bermakna, lebih cepat bila dibandingkan dengan
plasebo. Perbedaannya dengan plasebo terlihat pada 15, 30, dan 45 menit setelah
injeksi pertama. Rerata skor ABS dan ACES, setelah injeksi pertama hingga dua jam, juga
mengalami perbaikan yang bermakna. Perbedaan ini juga terlihat hingga 24 jam setelah
injeksi pertama.

Dalam 24 jam setelah injeksi pertama, subjek yang mendapat tambahan injeksi
benzodiazepin lebih banyak pada kelompok yang mendapat plasebo bila dibandingkan
dengan kelompok yang mendapat olanzapin atau haloperidol. Subjek yang mendapat obat
tambahan antikolinergik lebih banyak pada kelompok yang mendapat haloperidol bila
dibandingkan dengan olanzapin atau plasebo. Jadi, uji klinis ini menyimpulkan bahwa
olanzapin tidak inferior bila dibandingkan dengan haloperidol. Tidak ditemukan adanya
distonia akut pada kelompok subjek yang mendapatkan olanzapin. Bila dibandingkan
dengan plasebo, tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada QTc interval. Dengan
demikian, ODS yang memerlukan pengurangan agitasi dengan cepat dan yang menolak
penggunaan terapi oral, injeksi olanzapin dapat diberikan karena risiko terjadinya distonia
akut dan pemanjangan QTc sangat rendah.
Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 21
Terapi Biologik

Pengurangan derajat agitasi, dengan injekasi olanzapin 10 mg atau haloperidol 7,5 mg


yang terlihat dalam 24 jam setelah injeksi pertama tersebut, tetap bertahan selama empat
hari dengan pemberian oral olanzapin 5-20 mg atau haloperidol 5-15 mg/hari. Distonia
akut dan akatisia terjadi lebih sering pada kelompok haloperidol bila dibandingkan
dengankelompok olanzapin sehingga kelompok yang mendapat haloperidol memerlukan
lebih banyak antikolinergik. Begitu pula halnya dengan dua jam setelah injeksi, bila
dibandingkan dengan plasebo, olanzapin injeksi (10 mg/injeksi) lebih superior. Bila
dibandingkan dengan haloperidol (7,5 mg/injeksi), olanzapin tidak inferior. Dosis olanzapin
yang digunakan adalah 5, 7,5 dan 10 mg. (Breier A et al., 2002)

Aripiprazol Injeksi
Terapi aripiprazol oral memperlihatkan efikasi dalam mengatasi fase akut atau eksaserbasi
akut skizofrenia. Ia juga efektif untuk terapi rumatan jangka panjang. Profil tolerabilitas
dan keamanannya baik dan hal ini terlihat dari rendahnya efek samping ekstrapiramidal,
sedasi serta tidak adanya peningkatan berat badan, kadar prolaktin, dan pemanjangan
QTc pada EKG.

Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap ODS atau skizoafektif yang dalam keadaan
agitasi akut, berusia paling sedikit 18 tahun, lelaki dan perempuan, dan memiliki skor
Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) Excited Component (PEC) > 15 dan <
32, serta paling sedikit dua dari lima butir PEC mempunyai skor > 4 menunjukkan bahwa
aripiprazol injeksi efektif dan sebanding dengan haloperidol dan ditoleransi baik oleh
subjek dengan agitasi akut.

Subjek yang dimasukkan ke dalam penelitian ini adalah subjek dengan diagnosis
skizofrenia atau skizoafektif, sesuai definisi DSM-IV dan kemudian dikonfirmasi dengan
Mini International Neuropsychiatric Interview (MINI), dalam keadaan agitasi akut tetapi
masih dapat dinilai dengan skala psikiatrik yang digunakan, dapat mengikuti protokol
penelitian, bersedia menghentikan semua psikotropik yang digunakan, dan mampu
meberikan pernyataan kesediaan berpartisipasi dalam penelitian.

Evaluasi baseline dilakukan satu jam sebelum injeksi pertama. Subjek dibolehkan
menerima tiga kali injeksi dalam 24 jam. Injeksi kedua, bila diperlukan, diberikan, paling
sedikit, dua jam setelah injekasi pertama. Injeksi ketiga, paling sedikit dua jam setelah
injekasi kedua atau empat jam setelah injeksi pertama. Injeksi terakhir diberikan tidak
boleh lebih dari dua puluh jam setelah injeksi pertama. Pada kelompok plasebo, bila
diperlukan injeksi ketiga, obat yang diberikan adalah aripiprazol 9,75 mg/injeksi.

Dosis aripiprazol adalah 9,75 mg/injeksi dan dosis maksimumnya yaitu 29,25 mg/hari.
Dosis haloperidol adalah 6,5 mg/injeksi dan dosis maksimumnya adalah 19,5 mg/hari.
Ukuran luaran efikasi adalah perbedaan antara rerata skor PEC pada baseline dengan skor
PEC dua jam setelah injeksi pertama. Butir PEC terdiri dari hostilitas, ketidakkooperatifan,

22 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

gaduh gelisah, buruknya pengendalian impuls, dan ketegangan. Ukuran luaran sekunder
dipakai Clinical Global Impression-Improvement (CGI-I) scale dan Clinical Global
Impression-Severity of Illness (CGI-S) scale. Selain itu, ACES dan Corrigan Agitated
Behavior Scale (CABS) juga digunakan. Untuk menilai beratnya gejala yang berkaitan
dengan skizofrenia digunakan PANSS.

Salama penelitian, penilaian efikasi dilakukan pada baseline dan pada waktu-waktu
berikut yaitu 30 menit, 45 menit, satu, satu setengah, dua, empat, enam, dua belas dan
dua puluh empat jam setelah injeksi pertama. Penilaian efikasi dilakukan segera sebelum
injeksi ulang atau sebelum pemberian terapi lorazepam. Evaluasi injeksi ulang dilakukan
pada satu dan dua jam setelah injeksi. Penilaian PANSS dilakukan pada baseline, dua
dan 24 jam.

Keamanan, misalnya EPS dinilai dengan SAS dan BARS dinilai pada 2, 4, 6, 12, dan 24
jam setelah injeksi pertama. Obat lain yang boleh diberikan hanya lorazepam dengan dosis
maksimum 4 mg/hari. Obat dinyatakan berespons bila skor PEC, dibandingkan dengan
baseline, turun sebanyak > 40%, dua jam setelah injeksi pertama.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aripiprazol injeksi efektif mengontrol agitasi
akut pada ODS dengan skizofrenia atau skizoafektif. Superiornya aripiprazol injeksi,
bila dibandingkan dengan plasebo, terlihat dari perbaikan yang bermakna pada gejala
agitasi yang dinilai dengan PEC, dua jam setelah injeksi. Hasil akhir PEC menunjukkan
bahwa aripiprazol injkesi noninferior bila dibandingkan dengan haloperidol injeksi. Hasil
keseluruhan ukuran efikasi sekunder menunjukkan bahwa aripiprazol injeksi lebih superior
bila dibandingkan dengan plasebo dan noninferior bila dibandingkan dengan haloperidol
injeksi.

Bila dibandingkan dengan plasebo, perbaikan gejala agitasi dengan aripiprazol dicapai
dalam waktu satu jam setelah injeksi pertama, sedangkan dengan haloperidol injeksi
dicapai dalam waktu 45 menit. Pencapaian perbaikan dengan haloperidol lebih cepat
bila dibandingkan dengan aripirazol tetapi secara statistik tidak terdapat perbedaan yang
bermakna.

Aripiprazol ditoleransi dengan baik. Insiden EPS lebih rendah pada kelompok aripiprazol
injeksi (1,7%) bila dibandingkan dengan kelompok plasebo injeksi (2,3%) atau dengan
kelompok haloperidol injeksi (12,6%). Selama pengobatan, skor SAS membaik pada
kelompok aripiprazol injeksi dan sebaliknya pada kelompok haloperidol injeksi yaitu
terjadi perburukan. Tingginya kecenderungan EPS dengan haloperidol injeksi membatasi
efektivitasnya secara keseluruhan dalam mengatasi agitasi akut.

Akatisia dan distonia sering terlihat pada pemberian haloperidol injeksi. Gejala ini
menyebabkan penderitaan pada ODS dan keluarganya dan dapat memengaruhi sikap dan
kepatuhan terhadap pengobatan antipsikotika selanjutnya. (Andrezina R et al., 2006)

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 23


Terapi Biologik

Sebuah penelitian lainnya melaporkan bahwa terlihat perbaikan skor PEC dengan
aripiprazol, dosis 5,25, dan 9,75, serta 15 mg/injeksi (penambahan cairan 07, 1,3,
dan 2 dari 7,5 ml) dan haloperidol 7,5 mg dibandingkan dengan plasebo, setelah dua
jam injeksi. Bila dibandingkan dengan plasebo, awitan kerja aripiprazol lebih cepat dan
perbaikan skor PEC yang bermakna terlihat pada 45 menit dan satu jam setelah aripirazol
injeksi (9,75 mg dan 15 mg) dan terlihat pula penurunan yang bermakna pada skor
ACES dengan pencapaian skor 4 (fungsi normal) dua jam setelah injeksi. Beberapa subjek
pada kelompok aripiprazol injeksi mempunyai skor ACES bernilai 8 (tidur dalam) dan 9
(tidak dapat dibangunkan). Subjek dengan skor bernilai 4 terlihat lebih banyak. Hal ini
menunjukkan bahwa aripiprazol injeksi mempunyai efek menenangkan (calming effect)
atau kecenderungan sedasi berlebihannya rendah. Dengan kata lain, aripiprazol injeksi
memiliki insiden efek samping terkait sedasi cukup rendah. Sedasi yang berlebihan dapat
pula memengaruhi efektivitas terapi agitasi karena ia dapat memengaruhi kelancaran
wawancara, evaluasi, dan pencapaian aliansi terapetik yang efektif dengan ODS. (Frank
AF, Gunderson JG, 1990) Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan antipsikotika yang sering
digunakan.

Tabel 1. Obat Antipsikotik yang Sering Digunakan

Rentang Dosis Ekivalen Klorpromazin Waktu paruh


Obat antipsikotik
Anjuran (mg/hari) (mg/hari) (jam)
Antipsikotik Generasi I
Fenotiazin
Klorpromazin 300–1000 100 6
Flufenazin 5–20 2 33
Perfenazin 16–64 10 10
Thioridazin 300–800 100 24
Trifluoperazin 15–50 5 24
Butirofenon
Haloperidol 5–20 2 21
Lainnya
Loksapin 30–100 10 4
Antipsikotik Generasi II
Aripiprazol 10–30 75
Klozapin 150–600 12
Olanzapin 10–30 33
Quetiapin 300–800 6
Risperidon 2–8 24

Sumber: Preston JD et al., 2010 dan Practice Guideline For The Treatment of Patients With Schizophrenia, 2nd
Edition, American Psychiatric Association 2004.

24 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

Pemilihan antipsikotika sering ditentukan oleh pengalaman ODS sebelumnya dengan


antipsikotika misalnya, respons gejala terhadap antipsikotika, profil efek samping
(misalnya, disforia), kenyamanan ODS terhadap obat tertentu terkait cara pemberiannya.
Obat antipsikotika generasi kedua harus dipertimbangkan sebagai obat lini pertama untuk
fase akut skizofrenia terutama karena rendahnya efek samping ekstrapiramidal dan tardive
diskinesia (82-85). Untuk ODS yang sebelumnya sudah berhasil diobati dengan APG-I
atau ODS lebih memilih APG-I dan secara klinis obat tersebut memang bermanfaat, maka
untuk ODS tersebut obat APG-I dapat dijadikan pilihan pertama.

Kecuali klozapin yang efektif untuk ODS yang sudah resisten dengan terapi, untuk
mengobati gejala positif skizofrenia, semua antipsikotika, secara umum efikasinya sama.
Untuk mengobati psikopatologi global, gejala kognitif, negatif dan mood, APG-II lebih baik
daripada APG-I. Meskipun demikian, tidak semua setuju dengan pendapat ini.

Tidak ada bukti suatu APG-II lebih baik daripada APG-II lainnya. Ternyata terdapat
perbedaan respons individual. Riwayat efek samping dapat menjadi pertimbangan dalam
pemilihan antipsikotika. Tabel 2. di bawah ini adalah efek samping terkait dengan
antipsikotika.

Tabel 2. Pilihan Obatan untuk Fase Akut Skizofrenia


Pertimbangan bentuk pemberian pengobatan
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4
Profil pasien
Agen generasi Risperidon, Olanzapin Injeksi obat
pertama Quetiapin, Ziprazidon Klozapin antipsikotik jangka
Aripiprazol panjang
Episode pertama Ya
Perilaku atau ide bunuh diri Ya
yang menetap
Perilaku agresif dan Ya
permusuhan yang menetap
Ya; obat-obat Kelompok 2
mungkin tdk sama dlm sifat
Diskinesia tardiva
lebih rendah / tidak adanya Ya
risiko diskinesia tardiva
Riwayat sensitivitas terhadap Ya, kecuali Risperidon
efek samping ekstrapiramidal dosis lebih tinggi
Riwayat sensitivitas terhadap Ya, kecuali Risperidon
peningkatan prolaktin
Riwayat sensitivitas terhadap Ziprazidon atau Aripirazol
peningkatan berat badan,
hiperglikemia, hiperlipidemia
Ketidakpatuhan yang berulang Ya
terhadap pengobatan farmakologi
Sumber: Practice Guideline For The Treatment of Patients With Schizophrenia, 2nd Edition, American Psychiatric
Association 2004.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 25


Terapi Biologik

Obat APG-I
Ditemukannya antipsikotika memberikan perubahan besar dalam pengobatan skizofrenia.
Klorpromazin digunakan tahun 1952 sebagai sedatif pasca operasi. Selanjutnya, ia
digunakan sebagai sedatif untuk pasien-pasien psikiatri. Kemudian ia terbukti mempunyai
khasiat antipsikotika. Setelah itu, beberapa fenotiazin lainnya dikembangkan.

Klasifikasi
Berdasarkan rumus kimianya, APG-I dibagi menjadi golongan fenotiazin (misalnya,
klorpromazin) dan golongan nonfenotiazin (contohnya, haloperidol). Menurut cara kerjanya
terhadap reseptor dopamin, ia disebut Dopamin reseptor Antagonist (DA).

Golongan fenotiazin disebut juga obat-obat berpotensi rendah (low potency), sedangkan
golongan nonfenotiazin disebut obat-obat potensi tinggi (high potency) karena hanya
memerlukan dosis kecil untuk memperoleh efek yang setara dengan klorpromazin
100mg.

Farmakokinetik
Metabolisme obat APG-I secara farmakokinetik dipengaruhi oleh beberapa hal;

1. Pemakaiannya bersama obat-obat yang menginduksi enzim (enzyme inducer),


misalnya, karbamazepin, fenitoin, etambutol, dan barbiturat. Kombinasi dengan
obat-obat tersebut akan mempercepat pemecahan antipsikotika sehingga diperlukan
dosis yang lebih tinggi.
2. Clearance Inhibitors, misalnya Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor (SSRI),
Tricyclic Antidepressant (TCA), Beta Blocker, akan menghambat ekskresi obat-obat
APG-I sehingga perlu dipertimbangkan dosis pemberiannya bila diberikan bersama-
sama.
3. Kondisi stres, hipoalbumin karena malnutrisi atau gagal ginjal dan gagal hati dapat
mempengaruhi ikatan protein obat-obat antipsikotika tersebut.

Farmakodinamik
Obat-obat APG-I terutama bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin di otak.
Sistem dopamin yang terlibat adalah sistem nigrostriatal, mesolimbokortikal, dan
tuberoinfundibuler. Manifestasi efek samping yang terjadi berkaitan dengan hambatan
yang berlebihan pada sistem-sistem tersebut. Bila hambatan pada sistem nigrostriatal
berlebihan, gangguan terutama pada aktivitas motorik dapat terjadi, sedangkan hambatan
pada sistem mesolimbokortikal dapat memengaruhi fungsi kognitif. Hambatan yang
berlebihan pada sistem tuberoinfundibuler dapat menyebabkan gangguan endokrin.

26 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

Efek samping
Efek samping dapat dikelompokkan menjadi efek samping neurologis dan nonneurologis.
Efek samping neurologis akut berupa akatisia, distonia akut dan parkinsonism (acute
extrapyramidal syndrome). Dapat juga terjadi efek samping akut berupa Sindroma
Neuroleptik Maligna (SNM) yang merupakan kondisi emergensi karena dapat mengancam
kelangsungan hidup pasien. Pada kondisi kronis atau efek samping pengobatan jangka
panjang dapat dilihat kemungkinan terjadinya diskinesia tardiva (tardive dyskinesia).

Akatisia: Yaitu suatu kondisi yang secara subjektif dirasakan oleh penderita berupa
perasaan tidak nyaman, gelisah, dan merasa harus selalu menggerak-gerakkan tungkai,
terutama kaki. Pasien sering menunjukkan kegelisahan dengan gejala-gejala kecemasan,
dan atau agitasi. Sering sulit dibedakan dari rasa cemas yang berhubungan dengan gejala
psikotiknya. Bila terjadi peningkatan kegelisahan setelah pemberian APG-I, kita harus
selalu memperhitungkan kemungkinan akatisia.

Distonia akut: Terjadi kekakuan dan kontraksi otot secara tiba-tiba, biasanya mengenai
otot leher, lidah, muka dan punggung. Kadang-kadang, pasien melaporkan awitan subakut
rasa tebal di lidah atau kesulitan menelan. Mungkin pula terjadi krisis okulogirik atau
opistotonus. Kondisi ini dapat sangat menakutkan dan tidak nyaman bagi pasien. Biasanya
terjadi pada minggu pertama pengobatan dengan APG-I

Parkinsonisme: Dapat dilihat adanya kumpulan gejala yang terdiri atas bradikinesia,
rigiditas, fenomena roda gerigi, tremor, muka topeng, postur tubuh kaku, gaya jalan seperti
robot, dan drooling (tremor kasar tangan seperti sedang membuat pil)

Sindroma Neuroleptik Maligna: Merupakan reaksi idiosinkrasi yang sangat serius dengan
gejala utama berupa rigiditas, hiperpiretik, gangguan sistem saraf otonom dan delirium.
Gejala biasanya berkembang dalam periode waktu beberapa jam sampai beberapa hari
setelah pemberian antipsikotika. Febris tinggi dapat mencapai 410C atau lebih, rigiditas
dengan ciri kaku seperti pipa disertai peningkatan tonus otot kadang-kadang sampai terjadi
mionecrosis. Bila pasien dehidrasi, mioglobinuria bisa sangat parah sehingga terjadi gagal
ginjal. Ketidakstabilan sistem autonom dapat bermanifestasi sebagai hipertensi atau
hipotensi, takikardi, diaporesis dan pallor. Aritmia jantung dapat pula terjadi. Kesadaran
berfluktuasi (delirium), kejang-kejang dan koma juga bisa ditemukan..

Efek terhadap sistem kardiovaskuler yang sering adalah hipotensi ortostatik (postural
hypotension) yaitu turunnya tekanan darah pada saat perubahan posisi tubuh terutama dari
posisi tidur ke posisi berdiri secara tiba-tiba. Walaupun sangat jarang, sudden unexplained
death dapat pula terjadi.

Terhadap sistem gastrointestinal sering dijumpai efek antikholinergik perifer, rasa kering
di mulut, sehingga pasien sering merasa haus.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 27


Terapi Biologik

Tetap pula perlu waspada terhadap kemungkinan efek samping fungsi hepar, ginjal, kulit
dan mata. Fungsi endokrin juga dapat terganggu terutama terjadinya peningkatan kadar
prolaktin dalam darah. Disfungsi seksual kadang-kadang juga dialami oleh pasien dan
menimbulkan keluhan yang cukup mengganggu.

Terapi inisial
Diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan, dan dosis dimulai dari dosis anjuran
dinaikkan perlahan-lahan secara bertahap dalam waktu 1 – 3 minggu, sampai dicapai
dosis optimal yang dapat mengendalikan gejala.

Terapi pengawasan
Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan selama lebih kurang 8 – 10
minggu sebelum masuk ke tahap pemeliharaan.

Terapi pemeliharaan
Dalam tahap pemeliharaan ini dosis dapat dipertimbangkan untuk mulai diturunkan
secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih dapat dipertahankan tanpa
menimbulkan kekambuhan. Biasanya berlangsung jangka panjang tergantung perjalanan
penyakit, dapat sampai beberapa bulan bahkan beberapa tahun. Diperoleh konsensus
bahwa bila kondisi akut pertama kali maka terapi diberikan sampai 2 tahun, dan bila
sudah berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan maka terapi diberikan sampai 5
tahun bahkan seumur hidup bila dijumpai riwayat agresifitas berlebih, baik terhadap diri
sendiri maupun orang lain misalnya bunuh diri atau mencelakakan orang lain.

28 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Tabel 3. Beberapa efek samping obat antipsikotik yang sering digunakana
Efek Samping

Extrapiramidal/ Peningkatan Pertambahan Abnormalitas Abnormalitas Pemanjangan Efek Samping
Obat Sedasi Hipotensi
Diskinesia Prolaktin Berat Badan Glukosa Lipid QTc Antikolinergik
Terapi Biologik

Tardiva
Thioridazin + ++ + +? +? +++ ++ ++ ++
Perfenazin ++ ++ + +? +? 0 + + 0
Haloperidol +++ +++ + 0 0 0 ++ 0 0
Klozapinb 0c 0 +++ +++ +++ 0 +++ +++ +++
Risperidon + +++ ++ ++ ++ + + + 0
c
Olanzapin 0 0 +++ +++ +++ 0 + + ++
Quetiapind 0c 0 ++ ++ ++ 0 ++ ++ 0
Aripiprazole 0c 0 0 0 0 0 + 0 0
a
0 = Tidak ada risiko atau jarang menimbulkan efek samping pada dosis terapeutik. + = Ringan atau sesekali menyebabkan efek samping pada dosis
terapeutik. ++ = Kadang-kadang menyebabkan efek samping pada dosis terapeutik. +++ = Sering menyebabkan efek samping pada dosis terapeutik. ? =
Data terlalu terbatas untuk memberikan penilaian dengan yakin.
b
Juga menyebabkan agranulositosis, kejang, dan miokarditis.
c

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Kemungkinan perkecualian untuk akatisia.
d
Juga mempunyai peringatan tentang potensi timbulnya katarak.
e
Juga menyebabkan mual dan nyeri kepala.

Sumber: Practice Guideline For The Treatment of Patients With Schizophrenia, 2nd Edition, American Psychiatric Association 2004.

29
Terapi Biologik

Penatalaksanaan Efek Samping


Bila terjadi efek samping sindroma ekstrapiramidal, misalnya distonia akut, akathisia atau
parkinsonisme, terlebih dahulu dilakukan penurunan dosis. Bila tidak dapat ditanggulangi,
diberikan obat-obat antikolinergik, misalnya triheksifenidil, benztropin, sulfas atropin, atau
difenhidramin injeksi IM atau IV. Obat yang paling sering digunakan adalah triheksifenidil
dengan dosis 3 kali 2 mg per hari. Bila tetap tidak berhasil mengatasi efek samping
tersebut disarankan untuk mengganti jenis antipsikotika yang digunakan ke golongan
APG-II yang lebih sedikit kemungkinannya mengakibatkan efek samping ekstrapiramidal.
Tabel 3 di bawah ini adalah obat yang sering digunakan untuk mengatasi efek samping
ekstrapiramidal.

Obat-obat antikholinergik tersebut tidak perlu diberikan secara rutin atau untuk tujuan
pencegahan efek samping ekstrapiramidal, karena munculnya efek samping bersifat
individual. Obat antikholinergik perlu diberikan hanya bila terjadi efek samping
ekstrapiramidal.

Tabel 4. Beberapa obat untuk efek samping ekstrapiramidal

Dosis Waktu paruh eliminasi Target efek samping


Nama generik
(mg/hari) (jam) ekstrapiramidal
Trihexifenidil
1–15 4 Akathisia, dystonia, parkinsonism
hidrokhlorid
Amantadin 100–300 10–14 Akathisia, parkinsonism
Propranolol 30–90 3–4 Akathisia
Lorazepam a
1–6 12 Akathisia
Difenhidramina 25–50 4–8 Akathisia, dystonia, parkinsonism
a
Tersedia dalam bentuk oral atau parenteral.

Sumber: Practice Guideline For The Treatment of Patients With Schizophrenia, 2nd Edition, American Psychiatric
Association 2004.

Kondisi SNM memerlukan penatalaksanaan segera atau emergensi karena SNM merupakan
kondisi akut yang mengancam kehidupan. Dalam kondisi ini maka semua penggunaan
antipsikotika harus dihentikan. Lakukan terapi simtomatik, perhatikan keseimbangan
cairan dan observasi tanda-tanda vital (tensi, nadi, temperatur, pernafasan dan kesadaran).
Obat-obat yang perlu diberikan dalam kondisi kritis adalah;

• Untuk relaksasi otot dapat diberikan dantrolen dengan dosis 0,8 – 2,5mg/kgBB/hr,
intravena, dengan dosis maksimal 10 mg/hari. Bila telah bisa per oral, dapat diberikan
tablet dantrolen 100-200mg/hari.

30 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

• Gejala-gejala ekstrapiramidal dapat dikendalikan dengan bromokriptin 20-30mg/hari


dibagi dalam 4 dosis. Perbaiki kondisi hipotensi maupun hipertensi. Bila kondisi
SNM sudah teratasi, dan masih memerlukan antipsikotika, antipsikotika perlu diganti
dengan golongan APG-II, misalnya klozapin.

Untuk diskinesia tardiva, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut;

1. Perlu dipastikan efektifitas antipsikotika yang diberikan


2. Untuk pemakaian jangka panjang gunakan dosis minimal yang efektif
3. Hati-hati pemakaian untuk pasien anak-anak, orang tua, dan pasien-pasien dengan
gangguan mood
4. Lakukan evaluasi rutin terhadap adanya gejala-gejala diskinesia tardiva dan catat
hasilnya pada rekam medis pasien
5. Bila ditemukan adanya gejala-gejala diskinesia tardiva turunkan dosis antipsikotika
dan minta informed consent.
6. Bila gejala psikotik tidak bisa diatasi dengan penurunan dosis obat antipsikotika
atau bahkan memburuk, hentikan obat dan ganti dengan golongan APG-II terutama
klozapin. (Marder SR, vanKammen DP, 2005a)

Di bawah ini adalah Bagan Penatalaksanaan Skizofrenia menurut fase pengobatan.


(Lehman AF et al., 2004)

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 31


Terapi Biologik

Fase Akut Pemilihan pengobatan berdasarkan Kelompok 1: Antipsikotika generasi pertama


keadaan klinis berikut ini (merujuk Kelompok 2: Risperidon, Olanzapin, Quetiapin
pada Tabel 2 dan 3): Ziprazidon, Aripiprazol
Kelompok 3: Klozapin
Kelompok 4: Antipsikotika injeksi jangka panjang

Tidak

Ya Berespons baik tanpa


efek samping yang tidak Untuk efek samping yang Untuk respons terapi yang tidak
ditoleransi? tidak dapat ditoleransi: pilih adekuat: pilih obat yang berbeda
pengobatan yang berbeda dari dari kelompok 1, 2 atau 3
kelompok 1 atau 2 (merujuk (merujuk pada tabel 3)
pada tabel 1 dan 2)

Berespons baik tanpa Untuk respon terapeutik yang


Ya Tidak tidak adekuat: pilih obat yang
efek samping yang tidak
ditoleransi? berbeda dari Kelompok 1, 2,
atau 3. Untuk gejala psikotik
Untuk efek samping yang tidak
persisten, klozapin perlu sangat
dapat ditoleransi: pilih obat yang
dipertimbangkan. Pertimbangkan
berbeda dari kelompok 1 atau 2
TEK untuk pasien dengan
(merujuk pada tabel 1 dan 2)
psikosis, katatonia, dan/atau
ide atauperilaku bunuh diri
Berespons baik tanpa yang berat dan persisten yang
Ya Tidak gagal dengan terapi sebelumnya
efek samping yang tidak
ditoleransi? termasuk dengan klozapin.

Lanjutkan pengobatan fase akut. Pertimbangkan TEK pemeliharaan untuk pasien yang
Fase stabilisasi berespon terhadap TEK akut dan mereka yang gejalanya tidak dapat dikendalikan dengan
atau pemberian obat pemeliharaan saja.
pemeliharaan

Untuk efek samping yang tidak Untuk gejala positif, negatif, Untuk ketidakpatuhan
dapat ditoleransi: pilih obat yang kognitif atau mood yang residual pengobatan: pertimbangkan obat
berbeda dari kelompok 1 atau 2 atau persisten: pertimbangkan yang berbeda dari kelompok 4.
(merujuk pada tabel 1 dan 2). obat yang berbeda dari Kelompok
2 atau 3 atau terapi tambahan
yang sesuai.

Sumber: Practice Guideline For The Treatment of Patients With Schizophrenia, 2nd Edition, American Psychiatric
Association 2004.

Gambar 4. Terapi biologik untuk skizofrenia

32 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

Obat APG-II.
Karena dosis yang efektif untuk mengatasi gejala skizofrenia tidak menimbulkan efek
samping ekstrapiramidal, jenis obat ini disebut dengan APG-II. Efek terapeutiknya didapat
melalui kerjanya sebagai antagonis reseptor serotonin dan dopamin. Di bawah ini dibahas
obat-obat APG-II.

Risperidon
Risperidon adalah derivat benzisoksazol. Ia merupakan APG-II pertama yang mendapat
persetujuan FDA setelah klozapin.

Farmakokinetik
Absorbsi
Risperidon diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian oral. Pada penelitian fase I,
risperidon memperlihatkan farmakokinetik linier pada dosis antara 0,5-25 mg/hari.
Risperidon dimetabolisme di hati menjadi 9-hidroksi risperidon. Profil hasil metabolitnya
sama dengan komponen induknya. Kadar plasma puncak komponen induknya terlihat
dalam satu jam setelah digunakan sedangkan hasil metabolitnya (9-hidroksi risperidon)
dalam tiga jam. Bioavailabilitasnya hampir 100%, baik pada risperidon maupun pada
9-hidroksi risperidon. Risperidon terikat dengan protein sebanyak 90% sedangkan
metabolitnya sebanyak 70%. Ekskresinya terutama melalui urin yaitu sebanyak 31% dari
dosis yang digunakan. Absorbsi obat tidak dipengaruhi oleh makanan.

Metabolisme dan Eliminasi


Risperidon dimetabolisme oleh enzim hepar yaitu CYP 2D6. Waktu paruhnya bervariasi
sesuai aktivitas enzim tersebut. Pada “metabolizer ekstensif”, yaitu pada sekitar 90%
orang kulit putih dan 99% orang Asia, waktu paruh risperidon adalah sekitar tiga jam.
Metabolitnya, 9-hidroksi risperidon, dimetabolisme lebih lambat oleh oksidatif N-dealkilasi.
Sebaliknya, “metabolizer buruk” memetabolisme risperidon terutama melalui jalur
oksidatif dan waktu paruhnya dapat lebih dari 20 jam.

Farmakodinamik
Mekanisme Kerja
Risperidon bekerja sebagai antagonis poten pada serotonin (terutama 5-HT2A) dan dopamin
D2. Afinitasnya terhadap reseptor a1 dan a2 juga tinggi tetapi terhadap a-adrenergik atau
muskarinik afinitasnya lebih rendah. Afinitas risperidon terhadap 5-HT2A adalah 10-
20 kali lebih kuat bila dibandingkan dengan terhadap reseptor D2. Pada in vivo, ikatan
terhadap reseptor D2 terjadi pada dosis 10 kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 33


Terapi Biologik

ikatan terhadap reseptor 5-HT2A. Afinitas terhadap reseptor 5-HT2A adalah 100 kali lebih
kuat bila dibandingkan dengan terhadap subtipe reseptor serotonin lainnya.

Metabolitnya, 9-hidroksirisperidon, mempunyai afinitas yang sama dengan komponen


induknya. Baik risperidon maupun metabolitnya, memperlihatkan afinitas yang tinggi pada
reseptor 5-HT2A, pada jaringan otak tikus. Pada manusia, terlihat pula pada sel COS-7.
Ikatan risperidon terhadap reseptor 5-HT2A adalah 20 kali lebih tinggi bila dibandingkan
dengan klozapin dan 170 kali bila dibandingkan dengan haloperidol.

Afinitas risperidon dan 9-hidroksirisperidon terhadap dopamin D4 dan D1 sama kuatnya


bila dibandingkan dengan klozapin dan haloperidol. Tidak ada afinitas risperidon terhadap
reseptor asetilkolin muskarinik sedangkan terhadap histaminergik H1, derajat afinitasnya
adalah sedang.

Afinitas risperidon terhadap reseptor a2-adrenergik relatif lebih tinggi tetapi terhadap
reseptor a1-adrenergik adalah sebanding dengan klorpromazin dan 5-10 kali lebih
kuat bila dibandingkan dengan klozapin. Dosis ED50 risperidon yang dibutuhkan untuk
menghambat stereotipi yang diinduksi apomorfin, pada tikus, adalah 0,5 mg/kg. Dengan
dosis ini sekitar 40% reseptor D2, 80% reseptor 5-HT2A, 50% reseptor H1, 38% reseptor
a1-adrenergik, dan 10% reseptor a2-adrenergik diokupansi. (Lehman AF et al., 2004;
vanKammen DP, Marder SR, 2005b)

Penelitian yang menggunakan positron emission tomography (PET), dilakukan 12-14


jam setelah dosis terakhir risperidon, menunjukkan bahwa okupansi reseptor D2 berkisar
antara 63%-89%. Okupansi D2 dengan risperidon, dosis 0,8 mg, adalah 50%.Subjek
yang menggunakan risperidon 6 mg/hari memperlihatkan rerata okupansi D2 sekitar
79%. Derajat okupansi yang sama terjadi pada olanzapin dengan dosis 30 mg/hari. Pada
beberapa subjek, besarnya okupansi ini dapat melebihi ambang terjadinya EPS. Okupansi
5-HT2A lebih besar dari 95% terjadi pada risperidon dengan dosis 2-4 mg/hari.

Penelitian preklinik menunjukkan bahwa kemampuannya mengantagonis dopamin sama


kuatnya dengan haloperidol tetapi dalam menginduksi terjadinya katalepsi, kemampuannya
kurang bila dibandingkan dengan haloperidol. Oleh karena itu, efek samping ekstrapiramidal
lebih ringan pada risperidon bila dibandingkan dengan haloperidol.

Aktivitas pada reseptor 5-HT2 bermanfaat dalam mengatasi gejala negatif pada skizofrenia.
Penelitian yang menggunakan PET menunjukkan bahwa dosis 1-4 mg memblok D2 sesuai
dengan yang dibutuhkan untuk memberikan efek terapetik.

Konsentrasi Dalam Darah dan Aktivitas Klinik


Tidak begitu jelas hubungan antara efikasi klinik dengan konsentrasi plasma risperidon.
Sebagian besar subjek membutuhkan dosis 4 mg/hari tetapi ada pula yang membutuhkan
dosis lebih tinggi yaitu 6-8 mg/hari.

34 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

Dosis
Untuk preparat oral, risperidon tersedia dalam dua bentuk sediaan yaitu tablet dan cairan.
Dosis awal yang dianjurkan adalah 2 mg/hari dan besoknya dapat dinaikkan menjadi 4 mg/
hari. Sebagian besar ODS membutuhkan 4-6 mg/hari. Bila ODS memperlihatkan agitasi,
dianjurkan untuk memberikan terapi tambahan lorazepam 2- mg/hari sampai agitasinya
terkendali. Perbaikan dengan risperidon terlihat dalam delapan minggu pertama. Apabila
respon risperidon tidak adekuat, dianjurkan untuk menaikkan dosis hingga 8 mg/hari.
Responnya lebih cepat daripada haloperidol. Risperidon bisa diberikan sekali sehari dan
efektivitasnya sama dengan pemberian dua kali per hari. Dosis untuk orang tua atau
penderita Parkinson adalah 1 mg/hari atau lebih kecil untuk mencegah terjadinya efek
samping.

Interaksi Obat
Fluoksetin dan paroksetin menginhibisi enzim CYP 2D6. Kedua obat ini memblok konversi
risperidon menjadi metabolitnya sehingga kadar risperidon dapat meningkat. Sebaliknya,
karbamazepin menginduksi enzim CYP 2D6 sehingga meningkatkan konversi risperidon
menjadi metabolit 9-hidroksi risperidon. Oleh karena itu, apabila risperidon diberikan
bersamaan dengan karbamazepin, dosis risperidon harus ditingkatkan. Peningkatan
konsentrasi plasma risperidon dapat meningkatkan risiko efek samping, misalnya terjadi
simtom ekstrapiramidal. Risperidon merupakan ihhibitor lemah enzim CYP 2D6 sehingga
pengaruhnya terhadap klirens obat lain tidak begitu bermakna. Orang tua, orang dengan
metobolisme buruk, membutuhkan dosis yang lebih rendah (50%-60%).

Efek samping
Secara umum, risperidon ditoleransi dengan baik. Bila dibandingkan dengan plasebo,
sakit kepala dan pusing lebih sering terjadi pada risperidon dengan dosis 6 mg/hari.
Sedasi, merasa lelah, pusing, hipotensi ortostatik, palpitasi, peningkatan berat badan,
berkurangnya gairah seksual, disfungsi ereksi lebih sering terjadi pada risperidon daripada
plasebo. Peningkatan berat badan dengan risperidon, selama 10 minggu penggunaannya,
adalah 2 kg sedangkan pada haloperidol hanya 0,5 kg.

Meskipun risperidon tidak terikat secara bermakna dengan reseptor kolinergik muskarinik,
mulut kering, mata kabur, dan retensi urin, dapat terlihat pada beberapa ODS dan sifatnya
hanya sementara. Hanya prolaktin yang dinyatakan terpengaruh oleh risperidon sedangkan
hormon lainnya, misalnya hormon tiroid, pertumbuhan, follicle stimulating hormone (FSH),
dan luteinizing hormone (LH), serta kortisol tidak terpengaruh.

Terjadinya efek samping ekstrapiramidal sangat bergantung dari besarnya dosis. Distonia
dapat terjadi pada dosis berkisar antara 4-16 mg/hari. Pemanjangan interval QTc yang
bermakna tidak terdeteksi pada dosis hingga 25 mg/hari. Dosis besar (overdoses) dengan

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 35


Terapi Biologik

risperidon, secara umum tidak membahayakan, yaitu pemanjangan QTc derajatnya sedang
dan tidak ada komplikasi jantung yang serius. (Goff DC, 2004)

Risperidon Injeksi Jangka Panjang (RIJP)


Risperidon merupakan APG-II pertama yang tersedia dalam bentuk injeksi jangka panjang.
Penggunaan RIJP dapat mengurangi variabilitas farmakokinetik. Selain itu, terdapat
kepastian bahwa obat digunakan oleh ODS. Oleh karena itu, ketidakpatuhan terhadap
pengobatan merupakan indikasi penggunaan RIPJ. Kepatuhan terhadap pengobatan
meningkat ketika risperidon oral diganti dengan RIJP. Efektivitasnya sama dengan
risperidon oral. (Kane JM et al., 2003)

Farmakodinamik dan Farmakokinetik RIJP


Obat RIJP bekerja sebagai antagonis kuat pada serotonin 5-HT2A dan reseptor dopamin D2.
Pada histaminergik H1, adrenergik a1 dan reseptor a2, ia bersifat antagonis sedang. Obat
RIJP tidak mepunyai afinitas dengan muskarinik kolinergik atau reseptor adrenergik a1
dan a2. Formula RIJP mempunyai farmakokinetik linier dengan dosis 2-75 mg. Risperidon
tablet oral dan RIJP adalah bioekuivalen. Berbeda dengan tablet oral, konsentrasi puncak
RIJP lebih rendah dan fluktuasinya dalam plasma sangat kecil. Tidak adanya first-pass
hepatic metabolism dan adanya hidrolisis partikel kecil (micro-sphreses), menyebabkan
dosis RIJP lebih kecil tetapi efikasinya sama dengan dosis besar risperidon oral. Waktu
paruh metabolit aktifnya, 9-hidroksirisperidon, adalah 3-6 hari. Pada awal pemberian,
jumlah obat yang dilepaskan sangat kecil (1% dari dosis total). Pelepasan yang bermakna
dimulai tiga minggu kemudian dan dipertahankan sampai 4-6 minggu. Oleh karena itu,
risperidon oral tetap dibutuhkan selama tiga minggu pertama pengobatan. (Eerdekens M
et al., 2004)

Metabolisme risperidon terutama terjadi di hati. Hasil metabolisme utama melalui


hidroksilasi risperidon menjadi 9-hidroksi risperidon dilakukan oleh isoenzim sitokrom
CYP 2D6 dan sebagian kecil melalui N-dealkilasi. Risperidon merupakan inhibitor lemah
enzim CYP 2D6. Oleh karena itu, ia tidak menghambat kliren obat yang dimetabolisme
oleh enzim tersebut. Pemberiannya bersamaan dengan karbamazepin atau obat lain
yang menginduksi enzim tersebut dapat mengurangi konsentrasi plasma risperidon atau
metabolit aktifnya. Sebaliknya, pemberiannya bersamaan dengan obat yang menghambat
enzim CYP 2D6 dapat mengurangi metabolisme dan meningkatkan konsentrasi obat dalam
plasma. Hal ini dapat meningkatkan gejala ekstrapiramidal atau efek samping lainnya.
(Kane JM et al., 2003) Tabel 4 di bawah ini memperlihatkan khasiat RIJP.

36 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

Tabel 5. Khasiat Risperidon Injeksi Jangka-Panjang

Farmakodinamik Antagonsis serotonin 5-HT2A, dopamin D2, histaminergik


H1, adrenergik a1 dan a2.
Meningkatnya derajat okupansi reseptor D2 dengan
meningkatnya dosis RIJP.
Sedikit atau hampir tidak ada afinitasnya terhadap
kolinergik muskarinik atau reseptor adrenergik a1 dan a2.

Farmakokinetik Kadar plasma steady state dicapai setelah injeksi ke-4.


Interval injeksi adalah dua minggu.
Farmakokinetik linier.
Formula oral dan injeksi bioekuivalen tetapi RIJP dikaitkan
dengan rendahnya konsentrasi puncak steady state dan
kurangnya fluktuasi dalam plasma bila dibandingkan
dengan formula oral.

Metabolisme dan eliminasi Dimetabolisme oleh sitokrom P450 (CYP) isoenzim 2D6
menjadi 9-hidroksirisperidon.
Waktu paruh RIJP adalah 3-6 hari. RIJP dikeluarkan tubuh
secara sempurna setelah 6-7 minggu.

Dosis RIJP
Untuk ODS yang tidak sedang menggunakan risperidon, dianjurkan untuk memastikan
terlebih dahulu bahwa tolerabilitasnya dengan risperidon oral cukup baik. Setelah itu,
RIJP dapat diberikan setiap dua minggu di bokong atau di lengan. Dosis yang dianjurkan
untuk orang dewasa atau orang tua adalah 25 mg setiap dua minggu. Bila tidak berespon
dengan 25 mg, dosis dapat dinaikkan menjadi 37,5 mg - 50 mg. Peningkatan dosis boleh
dilakukan setiap empat minggu. Untuk pasien dengan gagal ginjal atau hati, dosis awal
sebaiknya adalah 12,5 mg. Meskipun demikian, manfaat dosis ini belum pernah diteliti
secara klinis. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b)

Quetiapin
Farmakodinamik
Quetiapin merupakan suatu derivat dibenzotiazepin yang bekerja sebagai antagonis
5-HT1A dan 5-HT2A, dopamin D1, D2, histamin H1 serta reseptor adrenergik a1 dan a2.
Afinitasnya rendah terhadap reseptor D2 dan relatif lebih tinggi terhadap serotonin 5-HT2A.
Afinitasnya sangat rendah terhadap kolinergik muskarinik dan tidak terikat dengan reseptor
benzodiazepin. Afinitasnya yang rendah terhadap kolinergik menyebabkan kurangnya risiko
efek samping antikolinergik. Tabel 5 di bawah ini memperlihatkan afinitas quetiapin pada
reseptor-reseptor neurotransmiter. (Cheer SM and Wagstaff AJ, 2001)

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 37


Terapi Biologik

Tabel 6. Afinitas Quetiapin pada Reseptor Neurotransmiter di Otak

Konsentrasi obat yang dibutuhkan untuk


Reseptor menghambat 50% ikatan ligand (nmol/L)
Adrenergik a1 94
Adrenergik a2 271
Dopamin D1 1268
Dopamin D2 329
Histamin H1 30
Serotonin HT1A 717
Serotonin 5-HT 148

Farmakokinetik
Quetiapin oral (75-250 mg, 3 x /hari), diabsorbsi dengan cepat, konsentrasi plasma
puncak (Cmax), dicapai rerata dalam 1-5 jam.12 (Frank AF, Gunderson JG, 1990) Rerata
steady-state area under the plasma consentration-time curve (AUC) dari 0-8 jam (AUC8)
pada laki-laki dan pada perempuan adalah 1070 dan 1200 ng • h/mL dengan quetiapin
75mg tiga kali per hari, 2300 dan 2410 ng • h/mL dengan quetiapin 150mg tiga kali per
hari serta 3380 dan 4080 ng • h/mL dengan quetiapin 250mg tiga kali per hari. Nilai
Cmax pada laki-laki dan perempuan ketika steady-state adalah 277 dan 295 ng/mL dengan
quetiapin 75mg tiga kali per hari, 625 dan 572 ng/mL dengan quetiapin 150 mg tiga kali
per hari, dan 778 dan 879 ng/mL dengan quetiapin 250mg tiga kali per hari. Konsentrasi
steady-state akan dicapai dalam dua hari dosis. Bila dibandingkan dengan formulasi cair,
formulasi tablet adalah 100% bioavailable.

Quetiapin sedikit sekali terpengaruh oleh makanan. Volume distribusinya sangat besar
yaitu 710L pada laki-laki dan 672L pada perempuan yang menerima quetiapin 250mg tiga
kali per hari. Pada konsentrasi terapetik sebanyak 83% terikat dengan plasma protein.
Quetiapin terutama dimetabolisme oleh hepar melalui sulfoksidasi dengan sitokrom P450
(CYP) 3A4. Sebagian besar metabolitnya tidak aktif. Aktivitas quetiapin terutama melalui
komponen induknya. (Frank AF, Gunderson JG, 1990; Preston JD et al., 2010)

Rerata klirens oral quetiapin 75-250mg yang diberikan tiga kali per hari adalah 72-89 L/
jam. Dosis 250mg tiga kali per hari dikaitkan dengan rerata waktu paruh eliminasi sebesar
5,8 jam pada laki-laki dan 6,6 jam pada perempuan. (DeVance CL and Nemerroff CB,
2001)

38 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

Efikasi Quetiapin
Ada beberapa uji klinis yang membandingkan manfaat quetiapin dengan plasebo dan dengan
APG-I (haloperidol atau klorpromazin) serta APG-II lainnya pada ODS. Penelitian yang
mengevaluasi manfaat quetiapin terhadap ODS dengan kekambuhan akut menunjukkan
bahwa quetiapin lebih efektif mengatasi psikopatologi global, memperbaiki respons klinik
(misalnya, > 20% perbaikan pada skala psikopatologi global) dan perbaikan gejala positif
skizofrenia. Bukti perbaikan gejala negatif dengan quetiapin tidak begitu jelas karena
perbaikan yang signifikan dengan quetiapin bila dibandingkan dengan plasebo tidak
konsisten.

Perbaikan gejala negatif lebih disebabkan oleh perbaikan gejala negatif sekunder
(misalnya, dikaitkan dengan parkinsonisme atau psikosis) bukan karena efek langsung
terhadap gejala negatif primer.

Bila dibandingkan dengan haloperidol dan klorpromazin, quetiapin menunjukkan


perbaikan yang hampir sama atau kadang-kadang lebih besar pada psikopatologi global,
gejala positif dan negatif. Sebuah penelitian meta-analisis menunjukkan bahwa derajat
perbaikan antara quetiapin dengan APG-I adalah sama.

Perbaikan psikpatologi global, gejala positif dan negatif dengan quetiapin (rerata dosis =
254mg/hari, N= 553) adalah sama dengan risperidon (rerata dosis = 4,4mg/hari, N=175).
Untuk gejala depresif, quetiapin lebih baik daripada risperidon.

Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap ODS yang resisten terhadap pengobatan
menunjukkan bahwa proporsi ODS yang memenuhi kriteria respon, lebih besar pada
subjek yang mendapat quetiapin (600 mg/hari, N=143) bila dibandingkan dengan yang
mendapat haloperidol 20mg/hari (52%:38%). Meskipun demikian, rerata perubahan pada
psikopatologi global, gejala positif, gejala negatif adalah sama pada kedua kelompok.

Bila dibandingkan dengan obat APG-I, quetiapin lebih bermanfaat untuk neurokognitif.
Perbaikan yang bermakna pada kognisi global, pemikiran dan kelancaran verbal, dan daya
ingat segera lebih baik pada kelompok subjek yang mendapat quetiapin 300-600mg/
hari (N=13) bila dibandingkan dengan haloperidol 10-20mg/hari (N=12). Perbaikan yang
bermakna pada kognisi global, fungsi eksekutif, atensi dan memori verbal lebih besar
pada subjek yang diobati dengan quetiapin 300-600 mg/hari bila dibandingkan dengan
kelompok subjek yang diobati dengan haloperidol 12 mg/hari.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 39


Terapi Biologik

Dosis
Quetiapin merupakan antipsikotika yang efektif untuk fase akut skizofrenia dengan kisaran
dosis antara 300-800 mg/hari. Ada bukti yang menunjukkan bahwa efektivitasnya lebih
tinggi pada dosis yang lebih besar (> 800 mg/hari).

Quetiapin tersedia dalam bentuk tablet IR (immediate release) dengan dosis 25 mg, 100
mg, 200 mg, dan 300 mg, dengan pemberian dua kali per hari. Selain itu, juga tersedia
quetiapin-XR dengan dosis 300 mg dan 400 mg, satu kali per hari.

Efek Samping
Secara umum, quetiapin ditoleransi dengan baik. Risiko efek samping ekstrapiramidal,
abnormalitas konduksi kardiak, efek antikolinergik, peningkatan prolaktin dan efek samping
seksual sangat rendah sedangkan risiko sedasi cukup tinggi. Risiko hipotensi ortostatik,
takikardi, peningkatan berat badan dan abnormalitas metabolik derajatnya sedang. Tidak
ada efek samping ekstrapiramidal meskipun dosisnya > 800 mg/hari. Risiko terjadinya
akatisia sangat rendah. (Lehman AF et al., 2004; vanKammen DP, Marder SR, 2005b)

Peningkatan berat badan dengan quetiapin lebih kecil bila dibandingkan dengan APG-I.
Rerata penambahan berat badan berkisar antara 2-9 kg. Keadaan ini dapat diatasi
dengan melakukan psikoedukasi, misalnya mengubah gaya hidup, diet dan latihan fisik.
Semua ODS yang menggunakan antipsikotika, termasuk quetiapin, harus dipantau berat
badannya, lingkaran pinggang, dan glukosa sebelum menerima obat dan secara teratur
selama penggunaan. (Baptista T et al., 2002)

Penelitian preklinik (pada binatang percobaan) menunjukkan adanya hubungan antara


peningkatan risiko katarak dengan quetiapin. Oleh karena itu, FDA menyarankan untuk
pemeriksaan optamolologi sebelum dan setiap enam bulan penggunaan quetiapin. Risiko
ini tidak ditemukan pada manusia. Belum pernah ada laporan mengenai hubungan antara
risiko peningkatan katrarak dengan quetiapin, setelah obat ini dipasarkan.

Selama fase titrasi atau pada awal pengobatan, adanya sedasi, hipotensi ortostatik, dan
takikardi harus dipantau. Quetiapin dapat diberikan dua kali sehari karena waktu paruh
eliminasinya enam jam. Pemberian dosis besar, sebaiknya diberikan pada malam hari,
terutama pada awal pengobatan, karena dapat memperbaiki toleransi terhadap sedasi.

Quetiapin terutama dimetabolisme oleh CYP3A4. Oleh karena itu, ia dapat berinteraksi
dengan zat lain yang menghambat atau menginduksi enzim tersebut. Klirens oral
quetiapin meningkat lima kali lipat bila ia diberikan bersamaan dengan fenitoin (sangat
kuat menginduksi CYP3A4) dan 68% bila diberikan bersama tioridazin. Bila diberikan
bersamaan dengan ketokonazol, klirens menurun sebanyak 84% (sangat kuat menginhibisi
CYP3A4). (vanKammen DP, Marder SR, 2005b)

40 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

Tidak terjadi interaksi obat yang bermakna secara klinis, antara quetiapin dengan sodium
divalproat, bila obat tersebut diberikan secara bersamaan. Begitu pula halnya penggunaan
secara bersamaan antara quetiapin dengan fluoksetin, imipramin, haloperidol, litium atau
dengan risperidon, farmakokinetik quetiapin tidak terpengaruh secara bermakna. (Potkin
SG et al., 2002a; Potkin SG et al., 2002b)

Metabolisme quetiapin terganggu (minimal) pada ODS dengan gangguan ginjal dan cukup
bermakna pada ODS dengan penyakit hepar. Rokok tidak memengaruhi metabolisme
quetiapin. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b)

Aripiprazol
Aripiprazol merupakan antipsikotika baru yang memiliki profil farmakologi unik. Ia
merupakan antipsikotika dihidroquinolinon. Secara kimia, ia tidak berhubungan dengan
fenotiazin, butirofenon, tinobenzodiazepin, dan antipsikotika lainnya. Secara farmakologik,
mekanisme kerjanya baru.

Aripiprazol Sebagai Stabilisator Sistem Dopamin-Serotonin


Agonis parsial D2 berkompetisi pada reseptor D2 untuk dopamin endogen sehingga terjadi
pengurangan aktivitas fungsi dopamin. Karena skizofrenia dengan gejala positif dikaitkan
dengan peningkatan aktivitas dopamin, pengurangan aktivitas tersebut dapat meredakan
gejala. Keunikannya ini menyebabkan aripiprazol disebut juga dengan antipsikotika
generasi ketiga atau stabilisator sistem serotonin-dopamin. Selain itu, ia juga dikaitkan
dengan kurangnya dampak yang berhubungan dengan antagonis D2 di mesokortek,
nigrostriatum, dan tuberoinfundibulum. Aripiprazol merupakan agonis parsial dopamin
pertama yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai antipsikotika
yang efektif untuk mengobati skizofrenia.

Profil Farmakologi
Aripiprazol merupakan agonis parsial kuat pada D2, D3, dan 5-HT1A serta antagonis 5-HT2A.
Ia juga mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptor D3, afinitas sedang pada D4, 5-HT2c,
5-HT7, a1- adrenergik, histaminergik (H1), dan serotonin reuptake site (SERT), dan tidak
terikat dengan reseptor muskarinik kolinergik. Metabolit aktifnya, dehidro-aripiprazol,
memperlihatkan afinitas yang sama dengan komponen induknya di reseptor D2 dan tidak
terlihat adanya perbedaan profil farmakologi yang bermakna secara klinik. (Grunder G et
al., 2022)

Agonis parsial merujuk kepada kemampuan untuk menghambat reseptor bila reseptor
tersebut terstimulasi berlebihan dan mampu merangsang reseptor bila diperlukan
peningkatan aktivitas reseptor tersebut. Tidak seperti APG-II lainnya, mengurangi gejala
positif dengan menghambat reseptor D2, aripiprazol bekerja dengan menyetabilkan
reseptor atau memodulasi tempat pengikatan. Apabila terjadi suplai dopamin yang

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 41


Terapi Biologik

berlebihan (muncul gejala positif), aripiprazol akan mengikat reseptor dopamin tersebut
dan kemudian meredakan stimulasinya. Akibatnya, terbentuk sinyal yang stabil yang
hampir mendekati fungsi fisiologi normal sehingga terjadi pengurangan gejala psikotik.
(Byars A et al., 2002)

Sebuah penelitian yang menggunakan positron emission tomography (PET) melaporkan


bahwa setelah 14 hari pemberian aripiprazol, dosis 0,5-30 mg per hari, terlihat okupansi
reseptor D2 sekitar 40%-95%. Meskipun okupansi reseptor D2 di striatal lebih dari 90%,
akibat penggunaan aripiprazol dosis tinggi, gejala ekstrapiramidal tidak ditemukan. Teori
sebelumnya menyatakan bahwa EPS akan muncul, apabila okupansi D2 reseptor lebih dari
70%-80%. Hal ini menunjukkan bahwa teori tersebut hanya berlaku untuk obat dengan
antagonis sempurna, bukan untuk aripiprazol yang bersifat agonis parsial. (Yokoi F et al.,
2002)

Bila transmisi dopamin berkurang, aripiprazol mampu meningkatkan aktivitas transmisi


tersebut melalui peningkatan aktivitas intrinsiknya. Mekanisme kerja yang unik ini
dikaitkan dengan kemampuannya mengobati gejala negatif yang diduga disebabkan oleh
hipodopaminergik.

Aripiprazol juga bekerja sebagai agonis parsial pada reseptor serotonin 5-HT1A dan antagonis
pada reseptor 5-HT2A. Agonis parsial pada reseptor 5-HT1A diketahui memberikan efek
anksiolitik. Antagonis pada reseptor 5-HT2A dapat memperbaiki gejala negatif. (Millan MJ,
2000) Aripiprazol memiliki afinitas sangat rendah terhadap histamin (H1) dan muskarinik
(M1). Hambatannya pada reseptor a1-adrenergik dikaitkan dengan hipotensi ortostatik.
(vanKammen DP, Marder SR, 2005b)

Farmakokinetik dan Disposisi


Aripiprazol tersedia dalam bentuk tablet, cairan dan injeksi. Dosis awal yang
direkomendasikan yaitu antara 10 - 15 mg dan diberikan sekali sehari. Kisaran dosis
yaitu antara 10-30 mg/hari. Karena kemungkinan ada rasa mual, insomnia, dan akatisia,
dianjurkan untuk memberikan dosis awal lebih rendah. Beberapa klinikus mengatakan
bahwa dosis awal 5 mg dapat meningkatkan tolerabilitas.

Aripiprazol tidak terpengaruh oleh makanan. Setelah pemberian oral, aripiprazol


diserap dengan baik dengan konsentrasi puncak plasma terjadi dalam waktu 3-5 jam.
Bioavailabilitasnya adalah 87%. Di dalam plasma, aripiprazol dan metabolit utamanya,
dehidro-aripiprazol, terikat dengan protein lebih dari 99%, terutama dengan albumin.
Aripiprazol terdistribusi di luar sistem vaskuler. Waktu paruh eliminasi aripiprazol
dan metabolitnya adalah 47 jam dan 94 jam (untuk metabolit aktifnya yaitu dehidro-
aripiprazol). Waktu pencapaian stabilnya obat dalam plasma (steady state) adalah setelah
hari ke-14.

42 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

Aripiprazol dimetabolisme terutama di hepar. Ada dua enzim sitokrom hepar yaitu P450,
2D6 dan 3A4 yang mengkatalisasi dehidrogenasi aripiprazol menjadi dehidro-aripiprazol.
Aripiprazol tidak melakukan glukoronidasi langsung dan bukan substrat untuk enzim
sitokrom P450: 1A1, 1A2, 2A6, 2B6, 2C8, 2C9, 2C19, dan 2E1.

Pada penggunaan aripiprazol, penyesuaian dosis terkait dengan umur, jender, ras, merokok,
status fungsi hepar dan ginjal ODS, tidak diperlukan. Sekitar 25%-55% dapat ditemukan
dalam urin dan feses. Aripiprazol yang tidak diubah diekskresikan melalui urin sebanyak
1% dan 18% melalui feses. Aripiprazol sedikit berpengaruh terhadap enzim hepar lainnya
tetapi tidak memengaruhi metabolisme obat lainnya.

Interaksi Obat
Obat-obat yang menginduksi CYP3A4, misalnya karbamazepin, dapat meningkatkan
klirens aripiprazol sehingga menurunkan kadar plasmanya. Sebaliknya, obat-obat yang
menghambat CYP3A4 (misalnya, ketokonazol) atau menghambat CYP2D6 (misalnya,
quinidin, fluoksetin, dan paroksetin) dapat menghambat eliminasi aripiprazol sehingga
meningkatkan kadar plasma aripiprazol. Aripiprazol tidak menyebabkan interaksi
farmakokinetik yang bermakna secara klinik dengan obat-obat yang dimetabolisme oleh
enzim P450 lainnya.

Pada penelitian in vivo, aripiprazol 10-30 mg juga tidak mempunyai pengaruh yang
bermakna terhadap obat yang dimetabolisme oleh CYP2D6 (dekstrometorfan), CYP2C9
(warfarin), dan CYP2C19 (omeprazol). Selain itu, aripiprazol juga tidak berpotensi untuk
memengaruhi obat-obat yang dimetabolisme oleh CYP1A2. (McGavin JK and Goa KL,
2002)

Obat-obat di bawah ini memerlukan penyesuaian dosis bila diberikan bersamaan dengan
aripiprazol;

Famotidin
Pemberian aripiprazol bersamaan dengan famotidin, antagonis H2, penghambat asam
lambung poten, dapat menurunkan solubilitas aripiprazol, dan kemudian memperpanjang
waktu dan menurunkan jumlah absorbsi.

Valproat
Apabila valproat dan aripiprazol diberikan bersamaan, steady state Cmax dan AUC aripiprazol
berkurang 25%. Walaupun demikian, ada penelitian lain yang memperlihatkan bahwa
tidak ada pengaruh yang bermakna terhadap steady state aripiprazol, bila ia diberikan
bersamaan dengan valproat.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 43


Terapi Biologik

Antihipertensi
Kombinasi aripiprazol dengan obat-obat antihipertensi dapat menimbulkan hipotensi.
Obat yang tidak memerlukan penyesuaian dosis aripiprazol adalah litium, dekstrometorfan,
warfarin, dan omeprazol. Pemberian litium bersamaan dengan aripiprazol tidak memengaruhi
konsentrasi aripiprazol. Litium tidak dimetabolisme dan tidak terikat dengan protein,
serta diekskresikan dalam bentuk utuh di urin. Oleh karena itu, pemberiannya bersamaan
dengan aripiprazol tidak memengaruhi farmakokinetik aripiprazol atau metabolit aktifnya.
(vanKammen DP, Marder SR, 2005b)

Efek Samping
Sebuah penelitian jangka pendek, plasebo-kontrol, melaporkan bahwa tidak ada perbedaan
insidensi berhentinya dari pengobatan akibat kejadian yang tidak diinginkan (adverse
event) antara kelompok yang mendapat aripiprazol (7%) dengan yang mendapat plasebo
(9%). Sakit kepala, mengantuk, agitasi, dispepsia, ansietas, dan mual merupakan kejadian
yang tidak diinginkan yang dilaporkan secara spontan oleh kelompok yang mendapat
aripiprazol.

Efek samping ekstrapiramidalnya tidak berbeda secara bermakna dengan plasebo. (McQuade
R et al., 2002a) Akatisia dapat terjadi dan kadang-kadang dapat sangat mengganggu ODS
sehingga sering mengakibatkan penghentian pengobatan. Insomnia dapat pula ditemui.
Tidak ada peningkatan berat badan dan diabetes melitus pada penggunaan aripiprazol.
Selain itu, peningkatan kadar prolaktin juga tidak dijumpai. Aripiprazol tidak menyebabkan
perubahan interval QTc. Terjadinya kejang pernah dilaporkan. (vanKammen DP, Marder
SR, 2005b)

Sebuah penelitian yang dilakukan selama 52 minggu, membandingkan aripiprazol


dengan haloperidol, menunjukkan bahwa terdapat penambahan berat badan minimal
pada kelompok yang mendapat aripiprazol yang ketika awal terapi mempunyai body mass
index (BMI) < 23, sedangkan ODS yang BMI-nya, pada awal terapi > 27, mengalami
pengurangan berat badan. (McQuade R et al., 2002b)

Penelitian lainnya, dilakukan selama 26 minggu, membandingkan aripiprazol dengan


olanzapin, menunjukkan bahwa aripiprazol dikaitkan dengan penurunan berat badan, rata-
rata 0,9 kg selama penelitian tersebut sedangkan olanzapin meningkatkan berat badan
sebanyak 3.6 kg. Aripiprazol dapat menurunkan kadar rata-rata kolesterol secara signifikan
sedangkan olanzapin, risperidon, dan haloperidol menimbulkan peningkatan kadar
kolesterol. Berbeda dengan haloperidol dan risperidon, aripiprazol tidak menyebabkan
peningkatan kadar prolaktin. Tidak ada laporan mengenai kejadian sindroma neuroleptik
malignansi akibat aripiprazol. ODS yang sudah stabil dan kemudian obatnya diganti
dengan aripiprazol melaporkan terjadinya insomnia. Insomnia yang terjadi biasanya
bersifat sementara dan hilang dengan penambahan sedatif-hipnotik. (Saha A, 2001)

44 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

Kontraindikasi
Aripiprazol dikontraindikasikan terhadap ODS-ODS yang diketahui hipersensitif terhadap
obat aripiprazol. Karena aripiprazol bekerja sebagai antagonis reseptor a1-adrenergik,
hipotensi ortostatik dapat terjadi. ODS-ODS dengan kelainan jantung tidak diikutsertakan
dalam penelitian-penelitian aripiprazol. Oleh karena itu, penggunaan aripiprazol pada ODS
dengan riwayat infark jantung, jantung iskemik, gagal jantung, dan abnormalitas konduksi
jantung, serta penyakit serebrovaskuler, atau kondisi yang berpotensi terjadinya hipotensi
(hipovolum, dehidrasi, dan memakai antihipertensi) sebaiknya dihindari. Selain itu, tidak
ada penelitian pada wanita hamil dan menyusui sehingga penggunaan aripiprazol pada
ODS yang hamil dan menyusui tidak dianjurkan.

Kejang terjadi pada 0,1% (1/926) ODS yang diobati dengan aripiprazol jangka pendek.
Oleh karena itu, aripiprazol sebaiknya tidak digunakan pada ODS dengan riwayat kejang
atau kondisi-kondisi yang menurunkan ambang kejang (misalnya, demensia Alzheimer).
Seperti antipsikotika lainnya, aripiprazol mempunyai potensi untuk memengaruhi
ketrampilan motorik. Oleh karena itu, mengendarai mobil dan mengoperasikan mesin-
mesin yang berbahaya, sebaiknya berhati-hati. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b)

Pada Lanjut Usia


Keamanan dan efikasi aripiprazol pada ODS psikotik usia lanjut dan demensia dengan
gangguan perilaku belum pernah diteliti. Kehati-hatian perlu sekali dilakukan karena dapat
menyebabkan terjadinya hipotensi ortostatik, kesulitan menelan, mengantuk berlebihan,
yang semuanya ini dapat mempredisposisi terjadinya kecelakaan atau aspirasi.

Efikasi Aripiprazol pada Skizofrenia


Beberapa uji klinis, membandingkan aripiprazol dengan plasebo dan dengan APG-I,
memperlihatkan efektivitas aripiprazol pada fase akut skizofrenia. Perbaikan pada
psikopatologi global, dalam respon klinis (> 20% perbaikan psikopatologi global), dan pada
gejala positif lebih besar pada kelompok aripiprazol bila dibandingkan dengan plasebo.
Perbaikan pada gejala negatif tidak konsisten. Ada dugaan bahwa perbaikan gejala negatif
dengan aripiprazol lebih disebabkan oleh perbaikan gejala negatif sekunder (misalnya,
terkait dengan perbaikan gejala parkinsonisme) tetapi bukan akibat efek langsung pada
gejala negatif primer.

Tidak ada perbedaan perbaikan psikopatologi global, respons klinis, gejala positif dan
negatif antara penggunaan haloperidol atau klorpromazin dengan penggunaan aripiprazol.
Sebuah penelitian lainnya menunjukkan bahwa aripirazol lebih efektif bila dibandingakn
dengan haloperidol.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 45


Terapi Biologik

Aripiprazol juga efektif dalam mengurangi risiko kekambuhan. Sebuah uji klinis,
dilakukan selama 26 minggu, randomisasi, buta-ganda pada ODS dengan skizofrenia
dalam fase sakut, memperlihatkan bahwa waktu terjadinya kekambuhan lebih panjang
pada kelompok ODS yang diobati dengan aripiprazol (dosis 15 mg/hari) bila dibandingkan
dengan yang mendapat plasebo (57%:34%). Sebuah uji klinis lainnya, dilakukan selama
52 minggu, randomisasi, buta-ganda terhadap ODS dengan eksaserbasi akut skizofrenia
menuipinjukkan bahwa angka respon dan waktu berhentinya dari penelitian adalah lebih
tingggi pada kelompok yang mendapat aripiprazol 30 mg/hari bila dibandingkan dengan
yang mendapat haloperidol 10 mg/hari. Proporsi ODS yang menyelesaikan penelitian
hingga 52 minggu lebih besar pada kelompok yang mendapat aripiprazol (43%) bila
dibandingkan dengan yang mendapatkan haloperidol (30%). (Saha A, 2001)

Olanzapin
Pada tahun 1990, suatu komponen, mirip dengan klozapin, yang disebutnya dengan
olanzapin, dipatenkan. Olanzapin dapat mengobati skizofrenia. Pada tahun 1995,
olanzapin, pertama kali, digunakan untuk mengobati penderita skizofrenia. Dosisnya
berkisar antara 5-30 mg/hari. Gejala-gejala skizofrenia dapat membaik dan efek samping
ekstrapiramidalnya juga rendah. Pada tahun 1997, berdasarkan hasil beberapa penelitian,
FDA memberikan persetujuan penggunaan olanzapin secara luas di dunia. (vanKammen
DP, Marder SR, 2005b)

Struktur Olanzapin
Olanzapin merupakan derivat tienobenzodiazepin dan secara kimia, ia terkait dengan
klozapin, suatu dibenzodiazepin. Rumus kimianya adalah 2-methyl -4- (4-methyl -1
piperazinyl) -1 OH-thieno [2,3-b][1,5] benzodiazepine. Kemiripannya dengan klozapin,
terlihat dari tingginya afinitas olanzapin terhadap beberapa reseptor neurotransmiter,
misalnya dopamin (DA), D2, D3, D4, dan D5, serotonin 2 (5-HT2); muskarinik, histamin
1(H1), dan a1- adrenergik.

Profil Farmakologik
Penelitian in vitro dan penelitian preklinik menunjukkan bahwa olanzapin mempunyai
khasiat antipsikotika yang signifikan dan efek samping EPS-nya rendah. Rendahnya efek
samping EPS disebabkan oleh ikatannya yang tidak selektif pada DA. Ikatan APG-I sangat
selektif terhadap reseptor yang termasuk kelompok D2 (D2-like). Reseptor yang termasuk
ke dalam D2-like yaitu D2, D3, dan D4, sedangkan reseptor yang termasuk D1-like yaitu
D1 dan D5. Obat APG-I memblok D2-like lebih besar bila dibandingkan dengan D1-like.
Misalnya, haloperidol memblok D2-like lebih besar bila dibandingkan dengan D1-like
(25:1). Klozapin terikat pada semua subtipe dopamin secara parsial dengan rasio D2 : D1
sama dengan 0,7:1. Olanzapin, secara parsial, hanya selektif terhadap D2-like, dengan
rasio D2 terhadap D1 yaitu 3:1. Ia terletak antara haloperidol dengan klozapin.

46 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

Olanzapin memberikan efek antipsikotika dengan gejala EPS minimal adalah karena
olanzapin bekerja lebih selektif pada traktus dopaminergik A10 (yang berjalan dari
tegmentum ventral ke area mesolimbik). Efeknya pada A9 (nigrostriatal), yang memediasi
EPS, sangat kecil. Dengan kata lain, pemberian olanzapin secara kronik, menghambat
aktivitas neuron A10 secara signifikan tanpa menghambat traktus A9 secara bermakna.
Selain dengan dopamin, dari penelitian klinis terlihat bahwa olanzapin juga berikatan
dengan reseptor kolinergik muskarinik M1-M2, a1- aderenergik, dan H1. (Schulz SC et al.,
2004)

Dalam percobaan binatang, olanzapin dapat mengurangi perilaku yang aktif (memanjat-
manjat) yang diinduksi oleh apomorfin dan mengantagonis hiperaktivitas yang diinduksi
oleh stimulansia. Kecenderungan olanzapin untuk menimbulkan katalepsi juga rendah.
Katalepsi merupakan indikator untuk menilai kecenderungan terjadinya EPS. Rasio dosis
olanzapin yang dibutuhkan untuk menimbulkan katalepsi terhadap dosis yang dibutuhkan
untuk menghambat penghindaran terkondisi, merupakan bentuk lain untuk menilai efikasi
atipik. Nilainya lebih tinggi bila dibandingkan dengan obat-obat konvensional dan ini juga
menjadi petunjuk suatu “atipik”.

Efek farmakologik lainnya hampir sama dengan klozapin yaitu bekerja mengantagonis
reseptor 5-HT2. Sistem serotonin merupakan umpan balik negatif terhadap dopaminergik.
Oleh karena itu, dengan menghambat 5-HT2A, risiko EPS dapat dikurangi. Olanzapin,
sama halnya dengan klozapin, afinitasnya terhadap reseptor 5-HT2A, 5HT2C cukup tinggi
dan terhadap reseptor 5-HT3 afinitasnya sedang, serta terhadap 5-HT1 afinitasnya rendah.
Profil afinitasnya ini berbeda dengan APG-I dan komponen atipik lainnya. (Bymaster F et
al., 1996)

Olanzapin berefek pula terhadap sistem lainnya, misalnya mempunyai afinitas kuat pada
reseptor muskarinik M1-5 (berkontribusi pula sebagai anti-EPS). Walaupun demikian,
beberapa ODS, dalam praktik klinik, dapat memperlihatkan efek samping antikolinergik
yang signifikan. Olanzapin melawan efek fensiklidin. Fensiklidin suatu anastesi disosiatif
psikotogenik, yang bekerja mengantagonis N-methyl-D-aspartate (NMDA).

Olanzapin juga bersifat antagonis terhadap a1- adrenergik (berkontribusi dalam terjadinya
hipotensi) dan histaminergik (berkontribusi dalam terjadinya sedasi dan penambahan berat
badan). Selain itu, olanzapin hampir tidak mempunyai efek terhadap a2- dan b adrenergik,
H2, nikotinik, g-aminobutyric acid (GABA), opioid, sigma, atau reseptor benzodiazepin.
(vanKammen DP, Marder SR, 2005b)

Farmakokinetik dan Disposisi


Olanzapin diabsorbsi dengan baik melalui pemberian oral. Konsentrasi puncak, pada
sebagian besar individu, terjadi 4-6 jam setelah penggunaan. Sekitar 40% dosis yang
diberikan mengalami metabolisme cepat pertama dan tidak mencapai sirkulasi sistemik
sehingga makanan sedikit sekali memengaruhi ketersediaan biologiknya.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 47


Terapi Biologik

Ada dua formulasi oral yang tersedia saat ini yaitu tablet oral biasa dan tablet oral yang
terdesintegrasi. Tablet terdesintegrasi secara oral dapat larut sempurna dalam dua menit
setelah diletakkan di lidah. Setelah satu dosis oral, olanzapin 12,5 mg, sekitar 57%
ditemukan dalam urin dan 30% dalam feses. Pada penelitian in vitro, sekitar 93%
olanzapin terikat dengan protein, terutama dengan albumin dan a1-acid glycoprotein.
(Chue P and Jones B, 2002)

Olanzapin dimetabolisme menjadi beberapa metabolit. Metabolit utamanya yaitu


10-N-glucoronide dan 4’-N-desmethyl-olanzapine. Setelah pemberian jangka lama, rata-
rata konsentrasi plasma metabolit ini adalah 44% dan 30% dari konsentrasi olanzapin.
Metabolit lainnya yaitu 4’-N-oxide olanzapine dan 2-hydroxymethyl olanzapine. Enzim
sitokrom P450 1A2 merupakan enzim yang berperan dalam pembentukan 4’-N-
desmethyl-olanzapine. Enzim flavin-containing monooxigenase-3 (FM0-3) berperan dalam
pembentukan 4’-N-oxide olanzapine serta enzim sitokrom P450 2D6 berperan dalam
pembentukan 2-hydroxymethyl olanzapine.

Meskipun enzim 1A2 merupakan ensim metabolisme utama, klirens olanzapin tidak
berkaitan secara bermakna dengan rasio paraksantin-kafein (merupakan ukuran aktivitas
enzim 1A2). Analisis lainnya menyatakan bahwa rasio metabolik plasma 4’-N-desmethyl-
olanzapine terhadap olanzapin, secara bermakna, berkaitan dengan klirens olanzapin.

Parameter farmakokinetik olanzapin, terkait ensim 2D6, tidak berbeda secara signifikan
antara metaboliser yang baik (extensive metabolizer ) dengan yang buruk (poor metabolizer).
Farmakokinetik olanzapin terlihat linier dalam kisaran dosis yang direkomendasikan. Rerata
konsentrasi puncak olanzapin, setelah delapan hari pemberian, dosis 7,5 mg/hari, pada
12 orang laki-laki (11 perokok), adalah 18.3 hg/mL. Rerata waktu paruh adalah 36 jam,
rerata klirens adalah 29.4L/jam. Waktu paruh kedua metabolit utama (4’-N-desmethyl-
olanzapine dan 10-N-glucoronide) adalah 92,6 jam dan 39,6 jam dengan AUC0-24
adalah 57hg*jam/mL dan 112 hg*jam/mL.

Peneliti lainnya juga melaporkan bahwa rerata waktu paruh olanzapin sekitar 30 jam dan
rerata klirensnya adalah 25L/jam. Konsentrasi steady-state olanzapin pada pemberian
sekali sehari, selama satu minggu, adalah dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan
konsentrasi setelah dosis tunggal. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa olanzapin
merupakan substrat intermediet P-glycoprotein. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b)

Klirens olanzapin menurun pada wanita dan orang tua. Pada wanita, klirens olanzapin
adalah 25%-30% lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki. Sebuah penelitian
juga memperlihatkan bahwa konsentrasi olanzapin, setelah pemberian satu minggu, dosis
12,5 mg/ hari, lebih tinggi pada wanita bila dibandingkan dengan laki-laki (29 hg/mL :
19 hg/mL). Konsentrasinya tetap lebih tinggi setelah dosis dinaikkan menjadi 25 mg/
hari, dengan rerata konsentrasi plasma pada minggu ke-8 adalah 65 hg/mL pada wanita
dan 35 hg/mL pada laki-laki. (Kelly DL et al., 1999) Klirens pada usia lanjut adalah 30%
lebih rendah bila dibandingkan dengan usia muda. Waktu paruh pada usia lanjut yaitu

48 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

50% lebih panjang. Penelitian pada anak dan remaja (usia 10-18 tahun) memperlihatkan
bahwa farmakokinetiknya sama dengan orang dewasa yang tidak merokok. Rerata Tmax
(waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi plasma maksimum) adalah 4,7 jam.
Rerata klirens oral adalah 9,6L/jam dan rerata waktu paruh adalah 37,2 jam. (Schulz SC
et al., 2004)

Gangguan fungsi ginjal dan hati tidak memengaruhi disposisi olanzapin. Sebuah penelitian
melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan farmakokinetik yang bermakna antara individu
dengan gangguan hepar dengan individu tanpa gangguan hepar. Meskipun demikian,
konsentrasi olanzapin 10-N-glukoronida meningkat dalam urin penderita serosis.

Sebuah penelitian yang membandingkan farmakokinetik olanzapin pada subjek dengan


gangguan ginjal yang mendapat olanzapin satu jam sebelum hemodialisis dengan subjek
gangguan ginjal yang mendapat olanzapin selama 48 jam di antara dialisis melaporkan
bahwa tidak terdapat perbedaan farmakokinetik yang bermakna di antara kedua kelompok.
Olanzapin tidak terdeteksi di dalam cairan dialisis pada kelompok yang mendapat
olanzapin satu jam sebelum hemodialisis. Data ini menunjukkan bahwa penyesuaian dosis
olanzapin pada penderita dengan gagal ginjal, tidak diperlukan. (vanKammen DP, Marder
SR, 2005b)

Mekanisme Kerja
Obat-obat yang lebih kuat menghambat reseptor dopamin dikategorikan sebagai APG-I
sedangkan yang lebih kuat menghambat serotonin dikategorikan sebagai APG-II.
Olanzapin, baik penelitian in vitro maupun in vivo, memiliki kemampuan memblok 5-HT2A
lebih besar bila dibandingkan dengan reseptor DA. Sebuah penelitian yang menggunakan
positron emission tomography (PET) menunjukkan bahwa olanzapin, pada semua kisaran
dosis, memblok 5-HT2A lebih besar (95% atau lebih besar) bila dibandingkan dengan
kemampuan memblok dopamin.

Olanzapin memiliki banyak persamaan dengan klozapin dalam hal struktur kimia dan
kemampuan memblok reseptornya. Kemampuannya dalam menghambat berbagai reseptor
ini dikaitkan dengan peranannya yang signifikan sebagai antipsikotika. Blokade dopamin,
serotonin dan histamin, mungkin juga neurotansmiter lainnya, merupakan kemampuan
olanzapin sebagai antipsikotika.

Masing-masing neurotransmiter memiliki berbagai reseptor. Untuk dopamin, ada lima


reseptor yang berbeda yang dikelompokkan ke dalam dua subtipe (D1 dan D5; D2, D3, dan
D4) dengan lokasi yang berbeda. Obat-obat antipsikotika bekerja pada regio-regio yang
spesifik. Oleh karena itu, obat-obat APG-II, misalnya olanzapin dapat menurunkan gejala
psikotik tanpa menyebabkan gangguan gerak. Kerjanya yang spesifik ini juga didukung
oleh penelitian biologi molekuler yang menyatakan bahwa terdapat peningkatan ekspresi
c-fos di regio spesifik di otak, misalnya area kaudatus. (Robertson GS and Fibiger HC,
1996)

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 49


Terapi Biologik

Selain itu, juga ada pendapat yang menyatakan bahwa keberhasilan dalam mengurangi
gejala psikotik tanpa disertai efek samping ektrapiramidal dapat pula disebabkan oleh
kecepatan lepasnya beberapa obat antipsikotika dari reseptor. Obat-obat yang menghambat
reseptor tetapi ia dengan cepat meninggalkan reseptor tersebut, menunjukkan bahwa
obat itu memiliki potensi pada reseptor tersebut sehingga ia dapat mengurangi gejala
psikosis tetapi aktivitas reseptor tersebut tetap dalam keadaan “fisiologis” karena cepat
dilepaskannya. Mekanisme kerja ini yang menyebabkan keberhasilan olanzapin mengatasi
gejala psikotik tanpa adanya EPS pada dosis yang direkomendasikan. Walaupun demikian,
pada dosis yang lebih tinggi (30 mg/hari), kemampuannya memblok dopamin meningkat
sehingga dapat menyebabkan terjadinya efek samping EPS.

Glutamat, suatu neurotransmiter eksitatori, berperan pula dalam patofisiologi skizofrenia.


Teori ini didukung oleh efek psikotomimetik antagonis glutamat seperti fensiklidin
dan ketamin. Sebuah penelitian klinik memperlihatkan manfaat agonis glutaminergik
(D-sikloserin) dalam pengobatan skizofrenia. (Goff DC et al., 1995)

Apabila glutamat diberikan kepada ODS skizofrenia, perbaikan gejala negatif dan fungsi
kognitif dapat terlihat tetapi tidak terlihat terjadinya perbaikan gejala positif. Ada peneliti
yang juga memperlihatkan peranan olanzapin pada glutamat yaitu penelitian pada tikus
yang mempelajari tentang inhibisi prepulse. Inhibisi prepulse merupakan suatu ukuran
gerbang sensormotorik yang dinyatakan terganggu pada penderita skizofrenia. Olanzapin
dinyatakan dapat memperbaiki defisit inhibisi prepulse yang diinduksi oleh isolasi.
Karena ada hubungan antara antagonis NMDA dengan inhibisi prepulse, penemuan ini
membuktikan bahwa terdapat manfaat olanzapin terhadap sistem glutaminergik.

Sebuah penelitian lainnya yang melihat efek olanzapin terhadap kadar glutamat,
menggunakan magnetic resonance spectroscopy, melaporkan bahwa kadar glutamat
meningkat setelah penggantian dari APG-I ke olanzapin. Pada kelompok yang menunjukkan
peningkatan kadar plasma glutamat juga memperlihatkan peningkatan konsentrasi
glutamat otak. Peningkatan tersebut disertai dengan perbaikan gejala psikotik. (Goff DC
et al., 2002)

Dekatnya hubungan anatomi antara neurotensin dengan sistem neurotransmiter lain


yang terlibat pada skizofrenia, perubahahan kadar neurotensin otak ketika diberikan obat
antipsikotika dan miripnya antara efek pemberian secara langsung neurotensin dengan
efek antipsikotika, menimbulkan dugaan bahwa neurpeptida neurotensin berperanan pula
pada skizofrenia. Terdapat peningkatan mRNA neurotensin setelah pemberian olanzapin.
Pola perubahan neurotensin yang terlihat dengan olanzapin berbeda dengan yang terlihat
dengan haloperidol. Efek ini sama dengan yang terlihat pada klozapin. Oleh karena itu,
efek olanzapin pada neurotensin diduga juga penting pada skizofrenia. (Binder EB et al.,
2001)

50 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

Indikasi
Olanzapin mendapat persetujuan dari FDA sebagai antipsikotika untuk skizofrenia,
skizoafektif, dan bipolar episodee manik dan campuran. Dasar pemberian persetujuan ini
adalah dari hasil-hasil penelitian olanzapin yang dilakukan. Penelitian awal menunjukkan
bahwa kisaran dosis olanzapin adalah antara 5-30 mg/hari. Mula-mula dosis yang
dianjurkan adalah 10 mg/hari, di malam hari. Kemudian, klinikus menggunakan dosis
lebih tinggi yaitu rata-rata 13 mg/hari. Di ruang perawatan, klinikus sering memberikan
olanzapin dengan dosis 5 mg di pagi hari dan 10 mg di malam hari. (vanKammen DP,
Marder SR, 2005b)

Efek Samping
Efek samping pada penggunan klinis tidak begitu berbeda dengan penelitian preklinis yang
dilakukan yaitu kurangnya efek samping neurologik, misalnya efek samping ekstrapiramidal
(EPS), distonia dan akatisia. Bahkan, pada kelompok-kelompok yang sensitif terhadap
antipsikotika, misalnya penyakit Parkinson, efek sampingnya juga rendah.

Pada penelitian obat, fase II dan III, kelompok yang mendapat olanzapin memperlihatkan
perbaikan EPS pada akhir penelitian bila dibandingkan dengan ketika mereka memasuki
penelitian (baseline). Sebagian besar penelitian tersebut menggunakan APG-I sebagai
kontrolnya. Efek samping neurologik lebih jarang pada kelompok yang mendapat olanzapin
bila dibandingkan dengan kelompok yang mendapat haloperidol. Misalnya, parkinsonisme
(14% : 38%) dan akatisia (12% : 40%). Rendahnya EPS dapat pula memprediksi
rendahnya tardive diskinesia. Pemberian antiparkinsonisme pada penelitian obat olanzapin
lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian obat risperidon (13%:32%). (Schulz SC
et al., 2004)

Efek samping yang sering ditemukan pada penggunaan olanzapin yaitu penambahan berat
badan. Penambahan berat badan dapat berkontribusi dalam ketidakpatuhan terhadap
antipsikotika sehingga dapat meningkatkan angka kekambuhan. Dengan penurunan efek
samping neurologik dengan obat-obat APG-II, sindrom metabolik muncul menjadi risiko
utama pada ODS yang menggunakan obat tersebut. Sindrom metabolik harus menjadi
perhatian khusus klinikus.

Sebuah penelitian meta-analisis yang menilai perubahan berat badan akibat pemberian
antipsikotika memperlihatkan bahwa klozapin dapat meningkatkan berat badan 4,45 kg,
olanzapin, 4,15 kg, risperidon 2,1 kg, haloperidol 1,08 kg, dan plasebo menurunkan berat
badan 0,74 kg. Rata-rata penelitian berlangsung lebih dari 10 minggu. Pada penelitian
jangka panjang, subjek yang berat badannya meningkat lebih dari 7% adalah 30%-50%.
Rendahnya berat badan sebelum mendapat terapi dan baiknya respons klinis terhadap
pemberian olanzapin dikaitkan dengan tingginya efek samping penambahan berat badan.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 51


Terapi Biologik

Perhatian yang lebih besar tentang penambahan berat badan yaitu pada anak-anak dan
remaja. Mereka akan terpapar dengan obat lebih lama dan mereka juga sangat memperhatikan
penampilan. Sebuah penelitian yang dilakukan selama 12 minggu melaporkan bahwa berat
badan remaja yang dirawat meningkat sebanyak 7,2 + 6,3 kg, dua kali peningkatan berat
badan yang terjadi pada kelompok yang mendapat risperidon. Peningkatan berat badan
yang ≥ 7% tersebut terdapat pada sekitar 90% remaja yang menggunakan olanzapin.
Penelitian lainnya juga melaporkan bahwa rerata penambahan berat badan pada remaja,
berusia kurang dari 18 tahun, menderita skizofrenia, menggunakan olanzapin lebih dari
18 minggu, adalah 6,5 kg. (Fidling RL et al., 2003)

Intoleransi glukosa, hiperglikemia, hiperlipidemia, ketoasidosis diabetik, sebagian besar


dikaitkan dengan klozapin dan olanzapin. Kasus-kasus yang dilaporkan ke FDA Drug
Surveillance System memperlihatkan bahwa awitan baru diabetes dan hiperglikemia yang
dikaitkan dengan olanzapin yaitu 78%. Sebanyak 35% dari yang menderita diabetes
tersebut mengalami ketosis atau asidosis. Sebanyak 8% kelompok mengalami ketoasidosis
tersebut meninggal. Sebagian besar kasus terjadi pada enam bulan awal pengobatan
dengan olanzapin. Beberapa kasus terjadi pada bulan pertama pengobatan.

Sebuah penelitian yang menggunakan data dasar yang cukup besar melaporkan bahwa
risiko terjadinya diabetes tipe-2, setelah penggunaan olanzapin dan klozapin, relatif tinggi
bila dibandingkan dengan penggunaan risperidon atau APG-I. Oleh karena itu, pemantauan
terjadinya diabetes tipe-2 harus dilakukan. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b; Schulz
SC et al., 2004)

Sedasi sering terjadi pada awal pengobatan dengan olanzapin tetapi berkurang setelah
beberapa lama pengobatan. Insidensnya sekitar 15% dan kejadian ini sama dengan
haloperidol. Efek antikolinergik dapat terjadi selama pengobatan dan angkanya sedikit
lebih tinggi bila dibandingkan dengan plasebo dan tidak menyebabkan penghentian
pengobatan.

Peningkatan ringan enzim hati dapat pula terjadi tetapi biasanya stabil atau menurun
tanpa menjadi progresif atau menyebabkan disfungsi hepar. Peningkatan prolaktin dapat
pula terlihat selama pengobatan tetapi kadarnya sangat rendah bila dibandingkan dengan
risperidon atau APG-I. Konsentrasi prolaktin dapat melebihi kadar normal bila dosis obat
lebih dari 30 mg/hari.

Leukopenia sangat jarang. Angka kejadiannya sama dengan APG-I atau atipik lainnya.
Olanzapin tidak menimbulkan agranulositosis, bahkan pada ODS-ODS yang menderita
agranulositosis, ketika mereka menggunakan klozapin, membaik setelah diganti dengan
olanzapin. Tidak ada efek pemanjangan QTc, dan efek samping kardiovaskuler lainnya.
(vanKammen DP, Marder SR, 2005b)

52 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

Interaksi Obat
Olanzapin dimetabolisme terutama melalui glukoronidasi dan oksidasi oleh enzim sitokrom
P450 1A2. Obat-obat lain yang memengaruhi jalur metabolisme ini akan memengaruhi
farmakokinetik olanzapin. Obat-obat yang menghambat aktivitas ensim 1A2 menurunkan
klirens olanzapin sehingga meningkatkan konsentrasi plasma olanzapin.

Fluvoksamin, suatu inhibitor sitokrom P450 1A2, diketahui menghambat metabolisme


olanzapin. Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 10 orang laki-laki sehat, perokok,
menerima 11 hari fluvoksamin dengan dosis 50-100 mg, menunjukkan peningkatan
konsentrasi maksimum (Cmax) olanzapin sebanyak 84% dan peningkatan AUC0-2 sebanyak
119% bila dibandingkan dengan olanzapin ditambah plasebo. Klirens olanzapin menurun
sebanyak 50% dan volume distribusinya menurun sebanyak 45% dengan penambahan
fluvoksamin. Begitu pula dengan Cmax metabolit olanzapin (4’-N-desmethyl-olanzapine)
menurun 64% dan AUC0-24 turun sebanyak 77%. Tidak ada perubahan dalam waktu
paruh baik pada olanzapin maupun pada metabolitnya (4’-N-desmethyl-olanzapin). Hal
ini menunjukkan bahwa fluvoksamin menghambat metabolisme cepat pertama (first-pass
metabolism).

Fluoksetin dan imipramin tidak menghambat sitikrom P450 1A2. Ketika dikombinasikan
dengan olanzapin terlihat hanya sedikit perubahan farmakokinetik olanzapin. Kombinasi
olanzapin dengan fluoksetin menurunkan klirens olanzapin hanya sebanyak 15% dan
meningkatkan Cmax 18% dan tidak ada perubahan yang signifikan dalam waktu paruhnya
(18)
. Pemberian bersamaan dengan imipramin meningkatkan Cmax olanzapin sebanyak 14%.
(Callaghan JT et al., 1997)

Obat-obat yang menginduksi enzim P450 1A2 dapat meningkatkan klirens olanzapin
sehingga mengurangi kadar olanzapin dalam darah. Sebuah penelitian yang dilakukan
terhadap orang sehat, diberikan karbamazepin dengan dosis 2 x 200 mg/hari, selama 18
hari dan kemudian diberikan olanzapin 10 mg dosis tunggal memperlihatkan peningkatan
klirens yang signifikan (32.6 : 47,6 L/jam) dan juga volume distribusi (1,190 : 1,400L).
Di samping itu, juga terjadi penurunan Cmax yang sangat bermakna (11,7 : 8,8 mg/L).
Penghentian karbamazepin dikaitkan dengan peningkatan kembali konsentrasi olanzapin
sebanyak 114%. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b)

Merokok juga dapat menginduksi enzim P450 1A2 sehingga dapat pula memengaruhi
disposisi olanzapin. Klirens olanzapin lebih tinggi pada perokok bila dibandingkan
dengan yang tidak perokok. Dalam penelitian in vitro, olanzapin tidak menghambat secara
signifikan aktivitas enzim sitokrom P450 1A2, 2D6, 2C9 atau 2C19. Pada penelitian in
vivo, olanzapin tidak memengaruhi disposisi aminofilin, diazepam, alkohol, imipramin,
warfarin, biperiden, dan litium. (Callaghan JT et al., 1999)

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 53


Terapi Biologik

Klozapin
Penelitian APG-II pertama kali, klozapin, dimulai pada akhir tahun 1960-an. Obat ini
dapat mengurangi gejala psikosis tanpa menyebabkan efek samping gangguan anggota
gerak. Ketika terjadi kematian akibat agranulositosis, sebagai efek samping klozapin,
penelitian mengenai obat ini dihentikan, baik di Eropa maupun di Amerika Serikat.15
Kemudian, semangat untuk mengembangkan APG-II mucul kembali. Akhirnya, penelitian-
penelitian dilakukan kembali dan disimpulkan bahwa klozapin dapat digunakan dengan
syarat, selama penggunaannya, pemantauan yang ketat terhadap sistem hemopoetik,
harus dilakukan. Setelah mendapat persetujuan Food and Drug Administration (FDA),
klozapin kembali digunakan. (Schulz SC et al., 2004)

FASE STABILISASI
Selama fase stabilisasi, tujuan terapi adalah mengurangi stres pada ODS dan memberikan
dukungan untuk mengurangi kekambuhan, meningkatkan adaptasi ODS terhadap
kehidupan dalam masyarakat, memfasilitasi pengurangan gejala secara terus-menerus dan
konsolidasi remisi, dan meningkatkan proses penyembuhan. Bila ODS memiliki perbaikan
dengan obat tertentu, obat tersebut dapat dilanjutkan dan dipantau selama enam
bulan. Penurunan dosis atau penghentian pengobatan pada fase ini dapat menyebabkan
kekambuhan. Penilaian efek samping yang sudah terlihat pada fase akut secara terus-
menerus perlu dilakukan. Selain itu, penyesuaian farmakoterapi untuk mengurangi efek
samping yang dapat menyebabkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan kekambuhan
perlu pula dipertimbangkan.

Tidak adanya jurang dalam pemberian pelayanan sangat penting karena ODS rentan
terhadap kekambuhan setelah fase akut. Orang dengan skizofrenia memerlukan dukungan
dalam menjalani kehidupan normalnya dan aktivitasnya dalam masyarakat. Untuk ODS
yang dirawat, membuat perjanjian dengan klinikus di luar perawatan dapat dilakukan
sebelum keluar dari rumah sakit. Penyesuaian untuk hidup di komunitas dapat difasilitasi
melalui tujuan yang realistik tanpa tekanan untuk melakukan pekerjaan dan sosial pada
tingkat yang lebih tinggi. Harapan yang berlebihan dapat menjadi stresor dan meningkatkan
risiko kekambuhan.

Tujuan terapi selama fase stabilisasi adalah menyakinkan ODS bahwa gejala yang sudah
terkontrol harus dipertahankan sehingga ODS bisa mempertahankan dan memperbaiki
derajat fungsi dan kualitas hidupnya. Edukasi tentang perjalanan dan luaran (outcome)
penyakit, misalnya kepatuhan terhadap pengobatan dapat dimulai pada fase ini. Edukasi
tentang manfaat obat, efek samping dan perlunya kepatuhan terhadap obat, juga harus
diberikan kepada keluarga.

54 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

FASE STABIL
Terapi selama fase stabil bertujuan untuk mempertahankan remisi gejala atau untuk
mengontrol, meminimalisasi risiko atau konsekuensi kekakambuhan dan mengoptimalkan
fungsi dan proses kesembuhan (recovery).

Penilaian Pada Fase Stabil


Pemantauan yang terus-menerus dan penilaian selama fase stabil penting untuk
menentukan manfaat obat yang didapat oleh ODS. Penilaian yang terus-menerus membuat
ODS atau semua yang berinteraksi dengan ODS dapat memantau setiap perubahan gejala
dan fungsi. Klinikus dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala tertentu dan
efek samping.

Penggunaan Antipsikotika Pada Fase Stabil


Setelah ODS mencapai fase stabil atau fase terapi rumatan, perencanaan terapi jangka
panjang untuk mengurangi risiko kekambuhan, memantau dan mengurangi beratnya efek
samping obat, perlu dilakukan.

Penggunaan atipsikotika pada fase stabil dapat mengurangi risiko kekambuhan hingga 30%
per tahun. Tanpa terapi rumatan, sekitar 60%-70% ODS akan mengalami kekambuhan
dalam satu tahun. Dalam dua tahun, kekambuhan dapat mencapai 90%. Kepatuhan
terhadap obat yang digunakan sangat diperlukan. Perlu menjalin aliansi terapetik dengan
ODS agar kepatuhan terhadap pengobatan meningkat.

Menentukan dosis efektif minimum yang dapat mencegah kekambuhan pada fase stabil
memang agak sulit. Tidak ada ketentuannya sampai saat ini. Dosis tinggi sering lebih
efektif mengurangi kekambuhan bila dibandingkan dengan dosis rendah. Meskipun
demikian, dosis yang lebih tinggi sering menyebabkan besarnya efek samping sehingga
sering tidak dapat ditoleransi. Oleh karena itu, klinikus hendaklah berusaha menggunakan
obat dengan dosis yang efek sampingnya minimal tetapi masih dalam kisaran dosis efektif
obat yang bersangkutan. Untuk sebagian besar ODS yang diobati dengan APG-I, klinikus
hendaklah menggunakan dosis dalam kisaran “ambang EPS” karena dosis yang lebih
besr tidak lagi bermanfaat tetapi hanya akan meningkatkan risiko terjadinya efek samping
yang tidak dapat ditoleransi. Dosis APG-I yang lebih rendah dikaitkan dengan perbaikan
kepatuhan dan baiknya perasaan subjektif, serta baiknya fungsi.

Obat APG-II dapat digunakan pada dosis terapetik karena ia tidak akan menginduksi efek
samping ekstrapiramidal. Keuntungan menurunkan dosis menjadi “dosis efektif minimal”
harus menjadi pertimbangan risiko kekambuhan dan sering terjadi eksasebasi skizofrenia.
Saat ini terbukti bahwa obat-obat APG-II berpotensi mencegah kekambuhan. Hal ini dapat
disebabkan oleh tingginya kepatuhan, baiknya efikasi, atau kurangnya efek samping.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 55


Terapi Biologik

Ada berbagai efek samping APG-II, misalnya neurologik, metabolik, seksual, endokrin
dan kardiovaskuler. Pemantauan efek samping ini harus dilakukan secara terus-menerus.
Antipsikotika bisa menyebabkan perbaikan yang substansial bahkan menyebabkan
terjadinya remisi gejala positif. Namun, sebagian besar ODS tetap mengalami hendaya
fungsi pekerjaan atau sosial karena adanya gejala negatif, defisit kognitif, dan gejala
afektif. Penyebab gejala negatif residual hendaklah dievaluasi karena ia dapat disebabkan
akibat sekunder sindrom parkinsonisme atau sindrom depresi mayor yang tidak diobati.
Obat APG-II yang ada saat ini dapat mengatasi gejala negatif.

Risiko kekambuhan sangat tinggi bila ODS tidak menggunakan antipsikotika. Bahkan, ODS
dengan episode pertama yang tidak menggunakan antipsikotika, sekitar 80% mengalami
kekambuhan setelah lima tahun dalam keadaan remisi.

Mempertahankan pengobatan yang terus-menerus dikaitkan dengan rendahnya


kekambuhan. Klinikus hendaklah mediskusikan dengan ODS risiko jangka panjang
terapi rumatan obat yang sedang digunakan. Selain itu, dampak kekambuhan, misalnya
efek kekambuhan terhadap fungsi sosial, pekerjaan, perilaku yang berbahaya akibat
kekambuhan, risiko terjadinya resisten terhadap pengobatan perlu pula diinformasikan).
Bila ada keputusan untuk menghentikan pengobatan, penghentian harus berangsur-angsur
(misalnya, penurunan dosis sekitar 10% per bulan). Klinikus hendaklah mengedukasi ODS
dan keluarga mengenai tanda-tanda awal kekambuhan dan memberikan edukasi tindakan
yang harus dilakukan bila gejala awal in terlihat. Saran agar ODS kontrol secara teratur
perlu pula disampaikan. (Lehman AF et al., 2004)

Terapi elektrokonvulsif (TEK) (Electroconvulsive


Therapy / ECT)
Walaupun obat-obat antipsikotika pilihan utama dalam mengobati pasien dengan
skizofrenia, sekitar 50% ODS memperoleh sedikit keuntungan dari terapi obat APG-I.
Lebih jauh, pada ODS yang pada awalnya berespon terhadap obat, pada fase akut, 78%
mengalami kekambuhan atau rekuren selama 2 hingga 12 tahun periode pemantauan
walaupun mereka tetap menerima obat yang sama. Respon yang lebih baik diperoleh dari
APG-II. Di antara obat-obat APG-II, klozapin adalah obat terbaik untuk ODS yang resisten
dengan pengobatan. Angka responsnya adalah sekitar 50%. (Chanpattana W, 2007)

Terapi elektrokonvulsif telah digunakan dalam penatalaksanaan skizofrenia sejak tahun


1938. Namun, indikasi dan efikasinya pada ODS kurang jelas karena kurangnya penelitian
berkualitas dalam hal ini. Satuan Tugas (task force) American Psychiatric Association
(APA) pada tahun 1990, menyatakan bahwa ECT merupakan terapi yang efektif untuk
eksaserbasi skizofrenia, khususnya dalam keadaan katatonia, gejala-gejala afektif yang
menonjol, atau yang ada riwayat berespon baik terhadap TEK.

56 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

Bukti ilmiah yang mendukung penggunaan TEK sangat terbatas. Biasanya digunakan
untuk ODS yang tidak berespon terhadap antipsikotika. Penggunaannya sering dikombinasi
dengan antipsikotika. Belakangan ini, United Kingdom’s National Institute for Clinical
Excellence (NICE) memublikasikan pendapat yang berlawanan yaitu tidak mengizinkan
penggunaan TEK untuk penatalaksanaan skizofrenia. Jadi, sangat sedikit konsensus
tentang peran TEK dalam tatalaksana skizofrenia. Tabel 7 di bawah ini memperlihatkan
rekomendasi Satuan Tugas APA Tentang Penggunaan TEK sedangkan Tabel 8 adalah
Rekomendasi Komite Khusus Royal College of Psychiatrist tentang TEK.

Tabel 7. Rekomendasi Satuan Tugas APA Tentang Penggunaan TEK

a. TEK efektif untuk ODS dalam situasi berikut:


• Episode sekarang dengan awitan yang tiba-tiba atau tertunda.
• Skizofrenia tipe katatonik
• Riwayat respons yang baik terhadap TEK
b. TEK efektif untuk skizofreniform dan gangguan skizoafektif
c. TEK efektif untuk gangguan psikotik yang tidak ditentukan di tempat lain
(not otherwise specified)

Tabel 8. Rekomendasi Komite Khusus Royal College of Psychiatrist Tentang


Penggunaan TEK Pada Skizofrenia.

a. TEK tidak direkomendasikan untuk pasien skizofrenia tipe II, dengan


pengecualian adalah ketika gejala-gejala depresif yang nyata muncul dalam
konteks suatu sindrom tipe II.
b. Penggunaan TEK pada ODS tipe I adalah terbatas pada pasien:
1. Yang tidak mampu menoleransi dosis neuroleptik yang ekivalen dengan
klorpromazin 500 mg/hari
2. Yang memiliki respons jelek terhadap dosis neuroleptik yang ekivalen
dengan klorpromazin 500 mg/hari
3. Subkelompok spesifik, khususnya ketika gejala-gejala psikotik dijumpai
dalam hubungannya dengan gejala-gejala afektif dan/atau perubahan
perilaku motorik
c. TEK bisa mengurangi perilaku antisosial yang muncul sebagai respons
terhadap gejala psikotik tipe I yang mendasarinya ketika medikasi antipsikotik
sendiri gagal mengatasi gejala-gejala psikotik

Catatan: Skizofrenia tipe I = skizofrenia dengan gejala-gejala positif; Skizofrenia tipe


II = skizofrenia dengan gejala-gejala negatif

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 57


Terapi Biologik

Terdapat empat penelitian yang membandingkan TEK unilateral dengan bilateral pada
skizofrenia. Tidak ada penelitian yang melaporkan adanya perbedaan efikasinya pada
kedua lokasi tersebut. Enam puluh dua pasien dengan skizofrenia yang resisten terhadap
pengobatan diacak untuk mengetahui manfaat TEK bilateral. Ada kelompok yang mendapat
rangsangan hanya sedikit di atas batas serangan kejang. Yang lainnya, dua kali batas
serangan kejang atau empat kali batas serangan kejang. Kelompok yang berada di batas
serangan kejang memerlukan TEK lebih sering dan memerlukan hari yang lebih banyak
untuk memenuhi kriteria respons. Tidak ada perbedaan respons antara kelompok dengan
dua kali batas serangan kejang dengan empat kali batas serangan kejang. Hal ini penting
secara klinik karena TEK sering digunakan ketika perbaikan yang cepat diperlukan pada
pasien dengan eksaserbasi psikotik.

Dosis rangsangan yang lebih tinggi dapat mempercepat respon yang sebanding dengan
yang dijumpai pada depresi mayor. Hanya ada satu penelitian yang mengevaluasi frekuensi
TEK yang diberikan dalam satu minggu. Sebuah penelitian mengevaluasi dua puluh dua
pasien yang menerima TEK dua kali per minggu dan dibandingkan dengan dua puluh satu
pasien yang menerima TEK tiga kali per minggu, kedua kelompok sebanding umur, jenis
kelamin, dan lamanya sakit, menunjukkan bahwa respon kelompok yang mendapat tiga
kali per minggu lebih cepat. Pasien dengan depresi, secara umum memerlukan 6 hingga
12 sesi sedangkan ODS dan mania memerlukan sesi yang lebih banyak.1 Jumlah sesi
yang diperlukan bervariasi sesuai dengan individu. Apabila remisi sempurna telah dicapai,
tidak diperlukan lagi sesi tambahan. Tidak ada konsensus yang dicapai terhadap jumlah
maksimum TEK yang bisa diberikan kepada pasien dan tidak ada konsensus tentang
indikasi untuk terapi rumatan. (Prudic J, 2005)

Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS)


Zaman dkk., pada tahun 2008 melaporkan bahwa Repetitive Transcranial Magnetic
Stimulation (rTMS) merupakan teknik baru yaitu neurostimulasi otak yang bisa memperbaiki
gejala skizofrenia. Teknik ini bersifat non-invasive yang mempengaruhi transmisi trans-
sinaptik, modulasi tidak langsung dari aktivitas neuronal, khususnya di regio korteks otak
sebagaimana sirkuit neuronal yang relevan.

Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation telah digunakan untuk ODS sejak akhir
tahun 1990-an. Manfaat rTMS pada gejala negatif skizofrenia, masih belum jelas. Teknik
rTMS memberikan efek terapeutik yang poten untuk ODS dengan halusinasi pendengaran.
(Prikryl R et al., 2010)

Tidak banyak penelitian yang melihat manfaat rTMS terhadap waham. Menurut meta-
analyses, frekuensi rendah (1Hz) rTMS diaplikasikan di atas korteks temporoparietal kiri
tidak cocok untuk penatalaksanaan waham. Waham, tidak seperti halusinasi pendengaran,
berhubungan dengan disfungsi korteks orbitofrontal bukan korteks temporoparieta.

58 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Terapi Biologik

Hendaya gyrification dari korteks orbitofrontal, khususnya yaitu berkurangnya volume


girus orbito medial, sering dijumpai. Hal tersebut berhubungan dengan gangguan
kognitif formal. Penemuan lain diawali dari Diffusion Tensor Imaging (DTI) menunjukkan
penurunan massa putih (white matter) di korteks frontal yang berhubungan dengan hendaya
memori kerja. Perubahan serebelum dan massa putih parietal dikaitkan dengan waham.
Walaupun dinyatakan bahwa rTMS bermanfaat seperti TEK atau beberapa penelitian rTMS
menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam menurunkan halusinasi pendengaran, rTMS
belum mendapat persetujuan FDA sebagai terapi pada psikosis. Penelitian tambahan
diperlukan sebelum merekomendasikannya pada praktik klinik. (Lehman AF et al.,
2004)

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 59


CATATAN :

60 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Intervensi Psikososial

BAB IV
INTERVENSI PSIKOSOSIAL
Tatalaksana skizofrenia yang optimal seyogyanya merupakan keterpaduan antara intervensi
medis dengan intervensi psikososial. Berbagai studi membuktikan bahwa intervensi
psikososial bermanfaat dalam menurunkan frekuensi kekambuhan, mengurangi kebutuhan
rawat kembali di rumah sakit, mengurangi penderitaan akibat gejala-gejala penyakitnya,
meningkatkan kapasitas fungsional, memperbaiki kualitas hidup dan kehidupan berkeluarga.
Intervensi psikososial bisa dimulai sedini mungkin namun hendaknya disesuaikan dengan
fase perjalanan penyakitnya, dengan melibatkan orang dengan Skizofrenia dan keluarganya
sejak awal. Melalui intervensi psikososial, orang dengan Skizofrenia dan keluarga diajak
untuk memahami perjalanan penyakit, perkembangan gejala, dan menyusun harapan yang
lebih realistik untuk kehidupan dan masa depannya.

Intervensi psikososial adalah proses yang memfasilitasi kesempatan untuk individu meraih
tingkat kemandiriannya secara optimal di komunitas (WHO, 1996). Anthony, Cohen, dan
Farkas, 1990 menyatakan bahwa intervensi psikososial adalah dukungan pada orang dengan
penurunan fungsi akibat gangguan jiwa yang dialami sehingga mereka dapat menjalani
kehidupan dan merasa puas dengan pilihannya untuk hidup di masyarakat dengan sedikit
mungkin bantuan dari professional kesehatan. Saat ini intervensi psikososial dikembangkan
dengan mengadaptasi konsep dan pendekatan Recovery, yaitu sebuah pendekatan yang
melihat proses pemulihan sebagai sebuah perjalanan penyembuhan dan transformasi yang
memampukan orang dengan masalah kesehatan jiwa untuk hidup secara bermakna di
masyarakat berdasarkan pilihannya dan mencapai potensi yang dimilikinya. (SAMHSA,
2004)

Dari sejak awal orang dengan Skizofrenia dan keluarga diajak bekerjasama menyusun
rencana tatalaksana dan target pemulihan yang realistis dan mungkin dicapai. Berdasarkan
tujuannya, intervensi psikososial memiliki ruang lingkup sebagai berikut:

Tabel 9. Intervensi Psikososial Berdasarkan Tujuan yang Akan Dicapai (WHO, 1996)

Tujuan Langkah-langkah
Menurunkan gejala Memberikan terapi yang sesuai (farmako dan
psikoterap), intervensi psikososial
Menurunkan efek negatif dari perawatan Mengurangi dan menghilangkan konsekuensi
serta dampak fisik dan perilaku akibat
intervensi medik. Mencegah efek perawatan
jangka panjang

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 61


Intervensi Psikososial

Tujuan Langkah-langkah
Meningkatkan kompetensi sosial Meningkatkan kapasitas individu dalam
keterampilan sosial, koping psikologis, dan
fungsi okupasi
Menurunkan stigma dan diskriminasi
Dukungan keluarga Untuk keluarga yang salah satu anggota
keluarganya mengalami gangguan jiwa
Dukungan sosial Membangun dan memelihara dukungan
terutama untuk kebutuhan dasar (rumah,
pekerjaan, jaringan sosial, dan waktu luang)
Pemberdayaan konsumer Meningkatkan autonomi konsumer dan
keluarga

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, terdapat 8 area psikososial yang perlu dinilai
yaitu:
1. Psikiatrik (manajemen gejala)
2. Sosial (hubungan dalam keluarga dan masyarakat)
3. Vokasional dan edukasional (keterampilan menyelesaikan masalah, motivasi)
4. Keterampilan hidup dasar (kebersihan, perawatan diri)
5. Financial (budget)
6. Sumber-sumber di masyarakat dan aspek legal
7. Kesehatan atau medical (konsistensi dalam pengobatan)
8. Perumahan (lingkungan yang aman)

Strategi untuk menyelenggarakan intervensi psikososial dapat diterapkan di tingkat


individu maupun komunitas. Di tingkat individu, strategi yang dapat dijalankan berupa
penatalaksanaan farmakologis, latihan keterampilan sosial dan keterampilan hidup dasar,
dukungan psikologis bagi orang dengan skizofrenia dan keluarga, perumahan, rehabilitasi
vokasional, jaringan dukungan sosial, dan pemanfaatan waktu luang. Di tingkat komunitas,
intervensi yang dapat diberikan ditujukan untuk menggalang opini dan sikap yang lebih
positif.

Pendekatan psikososial diterapkan secara individual sesuai dengan kebutuhan spesifik dari
masing masing orang. Intervensi psikososial juga harus berbasis bukti dan dilaksanakan
oleh petugas yang terlatih. Intervensi psikososial berbasis bukti yang dianggap efektif
untuk skizofrenia adalah:
1. Psikoedukasi
2. Intervensi keluarga
3. Terapi kognitif perilaku (CBT)
4. Pelatihan Keterampilan Sosial

62 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Intervensi Psikososial

5. Terapi vokasional
6. Remediasi kognitif
7. Dukungan kelompok sebaya

Psikoedukasi
Psikoedukasi bertujuan untuk meningkatkan pemahaman orang dengan skizofrenia dan
keluarga tentang perjalanan penyakit, pengenalan gejala, pengelolaan gejala, pengobatan
(tujuan pengobatan, manfaat dan efek samping), peran orang dengan skizofrenia dan
keluarga dalam pengobatan. Psikoedukasi juga bertujuan untuk memperkenalkan orang
dengan skizofrenia dan keluarga terhadap perencanaan hidup yang lebih realistic dan
mampu laksana. Psikoedukasi merupakan suatu rangkaian pembelajaran berkesinambungan
seyogyanya mampu memberikan pengetahuan yang memadai bagi orang dengan skizofrenia
dan keluarganya dalam menghadapi setiap tahap dari perjalanan penyakitnya.

Intervensi Keluarga
Melibatkan keluarga dan pelaku rawat dari sejak awal perencanaan terapi sangat
dianjurkan. Intervensi keluarga hendaknya dimulai dengan penilaian terhadap relasi dan
fungsi keluarga. Telah dibuktikan oleh banyak penelitian bahwa keluarga dengan eskpresi
emosi yang tinggi berisiko meningkatkan angka kekambuhan orang dengan skizofrenia
skizofrenia. Intervensi keluarga meliputi edukasi keluarga, meningkatkan keterampilan
koping dan penyelesaian masalah, memperbaiki komunikasi antar anggota keluarga,
reduksi stress dan membangun dukungan.

Intervensi Kognitif Perilaku


Intervensi kognitif perilaku terbukti efektif untuk mengurangi penderitaan orang dengan
skizofrenia akibat gejala gejala skizofrenia. Terapi kognitif perilaku pada orang dengan
skizofrenia skizofrenia lebih ditujukan untuk mengembangkan pemahaman orang dengan
skizofrenia tentang gejala gejala penyakit dan mengajak orang dengan skizofrenia terlibat
secara aktif untuk mengelolanya. Pendekatan ini mengajarkan pada orang dengan
skizofrenia untuk mengenali factor factor yang dapat mencetuskan gejala, melatih dan
memperkuat keterampilan orang dengan skizofrenia dalam mengelola gejala, melatihkan
keterampilan meredakan ketegangan. Mengembangkan strategi penyelesaian masalah
(problem solving strategy)

Rehabilitasi
Meliputi terapi vokasional, pelatihan keterampilan sosial, dan remediasi kognitif. Modalitas
ini dikembangkan untuk meningkatkan keterampilan orang dengan skizofrenia dalam
keterampilan bersosialisasi, menjalin relasi interpersonal, integrasi ke komunitas dan
memperoleh keterampilan kerja.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 63


Intervensi Psikososial

Tabel 10. Kekuatan Bukti Ilmiah untuk Beberapa Intervensi Psikososial

Rekomendasi Evidence Evidence


Level
Psikoedukasi
Psikoedukasi sebuah intervensi Psikoedukasi dapat meningkatkan B
penting yang mesti disertai pelatihan pengetahuan tentang penyakit, tapi
strategi manajemen praktis penyakit ada temuan yang menyebutkan bahwa
untuk tujuan kepatuhan berobat dan psikoedukasi tidak meningkatkan
mencegah relaps. kepatuhan berobat kecuali disertai
peningkatan motivasi dan strategi
perilaku minum obat yang diresepkan
Intervensi Vokasional
Beragam kemungkinan mesti Individu skizofenia jarang yang B
dipertimbangkan untuk orang dengan bekerja; memiliki aktivitas vokasional
skizofrenia yang mampu bekerja, bermakna, termasuk pekerjaan yang
termasuk kerja sukarela, dukungan digaji, bisa menjadi hal yang positif
atau transisi. untuk kesehatan dan kualitas hidup.
Penting merumuskan Tujuan untuk Pendekatan Dukungan Kerja A
pekerjaan yang kompetitif, dan menghasilkan sukses yang lebih
Program Dukungan Kerja nampaknya besar dalam meraih pekerjaan yang
menawarkan pendekatan terbaik kompetitif
untuk mencapai tujuan tadi.
Pelatihan Keterampilan
Pelatihan Keterampilan Sosial harus Pelatihan Keterampilan Sosial B
tersedia untuk orang dengan berhubungan dengan keluaran
skizofrenia yang mengalami kesulitan simptom, fungsi sosial dan kualitas
dan (atau) mengalami stres dan hidup yang lebih baik, dibanding
kecemasan dalam melakukan layanan standar lainnya dan (atau)
interaksi sosial intervensi lain seperti intervensi
psikososial suportif dan terapi
okupasi
Pelatihan Keterampilan dalam format Pelatihan Keterampilan Hidup untuk B
berbasis evidens harus tersedia untuk mencapai keluaran fungsi sosial dan
orang dengan skizofrenia yang kualitas hidup yang lebih baik,
mengalami kesulitan dengan tugas dibanding layanan standar.
harian.

64 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Intervensi Psikososial

Rekomendasi Evidence Evidence


Level
Intervensi Kognitif Perilaku
Baiknya ditawarkan pada orang Studi RCT telah memperlihatkan B
dengan skizofrenia yang resisten manfaat CBT untuk orang dengan
terhadap terapi skizofrenia skizofrenia resisten terapi.
Intervensi Keluarga
Intervensi Keluarga harus menjadi Orang dengan skizofrenia skizofrenia A
bagian perawatan rutin orang dengan yang keluarganya mendapatkan
skizofrenia skizofrenia. psikoedukasi memperlihatkan reduksi
angka rawat inap dan reduksi atau
perlambatan relaps gejala.
Program Psikoedukasi Keluarga harus B
berlangsung lebih dari 9 bulan dan
memasukkan materi mengeratkan
hubungan (engagement), dukungan
dan membangun keterampilan bukan
hanya pemberian informasi atau
berbagi pengetahuan.
Dukungan Sebaya, Bantu-Diri dan B
Penyembuhan
Kampanye antistigma lokal harus Strategi untuk melawan stigma sosial C
menyertakan kontak dengan orang dan diskrimasi terhadap gangguan
dengan skizofrenia mental paling efektif ketika edukasi
publik mengikutsertakan kontak dengan
orang dengan skizofrenia yang
bercerita tentang kisah mereka.
Layanan penyedia rekan sebaya harus Layanan penyedia rekan sebaya B
diikutkan dalam kontinuum perawatan; berperan sebagai model-peran dan
termasuk peran pelanggan (consumer) berbagi pengalaman namun belum
dalam pelatihan keterampilan diteliti secara adekuat dalam desain
berbasis-kelompok, dukungan sebaya, studi yang terkontrol.
dan program edukasi masyarakat.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 65


Intervensi Psikososial

Rekomendasi Evidence Evidence


Level
Terapi Gejala Komorbid
Intervensi Kognitif Perilaku harus Gejala penderitaan, ansietas dan B
dipertimbangkan dalam tatalaksana depresi terjadi pada beberapa orang
stres, ansietas dan depresi pada orang dengan skizofrenia skizofrenia
dengan skizofrenia skizofrenia; perlu
dilakukan beberapa adaptasi teknik ini
Intervensi psikososial, khususnya B
intervensi kognitif-perilaku yang dipakai
di populasi lain dapat mereduksi gejala
stres, ansietas dan depresi pada orang
dengan skizofrenia skizofrenia
Penyalahgunaan Zat B
Program terintegrasi untuk Gangguan Intervensi optimal terapi integrative
penyalahgunaan Zat pada saat yang untuk psikosis dan penyalahgunaan
sama harus tersedia untuk orang zat dalam sebuah program tunggal.
dengan skizofrenia skizofrenia

Sumber: Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 1998

Intervensi Psikososial sesuai fase perjalanan penyakit


Fase Akut
Intervensi psikososial pada fase akut bertujuan untuk mengurangi stimulus yang berlebihan,
stresor lingkungan dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Memberikan ketenangan kepada
ODS atau mengurangi keterjagaan (arousal) melalui komunikasi yang baik, memberikan
dukungan atau harapan, menyediakan lingkungan yang nyaman, tidak menuntut, toleran,
hubungan yang bersifat suportif dengan klinikus dan tim yang memberi layanan perawatan,
perlu dilakukan.

Pada fase ini sebaiknya pendekatan psikososial melalui komunikasi yang sederhana, jelas
dan efektif. Model komunikasi lebih bersifat langsung (directive), memberi penjelasan
singkat kepada keluarga dan orang dengan skizofrenia tentang penyakit dan gejala
serta tujuan pengobatan. Mengajak orang dengan skizofrenia dan keluarga untuk bisa
berkolaborasi dalam proses terapi. Selain itu, pemberian informasi kepada ODS dan
keluarga mengenai penyakit dan tatalaksana yang akan diberikan harus disesuaikan dengan
kemampuan ODS dan keluarga dalam menyerap informasi. Fase akut juga merupakan
waktu yang baik bagi klinikus untuk membina hubungan dengan keluarga atau pengasuh
ODS. Edukasi mengenai kiat mengatasi stresor akibat perilaku ODS yang berbahaya perlu
dilakukan. (Coldham EL et al., 2002)

66 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Intervensi Psikososial

Fase Stabilisasi
Pada fase ini pendekatan psikososial ditujukan untuk meningkatkan keterampilan orang
dengan skizofrenia dan keluarga dalam mengelola gejala. Sifat pendekatan lebih luwes,
mengajak orang dengan skizofrenia untuk mengenali gejala-gejala, melatihkan cara
mengelola gejala, melatihkan kemampuan merawat diri, mengembangkan kepatuhan
menjalani pengobatan. Teknik intervensi perilaku bermanfaat untuk diterapkan pada fase
ini.

Fase Stabil/Pemeliharaan
Pada fase ini intervensi psikososial bervariasi tergantung pada status fungsional dari
masing-masing orang dengan skizofrenia. Tujuan dari intervensi psikososial pada fase
adalah untuk mempersiapkan orang dengan skizofrenia kembali pada kehidupan
bermasyarakat. Modalitas rehabilitasi spesifik seperti terapi remediasi kognitif, pelatihan
keterampilan sosial, dan terapi vokasional, cocok untuk diterapkan pada fase ini. Pada
fase ini orang dengan skizofrenia dan keluarga juga diajarkan mengenali dan mengelola
gejala prodromal, sehingga mereka mampu mencegah kekambuhan berikutnya

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 67


Intervensi Psikososial

INFORMASI DAN PENDIDIKAN


B Informasi untuk keluarga dan pelaku rawat

FASE AKUT
tentang skizofrenia, penyebab, perjalanan,
pengobatan, dan layanan, termasuk
kelompok pendukung.

A Informasi harus diberikan oleh profesional


kesehatan yang berpengalaman.

B Program pendidikan bagi pasien yang


FASE STABILISASI

memberikan informasi tentang penyakit


dan keuntungan dan efek samping
pemberian obat.

INTERVENSI KELUARGA
A Program Intervensi Keluarga harus
diimplementasikan pada kasus yang tepat
setelah mengadakan penilaian.

A Program tersebut harus mencakup:


• Program pendidikan
• Analisis relasi dan keberfungsian
keluarga
• Sesi keluarga untuk membahas masalah
FASE STABIL

yang teridentifikasi
• Kelompok pendukung bagi keluarga

A Program intervensi harus dilakukan oleh


profesional kesehatan terlatih.

TERAPI KOGNITIF PERILAKU


A Terapi Kognitif Perilaku hendaknya
idpertimbangkan untuk gejala psikosis
yang menimbulkan distres dan resisten
terhadap pengobatan konvensional.

REKOMENDASI UMUM

C Pengobatan untuk ODS memerlukan pendekatan multidisiplin yang


terkoordinasi.

C Rencana perawatan hendaknya mencantumkan semua aspek


perawatan yang akan diberikan.

C Harus berhati-hati dan menghindari intervensi yang menimbulkan


stres berlebihan yang dapat menyebabkan perburukan gejala
psikotik.

B Keluarga dan pelaku rawat hendaknya dilibatkan sejak awal (dengan


persetujuan pasien).

Sumber: Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 1998

Gambar 5. Intervensi psikososial untuk ketiga fase skizofrenia.

68 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Daftar Rujukan

Daftar Rujukan
Addonizio G, Alexopoulos GS (1988). Drug-induced dystonia in young and elderly patients.
Am J Psychiatry 145:869-871.
Andrezina R, Jossiasen R, Marcus R, Oren DA, Manos G, Stock E, Carson HW, Iwamoto
T (2006). Intramuscular aripiprazole for the treatment of acute agitation in patients
with schizophrenia or schizoaffective disorder: a double blind, placebo-controlled
comparison with intramuscular haloperidol. Psychopharmacology 188:281-292.
Anthony W, Cohen M, Farkas M (1990) Psychiatric Rehabilitation, 1st Ed. Center for
Psychiatric Rehabilitation.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik
Indonesia (2008) Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007: Laporan Nasional
2007. Jakarta, Desember 2008.
Baptista T, Kin NM, Beaulieu S, de Baptista EA (2002). Obesity and related metabolic
abnormalities during antipsychotic drug administration: mechanisms, management
and research perspectives. Pharmacopsychiatry 35:205-219.
Binder EB, Kinkead B, Owens MJ (2001). The role of neurotensin in the pathophysiology
of schizophrenia and the mechanism of action of antipsychotics drugs. Biol Psychiatry
50:856-872.
Breier A, Meehan K, Birkett M, David S, Ferchland I, Sutton V, Taylor CC, Palmer R, Brook
S, Wright P (2002). A double-blind, placebo-controlled dose-response comparison
of intramuscular olanzapine and haloperidol in the treatment of acute agitation in
schizophrenia. Arch Gen Psychiatry 59:441-448.
Brook S, Walden J, Benattia I, Siu CO, Romano SJ (2005). Ziprasidone and haloperidol
in the treatment of acute exacerbation of schizophrenia and schizoaffective disorder:
comparison of intramuscular and oral formulations in a 6-week, randomized, blinded-
assessment study. Psychopharmacology 178:514-523.
Byars A, Burris K, Jordan S, Tottori K, Kikuchi T, McQuade R (2002). Aripiprazole: A
dopamine-serotonin system stabilizer. European Neuropsychopharmacology 12:S290-
S291.
Bymaster F, Calligaro DO, Falcone JF (1996). Radioreceptor binding profile of the atypical
antipsychotic olanzapine. Neuropsychopharmacology 14:87-96.
Callaghan JT, Bergstorm RF, Ptak LR (1999). Olanzapine: pharmacokinetic and
pharmacodinamic profile. Clin Pharmacokinet 37:177-193.
Callaghan JT, Cerimele BJ, Kassahun KJ (1997). Olanzapine: interaction study with
imipramine. J Clin Pharmacol 37:978-997.
Chanpattana W (2007). Electroconvulsive therapy for schizophrenia. Current Psychiatry
Reviews 3:15-24.
Cheer SM, Wagstaff AJ (2001). Quetiapine: a review of its use in schizophrenia. CNS
Drugs 18(3):173-199.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 69


Daftar Rujukan

Chue P, Jones B (2002). Dissolution profile, tolerability, and acceptability of the orally
disintegrating olanzapine tablet in patients with schizophrenia. Can J Psychiatry
47:771-774.
Coldham EL, Addington J, Addington D (2002). Medication adherence of individuals with
a first episode psychosis. Acta Psychiatr Scand 106:286-290.
Department of Health, NHS Executive (1998). The new NHS, modern and dependable. A
national framework for assessing performance. Wetherby: Department of Health.
DeVance CL, Nemerroff CB (2001). Clinical pharmacokinetics of quetiapine: an atypical
antipsychotic. Clin Pharmacokinet 40(7):509-522.
Eerdekens M, Van Hove I, Remmerie B, Mannaert E (2004). Pharmacokinetics and
tolerability of long-acting risperidone in schizophrenia. Schizophr Res 70:91-100.
Fidling RL, McNamara NK, Youngstrom EA (2003). A prospective, open label trial of
olanzapine in adolescents with schizophrenia. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry
42:270-175.
Frank AF, Gunderson JG (1990). The role of the therapeutic alliance in the treatment of
schizophrenia: relationship to course and outcome. Arch Gen Psychiatry 47:228-
236.
Goff DC (2004). Risperidone. Dalam: Schatzberg AF, Nemeroff CB (Eds.) Textbook of
Psychopharmacology, 3rd Ed. American Psychiatric Association, Washington, DC,
London, England. pp 495-505.
Goff DC, Hennen J, Lyoo IK (2002) Modulation of brain and serum glutaminergic
consentrations following a switch from conventional neuroleptics to olanzapine. Biol
Psychiatry 51:493-497.
Goff DC, Tsai G, Manoach DS (1995). Dose-finding trial of D- Cycloserine added to
neuroleptics for negative symptoms in schizophrenia. Am J Psychiatry 152:1213-
1215.
Grunder G, Medori M, Kungel M, Kikuchi T (2002). Aripiprazole: Pharmacology of a new
antipsychotic. Eur Arch Psychiatry Clin Neurosci 252:51.
Kane JM, Erdekens M, Lindenmayer JP, Keth SJ, Lesem M, Karcher K (2003). Long-
acting injectable risperidone: efficacy and safety of the first long-acting atypical
antipsychotic. Am J Psychiatry 160:1125-1132.
Kelly DL, Conley RR, Tamminga CA (1999) Differential olanzapine plasma consentrations
by sex in a fixed-dose study. Schizophr Res 40:101-104.
Lehman AF, Lieberman JA, Dixon LB, McGlashan TH, Miller AL, Perkins DO (2004).
Treatment recommendations for patients with schizophrenia. APA Practice Guideline
for Treatment of Patients with Schizophrenia, 2nd Ed. pp 22-29.
Marder SR, Kane JM. Schizophrenia (2005). Somatic Treatment. Dalam: Sadock BJ,
Sadock VA (Eds.) Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry, 8th
Edition. Lippncott Williams & Wilkins, A Wollters Kluwer Company, Philadelphia,
Baltimore, New York, London, Boines Aires, Hongkong, Sydney, Tokyo. pp 1467-
1476.

70 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Daftar Rujukan

Marder SR, vanKammen DP (2005). Dopamine Receptor Antagonists (Typical Antipsychotics).


Dalam: Sadock BJ, Sadock VA (Eds.) Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of
Psychiatry, 8th Edition. Lippncott Williams & Wilkins, A Wollters Kluwer Company,
Philadelphia, Baltimore, New York, London, Boines Aires, Hongkong, Sydney, Tokyo.
pp 2817-2838.
McGavin JK, Goa KL (2002). Aripiprazole. CNS Drugs 16:779-786.
McQuade R, Carson W, Saha A, Ingenito G, Ali M, Archibald D (2002b). Aripiprazole for
long-term maintenance treatment of schizophrenia. Eur Neuropsychopharmacology
1:S288-S289.
McQuade R, Saha A, Kaplita S, Archibald D, Iwamoto T, Stock E (2002a). Metaanalysis
of the safety and tolerability profile of aripiprazole in schizophrenia. Eur
Neuropsychopharmacology 295:853-861.
Millan MJ (2000) Improving the treatment of schizophrenia: focus on serotonin 5-HT1A
receptors. J Pharmacol Exp Ther 295:853-861.
Moran P, Walsh E, Tyrer P, Burns T, Creed F, Fahy T (2003). Impact of comorbid personality
disorder on violence in psychosis. Br J Psychiatry 182:129-134.
Morh P, Pecenak J, Svestka J, Swingler D, Treuer T (2005). Treatment of acute agitation
in psychotic disorders. Neuroendocrinol Lett 26 (4): 327-335.
Neoborsky R, Janowsky D, Munson E, Depry D (1981). Rapid treatment of acute psychotic
symptoms with high-and low-dose haloperidol. Arch Gen Psychiatry 38:195-199.
Potkin SG, Thyrum PT, Alva G (2002a). Effect of fluoxetine and imipramine on
the pharmacokinetics and tolerability of the antipsychotic quetiapine. J Clin
Psychhopharmacol 22(2):174-182.
Potkin SG, Thyrum PT, Bera R, Carreon D, Alva G, Kalali AH, Yeh C (2002b). Open-
label study of the effect of combination quetiapine/lithium therapy on lithium
pharmacokinetics and tolerability. Clin Ther 24:1809-1823.
Preston JD, O’Neal JH, Talaga MC (2010). Antipsychotic Medications. Dalam: Handbook
of Clinical Psychopharmacology for Therapists, 6th ed. New Harbinger Publications,
Inc. pp 219-241.
Prikryl R, Ustohal L, Prikrylova-Kucerova H, Cermakkova I, Ceskova E (2010). Effects
of sequential frontotemporal repetitive transcranial magnetic stimulation (rTMS) on
schizophrenia. Act Nerv Super Rediviva 52(1):-41.
Prudic J (2005). Electroconvulsive therapy. Dalam: Sadock BJ, Sadock VA (Eds.) Kaplan
& Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry, 8th Edition. Lippncott Williams
& Wilkins, A Wollters Kluwer Company, Philadelphia, Baltimore, New York, London,
Boines Aires, Hongkong, Sydney, Tokyo. pp 2968-2984.
Robertson GS, Fibiger HC (1996). Effects of olanzapine on regional c-fos expression in
rate forebrain. Neuropsychopharmacology 14:105-110.
Sackett D, Straus S, Richardson W, Rosenberg W, Haynes R: Evidence based medicine:
how to practice and teach EBM Second edition. Edinburgh Churchill Livingstone;
2000.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 71


Daftar Rujukan

Saha A (2001) Efficacy and safety of Aripiprazole and Risperidone vs. Placebo in patients
with Schizophrenia and schizoaffective disorder. World J Biol Psychiatry 2(Suppl
1):305.
Schulz SC, Olson S, Kotlyar M (2004). Olanzapine. Dalam: Schatzberg A, Nemeroff CB
(Eds.) Textbook of Psychopharamcology, 3rd Ed. American Psychiatric Publishing,
Inc, Washington DC, London, England. pp 457-472.
Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN) (1998) Psychosocial Interventions in
the Management of Schizophrenia: A National Clinical Guideline. SIGN Publication
Number 30.
Substance Abuse and Mental Health Services Administration (SAMHSA), U.S. Department
of Health And Human Services (2004) Mental Health Recovery. Center for Mental
Health Services http://www.colorado.gov/cs/Satellite/CDHS-BehavioralHealth/
CBON/1251581615128. Diakses: 26 Juni 2011.
Turner T, Misso M, Harris C, Green S (2008) Development of evidence-based clinical
practice guidelines (CPGs): comparing approaches. Implementation Science 3:45.
http://www.implementationscience.com/content/3/1/45.
vanKammen DP, Marder SR (2005). Serotonin-Dopamine Antagonists (Atypical or Second-
Generation Antipsychotics). Dalam: Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook
of Psychiatry, Sadock BJ, Sadock VA. Edit. 8th. Lippincott Williams & Wilkins, A
Wollters Kluwer Company, Philadelphia, Baltimore, New York, London, Boines Aires,
Hongkong, Sydney, Tokyo. pp 2914-2938.
World Health Organization (1996) Psychosocial Rehabilitation: A Consensus Statement.
WHO, Geneva.
Yildiz A, Sachs GS, Turgay A (2003). Pharmacological management of agitation in
emergency setting. Emerg Med J 20:339-346.
Yokoi F, Grunder G, Biziere K (2002). Dopamine D2 and D3 receptor occupancy in normal
humans treated with the antipsychotic drug aripiprazole: a study using positron
emission tomography and [11C]raclopride. Neuropsychopharmacology 27:248-259.

72 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Glosari

LAMPIRAN A.
GLOSARI

EMOSI (MOOD DAN AFEK)


Aleksitimia Suatu kondisi ketidakmampuan individu untuk menghayati
suasana perasaannya. Sering kali diungkapkan sebagai
kedangkalan kehidupan emosi. Seseorang dengan aleksitimia
sangat sulit untuk mengungkapkan perasaannya.
Anhedonia Suatu suasana perasaan yang diwarnai dengan kehilangan minat
dan kesenangan terhadap berbagai aktivitas kehidupan.
Mood kosong Kehidupan emosi yang dangkal, tidak atau sangat sedikit memiliki
penghayatan suasana perasaan. Individu dengan mood kosong
nyaris kehilangan keterlibatan emosinya dengan kehidupan
sekitarnya. Keadaan ini dapat dijumpai pada pasien skizofrenia
kronis.
Afek menumpul Merupakan penurunan serius dari kemampuan ekspresi emosi
yang tampak dari tatapan mata kosong, irama suara monoton dan
bahasa tubuh yang sangat kurang.
Afek mendatar Suatu hendaya afektif berat lebih berat dari afek menumpul.
Pada keadaan ini dapat dikatakan individu kehilangan
kemampuan ekspresi emosi. Ekspresi wajah datar, pandangan
mata kosong, sikap tubuh yang kaku, gerakan-gerakan sangat
minimal, dan irama suara datar seperti “robot”.
Afek Tidak serasi Kondisi sebaliknya yakni ekspresi emosi yang tidak cocok dengan
suasana yang dihayati. Misalnya seseorang yang menceritakan
suasana duka cita tapi dengan wajah riang dan tertawa-tawa.
Afek labil Menggambarkan perubahan irama perasaan yang cepat dan tiba-
tiba, yang tidak berhubungan dengan stimulus eksternal.

PERILAKU MOTORIK
Stupor katatonia Penurunan aktivitas motorik secara ekstrem, bermanifestasi
sebagai gerakan yang lambat hingga keadaan tak bergerak dan
kaku seperti patung. Keadaan ini dapat dijumpai pada skizofrenia
katatonik.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 73


Glosari

Furor katatonia Suatu keadaan agitasi motorik yang ekstrem, kegaduhan motorik
tak bertujuan, tanpa motif yang jelas dan tidak dipengaruhi oleh
stimulus eksternal. Dapat ditemukan pada skizofrenia katatonik,
sering kali silih berganti dengan gejala stupor katatonik.
Fleksibilitas serea Keadaan sikap tubuh yang sedemikian rupa dapat diatur tanpa
perlawanan sehingga diistilahkan seluwes lilin.
Bradikinesia Perlambatan gerakan motorik yang biasa terjadi pada
parkinsonisme atau penyakit Parkinson. Individu memperlihatkan
gerakan yang kaku dan kehilangan respons spontan.
Katalepsi Keadaan mempertahankan sikap tubuh dalam posisi tertentu
dalam waktu lama.
Stereotipi dan Gerakan yang tidak bertujuan dan berkali-kali salah satu anggota
mannerism badan.
Negativism Menentang nasihat atau permintaan orang lain atau melakukan
hal yang berlawanan dengan itu.
Automatisme Menuruti sebuah perintah secara otomatis tanpa pikir terlebih
komando dahulu.
Echolalia Langsung mengulangi atau meniru apa yang dikatakan orang lain.
Ekhopraxia Langsung menirukan gerakan orang lain pada saat melihatnya.

PROSES PIKIR
Asosiasi longgar Gangguan arus pikir dengan ide-ide yang berpindah dari satu
subjek ke subjek lain yang tidak berhubungan sama sekali; dalam
bentuk yang lebih parah disebut inkoherensia.
Inkoherensia Pikiran yang secara umum tidak dapat kita mengerti, pikiran, atau
kata keluar bersama-sama tanpa hubungan yang logis atau tata
bahasa tertentu hasil disorganisasi pikir.
Sirkumstansial Pembicaraan yang tidak langsung sehingga lambat mencapai
point yang diharapkan, tetapi sering kali akhirnya mencapai point
atau tujuan yang diharapkan, sering diakibatkan keterpakuan
yang berlebihan pada detail dan petunjuk-petunjuk.
Tangensial Ketidakmampuan untuk mencapai tujuan secara langsung dan
sering kali pada akhirnya tidak mencapai point atau tujuan yang
diharapkan.
Asosiasi bunyi Mengucapkan perkataan yang mempunyai persamaan bunyi.
(clang association)
Neologisme Membentuk kata-kata baru atau makna baru dari sebuah kata
yang tidak bisa dipahami secara umum.
Stereotipik verbal Pengulangan yang di luar konteks dari kata-kata, frasa, atau ide,
(perseverasi) berulang-ulang menceritakan sesuatu ide, pikiran, atau tema
secara berlebihan.

74 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Glosari

Terhambat (blocking) Jalan pikiran yang tiba-tiba berhenti atau terhenti di tengah
sebuah kalimat.
Mutisme Ketidakmampuan untuk bicara.
Alogia Kemiskinan pembicaraan.

ISI PIKIR
Kemiskinan isi pikir Pikiran yang hanya menghasilkan sedikit informasi karena
ketidakjelasan, pengulangan yang kosong, atau frase yang
tidak dikenal.
Waham/delusi Suatu perasaan keyakinan atau kepercayaan yang keliru tentang
kenyataan eksternal, tidak konsisten dengan inteligensia dan
latar belakang budaya pasien, dan tidak bisa diubah lewat
penalaran atau dengan jalan penyajian fakta.
Waham bizarre Keyakinan yang keliru, mustahil, dan aneh.
Waham sistematik Keyakinan yang keliru atau keyakinan yang tergabung dengan
satu tema/kejadian.
Waham nihilistik Perasaan yang keliru bahwa diri dan lingkungannya atau dunia
tidak ada atau menuju kiamat.
Waham somatik Keyakinan yang keliru yang melibatkan fungsi tubuh.
Waham paranoid Termasuk di dalamnya waham kebesaran, waham kejaran/
persekutorik, waham rujukan (reference), dan waham
dikendalikan.
Waham kebesaran Keyakinan atau kepercayaan, biasanya psikotik sifatnya, bahwa
dirinya adalah orang yang sangat kuat, sangat berkuasa, atau
sangat besar.
Waham kejaran/ Suatu delusi yang menandai seorang yang paranoid, yang
persekutorik mengira bahwa dirinya adalah korban dari usaha untuk
melukainya, atau yang mendorong agar dia gagal dalam
tindakannya. Kepercayaan ini sering dirupakan dalam bentuk
komplotan yang khayali, dokter dan keluarga pasien dicurigai
bersama-sama berkomplot untuk merugikan, merusak,
mencederai, atau menghancurkan dirinya.
Waham rujukan Suatu kepercayaan keliru yang meyakini bahwa tingkah laku
orang lain itu pasti akan memfitnah, membahayakan, atau akan
menjahati dirinya.
Waham dikendalikan Keyakinan yang keliru bahwa keinginan, pikiran, atau perasaannya
dikendalikan oleh kekuatan dari luar. Termasuk di dalamnya
thought withdrawal, thought insertion, thought broadcasting,
thought control.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 75


Glosari

Thought withdrawal Waham bahwa pikirannya ditarik oleh orang lain atau
kekuatan lain.
Thought insertion Waham bahwa pikirannya disisipi oleh orang lain atau
kekuatan lain.
Thought broadcasting Waham bahwa pikirannya dapat diketahui oleh orang lain, tersiar
di udara.
Thought control Waham bahwa pikirannya dikendalikan oleh orang lain atau
kekuatan lain.
Waham cemburu Keyakinan yang keliru yang berasal dari cemburu patologis
tentang pasangan yang tidak setia.
Erotomania Keyakinan yang keliru, biasanya pada wanita, merasa yakin
bahwa seseorang sangat mencintainya.

PERSEPSI
Depersonalisasi Satu kondisi patologis yang muncul sebagai akibat dari perasaan
subyektif dengan gambaran seseorang mengalami atau merasa
diri sendiri (atau tubuhnya) sebagai tidak nyata atau khayali
(asing, tidak dikenali).
Derealisasi Perasaan subyektif bahwa lingkungannya menjadi asing,
tidak nyata.
Ilusi Satu persepsi yang keliru atau menyimpang dari stimulus
eksternal yang nyata.
Halusinasi Persepsi atau tanggapan palsu, tidak berhubungan dengan
stimulus eksternal yang nyata; menghayati gejala-gejala yang
dikhayalkan sebagai hal yang nyata.
Halusinasi hipnagogik Persepsi sensorik keliru yang terjadi ketika mulai jatuh tertidur,
secara umum bukan tergolong fenomena patologis.
Halusinasi Persepsi sensorik keliru yang terjadi ketika seseorang mulai
hipnopompik terbangun, secara umum bukan tergolong fenomena patologis.
Halusinasi auditorik Persepsi suara yang keliru, biasanya berupa suara orang meski
dapat saja berupa suara lain seperti musik, merupakan jenis
halusinasi yang paling sering ditemukan pada gangguan psikiatri.
Halusinasi visual Persepsi penglihatan keliru yang dapat berupa bentuk jelas
(orang) atau pun bentuk tidak jelas (kilatan cahaya), sering kali
terjadi pada gangguan medis umum.
Halusinasi penciuman Persepsi penghidu keliru yang sering kali terjadi pada gangguan
medis umum.
Halusinasi Persepsi pengecapan keliru seperti rasa tidak enak sebagai gejala
pengecapan awal kejang, sering kali terjadi pada gangguan medis umum.

76 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Glosari

Halusinasi taktil Persepsi perabaan keliru seperti phantom limbs (sensasi anggota
tubuh teramputasi), atau formikasi (sensasi merayap di bawah
kulit).
Halusinasi somatik Sensasi keliru yang terjadi pada atau di dalam tubuhnya, lebih
sering menyangkut organ dalam.
Halusinasi liliput Persepsi keliru yang mengakibatkan obyek terlihat lebih kecil.
REALITY TESTING Kemampuan seseorang untuk menilai realitas.
ABILITY (RTA)
TILIKAN Kemampuan seseorang untuk memahami sebab sesungguhnya
dan arti dari suatu situasi (termasuk di dalamnya dari gejala itu
sendiri). Tilikan terganggu artinya kehilangan kemampuan untuk
memahami kenyataan objektif akan kondisi dan situasi dirinya.
Tilikan derajat 1 Penyangkalan total terhadap penyakitnya.
Tilikan derajat 2 Ambivalensi terhadap penyakitnya.
Tilikan derajat 3 Menyalahkan faktor lain sebagai penyebab penyakitnya.
Tilikan derajat 4 Menyadari dirinya sakit dan butuh bantuan namun tidak
memahami penyebab sakitnya.
Tilikan derajat 5 Menyadari penyakitnya dan faktor-faktor yang berhubungan
dengan penyakitnya namun tidak menerapkan dalam perilaku
praktisnya.
Tilikan derajat 6 Menyadari sepenuhnya tentang situasi dirinya disertai motivasi
(sehat) untuk mencapai perbaikan.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 77


CATATAN :

78 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Instrumen-Instrumen Pengukuran

LAMPIRAN B
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGUKURAN

1. MINI-ICD 10
Instrumen yang digunakan untuk membantu diagnosis gangguan jiwa. Wawancara
menggunakan MINI-ICD 10 dapat berlangsung 15 menit.

2. PANSS
Alat ukur yang valid untuk menilai beratnya simtom yang dialami penderita skizofrenia.
Instrumen ini sensitif terhadap perubahan sehingga dapat digunakan untuk menilai
respon terapi.

PANSS terdiri dari 30 butir dan 3 skala


• Skala positif : 7 butir
• Skala negatif : 7 butir
• Skala psikopatologi umum : 16 butir
Masing-masing butir dinilai 7 poin (1- 7) dengan nilai skor total (30-210) .

Wawancara dalam menggunakan PANSS:


• Fase awal : tidak terstruktur, nondirektif, 10’-15’, membina rapport, riwayat
penyakit, awitan
• Fase kedua: semi struktur, 10’-15’, terarah tanpa provokatif, tanpa penyelidikan
spesifik, sudah dapat terungkap tentang ansietas, halusinasi, kecurigaan,
kebesaran, dan rasa besalah
• Fase ketiga: terstruktur, 5’-10’, pertanyaan spesifik tentang suasana hati,
orientasi, pemikiran abstrak, tilikan
• Fase keempat: direktif, 5’-10’ menegaskan informasi, observasi respons di bawah
stres.

3. Personal & Social Performance Scale (WT PSP)


Instrumen yang digunakan untuk menilai fungsi pasien dalam perawatan diri,
aktivitas yang berguna secara sosial, hubungan personal dan sosial dan agresivitas
serta perilaku yang menganggu.

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 79


CATATAN :

80 Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia


Konsensus ini terselenggara berkat dukungan dari
PT AstraZeneca Indonesia

Anda mungkin juga menyukai