Anda di halaman 1dari 189

ii

FAKULTAS HUKUM - UNIVERSITAS INDONESIA

PROGRAM KEKHUSUSAN I (HUKUM TENTANG HUBUNGAN ANTARA SESAMA

ANGGOTA MASYARAKAT)

===========================================================

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

Nama : Guntur Prima

NPM : 0503001251

Program : S1

Judul Skripsi : Analisis Penerapan Perjanjian Sewa Menyewa

Terhadap Pengelolaan Area Parkir Berdasar-

kan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan

Undang-undang Perlindungan Konsumen

Pembimbing I Pembimbing II

Suharnoko,S.H., MLI. Abdul Salam, S.H.

Ketua Bidang Studi

Hukum Keperdataan

Prof. Wahyono Darmabrata, S.H., M.H.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


iii

“I mean to believe that


something extraordinary
is possible”
(taken from A Beautiful Mind)

Kupersembahkan karya ini untuk


Ibunda Cicih Sukaesih,
Nenek Siti Chodidjah, serta
Adik-adikku Guruh Aradea dan Garnis Sonia

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang senantiasa memberi-

kan karunia dan hidayah-Nya kepada penulis. Tanpa

pertolongan-Nya, penulis tidak akan dapat menuntaskan kewa-

jiban studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.

Skripsi ini mempunyai judul “Analisis Penerapan

Perjanjian Sewa Menyewa Terhadap Pengelolaan Area Parkir

Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-

undang Perlindungan Konsumen”, dimana penulis membahas

mengenai masalah yang terjadi sehubungan dengan penerapan

perjanjian sewa menyewa terhadap pengelolaan area parkir.

Penerapan perjanjian yang bersangkutan tidaklah tepat jika

diterapkan, karena tujuan utamanya adalah untuk mengalihkan

tanggung jawab pengelola parkir kepada pihak lain. Masalah

hukum itulah yang akan dibahas lebih lanjut dalam skripsi

ini dengan melakukan perbandingan terhadap perjanjian

penitipan barang sebagai bentuk perjanjian ynag lebih tepat

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


v

berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan

Undang-undang Perlindungan Konsumen.

Penulis sadar bahwa skripsi ini sangat jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis berharap adanya

masukan untuk menyempurnakan dan memperbaiki kualitas dari

tulisan ini.

Depok, 2007

Penulis,

Guntur Prima

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada lembar ini penulis khususkan untuk menyampaikan

rasa terima kasih penulis kepada para pihak yang telah

mendukung penulis selama penulis menempuh pendidikan di

Fakultas Hukum ini.

1. Yang pertama penulis ucapkan kepada Ibu penulis, Cicih

Sukaesih yang senantiasa berdo’a siang dan malam demi

kebaikan penulis. Karena dengan do’a Ibu itulah penulis

memperoleh kekuatan untuk terus berjuang hingga penulis

dapat menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum. Di

samping Ibu, penulis tempatkan Mak Ijah yang sudah

terlebih dahulu pergi sebelum penulis sempat memper-

sembahkan karya ini. Mak Nyanyoh dan Abah Ajid yang

terturut dengan do’a-do’anya selama ini membuat penulis

mempunyai kekuatan untuk terus berkarya. Dengan

demikian, penulis pun dapat menghadiahkan kelulusan ini

sebagai langkah awal untuk balas jasa atas kasih mereka

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


vii

selama ini. Hanya Allah SWT lah yang dapat membalas

cinta kasih mereka dengan surga-Nya.

2. Yang kedua, penulis ucapkan kepada adik-adik penulis,

Guruh Aradea dan Garnis Sonia yang selalu memberikan

semangat untuk terus berjuang dan mengingatkan penulis

akan kewajiban penulis untuk selalu melakukan yang

terbaik.

3. Yang ketiga, penulis ucapkan terima kasih kepada

keluarga dekat penulis, Ninin dan Uwak Ucin beserta

anak-anaknya, Jaja dan Hari yang dengan dorongan

semangatnya membuat penulis sadar bahwa masih banyak

yang harus penulis lakukan dalam hidup ini, dan membuat

penulis merasa nyaman karena masih memiliki keluarga

yang setia menemani di saat suka dan duka, terutama

bagi Ibu dikala beliau sedang berada dalam kesusahan.

Di samping itu, penulis juga ucapkan kepada Uwak Andi

and Uwak Yuli beserta sepupu penulis, Puri yang juga

setia memberikan dukungan kepada penulis.

4. Kepada Bapak Suharnoko S.H., MLI dan Bang Abdul Salam

S.H. yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk

menjadi pembimbing penulis dan memberikan saran-saran

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


viii

demi kebaikan penulis. Semoga Allah membalas kebaikan

bapak-bapak sekalian di hari akhir nanti.

5. Kepada Ibu Surini A. Sjarif S.H., M.H. selaku pem-

bimbing akademik penulis yang selama ini telah memberi

masukan-masukan yang bermanfaat bagi penulis selama

menempuh pendidikan di Fakultas Hukum.

6. Kepada TIM PENGUJI: Ibu Dr. Wienarsih Imam Subekti

S.H., M.H., Ibu Dr. Rosa Agustina S.H., M.H., dan Bapak

Akhmad Budi Cahyono S.H., M.H. yang telah meluangkan

waktunya untuk hadir pada hari sidang.

7. Kepada teman-teman angkatan 2003 yang telah setia

mendampingi dan menjadi sahabat dikala penulis senang

maupun susah. Penulis hendak menyampaikan terima kasih

kepada:

a. Moko yang setia berbagi suka dan duka semenjak masih

tinggal di asrama, terutama saat berburu film-film

seru setiap akhir semester sebelum penulis mudik ke

Cirebon. Terturut pula Aza dan Dessy Eko yang sampai

kini masih berhubungan baik, terutama saat bersama-

sama menjalani magang di Bank Indonesia;

b. Shinta a.k.a. Nok Bunga yang merupakan teman cewek

pertama yang penulis kenal sejak PDPT dahulu dan

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


ix

setia bersuka-ria bersama penulis dalam susah maupun

senang;

c. Dita a.k.a Cewek Delinkuen yang juga setia menemani

penulis selama ini serta doyan numpang tidur di kamar

penulis dan melakukan tour keliling depok saat akhir

pekan. Ditambah melakukan perampokan terhadap koleksi

video klip milik penulis yang berharga;

d. Mpok Ati, Nyonya Tania, Christy Amboina, Tante Alfi,

Shanti Korea, Idha Kholidah, dan Wiska Janger yang

merupakan grup mamih-mamih Dharma Wanita yang turut

memperkaya warna dalam kehidupan penulis semenjak di

asrama hingga saat ini;

e. Teman-teman kelompok pasar modal, Profesor Wulan,

Sianita, dan Mbak Lebi beserta Pooh Bear Sumi yang

bersama menempuh suka duka mengerjakan tugas mingguan

serta rela berpanas-panasan di dalam ruang diskusi

hingga senja menjemput;

f. Babah Liong dan teman-teman Negeri Tirai Bambu

lainnya (termasuk Darling Eric yang sempat menjadi

parasit selama setahun tinggal satu kamar bersama

penulis) yang turut memberi kisah kepada penulis

dalam hal transaksi dan referensi film-film seru,

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


x

terutama The OC yang mengilhami penulis untuk terus

berjuang agar penulis dapat melanjutkan pendidikan ke

negara Paman Sam dan melakukan selancar di California

“... California here we come, right back where we

started from ...”;

g. Adhari yang senantiasa membantu penulis ketika

penulis mengalami kesulitan dalam hal pelajaran dan

memeberi semangat saat penulis akan sidang;

h. Windri yang senantiasa membimbing penulis dalam

mempelajari bahasa Inggris;

i. Okaa-san yang tanpa ragu-ragu menawarkan bantuan

kepada penulis untuk pergi ke Ratu Plaza dikala

penulis mengalami kepanikan karena laptop-nya

mengalami gangguan;

j. Fecha beserta Jeng-jengnya; Ara, Bona, Cyntia, Dina,

Dower Nian, Ipon, dan Yen yang turut meramaikan

suasana kos-kosan semenjak Fecha pindah ke Cornelius

(yang penting pada saat transaksi film-film);

k. Praticia dan Nano yang telah berbaik hati mengantar-

kan dan menemani penulis ke GKFM karena penulis men-

dadak meriang setelah ujian PIH semester pertama

lalu;

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


xi

l. Dius karena telah menjadi teman kos penulis dan

pinjam-meminjam barang-barang kebutuhan saat penulis

sedang membutuhkan. “Tetap pertahankan kepala botak-

nya buat dipake mainan”;

m. Ijul dan Mamat Jambu yang pada waktu itu mengantarkan

dan menemani penulis ke GKFM karena mendadak kambuh

bengeknya. “Kesuhun ya, cung!”

n. Anom yang berbaik hati mempersilahkan penulis untuk

numpang mengetik malam-malam karena tugas PPN penulis

hilang saat mengetik di rental. Dah mepet pisan...!!!

o. Natalie, Inang, Nci Rosela, juga Hendi FE yang

mengantarkan penulis ke dokter saat sakit gara-gara

mabok ngerjain Pasar Modal kayaknya;

p. Inet, Qurrota Ayuni, dan Rania yang setia bersama

penulis ngejogrok di perpustakaan di saat-saat ter-

akhir menjelang kelulusan;

q. Abigail dan Triska yang menemani penulis saat ke

AMINEF dan mencari buku Biokimia di Kuitang, serta

bantuan dananya pada saat itu penulis lupa membawa

uang;

r. Arkie yang menyemangati penulis untuk tidak takut-

takut ketika menghadapi sidang;

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


xii

s. Zaka, dukunnya PC 2003. Terima kasih atas bantuannya

mengoprek-oprek laptop penulis saat mengalami

gangguan;

t. RR Syahannisa dan Mandy yang telah hadir mewarnai ke-

hidupan cinta penulis, yang walaupun tidak pernah

tersampaikan karena perbedaan komunitas dan agama.

Walaupun demikian, telah memberikan inspirasi saat

penulis latihan bernyanyi di Yamaha setiap minggunya;

dan

u. Teman-teman forum yang juga memberikan nuansa seru

dan info-info menarik seputar kehidupan, terutama

kehidupan kampus kita. “Sampai ketemu lagi semuanya!”

7. Yudi-kun. Teman penulis saat nge-kos di Yogyakarta,

yang hingga saat ini setia SMS-an dan memberi dukungan

penuh kala penulis sedang down.

8. Dollys Sulaeman dan Egy calon istrinya, yang merupakan

kakak kelas penulis waktu SMA. Selama ini suka

meminjamkan buku-buku kepasa penulis dan memberi

wejangan-wejangan. “Kapan arepan kawine?”

9. Teman-teman SMA Negeri 1 Cirebon yang masih setia

menjaga silaturahmi. Membuat penulis mempunyai kenangan

berharga masa-masa remaja dan tetap bersemangat dalam

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


xiii

mengarungi hidup. “Semoga suatu saat kita bisa

berkumpul lagi di saat-saat yang membahagiakan ya?”

10. Mila, a friend of Dita’s the delinquency girl, yang

membantu penulis dalam memberikan informasi dikala

penulis mengalami kerinduan terhadap pelajaran IPA dan

ketertarikan di bidang Biokima. “Mil, gw dah beli Buku

Priciples of Biochemistry karya Lehninger dari Kuitang.

Do’ain moga-moga suatu saat gw bisa belajar IPA lagi.”

11. Mas Dedi, selaku guru vokal penulis dan juga Nyonya

Tania, yang sabar dalam memberikan bimbingan kepada pe-

nulis hingga penulis memahami seberapa dalamnya makna

bernyanyi dan mengungkapkan perasaan yang walaupun

hingga saat ini kemampuan bernyanyi penulis masih jauh

dari sang pelatih.

12. Teman-teman paduan suara PARAGITA UI yang sempat mem-

berikan warna baru bagi penulis yang baru kali itu

terjun di dunia paduan suara dan memberikan banyak

pengalaman menarik selama penulis menjadi anggota.

13. Terakhir kepada para pihak yang telah dengan hebatnya

membuat film-film yang selama ini memberikan inspirasi

dan dorongan semangat kepada penulis.

a. LEGALLY BLONDE

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


xiv

Film yang menarik minat penulis terhadap dunia hukum

dan menunjukkan bahwa dunia hukum tidak sekelam yang

orang sangka, melainkan sama meriahnya dengan dunia

lainnya. Selain itu, film ini mengajarkan kalau kita

harus punya keyakinan pada diri sendiri dan terus

berjuang sekuat hati kalau punya cita-cita. “Guys,

I’m going to Harvard!”

b. A WALK TO REMEMBER

Film ini merupakan salah satu film kenangan waktu

masih di Yogya. Selalu memberi semangat kepada

penulis kalau suatu hari nanti penulis dapat

berkunjung ke North Carolina untuk menikmati udara

musim semi di dermaga kota Beaufort (I can do

that!).

“I’d always remember it was late afternoon. It

lasted forever, but it ended so soon ...”

c. A BEAUTIFUL MIND

Film yang menggetarkan hati penulis waktu

menontonnya. Ilmu begitu luas untuk kita gali, dan

jika kita jeli melihatnya, maka kita akan menemukan

sesuatu hal berbeda, yang orang lain tidak dapat

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


xv

melihatnya, just like John F. Nash, the genius

mathematician from West Virginia.

“He saw the world in a way no one could have

imagined”.

d. FRIENDS TV SERIES

The best TV series ever!!! Selalu menjadi penghibur

penulis saat sedang resah dan setia menemani tidur

setiap malamnya. Ngga pernah bosan rasanya ngeliat

tingkah-tingkah mereka berenam tiap hatinya. “I want

it so bad to meet you all, guys. Just wish me

luck!!!”

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


xvi

DAFTAR TABEL

Tabel I:

Perbandingan antara Perjanjian Sewa Menyewa dengan

Perjanjian Penitipan Barang 123

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


xvii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ii

HALAMAN PERSEMBAHAN iii

KATA PENGANTAR iv

UCAPAN TERIMA KASIH vi

DAFTAR TABEL xvi

DAFTAR ISI xvii

ABSTRAK xiiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pokok Permasalahan 5

C. Tujuan Penelitian 6

1. Tujuan Umum 6

2. Tujuan Khusus 7

D. Kerangka Konsepsional 8

E. Metode Penelitian 10

F. Kegunaan Teoritis dan Praktis 13

G. Sistematika Penulisan 14

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


xviii

BAB II TINJAUAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA DIKAITKAN

DENGAN ADANYA PENERAPAN KLAUSULA BAKU

A. Syarat Sah Perjanjian dalam Pasal 1320

KUH Perdata 17

1. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri- 21

nya

2. Kecakapan untuk Membuat Suatu Per-

ikatan 21

3. Suatu Hal Tertentu 22

4. Suatu Sebab yang Halal 22

B. Ciri-ciri Perjanjian yang Memuat Klausula

Baku 23

1. Bentuk Perjanjian Tertulis 26

2. Format Perjanjian Dibakukan 26

3. Syarat-syarat Perjanjian Ditentukan

oleh Pengusaha 28

4. Konsumen Hanya Menerima atau Menolak 28

5. Penyelesaian Sengketa Melalui Musya-

warah/Peradilan 29

6. Perjanjian Baku Menguntungkan Peng-

usaha 30

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


xix

7. Jenis-jenis Perjanjian Baku 31

C. Syarat-syarat Perjanjian yang Memuat Kla-

usula Baku 32

1. Kewajiban dan Hak Para Pihak 32

2. Wanprestasi 35

3. Akibat Wanprestasi 38

4. Tanggung Jawab dan Eksonerasi 42

5. Penyelesaian Sengketa 51

D. Cara Memberlakukan Syarat-syarat Baku 52

1. Penandatanganan dokumen perjanjian 53

2. Pemberitahuan melalui dokumen per-

janjian 54

3. Penunjukan dalam dokumen perjanjian 55

4. Pemberitahuan melalui papan peng-

umuman 56

E. Dasar Berlakunya Syarat-syarat Baku 57

1. Dari Aspek Hukum 57

2. Dari Aspek Kemasyarakatan 58

3. Dari Aspek Ekonomi 59

BAB III TINJAUAN UMUM PENERAPAN KLAUSULA BAKU BER-

DASARKAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


xx

A. Latar Belakang Munculnya Hukum Perlin-

dungan Konsumen 61

B. Latar Belakang Proses Munculnya Naskah

tentang Perlindungan Konsumen 69

C. Pengertian Perlindungan Konsumen 70

D. Pengertian Pelaku Usaha 72

E. Pengertian Konsumen 75

F. Kepentingan-kepentingan Konsumen 79

G. Transaksi Konsumen 80

H. Hak dan Kewajiban Konsumen 89

I. Jaminan Penerapan Klausula Baku di dalam

Ketentuan UU Nomor 8 Tahun 1999 94

BAB IV ANALISIS PERJANJIAN SECURE PARKING SEBAGAI

PERJANJIAN SEWA MENYEWA BERDASARKAN PERSPEK-

TIF KUH PERDATA DAN UU NOMOR 8 TAHUN 1999

A. Perbandingan Perjanjian Sewa Menyewa

dengan Perjanjian Penitipan Barang 95

1. Perjanjian Sewa Menyewa 95

1.1. Pengertian Sewa Menyewa 95

1.2. Tujuan Perjanjian Sewa Menyewa 97

1.3. Obyek Perjanjian Sewa Menyewa 99

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


xxi

1.4. Hak dan Kewajiban Pihak Yang

Menyewakan dan Pihak Penyewa 101

1.5. Perihal Resiko dalam Sewa Me-

nyewa 104

1.6. Berakhirnya Sewa Menyewa 105

2. Perjanjian Penitipan Barang 109

2.1. Pengertian dan Sifat Perjanjian

Penitipan 109

2.2. Tujuan Perjanjian Penitipan

Barang 112

2.3. Saat Lahirnya Perjanjian Peni-

tipan 113

2.4. Hak dan Kewajiban Para Pihak 115

2.5. Resiko dalam Perjanjian Peni-

tipan 118

2.6. Berakhirnya Perjanjian Peni-

tipan 119

B. Analisis Klausula Secure Parking 129

1. Ketentuan Perjanjian Secure Parking

Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata 131

2. Mengenai Tersedianya Lahan Parkir

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


xxii

yang Menjadi Obyek Perjanjian 133

3. Mengenai Subyek Hukum yang Melakukan

Perjanjian 134

4. Mengenai Klausula Pengalihan Tanggung

Jawab 135

C. Penyangkalan Terhadap Kemungkinan Diung-

kapkannya Dalih Pengelola Parkir yang

Menyatakan Bahwa Secure Parking dengan

Sistem Sewa Menyewa Berdasarkan Sistem

Terbuka Sesuai Buku III KUH Perdata 138

1. Asas Kebebasan Berkontrak Sebagai

Unsur Penting dalam Perjanjian 138

2. Kebebasan Berkontrak Sebagai Dalih

Untuk Mengadakan Perjanjian Baru

dalam Pengelolaan Area Parkir 141

2.1. Tolok Ukur Menurut Hukum Per-

janjian Indonesia 141

2.2. Ruang Lingkup dan Batas-batas

Kebebasan Berkontrak 144

3. Gugatan Terhadap Pengelola Parkir

Berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum 148

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


xxiii

D. Ketentuan Penerapan Klausula Secure

Parking Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999

Sebagai Upaya Perlindungan bagi Konsumen 152

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 156

B. Saran 158

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam era globalisasi ini pembakuan syarat-syarat

perjanjian merupakan mode yang tidak dapat dihindari. Bagi

para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan

ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-

tele. Akan tetapi, bagi konsumen justru merupakan pilihan

yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu

pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati.

Menghadapi situasi semacam ini tentunya pemerintah tidak

tinggal diam, tetapi bergantung juga pada sistem ekonomi

yang berlaku di setiap negara yang tidak selalu sama.

Bagaimanapun juga, pelaksanaan perjanjian baku di Indonesia

tidak semata-mata diserahkan kepada para pengusaha,

melainkan juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


2

Pancasila yang menjadi dasar negara dan pandangan hidup

bangsa Indonesia.

Perjanjian baku merupakan satu wujud dari kebebasan

individu pengusaha menyatakan kehendak dalam menjalankan

perusahaannya. Setiap individu bebas berjuang untuk men-

capai tujuan ekonominya walaupun mungkin akan merugikan

pihak lain. Golongan ekonomi kuat selalu menang berhadapan

dengan golongan ekonomi lemah yang umumnya adalah konsumen

biasa.1

Prinsip-prinsip moral liberalisme dan kapitalisme

sangat mendasari penataan kehidupan masyarakat Eropa Barat

sebagai keseluruhan dan pola kenegaraan yang berkembang

sampai sekarang, bersamaan dengan revolusi ekonomis, sosial

dan budaya, mulai dari Eropa Barat tiga ratus tahun yang

lalu.2

Setelah terjadi revolusi industri di Eropa Barat pada

abad ke-19, kebutuhan perjanjian baku makin berkembang.

Jumlah transaksi perdagangan makin meningkat, konsentrasi

modal makin besar, sehingga penggunaan kontrak-kontrak baku

1
Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan
Perdagangan, cet. ke- 1, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992), hal.2.
2
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Da-
sar Kenegaraan Modern, cet. ke-2, (PT Gramedia: 1988), hal. 1.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


3

makin mendesak. Pada abad ke-20 pembakuan syarat-syarat

perjanjian makin meluas. Terjadilah penumpukan modal besar

pada kelompok golongan ekonomi kuat yang disebut kapitalis.

Golongan kapitalis ini muncul sebagai pihak penguasa

produsen, pengusaha penyedia jasa yang menawarkan produksi

atau jasa mereka kepada masyarakat konsumen. Dalam membuat

perjanjian, pihak penguasa ini selalu berada pada posisi

kuat berhadapan dengan konsumen yang umumnya berposisi

lemah. Konsumen hanya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu:

1. Jika konsumen membutuhkan produksi atau jasa yang

ditawarkan kepadanya, setujuilah perjanjian dengan

syarat-syarat baku yang disodorkan oleh penguasa. Dalam

bahasa Inggris diungkapkan dengan sebutan “take it”;

atau

2. Jika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat baku

yang ditawarkan itu, janganlah membuat perjanjian

dengan pengusaha yang bersangkutan. Dalam bahasa

Inggris diungkapkan dengan sebutan “leave it”.

Singkatnya, jika konsumen membutuhkan silahkan ambil,

atau jika keberatan tinggalkan saja (take it or leave it).3

3
Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 3.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


4

Pada prakteknya dalam hal pengelolaan jasa

perparkiran, para pemilik kendaraan kerap mengeluhkan

rendahnya kualitas pelayanan jasa parkir. Penyelenggara

jasa itu lepas tangan setiap terjadi kerugian yang

terjadi di lahan parkir. Alasannya, pengguna jasa hanya

sewa lahan parkir. Dengan demikian, bila terjadi kerusakan

atau kehilangan kendaran, bukan tanggung jawab pengelola

jasa parkir. “"Kami tidak bisa memberi jaminan 100 persen

kepada pengguna jasa parkir. Kami juga tidak bisa memberi

penggantian kalau ada kehilangan atau kerusakan. Itu

tanggung jawab pemilik kendaraan sendiri,"” kata seorang

petugas parkir di Plaza Indonesia, Rabu (12/4).4

Hal tersebut dapat ditelusuri melalui perbedaan

karakteristik antara perjanjian sewa menyewa dengan

perjanjian penitipan barang, dimana biasanya para pengelola

parkir mendalihkan bahwa jasa area parkir yang mereka

kelola menggunakan sistem perjanjian sewa menyewa, sehingga

yang bersangkutan lepas dari tanggung jawab untuk mengganti

segala kerusakan atau kehilangan kendaraan yang diparkir di

area perparkiran yang mereka kelola.

4
Denny, “Parkir Asuransi, SMS ke 6288 Hilang Diganti Rp 100
Juta,” <http://students.stttelkom.ac.id/web/viewtopic.php?p=30101>, 24
April 2006.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


5

Pada penelitian ini akan dibahas dan dibandingkan

kedua karakteristik perjanjian tersebut dengan cara meng-

analisis klausula yang terdapat pada secure parking yang

ada, sehingga akan jelas bentuk perjanjian mana yang lebih

tepat untuk diterapkan. Selain itu, akan diberikan pula

bentuk perlindungan bagi konsumen berdasarkan Undang-undang

Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UU Nomor

8 Tahun 1999).

Di samping itu, terbuka kemungkinan pihak pengelola

parkir mendalihkan bahwa bentuk perjanjian yang mereka

pergunakan merupakan bentuk perjanjian baru sebagaimana

diatur dalam Buku III KUH Perdata yang menganut sistem

terbuka dalam perjanjian, seperti halnya perjanjian sewa

beli. Mengenai hal tersebut akan diberikan suatu penjelasan

singkat dengan memperbandingkan bentuk perjanjian pada area

parkir dengan bentuk perjanjian sewa beli berdasarkan

alasan diciptakannya perjanjian yang bersangkutan dan

sistem kerjanya.

B. Pokok Permasalahan

1. Bagaimana analisis terhadap perbedaan karak-

teristik antara perjanjian sewa menyewa dengan

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


6

perjanjian penitipan barang diterapkan pada klau-

sula secure parking?

2. Tepatkah penerapan bentuk perjanjian sewa menyewa

terhadap klausula secure parking berdasarkan

karakteristik kedua perjanjian tersebut melalui

analisis terhadap klausulanya?

3. Bagaimanakah mengatasi kemungkinan jika pengelola

parkir berdalih bahwa bentuk perjanjian yang

mereka terapkan merupakan bentuk perjanjian baru

berdasarkan asas kebebasan berkontrak?

4. Bagaimana akibat hukum penerapan klausula baku

yang demikian berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999

sebagai wujud perlindungan bagi konsumen pemilik

kendaraan?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penerapan klausula baku ke dalam berbagai bentuk

transaksi merupakan suatu fenomena baru di dalam hukum

perjanjian Indonesia. Akan tetapi, berdasarkan praktek-

praktek yang ada dapat diambil kesimpulan bahwa hal-hal

yang menimbulkan permasalahan pada hakikatnya berkisar pada

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


7

penerapan asas-asas hukum perjanjian dan akibat yang timbul

dalam praktek sehubungan dengan diterimanya pola ekonomi

modern, serta semakin kompleksnya keanekaragaman kebutuhan

sehari-hari.

2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan penelitian ini secara lebih khusus

adalah untuk:

1. Mengetahui perbedaan karakteristik antara perjanjian

sewa menyewa dengan perjanjian penitipan barang yang

kemudian diterapkan pada perjanjian secure parking.

2. Mengetahui manakah di antara kedua bentuk perjanjian

tersebut yang paling tepat untuk diterapkan pada

perjanjian secure parking berdasarkan analisis dari isi

klausulanya.

3. Mengetahui bagaimanakah cara mematahkan dalil pengelola

parkir yang menyatakan bahwa bentuk perjanjian yang

mereka terapkan merupakan bentuk perjanjian di luar KUH

Perdata sesuai dengan asas kebebasan berkontrak.

4. Mengetahui apakah perlindungan yang didapatkan oleh

konsumen dengan diterapkannya klausula demikian pada

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


8

perjanjian secure parking berdasarkan UU Nomor 8 Tahun

1999.

D. Kerangka Konsepsional

1. Perjanjian

suatu peristiwa dimana seseorang berjanji


kepada seseorang lain atau dimana dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu
hal, dimana dari peristiwa tersebut timbullah
suatu hubungan antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan.5

2. Kewajiban

sesuatu yang harus dilaksanakan oleh pihak


yang satu kepada pihak yang lain dengan
pembebanan sanksi jika lalai atau dilalaikan;
jika kewajiban itu ditentukan oleh undang-
undang, disebut kewajiban undang-undang; jika
kewajiban itu ditentukan oleh perjanjian,
6
disebut kewajiban perjanjian.

3. Hak

sesuatu yang diperoleh dari pihak lain dengan


kesewenangan menuntut jika tidak dipenuhi oleh
pihak lainnya itu.7

5
Subekti (a), Hukum Perjanjian, cet. ke-19, (Jakarta: Intermasa,
2002), hal. 1.
6
Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal.10.
7
Ibid., hal. 11.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


9

4. Wanprestasi

suatu keadaan dimana si berutang (debitur)


tidak melakukan apa yang dijanjikannya, atau
ia alpa atau lalai atau ingkar janji; atau
juga ia melanggar perjanjian, bila ia mela-
kukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh
dilakukannya8, sehingga pelaksanaan perjanjian
menjadi tidak lancar, atau terhalang, atau
bahkan tidak terlaksana sama sekali.9

5. Perjanjian Baku

perjanjian yang isinya dibakukan dan dituang-


kan dalam bentuk formulir.10

6. Klausula Eksonerasi

klausula yang isinya meniadakan tanggung jawab


kreditur yang seharusnya sudah menjadi kewa-
jibannya yang dapat membahayakan pihak
11
debitur , dimana dalam hal ini pihak debitur-
lah yang menanggung segala resiko yang mungkin
akan terjadi.

7. Perjanjian Sewa Menyewa

suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu


mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada

8
Subekti (a), op.cit., hal. 45.
9
Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 12.
10
Mariam Darus Badrulzaman (a), Perjanjian Baku: Perkembangannya
di Indonesia, (Bandung: 1980), hal. 4.
11
Sri Gambir Melati Hatta, Beli-Sewa Sebagai Perjanjian Tak
Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, cet.
ke-3, (Bandung: Alumni, 2000), hal. 149.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


10

pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu


barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan
pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang
tersebut terakhir itu disanggupi pembayaran-
nya12.

8. Perjanjian Penitipan Barang

terjadi apabila seseorang menerima barang dari


orang lain dengan kewajiban untuk menyimpan
barang itu dan kemudian hari mengembalikan
barang itu dalam wujud aslinya (in natura).13

E. Metode Penelitian

Jenis penelitian hukum yang dilakukan termasuk

penelitian hukum normatif.14 Metode yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan, yaitu

dengan cara mengumpulkan buku-buku, peraturan perundang-

undangan, artikel-artikel, dan sebagainya yang berkaitan

dengan pokok permasalahan yang akan diteliti. Adapun bentuk

konkret yang akan diteliti adalah dua buah klausula karcis

parkir dari dua perusahaan yang berbeda untuk diperban-

12
Kitab Undang-undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek],
diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. ke-34,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), pasal 1548.
13
Ibid., pasal 1694.
14
Sri Mamudji et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum,
(Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 10.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


11

dingkan, yaitu klausula karcis parkir Mall Depok dan

klausula karcis parkir RSCM. Alasan dipilihnya kedua karcis

tersebut adalah karena di antara keduanya terdapat per-

bedaan penerapan bentuk perjanjian. Salah satunya memuat

tegas penerapan perjanjian sewa menyewa, yaitu karcis

parkir Mall Depok, sementara yang lainnya tidak

mencantumkan perjanjian sewa menyewa. Adapun karcis parkir

Ratu Plaza yang baru mempunyai klausula yang sama dengan

Mall Depok, sehingga akan disatukan saja. Namun, akan

dicantumkan pula klausula karcis parkir Ratu Plaza yang

lama untuk menunjukkan adanya perubahan dalam hal penye-

butan penerapan perjanjian sewa menyewa.

Sifat penelitian ini adalah penelitian eksplanatoris15,

karena merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mem-

pertegas ketidaktepatan penerapan bentuk perjanjian sewa

menyewa terhadap perjanjian secure parking dan menentukan

kepastian hukum. Dalam hal ini, klausula yang dimaksud akan

diperbandingkan berdasarkan ketentuan perjanjian sewa

menyewa atau perjanjian penitipan barang.

15
Ibid., hal. 4.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


12

Bentuk penelitian ini adalah penelitian evaluatif16,

karena penelitian ini mencoba mengkritisi suatu bentuk

perjanjian yang sudah ada, yaitu perjanjian secure parking,

dimana bentuk perjanjian yang diterapkan tidak sesuai dan

bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-

hatian.

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

data sekunder, sebab data tersebut diperoleh melalui buku,

internet, majalah, koran, dan peraturan perundang-undangan.

Alat pengumpul data pada penelitian ini adalah studi

dokumen. Pada studi dokumen, datanya adalah data sekunder

yang menurut kekuatan mengikatnya dibagi menjadi tiga,

yaitu:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat di

Indonesia, seperti Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan

Perundang-undangan, Yurisprudensi, dan kesepakatan yang

masih berlaku. Bahan hukum primer yang dipergunakan

dalam penelitian ini adalah KUH Perdata dan UU Nomor 8

Tahun 1999.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang men-

jelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam

16
Ibid.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


13

penelitian ini adalah buku, artikel dari internet,

majalah, dan koran yang berhubungan dengan penerapan

klausula baku ke dalam berbagai bentuk transaksi.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang menjelaskan

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan

hukum tersier pada penelitian ini adalah kamus hukum

dan kamus umum bahasa Indonesia.

Setelah data terkumpul, penulis melakukan analisis

data melalui metode analisis data kualitatif.

F. Kegunaan Teoritis dan Praktis

Setelah dapat digambarkan secara jelas dan mendalam

tentang karakteristik atau ciri-cirinya, serta diperoleh

data-data mengenai pendapat para ahli hukum perdata

terhadap permasalahan yang ditimbulkan oleh penerapan

klausula baku ke dalam berbagai bentuk transaksi, maka

tulisan ini diharapkan mempunyai daya guna teoritis maupun

praktis.

Kegunaan teoritis yang dimaksud adalah untuk

perkembangan hukum perjanjian yang sangat erat hubungannya

dengan kehidupan ekonomi masyarakat sehari-hari. Dalam

tulisan ini kiranya sangat berguna, karena dapat memberikan

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


14

suatu tambahan wawasan baru, atau sekedar data yang perlu

dipertimbangkan dalam penyesuaian asas-asas hukum perjan-

jian yang dianut dewasa ini, yang telah dianggap bersifat

universal dengan perkembangan hukum yang sesuai dengan

kesadaran hukum masyarakat berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Kegunaan praktis yang dimaksudkan adalah untuk

kegunaan pembentukan hukum nasional. Tulisan ini diharapkan

berguna sebagai bahan pertimbangan dalam menerapkan kebi-

jaksanaan hukum dalam hal pembentukan hukum melalui

peraturan perundang-undangan, ataupun pembentukan hukum

melalui yurisprudensi.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Pada BAB I ini dijelaskan mengenai latar belakang

alasan dibuatnya penelitian ini dan diberikannya

batasan terhadap permasalahan yang akan dibahas.

BAB II : TINJAUAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA DIKAITKAN DENGAN

ADANYA PENERAPAN KLAUSULA BAKU

Pada BAB II ini dijelaskan mengenai ketentuan-

ketentuan mengenai perjanjian pada umumnya di-

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


15

kaitkan dengan perjanjian yang menerapkan klau-

sula baku pada umumnya. Di samping itu dijelaskan

pula karakteristik pada suatu perjanjian baku.

BAB III: TINJAUAN UMUM PENERAPAN KLAUSULA BAKU BERDASARKAN

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pada BAB III ini dijelaskan mengenai ketentuan

hukum yang mengatur mengenai perlindungan bagi

konsumen dalam hal adanya penerapan klausula

baku. Kemudian hal tersebut dikaitkan dengan

ketentuan penerapan klausula pada secure parking

yang diterapkan menurut ketentuan perjanjian sewa

menyewa.

BAB IV : ANALISIS PERJANJIAN SECURE PARKING SEBAGAI PER-

JANJIAN SEWA MENYEWA BERDASARKAN PERSPEKTIF KUH

PERDATA DAN UU NOMOR 8 TAHUN 1999

Pada BAB IV ini dijelaskan mengenai perbandingan

antara unsur-unsur perjanjian sewa menyewa dengan

unsur-unsur pada perjanjian penitipan barang.

Berdasarkan hal tersebut akan diketahui bentuk

perjanjian manakah perjanjian yang lebih tepat

untuk diterapkan ke dalam klausula secure

parking.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


16

BAB V : PENUTUP

Pada BAB V ini berisikan mengenai kesimpulan dari

hasil pembahasan yang menjadi pokok permasalahan

pada penilitian ini. Selain itu akan diberikan

mengenai saran-saran yang sekiranya dapat ber-

manfaat untuk diterapkan.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


17

BAB II

TINJAUAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA DIKAITKAN DENGAN ADANYA

PENERAPAN KLAUSULA BAKU

A. Syarat Sah Perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang

berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu

saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.17

Melalui perjanjian terciptalah perikatan atau hubungan

hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing

pihak yang membuat perjanjian. Dengan kata lain, para pihak

terikat untuk mematuhi perjanjian yang telah mereka buat

tersebut. Dalam hal ini fungsi perjanjian sama dengan

perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap

para pembuatnya saja. Secara hukum, perjanjian dapat di-

paksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan

17
Subekti (a), op.cit., hal. 1.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


18

sanksi terhadap pelaku pelanggaran perjanjian atau ingkar

janji (wanprestasi).18

Pengaturan tentang perjanjian terdapat terutama di

dalam KUH Perdata, tepatnya dalam Buku III, disamping

mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian,

juga mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang

misalnya tentang perbuatan melawan hukum.

Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku

untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya

untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus) yang

namanya sudah diberikan undang-undang.

Contoh perjanjian khusus, antara lain jual beli, sewa-

menyewa, tukar-menukar, pinjam-meminjam, pemborongan, pem-

berian kuasa, dan perburuhan.

Selain KUH Perdata, masih ada sumber hukum perjanjian

lainnya di dalam berbagai produk hukum, misalnya Undang-

undang Perbankan dan Keputusan Presiden tentang Lembaga

Pembiayaan. Di samping itu, juga dalam yurisprudensi

misalnya tentang sewa beli, dan sumber hukum lainnya.

18
Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 2.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


19

Suatu asas hukum penting berkaitan dengan berlakunya

perjanjian adalah asas kebebasan berkontrak. Artinya,

pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja, baik

yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada

pengaturannya dan bebas menentukan sendiri isi perjanjian.19

Namun, kebebasan tersebut tidak mutlak karena terdapat

pembatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.20

Aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH

Perdata, yang menyiratkan adanya 3 (tiga) asas yang

seyogyanya dalam perjanjian:21

1. Mengenai terjadinya perjanjian

Asas yang disebut konsensualisme, artinya menurut KUH

Perdata perjanjian hanya terjadi apabila telah adanya

persetujuan kehendak antara para pihak (consensus,

consensualisme).

2. Tentang akibat perjanjian

19
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1338 ayat (1).
20
Ibid., pasal 1337.
21
V. Febrina Kusumaningrum, “Kontrak,”
<http://www.asiamaya.com/konsultasi_hukum/ist_hukum/kontrak.htm>, 11
September 2006 12:42:31 GMT.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


20

Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat

antara pihak-pihak itu sendiri. Asas ini ditegaskan

dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menegaskan

bahwa perjanjian dibuat secara sah di antara para

pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak

yang melakukan perjanjian tersebut.

3. Tentang isi perjanjian

Sepenuhnya diserahkan kepada para pihak (contracts-

vrijheid atau partijautonomie) yang bersangkutan.

Dengan kata lain, selama perjanjian itu tidak ber-

tentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, kepen-

tingan umum, dan ketertiban, maka perjanjian itu diper-

bolehkan.

Jadi, semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian,

asalkan pembuatannya memenuhi syarat, berlaku bagi para

pembuatnya, sama seperti perundang-undangan. Pihak-pihak

bebas untuk membuat perjanjian apa saja dan menuangkan apa

saja di dalam isi sebuah kontrak.

Dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian

yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah. Supaya sah

pembuatan perjanjian harus berpedoman pada Pasal 1320 KUH

Perdata.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


21

Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya

perjanjian, yaitu:

1. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya

Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya

rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela

di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut.22

Kesepakatan tidak ada apabila perjanjian dibuat atas dasar

paksaan, penipuan atau kekhilafan.

2. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan

Kecakapan di sini artinya para pihak yang membuat

perjanjian haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan

sebagai subyek hukum.23 Pada dasarnya semua orang menurut

hukum cakap untuk membuat perjanjian. Yang tidak cakap

adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak,

orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan

(curatele), dan orang sakit jiwa.

Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang menurut

Pasal 330 KUH Perdata belum berumur 21 (dua puluh satu)

22
Ibid.
23
Ibid.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


22

tahun. Meskipun belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun,

apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah

dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian24.

3. Suatu Hal Tertentu

Hal tertentu maksudnya obyek yang diatur perjanjian

tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan.

Jadi, tidak boleh samar-samar.25 Hal ini penting untuk

memberikan jaminan atau kepastian kepada para pihak dan

mencegah timbulnya kontrak fiktif, misalnya jual beli

sebuah mobil, harus jelas merek apa, buatan tahun berapa,

warna apa, nomor mesinnya berapa, dan sebagainya. Semakin

jelas semakin baik. Tidak boleh misalnya jual beli sebuah

mobil saja, tanpa penjelasan lebih lanjut.

4. Suatu Sebab yang Halal

Maksudnya isi perjanjian tidak boleh bertentangan

dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertib-

an umum, dan atau kesusilaan, misalnya jual beli bayi

24
Indonesia (a), Undang-undang Tentang Perkawinan, UU No. 14,
LN No. 14 Tahun 1974, TLN No. 3019, pasal 7 ayat (1).
25
V. Febrina Kusumaningrum, loc. cit.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


23

adalah tidak sah karena bertentangan dengan norma-norma

tersebut.26

KUH Perdata memberikan kebebasan berkontrak kepada

pihak-pihak untuk membuat perjanjian secara tertulis maupun

secara lisan. Baik tertulis maupun lisan mengikat, asalkan

memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUH

Perdata. Jadi, perjanjian tidak harus dibuat secara

tertulis.

B. Ciri-ciri Perjanjian yang Memuat Klausula Baku

Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka

ciri-ciri perjanjian baku mengikuti dan menyesuaikan dengan

perkembangan tuntutan masyarakat. Ciri-ciri tersebut men-

cerminkan prinsip ekonomi dan kepastian hukum yang berlaku

di negara-negara yang bersangkutan. Prinsip ekonomi dan

kepastian hukum dalam perjanjian baku dilihat dari kepen-

tingan pelaku usaha, yaitu:27

setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik


yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan

26
Ibid.
27
Indonesia (b), Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU
No. 8, LN No. 42 Tahun 1999, TLN No. 3821, pasal 1 angka 3.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


24

hukum yang didirikan dan berkedudukan atau


melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian penyelengaraan kegiatan
usaha dalam berbagai bidang ekonomi,

bukan dari kepentingan konsumen, yaitu:28

setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang


tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Dengan pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan

ekonomi pengusaha lebih terjamin karena konsumen hanya

menyetujui syarat-syarat yang disodorkan oleh pengusaha.

Hampir sebagian besar transaksi bisnis saat ini

dilakukan dengan menggunakan klausula baku, baik itu ter-

jadi pada negara maju ataupun terjadi di negara berkembang

seperti halnya di Indonesia. Bahkan karena begitu banyak

digunakannya klausula baku tersebut mendorong seorang

penulis berkebangsaan Amerika bernama Slawson melaporkan

bahwa:29

28
Ibid., pasal 1 angka 2.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


25

“Standard form contracts probably account for


more than ninety percent of all the contracts now
made. Most person have difficult remembering the
last time they contracted other than by standard
form”.

Namun, secara resmi definisi dari klausula baku yang

dapat kita jadikan acuan adalah definisi yang diberikan

oleh UU Nomor 8 Tahun 1999, yaitu:30

“setiap peraturan atau ketentuan dan syarat-


syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen”.

Untuk lebih jelasnya, maka akan diuraikan dengan

singkat mengenai karakteristik yang seyogyanya terdapat

pada klausula baku sebagai berikut:

29
Mariam Darus Badrulzaman (b), ”Perlindungan terhadap Konsumen
Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku (Standard),” (Makalah disampaikan
pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen,
diselenggarakan oleh Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman,
Jakarta, 16-18 Oktober 1980), hal. 4.
30
Indonesia (b), op. cit., pasal 1 butir 10.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


26

1. Bentuk Perjanjian Tertulis

Yang dimaksud dengan perjanjian di sini adalah naskah

perjanjian keseluruhan dan dokumen bukti perjanjian yang

memuat syarat-syarat baku. Kata-kata atau kalimat per-

nyataan kehendak yang termuat dalam syarat-syarat baku

dibuat secara tertulis berupa akta otentik atau akta di

bawah tangan. Karena dibuat secara tertulis, maka

perjanjian yang memuat syarat-syarat baku itu menggunakan

kata-kata atau susunan kalimat yang teratur dan rapi. Jika

huruf yang dipakai kecil-kecil, kelihatan isinya sangat

padat dan sulit dibaca dalam waktu singkat. Ini merupakan

kerugian bagi konsumen. Contoh perjanjian baku adalah

perjanjian jual beli, polis asuransi, charter party, dan

kredit dengan jaminan, sedangkan contoh dokumen bukti

perjanjian adalah konosemen, nota pesanan, nota pembelian,

dan tiket pengangkutan.31

2. Format Perjanjian Dibakukan

Format perjanjian meliputi model, rumusan, dan ukuran.

Format ini dibakukan, artinya sudah ditentukan model,

31
Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 6.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


27

rumusan, dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti,

diubah, atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak.

Model perjanjian dapat berupa blanko naskah perjanjian

lengkap atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah

syarat-syarat perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian

yang memuat syarat-syarat baku. Rumusan syarat-syarat

perjanjian dapat dibuat secara rinci dengan menggunakan

nomor atau pasal-pasal atau secara singkat berupa klausula-

klausula tertentu yang mengandung arti tertentu yang hanya

dipahami oleh pengusaha, sedangkan konsumen sulit atau

tidak memahaminya dalam waktu singkat. Ini merupakan

kerugian bagi konsumen. Ukuran kertas perjanjian ditentukan

menurut model, rumusan isi perjanjian, bentuk huruf dan

angka yang dipergunakan. Contoh format perjanjian baku

adalah polis asuransi, akta Pejabat Pembuat Akta Tanah,

perjanjian sewa beli, penggunaan kartu kredit, konosemen,

dan obligasi.32

32
Ibid., hal. 7.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


28

3. Syarat-syarat Perjanjian Ditentukan oleh Pengusaha

Syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan

kehendak ditentukan sendiri secara sepihak oleh pengusaha

atau organisasi pengusaha. Karena syarat-syarat perjanjian

itu dimonopoli oleh pengusaha daripada konsumen, maka

sifatnya cenderung lebih menguntungkan pengusaha daripada

konsumen. Hal ini tergambar dalam klausula eksonerasi

berupa pembebasan tanggung jawab pengusaha, dimana tanggung

jawab itu menjadi beban konsumen. Pembuktian oleh pihak

pengusaha yang membebaskan diri dari tanggung jawab sulit

diketahui oleh konsumen karena ketidaktahuannya. Penentuan

secara sepihak oleh pengusaha dapat diketahui melalui

format perjanjian yang sudah pakai, jika konsumen setuju,

tanda tanganilah perjanjian tersebut.33

4. Konsumen Hanya Menerima atau Menolak

Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat per-

janjian yang disodorkan kepadanya, maka ditandatanganilah

perjanjian itu. Penandatangan tersebut menunjukkan bahwa

konsumen bersedia memikul tanggung jawab walaupun mungkin

33
Ibid., hal. 8.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


29

ia tidak bersalah. Jika konsumen tidak setuju dengan

syarat-syarat perjanjian yang disodorkan itu, ia tidak

boleh menawar syarat-syarat yang sudah dibakukan itu.

Menawar syarat-syarat baku berarti menolak perjanjian.

Pilihan menerima atau menolak ini dalam bahasa Inggris

diungkapkan dengan “take it or leave it”.34

5. Penyelesaian Sengketa Melalui Musyawarah/Peradilan

Dalam syarat-syarat perjanjian terdapat klausula

standar (baku) mengenai penyelesaian sengketa. Jika terjadi

sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, maka penyelesaiannya

dilakukan melalui arbitrase. Tetapi jika ada pihak yang

mengendaki, tidak tertutup kemungkinan penyelesaian

sengketa melalui Pengadilan Negeri. Sesuai dengan nilai-

nilai Pancasila, maka pengusaha di Indonesia sebelum menye-

lesaikan sengketa di pengadilan, menyelesaikan sengketa

melalui musyawarah.35

34
Ibid.
35
Ibid.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


30

6. Perjanjian Baku Menguntungkan Pengusaha

Kenyataan ini menunjukkan bahwa kecenderungan perkem-

bangan perjanjian adalah dari lisan ke bentuk tulisan, dari

perjanjian tertulis biasa ke perjanjian tertulis yang

dibakukan, syarat-syarat baku dimuat lengkap dalam naskah

perjanjian, atau ditulis sebagai lampiran yang tidak

terpisah dari formulir perjanjian, atau ditulis dalam

dokumen bukti perjanjian. Dengan demikian, dapat diketahui

bahwa perjanjian baku yang dirancang secara sepihak oleh

pengusaha akan menguntungkan pengusaha berupa:36

a. efisiensi biaya, waktu, dan tenaga;

b. praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak

berupa formulir atau blanko yang siap diisi dan

ditandatangani;

c. penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan

atau menandatangani perjanjian yang disodorkan kepada-

nya;

d. homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang

banyak.

36
Ibid., hal. 8-9.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


31

7. Jenis-jenis Perjanjian Baku

Mariam Darus dalam tulisannya membedakan perjanjian

baku ke dalam empat jenis, yaitu:37

a. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya

ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam

perjanjian itu (pihak yang kuat ialah pihak kreditur).

Perjanjian ini disebut perjanjian adhesi.

b. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku

yang isinya ditentukan oleh kedua pihak, yang pihak-

pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan

pihak lainnya buruh (debitur).

c. Perjanjian baku ditetapkan pemerintah adalah perjanjian

baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap

perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya

perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek hak-hak atas

tanah (formulir seperti diatur dalam Surat Keputusan

Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No.

104/Dja/1977, akta jual beli, model 1156727, akta

hipotik model 1045055, dan sebagainya).

37
Mariam Darus Badrulzaman (c), ”Perjanjian Baku (Standard)
Perkembangannya di Indonesia,” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
dalam Mata Pelajaran Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Sumatera Utara,
(Medan, 1980), hal. 8.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


32

d. Perjanjian baku yang dipergunakan di lingkungan notaris

atau advokat.

C. Syarat-syarat Perjanjian yang Memuat Klausula Baku

Dalam uraian ini yang dimaksud dengan syarat-syarat

perjanjian adalah ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi

oleh pihak-pihak dalam pelaksanaan perjanjian guna menca-

pai tujuan perjanjian. Syarat-syarat perjanjian meliputi

ketentuan-ketentuan mengenai:38

1. kewajiban dan hak para pihak;

2. wanprestasi;

3. akibat wanprestasi;

4. tanggung jawab dan eksonerasi;

5. penyelesaian sengketa.

1. Kewajiban dan Hak Para Pihak

Yang disebut kewajiban adalah sesuatu yang harus

dilaksanakan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain

dengan pembebanan sanksi jika lalai atau dilalaikan. Jika

kewajiban itu ditentukan oleh undang-undang, disebut

38
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 11.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


33

kewajiban undang-undang. Jika kewajiban itu ditentukan oleh

perjanjian, disebut kewajiban perjanjian. Berdasarkan asas

pelengkap dalam hukum perjanjian, jika para pihak menen-

tukan lain dalam perjanjian yang mereka buat, maka kewajib-

an undang-undang dikesampingkan. Sebaliknya, jika para

pihak tidak menentukan apa-apa, maka berlakulah kewajiban

undang-undang.

Kewajiban terdiri atas dua macam, yaitu kewajiban

material dan kewajiban formal.39 Kewajiban material adalah

kewajiban yang berkenaan dengan benda/obyek perjanjian

sesuai dengan identitasnya (jenis, jumlah, ukuran, nilai/

harga, kebergunannya). Bentuk kewajiban material antara

lain adalah:

a. dalam perjanjian jual beli, menyerahkan barang dan

membayar harga barang;

b. dalam perjanjian tenaga kerja, melakukan pekerjaan dan

membayar upah;

c. dalam perjanjian sewa menyewa, menyerahkan barang dan

membayar sewa;

39
Ibid.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


34

d. dalam perjanjian tukar-menukar, menyerahkan barang dan

imbalan menyerahkan barang juga;

e. dalam perjanjian penitipan, menyerahkan barang dan

memelihara barang titipan;

f. dalam perjanjian utang-piutang, menyerahkan uang dan

membayar uang.

Kewajiban formal adalah kewajiban yang berkenaan

dengan tata cara atau pelaksanaan pemenuhan kewajiban

material, yaitu oleh siapa, bagaimana caranya, dimana,

kapan, dan dengan apa penyerahan, pembayaran, pekerjaan,

dan pemeliharaan dilakukan.

Hasil pelaksanaan kewajiban itu merupakan hak pihak

lain dalam perjanjian. Hak adalah sesuatu yang diperoleh

dari pihak lain dengan kewenangan menuntut jika tidak

dipenuhi oleh pihak lainnya itu. Setiap kewajiban selalu

disertai dengan hak yang nilainya seimbang. Kewenangan

menuntut tidak bersifat memaksa, boleh digunakan dan boleh

tidak digunakan. Sebaliknya, pelaksanaan kewajiban ber-

sifat memaksa, jika lalai atau dilalaikan dikenai sanksi.

Jika pihak yang mempunyai kewajiban tidak melaksanakan

sendiri kewajibannya, maka ada pihak lain yang dapat

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


35

memaksakan pelaksanaan atau pembebanan sanksi, yaitu

pengadilan.40

2. Wanprestasi

Menurut Profesor Wirjono Prodjodikoro prestasi adalah

pelaksanaan janji, sedang wanprestasi adalah ketiadaan

pelaksanaan janji.41 Apabila si berutang (debitur) tidak

melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melaku-

kan wanprestasi. Ia alpa atau lalai atau ingkar janji. Atau

ia juga melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau

berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan

wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti

prestasi buruk.42 Faktor penyebab wanprestasi ada dua

kemungkinannya, yaitu faktor dari luar dan faktor dari

dalam diri para pihak. Faktor dari luar adalah peristiwa

yang tidak diharapkan terjadi dan tidak dapat diduga akan

terjadi ketika perjanjian dibuat. Faktor ini disebut

keadaan memaksa, yang menghalangi pihak dalam perjanjian

40
Ibid., hal. 12.
41
Wirjono Prodjodikoro (a), Azas-azas Hukum Perjanjian, cet. ke-
10, (Jakarta: Bale Bandung), hal. 44.
42
Subekti (a), op. cit., hal. 45.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


36

memenuhi kepada pihak lainnya. Pihak yang tidak memenuhi

kewajiban itu tidak dapat dipersalahkan dan tidak dapat

dikenai sanksi. Dalam hal ini tidak ada yang bertanggung

jawab.

Akan tetapi, dalam perjanjian baku pengusaha dapat

merumuskan syarat-syarat yang membebankan tanggung jawab

kepada pihak konsumen. Syarat tersebut dirumuskan sedemi-

kian rapi, sehingga dalam waktu relatif singkat konsumen

tidak sempat memahaminya. Karena diperlukan, konsumen me-

nerima saja perjanjian yang disodorkan kepadanya. Padahal

dalam Pasal 1245 KUH Perdata ditentukan, jika karena ke-

adaan memaksa, debitur berhalangan memenuhi kewajibannya,

ia tidak diharuskan memikul beban kerugian. Dengan peneri-

maan perjanjian yang disodorkan oleh pengusaha, konsumen

mengenyampingkan pasal ini, sehingga akhirnya ia memikul

beban kerugian walaupun kerugian tersebut sebagai akibat

dari keadaan memaksa. Sesuai dengan asas pelengkap dalam

hukum perjanjian, jika para pihak menentukan lain dalam

perjanjian yang mereka buat, maka ketentuan undang-undang

dikesampingkan.43

43
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 13.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


37

Di samping itu, menurut ketentuan Pasal 1244 KUH

Perdata, debitur tetap bertanggung jawab atas kerugian yang

timbul karena wanprestasi yang disebabkan oleh keadaan

memaksa, jika ia tidak mampu membuktikan adanya keadaan

memaksa itu, atau jika ia mampu membuktikannya tetapi

mempunyai itikad buruk (te kwader trouw). Jadi, supaya

konsumen dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar

kerugian, ia harus mampu membuktikan bahwa wanprestasinya

itu semata-mata karena keadaan memaksa dan ia mempunyai

itikad baik. Beban pembuktian ada pada konsumen, dan ini

merupakan beban berat bagi konsumen. Keadaan ini tetap

menguntungkan pengusaha walaupun dirumuskan atau tidak

dirumuskan dalam syarat-syarat perjanjian.44

Selain dari keadaan memaksa, wanprestasi dapat juga

terjadi karena faktor dari dalam diri para pihak, yaitu

kesalahan sendiri. Supaya dapat dikatakan wanprestasi,

pihak tertentu harus berada dalam keadaan:45

a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak

sebagaimana dijanjikan;

44
Ibid.
45
Subekti (a), op.cit., hal. 45.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


38

c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukannya.

Untuk menyatakan sejak kapan pihak dalam perjanjian

berada dalam keadaan wanprestasi, biasanya ditetapkan

jangka waktu tertentu dalam syarat-syarat perjanjian, atau

jika tidak ditentukan, sejak waktu yang ditetapkan dalam

pemberitahuan. Pemberitahuan itu biasanya dilakukan ter-

tulis tidak resmi (ingbreke stelling), atau secara resmi

melalui Pengadilan Negeri (sommatie).46

Keadaan wanprestasi dirumuskan sedemikian rupa dalam

syarat-syarat perjanjian, sehingga dalam waktu relatif

singkat tidak terbaca oleh konsumen, bahkan kesalahan

pengusaha pun dibebankan kepada konsumen.

3. Akibat Wanprestasi

Tidak dilaksanakannya kewajiban perjanjian dapat

menimbulkan bebagai kemungkinan akibat, baik yang berkenaan

dengan perjanjiannya sendiri maupun yang berkenaan dengan

46
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 14.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


39

kewajiban para pihak. Berbagai kemungkinan yang timbul itu

adalah sebagai berikut:47

a. pemutusan/pembatalan perjanjian;

b. pelaksanaan kewajiban sebagaimana mestinya;

c. pembayaran ganti kerugian;

d. pemutusan perjanjian ditambah pembayaran ganti

kerugian;

e. pelaksanaan kewajiban ditambah pembayaran ganti

kerugian.

Jika salah satu atau kedua pihak tidak melaksanakan

kewajibannya, perjanjian dapat dibatalkan. Pembatalan

dilakukan oleh para pihak dalam hal ada kesepakatan dalam

perjanjian. Tetapi jika tidak diperjanjikan dan salah satu

pihak tidak setuju, pembatalan itu dilakukan melalui

putusan pengadilan.48 Jika terjadi pembatalan, maka per-

janjian berakhir. Kewajiban yang sudah dilaksanakan di-

pulihkan kembali dan yang belum dilaksanakan dihentikan

pelaksanaannya, atau tidak perlu dilaksanakan sama sekali.

Ketentuan pembatalan dirumuskan sedemikian rapi dalam

47
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1243, 1266, dan 1267.
48
Ibid., pasal 1266.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


40

syarat-syarat perjanjian, sehingga pengusaha tidak

dirugikan.

Karena suatu halangan, debitur tidak dapat memenuhi

kewajiban perjanjian. Penundaan ini bersifat sementara dan

dapat dipenuhi sebagaimana mestinya jika halangan itu sudah

lenyap. Dengan pemenuhan kewajiban tadi, maka perjanjian

berakhir. Halangan ini tidak memutuskan perjanjian, melain-

kan hanya menunda pelaksanaan kewajiban. Jadi, kewajiban

masih dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, dan per-

janjian berakhir karena pelaksanaan tersebut. Perjanjian

berakhir karena pembayaran dan dalam pengertian pembayaran

termasuk juga penyerahan barang49.

Tidak dilaksanakan kewajiban oleh debitur menimbulkan

kerugian langsung atau tidak langsung bagi kreditur,

misalnya kerugian berupa biaya, kerugian berupa kerusakan

benda dan kerugian berupa tidak memperoleh keuntungan yang

diharapkan. Untuk menghindari kerugian tersebut, pengusaha

merumuskan syarat-syarat sedemikian rapi, sehingga kon-

sumen bertanggung jawab walaupun kerugian timbul akibat

tidak dipenuhinya kewajiban perjanjian. Bahkan karena

49
Ibid., pasal 1381 jo pasal 1389.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


41

rapinya rumusan syarat-syarat itu, pengusaha bebas dari

tanggung jawab walaupun kerugian timbul karena kelalai-

annya.50

Mungkin juga terjadi bahwa wanprestasi itu meng-

akibatkan tidak hanya pemutusan perjanjian, melainkan juga

ditambah dengan pembayaran ganti kerugian jika karena

wanprestasi itu timbul kerugian secara nyata. Dalam dunia

perdagangan dapat terjadi wanprestasi karena ketidak-

mampuan pembeli, atau keengganan pembeli membayar uang

angsuran jual beli.51

Di samping itu, mungkin juga terjadi bukan pemutusan

perjanjian, melainkan pelaksanaan kewajiban sebagaimana

mestinya, ditambah dengan pembayaran ganti kerugian. Cara

ini lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan pemutusan

perjanjian berdasarkan berbagai macam pertimbangan, misal-

nya jenis barang yang diperjualbelikan, faktor kemampuan

dan kejujuran pembeli, serta peristiwa yang tidak terduga.52

50
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 16.
51
Ibid., hal. 16-17.
52
Ibid.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


42

4. Tanggung Jawab dan Eksonerasi

Perlu diterangkan bahwa pihak yang mempergunakan

secara teratur perjanjian baku biasanya tidak mengharapkan

para pelanggannya untuk memahami atau bahkan membaca

syarat-syarat atau klausulanya. Bahkan terdapat pembakuan

untuk meniadakan tawar-menawar tentang rincian transaksi

individual, yang jumlahnya banyak, tidak ekonomis, dan

tidak praktis. Slawson pada tahun 1971 menulis bahwa

kontrak-kontrak bentuk perjanjian baku (standard form)

telah dipakai di seluruh dunia, khususnya Amerika.53

Tanggung jawab merupakan realisasi dari kewajiban

terhadap pihak lain. Untuk merealisasikan kewajiban tesebut

perlu ada pelaksanaan (proses). Hasilnya adalah terpenuhi-

nya hak pihak lain secara sempurna atau tidak sempurna.

Dikatakan terpenuhi secara sempurna apabila kewajiban itu

dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga pihak lain

memperoleh haknya sebagaimana mestinya pula. Hal ini tidak

menimbulkan masalah. Dikatakan tidak terpenuhi secara

sempurna apabila kewajiban itu dilaksanakan tidak sebagai-

mana mestinya, sehingga pihak lain memperoleh haknya tidak

53
Todd D. Rakoff, Contracts of Adhesion an Essay Inrecontruction,
(Harvard Law Review, April 1983), hal. 1189.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


43

sebagaimana mestinya pula (pihak lain dirugikan). Hal ini

menimbulkan masalah, yaitu siapa yang bertanggung jawab,

artinya siapa yang wajib memikul beban kerugian itu, pihak

debitur atau kreditur, pihak konsumen atau pengusaha?

Dengan adanya pertanggungjawaban ini hak pihak lain diper-

oleh sebagaimana mestinya (haknya dipulihkan). Jika pihak

yang mempunyai kewajiban tidak melaksanakan kewajibannya,

ia dikatakan “tidak bertanggung jawab”.54

Masalah tanggung jawab dirumuskan di dalam syarat-

syarat perjanjian. Dalam rumusan tersebut terdapat tanggung

jawab yang menjadi beban konsumen dan yang menjadi beban

pengusaha. Apabila ditelaah secara cermat, beban tanggung

jawab konsumen lebih ditonjolkan daripada beban tanggung

jawab pengusaha. Bahkan terlihat kesan bahwa pengusaha

berusaha keras supaya terbebas dari tanggung jawab. Keadaan

ini dirumuskan sedemikian rapi di dalam syarat-syarat

perjanjian, sehingga dalam waktu relatif singkat kurang

dapat dipahami oleh konsumen ketika membuat perjanjian

54
Ibid., hal. 18.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


44

dengan pengusaha. Syarat yang berisi pembebasan tanggung

jawab ini disebut klausula eksonerasi.55

Penggunaan klausula eksonerasi atau exemption clauses

ini dalam bidang bisnis, misalnya klausula yang menyatakan

bahwa perusahaan tidak bertanggung jawab atas segala

kerusakan dan kehilangan. Namun demikian, klausula pem-

bebasan (dari tanggung jawab) ini perlu ada pembatasan atau

pengendalian dalam penggunannya agar tidak terlalu menim-

bulkan akibat yang sangat merugikan masyarakat terutama

konsumen.56

Klausula eksonerasi selalu menguntungkan pengusaha.

Jika pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab, maka ia

dianggap tidak mempunyai kewajiban. Dengan demikian, perlu

dibedakan antara “tidak bertanggung jawab” dengan “bebas

tanggung jawab”.57

Dalam suatu perjanjian mungkin terjadi pelaksanaan

kewajiban tidak sukarela, bahkan tidak dilaksanakan sama

sekali. Untuk menjaga supaya hukum dapat ditegakkan,

penguasa negara membentuk badan peradilan berdasarkan

55
Ibid.
56
Sri Gambir Melati Hatta, op. cit.
57
Abdulkadir Muhammad, op. cit.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


45

undang-undang. Melalui badan peradilan ini keadilan dapat

dituntut dan diciptakan. Jika kewajiban tidak dilaksanakan

sebagaimana mestinya, sehingga pihak lain dirugikan, maka

atas permohonan pihak lain yang dirugikan itu badan

peradilan akan memaksakan pelaksanaan kewajiban itu se-

bagaimana mestinya dengan membebani tanggung jawab sesuai

dengan rasa keadilan. Dengan demikian, hak pihak lain

dipulihkan.58

Klausula eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian

baku pada umumnya terlihat pada ciri-ciri yang ada, yaitu

adanya pembatasan tanggung jawab atau kewajiban salah satu

pihak (kreditur) untuk membayar ganti rugi kepada debitur.59

Klausula eksonerasi dapat berasal dari rumusan pengusaha

secara sepihak, dapat juga dari rumusan pasal undang-

undang. Eksonerasi rumusan pengusaha membebankan pembuk-

tian kepada konsumen bahwa konsumen tidak bersalah dan

inilah yang menyulitkan kosumen. Eksonerasi rumusan undang-

58
Ibid., hal. 19.
59
Sri Gambir Melati Hatta, op. cit.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


46

undang membebankan pembuktian kepada pengusaha bahwa ia

tidak bersalah, sehingga bebas dari tanggung jawab.60

Menurut Mariam Darus Badrulzaman ciri-ciri klausula

eksonerasi adalah sebagai berikut:61

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh penjual yang

posisinya relatif kuat dari pembeli;

2. Pembeli sama sekali tidak ikut menentukan isi per-

janjian;

3. Terdorong oleh kebutuhannya pembeli terpaksa menerima

perjanjian tersebut;

4. Bentuknya tertulis;

5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau

individual.

Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan dalam pelak-

sanaan perjanjian dengan itikad baik. Eksonerasi terhadap

kerugian yang timbul karena kesengajaan pengusaha adalah

bertentangan dengan kesusilaan. Oleh karena itu, pengadilan

dapat mengenyampingkan eksonerasi itu. Houwing menyatakan

bahwa eksonerasi karena sengaja tidak memenuhi perjanjian

60
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 20.
61
Mariam Darus Badrulzaman (d), Aneka Hukum Bisnis, (Bandung:
Alumni, 1994), hal. 50.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


47

adalah sama dengan pembatalan perjanjian itu.62 Bagaimanapun

juga eksonerasi hanya dapat digunakan jika tidak dilarang

oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusila-

an. Tujuan utama klausula eksonerasi adalah mencegah pihak

konsumen merugikan kepentingan pengusaha.63 Dalam per-

janjian, konsumen adalah pihak yang diservis oleh peng-

usaha, sehingga konsumen berposisi dilayani, dan pengusaha

berposisi sebagai pelayan. Dalam hubungan ekonomi di-

katakan, pembeli adalah raja. Sebagai raja konsumen dapat

berbuat semaunya, sehingga dapat merugikan pengusaha. Untuk

menghindari kemungkinan timbul kerugian itu, pengusaha

mencari akal, yaitu menciptakan syarat baku yang disebut

eksonerasi. Dengan kepintaran pengusaha, eksonerasi dibuat

sedemikian rapi, sehingga konsumen dalam waktu relatif

singkat kurang memahami isinya. Baru dapat disadari setelah

mendapat peristiwa yang menimbulkan kerugian, dan ber-

dasarkan klausula eksonerasi kerugian tersebut menjadi

beban tanggung jawab konsumen. Jika terjadi sengketa

mengenai tanggung jawab tersebut, konsumen dapat mengajukan

permohonan kepada pengadilan untuk menguji apakah

62
Abdulkadir Muhammad, op. cit.
63
Ibid.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


48

eksonerasi yang ditetapkan pengusaha itu layak, tidak

dilarang oleh undang-undang, dan tidak bertentangan dengan

kesusilaan.64

Dalam suatu perjanjian dapat dirumuskan klausula

eksonerasi karena keadaan memaksa, karena perbuatan para

pihak dalam perjanjian. Perbuatan para pihak ini dapat

mengenai kepentingan pihak kedua dan pihak ketiga. Dengan

demikian, ada tiga kemungkinan eksonerasi yang dapat di-

rumuskan dalam syarat-syarat perjanjian, yaitu:65

a. Eksonerasi karena keadaan memaksa

Kerugian yang timbul karena keadaan memaksa bukan

tanggung jawab para pihak. Tetapi dalam syarat per-

janjian dapat dibebankan kepada konsumen, pengusaha

dibebaskan dari beban tanggung jawab, misalnya dalam

beli sewa barangnya musnah karena terbakar. Sebab

kebakaran bukan salah para pihak. Dalam hal ini pembeli

diwajibkan melunasi harga yang belum dibayar lunas

berdasarkan klausula eksonerasi.

b. Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan

pihak kedua

64
Ibid.
65
Ibid., hal. 21-22.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


49

Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha se-

harusnya menjadi tanggung jawab pengusaha. Hal ini

dapat terjadi karena tidak baik atau lalai melaksanakan

kewajiban terhadap pihak kedua. Tetapi, dalam syarat-

syarat perjanjian, kerugian dibebankan kepada konsumen,

pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya

dalam perjanjian pengangkutan ditentukan barang bawaan

yang rusak atau hilang bukan tanggung jawab pengangkut.

c. Eksonerasi karena pengusaha yang merugikan pihak

ketiga. Tetapi dalam syarat-syarat perjanjian, kerugian

yang timbul dibebankan kepada pihak kedua, yang

ternyata menjadi beban pihak ketiga, termasuk juga

terhadap tuntutan pihak ketiga.

Apabila kita melihat keadaan di Indonesia, klausula

eksonerasi ini sudah muncul sejak lama dimana masyarakat

konsumen kurang menyadari dan memperhatikannya. Apabila ada

ketentuan yang merugikan biasanya tidak dipermasalahkan.

Hal ini tentunya berbeda dengan masyarakat negara maju,

yang sudah tebal kesadaran hukumnya serta hak-haknya. Di

Inggris, klausula pembebasan (exemption clauses) ini sering

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


50

digunakan untuk membagi secara adil resiko antara para

pihak yang mengadakan perjanjian.66

Namun demikian, umumnya hukum kurang menyetujui setiap

bentuk exemption clauses.67 Dalam membicarakan exemption

clauses ini, pakar hukum kita, Sutan Remy Sjahdeni mem-

berikan alih bahasa dengan istilah klausula eksemsi68,

sedangkan usaha untuk mengendalikan penggunaan klausula

pembebasan melalui sarana common law dan statutory

diusulkan pada tahun 1977 dan kemudian parlemen Inggris

menetapkan unfair contracts terms unfair acts yang

mencantumkan beberapa batasan ketat penggunaan klausula

pembebasan.69

Dengan demikian, walaupun pengusaha mempunyai kebebas-

an merumuskan dan memberlakukan syarat atau klausula ekso-

nerasi, pembatasan oleh undang-undang dan kesusilaan serta

peranan hakim dalam menguji keberlakuan klausula eksonerasi

tidak dapat diabaikan. Keberlakuan eksonerasi dapat di-

66
Sri Gambir Melati Hatta, op. cit., hal. 150.
67
Helen J. Bond dan Peter Kay, Business Law, (London: Blackstone,
1990), hal. 107.
68
Sutan Remy Sjahdeni, “Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,”
(Disertasi, Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 64.
69
Sri Gambir Melati Hatta, op. cit.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


51

kontrol melalui nilai-nilai Pancasila dan rasa keadilan

masyarakat Indonesia. Karena sistem hukum Indonesia seirama

dengan yang berlaku di negeri Belanda, kiranya tidak salah

jika Indonesia dapat berpedoman pada yurisprudensi Belanda

yang dirasa sesuai dengan kondisi Indonesia.70

5. Penyelesaian Sengketa

Dalam melaksanakan perjanjian mungkin terjadi per-

bedaan penafsiran mengenai kewajiban para pihak yang meng-

akibatkan sengketa, sehingga perjanjian sulit dilaksanakan,

atau dilaksanakan tidak sebagaimana mestinya, atau tidak

dilaksanakan sama sekali. Dalam perjanjian biasanya dimuat

syarat-syarat yang memberi kesempatan kepada para pihak

untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui musyawarah.

Prinsip musyawarah ini sesuai dengan nilai-nilai budaya

Pancasila. Penyelesaian musyawarah penting sekali artinya

bagi konsumen, karena keberlakuan klausula eksonerasi dapat

ditawar atau dirundingkan, sehingga dapat meringankan atau

membebaskan konsumen dari beban tanggung jawab.71

70
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 22.
71
Ibid., hal. 22-23.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


52

Tetapi jika musyawarah tidak menghasilkan penyele-

saian, para pihak diberi kesempatan menyelesaikan sengketa

mereka secara hukum melalui peradilan arbitrase atau per-

adilan negara. Untuk menentukan penyelesaian melalui per-

adilan, biasanya didasari oleh pertimbangan, yaitu jika

melalui peradilan, mana yang lebih menguntungkan melalui

arbitrase atau melalui peradilan negara? Walaupun dalam

perjanjian dirumuskan syarat penyelesaian melalui arbi-

trase, menurut yurisprudensi tidak ditutup kemungkinan

penyelesaian melalui peradilan negara, sebab klausula

arbitrase dalam perjanjian tidak mengikat secara mutlak.72

D. Cara Memberlakukan Syarat-syarat Baku

Syarat-syarat baku diberlakukan melalui perjanjian

lisan atau tertulis. Untuk mengetahui cara memberlakukan

syarat-syarat baku dalam praktek perusahaan, perlu di-

telaah melalui kasus yang sudah diputus oleh pengadilan,

karena putusan pengadilan telah memberikan kepastian hukum

pada metode penerapan syarat-syarat baku. Berdasarkan

praktek perusahaan yang diakui oleh pengadilan yang paling

72
Indonesia (c), Putusan Mahkamah Agung RI No. 1851K/SIP/1984.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


53

banyak terjadi, Hondius (1976) mengemukakan empat cara atau

metode memberlakukan syarat-syarat baku, yaitu:73

1. penandatanganan dokumen perjanjian;

2. pemberitahuan melalui dokumen perjanjian;

3. penunjukan dalam dokumen perjanjian;

4. pemberitahuan melalui papan pengumuman.

1. Penandatanganan Dokumen Perjanjian

Dalam dokumen perjanjian dimuat secara lengkap dan

rinci syarat-syarat baku. Ketika membuat perjanjian,

dokumen tersebut disodorkan kepada konsumen untuk dibaca

dan ditandatangani. Dengan penandatanganan itu konsumen

menjadi terikat pada syarat-syarat baku (yurisprudensi).

Dokumen perjanjian itu dapat berupa naskah perjanjian,

formulir permintaan asuransi, formulir pemesanan barang,

surat angkutan barang, surat tanda servis, polis asuransi,

dan sebagainya.74

Dalam perjanjian tertulis, pembuatan perjanjian dapat

didahului oleh dokumen permintaan atau pemesanan yang diisi

oleh konsumen. Atas dasar dokumen ini kemudian oleh peng-

73
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 24.
74
Ibid.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


54

usaha disiapkan naskah perjanjiannya untuk ditandatangani

oleh konsumen yang bersangkutan. Naskah perjanjian ini

memuat secara lengkap dan rinci syarat-syarat baku. Contoh-

nya, polis asuransi dan perjanjian sewa beli barang ter-

tentu. Dalam perjanjian tidak tertulis (lisan), pembuatan

perjanjian dibuktikan dengan dokumen perjanjian tanpa

naskah perjanjian.75

Dalam dokumen perjanjian itu dimuat syarat-syarat

baku, terutama mengenai tanggung jawab konsumen atau

eksonerasi pengusaha. Contohnya, dokumen pengangkutan,

dokumen pemesanan busana, dan dokumen servis barang.76

2. Pemberitahuan Melalui Dokumen Perjanjian

Menurut kebiasaan yang berlaku, syarat-syarat baku

dicetak di atas dokumen perjanjian yang tidak ditanda-

tangani oleh konsumen, misalnya konosemen, surat angkutan,

surat penerimaan, surat pesanan, dan nota pembelian.

Syarat-syarat baku tersebut ditetapkan oleh pengadilan

sebagai bagian dari isi perjanjian yang diberitahukan

melalui dokumen perjanjian. Dengan demikian, konsumen

75
Ibid.
76
Ibid.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


55

terikat pada syarat-syarat baku itu. Dalam hal ini tidak

dibedakan apakah dokumen perjanjian memuat naskah syarat-

syarat baku atau hanya menunjuk kepada naskah syarat-syarat

baku. Supaya konsumen terikat pada syarat-syarat baku,

dokumen perjanjian harus sudah diserahkan atau dikirimkan

kepada konsumen sebelum, atau pada waktu, atau sesudah

dibuat perjanjian.77

3. Penunjukan dalam Dokumen Perjanjian

Dalam dokumen perjanjian tidak dimuat atau tidak

ditulis syarat-syarat baku, melainkan hanya menunjuk pada

syarat-syarat baku, misalnya dalam dokumen jual beli

perdagangan ditunjuk syarat penyerahan barang atas dasar

klausula Free On Board (FOB) atau Cost, Insurance, and

Freight (CIF). Ini berarti bahwa syarat baku mengenai

penyerahan barang atas dasar ketentuan FOB atau CIF berlaku

dalam perjanjian itu. Selain itu, yurisprudensi juga

menetapkan bahwa dengan penunjukan kepada suatu tanda suatu

badan atau organisasi berarti berlaku syarat-syarat baku

yang ditetapkan oleh badan atau organisasi yang ber-

77
Ibid., hal. 25.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


56

sangkutan, misalnya dalam formulir permohonan penutupan

asuransi kerufian tertera tanda atau lambang “Llyod”, ini

berarti bahwa terhadap asuransi kerugian yang oleh

penanggung dan tertanggung itu berlaku syarat-syarat baku

yang ditetapkan oleh badan asuransi Llyod.78

4. Pemberitahuan Melalui Papan Pengumuman

Syarat-syarat baku dapat dijadikan bagian dari isi

perjanjian dengan cara pemberitahuan melalui papan peng-

umuman. Melalui pemberitahuan itu konsumen terikat pada

syarat-syarat perjanjian yang ditetapkan oleh pengusaha.

Untuk itu pengadilan menetapkan bahwa papan pengumuman itu

harus dipasang di tempat yang jelas, mudah terlihat,

ditulis dalam bentuk huruf dan bahasa yang sederhana, serta

mudah dibaca sebelum perjanjian dibuat. Papan pengumuman

semacam ini dapat dijumpai pada perusahaan perbengkelan,

perusahaan pengangkutan, toko swalayan, dan lain-lain.79

Pemberitahuan melalui papan pengumuman pada perusaha-

an-perusahaan yang disebutkan tadi lebih sesuai karena

mereka berusaha di bidang pelayanan umum yang melayani

78
Ibid.
79
Ibid., hal. 25-26.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


57

banyak orang dalam waktu yang bersamaan. Lagipula per-

janjian yang mereka buat itu selalu dalam bentuk lisan yang

hanya dibuktikan dengan dokumen yang diterbitkan dan di-

tandatangani oleh pengusaha, misalnya tiket, surat angkut-

an, nota jual beli, nota pemesanan, dan surat servis.80

E. Dasar Berlakunya Syarat-syarat Baku

Permasalahan yang muncul sekarang ialah apa yang

menjadi dasar berlakunya syarat-syarat baku bagi konsumen,

atau apa sebab konsumen terikat pada syarat-syarat baku

yang ditetapkan oleh pengusaha? Berbagai macam alasan

sebagai dasar berlaku telah dikemukakan oleh penulis dengan

argumentasinya masing-masing. Ada yang melihatnya dari

aspek hukum, aspek kemasyarakatan, dan aspek ekonomi.

1. Dari Aspek Hukum

Secara yuridis masalah ini dapat diselesaikan melalui

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang dinyatakan bahwa,

perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-

undang bagi pihak yang membuatnya. Berlaku sebagai undang-

80
Ibid., hal. 26

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


58

undang artinya mempunyai kekuatan mengikat sama dengan

undang-undang, sehingga ada kepastian hukum. Konse-

kuensinya di dalam Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata dinyata-

kan, pihak dalam perjanjian tidak dapat membatalkan secara

sepihak (tanpa persetujuan pihak lawannya) perjanjian yang

telah dibuat dengan sah itu. Keterikatan pihak-pihak dapat

dibuktikan dengan penandatanganan perjanjian atau penerima-

an dokumen perjanjian.81

2. Dari Aspek Kemasyarakatan

Permasalahan filosofis yang muncul ialah apa dasarnya

konsumen mau menandatangani perjanjian atau menerima

dokumen perjanjian itu? Zeylemaker (1948) mengemukakan

ajaran penundukan kemauan (wiisonderwerping) yang menyata-

kan bahwa orang mau tunduk karena ada pengaturan yang aman

dalam lalu lintas masyarakat, yang disusun oleh orang yang

ahli dalam bidangnya, dan tidak berlaku sepihak, sehingga

orang tidak dapat berbuat lain selain tunduk. Tetapi Stein

(1957) menyatakan bahwa kebutuhan praktis dalam lalu lintas

masyarakatlah yang menyebabkan pihak lain terikat pada

81
Ibid., hal. 26-27.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


59

semua syarat baku tanpa mempertimbangkan apakah ia memahami

syarat-syarat itu atau tidak, asal ia dapat mengetahuinya.82

Tanggapan Hondius (1976) terhadap Zeylemaker ialah

bahwa pendapat beliau ini dapat dipakai sebagai dasar

keterikatan konsumen, tetapi dengan ketentuan bahwa

keterikatan itu dilengkapi dengan alasan kepercayaan. Jadi,

menurut Hondius penandatangan atau penerima tidak hanya

terikat karena ia mau, melainkan juga karena ia percaya

pada pihak lain itu berdasarkan perhitungannya.83

3. Dari Aspek Ekonomi

Menanggapi permasalahan filosofis tadi, Zonderland

(1976) menggunakan pendekatan riil. Ia menyatakan bahwa

keterikatan konsumen pada syarat-syarat baku karena

konsumen ingin menukar prestasi dan sekaligus menerima

apapun yang tercantum dalam syarat-syarat baku dengan

harapan ia luput dari musibah (halangan), satu harapan yang

dilihat secara statistik kemungkinan besar terpenuhi. Jadi,

pendekatan riil Zonderland ini ialah kebutuhan ekonomi yang

hanya akan terpenuhi jika mengadakan perjanjian dengan

82
Ibid., hal. 27.
83
Ibid.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


60

pengusaha, walaupun dengan syarat-syarat baku yang lebih

berat berdasarkan pengalaman tidak senantiasa merugikan

konsumen. Kalaupun memang timbul kerugian karena suatu

halangan, itu adalah resiko.84

84
Ibid., hal. 27-28.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


61

BAB III

TINJAUAN UMUM PENERAPAN KLAUSULA BAKU BERDASARKAN HUKUM

PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Latar Belakang Munculnya Hukum Perlindungan Konsumen

Revolusi Inggris yang dimulai pada abad ke-18 kiranya

dapat dianggap sebagai awal dari proses perubahan pola

kehidupan masyarakat yang semula merupakan masyarakat

agraris menjadi masyarakat industri. Berkembang dan semakin

majunya teknologi kemudian mendorong pula peningkatan

volume produksi barang-barang dan jasa. Perkembangan ini

juga mengubah hubungan antara penyedia produk dan pemakai

produk yang semakin berjarak.85 Dalam hal ini kebutuhan

konsumen terhadap produk barang dan jasa juga semakin

beragam, persaingan dalam dunia usaha, yaitu persaingan

antara para produsen, dan juga periklanan yang menyesatkan

85
Yusuf Shofie, ed., Mengakomodasikan Masalah Perlindungan
terhadap Konsumen dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia,
dalam Percakapan tentang Pendidikan Konsumen, (Jakarta: 1997), hal. 2.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


62

menimbulkan kesenjangan terhadap kebenaran informasi dan

daya tanggap konsumen. Hal inilah yang menyebabkan konsumen

dalam posisi yang lemah.

Sebagai upaya dari kalangan swasta, gerakan perlin-

dungan konsumen yang masih sangat muda usianya, yaitu pada

saat didirikannya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)

pada tahun 1973, badan swasta ini bergerak secara langsung

melindungi konsumen Indonesia, sementara terutama di

Jakarta, dengan cara-cara yang spesifik Indonesia, yaitu

melindungi konsumen dengan tidak merugikan apalagi mema-

tikan usaha produsen nasional. Dapat dipahami bahwa

kemampuan lembaga ini sangat terbatas, tetapi ia telah

berhasil memancing perhatian pihak-pihak pemerintah untuk

lebih besar menaruh perhatian terhadap konsumen Indonesia.

Dalam usaha-usaha yang dilaksanakannya, lembaga ini

mendapat dukungan dan bantuan besar dari pihak pemerintah.

Dengan satu kalimat kiranya dapat disimpulkan bahwa suara

lembaga ini sudah didengar oleh pihak-pihak yang berwajib,

karena cara kerjanya yang tidak konfrontatif, sedikit

banyak lembaga ini telah dapat mengajak sementara produsen

untuk turut serta melindungi konsumen dengan cara-caranya

sendiri.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


63

Sekalipun masih muda pada waktu itu, lembaga konsumen

ini telah mengadakan berbagai hubungan dengan lembaga-

lembaga yang sama di luar negeri. Dengan cara-cara demikian

ingin dalam jangka waktu yang relatif lebih pendek, dapat

dicapai hasil yang oleh lembaga-lembaga yang lebih tua di

luar negeri dicapai dalam waktu yang lebih panjang. Di

samping itu, dengan cara demikian dihindarkan kesalahan-

kesalahan tindak yang menjadi pengalaman orang lain.86

Secara tidak langsung juga para produsen, baik

produsen jasa maupun barang, turut pula melindungi kon-

sumen, terutama sekali para produsen yang bonafid, artinya

yang memperkirakan bahwa keuntungan yang mereka peroleh

dalam memasarkan hasil produksinya akan lebih terjamin dan

lebih langgeng apabila keseluruhan produksinya memenuhi

persyaratan tentang mutu, kesehatan, pengepakan, dan

sebagainya sebagaimana dikehendaki oleh peraturan-peraturan

yang berlaku. Dengan menjaga nama yang terwujud pada hasil

produk mereka yang memenuhi persyaratan peraturan dan

selera konsumen, maka disamping para produsen mendapatkan

dan memelihara konsumen produknya, sekaligus pula dengan

86
AZ Nasution (a), “Perlindungan Konsumen (Suatu Tinjauan dari
Sudut Hukum),” (Makalah disampaikan untuk Seminar pada Pusat Studi
Hukum Dagang FHUI, Jakarta, 16 Desember 1975), hal. 8.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


64

demikian produsen tersebut telah melindungi konsumen dalam

arti luas.87

Gerakan perlindungan konsumen, yang sadar atau tidak,

telah bermula sejak organisasi perlindungan konsumen per-

tama didirikan di Indonesia (YLKI, 1973), tampaknya kini

telah masuk dalam kerangka kebijakan publik, yaitu dalam

peraturan perundang-undangan berbentuk undang-undang.

Bahkan ditegaskan pula bahwa UU Nomor 8 Tahun 1999

merupakan “payung yang mengintegrasikan dan memperkuat

penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen”.88

Apakah arti dan muatan undang-undang payung itu?

PANSUS-DPR UU Nomor 8 Tahun 1999 menjelaskan sebagai:89

UU Nomor 8 Tahun 1999 ini perlu memuat prinsip-


prinsip dasar perlindungan konsumen, serta men-
cakup pembaruan-pembaruan terhadap institusi
dalam sistem hukum yang selama ini menjadi ken-
dala bagi perlindungan konsumen.

Memang informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang

berbagai hal berkaitan dengan barang dan/atau jasa yang

87
AZ Nasution (a), Ibid., hal. 9.
88
Indonesia (b), op. cit., penjelasan umum alinea akhir.
89
Sekretaris Jenderal DPR-RI, “Proses Pembahasan RUU Tentang Per-
lindungan Konsumen,” (2001), hal. 164.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


65

diproduksi, dipromosikan, ditawarkan, atau dengan satu dan

lain cara dialihkan pemilikannya oleh pelaku usaha kepada

konsumen, merupakan hal yang paling menentukan dalam hu-

bungan antara konsumen dengan pelaku usaha. Dengan ter-

sedianya informasi sedemikian, dapat dicegah atau dihindar-

kan berbagai bentuk kerugian konsumen, kesalahpahaman, dan

tercegah sengketa perlindungan konsumen antara konsumen

dengan pelaku usaha. Dengan demkian, UU Nomor 8 Tahun 1999

ini bermaksud untuk mencegah dan melindungi konsumen dari

gangguan fisik pada konsumen, pada kepentingan ekonomi, dan

kepentingan hukumnya dalam memakai, menggunakan, dan/atau

memanfaatkan barang/jasa.90

Selanjutnya, tentang institusi dalam sistem hukum yang

menjadi kendala pada upaya perlindungan konsumen juga ter-

masuk hal penting. Sampai sebelum UU Nomor 8 Tahun 1999

disahkan, proses berperkara di peradilan Indonesia belum

mudah acaranya, belum murah biayanya, belum cepat putusan-

nya, dan belum menentu eksekusi dari putusan tersebut. Oleh

karena itu, UU Nomor 8 Tahun 1999 menyediakan lembaga

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen tersendiri, dan

90
AZ Nasution dan Azrina Dewi Nasution, “Gerakan Perlindungan
Konsumen: Tinjauan UU No. 8 Tahun 1999, LN 1999 No. 42, TLN 1999 No.
3821 Tentang Perlindungan Konsumen,” (Makalah, Jakarta, 2005), hal. 4.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


66

menentukan putusannya bersifat final dan mengikat, dengan

beberapa cara beracara berbeda dalam pemeriksaan sengketa

di lembaga tersebut dibanding dengan di lembaga peradilan

umum. Sayangnya, ketentuan yang menetapkan putusan badan

“peradilan baru” (BPSK) sebagai putusan yang bersifat final

dan mengikat itu agaknya tidak diikuti sepenuhnya oleh UU

Nomor 8 Tahun 1999. Beruntunglah, disadari atau tidak oleh

pembuat undang-undang, UU Nomor 8 Tahun 1999 memuat keten-

tuan yang dinilai dapat “mengobati” atau mengurangi

kelemahan itu dengan memuat Ketentuan Peralihan sebagai

berikut:91

Segala ketentuan peraturan perundang-undangan


yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada
pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyata-
kan tetap berlaku sepanjang tidak diatur khusus
dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini.

Dengan demikian, apabila terdapat kekurangan dan/atau

kelemahan dalam ketentuan UU Nomor 8 Tahun 1999, dengan

sendirinya dapat diberlakukan segala ketentuan peraturan

perundang-undangan yang juga bertujuan melindungi konsumen

91
Indonesia (b), op. cit., pasal 64.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


67

yang telah ada, sepanjang tidak diatur khusus dan/atau

tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU Nomor 8 Tahun

1999. Memang UU Nomor 8 Tahun 1999 diterbitkan untuk me-

negakan kepentingan-kepentingan konsumen, sebagai salah

satu pelaku ekonomi yang lemah, tetapi tidak dapat dieks-

ploitasi untuk kepentingan pelaku usaha (privat atau

publik) dari dalam negeri atau luar negeri, dan meliputi

segala bidang kehidupan. Khusus konsumen Indonesia (negara

berkembang) berada dalam kondisi “lemah dari sudut

pendidikan, ekonomi, dan daya tawar”, dibanding dengan

pelaku usaha.92

Posisi konsumen yang lemah (sering dirugikan) erat

kaitannya juga dengan adanya perilaku bisnis pengusaha yang

terkadang menghalalkan segala cara demi keuntungan yang

sebesar-besarnya. Hal ini bisa dilakukan pengusaha mulai

dari proses produksi, distribusi hingga marketing, termasuk

juga dalam hal cara periklanan. Dalam proses produksi pihak

pengusahalah yang paling mengetahui kandungan dari barang

yang diproduksi apakah barang tersebut tidak membahayakan,

92
AZ Nasution dan Azrina Dewi Nasution, op. cit., hal. 5.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


68

atau apakah sudah melalui proses uji dari Departemen

Kesehatan RI, dan sebagainya.

Apakah selama ini keseluruhan permasalahan tersebut

dapat diatasi atau telah diatur dalam perundang-undangan

Indonesia yang berlaku? Menurut sementara pihak, jawabnya

adalah ya. Artinya, sepanjang tidak mengganggu “pembangunan

industri” di Indonesia yang sedang “gencar-gencarnya dipacu

pemerintah” pada era “orde baru” itu.93 Padahal, pengertian

pembeli, dan sebagainya dalam perundang-undangan kita

selama ini mempunyai arti ganda. Misalnya, istilah

pembeli94, penyewa95, tertanggung96, penumpang97, dapat

diartikan tidak hanya sebagai konsumen pemakai, pengguna,

atau pemanfaat barang dan/atau jasa bagi memenuhi kebutuhan

diri sendiri, keluarga, atau rumah tangganya (sebagai

konsumen akhir), tetapi juga sebagai konsumen antara, yaitu

93
AZ Nasution (b), “Berlakunya UU Perlindungan Konsumen pada
Seluruh Barang dan/atau Jasa: Tinjauan pada UU No. 8 Tahun 1999,”
(Makalah disampaikan pada Seminar Perlindungan Konsumen di UNPAD,
Bandung, 14 Januari 2001), hal. 2.
94
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1460, 1513 jo 1457.
95
Ibid., pasal 1560-1580.
96
Kitab Undang-undang Hukum Dagang [Wetboek van Koophandel],
diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. ke-27,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 2002), pasal 246-308.
97
Ibid., pasal 393-394.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


69

pelaku usaha yang membiayai pembuatan, membuat, atau

megedarkan/menjual barang dan/jasa tersebut. Konsumen

antara ini sesungguhnya tidak lain dari pelaku usaha98.

B. Latar Belakang Proses Munculnya Naskah tentang

Perlindungan Konsumen

Hukum perlindungan konsumen ini bukan hal baru,

apalagi untuk UI. Dari tahun 1975 sudah ada satu pembahasan

tentang hukum perlindungan konsumen yang diselenggarakan

oleh pusat studi hukum. Kemudian tahun 1979 dibuat naskah

akademik tentang rancangan penelitian tentang perlindungan

konsumen. Tahun 1980 dibuat lagi oleh Badan Pembinaan Hukum

Nasional (BPHN). Kemudian tahun 1980 dibuat naskah akademik

RUU Tentang Perlindungan Konsumen.99

Tahun 1980 dibuat oleh BPHN dan tahun 1981 dibuat juga

oleh YLKI. Kemudian ada beberapa naskah akademik yang

dibuat juga berkaitan dengan perlindugan konsumen, termasuk

yang sekarang sudah menjadi undang-undang, antara lain

98
Hector Lanzo, Marketing, (New York: Alexander Hamilton
Institute, 1973), hal. 29: “The consumer of industrial goods is
generally another business man or a business institution.”

99
AZ Nasution (c), “Perlindungan Konsumen”,
<http://www.pemantauperadilan.com>, 15 Januari 2004.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


70

Undang-undang Tentang Pangan. Kemudian Undang-undang

Tentang Perlindungan Usaha Kecil dan Menengah yang dibuat

oleh Pak Subiyakto. Sewaktu beliau menjadi menteri, dari

RUU sampai menjadi Undang-undang Tentang Perlindungan Usaha

Kecil dan Menengah. Semua undang-undang ini maksudnya untuk

dapat menegakan hak-hak konsumen, tetapi baru tahun 2000

undang-undangnya berlaku. Undang-undang itu disahkan tahun

1999 dan baru berlaku tahun 2000.100

Undang-undang ini tersangkutnya lebih banyak di

kemauannya. Lobi pelaku usaha memang kuat sekali sehingga

tahun 1985, PBB membuat putusan resolusi PBB tentang

perlindungan konsumen. Indonesia sudah mengakui tetapi

tetap sulit terwujud walaupun bukan asli buatan

Indonesia.101

C. Pengertian Perlindungan Konsumen

Pada umumnya kedudukan konsumen berada pada posisi

yang lebih lemah dibandingkan posisi pelaku usaha. Hal ini

dapat terjadi karena adanya beberapa faktor, yaitu:

100
Ibid.

101
Ibid.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


71

a. Kekuatan ekonomi para pelaku usaha lebih besar bila

dibandingkan dengan pihak konsumen.

b. Tingkat pendidikan pelaku usaha lebih tinggi di-

bandingkan konsumen.

c. Posisi tawar (bargaining position) dari pelaku usaha

lebih tinggi dibandingkan konsumen.

Oleh karena itu, dibutuhkan suatu upaya untuk mening-

katkan harkat martabat konsumen, pengetahuan, kepedulian,

kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri-

nya sendiri serta utamanya dari segi perlindungan dan

kepastian hukum. Ide untuk melaksanakan suatu upaya pem-

berdayaan konsumen tersebut telah diakomodir oleh UU Nomor

8 Tahun 1999 dengan diberikannya batasan pengertian

terhadap apa yang disebut Perlindungan Konsumen, yaitu

“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk

memberi perlindungan kepada konsumen.”102

Berdasarkan amanat UU Nomor 8 Tahun 1999, dimana

disebutkan dalam pertimbangannya bahwa harus adanya

keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen dalam hal

melakukan transaksi, dimana salah satu tujuan dibuatnya

102
Indonesia (b),op. cit., pasal 1 angka 1.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


72

undang-undang tersebut adalah untuk menyeimbangkan daya

tawar konsumen dengan pelaku usaha. Dari pihak pelaku usaha

sendiri adalah agar pelaku usaha terdorong untuk mempunyai

itikad baik dalam hal melakukan transaksi dengan konsumen.

D. Pengertian Pelaku Usaha

Dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 dikemukakan istilah pelaku

usaha. Siapakah yang dimaksudkan pelaku usaha?

Dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 dirumuskan bahwa pelaku

usaha adalah:103

Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik


yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan
usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Di samping itu, kalangan ahli ekonomi (Ikatan Sarjana

Ekonomi Indonesia), menetapkan bahwa pelaku usaha, yang

merupakan sebagian dari pelaku ekonomi terdiri dari 3

(tiga) kelompok besar, yaitu (a) kelompok penyedia dana

103
Ibid., pasal 1 angka 3.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


73

(investor) untuk memenuhi keperluan pelaku usaha atau orang

perorangan (konsumen), seperti bank, lembaga keuangan non-

bank, penyedia uang dan para penyedia dana lainnya; (b)

kelompok pembuat barang dan/atau jasa (produsen), seperti

pembuat (pabrik) pangan olahan, pembuat (pabrik) farmasi/

obat, pembuat (pabrik) sandang, pembuat atau developer

perumahan (untuk jenis-jenis barang), penyelenggara usaha

jasa perjalanan (travel), penyelenggara usaha jasa

angkutan, penyelenggara jasa kesehatan/rumah-rumah sakit

atau “warung dokter”, penyelenggara usaha jasa asuransi,

penyelenggara jasa pengacara, dan sebagainya (untuk jenis-

jenis jasa, baik berbentuk pekerjaan atau prestasi); (c)

kelompok pengedar barang/jasa (distributor), seperti

pedagang kaki lima, warung, toko, apotek/rumah obat,

supermarket, minimarket, hypermarket, dan lain-lain (umum-

nya untuk jenis-jenis barang), dan usaha jasa perbankan/

non-perbankan, usaha jasa asuransi, usaha jasa pendidikan,

usaha jasa kesehatan, usaha jasa e-commerce/internet, dan

lain-lain (untuk jenis-jenis jasa).104

104
ISEI, “Penjabaran Demokrasi Ekonomi, sumbangan pikiran memenuhi
harapan Presiden Suharto,” (Jakarta, 1990), hal. 8.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


74

Masing-masing kelompok usaha (publik atau privat)

tersebut berperan sebagai pelaku usaha dimaksud dalam

undang-undang, yaitu yang menyelenggarakan usaha dalam

bidang ekonomi, baik secara sendiri-sendiri atau berdasar-

kan perjanjian dengan pihak-pihak lain. Sekali pun

demikian, terdapat ketidaksamaan secara tepat atau beda

antara suatu jenis usaha dengan jenis usaha lainnya. Bahwa

setiap kegiatan (ekonomi) pelaku usaha itu juga memuat

aspek-aspek sosial disamping aspek ekonomi, tidak dapat

disangkal. Perusahaan-perusahaan besar membentuk atau be-

kerja sama dalam berbagai yayasan atau lembaga sosial untuk

kepentingan orang banyak (misalnya Ford Foundation, Asia

Foundation, Friedrich Neuman Stiftung, dan lain-lain).

Begitu pula dengan rumah-rumah sakit dan/atau dokter-dokter

dengan berbagai tindak atau kegiatan sosial mereka.105

Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa pelaku

usaha, yang dalam hal ini pengelola area parkir harus

mempunyai itikad baik serta jujur dan bertanggung jawab

sesuai dengan tujuan dibuatnya UU Nomor 8 Tahun 1999.

Pengelola jasa perparkiran tidak boleh semena-mena dalam

105
AZ Nasution (b), op. cit., hal. 2-3.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


75

menjalankan usahanya, misalnya dengan membuat klausula yang

mengalihkan tanggung jawab yang seharusnya ia pikul kepada

orang-orang yang memarkirkan kendaraanya sebagai konsumen.

E. Pengertian Konsumen

Jumlah konsumen di Indonesia adalah bersamaan dengan

jumlah penduduk Indonesia, sekalipun tidak disangkal

beberapa persen di antaranya “merangkap” keduanya. Konsumen

ini dalam hukum Indonesia mempunyai berbagai nama. KUH

Perdata menyebutnya antara lain sebagai pembeli, usaha

perbankan atau asuransi menggunakan nama nasabah, usaha

jasa kesehatan menyebutnya sebagai pasien, usaha jasa

angkutan menyebutnya sebagai penumpang, usaha jasa hiburan

menyebut mereka sebagai penonton, dan sebagainya.106

Suatu produk untuk sampai kepada konsumen tidak

terjadi secara langsung tetapi melalui jalur pemasaran,

yaitu produsen dan atau media perantara. Akibat dari proses

industrialisasi dalam memproses produk timbul permasalahan

hukum sehubungan dengan adanya barang-barang atau produk

yang cacat yang merugikan pihak konsumen, baik dalam arti

106
Ibid., hal. 4.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


76

finansial, maupun non-finansial, bahkan kerugian jiwa.

Mengenai hal tersebut tidak ada kejelasan siapa yang

bertanggung jawab. Tidak sedikit konsumen di Indonesia yang

kurang mengerti hukum, sehingga jika konsumen dirugikan

mereka hanya diam saja. Hal inilah yang mengakibatkan

pelaku usaha yang curang dan tidak bertanggung jawab merasa

diuntungkan.107

Istilah konsumen berasal dari bahasa Belanda

konsument. Dalam bidang hukum, para ahli pada umumnya telah

sepakat bahwa arti konsumen adalah pemakai terakhir dari

benda dan jasa (iuteindelijke gebruiker van goederen en

diesten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha

(ondernamer).108 Pengusaha di sini mempunyai arti yang luas,

karena mencakup produsen dan distributor. Konsumen dan

pengusaha mempunyai hubungan yang timbal balik. Kewajiban

pada pihak konsumen merupakan hak pada pihak pengusaha dan

sebaliknya.

107
Muhamad Eggi H. Suzetta, “Pengetahuan Hukum untuk Konsumen,”
<http://www.pikiran-rakyat/cetak/1204/20/teropong/konsul_hukum.htm>, 20
Desember 2004.
108
Hondius, Konsumentrechst, (Kluwer-Deventer, 1976), hal. 1.,
dikutip dari Mariam Darus Badrulzaman (e), ”Perlindungan Terhadap
Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku,” (Jakarta: PBHN,
Departemen Kehakiman, 1980), hal. 2.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


77

Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi

yang berkembang, konsumen diartikan sebagai “The person who

obtains goods or services for personal or family purposes”.

Dari definisi itu terkandung dua unsur, yaitu (1) konsumen

hanya orang, dan (2) barang atau jasa yang digunakan untuk

keperluan pribadi atau ke1uarganya. Undang-undang Jaminan

Produk di Amerika Serikat sebagaimana dimuat dalam

Magnusson-Moss Warranty, Federal Trade Commission Act 1975

mengartikan konsumen persis sama dengan ketentuan di

Perancis.109

Demikian pula dengan rumusan dalam Nieuw Burgerlijk

Wetboek (NBW) di Belanda, walaupun terkesan lebih umum

(karena dimuat dalam bab tentang syarat-syarat umum per-

janjian), pernyataan yang dikandung tetap kurang lebih

sama. Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-

Amerika). Secara harfiah arti kata consumer adalah setiap

orang yang menggunakan barang atau jasa. Dalam kepustakaan

ekonomi dikenal adanya dua macam konsumen, yaitu:110

109
Muhammad Eggi H. Suzetta, loc. cit.
110
AZ Nasution (d), “Pengertian Konsumen,” (Bahan Perkuliahan
Hukum Perlindungan Konsumen yang disampaikan pada kuliah ke-2, 21
Februari 2007).

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


78

1. Konsumen Antara, adalah setiap orang yang mendapatkan

barang dan/jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat

barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan

komersial).

2. Konsumen Akhir, adalah setiap orang alami yang

mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk

tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga,

dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan

kembali (non-komersial).

Di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun

1999, dinyatakan bahwa, “Konsumen adalah setiap orang

pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masya-

rakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang

lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan”. Maka pengertian konsumen dalam ketentuan

di atas, dibatasi secara tegas dalam arti sempit. Dengan

kata lain, pengertian konsumen menurut UU Nomor 8 Tahun

1999 adalah konsumen akhir.111

Dengan demikian, pengertian konsumen dapat dirumuskan

dengan: Semua individu yang mempergunakan barang dan jasa

111
Muhammad Eggi H. Suzetta, loc. cit.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


79

secara nyata, bukan untuk diolah dan diperjualbelikan lebih

lanjut.

Dalam kaitannya dengan para pemilik kendaraan di area

perparkiran, yang memang merupakan konsumen pemanfaat jasa,

harus diupayakan untuk diberikannya informasi-informasi

dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pembinaan perlindung-

an konsumen sesuai amanat UU Nomor 8 Tahun 1999 tersebut.

Antara lain dengan mengadakan seminar-seminar atau

penyuluhan-penyuluhan atau bahkan dengan memberikan

imbauan-imbauan melalui tayangan iklan di televisi dengan

gaya bahasa dan penyampaian yang menarik dan mudah dipahami

serta diingat agar konsumen lebih berhati-hati.

F. Kepentingan-kepentingan Konsumen

Pada dasarnya pengusaha dan konsumen berada dalam

suatu proses sirkulasi. Dalam proses sirkulasi tersebut

pengusaha mempunyai kekuasaan dan kekuatan yang lebih besar

dibandingkan dengan konsumen. Dapat dikatakan bahwa di

dalam hubungan pengusaha-konsumen itu terdapat hubungan

vertikal.

Dari sudut hukum, hubungan vertikal selalu menimbul-

kan permasalahan, karena pihak yang kedudukannya lebih kuat

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


80

cenderung untuk mengeksploitasi pihak yang kedudukannya

lebih lemah. Pada jamannya, Plato telah mengkonstantir

bahwa para penjual makanan, jika menentukan harga dengan

menyamaratakan saja harga itu tanpa mempertimbangkan per-

bedaan mutu bahan yang baik dan tidak baik.112

Kemudian pada tahun 1906 di Amerika Serikat, Upton

Sinclair dalam bukunya “The Jungle” menguraikan kejelekan

cara pengolahan daging di industri makanan. Selanjutnya

pada tahun 1962 Presiden John F. Kennedy menyampaikan pesan

dalam Congress on Protecting the Consumer Interest tentang

pentingnya kedudukan konsumen di dalam masyarakat ekonomi.

Dua pertiga dari jumlah yang dipergunakan dalam kehidupan

ekonomi berasal dari konsumen. Namun demikian, biasanya

suara mereka tidak didengar.113

G. Transaksi Konsumen

Transaksi konsumen berarti proses peralihan pemilikan

barang dan/atau pemanfaatan jasa dari pelaku usaha kepada

112
Hondius, op. cit., hal. 11, dikutip dari Mariam Darus
Badrulzaman (c), op. cit., hal. 1.
113
Ibid., hal. 1-2.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


81

konsumen. Untuk memudahkan pengertian transaksi konsumen

ini, maka akan dikelompokkan dalam tahap-tahap:114

1. Tahap pra-transaksi, yaitu tahap sebelum transaksi

terjadi;

2. Tahap transaksi, yaitu tahap terjadinya transaksi;

3. Tahap purna-transaksi, yaitu tahap setelah perikatan

dilaksanakan antara pelaku usaha dan konsumen dan

pemakaian, penggunaan dan/atau pemanfaatannya.

Dengan memperhatikan masalah pada tahapan transaksi

konsumen ini dapat lebih mudah ditinjau setiap pelaksanaan

hak dan/atau kewajiban pelaku usaha dan konsumen, serta

cara-cara untuk mengatasi permasalahan yang timbul dalam

hubungan antara konsumen dan penyedia barang dan/atau jasa.

Pertama, tahap pra-transaksi, yaitu tahapan sebelum

transaksi terjadi. Pada tahap ini, transaksi atau

penjualan/pembelian barang dan/atau jasa belum terjadi.

Konsumen bijak yang akan mengadakan transaksi barang

dan/atau jasa tertentu harus mempertimbangkan pembeliannya

dengan mengaitkan pada dana/uang yang dimilikinya bukan?

Oleh karena itu, dalam tahap ini yang paling vital bagi

114
AZ Nasution (b), op. cit., hal. 8.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


82

konsumen adalah mendapatkan informasi atau keterangan yang

benar, jelas, dan jujur dari pelaku usaha yang beritikad

baik dan bertanggung jawab menyelenggarakan peyediaan

komoditi kebutuhan konsumen tersebut.115 Setiap pelaku usaha

wajib beritikad baik dan menyediakan informasi yang benar,

jelas, dan jujur tentang barang dan/atau jasa yang menjadi

mata usahanya.116

Informasi itu haruslah benar penyampaian materi kete-

rangan barang/jasanya117, baik pada promosi, label atau

iklannya, tentang nama barang, tentang komposisi bahannya,

tentang berat/isi bersih, aturan pakai, tanggal kedaluarsa,

kehalalannya, jaminan dan sebagainya, serta dapat dimenger-

ti juga oleh “orang-orang awam”. Keseluruhannya harus

115
Ibid., hal. 9.
116
Indonesia (b), op. cit., pasal 7 huruf a dan b jis. pasal 17,
pasal 20, pasal 60, dan pasal 60 ayat (1) dan (2).
117
Berkaitan dengan informasi yang harus benar, jelas, dan jujur
merupakan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang demikian
termasuk akses untuk mendapatkan informasi tersebut (Pasal 4 huruf c jo
Pasal 3 huruf d) dan kewajiban pelaku usaha untuk menyediakannya,
menyangkut kondisi dan jaminan serta penjelasan penggunaan, perbaikan,
dan pemeliharaan barang dan/atau jasa tersebut (Pasal 7 huruf b).
Apabila ada informasi yang tidak memenuhi ketentuan ini dan merugikan
konsumen, maka pelaku usaha berkewajiban mematuhi ketentuan tentang
informasi ini dan pelanggaran atasnya mewajibkan pelaku usaha untuk
memberikan ganti rugi atas kerugian yang diderita konsumen berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa atau setara
nilainya atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan (Pasal
19), kecuali apabila ia dapat membuktikan bahwa kesalahan itu adalah
kesalahan konsumen.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


83

demikian jelas, sehingga tidak menimbulkan dua pengertian

yang berbeda dan dapat dipahami masyarakat, atau gambar

yang informatif, atau menunjukkan data dan ukuran-ukuran

yang benar dan sesuai ketentuan perundang-undangan, serta

menggunakan bahasa Indonesia. Misalnya beras 1 kg sama

dengan 1000 gram dan bukan 900 gram atau bahkan 800 gram;

atau beras jenis Rojolele adalah sungguh-sungguh beras

jenis tersebut dan tidak beras “dioplos” dengan beras

impor; kertas 1 riem berisi 500 lembar dan bukan 400 atau

450 lembar; saus tomat harus benar-benar terbuat dari tomat

menurut peraturan perundang-undangan dan bukan buah labu

siam dihancurkan dengan dibubuhi asam cuka dan zat pewarna

merah; obat tradisional haruslah memuat bahan-bahan tradi-

sional dan tidak memuat bahan kimia, dan sebagainya.118

Informasi itu haruslah jelas pemaparan keterangan-

keterangan tentang barang dan/atau jasa yang ditawarkan,

dan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Selanjutnya

penyusun keterangan atau informasi barang atau jasa

tersebut haruslah jujur dan beritikad baik dalam menjalan-

kan tugasnya. Kejujuran penyusun keterangan itu diperlukan

118
AZ Nasution (b), op. cit.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


84

konsumen dalam menentukan pilihannya atas barang dan/atau

jasa kebutuhannya (informative information) dan bukan

sekedar informasi untuk meningkatkan pangsa pasar produknya

atau menarik minat beli konsumen belaka.119

Kedua, tahap transaksi, yaitu tahap saat transaksi

terjadi.120 Pelaku usaha wajib memperlakukan konsumen secara

benar dan jujur serta tidak diskriminatif, menjamin mutu

barang dan/atau jasa sesuai standar yang berlaku, memberi

kesempatan bagi konsumen untuk menguji dan mencoba barang/

jasa tertentu dan tidak menyediakan klausula baku yang

dilarang oleh undang-undang, baik dalam dokumen penjualan

maupun rancangan perjanjiannya.121 Tahap transaksi konsumen

adalah tahap terjadinya proses peralihan pemilikan barang

dan/atau pemanfaatan jasa tertentu dari pelaku usaha kepada

konsumen. Pada saat ini telah terdapat kecocokan pilihan

barang dan/atau jasa dengan persyaratan pembelian serta

harga yang harus dibayarnya. Pada tahap ini yang menentukan

adalah syarat-syarat perjanjian peralihan pemilikan barang

119
Ibid.
120
AZ Nasution (b), op. cit., hal. 10.
121
Indonesia (b), op. cit., pasal 7 huruf c, d, dan e jis. pasal
18 dan pasal 62 ayat (1).

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


85

dan/atau pemanfaatan jasa tersebut. Dalam kaitan ini peri-

laku pelaku usaha sangat menentukan, seperti penentuan

harga produk konsumen, penentuan persyaratan perolehan dan

pembatalan perolehannya, klausula-klausula, khususnya klau-

sula baku yang mengikuti transaksi dan persyaratan-

persyaratan jaminan, keistimewaan atau kemanjuran yang

dikemukakan dalam transaksi barang dan/atau jasa. Informasi

itu dapat berupa informasi lisan maupun tertulis atau

dengan media elektronik dalam segala bentuknya. Perlu

diingatkan, bahwa semua klausula baku yang ada pada saat

ini dan tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang batal

demi hukum sejak tanggal 20 April 2000122.

Klausula baku atau perjanjian dengan syarat-syarat

yang ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha, tanpa

membicarakan materinya dengan kosumen yang batal demi hukum

itu, antara lain misalnya adalah: “barang yang sudah dibeli

tidak boleh dikembalikan” (syarat pada nota/bon penjualan),

“ganti rugi apabila barang yang dikirim hilang atau rusak,

ditetapkan sejumlah 5 kali ongkos kirim” (pada tanda

pengiriman barang), “film yang gagal dicetak, akan diganti

122
Ibid., pasal 18 ayat (3).

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


86

rugi satu rol film baru” (pada bon penyerahan pencetakan

film), “mobil atau barang di dalamnya hilang, tanggung

jawab pemilik mobil sendiri” (pada karcis parkir

kendaraan). Juga termasuk penggunaan huruf-huruf kecil yang

tidak jelas pada polis asuransi jiwa, asuransi kebakaran,

formulir kredit perbankan, dan sebagainya. Selanjutnya

pengawasan hal-hal tentang klausula baku dibebankan kepada

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)123.

Terdapat suatu pola khusus dalam penjualan barang dari

rumah ke rumah. Praktek penjualan ini termasuk salah satu

dari praktek niaga agresif124 yang dapat merugikan konsumen,

baik oleh karena hilangnya hak konsumen untuk memilih, juga

konsumen umumnya berada dalam keadaan “tersudut” pada saat

mengadakan perjanjian jual beli tersebut. Oleh karena itu,

di negara-negara maju untuk konsumen yang terpojok dalam

membeli barang di rumahnya sendiri, disediakan upaya hukum

untuk memperbaikinya dengan menyediakan ketentuan cooling

off period (jangka waktu untuk konsumen berpikir ulang

123
Ibid., pasal 52 huruf c.
124
R.B.M. Keureuntjes, Aggressive Handelspraktijken, (Kluwer-
Deventer, 1986).

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


87

apakah pembelian diteruskan atau dibatalkan) dalam jangka

waktu 72 jam (Amerika Serikat) dan 8 hari (Belanda).125

Ketiga, tahap purna-transaksi, yaitu tahapan pemakai-

an, penggunaan dan atau pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang telah beralih pemilikannya atau pemanfaatannya dari

pelaku usaha kepada konsumen. Setelah transaksi terjadi,

pelaku usaha wajib memberi kompensasi/ganti rugi atau

penggantian akibat pemakaian, penggunaan dan atau peman-

faatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan kepada

konsumen yang dirugikan. Juga apabila barang dan/atau jasa

tersebut tidak sesuai dengan perjanjian, sehingga berakibat

menimbulkan kerugian kesehatan tubuh, keamanan jiwa dan/

atau harta bendanya126.

Pada tahap ini, apabila informasi (lisan atau ter-

tulis) dari barang dan/atau jasa yang disediakan oleh

pelaku usaha, sesuai dengan pengalaman konsumen dalam

pemakaian, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen

tersebut, maka konsumen akan puas. Bahkan bukan tidak

mungkin konsumen tersebut akan menjadi “langganan tetap”

125
AZ Nasution (b), op. cit., hal. 11.
126
Indonesia (b), op. cit., pasal 7 huruf f dan g jis. pasal 8,
pasal 19 jo pasal 62.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


88

pelaku usaha tertentu itu.127 Akan tetapi, apabila

sebaliknya yang terjadi, artinya informasi produk yang

diperoleh konsumen tidak sesuai dalam kenyataan pemakaian,

penggunaan, atau pemanfaatannya oleh konsumen dan pelaku

usaha ber-sangkutan, timbullah sengketa konsumen.128

Perilaku konsumen pada awal terjadinya masalah dapat

berupa “protes konsumen” pada pelaku usaha, selanjutnya

berupa pemuatan kasusnya di media massa, permintaan

konsumen pada Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat (LPKSM) untuk membantu penyelesaiannya, sampai

dengan memajukan perkara sengketa ini ke BPSK dan/atau

pengadilan. Dalam kaitan ini timbullah masalah ganti rugi,

masalah jaminan/garansi, baik dalam bentuk perkara gugatan

ganti rugi perdata melalui BPSK atau pengadilan negeri,

maupun perkara pidana (di peradilan umum).129

127
Philip Kotler, Principles of Marketing, (New Jersey: Pren-Hall
Inc. Englewood Cliffs, 1980), hal. 83: “The higher the company’s
product quality relative to that of the competition, the greater its
business strength.
128
AZ Nasution (b), op. cit.
129
Ibid., hal. 8-12.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


89

H. Hak dan Kewajiban Konsumen

Sebelum lahirnya UU Nomor 8 Tahun 1999, hak-hak

konsumen, walaupun di Amerika Serikat telah diakui secara

tegas. Namun di Indonesia hak-hak tersebut belum dinyatakan

secara tegas. Peraturan mengenai perlindungan konsumen pun

masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Bahkan definisi perlindungan konsumen sendiri baru lahir

setelah lahirnya undang-undang yang bersangkutan. Kemudian

setelah itu, masyarakat baru dapat mengetahui apa yang

menjadi hak-hak dan kewajibannya selaku konsumen.

Sebelum membahas lebih jauh apa yang menjadi hak-hak

kosumen, perlu kiranya diketahui terlebih dahulu apakah

yang dimaksud dengan hak. Pada umumnya, hak adalah kemam-

puan seseorang untuk mempengaruhi tindak-tanduk orang lain

berdasarkan pendapat umum/kekuatan umum (Holland: “one

man’s capacity of influencing the acts of an other, by

means, not of his own strenght, but of the opinion or the

force of society”).130

130
Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, (Bandung,
1991), hal. 36.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


90

Menurut Ernest Barker, hak tersebut baru dikatakan

sempurna apabila telah memenuhi tiga syarat berikut:131

1. bahwa hak itu dibutuhkan untuk perkembangan manusia;

2. bahwa hak itu diakui oleh masyarakat;

3. bahwa hak itu dinyatakan demikian (dan karena itu

dilindungi dan dijamin) oleh lembaga negara.

Jika ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi, maka hak

tersebut bukanlah hak yang sempurna, tetapi merupakan quasi

right atau kuasi hak atau hak yang semu (Ernest Barker).

Sebenarnya, yang pertama meletakkan dasar bagi hak-hak

konsumen dan pertama kali diakui secara luas sejak tanggal

15 Maret 1962 adalah Presiden John F. Kennedy, dihadapan

Kongres Amerika Serikat, yang mengumumkan empat hak dasar

konsumen, yaitu:132

1. Hak memperoleh keamanan (the right to safety)

2. Hak mendapat informasi (the right to informed)

3. Hak untuk memilih (the right to choose)

4. Hak untuk didengar (the right to be heard)

131
Ibid., hal.40.
132
Consumer Advisory Council, First Report, (Washington D.C.:
Executive Office of the President, 1963).

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


91

Keempat hak konsumen yang dikemukakan oleh Presiden

Kennedy tersebut kemudian oleh International Organization

of Consumer Union (IOCU) ditambah lagi dengan empat hak

lain, yaitu:133

1. Hak untuk mendapat ganti rugi (the right to redress)

2. Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen (the right to

consumer education)

3. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang bersih (the

right to a healthy environment)

4. Hak untuk mendapatkan kebutuhan pokok (the right to

satisfaction of basic need).

Kemudian kedelapan hak dasar tersebut dijadikan lan-

dasan bagi lembaga-lembaga konsumen, baik lembaga konsumen

swasta maupun lembaga konsumen pemerintah di seluruh dunia.

Demikian pula di Indonesia, UU Nomor 8 Tahun 1999 memuat

beberapa hak konsumen Indonesia yang bertolak dari hak-hak

dasar yang telah dirumuskan oleh IOCU di atas. Hak-hak yang

dimaksud dalam UU Nomor 8 Tahun 1999, yaitu:134

133
Commonwealth of Australia, Consumer Power, (Australia: 1993),
hal. 1-3.
134
Indonesia (b), op.cit, pasal 4.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


92

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta men-

dapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan

nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur

mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang

dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara

patut;

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan kon-

sumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan

jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang yang diterima tidak sesuai

dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan

lainnya.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


93

Disamping memuat hak konsumen tentu saja UU Nomor 8

Tahun 1999 mengatur mengenai kewajiban-kewajiban konsumen,

yaitu:135

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi

keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi barang dan/

atau jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlin-

dungan konsumen secara patut.

Dengan mekanisme perlindungan konsumen ini dimaksudkan

semua badan/organisasi yang secara langsung maupun tidak

langsung bergerak dalam perlindungan konsumen. Badan-

badan/organisasi tersebut dapat terdiri dari badan-badan

pemerintah maupun badan swasta yang khusus didirikan untuk

tujuan tersebut.

135
Ibid., pasal 5.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


94

I. Jaminan Penerapan Klausula Baku di dalam Ketentuan UU

Nomor 8 Tahun 1999

Dengan berlakunya UU Nomor 8 Tahun 1999, maka untuk

ketentuan pencantuman klausula baku telah dinyatakan

larangan untuk:136

“menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan


yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/
atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh
pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan
jasa yang dibelinya”.

Dengan kata lain, seperti telah disinggung di atas bahwa

semua klausula baku yang ada pada saat ini dan tidak sesuai

dengan ketentuan undang-undang batal demi hukum sejak

tanggal 20 April 2000137.

136
Ibid., pasal 18 butir G.
137
Ibid., pasal 18 ayat (3).

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


95

BAB IV

ANALISIS PERJANJIAN SECURE PARKING SEBAGAI PERJANJIAN SEWA

MENYEWA BERDASARKAN PERSPEKTIF KUH PERDATA DAN UU NOMOR 8

TAHUN 1999

A. Perbandingan Perjanjian Sewa Menyewa dengan Perjanjian

Penitipan Barang

1. Perjanjian Sewa Menyewa

1.1. Pengertian Sewa Menyewa

Sewa Menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak

yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak

yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu

waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh

pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayaran-

nya.138

138
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1548.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


96

Disebutkannya perkataan “waktu tertentu” dalam Pasal

1548 KUH Perdata menimbulkan pertanyaan apakah maksudnya

itu? Karena dalam perjanjian sewa menyewa sebenarnya tidak

perlu disebutkan untuk berapa lama barang disewanya,

asalkan sudah disetujui berapa harga sewanya untuk satu

jam, satu hari, satu bulan, atau satu tahun. Ada yang

menafsirkan bahwa maksudnya tidaklah lain daripada untuk

mengemukakan bahwa pembuat undang-undang memang memikirkan

pada perjanjian sewa menyewa dimana waktu sewa telah

ditentukan.139

Jadi, peraturan tentang sewa menyewa yang termuat

dalam Bab Ketujuh dari Buku III KUH Perdata berlaku untuk

segala macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang,

baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang memakai

waktu tertentu maupun tidak memakai waktu tertentu, oleh

karena “waktu tertentu” bukan syarat mutlak untuk

perjanjian sewa menyewa.

Sewa menyewa seperti juga jual beli dan perjanjian

lain pada umumnya adalah suatu perjanjian yang konsensual.

Artinya, ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya

139
Subekti (b), op. cit., hal. 40.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


97

sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan

harga.140 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan

barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan

kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga

sewa. Jadi, barang diserahkan tidak untuk dimiliki seperti

jual beli, tetapi hanya untuk dipakai dan dinikmati

kegunaannya.

Perjanjian sewa-menyewa tidak memberikan suatu hak

kebendaan. Ia hanya memberikan hak perseorangan terhadap

orang yang menyewakan barang itu. Karena hak sewa bukan

suatu hak kebendaan, maka jika si penyewa diganggu oleh

seorang pihak ketiga dalam melakukan haknya itu, ia tidak

dapat secara langsung menuntut orang yang mengganggu itu,

tetapi ia harus melakukan tuntutannya kepada orang yang

menyewakan.141

1.2. Tujuan Perjanjian Sewa Menyewa

Jika ditinjau dari cara penyerahan/peralihan barang

dari orang yang menyewakan kepada si penyewa, maka nampak

140
Subekti (b), Aneka Perjanjian, cet. ke-4, (Bandung: Alumni,
1981) , hal. 52.
141
Subekti (c), Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. ke-17, (Bandung:
Intermassa, 1983), hal. 164.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


98

bahwa tujuan dari perjanjian sewa menyewa antara lain

adalah:

a. Untuk memberikan hak pakai kepada si penyewa agar dapat

menikmati suatu barang selama jangka waktu tertentu

dengan pembayaran harga yang oleh pihak penyewa

disanggupi pembayarannya.

Selain memberikan hak pakai ada pula yang bertujuan

memberikan hak milik. Hal ini sering terjadi dalam

masyarakat, yaitu apabila disebut sewa beli, dimana

sewa beli ini pada mulanya hanya perjanjian sewa

menyewa biasa, tetapi setelah pembayaran lunas, maka si

penyewa berubah menjadi pembeli, yaitu berhak mutlak

memiliki barang tersebut. Jadi, di sini angsuran

sekaligus mempunyai dua fungsi:

(1) sebagai harga sewa;

(2) sebagai angsuran harga barang.

b. Untuk memberikan hak perorangan. Artinya, si penyewa

tidak dapat menuntut secara langsung jika dia diganggu

oleh pihak ketiga, tetapi ia harus mengajukan tuntutan

terhadap orang yang menyewakan atau pemilik.142

142
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1556.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


99

Dalam perjanjian sewa menyewa tidak boleh menyewakan

lagi barang yang disewa, kecuali jika telah diper-

janjikan dengan tegas dalam perjanjian sewa menyewa

sebelumnya. Akan tetapi, jika barang yang ditempatinya

sendiri oleh si penyewa, maka dapatlah dengan tanggung-

an sendiri untuk menyewakan sebagian dari rumah ter-

sebut kepada orang lain, kecuali jika hal ini dilarang

dalam perjanjian sebelumnya.143

1.3. Obyek Perjanjian Sewa Menyewa

Obyek perjanjian dapat diartikan sebagai hal yang

diperlakukan oleh para pihak berupa suatu hal yang penting

dalam tujuan yang dimaksudkan untuk membentuk suatu

perjanjian. Oleh karena itu, obyek dalam perhubungan hukum

perihal perjanjian ialah hal yang diwajibkan kepada pihak

berwajib (debitur) dan hal terhadap mana pihak berhak

(kreditur) mempunyai hak.144

Dalam hal perjanjian sewa menyewa ini, maka obyek dari

perjanjiannya adalah lebih terang wujudnya, yaitu benda

atau barang yang bersangkutan. Semua jenis barang, baik

143
Ibid., pasal 1559.
144
Wirjono Prodjodikoro (a), op. cit., hal. 20.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


100

barang bergerak maupun tidak bergerak dapat disewakan,

terutama semua jenis benda yang dapat menjadi obyek

perdagangan (in de handel).145 Ketentuan tersebut lazimnya

ditafsirkan sedemikian rupa, bahwa benda-benda yang diguna-

kan untuk kepentingan umum harus dianggap sebagai barang-

barang di luar perdagangan (buiten de handel).

Benda-benda yang tidak dapat menjadi obyek perjanjian

itu, misalnya barang-barang tidak bergerak milik negara

yang dimaksudkan dalam Pasal 521 dan 523 KUH Perdata, yaitu

jalan raya, sungai, pantai, pulau, pelabuhan, dan berbagai

bangunan yang diperlukan untuk pertahanan negara.146

Di lingkungan hukum adat, berhubung dengan cara

berpikir orang-orang Indonesia yang bersifat konkrit, arti-

nya yang selalu menunjuk pada hal yang dapat dilihat,

diraba, atau didengar adalah layak, bahwa yang dianggap

dapat disewa ialah hanya barang-barang bertubuh.147

Dengan demikian jelaslah bahwa obyek perjanjian sewa

menyewa adalah segala macam benda/barang, kecuali benda/

145
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1332.
146
Wirjono Prodjodikoro (a), op. cit., hal. 21.
147
Wirjono Prodjodikoro (b), Hukum Perdata Tentang Persetujuan-
persetujuan Tertentu, cet. ke-6, (Bandung: 1981), hal. 48

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


101

barang yang memang telah ditentukan oleh undang-undang

dilarang untuk dijadikan obyek perjanjian sewa menyewa,

maupun hal sepanjang tidak bertentangan dengan kesusilaan

dan ketertiban umum.

1.4. Hak dan Kewajiban Pihak Yang Menyewakan dan Pihak

Penyewa

Perjanjian sewa menyewa adalah perjanjian timbal-

balik, sehingga dengan sendirinya para pihak mempunyai hak

dan kewajiban yang harus ditaati, yaitu apa yang merupakan

hak bagi pihak yang satu merupakan kewajiban bagi pihak

yang lain, dan demikian sebaliknya.

Hak Pihak Yang Menyewakan:

a. Berhak menerima uang sewa yang harus dibayar oleh

penyewa pada waktu tertentu sesuai dengan perjanjian

sewa menyewa.

b. Sehubungan dengan pandbeslag, dimana pihak yang

menyewakan boleh memohon penyitaan terhadap perabot-

perabot penyewa sebagai jaminan karena tidak dibayarnya

uang sewa/tunggakan uang sewa.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


102

Kewajiban Pihak Yang Menyewakan:

a. Menyerahkan barang yang disewa, memelihara barang yang

disewa, dan memberikan si penyewa kenikmatan yang

tenteram dari benda yang disewakan.148

b. Menyerahkan benda yang disewakan dalam keadaan

terpelihara segala-galanya selama waktu sewa, melakukan

pembetulan pada benda yang disewakan, kecuali

pembetulan-pembetulan yang menjadi kewajiban si

penyewa.149

c. Menanggung si penyewa dari semua cacat benda yang di-

sewakan, yang merintangi pemakaian barang itu, meskipun

tidak diketahui pada saat dibuatnya perjanjian dan jika

cacat itu mengakibatkan suatu kerugian bagi si penyewa,

maka pihak yang menyewakan diwajibkan memberikan ganti

rugi.150

d. Apabila orang ketiga mengganggu pemakaian benda yang

disewakan dengan tidak berdasarkan atas suatu hak dari

seorang ketiga itu, maka pihak yang menyewakan tidak

148
Kitab Undang-undang Perdata, pasal 1550.
149
Ibid., pasal 1551.
150
Ibid., pasal 1552.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


103

bertanggung jawab kepada orang ketiga itu. Akan tetapi,

apabila orang ketiga itu mengganggu pemakaian barang

sewa berdasarkan atas suatu hak dari seorang ketiga

atas barang tersebut, maka hal ini merupakan kewajiban

yang menyewakan untuk menanggung kepada si penyewa

bahwa tidak ada hak seorang ketiga yang dapat meng-

akibatkan terganggunya pemakaian benda itu.151

Hak Penyewa:

a. Berhak atas penyerahan barang dalam keadaan ter-

pelihara, sehingga barang tersebut dapat dipakai atau

dipergunakan untuk keperluan yang diperlukan.

b. Berhak atas jaminan dari pihak yang menyewakan mengenai

perasaan tenteram dan damai selama perjanjian sewa

menyewa berlangsung.

Kewajiban Penyewa:

a. Penyewa wajib memelihara benda tersebut seolah-olah

sebagai bapak rumah tangga yang baik.152

Kewajiban tersebut baru muncul jika barangnya dipakai.

Pada umumnya penyewa leluasa untuk dalam hal tertentu

151
Ibid., pasal 1556.
152
Ibid., pasal 1560.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


104

tidak memakai barang yang disewa. Akan tetapi, jika

ternyata dalam suatu hal tertentu suatu barang akan

berkurang harga nilainya jika tidak dipakai, maka

teranglah dengan tidak memakai si penyewa merugikan

pihak yang menyewakan. Oleh karena itu, pasal tersebut

dapat diartikan, dalam hal ini ada kewajiban si penyewa

untuk memakai barang sewa.153

b. Harus membayar uang sewa pada waktu yang telah

disetujui.

c. Kewajiban yang lain dari penyewa adalah mengembalikan

barang atau benda yang telah disewa apabila perjanjian

sewa menyewa telah berakhir.

1.5. Perihal Resiko dalam Sewa Menyewa

Dalam sewa menyewa resiko mengenai barang yang

dipersewakan ditanggung oleh si pemilik barang, yaitu pihak

yang menyewakan.154 Pengaturan tentang resiko tersebut harus

kita artikan dengan diambil suatu kesimpulan. Jadi, apabila

barang yang disewa itu musnah karena suatu peristiwa yang

terjadi diluar kesalahan salah satu pihak, maka perjanjian

153
Wirjono Prodjodikoro (b), op.cit., hal. 56.
154
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1553.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


105

sewa menyewa gugur. Akan tetapi, apabila sebagian dari

benda tersebut yang musnah, maka terdapat dua pilihan

mengenai pembebanan resiko, yaitu pertama, penyewa dapat

meneruskan perjanjian sewa menyewa tanpa adanya tuntutan

ganti rugi atau kedua, penyewa dapat membatalkan perjanjian

sewa menyewa tersebut.155 Pemutusan sewa dalam hal ini tidak

perlu lagi diakhiri dengan surat lain.

1.6. Berakhirnya Sewa Menyewa

Jika kita melihat pengertian dari perjanjian sewa

menyewa, perjanjian tersebut tidak memindahkan hak milik

atas barang yang disewakan, tetapi hanya memberikan hak

pakai atas barang tersebut kepada penyewa, maka sudah

selayaknya perjanjian sewa menyewa tidak berlangsung terus

menerus, karena di kemudian hari pemakaian dan pemungutan

hasil dari barang itu akan kembali kepada yang menyewakan.

Dengan demikian, sewa menyewa berlangsung selama waktu

tertentu.156

Perjanjian sewa menyewa dapat berakhir dengan beberapa

macam cara, yaitu:

1. dengan sendirinya pada waktu tertentu;

155
Ibid., pasal 1570.
156
Ibid., pasal 1548.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


106

2. setelah dihentikan dengan memperhatikan suatu tenggang

tertentu;

3. berakhir dengan tidak ditentukan batas waktunya.

Berakhirnya sewa menyewa sesuai dengan batas waktu

tertentu dapat terjadi secara tertulis maupun secara lisan.

Dalam perjanjian sewa menyewa yang berakhirnya telah

ditentukan secara tertulis, sewa menyewa dengan sendirinya

berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan

para pihak.

Ad. 1. Perjanjian sewa menyewa berakhir dengan

sendirinya pada waktu tertentu

Hal tersebut hanya terjadi jika persetujuan sewa

menyewa dibentuk secara tertulis dan lagi jika dalam

tulisan itu disebutkan suatu waktu tertentu untuk akhirnya

persetujuan.157

Menurut Pasal 1573 KUH Perdata, jika setelah waktu itu

tiba si penyewa tetap memegang barang yang disewa dan

dibiarkan begitu saja oleh si pemilik barang, maka akan

timbul persewaan baru, menurut peraturan persewaan yang

dibuat secara lisan. Akan tetapi, pasal tersebut tidak

157
Ibid., pasal 1570.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


107

berlaku jika pemakaian terus oleh si penyewa dan hal

membiarkannya oleh si pemilik barang, hanya merupakan

persangkaan bahwa secara diam-diam dibentuk suatu persewaan

baru dan ternyata persangkaan itu tidak benar.

Jadi, tidaklah dibuat suatu persewaan baru, seperti

misalnya ternyata si pemilik tidak tahu menahu, bahwa si

penyewa tetap memakai barang yang disewa. Apalagi jika si

pemilik terang-terangan tidak mau memperpanjang persewaan

atau sengaja tidak mau menerima uang sewa yang dibayarkan

kepadanya.158

Ad. 2. Perjanjian sewa menyewa berakhir setelah

dihentikan dengan memperhatikan suatu tenggang waktu

tertentu

Hal ini berarti, apabila sewa menyewa berbentuk secara

lisan atau dengan tulisan yang tidak menetapkan waktu

tertentu bagi berakhirnya persewaan. Untuk sewa menyewa

secara lisan atau tulisan tetapi tidak ditetapkan waktu

tertentu, maka sewa menyewa selalu dapat dihentikan melalui

pemberitahuan oleh salah satu pihak kepada lain pihak,

158
Wirjono Prodjodikoro (b), op. cit., hal. 60.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


108

bahwa sewa menyewa dihentikan dengan memperhatikan suatu

tenggang yang lamanya tergantung dari adat kebiasaan.159

Ad. 3. Berakhir dengan tidak ditentukan batas

waktunya.

Apabila seseorang menyewakan barang tanpa menetapkan

suatu waktu tertentu, maka yang bersangkutan berhak untuk

menghentikan sewa setiap waktu, asalkan memberitahukan jauh

sebelumnya tentang pengakhiran sewa sesuai dengan kebiasaan

setempat.

Sebab-sebab lain yang menghentikan persetujuan sewa

menyewa adalah:

a. Jika barang yang disewa musnah sama sekali diluar

kesalahan salah satu pihak.160

b. Jika si penyewa dengan suka rela ingin membatalkan sewa

menyewa sebagai akibat dari barang yang disewakan

musnah sebagian. Dalam hal ini tidak ada hak menuntut

ganti rugi.161

c. Oleh karena adanya putusan hakim, yaitu jika salah satu

pihak menuntut pembatalan perjanjian sewa menyewa

159
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1571.
160
Ibid., pasal 1553 ayat (1).
161
Ibid., pasal 1553 ayat (2).

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


109

dengan alasan pihak lain yang telah melakukan

wanprestasi dan hakim mengabulkan tuntutan

pembatalannya.162

d. Berlakunya syarat batal.

Hal ini terjadi jika perjanjian sewa menyewa mengandung

syarat batal, misalnya dalam perjanjian dicantumkan

klausula bahwa perjanjian sewa menyewa akan berakhir

jika yang menyewakan telah kembali dari Milwaukee.

e. Jika si penyewa dengan suka rela mengembalikan barang

yang disewanya.

2. Perjanjian Penitipan Barang Menurut KUH Perdata

2.1. Pengertian dan Sifat Perjanjian Penitipan

Perjanjian penitipan barang adalah terjadi apabila

seseorang menerima barang dari orang lain dengan kewajiban

untuk menyimpan barang itu dan kemudian hari mengembalikan

barang itu dalam wujud aslinya (in natura).163 Dari definisi

tersebut dapat diketahui terdapat dua pihak, yaitu pihak

162
Ibid., pasal 1559 ditentukan bahwa: “si penyewa tidak
diizinkan atau dipebolehkan mengulangsewakan barang yang disewa maupun
melepaskan sewanya kepada orang lain. Bila di dalam perjanjiannya
dilarang untuk mengulangsewakan atau melepaskan sewanya, maka hal ini
diancam dengan pembatalan perjanjian sewa menyewa dan penggantian
biaya.”
163
Ibid., pasal 1694.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


110

pertama adalah pihak yang menitipkan barang dan pihak kedua

adalah pihak yang menerima barang titipan.

Dalam Pasal 1695 KUH Perdata dibedakan penitipan

menjadi dua jenis, yaitu:

a. Penitipan biasa atau penitipan sejati yang lahir dari

persetujuan, yang dari segi terjadinya dapat dibedakan

lagi, yaitu:

(1) penitipan karena kesukarelaan, yaitu terjadinya

penitipan didasarkan pada persetujuan timbal balik

antara yang menitipkan dengan pihak yang menerima

titipan.164

(2) Penitipan karena dalam keadaan darurat, penitipan

karena terpaksa dilakukan yang disebabkan

terjadinya suatu peristiwa malapetaka, seperti

gempa bumi, kebanjiran, kebakaran, dan sebagai-

nya.165

b. Sekretasi atau penitipan karena perintah hakim dan

bukan karena persetujuan.

Namun, pada BAB IV ini, yang akan dibahas hanyalah

jenis penitipan pada huruf a, yaitu penitipan biasa yang

164
Ibid., pasal 1696.
165
Ibid., pasal 1073.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


111

akan dibandingkan dengan bentuk perjanjian sewa menyewa,

sehingga menjadi jelas perbedaan antara keduanya dan

manakah di antara kedua bentuk perjanjian tersebut yang

lebih tepat dalam hal penggunaan jasa area parkir.

Penitipan barang sejati dianggap terjadi dengan

percuma (om niet) jika tidak diperjanjikan sebaliknya dan

perjanjian ini hanyalah mengenai barang bergerak saja.166

Adanya kata-kata “percuma” ini dilihat dari sejarah

penitipan barang adalah suatu pertolongan dari seseorang

kepada kawan, maka dari itu dalam hukum Romawi hal yang

dinamakan penitipan barang selalu percuma.167 Code Civil

dari Perancis menamakan penitipan barang ini un contract

essentiellement gratuit (persetujuan yang pada pokoknya

bersifat percuma). Namun, KUH Perdata kita melemahkan sifat

percuma ini dengan menyatakan ada kemungkinan pembayaran

upah, tetapi bila tidak diperjanjikan dianggap kedua belah

pihak sepakat akan sifat percuma dari penitipan barang.168

Perjanjian pada dasarnya sah apabila yang membuat

perjanjian adalah orang-orang yang memenuhi Pasal 1320 KUH

166
Ibid., pasal 1696.
167
Wirjono Prodjodikoro (b), op. cit., hal. 124.
168
Ibid.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


112

Perdata, yaitu yang cakap melakukan perjanjian menurut

hukum. Namun, di dalam perjanjian penitipan barang bila ada

seseorang yang cakap melakukan perjanjian menurut hukum

menerima suatu pentipan barang dari orang yang tidak cakap,

maka si penerima barang harus tetap melaksanakan semua

kewajiban yang berlaku dalam suatu perjanjian penitipan

yang sah dan sebaliknya bila seorang yang cakap menitipkan

barangnya pada orang yang tidak cakap, maka ia menanggung

semua resiko kalau barang tersebut hilang.

2.2. Tujuan Perjanjian Penitipan Barang

Penitipan pada hakikatnya tergantung pada maksud kedua

belah pihak pada waktu mengadakan perjanjian, tetapi pada

prinsipnya tujuan penitipan barang adalah tidak lain dari

penyimpanan barang itu sendiri dan pengembalian barang

tersebut dalam wujud semula (in natura). Pada penitipan

barang ini bisa saja dibarengi dengan pemakaian asal dalam

perjanjian dinyatakan dengan tegas, bila tidak diper-

janjikan demikian, maka si penerima titipan diwajibkan

untuk membayar biaya, rugi, dan bunga bila si penerima

titipan menggunakan/memakai barang titipan.169 Penerima

169
KItab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1712.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


113

titipan juga dilarang untuk memeriksa bila barang tersebut

dalam keadaan disegel atau di dalam peti tertutup.170 Pada

perjanjian penitipan barang ini sudah sepantasnya dibayar

oleh penitip barang kepada penerima penitipan apabila

dibarengi dengan pemeliharaan, sedangkan kemunduran-

kemunduran yang dialami barang titipan diluar kesalahan

penerima titipan menjadi tanggung jawab si penitip.

2.3. Saat Lahirnya Perjanjian Penitipan

Sahnya suatu perjanjian pada umumnya adalah pada saat

tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari

perjanjian tersebut yang kita kenal dengan asas konsen-

sualitas. Pada perjanjian penitipan barang sifat konsen-

sualitas belum dapat mengikat para pihak yang mengadakan

perjanjian.

Perjanjian penitipan barang bersifat riil yang berarti

persetujuan baru terjadi dengan dilakukannya suatu

perbuatan nyata, yaitu pada saat barang yang dititipkan

diserahkan. Dengan demikian, selama barang yang dititipkan

belum diserahkan, maka perjanjian dianggap belum lahir.

170
Ibid., pasal 1713.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


114

Sifat riil perjanjian penitipan barang berlainan dari

sifat perjanjian pada umumnya, yaitu bersifat konsensual

digambarkan dalam ketentuan Pasal 1697 KUH Perdata yang

berbunyi: “Perjanjian tersebut tidaklah telah terlaksana

selain dengan penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh

atau secara dipersangkakan”.171 Dari tindakan penyerahan dan

penerimaan ini timbullah hak dan kewajiban pada pihak-pihak

yang mengadakan perjanjian penitipan ini.

Akibat dari sifat riil persetujuan penitipan barang

ialah bahwa apabila penyerahan barang belum terjadi, maka

tidak ada persetujuan penitipan barang, melainkan perse-

tujuan lain, yang bertujuan untuk mengadakan persetujuan

penitipan barang dan hanya tertarik pada peraturan umum

bagi persetujuan pada umumnya di bagian permulaan dari Buku

III KUH Perdata.172 Bentuk dari perjanjian penitipan barang

ini tidak ditentukan apakah harus secara tertulis atau

tidak. Oleh karena itu, bentuk perjanjian ini bisa juga

secara lisan asal memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata dan

dibarengi dengan penyerahan barang titipan. Dengan lahirnya

perjanjian penitipan ini, maka akan timbul hak dan

171
Subekti (b), op. cit., hal. 108.
172
Wirjono Prodjodikoro (b), op. cit., hal. 123.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


115

kewajiban antara pihak-pihak yang membuat perjanjian

penitipan tersebut.

2.4. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Subyek hukum dalam perjanjian penitipan barang adalah

para pihak yang membuat perjanjian penitipan tersebut. Dari

hal tersebut para pihak mempunyai hak dan kewajiban yang

mana hak dari pihak yang menitipkan merupakan kewajiban

bagi pihak yang menerima barang titipan, begitu pula

sebaliknya.

Adapun kewajiban pihak penerima titipan, yaitu:

a. Penerima titipan wajib menyimpan dan memelihara barang

yang dititipkan. Luas kewajiban memelihara ini ter-

gantung dari:173

(1) isi persetujuan yang mereka janjikan;

(2) maksud dan sifat kontrak itu sendiri.

b. Penerima titipan barang dilarang menggunakan atau

memakai barang titipan tanpa seizin pihak yang

menitipkan.174

173
Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni,
1986), hal. 383.
174
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1712.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


116

c. Penerima titipan tidak boleh memeriksa isi barang

titipan jika barang itu tersimpan dalam peti yang

terkunci atau dalam bungkusan yang disegel.175

d. Penerima titipan diwajibkan mengembalikan barang

titipan dalam wujud semula.176

e. Penerima barang tidak boleh mengembalikan barang kepada

orang lain, melainkan hanya kepada penitip atau orang

yang telah dikuasakan oleh penitip untuk menerima

barang titipan.177

f. Penerima titipan dilarang meminta pembuktian atas

barang yang dititipkan, apakah barang tersebut milik

penitip atau bukan.178

Semua kewajiban pihak penerima titipan adalah

merupakan hak bagi penitip dan kewajiban pihak penitip

merupakan hak bagi pihak penerima titipan. Kewajiban pihak

penitip dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1696 dan 1728

KUH Perdata.

175
Ibid, pasal 1713.
176
Ibid, pasal 1714. dan pasal 1715.
177
Ibid, pasal 1719.
178
Ibid, pasal 1720.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


117

Penitipan barang menurut Pasal 1696 KUH Perdata

adalah:

Penitipan barang yang sejati dianggap dibuat


dengan cuma-cuma, jika tidak diperjanjiakn se-
baliknya, sedangkan ia hanya dapat mengenai
barang-barang yang bergerak,

sedangkan ketentuan Pasal 1728 KUH Perdata berbunyi:

Orang yang menitipkan barang diwajibkan mengganti


kepada si penerima titipan segala biaya yang
telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang yang
dititipkan, serta mengganti kepadanya semua
kerugian yang disebabkan karena penitipan itu.

Jadi, kewajiban pihak penitip barang itu dapat

diringkaskan sebagai berikut:

a. pihak penitip wajib membayar biaya kepada yang menerima

titipan sepanjang mengenai biaya penitipan itu

ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak.179

b. pihak penitip wajib membayar segala ongkos dan kerugian

yang dialami pihak penerima titipan akibat pemeliharaan

barang.180

179
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1728.
180
Ibid.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


118

c. bila semua yang harus dibayar tersebut belum dilunasi

oleh si penitip barang, maka pihak penerima titipan

berhak untuk menahan barang titipan sampai dilunasi.181

2.5. Resiko dalam Perjanjian Penitipan

Resiko dalam perjanjian penitipan mengenai barang yang

dititipkan itu menurut Pasal 1708 KUH Perdata182 ditanggung

oleh pihak pemilik barang atau pihak yang menitipkan

barang. Dalam isi pasal tersebut disebutkan “peristiwa yang

tidak dapat disingkiri”, dimana dalam bahasa hukum lazimnya

dinamakan keadaan memaksa yang dalam bahasa Belanda adalah

overmacht atau force majeur.183 Resiko kemusnahan barang

karena suatu keadaan memaksa itu memang pada dasarnya harus

ditanggung oleh si pemilik barang. Namun, bila si penerima

titipan telah lalai mengembalikan barang sesuai dengan

waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian, maka menurut

asas umum hukum perjanjian ia mengalihkan tanggung jawab

181
Ibid., pasal 1729.
182
Ketentuan Pasal 1708 KUH Perdata berbunyi: “Tidak sekali-kali
si penerima titipan bertanggung jawab tentang peristiwa-peristiwa yang
tidak dapat disingkiri, kecuali apabila ia lalai dalam pengembalian
barang yang ditipkan. Bahkan dalam hal yang terakhir ini ia tidak
bertanggung jawab jika barangnya juga akan musnah seandainya telah
berada di tangan orang yang menitipkan.”

183
Keadaan memaksa ini adalah suatu kejadian yang tidak sengaja
dan tidak dapat diduga.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


119

tentang kemusnahan barangnya jika terjadi sesuatu. Tanggung

jawab ini hanya dapat dilepaskan jika pihak penerima

titipan dapat membuktikan bahwa barangnya juga musnah

seandainya sudah diserahkan kepada orang yang menitipkan,

misalnya barang itu mengandung cacat yang pasti juga akan

menyebabkan kemusnahan biarpun barang tersebut berada di

tangan orang yang menitipkan.184

Jika terdapat suatu keadaan memaksa, misalnya

kebakaran, gempa bumi, atau pencurian, sehingga barang

tidak dapat dikembalikan dan dalam hal ini si penerima

titipan mendapat ganti rugi berupa barang atau pengantian

harga (asuransi), maka pihak penerima titipan wajib

menyerahkan penggantian itu kepada pihak penitip barang.185

2.6. Berakhirnya Perjanjian Penitipan

Mengenai berakhirnya perjanjian penitipan ini kita

kembali pada ketentuan Pasal 1694 KUH Perdata, bahwa tujuan

dari penitipan adalah menerima suatu barang untuk disimpan

dan kemudian dikembalikan seperti wujud asalnya, maka

apabila barang yang dititipkan itu telah dikembailkan

184
Subekti (b), op. cit., hal. 110.
185
Ibid., pasal 1716.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


120

seperti wujud asalnya kepada pihak penitip, maka ber-

akhirlah perjanjian penitipan barang tersebut.

Lamanya waktu penyimpanan dapat dituangkan dalam

bantuk perjanjian tertulis atau bisa saja jangka waktu itu

ditentukan secara lisan. Undang-undang tidak menentukan

lamanya suatu perjanjian penitipan, tetapi diserahkan

kepada para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri.

Dengan demikian, bila suatu perjanjian penitipan disertai

dengan penetapan suatu jangka waktu tertentu, maka per-

janjian itu berakhir bila jangka waktu yang ditetapkan

berakhir.

Bila jangka waktu dalam perjanjian penitipan itu tidak

ditetapkan, hal ini dapat dilihat dari kebiasaan setempat

bagaimana peraturan mengenai penitipan barang yang semacam

itu mengingat menurut asas umum perjanjian bahwa perjanjian

tidak hanya mnangikat untuk hal-hal yang dengan tegas

dinyatakan, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut

sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan,

atau undang-undang.186 Bila waktu penitipan tidak ditentu-

kan, perjanjian penitipan dianggap telah berakhir apabila

186
Ibid., pasal 1339.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


121

menurut keadaan atau kebiasaan penitipan semacam itu telah

berakhir walaupun dalam batasan mengenai penitipan dalam

Pasal 1694 KUH Perdata tidak disebutkan lamanya suatu

penyimpanan. Itulah yang menjadi dasar bagi para pihak

sebagai suatu waktu yang disepakati dalam perjanjian

penitipan.

Selanjutnya bisa saja sebelum waktu perjanjian

penitipan yang ditentukan berakhir pihak penitip barang

mengambil barang yang dititipkannya. Dengan demikian,

perjanjian dianggap telah berakhir karena tujuan penitipan

adalah menerima barang dan dikembalikan seperti wujud

semula (in natura). Otomatis dengan diambilnya kembali

barang yang dititipkan oleh penitip, maka tujuan dari

penitipan itu telah tercapai dan berakhirlah perjanjian

tersebut.

Pihak penerima titipan pun dapat mengakhiri perjanjian

sebelum waktu yang diperjanjikan berakhir, tetapi harus

dengan alasan-alasan yang sah187. Dalam hal permintaan untuk

mengembalikan barang titipan ditolak oleh pihak penitip,

maka pihak penerima titipan dapat meminta kepada hakim

187
Alasan-alasan sah yang dimaksud, antara lain apabila pihak
penerima barang merasa tidak mampu atau merasa terbebani dengan
pemeliharaan barang yang dititipkan.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


122

untuk diizinkan menitipkan barang tersebut di tempat lain,

misalnya di Kantor Balai Harta Peninggalan atau Kepanitera-

an Pengadilan Negeri.188

Jadi, perbedaan antara pihak penitip dengan yang

menerima titipan adalah penitip dapat setiap saat meng-

akhiri perjanjian, sedangkan pihak penerima titipan harus

mempunyai alasan yang sah jika ia ingin mengakhiri per-

janjian penitipan sebelum waktu yang ditentukan berakhir.

Segala kewajiban si penerima titipan berhenti jika ia

mengetahui dan dapat membuktikan bahwa dia sendirilah

pemilik barang yang dititipkan itu.189 Dalam hal yang

demikian, maka perjanjian penitipan hapus dengan sendiri-

nya, karena ternyata pihak penerima titipan menguasai

barang miliknya sendirinya.190

Dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat dibuat sebuah

tabel untuk memperjelas perbedaan antara perjanjian sewa

menyewa dengan perjanjian penitipan barang, sebagai

berikut.

188
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1726.
189
Ibid., pasal 1727.
190
Subekti (b), op. cit.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


123

Tabel I: Perbandingan antara Perjanjian Sewa Menyewa dengan

Perjanjian Penitipan Barang

SEWA MENYEWA PENITIPAN BARANG


Subyek Tertentu Tidak tertentu
Obyek Barang bergerak atau Barang bergerak
barang tidak bergerak
Tujuan Memberikan hak pakai Penyimpanan barang itu
dan hak perorangan sendiri dan pengemba-
lian barang tersebut
dalam wujud semula
Hak dan Ke- Hak Yang Menyewakan: Hak Penerima Titipan:
wajiban a. berhak menerima a. menerima biaya pe-
uang sewa nitipan barang
b. berhak menahan ba- b. menerima ongkos pe-
rang penyewa jika meliharaan barang
uang sewa tidak di- c. menahan barang jika
bayar biaya/ongkos belum
dibayar

Kewajiban Yang Menye- Kewajiban Penerima Ti-


wakan: tipan:
a. menyediakan tempat a. menyimpan dan meme-
sewa dan menjamin lihara barang ti-
kenyamanan pihak tipan
penyewa b. tidak menggunakan
b. tempat sewa ter- barang titipan tan-
sebut harus ter- pa seizin pemilik
jamin keberadaannya c. tidak boleh meme-
c. menjamin tidak ada riksa isi barang
gangguan dari pihak yang dalam keadaan
ketiga terkunci
d. mengembalikan ba-
rang dalam keadaan
semula
e. harus mengembalikan
barang kepada pe-
nitip, tidak kepada
orang lain, kecuali
ada kuasa

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


124

f. tidak boleh meminta


pembuktian kepemi-
likan barang terse-
but kepada penitip

Kewajiban Penyewa: Kewajiban Penitip:


a. menjaga dan meme- a. membayar biaya pe-
lihara barang yang nitipan
disewa b. membayar ongkos pe-
b. membayar uang sewa meliharaan barang
c. mengembalikan ba-
rang yang disewa
jika sudah selesai

Hak Penyewa: Hak Penitip Barang:


a. berhak memperoleh a. barang titipan agar
barang yang dise- disimpan dan dipe-
wakan lihara
b. berhak memperoleh b. barang titipan agar
kenyamanan selama tidak dipakai oleh
menyewa barang ter- penitip
sebut c. barang titipan agar
tidak diperiksa pi-
hak penitip jika
dalam keadaan ter-
kunci
d. menerima barang da-
lam keadaan semula
e. barang titipan agar
langsung dikembali-
kan ke penitip, ke-
cuali jika ia mem-
beri kuasa kepada
orang lain
f. tidak diminta pem-
buktian apakah ba-
rang titipan itu
miliknya atau bukan

Resiko Resiko mengenai barang Resiko ditanggung oleh


yang dipersewakan di- pihak penerima titip-
tanggung oleh si pe- an, kecuali jika ia
milik barang, yaitu dapat membuktikan

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


125

pihak yang menyewakan resiko tersebut dise-


babkan oleh faktor di
luar kuasanya.

Pada pengelolaan area parkir, pihak kedua, yaitu

konsumen sebagai pihak yang akan menitipkan kendaraan

datang tanpa diketahui atau dapat ditentukan oleh pengelola

parkir yang bersangkutan, bukannya sudah ditentukan untuk

menempati area parkir yang telah disediakan. Hal ini sesuai

dengan karakteristik perjanjian penitipan barang, dimana

pihak yang hendak menitipkan barang datang tanpa dapat

diduga sebelumnya oleh pihak penerima titipan, tidak

seperti perjanjian sewa menyewa yang para pihaknya telah

sepakat untuk mengadakan perjanjian yang bersangkutan

terhadap suatu obyek yang telah ditentukan juga.

Mengenai hak perorangan pada tujuan perjanjian sewa

menyewa, jika terjadi suatu kerusakan atau kehilangan yang

dilakukan oleh pihak ketiga, maka pemilik kendaraan tidak

dapat langsung menuntut, melainkan harus menuntut pihak

pengelola parkir. Hal ini berdasarkan karakteristik sewa

menyewa. Akan tetapi, pada sistem “sewa menyewa” area

parkir, dinyatakan dalam klausulanya bahwa pengelola parkir

tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


126

Peristiwa kerusakan atau kehilangan tersebut seharusnya

disesuaikan dengan karakteristik penitipan barang, dimana

pihak pengelola parkir harus mengembalikan kendaraan dalam

keadaan semula, sehingga jika terjadi kerusakan atau kehi-

langan, maka pengelola parkir wajib menggantinya, kecuali

karena adanya daya paksa.

Mengenai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengelola

parkir jika ingin menerapkan bentuk perjanjian sewa menyewa

dalam perjanjian secure parking adalah seperti tersebut di

atas. Akan tetapi, yang dilakukan oleh pengelola parkir

dalam klausulanya adalah menyebutkan bahwa ia tidak

menjamin tersedianya tempat parkir bagi pengunjung yang

hendak memarkirkan kendaraannya di area parkir tersebut.

Selain itu, tempat tersebut harus dijamin ketersediaannya

bagi pemilik kendaraan selama suatu jangka waktu tertentu,

dimana jika pemilik kendaraan hendak ada keperluan ke luar

tempat parkir untuk sementara waktu dan kemudian bermaksud

kembali lagi, maka seharusnya berdasarkan ketentuan sewa

menyewa pengelola parkir harus menjaga tempat tersebut dan

mencegah pemilik kendaraan lain untuk memerkirkan kendara-

annya di situ hingga pemilik kendaraan yang ke luar ter-

sebut kembali lagi.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


127

Berdasarkan ketentuan yang ada, dalam hal sewa menyewa

pun jika terjadi suatu kehilangan barang maka yang ber-

tanggung jawab adalah pihak yang menyewakan. Dalam hal

perparkiran, jika pengelola parkir mendalihkan perjanjian

secure parking sebagai sewa menyewa, maka ia sendiri yang

harus mengganti kerugian jika terjadi sesuatu hal pada

kendaraan. Hal ini dikarenakan penguasaan area parkir itu

masih berada di pihak pengelola parkir. Pemilik kendaraan

hanya datang untuk perkir dan mengikuti aturan-aturan yang

ada, misalnya harus perkir menyerong, tidak boleh melewati

garis kuning, dan sebagainya. Dengan kata lain, pemilik

kendaraan tidak leluasa untuk memarkirkan kendaraan mereka.

Oleh karena penguasaan masih ada di tangan pihak pengelola

parkir, maka segala akibat seharusnya ditanggung oleh pihak

yang memegang kekuasaan tersebut, yaitu pengelola parkir.

Berbeda dengan sewa menyewa rumah, dimana yang menguasai

isi rumah tersebut adalah penyewa, sehingga jika terjadi

kerusakan atau kehilangan yang menanggung adalah penyewa

itu sendiri. Ia tidak dapat menuntut pemilik rumah (pihak

yang menyewakan) untuk memebri ganti kerugian. Misalnya,

jika terjadi pencurian, maka penyewa tidak dapat menuntut

pemilik rumah untuk mengganti barang yang hilang tersebut,

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


128

melainkan ia langsung menuntut si pencuri itu, atau dapat

dilakukan dengan cara melakukan kejadian tersebut kepada

pihak yang berwajib(polisi) dan diproses sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

Apabila masalah tanggung jawab kerusakan atau

kehilangan disesuiakan dengan perjanjian penitipan barang,

maka pihak pengelola parkir sudah jelas harus mengganti

kerugian jika terjadi sesuatu terhadap kendaraan yang

dititipkan. Ia bisa terhindar dari tanggung jawab itu hanya

jika ia dapat membuktikan bahwa insiden yang terjadi pada

kendaraan yang dimaksud adalah diluar kesalahannya atau

dengan kata lain karena adanya faktor daya paksa sesuai

dengan tujuan dari penitipan barang itu sendiri.

Berdasarkan perbandingan unsur-unsur antara kedua

perjanjian tersebut, yaitu perjanjian sewa menyewa dan

perjanjian penitipan barang, maka dapat kita lihat bahwa

sesungguhnya karakteristik yang paling mendekati dengan

praktek pengelolaan area parkir adalah perjanjian penitipan

barang. Adapun jika pengelola parkir tetap bersikeras untuk

menerapkan perjanjian sewa menyewa pada pengelolaan area

parkir, maka yang harus diperhatikan adalah klausula secure

parking yang dibuat harus diubah mengikuti karakteristik

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


129

pejanjian sewa menyewa berdasarkan ketentuan dalam per-

aturan perundang-undangan yang ada.

Hal tersebut dilakukan agar tidak terdapatnya suatu

penyimpangan hukum yang sudah dilakukan oleh pengelola

parkir sebelumnya. Dengan diterapkannya klausula secure

parking yang menyesuaikan karakteristik perjanjian sewa

menyewa, maka dapat mencegah pula terjadinya pengalihan

tanggung jawab berupa klausula eksonerasi seperti yang

dilarang oleh UU Nomor 8 Tahun 1999.

B. Analisis Klausula Secure Parking

Pada prakteknya, karcis-karcis parkir yang dibuat oleh

pengelola parkir termuat pernyataan bahwa bentuk perjanjian

secure parking yang mereka terapkan berdasarkan ketentuan

perjanjian sewa menyewa. Dalam hal ini, diberikan contoh 3

(tiga) klausula karcis parkir untuk dianalisis berdasarkan

karakteristik unsur-unsurnya.

KLAUSULA KARCIS PARKIR RATU PLAZA LAMA

1. Hourly parking fee is payable for each hour or part


thereof when leaving.
2. In the event this ticket is lost, please report to
security. Fee payable for lost ticket will be 10x
bounty fee. STNK must be shown as evidence.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


130

3. Vehicle owner is fully responsible or at any


damages/loss of vehicle, equipment and any other items
kept in the vehicle parked in the parking area.
4. Please return this ticket when leaving parking area. Do
not leave this ticket in your vehicle.

KLAUSULA KARCIS PARKIR RATU PLAZA BARU DAN MALL DEPOK

1. Tarif parkir yang berlaku saat ini tercantum pada rambu


tarif.
2. Karcis tanda parkir ini merupakan bukti pemilik
kendaraan menyewa lahan parkir di area parkir yang
disediakan. Jika karcis tanda parkir ini hilang, maka
pemilik kendaraan wajib memperlihatkan STNK dan/atau
Surat Keterangan resmi lainnya sebagai bukti pemilik
kendaraan telah menyewa lahan parkir, dan pemilik
kendaraan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp
10.000 (untuk motor) dan Rp. 20.000 (untuk mobil).
3. Tidak meninggalkan barang-barang berharga dan karcis
tanda parkir dalam kendaraan Anda.
4. Asuransi kendaraan dan barang-barang didalamnya serta
semua resiko atas segala kerusakan dan kehilangan atas
kendaraan yang diparkirkan dan barang-barang didalamnya
merupakan kewajiban pemilik kendaraan itu sendiri.

KLAUSULA KARCIS PARKIR RUMAH SAKIT METROPOLITAN MEDICAL


CENTER (RS MMC)
1. Tidak dijamin ada tempat parkir
2. Tiket dan STNK jangan ditinggal di mobil
3. Kerusakan dan kehilangan diluar tanggung jawab kami

Berdasarkan ketiga klausula karcis parkir di atas,

akan dibahas sekaligus berdasarkan karakteristik dan

ketentuan-ketentuan sesuai perspektif KUH Perdata dan UU

Nomor 8 Tahun 1999. Hal tersebut dilakukan untuk tujuan

memperbandingkan dan kemudian menentukan jenis perjanjian

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


131

apakah yang seharusnya diterapkan pada secure parking, sewa

menyewa ataukah penitipan barang?

1. Ketentuan Perjanjian Secure Parking Berdasarkan Pasal

1320 KUH Perdata

Berdasarkan syarat sah perjanjian yang tercantum dalam

Pasal 1320 KUH Perdata, perjanjian secure parking ini akan

ditelaah lebih lanjut. Adapun uraiannya adalah sebagai

berikut.

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Dalam hal ini, dari sudut pandang pemilik kendaraan,

mereka merasa sangat terpaksa untuk menerima klausula

secure parking yang dimaksud. Mereka mau tidak mau

memangg harus memarkirkan kendaraan di tempat parkir

dimana mereka hendak berkunjung ke tempat yang menjadi

tujuan mereka, sehingga walaupun dengan berat hati,

mereka tetap menerimanya. Akan tetapi, jika dipandang

dari sudut pengelola parkir, pemilik kendaraan yang

datang dianggap menerima dan menyetujui isi klausula

tersebut secara diam-diam. Oleh karena itu, menurut

mereka, syarat kesepakatan dianggap telah terpenuhi.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


132

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Berdasarkan salah satu karakteristik klausula baku

adalah bahwa klausula yang demikian ini dibuat dalam

jumlah banyak yang dibakukan dan ditujukan kepada siapa

saja (konsumen secara umum). Dengan demikian, bisa

terjadi kemungkinan bahwa konsumen yang memarkirkan

kendaraannya merupakan subyek hukum yang belum mencapai

usia dewasa menurut undang-undang. Dengan demikian,

syarat subyektif ini tidak terpenuhi dan dapat diminta

pembatalannya jika terjadi sengketa.

c. Suatu hal tertentu

Berdasarkan isi klasula yang menyatakan “Tidak dijamin

ada tempat parkir” mencerminkan adanya ketidakpastian

dalam hal yang menjadi obyek perjanjian itu sendiri,

yaitu lahan parkir. Hal tersebut mengakibatkan syarat

ini menjadi tidak tertentu dan tidak terpenuhi. Oleh

karena itu, jika pemilik kendaraan tidak mendapatkan

tempat parkir dan keluar lagi, mereka seharusnya tidak

perlu membayar ongkos, karena syarat ini tidak

terpenuhi dan perjanjiannya batal demi hukum.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


133

d. Suatu sebab yang halal

Syarat ini dapat dikatakan merupakan syarat yang paling

dapat dipenuhi, baik itu dipandang dari sisi pengelola

parkir maupun dari sisi pemilik kendaraan. Hal ini

dikarenakan, suatu sebab dianggap halal apabila tidak

bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan

kesusilaan. Penulis beranggapan bahwa usaha menyediakan

lahan perparkiran tidak bertentangan dengan hal-hal

demikian.

2. Mengenai Tersedianya Lahan Parkir yang Menjadi Obyek

Perjanjian

Pada klausula nomor 1 karcis parkir RS MMC, dinyatakan

bahwa pihak pengelola parkir yang bersangkutan tidak

menjamin ketersediaan tempat bagi para pengunjung yang

datang untuk memarkirkan kendaraannya. Hal ini sangat tidak

sesuai dengan karakteristik sewa menyewa, dimana seharusnya

telah disepakati dahulu mengenai obyek barang yang disewa-

kan, yang dalam hal ini adalah tempat parkir.

Menurut ketentuan sewa menyewa, kalaupun tempat parkir

yang dimaksud tersedia, tetapi perlu diperhatikan bahwa

jika ingin disebut sewa parkir, maka pada suatu kendaraan

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


134

yang telah menempati suatu tempat parkir, maka harus ada

jaminan bahwa tempat tersebut tidak boleh diganggu atau

ditempati oleh kendaraan lain dalam suatu jangka waktu yang

telah disepakati. Akan tetapi, dalam hal ini, jika suatu

kendaraan telah meninggalkan tempat parkir tersebut

walaupun untuk sementara dan untuk kemudian kembali lagi,

dianggap yang bersangkutan sudah tidak mempunyai hak untuk

menempati tempat yang tadi baru saja ditinggalkannya. Jika

ingin mendapatkan hak itu lagi, maka harus masuk dari pintu

parkir, mengambil tanda/karcis parkir lagi, dan belum tentu

mendapatkan tempat, serta tidak ada jaminan bahwa yang

bersangkutan akan mendapatkan kembali tempat yang sama

seperti sebelumnya. Hal ini tidak sesuai dengan ketetantuan

sewa menyewa yang diatur dalam KUH Perdata.

3. Mengenai Subyek Hukum yang Melakukan Perjanjian

Para pihak yang melakukan sewa menyewa sudah pasti

pelakunya. Tidak didasarkan pada siapa saja orang yang

datang langsung mendadak dilakukan suatu perjanjian

tersebut. Seperti pada secure parking ini, para pihaknya

tidak tentu, dimana pihak pertama memang sudah jelas, yaitu

pengelola parkir itu sendiri, sedangkan pihak keduanya,

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


135

yaitu orang yang hendak parkir tidaklah menentu. Suatu saat

dapat terjadi berganti-ganti pihak tergantung keperluan

para pengunjung yang bersangkutan terhadap tempat yang

dituju.

4. Mengenai Klausula Pengalihan Tanggung Jawab

Pada klausula yang menyatakan bahwa segala macam

kehilangan dan kerusakan barang atau kendaraan yang

diparkir tidak menjadi tanggung jawab pihak pengelola

parkir, melainkan tetap menjadi resiko pemilik kendaraan

itu sendiri. Klausula tersebut tampak semena-mena dipandang

dari sudut kepentingan konsumen sebagai pemilik kendaraan

yang menggunakan jasa area parkir. Pada klausula yang

dibahas sebelumnya, dinyatakan tidak ada bahwa jaminan

pemilik kendaraan akan mendapatkan tempat untuk parkir,

sedangkan pada klausula yang sedang dibahas ini, semua

tanggung jawab dialihkan kepada pemilik kendaraan.

Klausula-klausula tersebut jelas sangat tidak bertanggung

jawab dan sangat menguntungkan pihak pengelola parkir saja.

Maksud dibuat klausula tersebut adalah untuk mencegah pihak

konsumen merugikan pihak pengelola parkir. Dalam hal ini

tidak adanya keseimbangan hak dan kewajiban antara

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


136

pengelola parkir dan pemilik kendaraan. Seharusnya, jika

ingin menetapkan jenis perjanjian pada usaha perparkiran

sebagai sewa menyewa, maka harus diperhatikan unsur-

unsurnya dimana salah satunya adalah mengenai tersedianya

tempat dan hak untuk menempati area parkir dengan jaminan

tidak akan diserobot oleh pemilik kendaraan lain jika

pemilik kendaraan sebelumnya sedang tidak ada seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya.

Kemudian hal yang tidak bertanggung jawab lainnya

ditunjukkan oleh kalimat yang menyatakan bahwa jika karcis

parkir hilang maka akan dikenakan denda. Sebelumnya telah

dinyatakan tidak ada jaminan tersedianya tempat, tetapi

jika karcisnya hilang, maka pemilik kendaraan yang

bersangkutan akan dikenakan denda sebagai hukuman atas

kelalaiannya. Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999, klausula

semacam itu adalah batal demi hukum dan konsumen dapat

melakukan pengaduan pada BPSK.191

Jika dipandang secara umum, maka perjanjian secure

parking ini tidak termasuk perjanjian sewa menyewa ataupun

penitipan barang, karena terdapatnya klausula yang ber-

191
Indonesia (b), op. cit., pasal 18 ayat (3) jo pasal 45.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


137

isikan pengalihan tanggung jawab. Oleh karena itu,

pengelola parkir harus meniadakan klausula yang demikian

dan memilih salah satu perjanjian yang tepat dengan

menyesuaikan karakteristik dan segala konsekuensinya

terhadap perjanjian yang mereka terapkan.

Dari uraian singkat di atas penulis dapat memberikan

kesimpulan bahwa karakteristik klausula karcis parkir dan

juga sistem pengelolaan area parkir lebih mirip pada

perjanjian penitipan barang ketimbang perjanjian sewa

menyewa. Oleh karena itu, segala bentuk akibat yang terjadi

harus mengacu pada ketentuan-ketentuan yang mengatur

mengenai perjanjian penitipan barang. Salah satu langkah

awalnya adalah meniadakan klausula pengalihan tanggung

jawab yang sudah jelas bertentangan dengan undang-undang

dan menghilangkan hal-hal prinsipil dari perjanjian itu

sendiri.

Hubungan penitipan barang dalam perparkiran dikuatkan

oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Perkara No. 3461K/

Pdt/1985 jo Perkara No. 19/1983/Pdt/P.T.Y. jo Perkara No.

1/1982/Pdt/G/PNSlm antara Ahmad Panut, bertempat tinggal di

Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten, sebagai

Penggugat melawan Rajiman alias Pujiharjo, bertempat

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


138

tinggal di Desa Harjobinangun, Pakem, Kabupaten Sleman

sebagai Tergugat I, Suwardi, bertempat tinggal di Jalan

Astomulyo, Kaliurang, Sleman; sebagai Tergugat 2 dan

Pengurus PD Argajasa DIY, berdomisili pada Biro

Perekonomian Kepatihan, Yogyakarta, sebagai Tergugat 3.

Majelis Hakim Mahkamah Agung menilai bahwa klausula dalam

karcis parkir yang berisi kehilangan barang dalam kendaraan

tanggungan pemilik sendiri menimbulkan kesan, bahwa bagi

para pemakai jasa tersebut, pengelola tempat parkir

berkewajiban menanggung kendaraan sepeda motor/bromfiet,

sedangkat tidak demikian bagi kendaraan mobil sedan, colt

(selengkapanya dapat dilihat dalam lampiran).

C. Penyangkalan Terhadap Kemungkinan Diungkapkannya Dalih

Pengelola Parkir yang Menyatakan Bahwa Secure Parking

dengan Sistem Sewa Menyewa Berdasarkan Sistem Terbuka

Sesuai Buku III KUH Perdata

1. Asas Kebebasan Berkontrak Sebagai Unsur Penting dalam

Perjanjian

Asas kebebasan berkontrak diakui oleh Hukum Perdata,

sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.

Setiap manusia sebagai individu dapat mengadakan perjanjian

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


139

berupa dan tentang apa saja. Kebebasan berkontrak setiap

individu di dalam mengadakan suatu perjanjian merupakan

unsur yang seharusnya bersifat mutlak, mengingat tiga nilai

hukum dasar192, yaitu: (1) kesamaan, (2) kebebasan, (3)

solidaritas. Manusia sebagai individu mempunyai kedudukan

yang sejajar dan sederajat. Dengan demikian, hal tersebut

menunjukkan adanya kesamaan.

Pada dasarnya, kebebasan berkontrak dapat mencapai

tujuannya secara maksimal bila para pihak memiliki

bargaining position yang seimbang. Jika tidak, maka akan

melahirkan perjanjian yang berat sebelah atau tidak

seimbang. Sebagai contoh klausula-klausula dalam karcis

parkir jelas akan berbeda dengan perjanjian penitipan

barang pada umumnya atau perjanjian sewa menyewa, dimana

pada klausula yang tercantum pada karcis parkir tersebut

memberikan kesan lebih menguntungkan pihak yang membuat

karcis parkir tersebut.

Mengadakan suatu perjanjian yang melibatkan para

pihak, diperlukan adanya suatu kebebasan individu masing-

masing. Kebebasan dalam mengadakan suatu perjanjian kita

192
Frans Magnis Suseno (b), Berfilasafat dari Konteks, (Jakarta:
PT Gramedia, 1991), hal 114.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


140

kenal dengan kebebasan berkontrak yang bertujuan agar

masing-masing pihak yang akan mengadakan perjanjian dapat

mengusahakan kepentingan-kepentingannya, sehingga para

pihak tidak dirugikan dengan adanya itikad tidak baik dari

salah satu pihak, dimana itikad baik ini pun merupakan

salah satu unsur dalam mengadakan suatu perjanjian.193

Menurut Treitel asas kebebasan berkontrak digunakan

untuk merujuk dua asas umum.194 Asas umum yang pertama

menentukan bahwa hukum tidak membatasi syarat-syarat yang

boleh dibuat oleh para pihak (asas tersebut tidak

membedakan berlakunya suatu perjanjian), hanya karena

syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil

bagi satu pihak. Asas yang kedua menentukan bahwa hukum

tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian.195

Oleh karena itu, adanya unsur pemaksaan atau

pembatasan kepada individu dalam mengadakan dan meng-

akibatkan “penjajahan” terhadap kebebasan berkontrak. Hukum

perdata pun tidak mengakui dan tidak menghendaki adanya

193
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1338 ayat (3).
194
G.H. Treitel, An Outline of The Law of Contract, Fourth Ed.,
(London: Butterworths, 1989), hal. 3-4, dikutip dari Sutan Remy
Sjahdeni, op. cit., hal. 59.
195
Ibid.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


141

unsur paksaan atau penipuan. Di dalam KUH Perdata oleh

Pasal 1321 KUH Perdata yang menyebutkan, “Tiada sepakat

yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan,

atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”

Kebebasan berkontrak yang bersumber pada hukum alam

(natural law) dan didasari atas ideologi atau paham

liberalisme dan kapitalisme, merupakan unsur penting dalam

perjanjian, karena apabila kita kembali ke dasar bahwa

setiap manusia sebagai individu memiliki hak-hak kebebasan

sebagaimana dikatakan oleh John Locke.196 Kebebasan tersebut

harus kita junjung tinggi. Setiap individu mempunyai

kedudukan yang sama atau sederajat. Oleh karena itu,

kebebasan berkontrak setiap individu dalam mengadakan suatu

perjanjian merupakan suatu hal yang hakiki.

2. Kebebasan Berkontrak Sebagai Dalih Untuk Mengadakan

Perjanjian Baru dalam Pengelolaan Area Parkir

2.1. Tolok Ukur Menurut Hukum Perjanjian Indonesia

Pada kenyataannya dalam klausula karcis parkir sehari-

hari banyak pengelola parkir yang melimpahkan tanggung

196
Frans Magnis Suseno (b), op. cit., hal. 221.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


142

jawabnya kepada pemilik kendaraan dan menggunakan sistem

perjanjian sewa menyewa dan bukannya perjanjian penitipan

barang. Walaupun terdapat kondisi bahwa di Indonesia belum

ada undang-undang yang mengatur aturan-aturan dasar secara

khusus, tetapi kita dapat menjadikan Pasal 1339 KUH Perdata

sebagai tolok ukur, dimana disebutkan bahwa:

Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-


hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang.

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata,

perjanjian sah sejauh dibuat dengan memperhatikan

ketentuan-ketentuan mengenai syarat-syarat sahnya per-

janjian. Perjanjian tersebut mengikat mereka atau para

pihak yang membuatnya, sehingga dapat dikatakan bahwa asas

kebebasan berkontrak (dalam membuat suatu perjanjian)

menganut sistem terbuka. Artinya, hukum perjanjian

memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


143

untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan

tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.197

Apakah kebebasan itu? Kebebasan itu tidak hanya

berarti bahwa orang dapat bertindak sesukanya, semaunya.198

Memang secara harafiah bebas berarti lepas sama sekali,

bercakap atau berbuat dengan leluasa.199 Kebebasan itu

sebenarnya menjunjung tinggi diri sendiri, bahwa bebas itu

berarti mengerti tanggung jawab. Pada saat ini kita

memiliki kebebasan, kita memiliki kekuasaan untuk menen-

tukan diri sendiri untuk berbuat atau tidak berbuat. Jadi,

subyek yang bebas itu memiliki kekuasaan untuk menguasai

diri sendiri dan perbuatannya. Akan tetapi, perlu diingat

bahwa manusia sebagai subyek yang bebas tidaklah sempurna,

karena kita tidak memiliki segala-galanya pada diri

sendiri, harus menjaga diri sendiri agar tidak terjerumus.

Kita menguasai diri sendiri, berarti kita dengan kekuasaan

yang kita miliki harus menggerakan diri kita sendiri ke

arah kebahagiaan yang sebenarnya. Dan pada saat itulah kita

197
Subekti (a), op. cit., hal. 13.
198
N. Drijarkara S.J., Filsafat Manusia, (Yogyakarta: Yayasan
Kanisius, cet. ke-2, 1978), hal. 40.
199
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. ke-3,
(Jakarta: 1958), hal. 102.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


144

akan merasakan kebebasan yang sebenarnya bagi diri kita.

Jikalau manusia sudah memeluk kebahagiaannya yang sejati

sepenuh-penuhnya, disitulah kebebasan berkembang penuh

pula.200

2.2. Ruang Lingkup dan Batas-batas Kebebasan Ber-

kontrak

Di dalam UUD 1945 dan KUH Perdata, serta peraturan

perundang-undangan lainnya, tidak ada peraturan yang dengan

tegas menyatakan bahwa asas kebebasan berkontrak berlaku

bagi perjanjian-perjanjian yang dibuat menurut hukum

Indonesia.201 Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa asas

kebebasan berkontrak tidak menguasai hukum perjanjian

Indonesia.

Berlakunya asas kebebasan berkontrak dalam hukum

perjanjian Indonesia dibuktikan dengan adanya Pasal 1329

KUH Perdata yang berbunyi, “Setiap orang adalah cakap untuk

membuat perikatan-perikatan jika ia oleh undang-undang

tidak dinyatakan tak cakap.” Dengan adanya pasal tersebut,

setiap orang cakap untuk membuat perjanjian dan kecakapan

200
N. Drijarkara S.J., op. cit., hal. 63.
201
Lee, The Jurisprudence of Holland, hal. 295, terjemahan dari
Consumer Protection, Freedom of Contract and The Law, (Cape Town: Juta
& Company Limited, 1979), hal. 45.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


145

seseorang dalam membuat perjanjian akan memberlakukan

kebebasan yang ada pada dirinya bahwa manusia terlahir

untuk bebas.

Perjanjian oleh para pihak, yang berarti mengikatkan

dirinya dengan pihak lain merupakan kebebasan setiap

individu. KUH Perdata maupun perundang-undangan lainnya

tidak pernah mengharuskan ataupun melarang seseorang untuk

terlibat dalam suatu perjanjian. Hal ini sejalan dengan

ruang lingkup kebebasan berkontrak, yaitu berlakunya asas

konsensuil menurut hukum perjanjian Indonesia yang

memantapkan adanya kebebasan ini. Orang tidak dapat dipaksa

untuk memberika kesepakatan. Seperti dikatakan oleh Sutan

Remy Sjahdeni sebagai berikut:202

a. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin

membuat perjanjian;

c. kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari

perjanjian yang akan dibuatnya;

d. kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian;

e. kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;

202
Sutan Remi Sjahdeni, op. cit., hal. 47.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


146

f. kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan

undang-undang yang bersifat opsional.

Dari kajian di atas, maka kita dapat melihat bahwa

kebebasan berkontrak memang seharusnya dibatasi bekerjanya

mengingat perjanjian yang dibuat dapat mengalami ketimpang-

an atau berat sebelah terhadap pihak yang lain.

Dihubungkan dengan klasula pada secure parking dengan

sistem sewa menyewa yang didalihkan oleh pengelola parkir,

maka dapat ditarik kesimpulan bahwa klausula tersebut tidak

dapat dibenarkan penggunannya. Hal ini disebabkan tidak

sesuainya alasan penggunaan sistem perjanjian yang terbuka

menurut Buku III KUH Perdata, dimana dalam hal ini

pengelola parkir menggunakan sistem sewa menyewa pada

perjanjian yang seharusnya berupa perjanjian penitipan

barang dengan alasan untuk mengalihkan atau melepas

tanggung jawab yang seharusnya merupakan kewajiban pihak

pengelola parkir untuk memikulnya.

Kalaupun jika ingin dipersamakan dengan perjanjian

sewa beli yang merupakan bentuk perjanjian baru yang tidak

ada pengaturannya di dalam KHU Perdata, haruslah

memperhatikan ketentuan Pasal 1337 jo Pasal 1339 KUH

Perdata. Perjanjian Sewa Beli yang diciptakan adalah untuk

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


147

mengadakan sistem yang berbeda dengan perjanjian kredit

pada umumya. Perjanjian kredit pada umumnya adalah bahwa

hak milik pada barang yang dibeli sudah beralih kepada

pembeli sepenuhnya pada saat cicilan pertama dibayarkan,

sedangkan pada perjanjian sewa beli, hak milik barang yang

dimaksud baru dapat beralih kepada pembeli pada saat

cicilan terakhir sudah dilunasi.

Dalam permasalahan secure parking ini, penulis

berasumsi bahwa dapat saja pengelola parkir mengemukakan

dalih bahwa Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka

bagi para pihak untuk mengadakan perjanjian baru, dengan

menyatakan bahwa klausula secure parking ini merupakan

perjanjian baru dengan nama, misalnya “Sewa Titip”203. Hal

ini tidak dapat dipersamakan dengan perjanjian sewa beli,

karena pada perjanjian sewa beli tujuannya adalah

menciptakan sistem perjanjian kredit yang baru dan berbeda

dengan perjanjian kredit pada umumnya, sedangkan pada

203
Istilah ini penulis cantumkan hanya sebagai contoh. Mengenai
namanya, apapun dapat saja dikemukakan oleh pihak pengelola parkir.
Alasan penulis memilih nama ini sebagai contoh adalah karena sistem
penempatan lahan parkir sesuai karakteristik penitipan barang, tetapi
pengelola parkir menyediakan lahan tersebut sebagai lahan untuk
dipersewakan dengan mencantumkan klausula bahwa tempat parkir tersebut
disewakan. Di samping itu, yang menjadi bahasan penulis adalah lebih
mengenai alasan dasarnya, yaitu mengacu pada sistem terbuka Buku III
KUH Perdata dan asas kebebasan berkontrak, yang ternyata tidak sesuai.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


148

perjanjian “Sewa Titip” tersebut tujuan mengubah perjanjian

penitipan barang menjadi perjanjian sewa menyewa adalah

untuk mengalihkan atau meniadakan tanggung jawab dari pihak

pengelola parkir tersebut yang sudah seharusnya ia

tanggung. Hal ini jelas bertentangan melanggar asas

kepatutan, ketertiban, dan kehati-hatian yang tercantum

pada Pasal 1337 jo Pasal 1339 KUH Perdata. Di samping itu

klausula yang demikian bertentangan dengan Pasal 18 ayat

(1) huruf a UU Nomor 8 Tahun 1999. Dengan demikian,

tidaklah dapat diterapkan sistem baru seperti itu pada

secure parking, sehingga yang benar adalah sistem per-

janjian penitipan barang yang sudah seharusnya diterapkan

berdasarkan sifat-sifat serta ciri-ciri dari klausula

secure parking itu sendiri seperti yang telah diuraikan

pada awal bab ini.

3. Gugatan Terhadap Pengelola Parkir Berdasarkan Per-

buatan Melawan Hukum (PMH)

Seiring dengan berkembangnya zaman, kriteria-krteria

PMH menjadi semakin luas. Hal ini dapat dijadikan dasar

seseorang untuk melakukan suatu gugatan. Dalam hal

perjanjian secure parking ini, pemilik kendaraan yang

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


149

merasa dirugikan dapat saja melakukan gugatan PMH tanpa

memandang apakah perjanjian tersebut merupakan perjanjian

sewa menyewa ataukah perjanjian penitipan barang. Adapun

kriteria-kriteria dari PMH itu sendiri adalah sebagai

berikut.

a. Melanggar hak subyektif orang lain, berarti melanggar

wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada

seseorang. Yurisprudensi memberi arti hak subyektif

sebagai berikut:

1. Hak-hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan,

nama baik;

2. Hak atas harta kekayaan, hak kebendaan, dan hak

mutlak lainnya.204

Dikaitkan dengan perjanjian secure parking, berarti hak

pemilik kendaraan sebagai konsumen telah dilanggar.

Konsumen mempunyai hak agar kendaraan yang mereka

parkir dijaga agar tidak rusak atau hilang dan mereka

berhak untuk mendapatkan kendaraan tersebut dalam

kondisi yang sama seperti pada saat diparkir. Kemudian,

204
Djuhaendah Hasan, Istilah dan Pengertian Perbuatan Melawan
Hukum dalam Laporan Akhir Kompendium Bidang Perbuatan Melawan Hukum,
(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI,
1996/1997), hal. 24.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


150

jika kendaraan tersebut hilang atau rusak, mereka

berhak mendapatkan ganti rugi. Namun, pengelola parkir

mencantumkan klasula yang menyatakan bahwa segala

kehilangan atau kerusakan kendaraan menjadi tanggung

kawab pemilik kendaraan. Seharusnya klasula tersebut

tidak boleh dicantumkan, karena melanggar hak subyektif

pemilik kendaraan dan bertentangan dengan Pasal 18 ayat

(1) huruf a UU Nomor 8 Tahun 1999. Dengan demikian,

unsur PMH ini terpenuhi.

b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.

Kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban yang

berdasar hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis

(termasuk dalam arti ini adalah perbuatan pidana

pencurian, penggelapan, penipuan, dan pengrusakan).205

Dalam hal perjanjian secure parking, yang seharusnya

menjadi kewajiban pengelola parkir adalah menyediakan

tempat bagi pemilik kendaraan dan menjaga agar

kendaraan tersebut tidak hilang atau rusak. Dengan

mencantumkan klausula pengalihan tanggung jawab

tersebut, berarti pengelola parkir berusaha mengalihkan

205
Ibid.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


151

tanggung jawab dan kewajiban yang seharusnya ia pikul.

Apabila terjadi sengketa (kendaraan rusak atau hilang)

biasanya mereka lepas tangan dan tidak mau dituntut

untuk ganti kerugian. Oleh karena itu, pengelola parkir

dianggap melakukan perbuatan yang bertentangan dengan

kewajiban hukumnya. Dengan demikian, unsur PMH ini

terpenuhi.

c. Bertentangan dengan undang-undang206, dimana dalam hal

ini klausula yang menyatakan pengalihan tanggung jawab

bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf a

UU Nomor 8 Tahun 1999. Berdasarkan ketentuan ini, maka

pengelola parkir telah melakukan perbuatan yang

bertentangan dengan undang-undang. Dengan demikian,

unsur PMH ini pun terpenuhi.

Berdasarkan uraian di atas dapat terlihat bahwa,

pengelola parkir dapat digugat atas dasar PMH karena

kelalaiannya. Dalam hal ini, kita tidak perlu melihat

unsur-unsur ataupun karakteristik dari penerapan perjanjian

sewa menyewa ataupun perjanjian penitipan barang yang

206
David M.L. Tobing, Parkir + Perlindungan Hukum Konsumen, cet.
ke-1, (Jakarta: Timpani Publishing, 2007), hal. 13.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


152

dilakukan oleh pengelola parkir terhadap perjanjian secure

parking terlebih dahulu.

D. Ketentuan Penerapan Klausula Secure Parking Berdasar-

kan UU Nomor 8 Tahun 1999 Sebagai Upaya Perlindungan

bagi Konsumen

Bahwa, permasalahan utama adalah mengenai pemahaman

terhadap klausula baku yang selama ini tercantum pada

lokasi atau karcis parkir. Ketentuan semacam itu dianggap

masih menggunakan paradigma hukum lama dalam kebebasan

berkontrak. Berdasarkan paradigma lama asas kebebasan

berkontrak bisa berlaku untuk siapa saja dan dalam posisi

apa saja kedua belah pihak. Salah satu wujudnya adalah

klausula baku.

Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat

ditarik kembali kecuali dengan persetujuan kedua belah

pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang

cukup untuk itu. Akan tetapi, pasal yang sama menegaskan

bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad

baik.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


153

Menurut pendapat penulis, kebebasan berkontrak sangat

tidak fair apabila diterapkan kepada dua pihak yang

memiliki bargaining position tidak seimbang.

Sebenarnya, klausula baku sah-sah saja dibuat. Akan

tetapi, substansinya tidak boleh mengalihkan tanggung jawab

dari pihak pelaku usaha, dari produsen ke konsumen. Dengan

kalimat lain, klausula baku tidak boleh membatasi atau

menghindari tanggung jawab. Tidak boleh memberikan beban

kepada konsumen. Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang

Perparkiran boleh-boleh saja membenarkan klausula baku,

tetapi pengelola parkir harus mengerti betul ada

pembatasan-pembatasan klausula yang dimuat dalam per-

janjian.

Kasus perparkiran semacam ini memang lazim terjadi.

Pemilik kendaraan hanya bisa gigit jari bila kehilangan

kendaraannya. Ada argumen yang dibangun seolah-olah tidak

mungkin jasa parkir seharga Rp 2000, misalnya, harus

diganti dengan Rp 60 juta jika terjadi kehilangan.

Argumen semacam itu bukanlah substansi masalah. Dalam

kasus kehilangan, persoalannya adalah tanggung jawab atau

liability. Kalaupun perparkiran dianggap sebagai jasa, maka

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


154

harus ada rasa tanggung jawab terhadap konsumen yang telah

menggunakan jasa itu.

Selanjutnya, dengan adanya larangan pencantuman

klausula baku sebagaimana diatur pada Pasal 18 UU Nomor 8

Tahun 1999 ini sebaliknya akan menciptakan persaingan yang

sehat (fair competition) di antara lembaga usaha yang

menjalankan kegiatan usaha satu sama lain dalam memberikan

jasa kepada konsumen (masyarakat). Perlu diingatkan, bahwa

semua klausula baku yang ada pada saat ini dan tidak sesuai

dengan ketentuan undang-undang batal demi hukum sejak

tanggal 20 April 2000.207

Dengan demikian, klausula yang terdapat dalam secure

parking termasuk pernyataan pengelola parkir yang

menyatakan bahwa secure parking merupakan perjanjian

gabungan antara sewa menyewa dengan perjanjian penitipan

barang adalah batal demi hukum. Akan tetapi, perlu diingat

bahwa yang batal hanyalah klausulanya saja, bukan

perjanjiannya. Hal ini dimaksudkan sebagai perlindungan

bagi konsumen, yaitu pihak yang menggunakan jasa area

parkir, dimana jika terjadi suatu kerugian, misalnya

207
Indonesia (b), op. cit., pasal 18 ayat (3).

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


155

hilangnya kendaraan, maka akan berdampak merugikan konsumen

kalau perjanjiannya ikut batal demi hukum.

Arti batal demi hukum adalah mengembalikan keadaan

seperti semula sebelum diadakannya perjanjian, yang berarti

perjanjian penitipan kendaraan di area parkir dianggap

tidak pernah ada. Hal ini tentu saja akan sangat merugikan

konsumen, karena pihak pengelola parkir tidak perlu

mengganti kehilangan kendaraan tersebut karena tidak pernah

ada perjanjian apa-apa, sehingga yang bersangkutan tidak

dapat dituntut.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


156

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan ternyata

dapat diambil berbagai kesimpulan mengenai ketentuan di-

terapkannya bentuk perjanjian sewa menyewa terhadap per-

janjian secure parking.

1. Hal pertama yang dapat ditelaah adalah bahwa ber-

dasarkan analisis, karakteristik kalusula secure

parking lebih menyerupai karakteristik dari perjanjian

penitipan barang ketimbang perjanjian sewa menyewa,

baik dari unsur tujuan, resiko, juga hak dan kewajiban

masing-masing pihak.

2. Berdasarkan karakteristik tersebut dapat disimpulkan

bahwa penerapan perjanjian sewa menyewa tersebut tidak

tepat. Bentuk perjanjian yang lebih tepat adalah

perjanjian penitipan barang.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


157

3. Tak dapat dipungkiri bahwasanya penerapan klausula

karcis parkir dengan menggunakan dalih perjanjian sewa

menyewa banyak dilakukan oleh pengelola parkir. Hal

tersebut bisa saja dibenarkan, apabila isi klausula

yang bersangkutan memang sesuai dengan karakteristik

perjanjian itu sendiri. Akan tetapi, yang terjadi

adalah mereka membuat perjanjian demikian untuk

melepaskan tanggung jawab yang seharusnya mereka emban

sebagai pelaku usaha. Walaupun asas kebebasan

berkontrak diperbolehkan oleh KUH Perdata, dan mereka

menjadikannya sebagai dasar untuk memberlakukan

ketentuan yang demikian. Berdasarkan kepatutan, keteli-

tian, dan kehati-hatian, asas kebebasan berkontrak

tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mencan-

tumkannya syarat eksonerasi yang mengesampingkan keten-

tuan hukum yang bersifat memaksa. Selain itu, perlu

diperhatikan bahwa syarat asas terbuka itu sendiri

adalah harus adanya keseimbangan kedua belah pihak yang

melakukan perjanjian. Dalam hal ini, pengelola parkir

mempunyai tujuan untuk mengalihkan tanggung jawab yang

seharusnya mereka emban. Oleh karena itu, dalih asas

terbuka tidak dapat dibenarkan untuk dipergunakan

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


158

sebagai tameng. Jalan lain untuk melakukan gugatan

terhadap pengelola parkir yang lalai adalah dengan

mengajukan gugatan PMH dengan memperhatikan kriteria-

kriterianya.

4. Berdasarkan ketentuan UU Nomor 8 Tahun 1999 klausula-

klausula semacam itu yang isinya melimpahkan tanggung

jawab pelaku usaha, yang dalam hal ini adalah pengelola

parkir, diancam dengan kebatalan klausulanya. Namun,

perlu diperhatikan bahwa yang batal hanya klausulanya

bukan keseluruhan isi perjanjian, karena hal tersebut

akan dapat merugikan konsumen itu sendiri, yaitu pihak

yang menitipkan kendaraan mereka di tempat parkir.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, sekiranya dapat

diberikan saran-saran yang dapat mengatasi masalah tersebut

agar dapat diatasi di kemudian hari. Adapun saran-saran

tersebut adalah sebagai berikut.

1. Dengan terlihatnya perbedaan karakteristik tersebut,

maka sebaiknya mengubah klausula karcis parkir yang

berdasarkan karakteristik salah satu perjanjian yang

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


159

bersangkutan dengan akibat hukum yang harus ditanggung

sesuai dengan bentuk perjanjian yang mereka pilih.

2. Sesuai analisis yang telah dilakukan, perjanjian sewa

menyewa tidak tepat diterapkan. Oleh karena itu,

pengelola harus mengganti kata menyewa lahan parkir

pada kalimat “Karcis tanda parkir ini merupakan bukti

pemilik kendaraan menyewa lahan di area parkir yang

disediakan” menjadi kata menitipkan kendaraan. Apabila

pengelola parkir tetap tidak mau dipusingkan dengan

masalah ganti kerugian, ia dapat mengasuransikan area

parkir tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku,

dimana premi ditentukan dari setiap harga kendaraan

yang diparkirkan.

3. Kebebasan berkontrak hanya akan mencapai tujuannya bila

para pihak memiliki posisi tawar (bargaining position)

yang sama kuat. Untuk mencegah hal tersebut, maka

negara perlu campur tangan, melalui peraturan

perundang-undangan yang berisi ketentuan-ketentuan

larangan atau kewajiban yang harus dicantumkan dalam

setiap transaksi dari suatu perjanjian yang dilakukan.

Peraturan perundang-undangan tersebut harus dapat

mengakomodasi kepentingan kedua pihak. Bila perlu

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


160

peraturan perundang-undangan tersebut menetapkan suatu

klausula yang baku dalam transaksi-transaksi atau

perjanjian yang sudah umum dilakukan dengan menyeim-

bangkan kepentingan kedua belah pihak.

4. Untuk melaksanakan konsekuensi hukum pada hal yang

mengakibatkan kebatalan klausula karcis parkir, perlu

diberdayakan dan disosialisasikannya lembaga perlin-

dungan konsumen agar konsumen dapat melakukan pengaduan

mengenai pelanggaran yang terjadi berkaitan dengan

penerapan klausula yang demikian.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Badrulzaman, Mariam Darus. Perjanjian Baku: Perkembangannya


di Indonesia. Bandung, 1980.

_____. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni, 1994.

Bond, Helen J. dan Peter Kay. Business Law. London:


Blackstone, 1990.

Drijarkara S.J., N. Filsafat Manusia. Cet. ke-2.


Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1978.

Harahap, Yahya. Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung:


Alumni, 1986.

Hartono, Sunarjati. Kapita Selekta Perbandingan Hukum.


Bandung, 1991.

Hatta, Sri Gambir Melati. Beli-Sewa Sebagai Perjanjian Tak


Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung
Indonesia. Cet. ke-3. Bandung: Alumni, 2000.

Hondius. Konsumentrechst. Kluwer-Deventer 1976. Dikutip


dari Mariam Darus Badrulzaman. ”Perlindungan Terhadap
Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku.” Jakarta:
PBHN. Departemen Kehakiman, 1980.

Keureuntjes, R.B.M. Aggressive Handelspraktijken. Kluwer-


Deventer, 1986.

Kotler, Philip. Principles of Marketing. New Jersey: Pren-


Hall Inc. Englewood Cliffs, 1980.

Lanzo, Hector. Marketing. New York: Alexander Hamilton


Institute, 1973.

Lee. The Jurisprudence of Holland. Terjemahan dari Consumer


Protection, Freedom of Contract and The Law. Cape
Town: Juta & Company Limited, 1979.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


Mamudji, Sri et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum.
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2005.

Muhammad, Abdulkadir. Perjanjian Baku dalam Praktek


Perusahaan Perdagangan. Cet. ke- 1. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1992.

Prodjodikoro, Wirjono. Azas-azas Hukum Perjanjian. Cet. ke-


10. Jakarta: Bale Bandung.

_____. Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan


Tertentu. Cet. ke-6. Bandung, 1981.

Rakoff, Todd D. Contracts of Adhesion an Essay


Inrecontruction. Harvard Law Review, April 1983.

Sjahdeni, Sutan Remy. “Kebebasan Berkontrak dan


Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam
Perjanjian Kredit Bank di Indonesia.” Jakarta:
Institut Bankir Indonesia, 1993.

Shofie, Yusuf. Ed. Mengakomodasikan Masalah Perlindungan


terhadap Konsumen dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi
Hukum di Indonesia, dalam Percakapan tentang
Pendidikan Konsumen. Jakarta, 1997.

Subekti. Hukum Perjanjian. Cet. ke-19. Jakarta: Intermasa,


2002.

_____. Aneka Perjanjian. Cet. Ke-4. Bandung: Alumni, 1981.

_____. Pokok-pokok Hukum Perdata. Cet. ke-17. Bandung:


Intermassa, 1983.

Suseno, Frans Magnis. Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral


Dasar Kenegaraan Modern. Cet ke-2. PT Gramedia, 1988.

_____. Berfilasafat dari Konteks Jakarta: PT Gramedia,


1991.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


Tobing, David M.L. Parkir + Perlindungan Hukum Konsumen.
Cet. ke-1. Jakarta: Timpani Publishing, 2007.

Treitel, G.H. An Outline of The Law of Contract. Fourth Ed.


London: Butterworths. 1989. Dikutip dari Sutan Remy
Sjahdeni. “Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank
di Indonesia.” Jakarta: Institut Bankir Indonesia,
1993.

INTERNET

Denny. “Parkir Asuransi, SMS ke 6288 Hilang Diganti Rp 100


Juta.”<http://students.stttelkom.ac.id/web/viewtopic.p
hp?p=30101>, 24 April 2006.

Kusimaningrum, V. Febrina. “Kontrak.” <http://


www.asiamaya.com/konsultasi_hukum/ ist_hukum/
kontrak.htm>. 11 September 2006 12:42:31 GMT.

Nasution, AZ. “Perlindungan Konsumen”. <http://www.pemantau


peradilan.com>. 15 Januari 2004.

Suzetta, Muhamad Eggi H. “Pengetahuan Hukum untuk


Konsumen,” <http://www.pikiran-rakyat/cetak/1204/20/
teropong/konsul_hukum.htm>, 20 Desember 2004.

LITERATUR HUKUM

Badrulzaman, Mariam Darus. ”Perjanjian Baku (Standard)


Perkembangannya di Indonesia.” Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar dalam Mata Pelajaran Hukum Perdata
pada Fakultas Hukum Sumatera Utara, Medan, 1980.

Commonwealth of Australia, Consumer Power. Australia, 1993.

Consumer Advisory Council. First Report. Washington D.C.:


Executive Office of the President, 1963.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


Nasution, AZ. “Pengertian Konsumen.” Bahan Perkuliahan
Hukum Perlindungan Konsumen yang disampaikan pada
kuliah ke-2. 21 Februari 2007.

ISEI. “Penjabaran Demokrasi Ekonomi, sumbangan pikiran


memenuhi harapan Presiden Suharto.” Jakarta, 1990.

Sekretaris Jenderal DPR-RI. “Proses Pembahasan RUU Tentang


Perlindungan Konsumen,” 2001.

MAKALAH

Badrulzaman, Mariam Darus. ”Perlindungan terhadap Konsumen


Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku (Standard).”
Makalah disampaikan pada Simposium Aspek-aspek Hukum
Masalah Perlindungan Konsumen, diselenggarakan oleh
Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta,
16-18 Oktober 1980.

Nasution, AZ. “Perlindungan Konsumen (Suatu Tinjauan dari


Sudut Hukum).” Makalah disampaikan untuk Seminar pada
Pusat Studi Hukum Dagang FHUI. Jakarta, 16 Desember
1975.

_____. “Berlakunya UU Perlindungan Konsumen pada Seluruh


Barang dan/atau Jasa: Tinjauan pada UU No. 8 Tahun
1999.” Makalah disampaikan pada Seminar Perlindungan
Konsumen di UNPAD, Bandung, 14 Januari 2001.

Nasution, AZ dan Azrina Dewi Nasution. “Gerakan


Perlindungan Konsumen: Tinjauan UU No. 8 Tahun 1999,
LN 1999 No. 42, TLN 1999 No. 3821 Tentang Perlindungan
Konsumen.” Makalah. Jakarta. 2005.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-undang Tentang Perkawinan. UU No. 14, LN


No. 14 Tahun 1974, TLN No. 3019.

_____. Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen. UU No.


8. LN No. 42 Tahun 1999. TLN No. 3821.

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


_____. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1851K/SIP/1984.

Kitab Undang-undang Hukum Dagang [Wetboek van Koophandel].


Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio.
Cet. ke-27. Jakarta: Pradnya Paramita, 2002.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek].


diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio.
Cet. ke-34. Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.

SKRIPSI

Dwiningsih, Elalia. “Layanan Jasa Penitipan Barang Sebagai


Salah Satu Bentuk Usaha Perum Pegadaian Ditinjau dari
Segi Hukum Perdata Barat.” (Skripsi Sarjana
Universitas Indonesia, Jakarta, 1996).
Syamsuddin, Amir. “Masalah Sewa Menyewa Perumahan
Sehubungan Dengan Berlakunya PP 55’81 sebagai
Perubahan PP 49’63.” (Skripsi Sarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, 1983).

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


PELATARAN PARKIR YANG MENCANTUMKAN KETENTUAN SEWA MENYEWA

Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007


Analisis penerapan..., Guntur Prima, FH UI, 2007

Anda mungkin juga menyukai