Anda di halaman 1dari 80

MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)


BAGI APARAT PENEGAK HUKUM DAN INSTANSI TERKAIT

ACARA PERSIDANGAN
PIDANA ANAK
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2014
TENTANG HAK CIPTA

Pasal 1
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam
bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta
rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
BAGI APARAT PENEGAK HUKUM DAN INSTANSI TERKAIT

ACARA PERSIDANGAN
PIDANA ANAK

Martini Marja
Pahala Simanjuntak

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA


HUKUM DAN HAK ASASI MANUSA
REPUBLIK INDONESIA
2021
MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
BAGI APARAT PENEGAK HUKUM DAN INSTANSI TERKAIT

ACARA PERSIDANGAN
PIDANA ANAK

Martini Marja
Pahala Simanjuntak

BPSDM KUMHAM Press


Jalan Raya Gandul No. 4 Cinere-Depok 16512
Telepon (021) 7540077, 754124;
Faksimili (021) 7543709, 7546120
Laman: http://bpsdm.kemenkumham.go.id

Cetakan I : Desember 2021


Penata Letak : Hastin Munawaroh
Desain Sampul : Hastin Munawaroh
Ilustrasi : freepik.com; images.hukumonline.com

xii+66 hlm; 18x25 cm


ISBN: 978-623-5716-12-1

Hak cipta dilindungi Undang-Undang


Dilarang mengutip dan mempublikasikan
sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin dari penerbit.
Dicetak oleh:
PERCETAKAN POHON CAHAYA

Isi di luar tanggung jawab percetakan


KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

SAMBUTAN

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa,
berkat rahmat dan karunia-Nya, review modul Pelatihan Terpadu Sistem Peradilan
Pidana Anak (SPPA) dengan Judul Acara Persidangan Pidana Anak telah
terselesaikan.

BPSDM Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Koordinator Pelatihan


Terpadu SPPA bagi Aparat Penegak Hukum dan Instansi Terkait, yang memiliki
tujuan meningkatkan kualitas pelatihan Terpadu SPPA, dan mewujudkan
kompetensi yang diharapkan bagi Aparat Penegak Hukum (APH) dan pihak
terkait dalam implementasi Undang-Undang SPPA Nomor 11 Tahun 2012, perlu
melaksanakan review atau update modul Pelatihan Terpadu SPPA.

Dalam penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) diperlukan


keterpaduan beberapa Instansi dan pihak terkait, yaitu Kepolisian, Kejaksaan,
Hakim/Peradilan, Penasihat Hukum/Advokad, Pembimbing Kemasyarakatan/
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Pekerja Sosial/ Kementerian
Sosial. Keterpaduan antara APH dan pihak terkait menjadi kata kunci untuk

v
keberhasilan pelaksanaan prinsip keadilan restoratif dan diversi yang jadi
pendekatan utama UU SPPA.

Perpres No. 175 Tahun 2014 tentang Pendidikan dan Pelatihan Terpadu
bagi Penegak Hukum dan Pihak Terkait Mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak
mengatur tujuan dari pelaksanaan Diklat Terpadu, yaitu untuk menyamakan persepsi
dalam penanganan ABH dalam SPPA, terutama agar memiliki pemahaman yang
sama tentang hak-hak anak, keadilan restoratif dan diversi, serta meningkatkan
kompetensi teknis APH dan pihak terkait dalam penanganan ABH.

Anak adalah generasi penerus yang dalam diri mereka melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya. Tanpa keterpaduan, mustahil cita-cita luhur
untuk memulihkan kondisi ABH dapat terwujud. Adalah menjadi tanggung jawab
kita semua untuk memastikan agar prinsip kepentingan terbaik bagi anak atau the
best interest of child selalu menjadi pegangan dalam mengatasi persoalan anak,
termasuk mereka yang sedang berhadapan dengan hukum.

Dalam kesempatan ini, kami atas nama BPSDM Hukum dan Hak Asasi
Manusia menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak atas dukungan
dan kontribusinya dalam penyelesaian review modul ini. Semoga modul ini dapat
berkontribusi positif bagi APH dan pihak terkait dalam penanganan ABH.

Selamat Membaca, Salam Pembelajar.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Depok, 18 November 2021


Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Hukum Dan Hak Asasi Manusia,

Dr. Asep Kurnia


NIP 196611191986031001

vi Acara Persidangan
Pidana Anak
KATA SAMBUTAN

Anak sebagai generasi penerus bangsa merupakan kelompok rentan


(vulnerable groups) yang perlindungan dan pemenuhan haknya disebut secara
lugas dalam UUD 1945. Salah satu kelompok anak yang paling rentan adalah
Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Status, keterbatasan pengetahuan dan
kebelum-dewasaan mereka membutuhkan penanganan yang tidak biasa, yang
khusus apabila dibandingkan dengan orang dewasa.

Berangkat dari Konvensi Hak Anak yang diratifikasi Indonesia pada tahun
1990 dengan Keputusan Presiden No. 36, UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
disepakatilah UU No. 11 Tahun 2012 mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dengan memperkenalkan pendekatan keadilan restoratif, undang-undang ini
membawa paradigma baru dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan
anak. Pendekatan dan paradigma baru ini tentu saja merupakan hal baru sehingga
diperlukan adanya pelatihan bagi mereka yang akan menerapkannya di lapangan.

Tahun ini UU SPPA berusia 9 tahun, walau pelaksanaannya baru berjalan


7 tahun. Sebagai lembaga utama yang bertugas melakukan pelatihan terpadu
di Kementerian Hukum dan HAM, BPSDM telah berkiprah lama dalam pelatihan
bagi aparatur penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat, Pembimbing
Kemasyarakatan) dan juga Pekerja Sosial. Pelatihan terpadu menjadi program
penting bagi pemerintah Indonesia, sebagai refleksi kehadiran Negara bagi Anak
yang berhadapan dengan hukum, agar dicapai persamaan persepsi antar aparatur
penegak hukum yang menangani anak.

Salah satu upaya penting BPSDM untuk mengembangkan pelatihan terpadu


ini adalah dengan menyusun Modul Pelatihan Terpadu, yang dirancang dan ditulis
bersama oleh perwakilan dari praktisi hukum, akademisi dan kementerian

vii
terkait. Selain materi pembelajaran berupa kajian teoritis, instrumen
internasional, landasan hukum dan studi kasus, modul ini juga memuat metode
pembelajaran yang dapat digunakan instruktur. Dengan modul ini diharapkan
bahwa para instruktur, fasilitator dan juga peserta akan memperoleh manfaat yang
besar dalam mengembangkannya.

Selain itu BPSDM juga mengembangkan metode pelatihan terpadu di masa


pandemi dengan memanfaatkan metode dalam jaringan atau daring (offline).
Pelatihan daring ini sedikit banyak merupakan blessing in disguise baik bagi
BPSDM maupun peserta dan lembaga terkait, karena para peserta tidak perlu
meninggalkan pekerjaan untuk hadir di Jakarta, dan memiliki kesempatan untuk
mempelajari Modul di waktu yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.

Tiada gading yang tak retak, tentu Modul ini tidak sempurna. Oleh karenanya
masukan dan kritik pembaca atas Modul ini diharapkan untuk menyempurnakannya.
Akhirnya, saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada BPSDM
Kementerian Hukum dan HAM serta seluruh pihak yang telah bekerja sama dalam
pembuatan modul ini. Mari bersama kita lindungi generasi muda Indonesia.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, November 2021

Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., PhD.

viii Acara Persidangan


Pidana Anak
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji Syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
kehendak dan perkenan-Nya masih diberikan kesempatan dan kesehatan dalam
rangka penyusunan review Modul Pelatihan Terpadu SPPA tahun 2021 dapat
terlaksana dengan baik. Dimana Pelatihan Terpadu SPPA sebagai kegiatan Prioritas
Nasional, BAPPENAS mengharapkan pada tahun 2021 untuk dilaksanakan review
terhadap modul-modul Pelatihan Terpadu SPPA.

Modul Pelatihan Terpadu SPPA berjudul Acara Persidangan Pidana Anak


sebagai sumber pembelajaran dalam memahami peran dan fungsi Aparat Penegak
Hukum (APH) dan pihak terkait dalam melaksanakan amanat Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA. Upaya melaksanakan SPPA sebagai bentuk
jaminan dan perlindungan atas hak anak yang berhadapan dengan hukum yang
menekankan keadilan restorativ, diperlukan kesiapan seluruh APH dan pihak
terkait lainnya yang terlibat dalam sistem hukum pidana anak untuk memahami
peran dan fungsinya masing-masing sesuai peraturan perundang-undangan.

Untuk menyamakan persepsi diantara penegak hukum dalam meng-


implementasikan undang-undang terbit Peraturan Presiden Nomor 175 Tahun
2014 tentang Pendidikan dan Pelatihan Terpadu Bagi Penegak Hukum dan Pihak
Terkait Mengenai SPPA, serta Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 31
Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Diklat Terpadu SPPA Bagi Aparat
Penegak Hukum dan Instansi Terkait, sebagai panduan dalam pelaksanaan
Pelatihan Terpadu Sistem Peradilan Pidana Anak. Pada masa Pandemi Covid-19
dilakukan penyesuaian metode pembelajaran dengan cara distance learning
dengan memanfaatkan jaringan internet/virtual dan aplikasi Learning Management
System (LMS).

ix
Demikian penyusunan review Modul Pelatihan Terpadu SPPA ini, dengan
harapan modul ini dapat bermanfaat dalam meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan bagi pembaca khususnya Aparatur Penegak Hukum dan Instansi
terkait lainnya dalam melaksanakan amanat Undang-Undang SPPA.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Depok, 09 November 2021


Kepala Pusat Pengembangan Diklat
Teknis dan Kepemimpinan,

Cucu Koswala, S.H., M.Si.


NIP. 19611212 198503 1 002

x Acara Persidangan
Pidana Anak
DAFTAR ISI

SAMBUTAN............................................................................................................................ v
KATA SAMBUTAN........................................................................................... vii
KATA PENGANTAR......................................................................................... ix
DAFTAR ISI..................................................................................................... xi
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................................. 1
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
B. Deskripsi Singkat....................................................................................... 2
C. Manfaat Modul........................................................................................... 2
D. Indikator Hasil Belajar ............................................................................... 3
E. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok.......................................................... 3
F. Petunjuk Belajar ........................................................................................ 4
BAB II
ASAS-ASAS DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK ....................... 5
A. Asas perlindungan keadilan, non diskriminasi proporsional...................... 5
B. Konsep Anak, Kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan
terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang
anak serta pembinaan dan pembimbingan ............................................... 7
C. Rangkuman ............................................................................................... 7
D. Evaluasi..................................................................................................... 8
E. Tindak Lanjut............................................................................................. 8
BAB III
PENYELESAIAN PERKARA ANAK YANG BELUM BERUSIA 12 TAHUN...... 9
A. Proses Pengambilan keputusan dan tindak lanjutnya............................... 9
B. Latihan....................................................................................................... 36
C. Rangkuman................................................................................................ 36

xi
D. Evaluasi...................................................................................................... 37
E. Tindak Lanjut............................................................................................. 37
BAB IV
PENYELESAIAN PERKARA ANAK YANG BERUSIA 12 TAHUN
KE ATAS TETAPI BELUM BERUMUR 18 TAHUN DAN KARAKTERISTIK
HUKUM ACARANYA ...................................................................................... 39
A. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Anak .............................................. 39
B. Tahapan Sidang Anak .............................................................................. 51
C. Upaya Hukum Biasa.................................................................................. 53
D. Upaya Hukum Luar Biasa.......................................................................... 54
E. Latihan....................................................................................................... 55
F. Rangkuman................................................................................................ 56
G. Evaluasi..................................................................................................... 57
H. Tindak Lanjut ............................................................................................ 57
BAB V
MENSIMULASI PELAKSANAAN SIDANG ANAK........................................... 59
A. Cara menggali informasi dari anak, saksi dan saksi korban
dalam persidangan.................................................................................... 59
B. Membuat putusan dan berita acara........................................................... 59
C. Latihan....................................................................................................... 60
D. Rangkuman................................................................................................ 62
E. Evaluasi..................................................................................................... 62
F. Tindak Lanjut ............................................................................................ 62
BAB VI
PENUTUP....................................................................................................... 63
A. Kesimpulan................................................................................................ 63
B. Tindak Lanjut ............................................................................................ 64
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 65

xii Acara Persidangan


Pidana Anak
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Era globalisasi salah satunya ditandai dengan semakin tumbuh pesatnya
Teknologi informasi yang berdampak kepada arus informasi yang dapat di akses
setiap saat hingga menimbulkan pengaruh terhadap maraknya gejala sosial
kenakalan anak/remaja yang terjadi di negeri ini, yang berpotensi melunturkan
kebudayaan bangsa yang telah lama dibangun. Pergaulan anak dan remaja yang
kini mulai terasing dengan budayanya sendiri, karena tergusur dan mulai rapuh
mempertahankan identitas jati dirinya. Itu semua juga tidak lepas sebagai akibat
dari dampak negatif pembangunan yang cenderung bersifat materiil ketimbang
moral dan identitas jati diri suatu bangsa. Sebagai generasi penerus suatu bangsa
Anak merupakan asset bangsa yang harus tumbuh dan berkembang menjadi
generasi yang memiliki peradaban yang jauh lebih baik ketimbang generasi
terdahulunya, oleh sebab itu negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum untuk dapat melindungi anak
yang dalam masa tumbuh kembangnya dan dalam proses pencarian jati dirinya.
Tindakan hukum yang diberlakukan terhadap mereka harus lebih mengedepankan
pembinaan dan pemulihan hak-hak mereka tanpa harus dikenai tindakan hukum
yang berlebihan. Menjadi persoalan yang rumit dari sisi keadilan, apabila konflik
hukum terjadi bukan sekedar antara anak dengan negara atau masyarakat, akan
tetapi konflik hukum itu terjadi juga dalam relasi antar anak yang sama-sama
punya hak mendapat perlindungan, maka bagaimana proses peradilan dapat
memberikan perlindungan kepada anak. Seiring dengan perkembangan praktik
sistem peradilan pidana anak yang telah diterapkan selama ini sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (UU-SPPA) yang telah diundangkan (pada Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153; Tambahan Lembaran Negara

1
Republik Indonesia Nomor 5332) tanggal 30 Juli 2012 dan mulai berlaku setelah
2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Dengan hadirnya UU-SPPA ini
diharapkan dapat mengisi ruang keadilan sebagaimana konsep keadilan restoratif
(Restorative Justice), yang tertera dalam UU SPPA sehingga keadaan anak tetap
bermartabat sebagaimana hak asasinya. Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka disusunlah revisi atas modul Acara Peradilan Anak dengan tujuan untuk
memperbaharui dan menambah hal hal yang terus berubah dengan cepat terkait
Acara Peradilan Anak, demi kepentingan terbaik bagi anak.

B. Deskripsi Singkat
Mata pelatihan ini membahas tentang asas-asas dalam acara persidangan
pidana anak, mengidentifikasi Penyelesaian perkara anak yang belum berusia
12 tahun dan mengidentifikasi Penyelesaian Perkara Anak yang berusia 12
tahun keatas tetapi belum berumur 18 tahun dan karakteristik hukum acaranya,
menganalisa dan mengidentifikasi intisari asfek pemidanaan dari kasus yang
ada sebagai masukan dalam perkara ABH yang di tanganinya dan dapat
mensimulasikan pelaksanaan sidang perkara anak. Pembelajaran dilakukan
dengan metode ceramah, tanya jawab dan diskusi dan mensimulasi pelaksanaan
sidang.

C. Manfaat Modul
Modul merupakan sebuah buku yang berisi materi bahan ajar yang sifatnya
lebih praktis dan teknis dalam mempelajari sebuah kajian tertentu. Modul
disusun untuk memberi kemudahan belajar pada peserta diklat sehingga peserta
mempunyai pemahaman baik secara konsep maupun praktis. Adapun beberapa
manfaat dari modul ini antara lain:

1. Memberikan kemudahan belajar dalam memahami konsep yang


dikombinasikan dengan aspek teknis.

2. Sebagai upaya untuk memberikan persepsi yang sama bagi peserta


pelatihan sehingga mempunyai basic dan pola pikir yang relatif
terstandar dalam Acara Peradilan Anak.

2 Acara Persidangan
Pidana Anak
3. Mempermudah tahapan pemahaman peserta diklat karena modul
disusun dengan disertai tujuan pembelajaran serta kompetensi yang
harus dicapai dengan skenario pembelajaran yang baik.

D. Indikator Hasil Belajar


Peserta mampu:

1. Menjelaskan asas-asas dalam proses peradilan pidana anak.

2. Mengidentifikasi Penyelesaian perkara anak yang belum berusia 12


tahun.

3. Mengidentifikasi Penyelesaian perkara anak yang berusia 12 tahun


keatas tetapi belum berumur 18 tahun dan Karakteristik hukum acara
persidangan

4. Menganalisa intisari aspek Pemidanaan dari Kasus yang ada sebagai


masukan dalam perkara ABH yang ditanganinya.

5. Mensimulasi pelaksanaan sidang perkara anak dengan baik dan benar


dan Menggali keterangan dari para pihak terkait sesuai dengan kondisi
fisik dan psikis dan mampu membuat putusan serta berita acara yang
benar.

E. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok


1. Asas-asas dalam Proses Peradilan Pidana Anak.
a. Asas perlindungan, keadilan, non diskriminasi, proporsional

b. Kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak,


kelangsungan hidup dan tumbuhkembang anak serta pembinaan dan
pembimbingan

c. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir


serta penghindaran pembalasan

2. Penyelesaian Perkara Anak yang belum Berusia 12 Tahun


a. Proses Pengambilan keputusan dan tindak lanjutnya

b. Legalitas penetapan Ketua Pengadilan Negeri

Acara Persidangan
3
Pidana Anak
3. Penyelesaian Perkara Anak Yang Berusia 12 Tahun Keatas Tetapi
Belum Berumur 18 Tahun dan Karakteristik Hukum Acaranya
a. Karakteristik Hukum Acara peradilan anak

b. Upaya Hukum Biasa

c. Upaya Hukum Luar biasa

4. Diskusi Kasus
a. Analisis beberapa kasus

b. Tanggapan peserta

5. Mensimulasi pelaksanaan sidang anak


a. Cara menggali informasi dari anak, saksi dan saksi korban dalam
persidangan

b. Membuat putusan dan berita acara

F. Petunjuk Belajar
Untuk mempermudah penggunaan modul dan memberikan hasil yang
optimal dalam proses pembelajaran, maka ada beberapa petunjuk yang harus
dilakukan, yaitu:

1. Bacalah tahap demi tahap dari bab/sub bab yang telah disusun secara
kronologis sesuai dengan urutan pemahaman.

2. Selesaikan belajar dalam bab pertama dahulu, setelah paham dan


selesai melakukan semua petunjuk dari bab tersebut diselesaikan
secara menyeluruh baru dapat beranjak ke bab berikutnya. Sehingga
peserta pelatihan dapat mengukur keberhasilan masing-masing secara
bertahap.

3. Pahami setiap penjelasan dan tugas yang ada dalam modul, apabila
belum mengerti maka dapat dikonsultasikan kepada widyaiswara/
fasilitator.

4 Acara Persidangan
Pidana Anak
BAB II
ASAS-ASAS DALAM PROSES PERADILAN
PIDANA ANAK

Setelah pembelajaran peserta diharapkan mampu menjelaskan


asas-asas dalam proses peradilan pidana anak.

A. Asas perlindungan keadilan, non diskriminasi proporsional


Urgensi Asas :

• Mewujudkan peradilan yang menjunjung tinggi hak asasi anak

• Membantu aparat memahami filosofi perlindungan anak

• Menjadi pedoman dalam penentuan kebijakan/putusan

Keadilan Restorasi
Proses Peradilan Pidana Anak yang menekankan pemulihan kondisi semula
dan bukan pembalasan

Asas:

a) Perlindungan

Yang dimaksud dengan perlindungan meliputi kegiatan yang bersifat


langsung dan tidak langsung dari tindakan yang membahayakan anak
secara fisik dan/atau psikis.

b) Keadilan

Yang dimaksud dengan keadilan adalah bahwa setiap penyelesaian


perkara anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi anak.

5
c) Non Diskriminasi

Yang dimaksud dengan non diskriminasi adalah tidak adanya


perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan,
jenis kelamin, etnik, budaya dan Bahasa, status hukum anak, urutan
kelahiran anak, serta kondisi fisik dan/ atau mental.

d) Kepentingan Terbaik Anak

Yang dimaksud dengan kepentingan terbaik bagi anak adalah segala


pengambilan keputusan-keputusan harus selalu mempertimbangkan
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.

e) Penghargaan Pendapat

Yang dimaksud dengan penghargaan terhadap pendapat anak


penghormatan atas hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan
pendapatnya dalam pengambilan keputusan, terutama jika menyangkut
hal yang mempengaruhi kehidupan anak.

f) Kelangsungan Hidup dan Tumbuh Kembang Anak

Yang dimaksud dengan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang


anak adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi
oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.

g) Pembinaan dan Pembimbingan Anak

Yang dimaksud dengan pembinaan adalah kegiatan untuk


meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan, ketrampilan, professional,
serta kesehatan jasmani dan rohani anak baik di dalam maupun di
luar proses peradilan pidana. Yang dimaksud dengan pembimbingan
adalah pemberian tuntutan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan
keterampilan, professional, serta kesehatan jasmani dan rohani klien
pemasyarakatan.

6 Acara Persidangan
Pidana Anak
h) Proporsional

Yang dimaksud dengan proporsional adalah segala perlakuan terhadap


anak harus memperhatikan batas keperluan, umur dan kondisi anak.

i) Perampasan Kemerdekaan

Yang dimaksud dengan perampasan kemerdekaan merupakan


upaya terakhir adalah pada dasarnya anak tidak dapat dirampas
kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna kepentingan penyelesaian
perkara.

j) Penghindaran Pembalasan

Yang dimaksud dengan penghindaran pembalasan adalah prinsip


menjauhkan upaya pembalasan dalam proses peradilan pidana.

B. Konsep Anak, Kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan


terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang anak serta pembinaan dan pembimbingan
C. Rangkuman
Asas asas dalam proses pengadilan anak terdiri dari

A. Perlindungan

B. Keadilan

C. Non Diskriminasi

D. Kepentingan Terbaik Anak

E. Penghargaan Pendapat

F. Kelangsungan Hidup Dan Berkembang Tumbuh Anak

G. Pembinaan Dan Pembimbung Anak

H. Proposianal

I. Perampasan Kemerdekaan

J. Penghindaran Pembalsan

Acara Persidangan
7
Pidana Anak
D. Evaluasi
Jawablah pertanyaan berikut ini :

1. Sebutkan 3 dari asas-asas dalam Proses Pengadilan Anak!

2. Apa yang dimaksud dengan Asas Penghargaan Pendapat?

3. Apa yang dimaksud dengan Asas Proposional?

E. Tindak Lanjut
Apabila saudara telah mampu menjawab pertanyaan diatas dengan benar,
maka saudara telah memenuhi kriteria belajar tuntas. Namun apabila belum,
saudara dapat melakukan pendalaman kembali terhadap materi yang telah
diuraikan pada bab II ini

8 Acara Persidangan
Pidana Anak
BAB III
PENYELESAIAN PERKARA ANAK YANG BELUM
BERUSIA 12 TAHUN

Setelah pembelajaran peserta diharapkan mampu mengidentifikasi


Penyelesaian perkara anak yang belum berusia 12 tahun

A. Proses Pengambilan keputusan dan tindak lanjutnya


1. Kerangka Penyelesaian Perkara Anak yang Belum Berusia 12 Tahun
a. Perspektif Prinsip Internasional

United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of


Juvenile Justice (The Beijing Rules), Resolusi PBB Nomor 40/33
tanggal 29 November 1985, pada Paragraf 11.1 telah memberikan
kewenangan kepada Aparat Penegak Hukum (APH) agar sebisa
mungkin kasus-kasus hukum yang terkait dengan anak dilakukan
tanpa melalui pengadilan. Pemberian kewenangan ini untuk
mengalihkan penyelesaian kasus yang pelakunya anak ke jalur di
luar pengadilan. Tujuan utama pengalihan ini adalah untuk melindungi
anak dari penghukuman yang berat dan berbagai efek negatif dari
jalur pengadilan formal. Penetapan usia minimal 12 (dua belas)
tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban hukum bagi
anak telah dipraktikan oleh sebagian negara-negara sebagaimana
juga direkomendasikan oleh Komite Hak Anak PBB dalam General
Comment, tanggal 10 Februari 2007:

The UN’s General Comment no 10 (2007) on juvenile justice makes


clear its view that a minimum age of criminal responsibility below the

9
age of 12 is not “internationally acceptable” and that all countries
should raise their minimum age to at least 12 and preferably 14 or 16.

Penetapan batas umur tersebut juga dengan mempertimbangkan


bahwa anak yang sudah berumur 12 tahun secara relatif telah memiliki
kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil serta sesuai
dengan psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia, sehingga dapat
bertanggung jawab secara hukum karena telah mengetahui hak
dan kewajibannya. Meskipun demikian, Komite Hak Anak juga tetap
menekankan pentingnya peningkatan usia pertanggungjawaban anak
di umur 14 dan juga 16 tahun.

b. Perspektif Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010 yang


memeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitusi pada tingkat
pertama dan terakhir, dalam perkara permohonan Pengujian Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak terhadap
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
diajukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Yayasan
Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan berpendapat, batas umur
minimal 12 (dua belas) tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh
berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin
dalam Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 sebagai konsekuensi terkait
pertanggungjawaban perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak.

c. Perspektif UU SPPA

Pada bagian Penjelasan Umum UU SPPA disebutkan bahwa khusus


mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan
umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur kurang dari 12 (dua
belas) tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi anak yang telah
mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan
belas) tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana. Oleh sebab itu, Pasal
21 ayat (1) UU SPPA menyebutkan bahwa:
10 Acara Persidangan
Pidana Anak
Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan
atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil
keputusan untuk:

a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau

b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan,


dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi
yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat
pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan”.

Pertimbangan memberikan tindakan kepada anak yang belum


berumur 12 (dua belas) tahun tanpa melalui proses peradilan
merupakan pengejawantahan asas proporsional dalam Pasal 2
UU SPPA. Penjelasan Pasal 2 huruf h menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan ”proporsional” adalah segala perlakuan terhadap
anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi anak.
Berdasarkan pendapat yang disampaikan oleh komite Hak Anak dan
juga pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di
atas serta mengacu pada UU SPPA, maka terlihat bahwa baik anak
yang berumur 12 tahun dan anak yang belum berumur 12 tahun
tetap dapat mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya. Anak
yang belum berumur 12 tahun tetap mempertanggungjawabkan
perbuatannya, meski tidak melalui proses peradilan pidana dan bagi
mereka tetap dikenakan “tindakan”, dengan mempertimbangkan
kepentingan terbaik bagi anak.

2. Tata Laksana Penanganan Anak yang Belum Berusia 12 Tahun


Berdasarkan PP No. 65 Tahun 2015
Tanggal 19 Agustus 2015 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12

Acara Persidangan
11
Pidana Anak
Tahun ditetapkan oleh Presiden dan diundangkan. Salah satu substansi dari PP
65/2015 ini adalah mengatur tentang penanganan anak yang belum berumur 12
tahun. Konteks pertanggungjawaban Anak dibawah 12 tahun ini dalam Black
Law Dictionary disebut dengan asas Doli Incapax yakni asas yang menjelaskan
bahwa pada dasarnya anak tidak mampu melakukan niat kriminal; tidak dalam
usia yang bijaksana; tidak memiliki keleluasaan dan kecerdasan yang cukup untuk
membedakan yang benar dan salah dan sampai sejauh mana bertanggungjawab
atas perbuatan pidana yang dilakukannya.

a. Penerimaan Laporan terjadinya Tindak Pidana

a.1. Prosedur

Penerimaan Laporan terjadinya tindak pidana terbagi menjadi tiga


prosedur yakni:

12 Acara Persidangan
Pidana Anak
(1) Laporan dari anggota Polri yang mengetahui adanya tindak
pidana atau laporan dari piket siaga Sentra Pelayanan Kepolisian
Terpadu.

(2) Penerimaan laporan dari korban sebagai pelapor.

(3) Penerimaan laporan dari masyarakat/tertangkap tangan.

Untuk saat ini dalam proses pelaksanaan penyelidikan dan


penyidikan, tidak perlu diteruskan ke Kejaksaan sehingga tidak
ada kewajiban untuk menyerahkan SPDP ke kejaksaan. SPDP
hanya diregister dalam sistem administrasi perkara internal di
Kepolisian atau tidak membuat SPDP. Mengacu pada Penjelasan
Pasal 21 UU SPPA bahwa proses pemeriksaan yang dilakukan
oleh Penyidik terhadap Anak dibawah 12 tahun bukan dalam
rangka proses peradilan pidana melainkan digunakan sebagai
dasar mengambil keputusan oleh Penyidik, PK dan Peksos.

a.2. Pentingnya Memastikan Usia Anak

UU SPPA mengenal beberapa pendekatan dalam penyelesaian


perkara pidana yang dilakukan oleh anak, diantaranya anak yang
belum berumur 12 tahun dan anak yang sudah berumur 12 tahun.
Pembuktian terhadap umur anak menjadi penting karena berpengaruh
pada pilihan proses yang digunakan dalam menyelesaikan perkara
pidana tersebut, tentu saja dalam kerangka perlindungan bagi anak.
Dalam praktik, pada saat penerimaan laporan dari pihak korban atau
ketika tertangkap tangan di beberapa kasus tertentu, tidak jarang
Penyidik mengalami kesulitan dalam menentukan usia anak, hal mana
disebabkan pihak korban atau anak tidak mengetahui pasti berapa
usianya.

✓ Untuk memastikan Umur anak sebagai mana Pasal 74 ayat (1)


PP 65/2015, Penyidik harus membuktikan dengan akta kelahiran.
Akta Kelahiran adalah bukti sah mengenai status dan peristiwa
kelahiran anak yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan

Acara Persidangan
13
Pidana Anak
Catatan Sipil. Anak yang dilaporkan kelahirannya akan terdaftar
dalam Kartu Keluarga dan diberi Nomor Induk Kependudukan
(NIK).

✓ Apabila anak belum memiliki akta kelahiran, maka Penyidik bisa


mencari data melalui Surat Keterangan Lahir, yang dikeluarkan
oleh bidan atau dokter yang menangani kelahiran anak tersebut.
Jika surat keterangan lahir juga sulit diperoleh, maka Penyidik
dapat memperoleh dari dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
pejabat lain misalnya Ijazah atau raport sekolah, kartu Identitas
Anak atau kartu Pelajar.

✓ Apabila dokumen tersebut diatas sulit juga diperoleh, maka


Penyidik dapat meminta PK dan Peksos atau dokter atau ahli
untuk melakukan penelitian umur anak sebelum dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut oleh Penyidik. Penyidik melakukan
analisa penerimaan Laporan tersebut dan membuat keputusan
apakah laporan tersebut masuk sebagai Laporan Polisi dan
ditindaklanjuti atau Laporan tersebut bukan tindak pidana
dan tidak dikategorikan sebagai Laporan polisi dan dijelaskan
Laporan tersebut tidak diproses.

a.3. Prinsip Penting Penerimaan Laporan Anak Yang belum berumur


12 tahun

(1) Tetap dilakukan Penyidikan terhadap perkara tersebut.

Agar anak tidak terpapar sistem peradilan pidana yang dapat


berpengaruh kepada perkembangan kejiwaan anak dan stigma
sebagai anak pidana, maka bagi anak pelaku yang belum berumur
12 tahun tidak dilanjutkan ke proses Peradilan Pidana. Hal ini sejalan
dengan Penjelasan Pasal 21 UU SPPA yang menyebutkan bahwa
Batas Umur 12 tahun untuk dapat diajukan ke sidang Anak didasarkan
pada pertimbangan filosofi, sosiologis, psikologis dan pedagogis

14 Acara Persidangan
Pidana Anak
bahwa Anak yang belum berumur 12 Tahun dianggap belum dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Selanjutnya dijelaskan
bahwa Proses Pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik terhadap
Anak dilakukan bukan dalam rangka proses peradilan pidana,
melainkan digunakan sebagai dasar mengambil keputusan oleh
Penyidik, PK dan Pekerja Sosial

(2) Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan
dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik.

✓ Kerahasiaan Identitas anak dalam proses pemeriksaan perkara


adalah salah satu hak anak yang diatur dalam Undang-
Undang SPPA yakni dalam Pasal 3 huruf i. Identitas yang perlu
dirahasiakan meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama
Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang
dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau
Anak Saksi.

✓ Menjaga kerahasiaan identittas anak dengan tidak


mempublikasikannya kepada media massa merupakan bentuk
perlindungan kepada anak. Selain konteks keamanan bagi anak,
maka kerahasiaan ini mencegah anak mendapatkan stigma
negatif dari masyarakat dan lingkungan yang lebih luas.

✓ Hal penting yang juga digarisbawahi disini adalah bagi Petugas


atau siapapun yang mempublikasikan identitas anak akan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
sebagaimana diatur dalam Pasal 97 UU SPPA

(3) Dalam perkara tertangkap tangan atau dalam keadaan sangat


mendesak yang membutuhkan penanganan yang sangat cepat,
Petugas/Penyidik dapat melakukan tindakan Kepolisian dengan
seketika di tempat kejadian perkara tanpa harus membuat laporan

Acara Persidangan
15
Pidana Anak
Polisi terlebih dahulu. Kondisi ini biasanya terkait dengan keamanan,
keselamatan, dan perlindungan jiwa anak dari kemungkinan balas
dendam masyarakat. Kondisi ini juga berhubungan dengan kondisi
korban atau yang berhubungan dengan kepentingan pengumpulan
fakta fakta dan bukti yang karena kondisi di lapangan tidak bisa ditunda.

(4) Apabila Anak atau Anak Korban memerlukan tindakan penyelamatan,


anak segera dibawa ke Pusat Pelayanan Terpadu atau Rumah Sakit
rujukan untuk mendapatkan penanganan medis-psikis serta memantau
perkembangannya. Petugas/penyidik wajib mengantarkan sampai ke
tujuan rujukan dan menyerahkan kepada petugas yang bersangkutan
disertai dengan penjelasan masalahnya.

(5) Dalam kondisi tertentu Anak atau Anak Korban setelah selesai
dibuatkan laporan Polisi diperlukan pembuatan visum et repertum,
maka petugas/penyidik mengantarkan anak ke Pusat Pelayanan
terpadu (PPT) untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan dan visum
et repertum. Penyidik menerima STTL (Surat Tanda Terima Laporan)
dan laporan Polisi diberi nomor oleh SPK lalu dicatat dalam buku
register perkara khusus anak (B-1 khusus anak) serta selanjutnya
diajukan kepada pimpinan guna mendapatkan arahan lebih lanjut.

b. Pemberitahuan oleh Penyidik

Pendekatan penanganan anak pelaku yang belum berumur 12 tahun


adalah menghindarkan anak dari proses judicial formal oleh sebab itu
dalam proses ini lebih ditekankan aspek koordinasi intensif penyidik
dengan pihak terkait lainnya.

b.1. Prosedur

Setelah menerima Laporan dan melakukan registrasi dalam waktu


1x24 jam, Penyidik perlu memberitahukan kepada orang tua/keluarga/
wali asuh Anak bahwa Anak berada di kantor Polisi. Selain itu, Petugas/
Penyidik juga wajib menghubungi Bapas untuk keperluan Litmas dan

16 Acara Persidangan
Pidana Anak
Pekerja Sosial Profesional setempat untuk kepentingan penyusunan
Laporan Sosial. Jika pada saat penerimaan laporan belum ditemukan
orangtua atau wali Anak, maka penyidik harus menginformasikan
hal tersebut kepada Bapas dan juga Peksos Profesional agar
menyiapkan pendampingan sambil menunggu diperolehnya kepastian
pendampingan dari keluarga.


Apabila dalam wilayah hukum setempat tidak memiliki
Pekerja Sosial Profesional, maka Penyidik wajib berkoordinasi
dengan Dinas Sosial setempat untuk menyediakan Pekerja Sosial
demi kepentingan penyusunan Laporan Sosial

Untuk mempermudah dan mempercepat penyelesaian perkara anak,


pemberitahuan dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi
informasi terlebih dahulu (koordinasi melalui Telepon, WA atau email)
namun pemberitahuan secara administratif harus tetap dilakukan.

b.2. Hal Penting terkait Pemberitahuan

Penyidik tidak diperkenankan untuk mengabaikan proses pem-


beritahuan ini. Apabila penyidik lalai dan tidak memberitahukan
kepada PK dan Peksos adanya perkara yang pelakunya dibawah
umur 12 tahun maka Litmas dan Laporan Sosial tidak akan diperoleh
Penyidik. Apabila dua dokumen ini tidak dimiliki secara resmi oleh
Penyidik sedangkan proses pemeriksaan tetap dilangsungkan, maka
ada indikasi terjadinya pelanggaran terhadap hak anak, yakni untuk
memperoleh bantuan lain dalam pemeriksaan perkara. Bantuan
lain selain bantuan hukum termasuk bantuan memberikan informasi
dan data yang secara substansi dimasukkan dalam Litmas dan juga
Laporan Sosial. Pemberitahuan tersebut bermuara pada diperolehnya
informasi dan data penting kenapa anak bisa melakukan kejahatan/

17
pelanggaran pidana dan seberapa pengaruh lingkungan yang
mendorong dirinya melakuan perbuatan tersebut.

Apabila Penyidik lalai dalam memberitahukan kepada PK dan Peksos,


maka secara tidak langsung Penyidik telah mengabaikan beberapa
asas dalam SPPA yakni asas keadilan, asas perlindungan bagi anak
dan asas kepentingan terbaik bagi anak. Dalam pasal 18 UU SPPA
disebutkan bahwa dalam menangani perkara Anak, Anak Korban,
dan/atau Anak Saksi, Pembimbing kemasyarakatan, Pekerja Sosial
Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut
Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib
memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan
suasana kekeluargaan tetap terpelihara.

Jika terjadi pelanggaran terhadap penerapan asas perlindungan dan


kepentingan terbaik bagi anak sebagaimana disebutkan dalam Pasal
95 UU SPPA, maka bagi petugas yang bersangkutan dikenai sanksi
administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kelalaian Penyidik dalam hal tidak memberitahukan kepada PK dan
Peksos terkait penanganan anak yang belum berumur 12 tahun akan
dianggap telah mengabaikan asas kepentingan terbaik bagi anak dan
bagi Penyidik yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administrasi

c. Penggalian Informasi

“Menggali informasi” adalah proses yang dilakukan oleh Penyidik,


Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional sesuai
dengan kewenangannya masing-masing untuk memperoleh data dan
informasi sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Penggalian
informasi merupakan kegiatan yang sangat penting agar penyidik, PK
dan Peksos mendapatkan data dan informasi yang cukup agar anak
memperoleh keadilan dari informasi yang akurat.

18 Acara Persidangan
Pidana Anak
c.1. Prosedur

✓ Penggalian Informasi dilakukan Sejak diterimanya surat


Pemberitahuan dari Penyidik dan dalam jangka waktu 3x24 jam
PK harus menyusun hasil Penelitian Kemasyarakatan (Litmas)
dan menyampaikan hasil Litmas kepada Penyidik. Dalam
menyusun Penelitian Kemasyarakatan, PK dapat meminta
pendapat ahli (Pasal 68 ayat (2) PP.65/2015).

✓ Seperti halnya PK, setelah menerima surat pemberitahuan


dari penyidik, Pekerja Sosial Profesional juga harus melakukan
penggalian infrormasi dan dalam jangka waktu 3x24 jam harus
melakukan dan menyusun penelitian sosial dan menyerahkan
laporan sosial nya kepada Penyidik.

✓ Penyidik melakukan penggalian informasi melalui pengumpulan


keterangan dan pengumpulan bukti-bukti. Keterangan yang
dimaksud mencakup juga permintaan keterangan ahli apabila
tidak terdapat akta kelahiran/surat keterangan lahir atau
dokumen yang dapat memastikan umur anak (Pasal 74 ayat (2)
PP 65/2015).

✓ Penggalian Informasi dan penyusunan Berita Acara Wawancara/


Interview dilakukan oleh Penyidik dalam jangka waktu 7x24 Jam.
Berita Acara Wawancara/Interview dijadikan sebagai bahan
pembahasan dalam rapat koordinasi pengambilan keputusan.

c.2. Metode Penggalian Informasi

Untuk menemukan data dan informasi terkait perbuatan pidana dan


alasan kenapa anak melakukan perbuatan tersebut serta kondisi lain
yang berpengaruh pada perbuatan anak, Penyidik, PK dan Peksos
melakukan penggalian informasi. Mengingat jangka waktu penggalian
data dan informasi tidak begitu lama yakni 7 hari untuk penyidik
dan 3 hari bagi PK dan Peksos maka petugas harus benar-benar
memanfaatkan waktu untuk penggalian informasi.
Acara Persidangan
19
Pidana Anak
Sumber informasi terbagi menjadi dua yakni:

(1) Data dan informasi yang diperoleh dari sumber langsung (disebut
dengan data primer).

Dalam perkara anak yang belum berumur 12 tahun ini sumber


data primer dan informasi diperoleh dari keterangan anak pelaku,
keterangan korban, dan keterangan saksi saksi, surat dan keterangan
ahli.

(2) Data dan informasi yang diperoleh melalui sumber tidak langsung
(disebut dengan data sekunder), yang bisa diperoleh melalui
pengumpulan data dan informasi yang diperoleh dari: benda yang
diperoleh dari Anak yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari
tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

o benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk


melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

o benda yang digunakan untuk menghalang-halangi pemeriksaan


dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh anak;

o benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak


pidana;

o benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak


pidana yang dilakukan oleh anak

Cara atau metode yang digunakan dalam mengumpulkan data dan


informasi ini sekurang kurangnya dilakukan melalui:

(1) Wawancara

Wawancara dilakukan melalui tatap muka dan tanya jawab langsung


antara petugas dengan anak, korban, saksi-saksi dan ahli. Wawancara
dilakukan secara terstruktur dimana para petugas telah mengetahui
dengan pasti apa informasi yang ingin digali dari responden sehingga
daftar pertanyaannya sudah dibuat secara sistematis. petugas juga

20 Acara Persidangan
Pidana Anak
dapat menggunakan alat bantu tape recorder, kamera photo, dan
material lain yang dapat membantu kelancaran wawancara.

(2) Pengamatan

Pengamatan dilakukan secara langsung oleh petugas dengan


memperhatikan jangka waktu penyampaian laporan. Pengamatan
biasanya dilakukan apabila anak, korban atau saksi tidak mampu
atau tidak mau berkomunikasi secara verbal dengan petugas. Melalui
pengamatan, petugas dapat mencatat data dan informasi yang
berhubungan dengan perilaku dan kondisi kondisi yang berpengaruh
kepada tingkah laku anak, sebelum, pada saat dan sesudah perbuatan
yang dilaporkan terjadi. Tes atau pemeriksaan.

Metode ini bisa dipilih untuk memperoleh data dan informasi dari sumber
data primer dan sekunder. Tes dapat dimaknai dengan pemeriksaan
yang dilakukan secara sah dan dapat dipertanggungjawabkan
menurut hukum. Tes mencakup pemeriksaan kesehatan, kondisi
fisik, kondisi psikis, kondisi mental termasuk pemeriksaan kesahihan
dokumen dan tandatangan serta otentifikasi surat. Penggunaan test
sebagai salah satu metode penggalian data dan informasi juga perlu
memperhatikan jangka waktu yang tersedia sampai dengan batasan
waktu penyampaian laporan.

(3) Penelusuran dokumen.

Dokumen dimaksud secara kualitas berhubungan secara langsung


atau tidak langsung dengan peristiwa pidana yang diduga dilakukan
oleh anak.

c.3. Hal Penting dalam Penggalian Informasi

● Sebelum melakukan penggalian data dan informasi terlebih


dahulu menyusun instrumen pengumpulan data dan informasi
dan menyiapkan alat bantu dalam pengumpulan data sesuai
dengan kebutuhan data dan informasi yang ingin diperoleh dari
masing masing petugas (Penyidik, PK dan Peksos)
Acara Persidangan
21
Pidana Anak
● Pengkondisian tempat wawancara bagi responden atau tempat
yang menjadi target pengumpulan data dan informasi harus
benar benar disiapkan dengan teliti.

● Lebih sedikit orang yang hadir dalam proses penggalian data


dan informasi lebih baik dan jangan menggunakan seragam
resmi pada saat mencari data dan informasi

● Menyampaikan dengan jelas mengenai tujuan dari penggalian


data dan informasi kepada subjek/responden/narasumber.

● Memperhatikan dan beradaptasi dengan responden dengan


melihat usia dan jenis kelamin serta kondisi psikologis responden,
(anak, remaja, dewasa – laki laki, perempuan atau orang
berkebutuhan khusus). Gunakan bahasa yang bisa dimengerti
oleh responden dan hindari pertanyaan yang membutuhkan
jawaban ya atau tidak

● Menekankan pentingnya kejujuran dan kebenaran kepada


responden dalam memberikan data dan informasi. Apabila
responden berbohong atau tidak mengungkapkan data atau
informasi yang sebenarnya diketahui oleh responden maka
petugas tidak boleh menekan, memaksakan agar dijawab
apalagi melakukan kekerasan supaya data dan informasi
diberikan responden. Jangan menunjukkan jengkel, saat Anda
tidak berhasil mendapatkan informasi yang ingin Anda dengar,
sebaiknya berhenti dan beristirahat sejenak, atau mengatur
waktu lain untuk bertemu kembali.)

● Hal yang juga penting diperhatikan menurut penelitian (oleh


Ceci; 1995; carson et al 2003 )anak anak usia pra sekolah ketika
diwawancara belum dapat membedakan kejadian nyata dan
imajinasi. Kosa kata harus sederhana dan dapat dipahami untuk
anak, dengan kalimat aktif dan suara pendek tanpa negasi.

22 Acara Persidangan
Pidana Anak
● Untuk anak 7-12 tahun Struktur kepribadian secara signifikan
dapat mempengaruhi cara mereka memberi kesaksian. Anak-
anak pada usia ini dapat mengevaluasi perilaku dalam istilah
moral, namun kerangka acuan normatif yang dianut di dasari
oleh larangan dan komitmen eksternal, yang dirumuskan oleh
orang tua mereka dan rekan-rekannya. Anak dapat mengadopsi
perspektif orang lain dan mengakui niat orang lain saat
mengevaluasi tindakan mereka

● terkait metode wawancara, anak-anak di usia sekolah dapat


memahami pernyataan dan pertanyaan yang lebih terperinci,
meskipun demikian pewawancara harus menghindari pertanyaan
yang memuat substansi hukum, yang mungkin tidak dapat
dipahami atau dipungkiri, bisa menimbulkan rasa takut dan
meningkatkan rasa bersalah anak.. perhatikan bahasa tubuh
responden atau isyarat non verbal.

● Tidak boleh memuji atau menjanjikan penghargaan atau hadiah


bagi responden karena memberikan informasi

● Jangan lupa menjelaskan proses dan apa yang akan dilakukan


selanjutnya agar responden memahami prosesnya. Ini juga
merupakan metode untuk membangun kepercayaan

d. Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan merupakan bagian yang tidak terpisahkan


dengan kegiatan Rapat koordinasi dengan kata lain Rapat Koordinasi
(rakor) dilakukan dalam rangka pengambilan keputusan terhadap
dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang belum berumur
12 tahun

d.1. Prosedur

(1) Pelaksanaan rakor ditempat instansi yang bertanggung jawab dalam


memfasilitasi pelaksanaan rakor di mana rakor ini menurut Perundang-

Acara Persidangan
23
Pidana Anak
undangan difasilitasi oleh Penyidik (Pasal 77 ayat (1) PP 65/2015).
Dalam kondisi tertentu dengan mempertimbangkan faktor keamanan,
faktor kenyamanan, atas izin dari atasan penyidik maka rakor dapat
dilaksanakan ditempat lain yang sudah disepakati. Kesepakatan
penentuan tempat antara PK, Peksos dan Penyidik dilakukan sebelum
pengajuan izin kepada atasan penyidik. Kesepakatan penentuan
tempat rakor merupakan salah satu bentuk koordinasi dalam
penanganan anak.

(2) Tiga hari sebelum rapat koordinasi penyidik mengirimkan undangan


rapat koordinasi kepada PK, Peksos Profesional, orang tua/wali anak,
keluarga, korban, guru, tokoh masyarakat, tokoh agama atau pihak
lain yang dianggap memiliki keterkaitan dengan terjadinya dugaan
tindak pidana dan perlu didengar keterangannya.

(3) Rapat koordinasi dapat dilakukan lebih dari satu kali sampai dengan
batas jangka waktu pengambilan keputusan. Pengambilan Keputusan
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak
tanggal dimulainya rapat koordinasi. (Pasal 77 ayat (2) PP 65/2015)

Tata Cara Pelaksanaan Rapat Koordinasi

a. Rakor dibuka oleh Penyidik dengan perkenalan para pihak yang hadir,
Penyidik menyampaikan maksud dan tujuan rapat koordinasi/rakor,
serta tata tertib rakor untuk disepakati oleh para pihak yang hadir.

b. Penyidik menjelaskan susunan acara rakor.

c. Penyidik menjelaskan Berita Acara Interview.

d. Penyidik memberikan Kesempatan Kepada PK untuk menjelaskan


hasil Litmas dan rekomendasinya

e. Penyidik memberikan kesempatan kepada Pekerja Sosial Profesional


untuk menjelaskan Laporan sosialnya serta program intervensi yang
direkomendasikan.

f. Penyidik wajib memberikan kesempatan kepada:

24 Acara Persidangan
Pidana Anak
● Anak untuk didengar keterangannya;

● Orang tua/Wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan


dengan perbuatan Anak dan bentuk penyelesaian yang diharap-
kan.

● Korban/Anak Korban/Orang tua/Wali untuk memberi tanggapan


dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.

g. Bila dipandang perlu, Penyidik dapat memanggil pihak lain seperti tokoh
agama, tokoh masyarakat, guru atau ahli untuk memberikan informasi/
keterangan untuk mendukung pemenuhan data dan informasi untuk
kepentingan pengambilan keputusan.

h. Bila dipandang perlu, Penyidik, PK dan Pekerja sosial profesional


dapat melakukan pertemuan terpisah (Kaukus) dengan para pihak,
termasuk anak atau korban atau juga saksi.

i. Penyidik menuangkan hasi rapat koordinasi dalam Berita Acara rapat


hasil koordinasi

j. Dalam menyusun Berita Acara perlu diperhatikan agar hasil rapat


koordinasi tidak bertentangan dengan hukum, agama, kepatutan
masyarakat setempat, kesusilaan; atau memuat hal-hal yang tidak
dapat dilaksanakan Anak; atau yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Setelah semua pihak yang diundang telah didengar keterangannya,


Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial Profesional
melakukan Rapat Koordinasi untuk pengambilan keputusan (Pasal
77 ayat (1) PP 65/2015). Apabila korban tidak hadir meski sudah
diberitahukan maka pengambilan keputusan tetap dilaksanan oleh
Penyidik, Peksos dan PK tanpa harus menunggu kehadiran korban.
Berdasarkan Pasal 69 ayat (1) PP 65/20115 Pengambilan Keputusan
dalam dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang belum
berumur 12 tahun wajib memperhatikan:

Acara Persidangan
25
Pidana Anak
● Kepentingan terbaik Anak; Kemasyarakatan; dan

● Laporan sosial yang dilakukan oleh Pekerja Sosial Profesional

d.2. Hal Penting pada saat Pengambilan Keputusan

✓ Pengambilan Keputusan perlu melihat fakta hukum dan bukti bukti


terjadinya perbuatan pidana sesuai analisa hukum.

✓ Pengambilan Keputusan tersebut juga didasarkan pada pada


pertimbangan sosiologis, psikologis dan pedagogis (pasal 69 ayat (2)
PP 65/2015).

✓ Dengan memperhatikan asas Kepentingan Terbaik bagi Anak dan


Pertimbangan Kelangsungan Hidup dan Tumbuh Kembang Anak
dalam pengambilan keputusan

✓ Pada saat pengambilan keputusan, petugas dan Penyidik wajib


mempertimbangkan kebutuhan korban dan dampak yang timbul dari
perbuatan kepada korban serta upaya yang perlu dilakukan agar
korban juga terlindungi. Aspek kepentingan masyarakat juga perlu
dipertimbangkan terkait bagaimana penerimaan dan pengintegrasian
anak dengan masyarakat Sesuai Pasal 71 PP 65/2015 Keputusan
menyerahkan kembali kepada orangtua /Wali harus memenuhi
persyaratan substantif sebagai berikut:

(1) kesediaan orang tua/Wali untuk mendidik, merawat, membina,


dan membimbing anak yang dibuktikan dengan surat pernyataan
dari orang tua/wali;

(2) kesediaan anak untuk dikembalikan kepada orang tua/wali yang


dibuktikan dari hasil penelitian kemasyarakatan;

(3) tidak ada ancaman dari korban yang dibuktikan dari hasil
penelitian kemasyarakatan dan laporan sosial; dan

(4) rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan yang dibuktikan


dari hasil penelitian kemasyarakatan.

26 Acara Persidangan
Pidana Anak
Berdasarkan pasal 72 PP 65/2015, keputusan untuk mengikutsertakan
dalam program pendidikan, pembinaan dan pembimbingan, maka
harus memenuhi persyaratan substantif yakni;

(1) Rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan ; dan

(2) Standarisasi lembaga pendidikan, pembinaan dan pembimbingan

Oleh sebab itu, pada saat pembuatan keputusan Penyidik, PK dan


Peksos harus benar benar merasa yakin bahwa semua persyaratan
substantif tersebut benar benar akan dilaksanakan dan secara faktual
bisa direalisasikan.

Dalam praktik untuk beberapa kasus tertentu rekomendasi PK


dan Peksos tidak menyebutkan secara terperinci dimana tempat
dilaksanakan Pendidikan/Pembinaan, berapa jangka waktu
dimulainya dan kapan waktu berakhirnya pelaksanaan pengawasan/
pembimbingan. Tidak direkomendasikan tempat dan jangka waktu
dimulainya dan berakhirnya pengawasan menjadi kendala tersendiri
dalam implementasi penanganan tindak pidana anak yang belum
berumur 12 tahun. Kendala pertama adalah kepastian hukum bagi
petugas dalam melaksanakan keputusan dan yang kedua pelanggaran
asas kepentingan terbaik bagi anak, dimana harusnya anak tidak
terhalang oleh hambatan birokratis dalam pelaksanaan tindakan
sebagai bentuk layanan kepada anak.

Oleh sebab itu dalam rekomendasinya PK Bapas dan Peksos harus


tegas menyebutkan nama alamat, LPKS sebagai tempat menjalani
Pendidikan/Pembinaan/termasuk jangka waktu pelaksanaan pem-
binaan atau pendidikan tersebut. PK harus menyampaikan secara
tegas rekomendasi mengenai jangka waktu dimulainya pelaksanaan
pengawasan/pembimbingan dan waktu berakhirnya, rekomendasi
tersebut harus jelas dan dipastikan tertulis dalam berita acara rakor
dan dokumen Keputusan

Acara Persidangan
27
Pidana Anak
d.3. Format Keputusan

KOP Unit Organisasi Kepolisian yang Menangani Perkara


misalnya Kepolisian Resor/Kepolisian Resor Kota/
Kepolisian Resor kota Besar…..
Logo Lambang Kepolisian

Kepala Surat Bertuliskan “Surat Keputusan”

Uraian Identitas Pejabat Yang Membuat Keputusan

1. Penyidik

2. Pembimbing kemasyarakatan

3. Peksos Profesional

Keterangan Tanggal dan Tempat Pengambilan Keputusan serta


keterangan Perbuatan Pidana Yang dilakukan

Nama : Pangkat : Jabatan: Kesatuan: Alamat.

Bertuliskan “ Pada hari ini

…tanggal… bertempat di… terkait Pengambilan Keputusan terhadap


tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang belum berumur 12 tahun
sesuai Laporan Polisi Nomor tanggal….,

tentang perbuatan Pidana…. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal


….atas nama Pelapor.,

Uraian Identitas Anak “Anak dengan identitas sebagai berikut:

Nama Lengkap: Tempat lahir;

Tanggal lahir/umur

Tahun

Jenis kelamin: Agama: Kewarganegaraan:

Alamat tempat tinggal:

Uraian Pertimbangan dalam Pembuatan Keputusan “Berdasarkan


hasil Berita Acara Interview, hasil Litmas, Hasil Laporan Sosial
dan hasil rapat koordinasi diketahui secara jelas telah melakukan
28 Acara Persidangan
Pidana Anak
perbuatan pidana dan telah terkonfirmasi melakukan:

1. …(sebutkan jenis perbuatan pidana dan delik yang dikenakan


pada sang anak sesuai peraturan perundang-undangan pidana)

2. terhadap (sebutkan nama korban) dan akibat serta dampak


yang ditimbulkan dari perbuatan anak kepada korban dan juga
lingkungan

3. berdasarkan pertimbangan yang terkait dengan kepentingan


terbaik bagi anak (uraikan pertimbangannya secara singkat)

4. berdasarkan pertimbangan kelangsungan kehidupan dan


tumbuh kembang anak (uraikan secara singkat)

Uraian Amar Keputusan Dengan ini menyepakati dan telah


tercapai keputusan bahwa terhadap
anak sebagaimana tersebut di atas
diberikan tindakan “….(masukan
redaksi uraian Pasal 21 ayat (1) UU
SPPA atau Pasal 71/Pasal 72 PP 65
Tahun 2015
Kalimat Penutup Demikian keputusan ini dibuat dan
ditandatangani oleh para pihak di …
tanggal……
Tanda Tangan para pihak 1. Korban,

2. Anak/ orang tua /wali anak,

3. PK,

4. Peksos,

5. Penasihat Hukum Anak/


masyarakat

6. Penyidik

e. Ketetapan Keputusan oleh Atasan Penyidik dan Penetapan


oleh Ketua Pengadilan

Acara Persidangan
29
Pidana Anak
e.1. Prosedur

(1) Setelah Keputusan ditandatangani, maka Penyidik meminta


Penetapan terhadap keputusan tersebut kepada atasan Penyidik
(Pasal 77 ayat (3) PP.65/2015). Permintaan

(2) Penetapan kepada atasan penyidik merupakan pertanggung-


jawaban organisatoris terhadap produk administratif yang
dikeluarkan oleh instansi Penyidik agar secara hukum dapat
dipertanggungjawabkan.

(3) Selanjutnya dalam jangka waktu paling lama 3 hari terhitung


sejak tanggal ditetapkan surat keputusan tersebut oleh
atasan penyidik, Surat Keputusan disampaikan oleh Penyidik
kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk dimintakan
Penetapan. Surat Penetapan dari Ketua Pengadilan ini bersifat
menerangkan yang dibuat mengacu pada Surat Keputusan hasil
rapat koordinasi dan Surat Ketetapan dari atasan penyidik. Oleh
sebab itu sedapat mungkin Ketua Pengadilan dalam membuat
surat Penetapan tidak boleh menyimpangi Surat Keputusan dan
Surat Ketetapan dari Atasan Penyidik.

Dalam kasus tertentu pada saat pengiriman permohonan Penetapan


kepada Ketua Pengadilan Negeri, masih terdapat ketidakseragaman
dalam menyiapkan dokumen sebagai lampiran. Akibatnya Ketua
Pengadilan mengembalikan surat permohonan Penetapan tersebut
kepada penyidik agar melengkapinya dengan dokumen-dokumen
yang dibutuhkan oleh Ketua Pengadilan sebelum membuat Surat
Penetapan. Untuk keseragaman dalam penerapan permohonan surat
Penetapan Ketua Pengadilan maka Penyidik wajib melampirkan
dokumen berikut ini:

30 Acara Persidangan
Pidana Anak
Dokumen yang perlu disertakan dalam permintaan Penetapan
oleh Penyidik kepada Ketua Pengadilan Negeri adalah:

Surat Keterangan yang menunjukan Umur Anak Hasil


rekomendasi LITMAS PK

Hasil LAPSOS dari PK Profesional Berita Acara Wawancara/


Interview Berita Acara Rapat koordinasi

Surat Keputusan hasil rapat koordinasi yang sudah memperoleh


Ketetapan dari Atasan Penyidik

Tiga hari sejak diterimanya permintaan penetapan oleh Penyidik,


Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan Surat Penetapan terhadap
perkara Anak yang belum berumur 12 tahun. Surat Penetapan tersebut
disampaikan kepada Penyidik untuk diteruskan kepada PK dan Peksos
Profesional.

e.2. Hal Penting untuk Diperhatikan

✓ Dokumen yang perlu disertakan dalam permintaan Penetapan ke Ketua


Pengadilan wajib dilampirkan bersama surat permohonan penetapan
dari instansi Penyidik. Dokumen tersebut semua wajib tersedia.

✓ Hari yang dimaksud sebagai jangka waktu dalam ketentuan


penanganan perkara anak yang belum berumur 12 tahun adalah hari
kalender.

✓ Apabila hari ketiga jatuh pada hari libur, maka Penetapan dikeluarkan
pada hari kalender berikutnya, sepanjang tidak bertepatan dengan hari
libur. Sebisa mungkin pengiriman permohonan penetapan oleh Penyidik
memperhatikan dan memperhitungkan hari hari Libur sehingga ada
kepastian penerimaan Surat Penetapan dari Ketua Pengadilan

Acara Persidangan
31
Pidana Anak
✓ Ketua Pengadilan membuat Penetapan dalam rangkap 3. Satu untuk
Penyidik, Untuk PK dan Peksos Dalam jangka waktu 1 hari setelah
Penetapan diterima oleh Penyidik maka Penyidik wajib meneruskan
Penetapan Ketua Pengadilan tersebut kepada PK dan Peksos
Profesional.

f. Pelaksanaan Penetapan Pengadilan

Setelah Surat Penetapan Pengadilan diterima oleh Penyidik maka


Penyidik melaksanakan Penetapan pengadilan.

f.1. Prosedur

(1) Dalam hal Penetapan Keputusan anak diserahkan kembali


kepada orang tua, maka Penyidik menyusun Surat Pemberitahuan
kepada PK dan Peksos Profesional untuk kepentingan
pendampingan dan pelaksanaan penetapan pengadilan.

(2) Penyidik menyerahkan anak kembali ke orang tua /wali


didampingi oleh PK dan Peksos. Penyerahan anak oleh Penyidik
kepada orang tua/wali dibuat dengan Berita Acara penyerahan.
Dalam penyerahan tersebut, PK dan Peksos serta orang tua /
wali menandatangani berita acara dan mendapatkan salinan
berita acara penyerahan yang dibuat oleh Penyidik. Penyidik
menyampaikan Salinan Berita Acara Penyerahan yang sudah
ditandatangani oleh para pihak kepada Ketua Pengadilan
sebagai bukti bahwa Penetapan Pengadilan telah dilaksanakan.

(3) Dalam hal keputusan yang ditetapkan Ketua PN adalah


mengikutsertakan Anak dalam program pendidikan, pembinaan,
dan pembimbingan: maka Penyidik menyerahkan anak kepada
LPKS dengan membuat Berita Acara Penyerahan Anak
didampingi oleh PK dan Peksos

32 Acara Persidangan
Pidana Anak
(4) Pelaksanaan Penetapan dilakukan 1 hari setelah Penyidik
menyampaikan salinan surat Penetapan dari Ketua Pengadilan
kepada PK dan Peksos Profesional

f.2. Hal-hal Penting yang Perlu Diperhatikan

✓ Pada saat penyerahan anak kembali ke orang tua pelibatan keluarga,


tokoh masyarakat, tokoh agama, keluarga korban dan perwakilan dari
pihak atau instansi Pemerintah yang lain sangat penting agar proses
integrasi melalui pemulihan hubungan anak dengan lingkungan dapat
berjalan dengan baik

✓ Pelibatan para pihak sebagaimana dijelaskan diatas dikoordinasikan


dan menjadi tanggungjawab bersama antara Penyidik, PK dan Peksos
profesional. Terhadap para pihak terkait perlu ditegaskan dan meminta
komitmen pertanggungjawaban bersama agar anak bisa dilindungi
dan diperhatikan tumbuh kembangnya.

✓ Terhadap keputusan mengikutsertakan Anak dalam program


pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan LPKS, maka LPKS tetap
melibatkan orang tua, tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam
lingkungan anak agar ketika program telah selesai dilaksanakan sudah
terbangun komunikasi antara anak dengan lingkungannya (integrasi )
. terhadap program ini dibuat surat pernyataan bersama yang dibuat
oleh instansi LPKS

✓ Perencanaan dan persiapan Pelibatan ini dilakukan oleh Penyidik, PK


dan Peksos Profesional sebelum pelaksanaan penetapan.

✓ Persyaratan penerimaan Anak yang ditempatkan di LPKAS harus


dilengkapi dengan: surat penempatan dari penyidikAnak; hasil keputusan
musyawarah antara Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan
Pekerja Sosial Profesional; berita acara serah terima penempatan;dan
surat pernyataan bersama mengenai keamanan dan pengawasan

Acara Persidangan
33
Pidana Anak
g. Pengawasan Pelaksanaan Penetapan

g.1. Prosedur

(1) Setelah anak dikembalikan ke orang tua atau anak menjalani


program pendidikan, pembinaan dan pembimbingan di LPKS
maka Kepala Bapas memerintahkan PK yang ditunjuk untuk
melakukan Pengawasan.

(2) PK kemudian menyusun rencana untuk melakukan pengawasan.

(3) Dalam pelaksanaan pengawasan PK berkoordinasi dengan


Peksos profesional. Peksos yang melakukan Pengawasan
dalam pelaksanaan program di LPKS juga menyampaikan hasil
pengawasannya kepada PK.

(4) Hasil Pengawasan yang dilakukan PK maupun Peksos dilaporkan


kepada Kepala Bapas.

(5) Kepala Bapas menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan


Penetapan putusan kepada Ketua Pengadilan dan kepada
Penyidik.

g.2. Hal-hal yang Penting Diperhatikan

✓ Program pendidikan yang dilakukan oleh LPKS, terdiri dari:

a. pendidikan formal;

b. program kejar paket A; dan

c. pendidikan layanan khusus.

Dalam hal di dalam LPKS tidak menyelenggarakan program pendidikan,


pendidikan terhadap Anak dilakukan dengan memanggil guru ke LPKS
atau menitipkan Anak ke sekolah terdekat (Pasal 81 PP 65 /2015)

✓ Pelaksanaan Pendidikan, Pembinaan dan Pembimbingan harus


disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak. (Pasal 84 PP. 65/2015).
Dalam rangka Pengawasan kegiatan Pendidikan, Pembinaan dan
Pembimbingan Bapas melakukan koordinasi dengan pimpinan LPKS.

34 Acara Persidangan
Pidana Anak
✓ Program pembinaan terhadap Anak dilakukan dengan tujuan agar
Anak tidak kembali melakukan tindak pidana serta mengubah sikap
dan perilaku Anak. Program pembinaan terdiri atas Pasal 82 PP
65/2015):

a. pembinaan keagamaan;

b. pembinaan intelektual dan perilaku;

c. pembinaan keterampilan; pembinaan kemandirian;

d. pembinaan profesional; dan

e. pembinaan kesehatan jasmani dan rohani.

✓ Program pembimbingan terhadap Anak dilakukan dengan tujuan


memberikan keterampilan. Program pembimbingan sebagaimana
dimaksud terdiri atas:

a. bimbingan keagamaan;

b. bimbingan intelektual dan perilaku;

c. bimbingan keterampilan;

d. bimbingan profesional; dan

e. bimbingan kesehatan jasmani dan rohani.

✓ Terhadap Pelaksanaan tindakan anak kembali ke orang tua maka hal


yang penting untuk diawasi diantaranya adalah:

a. kemampuan mencakup kualitas orang tua/Wali untuk mendidik,


merawat, membina, dan membimbing anak yang dibuktikan
dengan melalui hasil observasi dan penilaian kepada kualitas
hidup dan tumbuh kembang anak;

b. relasi anak dengan orang tua dan lingkungan sekitarnya;

c. relasi anak dengan korban, keluarga korban dan masyarakat


dibuktikan dengan tidak adanya ancaman, pengucilan dan
kualitas integrasi anak terhadap korban dan lingkungan korban.

Acara Persidangan
35
Pidana Anak
B. Latihan
Simulasi penyelesaian perkara anak di bawah umur 12 tahun.

Praktik Acara Peradilan Anak


DISKUSI KELOMPOK

(setiap kelompok sebaiknya terdiri dari Penyidik, PK, dan Peksos)

POSISI KASUS

Pada suatu hari Anak korban inisal (S) berusia 5 tahun sedang bermain di
pinggiran kolam tidak jauh dari rumahnya, kemudian anak korban dirayu diberikan
uang 2.000 rupiah dan diajak ke rumah kosong dan secara bergantian Pelaku
yang keseluruhannya berusia di bawah 12 tahun melakukan pencabulan. Masing-
masing anak-anak memiliki peran yang dilakukan secara bergantian.

1. Menurut Anda, Pasal berapakah dari UU SPPA yang menjadi dasar


Hukum penyelesaian kasus tersebut?

2. Mengacu pada kasus di atas, jelaskan peranan masing-masing dari


Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial, dan Ketua!

C. Rangkuman
Dalam hal anak yang belum umur 12 tahun melakukan atau diduga
melakukan tindak pindana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan dan pekerja
sosial proposional pengambilan keputusan

a. Menyerahkan kepada orang tua atau wali

b. Mengikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan dan


pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS, di instansi di bidang
kesehjahteraan sosial baik di pusat maupun di daerah paling lama 6
bulan

Keputusan tersebut di serahkan kepengadilan untuk di tetapkan Dalam


waktu paling lama 3 hari.

36 Acara Persidangan
Pidana Anak
Untuk mengambil keputusan tersebut diperlukan

a. Penerimaan Laporan terjadinya Tindak Pidana

b. Pentingnya Memastikan Usia Anak

c. Prinsip Penting Penerimaan Laporan Anak Yang belum berumur 12


tahun

D. Evaluasi
Jawablah pertanyaan berikut ini :

1. Dalam hal anak belum berumur 12 tahun, melakukan atau diduga


melakukan tindak pidana siapa saja yang berwenang mengambil
keputusan?

2. Keputusan itu berupa apa saja?

3. Siapa yang berwenang membuat penetapan keputusan tersebut?

E. Tindak Lanjut
Apabila saudara telah mampu menjawab pertanyaan diatas dengan benar,
maka saudara telah memenuhi kriteria belajar tuntas. Namun apabila belum,
saudara dapat melakukan pendalaman kembali terhadap materi yang telah
diuraikan pada bab III ini

Acara Persidangan
37
Pidana Anak
BAB IV
PENYELESAIAN PERKARA ANAK YANG BERUSIA 12
TAHUN KE ATAS TETAPI BELUM BERUMUR 18 TAHUN
DAN KARAKTERISTIK HUKUM ACARANYA

Setelah pembelajaran peserta diharapkan mampu mengidentifikasi


penyelesaian perkara anak yang berusia 12 tahun ke atas tetapi
belum berumur 18 tahun dan karakteristik hukum acara persidangan

A. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Anak


A. Proses Penyelesaian Perkara Anak Pelaku yang Sudah Berusia
Lebih dari 12 Tahun dan Belum Berusia 18 Tahun (Pasal 22 s.d.
Pasal 40 UU SPPA)

1. Penyidikan

Penyidikan dilakukan oleh penyidik khusus berdasarkan keputusan


Kapolri atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kapolri. Syarat untuk
ditetapkan sebagai penyidik sebagaimana dimaksud diatas, meliputi:

(1) telah berpengalaman sebagai penyidik

(2) mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah


anak

(3) telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak

Dalam hal belum ada penyidik yang memenuhi persyaratan, maka


penyidikan dilakukan oleh penyidik yang melakukan tugas penyidikan
bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.Penyidik wajib
meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan
setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. Dalam tenggang waktu
3 x 24 jam, Bapas wajib menyerahkan hasil penelitian kemasyarakatan
kepada penyidik.Dalam hal dianggap perlu, penyidik dapat pula meminta

39
pertimbangan dan saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh
agama, pekerja sosial profesional atau tenaga kesejahteraan sosial, dan
tenaga ahli lainnya.

Dalam melakukan pemeriksaan terhadap Anak Korban dan/atau


Anak Saksi,penyidik wajib meminta laporan sosial dari pekerja sosial
profesional atau tenaga kesejahteraan sosial.Dalam hal tindak pidana
yang disangkakan dilakukan oleh anak, diancam dengan maksimum
pidana penjara kurang dari 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan
pengulangan tindak pidana, penyidik dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelahpenyidikan dimulai, wajib mengupayakan diversi.Apabila
diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi
tidak dilaksanakan, penyidik melanjutkan proses penyidikannya dan
melimpahkan perkara anak ke jaksa penuntut umum

2. Penangkapan, Penahanan, dan Upaya Paksa Lainnya

Ketentuan yang berkaitan dengan penangkapan, penahanan dan


upaya paksa lainnya dalam UU Nomor 11 Tahun 2012, diatur secara
terbatas dalam beberapa pasal. Dengan demikian hal-hal lainnya harus
digunakan ketentuan hukum, baik yang terkait dengan perlindungan anak
seperti UU Nomor 23 tahun 2002 jo UU Nomor 35 tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak, Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang
Ratifikasi Konvensi Hak Anak, dan UU Nomor 12 tahun 2005 tentang
Ratifikasi Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, maupun ketentuan yang
terkait dengan penangkapan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8
tahun 1981 tentang KUHAP. Selain itu juga dapat digunakan sebagai
pedoman adalah peraturan-peraturan PBB, seperti “standar minimum
PBB mengenai administrasi peradilan bagi remaja”(Beijing Rules) dan
“peraturan-peraturan PBB bagi perlindungan remaja yang kehilangan
kebebasannya”.

40 Acara Persidangan
Pidana Anak
Prinsip-Prinsip Dasar

● Menghilangkan kebebasan anak harus merupakan pilihan


terakhir, waktu yang minimum dan dibatasi pada kasus-kasus
luar biasa.

● Menjauhkan anak dari ekses negatif sebagai akibat dari


penahanan.

● Nondiskriminasi.

● Kepentingan terbaik bagi anak

a. Penangkapan

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tidak secara khusus


memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan penangkapan.
Definisi penangkapan dapat ditemukan dalam UU Nomor 8 tahun 1981
tentang KUHAP, yang merumuskan “penangkapan” sebagai berikut:
“penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atu terdakwa apabila terdapat
cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau
peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-
Undang ini”.

Prinsip penangkapan anak:

● Sebagai upaya terakhir dan waktu yang paling singkat.

● Bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang


kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya.

Syarat-syarat penangkapan:

● Adanya bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP).

● Tindak pidana yang disangkakan berupa kejahatan, kecuali dalam hal


telah dipanggil dua kali secara sah dan tidak memenuhi panggilan.

Acara Persidangan
41
Pidana Anak
Tata cara penangkapan anak:

● Dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan


sesuai dengan umurnya (pasal 30 (4) UU Nomor 11 tahun 2012).

● Pada saat dilakukan penangkapan, anak wajib diberitahu tentang


alasan penangkapan (Pasal 9 Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik).

● Memberitahukan orang tua/wali dalam tenggang waktu sesingkat


mungkin (Beijing Rules/Pasal 9 Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik).

Jangka Waktu Penangkapan

Sebagaimana terhadap orang dewasa, terhadap anak dapat


dilakukan penangkapan dalam jangka waktu selama 24 jam.

Penempatan anak yang ditangkap

● Dalam hal penangkapan anak, UU Nomor 11 tahun 2012 Pasal 30


(2) mengatur mengenai penempatan anak yang ditangkap, yaitu
dalam ruang pelayanan khusus anak. Dengan demikian fasilitas ini
harus dibangun pada setiap kantor polisi di seluruh Indonesia. Dalam
hal ruang pelayanan khusus anak belum tersedia, maka anak dapat
dititipkan pada lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

● Dipisahkan dari orang dewasa.

b. Penahanan

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di


tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut tata cara yang diatur dalam UU
ini.

Prinsip-prinsip dalam Penahanan Anak:

● Sebagai upaya terakhir dan waktu yang paling singkat.

● Bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang


kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya.

42 Acara Persidangan
Pidana Anak
● Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan
sesuai dengan umurnya.

Hak-Hak dalam Penahanan

● Hak untuk dianggap dan diperlakukan sebagai tidak bersalah.

● Hak untuk mendapatkan prioritas dalam proses yang sesingkat


mungkin.

● Hak untuk dipisahkan dari orang dewasa dan dipisahkan dari anak
yang telah diputus bersalah.

● Hak untuk berkomunikasi secara teratur dengan penasihat hukum,


dengan jaminan kerahasiaan dan privasi (Havana Rules).

● Hak untuk menerima dan menyimpan materi yang positif untuk rekreasi
dalam waktu luangnya (Havana Rules).

Syarat penahanan anak:

● Anak telah berusia 14 tahun atau lebih (Pasal 32 UU SPPA).

● Diduga melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara


7 (tujuh) tahun atau lebih (Pasal 32 UU SPPA).

● Adanya bukti permulaan yang cukup (Pasal 21 (1) KUHAP).

● Adanya kekhawatiran, anak akan melarikan diri, menghilangkan atau


merusak barang bukti, dan/atau mengulangi tindak pidana.

Berkaitan dengan syarat penahanan, perlu mendapat perhatian


Pasal 32 (1) UU SPPA, yang berbunyi: Penahanan terhadap anak tidak
boleh dilakukan dalam hal anak memperoleh jaminan dari orang tua/
wali dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.” Penjelasan Pasal
32 (1) UU SPPA menjelaskan: Pada dasarnya penahanan dilakukan
untuk kepentingan pemeriksaan, tetapi penahanan terhadap anak harus
pula memperhatikan kepentingan anak yang menyangkut pertumbuhan
dan perkembangan anak, baik fisik, mental maupun sosial anak dan
kepentingan masyarakat.

Acara Persidangan
43
Pidana Anak
Tempat Penahanan Anak:

● Penahanan anak dilaksanakan di lembaga penempatan anak


sementara (LPAS), yang merupakan tempat sementara bagi anak
selama proses peradilan berlangsung.

● Apabila LPAS tidak atau belum tersedia, penahanan anak dapat


dilakukan di lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial (LPKS)
setempat.

Jangka waktu penahanan:

(i) Penyidikan:

● Untuk kepentingan penyidikan, anak dapat dikenakan penahan-


an paling lama 7 (tujuh) hari.

● Atas permintaan penyidik, penuntut umum dapat memperpan-


jang paling lama 8 (delapan) hari.

(ii) Penuntutan:

● Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum dapat melaku-


kan penahanan paling lama 5 (lima) hari.

● Atas permintaan penuntut umum, Hakim pengadilan negeri


dapat memperpanjang untuk paling lama 5 (lima) hari.

(iii) Pemeriksaan pengadilan:

Pengadilan Negeri Banding Kasasi

● Untuk kepentingan ● Untuk kepentingan ● Untuk kepentingan


pemeriksaan di sidang pemeriksaan di pemeriksaan di tingkat
pengadilan, Hakim tingkat banding, kasasi, Hakim kasasi
dapat melakukan Hakim banding dapat dapat melakukan
penahanan paling melakukan penahanan penahanan paling
lama 10 (sepuluh) paling lama 10 lama 15 (lima belas)
hari. (sepuluh) hari. hari.
● Atas permintaan ● Atas permintaan ● Atas permintaan
Hakim, ketua Hakim banding, ketua Hakim kasasi, Ketua
pengadilan negeri pengadilan tinggi Mahkamah Agung
dapat memperpan- dapat memperpanjang dapat memperpanjang
jang paling lama 15 paling lama 15 (lima paling lama 20 (dua
(lima belas) hari. belas) hari. puluh) hari.

44 Acara Persidangan
Pidana Anak
Kasasi dan batas waktu penahanan untuk kepentingan kasasi

Prosedur kasasi dalam KUHAP memberikan tenggang waktu


kepada terpidana (termasuk terpidana anak) untuk selama-lamanya 14
(empat belas) hari untuk menentukan sikapnya apakah akan menerima
putusan atau mengajukan kasasi. Setelah itu, terpidana memiliki waktu
14 (empat belas) hari untuk menyerahkan memori kasasi. Setelah
memori kasasi diterima oleh pengadilan negeri, kemudian pengadilan
negeri mengirimkan memori kasasi kepada kejaksaan. Sejak menerima
memori kasasi, kejaksaan memiliki tenggang waktu 14 (empat belas)
hari untuk menyerahkan kontra memori kasasi kepada pengadilan
negeri. Dengan prosedur hukum acara sedemikian maka setidaknya
dibutuhkan waktu 42 (empat puluh dua) hari, semata-mata hanya untuk
kebutuhan prosedural pada tingkatan administrasi di pengadilan negeri
dan belum terhitung waktu yang dibutuhkan oleh Mahkamah Agung
untuk mengadministrasikan dan waktu untuk memeriksa serta memutus
perkara. Bagaimanakah persoalan tersebut harus diatasi dengan
mengingat masa penahanan pada tingkat kasasi selama-lamanya 35
(tiga puluh lima) hari? Situasi semacam ini akan menjadi persoalan
serius dan tergolong membahayakan masyarakat.

Ketentuan mengenai jangka waktu penahanan dalam UU SPPA


bersifat limitatif. Hal tersebut dapat dilihat pada rumusan Pasal 3, Pasal
34 (3), Pasal 35 (3), Pasal 37 (3), dan Pasal 38 (3) yang mewajibkan
untuk mengeluarkan anak yang telah habis masa penahanannya
berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang jangka waktu penahanan yang
diatur dalam UU SPPA. Bahkan UU SPPA melalui Pasal 98 dan 99 telah
menetapkan adanya sanksi pidana bagi penyidik dan penuntut umum
terhadap pelanggaran tidak mengeluarkan anak, yang telah habis masa
penahanannya, dari tahanan. Untuk hakim tidak berlaku sanksi pidana
berdasarkan putusan MK Nomor 110/PUU-X/2012. Dengan demikian

Acara Persidangan
45
Pidana Anak
terlihat secara jelas tidak adanya peluang sedikit pun yang dibuka oleh
pembuat UU adanya kemungkinan perpanjangan penahanan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasal 29 KUHAP tidak


dapat diberlakukan pada anak. Pengecualian perpanjangan penahanan
berdasarkan pasal 29 KUHAP, secara implisit tidak dikehendaki oleh
pembuat UU. Berkaitan dengan jenis-jenis penahanan, UU SPPA
hanya mengatur tentang penahanan dalam lembaga penempatan anak
sementara dan tidak mengatur mengenai penahanan rumah maupun
penahanan kota sebagaimana dikenal dalam KUHAP. Pasal 16 UU
SPPA, mengatur bahwa: “Ketentuan beracara dalam hukum acara pidana
berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-Undang ini”.

Yang perlu dikaji, apakah jenis penahanan rumah dan/atau


penahanan kota bertentangan dengan UU SPPA? UU SPPA, mengusung
asas-asas sebagaimana tertuang pada pasal 2, yang di antaranya adalah
berupa:

● perlindungan

● kepentingan terbaik bagi anak, dan

● perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir.


Dengan mempertimbangkan sifat penahanan rumah dan penahanan
kota yang lebih berpihak terhadap kepentingan perlindungan dan
kepentingan terbaik bagi anak, khususnya terkait ekses negative
yang mungkin diterima anak dalam penahanan pada LPAS. Terutama
sifat penahanan kota maupun penahanan rumah yang bersifat
lebih ringan dalam kaitannya dengan perampasan kemerdekaan,
maka dapat disimpulkan bahwa penahanan rumah dan penahanan
kota tidak bertentangan bahkan sejalan dengan asas-asas dalam
UU SPPA. Dengan memperhatikan pasal 16 UU SPPA, terhadap
tersangka/terdakwa anak dapat dikenakan penahanan rumah dan/

46 Acara Persidangan
Pidana Anak
atau penahanan kota. Dengan mengacu pada prinsip penahanan
anak untuk waktu yang paling singkat, timbul pertanyaan: “Apakah
penahanan rumah dan penahanan kota yang dikenakan terhadap anak,
memiliki batasan waktu?” KUHAP tidak mengatur tentang pembatasan
waktu penahanan rumah maupun penahanan kota, namun “apakah
dengan sendirinya penahanan rumah atau penahanan kota terhadap
anak menjadi tidak mengenal batas Waktu?”

Secara formal sudah barang tentu hal tersebut bermakna bahwa


batas waktu penahanan rumah dan penahanan kota tidak mempunyai
batas waktu. Namun demikian, dengan mengingat pada tujuan penahanan,
maka penahanan akan berakhir dengan sendirinya bersamaan dengan
berakhirnya pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan demikian, dalam
perkara anak sebagai kasus yang mendapat prioritas penyelesaian,
penahanan rumah maupun penahanan kota yang diterapkan kepada
anak dapat berlangsung dalam tenggang waktu yang tidak terlalu lama.

Pedoman bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam


mengenakan penahanan rumah maupun penahanan kota terhadap
tersangka/terdakwa anak adalah berdasarkan prinsip-prinsip sebagai
berikut:

● Pembatasan kemerdekaan sebagai upaya terakhir dan dalam waktu


yang paling singkat.

● Kepentingan terbaik bagi anak.

Penangguhan Penahanan Prinsip Dasar

Tersangka/terdakwa berhak untuk mengajukan keberatan kepada


pihak yang berwenang atas penahanan (pasal 31 KUHAP dan Tokyo
Rules). Secara umum penangguhan penahanan tidak diatur dalam
UU SPPA, dengan demikian penangguhan penahanan sepenuhnya
digunakan ketentuan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Satu-satunya

Acara Persidangan
47
Pidana Anak
pasal yang bersinggungan dengan persoalan penangguhan penahanan
adalah pasal 32 (1) UU SPPA. Disana disebutkan bahwa penahanan
tidak boleh dilakukan bila terdapat jaminan dari orang tua/wali dan/atau
lembaga. Pasal ini memperkenalkan adanya jaminan lembaga, yang
tidak dikenal dalam KUHAP.

Dengan demikian dalam kaitan dengan penangguhan penahanan


terhadap anak dapat dilakukan juga apabila ada jaminan dari sebuah
lembaga. Dapat disimpulkan bahwa pasal 32 (1) UU SPPA telah
memperluas pasal 31 KUHAP: penangguhan penahanan terhadap anak
dapat dilakukan dengan atau tanpa jaminan uang, orang atau lembaga.
Pengertian lembaga disini adalah lembaga baik pemerintah maupun
swasta, di bidang kesejahteraan sosial anak, antara lain panti asuhan,
dan panti rehabilitasi.

c. Upaya Paksa Lainnya

(1) Penggeledahan

UU SPPA tidak memuat aturan khusus tentang penggeledahan anak,


baik penggeledahan badan maupun rongga badan. Sekalipun demikian
kiranya penting untuk mendapatkan perhatian dari APH khususnya
penyelidik dan/ataupenyidik untuk selalu memastikan agar cara-cara
penggeledahan yang dilakukan terhadap badan maupun rongga badan
anak tidak menimbulkan terganggunya kesejahteraan anak di kemudian
hari. Hal terakhir ini sesungguhnya telah menjadi perhatian pembuat UU
SPPA, sebagaimana tertuang dalam konsideran maupun penjelasan
umum.

Hal ini juga sejalan dengan pasal 14 (4) Kovenan Hak Sipil dan
Politik, yang menyatakan bahwa dalam kasus anak, prosedur yang
digunakan harus mempertimbangkan usia dan kebutuhan untuk
mengedepankan rehabilitasi. Penjelasan pasal 37 KUHAP, hanyalah
mengatur bahwa dalam penggeledahan badan, yang wanita dilakukan

48 Acara Persidangan
Pidana Anak
oleh pejabat wanita dan untuk penggeledahan rongga badan, penyidik
meminta bantuan pejabat kesehatan. Dalam hal penggeledahan badan/
rongga badan terhadap anak, untuk melengkapi ketentuan yang diatur
dalam penjelasan pasal 37 KUHAP, hendaknya diperlukan kehadiran
pembimbing kemasyarakatan atau pekerja sosial professional.

(2) Penyitaan

Satu-satunya pasal dalam UU SPPA yang terkait dengan penyitaan


adalah pasal 36, yang mengatur penetapan pengadilan mengenai
penyitaan barang bukti dalam perkara anak harus ditetapkan paling lama
2 (dua) hari. Prosedur penetapan pengadilan dalam penyitaan barang
bukti adalah merupakan hal baru, mengingat dalam KUHAP penyitaan
tidak memerlukan penetapan, tetapi izin dari ketua pengadilan untuk
melakukan penyitaan

3. Penuntutan

Penuntutan perkara pidana anak, dilakukan oleh penuntut umum


yang ditetapkan berdasarkan keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain
yang ditunjuk Jaksa Agung. Syarat sebagai penuntut umum dimaksud
yaitu:

a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum;

b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah


anak; dan

c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.

Dalam hal belum ada jaksa penuntut umum yang memenuhi


persyaratan, maka penuntutan dilakukan oleh jaksa penuntut umum
yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan
oleh orang dewasa. Dalam hal tindak pidana yang disangkakan
dilakukan oleh anak, diancam dengan maksimal pidana penjara kurang
dari 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Acara Persidangan
49
Pidana Anak
Penuntut umum dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima
berkas dari penyidik, wajib mengupayakan diversi. Apabila diversi tidak
menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan,
jaksa penuntut umum melanjutkan proses peradilan dengan menyerahkan
perkara tersebut ke pengadilan negeri.

4. Pemeriksaan di Pengadilan

Pemeriksaan di pengadilan pada dasarnya meliputi pemeriksaan


pada pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat banding dan
pemeriksaan pada tingkat kasasi. Di bawah ini akan dibicarakan
pemeriksaan di sidang pada tingkat pertama/pengadilan negeri,
sementara pemeriksaan pada tingkat banding dan kasasi akan
dibicarakan bersamaan pada bagian upaya hukum biasa.

a. Pemeriksaan pada tingkat pengadilan negeri

Hakim yang memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat


pertama dengan hakim tunggal, dalam hal tindak pidana yang akan
diperiksa diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih
atau sulit pembuktiannya, dapat dilakukan oleh hakim majelis. Ketua
pengadilan negeri wajib menetapkan hakim atau majelis hakim untuk
menangani perkara anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima
berkas dari jaksa penuntut umum.

Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap anak dilakukan oleh


hakim yang ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung
atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul
ketua pengadilan negeri yang bersangkutan melalui ketua pengadilan
tinggi. Syarat sebagai hakim dimaksud yaitu:

(1) telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan


umum, mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami
masalah anak; dan

50 Acara Persidangan
Pidana Anak
(2) telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.

Dalam hal belum ada hakim yang memenuhi persyaratan, maka


tugas pemeriksaan di sidang anak dilaksanakan oleh hakim yang
melakukan tugas pemeriksaan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh
orang dewasa.

Dalam hal yang disangkakan dilakukan oleh anak, diancam


dengan maksimum pidana penjara kurang dari 7 (tujuh) tahun dan
bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Dalam tenggang waktu 7
(tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri, hakim wajib
mengupayakan diversi. Apabila diversi tidak menghasilkan kesepakatan
atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan hakim melanjutkan proses
persidangan.

b. Tempat Sidang Anak

Sidang dilaksanakan di ruang sidang khusus anak, dengan ruang


tunggu yang terpisah dari ruang tunggu sidang orang dewasa.

Waktu Sidang Anak

Sidang anak didahulukan dari waktu sidang orang dewasa.

c. Sifat Sidang Anak

Sidang anak dilaksanakan secara tertutup untuk umum, kecuali


pembacaan putusan.

B. Tahapan Sidang Anak


Tahapan Sidang Anak

(1) Setelah hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang


tertutup untuk umum, anak dipanggil masuk beserta orang tua/wali,
advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan pembimbing
kemasyarakatan.

(2) Setelah melakukan verifikasi identitas anak, hakim memerintah


penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan.

Acara Persidangan
51
Pidana Anak
(3) Kecuali apabila terdapat keberatan (eksepsi) terhadap surat
dakwaan, setelah pembacaan surat dakwaan, hakim memerintahkan
pembimbing kemasyarakatan untuk membacakan laporan hasil
penelitian kemasyarakatan, yang memuat:

 data pribadi anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan


sosial;

 latar belakang dilakukannya tindak pidana;

 keadaan korban dalam hal ada korban dalam tindak pidana


terhadap tubuh atau nyawa;

 hal lain yang dianggap perlu;

 berita acara diversi; dan

 kesimpulan dan rekomendasi dari pembimbing kemasya-


rakatan.

(4) Pemeriksaan diawali dengan memeriksa saksi korban dan dilanjutkan


dengan saksi- saksi lainnya.

(5) Sebelum memberikan keterangan, korban dan/atau saksi memberikan


sumpah atau janji kecuali terhadap korban dan/atau saksi yang belum
berumur 15 (lima belas) tahun dan belum menikah.

(6) Dalam hal korban dan/atau saksi yang masih berstatus anak dan tidak
dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan persidangan,
hakim dapat memerintahkan anak korban dan/atau anak saksi didengar
keterangannya:

a. Di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang


dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan di daerah hukum
setempat dengan dihadiri oleh penyidik atau penuntut umum dan
advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya.

b. Melalui pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi


audio visual dengan didampingi oleh orang tua/wali, pembimbing
kemasyarakatan atau pendamping lainnya.
52 Acara Persidangan
Pidana Anak
(7) Pada saat memeriksa korban atau saksi lainnya yang masih berstatus
anak, hakim dapat memerintahkan agar anak dibawa keluar ruang
sidang.

(8) Pada saat pemeriksaan anak korban dan/atau anak saksi sebagaimana
dimaksud diatas, orang tua/wali, advokat atau pemberi bantuan hukum
lainnya dan pembimbing kemasyarakatan tetap hadir.

(9) Sidang anak dilanjutkan setelah anak diberitahukan mengenai


keterangan anak korban dan/atau anak saksi yang telah diberikan
tanpa kehadirannya.

(10) Dalam hal tertentu anak korban diberikan kesempatan untuk


menyampaikan pendapat tentang perkara yang bersangkutan.

(11) Sebelum putusan dijatuhkan, hakim memberikan kesempatan kepada


orang tua/wali dan/atau pendamping untuk mengemukakan hal yang
bermanfaat bagi anak.

(12) Putusan yang tidak mempertimbangkan laporan penelitian


kemasyarakatan, batal demi hukum.

(13) Putusan dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat
tidak dihadiri anak.

(14) Petikan putusan diberikan kepada anak atau advokat atau pemberi
bantuan hukum lainnya, pada hari putusan diucapkan.

(15) Salinan putusan diberikan kepada anak atau advokat atau pemberi
bantuan hukum lainnya paling lama 5 (lima) hari sejak putusan
diucapkan.

C. Upaya Hukum Biasa


Upaya hukum biasa meliputi banding dilakukan pada pengadilan tinggi dan
kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung. Berkaitan dengan upaya hukum biasa
UU SPPA pada dasarnya tidak mengatur secara khusus, terkecuali sepanjang
berkaitan dengan hakim banding (sebagaimana diatur pada pasal 45-47 UU

Acara Persidangan
53
Pidana Anak
SPPA) dan hakim kasasi (sebagaimana diatur pada pasal 48-50 UU SPPA).
Pemeriksaan pada tingkat banding dilakukan oleh hakim tunggal, yang sebelumnya
telah ditetapkan sebagai hakim banding untuk perkara pidana anak berdasarkan
keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan tinggi. Ketua
pengadilan tinggi dapat menunjuk hakim majelis dalam hal tindak pidana yang
dilakukan anak diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau
sulit pembuktiannya, demikian juga berlaku untuk hakim kasasi. Tidak adanya
pengaturan secara khusus lainnya berkaitan dengan pemeriksaan pada tingkat
banding maupun kasasi, maka hal tersebut berarti bahwa prosedur pemeriksaan
perkara pidana anak pada tingkat banding dan kasasi pada dasarnya berlaku
sebagaimana pada perkara pidana lainnya. Pada tingkat banding dan kasasi tidak
dimungkinkan adanya diversi.

D. Upaya Hukum Luar Biasa


Upaya hukum luar biasa meliputi Peninjauan Kembali (PK) dan kasasi
demi kepentingan hukum. Kasasi demi kepentingan hukum tidak menimbulkan
perubahan bagi para pihak, dan dalam kasus anak tidaklah memiliki perbedaan
dengan apa yang telah diatur dalam KUHAP. Berbeda dengan hal diatas, terkait
dengan praktik dalam PK, dimana ternyata PK dapat diajukan oleh penuntut umum
dan terhadap PK penuntut umum dapat dijatuhkan pidana kepada terdakwa yang
sebelumnya telah diputus dengan putusan bebas atau lepas. Dalam kaitan ini,
maka yang menjadi persoalan adalah apakah praktik semacam itu dapat pula
diterapkan terhadap perkara pidana anak?

Peninjauan Kembali (PK)


Persoalan peninjauan kembali dalam praktik peradilan pidana Indonesia,
adalah adanya pendapat yang berbeda mengenai apakah PK dapat diajukan
oleh penuntut umum. Beberapa putusan Mahkamah Agung telah menyatakan
bahwa penuntut umum dapat meminta PK, sekalipun KUHAP secara jelas hanya
memungkinkan PK diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Pengaturan PK
dalam pasal 51 UU SPPA, menyatakan:

54 Acara Persidangan
Pidana Anak
“Terhadap putusan pengadilan mengenai perkara anak yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat dimohonkan PK oleh anak, orang tua/
wali, dan/atau advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya kepada Mahkamah
Agung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”

E. Latihan
SOAL DISKUSI KELOMPOK

HUKUM ACARA PERADILAN PIDANA ANAK

Petunjuk Pengerjaan

• Peserta dibagi menjadi 4 kelompok.

• Diskusikan pertanyaan dibawah secara kelompok.

• Hasil diskusi kelompok dipresentasikan secara bergantian, kelompok


yang tidak presentasi menanggapi.

1. Salah satu prinsip utama UU SPPA, adalah mengutamakan


pendekatan nonpenahanan dalam proses peradilan anak. Namun
demikian dalam praktik ada konsekuensi hukum dari anak yang tidak
ditahan. Bagaimana proses sidang terhadap anak yg melarikan diri,
saat perkaranya dilimpahkan ke pengadilan negeri?

2. Bagaimana menyikapi persidangan dengan masa tahanan yg terbatas,


sedangkan perkara tersebut dirasakan menciderai rasa keadilan
masyarakat? Jelaskan upaya yang dapat dilakukan kelompok Anda?
Jawaban harus merujuk pada dasar hukum perundangan terkait.

3. Jelaskan secara singkat pendapat kelompok Anda tentang pendekatan


Keadilan Restoratif dalam penanganan perkara anak yang berhadapan
dengan hukum.

a. Berikan beberapa contoh konkret yang Anda lakukan saat


persidangan!

b. Apakah penggunaan pendekatan Keadilan restorasi oleh Hakim


dapat dimaknai sebagai suatu bentuk ganti rugi dari pelaku
kepada korban semata?

Acara Persidangan
55
Pidana Anak
4. Wartawan sebuah media lokal bermaksud meminta izin kepada
kelompok Anda sebagai hakim untuk meliput perkara anak yang Anda
sedang sidangkan.

Bagaimana kelompok Anda menyikapinya, apakah Anda menyetujui-


nya? Berikan argumentasi berikut dasar hukumnya.

F. Rangkuman
Karakteristik :

1. Hukum acara Anak bersifat Khusus

2. Wajib menggunakan pendekatan keadilan restora si. (pasal 5 ayat 1


UU SPPA)

3. Wajib Menguunakan Lembaga Diver pada setiap tahapan proses

4. Di tangani oleh hakim yang telah ikut pelatihan teknis SPPA

5. Pemeriksaan dengan hakim tunggal, kecuali ancaman tp 7 thn/ sulit


pembuktian

6. Wajib prioritas penanganan dari perkara lain

7. Anak pelaku wajib didampingi pemberi bantuan hukum, PK bapas,


pendamping lain

8. Sidang dilakukan tertutup untuk umum kecuali saat pembacaan


putusan

9. Pejabat yang bersidang tidak atribut kedinasan

10. Anak saksi / korban wajib di dampingi orang tua

11. Sinergitas aparat penyelenggara SPPA

12. Pemidanaan bersifat ultimum remedium

Proses penahanan

- Waktu Persidangan

- Sifat Sidang Anak

- Kewenangan hakim terkait upaya penahanan

56 Acara Persidangan
Pidana Anak
- Tahapan Sidang Anak

- Syarat pembuatan Putusan dan Penyampaian Salinan Putusan

G. Evaluasi
1. Berapa lama kewenangan hakim untuk menahan?

2. Apa syarat anak dapat di tahan?

3. Apa saja upaya hukum bagi terdakwa?

H. Tindak Lanjut
Apabila saudara telah mampu menjawab pertanyaan diatas dengan benar,
maka saudara telah memenuhi kriteria belajar tuntas. Namun apabila belum,
saudara dapat melakukan pendalaman kembali terhadap materi yang telah
diuraikan pada bab IV ini.

Acara Persidangan
57
Pidana Anak
BAB V
MENSIMULASI PELAKSANAAN SIDANG ANAK

Setelah pembelajaran peserta diharapkan mampu


mensimulasi pelaksanaan sidang perkara anak dengan baik
dan benar dan Menggali keterangan dari para pihak terkait
sesuai dengan kondisi fisik dan psikis dan mampu membuat
putusan serta berita acara yang benar.

A. Cara menggali informasi dari anak, saksi dan saksi korban


dalam persidangan
Cara menggali informasi pada anak sebagai berikut :
- Anak = Menggali apa yang dilakukan oleh anak di persidangan
- Anak Korban = Menggali apa yang dialami anak korban baik fisik, mental
dan atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak
pidana di persidangan
- Anak saksi = Menggali keterangan apa yang didengar, apa yang dilihat
dan atau yang dialaminya sendiri

B. Membuat putusan dan berita acara


PETUNJUK SIMULASI

· Setiap kelompok membagi peran masing-masing sesuai kebutuhan


(missal sebagai anak, sebagai orang tua anak, sebagai korban, sebagai
saksi, sebagai pk bapas, hakim, pp dan lain-lain sesuai kebutuhan).

·         Masing-masing peserta yang telah dibagi menurut peranya,


memerankan peran nya masing-masing di persidangan semu dengan
pembagian kasus sebagai berikut :

·        Kelompok 1 = Kasus 1

·        Kelompok 2 = Kasus 2

59
·        Kelompok 3 = Kasus 3

· Kelompok 4 = Kasus 4

·        Masing-masing kelompok membuat berita acara dan putusan.

·        Pada saat jadwal dikelas, peserta mempraktikkan secara kelompok.

C. LATIHAN
Mensimulasi pelaksanaan sidang dengan kasus sebagai berikut

Kasus 1

Rika berusia 14 tahun, ia baru saja datang ke kota dan menjadi siswa baru
di sekolahnya. Ia menghadapi kesukaran di lingkungan barunya; tak seorangpun
ingin berteman dengannya. Hanya Mila (Tuna Rungu) teman sebangkunya yang
mau membantu meminjamkan buku catatan dan buku latihan. Akan tetapi pada
hari berikutnya, Rika mendengar dari teman-temannya yang lain bahwa Mila
menyebarkan berita bahwa Rika meninggalkan sekolah sebelumnya karena nakal
dan suka mencuri. Rika tersinggung dan marah mendengar hal tersebut. Suatu
ketika di perjalanan pulang dari sekolah, Rika menampar pipi sebelah kiri mila
hingga mengalami luka memar. Mila mengadukan kejadian ini ke ibunya. Ibu Mila
kemudian melaporkan Rika kepada Polisi. Karena Rika dan Mila satu sekolah,
gurunya menyarankan untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik.

Kasus 2

Janet (Tuna Wicara) adalah seorang anak berumur 13 tahun. Setiap pulang
sekolah, ia selalu melewati toko ‘minisuper’ yang menjual mainan anak-anak. Salah
satunya adalah boneka barbie. Karena ketertarikannya, ia selalu mampir ke toko
tersebut untuk sekedar melihat-lihat boneka yang di sukainya. Sebenarnya ia ingin
membeli boneka tersebut, namun harganya terlalu tinggi, sehingga uang yang
dimilikinya tidak mencukupi. Untuk membelinya, Janet mencoba menyisihkan
uang jajan untuk ditabung. Tetapi setelah beberapa lama menabung, tetap saja
uangnya tidak cukup untuk membeli boneka tersebut.

60 Acara Persidangan
Pidana Anak
Suatu hari, ketika pulang sekolah, ia melihat toko tersebut ramai dikunjungi
orang. Karena ingin sekali memiliki boneka kesukaannya, ia mengambil kesempatan
dalam keadaan ramai tersebut. Setelah memegang untuk melihat dan kemudian
ia memasukkan boneka tersebut ke dalam tasnya. Namun tindakannya ini dilihat
oleh pemilik toko. Ia ditangkap oleh satpam dan diserahkan kepada kantor Polsek
setempat.

Kasus 3

Ahmad seorang anak laki-laki berumur 15 tahun yang telah terlibat perkelahian
di sekolah dan menyebabkan Budi luka memar. Ahmad adalah anak sulung dari
empat bersaudara. Ia adalah anak yang pendiam dan pemalu. Orang tuanya
bekerja sebagai tukang becak yang tinggal di gubuk di bantaran sungai. Ahmad,
siswa kelas 1 SMA Negeri, adalah anak yang berprestasi. Atas prestasinya, Ahmad
berkesempatan mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di sekolah tempatnya
belajar sekarang. Kegiatan keseharian Ahmad diisi dengan membantu kedua
orang tuanya mengurus adik-adiknya, dan Ahmad juga sering bermain dengan
anak-anak pemulung. Pada saat di sekolah, sekelompok siswa mengejek Ahmad
sebagai “sampah” dan menyebut orang tua Ahmad sebagai pasangan “tikus yang
tinggal di comberan”. Menurut pengakuan salah seorang saksi bernama Roy
(salah satu kakinya cacat / pincang), Ahmad langsung mengamuk dan memukul
salah seorang anak yang mengejeknya (Budi), teman- temannya berusaha melerai
namun Ahmad mengambil sebuah kursi dan memutar mutarkan kursi tersebut.
Kemudian datang guru BP, Ahmad langsung melarikan diri namun tertangkap oleh
guru dan kemudian diserahkan ke polisi.

Kasus 4

Bambang seorang anak laki-laki berumur 15 tahun, yang telah terlibat


perkelahian dan menyebabkan 1 (satu) orang luka. Bambang adalah anak tunggal
dari ayah yang bekerja sebagai dirut di sebuah perusahaan multinasional dan ibu
seorang model. Orang tua Bambang selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan
Bambang, dan Bambang terbiasa mendapatkan apa pun yang ia inginkan, berapa

Acara Persidangan
61
Pidana Anak
pun harganya. Bambang adalah anak yang mudah mendapatkan teman-teman
baru, namun sering membangkang kepada figur otoritas. Guru di sekolah Bambang
sering mengeluhkan perilaku Bambang yang cenderung memperlakukan guru
sebagai musuh. Bambang terbiasa untuk nongkrong di ujung jalan tempat
sekolahnya berada bersama teman-temannya. Pada suatu hari, Bambang sedang
berjalan-jalan sendiri di Pasar tradisional dan bertemu salah seorang Tuna Netra
bernama Rudi sedang mengamen dan Bambang mengejek pengamen tersebut
(Rudi), kemudian bertengkar lalu terjadi perkelahian dan Bambang berhasil
menonjok muka Rudi sebelah kiri hingga berdarah terkena batu cincin, setelah itu
Bambang melarikan diri ke rumah di mana ia kemudian dijemput oleh polisi. Ia
menyangkal telah menonjok Rudi dan menuduh orang lain yang melakukan.

D. Rangkuman
Cara Menggali dari anak, saksi, saksi korban dalam persidangan

Membuat putusan dan berita acara

Petunjuk simulasi

E. Evaluasi
1. Bagaimana tanggapan Anda dalam simulasi persidangan anak yang
dilakukan?

F. Tindak Lanjut
Apabila saudara telah mampu menjawab pertanyaan diatas dengan
benar, maka saudara telah memenuhi kriteria belajar tuntas. Namun apabila
belum, saudara dapat melakukan pendalaman kembali terhadap materi yang
telah diuraikan pada bab V ini. Jika Anda sudah memahami, maka Anda sudah
memahami keseluruhan isi Modul ini.

62 Acara Persidangan
Pidana Anak
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadirnya Undang-undang nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (SPPA) telah memengaruhi tata cara dalam Proses Acara Peradilan
Anak. Pendekatan Acara Peradilan Anak dilakukan untuk memberikan perlindungan
demi kepentingan terbaik bagi anak. Acara Peradilan Anak menjadi sangat krusial
dalam sistem Perlindungan bagi Anak dan keluarga. Modul Acara Peradilan Anak
dapat digunakan pada diklat, dapat juga dijadikan bahan pembelajaran sendiri
(self learning) bagi para Penegak Hukum dan Aparat terkait lainnya untuk dapat
melaksanakan tugas dan fungsinya di instansi masing masing sesuai dengan
peran dan fungsinya.

Mata pelatihan ini membekali peserta dengan kemampuan memahami dan


mempraktikkan dalam Acara Peradilan Anak, termasuk bagaimana Penanganan
Anak yang diduga melakukan tindak pidana namun usia Anak belum berumur 12
tahun. Harapan lain dari adanya modul ini agar dapat menjadi salah satu bahan
acuan dalam kegiatan praktik Acara Peradilan Anak sesuai dengan panduan yang
ada dalam modul ini. Materi modul ini juga diharapkan menjadi sumber pendukung
dalam program Bimbingan Teknis Pemasyarakatan yang diselenggarakan di
lingkungan Kemnterian Hukum dan HAM dan Unit diklat pada kementerian lain
yang terkait.

63
B. Tindak Lanjut
Berbekal hasil belajar pada Modul ini, yakni materi Proses Penanganan
perkara Anak yang belum berusia 12 tahun; dan Proses penyelesaian perkara
Anak yang sudah berusia lebih dari 12 tahun dan belum berusia 18 tahun; Di
tingkat penyidikan, Di tingkat penuntutan, Di tingkat Pengadilan, Upaya hukum
biasa, Upaya hukum luar biasa; peserta diharapkan mampu memahami dan
mempraktikkan guna menunjang pelaksanaan tugas sesuai peran dan fungsinya
di instansi masing-masing.

64 Acara Persidangan
Pidana Anak
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP)

Dini Wahyuni Harahap, ”Sistem Peradilan Pidana Yang Edukatif Terhadap Anak
Sebagai Pelaku Tindak Pindana, Jurnal Ilmiah USU, 2015, hal 20-28

Harkristuti Harkrisnowo, “Rancangan UNDANG UNDANG Pengadilan Pidana


Anak: Suatu Telaah Ringkas,” 2010, hal.7

Lilik Mulyadi, 2005. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana, Bandung, PT.
Cipta Aditya Bakti.

Marlina, “Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan


Restorative Justice”, Refki Aditama, Bandung, 2009

Mia Kusuma Fitriani, SH. M.Hum, Peran Penegak Hukum dalam Undang-Undang
Sistem PeradilanPidanaAnak,http://www.academia.edu/8896225/Peran_
Penegak_Hukum_dalam_Undang-Undang_Sistem_Peradilan_Pidana_
Anak

Nandang Sambas, “Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia”,


Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.

Soetodjo, Wagiati, 2006, “Hukum Pidana Anak”. Bandung, PT. Refika Aditama.

Sudarsono, “Kenakalan Remaja” , Jakarta : Rineka Cipta, 1991.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Jakarta: Balai Pustaka, 1991.

Wagiati, “Hukum Pidana Anak,” Refika Aditama, Bandung, 2006.

Modul Pendidikan Dan Pelatihan Sistem Peradilan Pidana Anak.

65
Suseno Hadi, “Kriminalisasi Anak (Tawaran, Gagasan Radikal Peradilan Anak
Tanpa Pemidanaan)” PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010.

Purnianti, “Analisis situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenille Justice System)
di Indonesia tahun Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia, 2002

Arliman, L. 2017. “Peranan Pers Untuk Mewujudkan Perlindungan Anak


Berkelanjutan Di Indonesia.” Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai 2(2):126–
45.

Ramdhani, Abdullah and Muhammad Ali Ramdhani. 2017. “Konsep Umum


Pelaksanaan Kebijakan Publik.” Jurnal Publik 1–12.

66 Acara Persidangan
Pidana Anak

Anda mungkin juga menyukai