Anda di halaman 1dari 80

MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)


BAGI APARAT PENEGAK HUKUM DAN INSTANSI TERKAIT

REHABILITASI DAN REINTEGRASI


ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014
TENTANG HAK CIPTA

Pasal 1
(1) Hak Cipta adalah hak eksklusifs pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam
bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000
(seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/ atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
BAGI APARAT PENEGAK HUKUM DAN INSTANSI TERKAIT

REHABILITASI DAN REINTEGRASI


ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI

Sri Musfiah
Bambang Triasmono

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA


HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
2021
MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
BAGI APARAT PENEGAK HUKUM DAN INSTANSI TERKAIT

REHABILITASI DAN REINTEGRASI


ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI

Sri Musfiah
Bambang Triasmono

BPSDM KUMHAM Press


Jalan Raya Gandul No. 4 Cinere-Depok 16512
Telepon (021) 7540077, 754124; Faksimili (021) 7543709, 7546120
Laman: http://bpsdm.kemenkumham.go.id

Cetakan I : Desember 2021


Perancang Sampul : Maria Mahardhika
Penata Letak : Maria Mahardhika

Ilustrasi Sampul : freepik.com, media.istockphoto.com,


www.livelaw.in, image-prod.iol.co.za

xiv+64 hlm; 18 x 25 cm
ISBN: 978-623-5716-13-8

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


Dilarang mengutip dan memublikasikan
sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin penerbit.

Dicetak oleh:
PERCETAKAN POHON CAHAYA

Isi di luar tanggung jawab percetakan


KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

SAMBUTAN

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa,
berkat rahmat dan karunia-Nya, review modul Pelatihan Terpadu Sistem Peradilan
Pidana Anak (SPPA) dengan Judul REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK
KORBAN DAN ANAK SAKSI telah terselesaikan.

BPSDM Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Koordinator Pelatihan


Terpadu SPPA bagi Aparat Penegak Hukum dan Instansi Terkait, yang memiliki
tujuan meningkatkan kualitas pelatihan Terpadu SPPA, dan mewujudkan
kompetensi yang diharapkan bagi Aparat Penegak Hukum (APH) dan pihak
terkait dalam implementasi Undang-Undang SPPA Nomor 11 Tahun 2012, perlu
melaksanakan review atau update modul Pelatihan Terpadu SPPA.

Dalam penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) diperlukan


keterpaduan beberapa Instansi dan pihak terkait, yaitu Kepolisian, Kejaksaan,
Hakim/Peradilan, Penasehat Hukum/Advokad, Pembimbing Kemasyarakatan/
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Pekerja Sosial/ Kementerian
Sosial. Keterpaduan antara APH dan pihak terkait menjadi kata kunci untuk
keberhasilan pelaksanaan prinsip keadilan restoratif dan diversi yang jadi
pendekatan utama UU SPPA.

v
Perpres No. 175 Tahun 2014 tentang Pendidikan dan Pelatihan Terpadu
bagi Penegak Hukum dan Pihak Terkait Mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak
mengatur tujuan dari pelaksanaan Diklat Terpadu, yaitu untuk menyamakan persepsi
dalam penanganan ABH dalam SPPA, terutama agar memiliki pemahaman yang
sama tentang hak-hak anak, keadilan restoratif dan diversi, serta meningkatkan
kompetensi teknis APH dan pihak terkait dalam penanganan ABH.

Anak adalah generasi penerus yang dalam diri mereka melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya. Tanpa keterpaduan, mustahil cita-cita luhur
untuk memulihkan kondisi ABH dapat terwujud. Adalah menjadi tanggung jawab
kita semua untuk memastikan agar prinsip kepentingan terbaik bagi anak atau the
best interest of child selalu menjadi pegangan dalam mengatasi persoalan anak,
termasuk mereka yang sedang berhadapan dengan hukum.

Dalam kesempatan ini, kami atas nama BPSDM Hukum dan Hak Asasi
Manusia menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak atas dukungan
dan kontribusinya dalam penyelesaian review modul ini. Semoga modul ini dapat
berkontribusi positif bagi APH dan pihak terkait dalam penanganan ABH.

Selamat Membaca, Salam Pembelajar.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Depok, 18 November 2021


Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Hukum Dan Hak Asasi Manusia,

Dr. Asep Kurnia


NIP 196611191986031001

vi PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
KATA SAMBUTAN

Anak sebagai generasi penerus bangsa merupakan kelompok rentan


(vulnerablegroups) yang perlindungan dan pemenuhan haknya disebut secara
lugas dalam UUD 1945. Salah satu kelompok anak yang paling rentan adalah
Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Status, keterbatasan pengetahuan dan
kebelum-dewasaan mereka membutuhkan penanganan yang tidak biasa,yang
khusus apabila dibandingkan dengan orang dewasa.

Berangkat dari Konvensi Hak Anak yang diratifikasi Indonesia pada tahun
1990 dengan Keputusan Presiden No .36, UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
disepakatilah UU No.11 Tahun 2012 mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dengan memperkenalkan pendekatan keadilan restoratif, Undang-undangini
membawa paradigmabaru dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan
anak. Pendekatan dan paradigm baru ini tentu saja merupakan hal baru sehingga
diperlukan adanya pelatihan bagi mereka yang akan menerapkannya dilapangan.

Tahun ini UU SPPA berusia 9 tahun, walau pelaksanaannya baru berjalan


7 tahun. Sebagai lembaga utama yang bertugas melakukan pelatihan terpadu
di Kementerian Hukum dan HAM, BPSDM telah berkiprah lama dalam pelatihan
bagi aparatur penegak hokum (Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat, Pembimbing
Kemasyarakatan) danjuga Pekerja Sosial. Pelatihan terpadu menjadi program
penting bagi pemerintah Indonesia, sebagai refleksi kehadiran Negara bagi Anak
yang berhadapan dengan hukum, agar dicapai persamaan persepsi antar aparatur
penegak hukum yang menangani anak.

Salah satu upaya penting BPSDM untuk mengembangkan pelatihan terpadu


ini adalah dengan Menyusun Modul Pelatihan Terpadu, yang dirancang dan

vii
ditulis bersama oleh perwakilan dari praktisi hukum, akademisi dan kementerian
terkait. Selain materi pembelajaran berupa kajian teoritis,instrument internasional,
landasan hukum dan studi kasus, modul ini juga memuat metode pembelajaran
yang dapat digunakan instruktur. Dengan modul ini diharapkan bahwapara
instruktur, fasilitator dan juga peserta akan memperoleh manfaat yang besar dalam
mengembangkannya.

Selain itu BPSDM juga mengembangkan metode pelatihan terpadu dimasa


pandemic dengan memanfaatkan metode dalam jaringan atau daring (offline).
Pelatihan daring ini sedikit banyak merupakan blessing in disguisebaik bagi
BPSDM maupun peserta dan Lembaga terkait, karena para peserta tidak perlu
meninggalkan pekerjaan untuk hadir diJakarta, dan memiliki kesempatan untuk
mempelajari Modul di waktu yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.

Tiada gading yang tak retak,tentu Modul ini tidak sempurna. Oleh karenanya
masukan nkritik pembaca atas Modul ini diharapkan untuk menyempurnakannya.
Akhirnya, sayaucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada BPSDM
Kementerian Hukumdan HAM serta seluruh pihak yang telah bekerjasama dalam
pembuatan modul ini. Mari bersama kita lindungi generasi muda Indonesia.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, November 2021

Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., PhD.

viii PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Syukur Alhamdulillah, akhirnya penyusunan Modul Sistem Peradilan


Pidana Anak berjudul Modul Rehabilitasi dan Reintegrasi Anak Korban dan Anak
Saksi telah dapat diselesaikan. Penyusunan Modul ini disusun sebagai salah
satu dukungan sumber pembelajaran dalam meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan terhadap Pemenuhan Perlindungan Hukum bagi Anak dalam Sistem
Peradilan PidanaAnak.

Modul ini juga disusun untuk memenuhi tuntutan peningkatan kualitas Aparat
Penegak Hukum dalam pelaksanaan Peradilan Anak agar dapat menjalankan
tugas dan tanggung jawabnya secara lebih berdayaguna dan berhasil guna.
Diharapkan dengan modul ini prosestransfer of knowledge dapat dilaksanakan
dengan lebih efektif, meningkatkan kompetensi, untuk lebih berdaya guna dalam
penegakan hukum.

Demikian Modul ini disusun, kami mengucapkan penghargaan yang setinggi-


tingginya kepada tim penyusun yang bekerja keras menyusun modul ini. Kami
menyadari modul ini dengan segala kekurangannya masih jauh dari sempurna,
kami mohon kesediaan pembaca untuk memberikan masukan konstruktif untuk

ix
penyempurnaan selanjutnya.Semoga modul ini dapat memberikan motivasi dan
inspirasi dalam melaksanakan manfaat bagi pengembangan pengetahuan bidang
hukum, utamanya dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Depok, November 2021


Kepala Pusat Pengembangan Diklat Teknis
dan Kepemimpinan,

Cucu Koswala, S.H., M.Si.


NIP. 19611212 198503 1 002

x PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
Daftar Isi

SAMBUTAN..................................................................................................... v
KATA SAMBUTAN.............................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR......................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang.............................................................................. 1
B. Deskripsi Singkat.......................................................................... 2
C. Manfaat Modul.............................................................................. 2
D. Tujuan Pembelajaran.................................................................... 2
E. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok............................................. 2
F. Petunjuk Belajar ........................................................................... 3
BAB II KONSEP REHABILITASI DAN REINTEGRASI
ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI................................................................ 5
A. Pengertian Rehabilitasi dan Reintegrasi ...................................... 5
B. Tujuan, Sasaran Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial................... 7
C. Rehabilitasi Medis......................................................................... 8
D. Rehabilitasi Psikologis.................................................................. 9
E. Rehabilitasi Sosial......................................................................... 10
F. Latihan.......................................................................................... 18
G. Rangkuman .................................................................................. 18
H. Evaluasi........................................................................................ 19
I. Umpan Balik.................................................................................. 19
BAB III PERATURAN TERKAIT TENTANG REHABILITASI
DAN REINTEGRASI BAGI KORBAN DAN SAKSI......................................... 21
A. Konvensi Hak Anak (Pasal 39)..................................................... 21

xi
B. UU No. 23 Tahun 2002 jungto Perubahan UU No. 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak....................................... 21
C. UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak .. 23
D. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial ................................................................... 25
E. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang /
PTPPO (Korban) .......................................................................... 26
F. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban.......................................................................... 28
G. Latihan.......................................................................................... 28
H. Evaluasi ....................................................................................... 29
I. Rangkuman .................................................................................. 29
J. Umpan Balik.................................................................................. 29
BAB IV JEJARING KERJA LEMBAGA PENYELENGGARA
REHABILITASI DAN REINTEGRASI SOSIAL ANAK PELAKU,
KORBAN DAN SAKSI..................................................................................... 31
A. PERAN POLRI.............................................................................. 31
B. Peran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(BAPAS, LPKA dan LPAS) ........................................................... 32
C. Peran Kementerian Sosial............................................................ 33
D. Peran Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak................................................................. 35
E. Peran Kementerian dan Lembaga Terkait Lainnya ...................... 36
F. Latihan.......................................................................................... 44
G. Rangkuman .................................................................................. 44
H. Evaluasi........................................................................................ 45
I. Umpan balik.................................................................................. 45

xii PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
BAB V IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN DAN REHABILITASI
SOSIAL ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM......................................... 47
A. Persiapan Implementasi Perlindungan dan
Rehabilitasi Sosial Anak................................................................ 47
B. Strategi implementasi .................................................................. 50
C. Monitoring dan Evaluasi............................................................... 57
D. Pelaporan .................................................................................... 57
E. Latihan.......................................................................................... 58
F. Rangkuman................................................................................... 58
G. Evaluasi........................................................................................ 58
H. Umpan Balik.................................................................................. 58
BAB VI PENUTUP........................................................................................... 59
A. KESIMPULAN............................................................................... 59
B. Tindak Lanjut ............................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 63

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI xiii
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demi kepentingan terbaik bagi anak untuk memastikan kelangsungan hidup,
tumbuh kembang dan jaminan keselamatan bagi anak maka harus ada lembaga
dalam hal ini pemerintah merupakan garda terdepan dalam perlindungan anak.
Masih adanya permasalahan pemenuhan kebutuhan anak korban dan saksi dalam
menghadapi proses penanganan tindak pidana antara lain:

1. SDM Kesos yang menangani perkara anak belum memadainya baik kualitas
maupun kuantitas
2. Perhatian pemerintah dan komitmen APH dalam menangani perkara anak
masih kurang
3. Kurang adanya koordinasi antara lembaga dan instansi yang menangani
perkara anak
4. Masih kurangnya pengetahuan keluarga dan masyarakat, kekurang fahaman
orang tua dan masyarakat terhadap layanan rehabilitasi sosialbagi korban
dan/atau saksi atau bahkan menutupi bahwa anaknya menjadi korban dan/
atau saksi.
Dengan kondisi permasalahan tersebut anak korban dan/atu saksi sering
tidak menjalani rehabilitasi saat menjalani proses persidangan maupun paska
persidangan, baik rehabilitasi psikologis, sosial, vokasional, maupun rehabilitasi
medis.

B. Deskripsi Singkat

1
Mata Pelatihan ini membekali peserta agar mampu menerapkan tentang
Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial Anak Korban dan Anak saksi yang meliputi
materi 1) Konsep, 2) Peraturan, 3) Lembaga penyelenggara rehabilitasi dan
reintegrasi sosial bagi anak pelaku, korban dan Saksi serta 4) Implementasi

Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial bagi anak yang berhadapan dengan Hukum.

C. Manfaat Modul
Modul ini membekali peserta pelatihan tentang Rehabiltasi dan reintegrasi

sosial anak korban dan anak saksi bagi Aparat Penegak Hukum

D. Tujuan Pembelajaran
Peserta diharapkan mampu:

1. Menjelaskan Konsep Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial


2. Menjelaskan Peraturan tentang Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial
3. Menjelaskan Jejaring Kerja Lembaga pelayanan Rehabilitasi
4. Mengimplementasikan Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial bagi Anak yang
Berhadapan dengan Hukum.

E. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok


1) Konsep Rehabilitasi dan Reintegrasi sosial
1.1 Pengertian Rehabilitasi
1.2 Tujuan dan Sasaran rehabilitasi
1.3 Rehabilitasi Medis
1.4 Rehabilitasi Sosial
1.5 Rehabilitasi Psikologis
1.6 Rehalitasi Karya
1.7 Reintegrasi Social
1.8 Anak Korban dan Anak Saksi
2) Peraturan Terkait Tentang Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial

2 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
2.1 Konvensi Hak Anak
2.2 UU 23/2002 jo UU no 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak
2.3 UU 11/2011 tentang SPPA
2.4 UU 11/2009 Tentang Kesejahteraan Sosial
2.5 UU 21/2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(PTPPO)
2.6 UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
3) Jejaring Kerja Lembaga Penyelenggara Rehabilitasi dan Reinegrasi Social
Anak Pelaku, Korban dan Saksi
3.1 Jejaring Kerja
3.1 Peran Polri
3.2 Peran Kemenkumham
3.3 Peran Kemensos
3.4 Peran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak
3.5 Peran Kementerian dan Lembaha Terkait (Diklnas, Kesehatan, Pemda,
Lembaga/organisasi Bantuan Hukum)
4) Implementasi Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan
dengan Hukum
4.1 Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial
4.2. Penanganan ABH di Kementerian Sosial
4.3. Proses Rehabilitasi Sosial

F. Petunjuk Belajar
Untuk mempermudah penggunaan modul dan memberikan hasil yang
optimal dalam proses pembelajaran, maka ada beberapa petunjuk yang harus
dilakukan;

1. Pertama, bacalah tahap demi tahap dari bab/sub bab yang telah disusun
secara kronologis sesuai dengan urutan pemahaman.
2. Kedua, selesaikan belajar dalam bab pertama dahulu, setelah paham dan

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 3


selesai melakukan semua petunjuk dari bab tersebut diselesaikan secara
menyeluruh, dapat beranjak ke bab berikutnya.
3. Terakhir, pahami setiap penjelasan dan tugas yang ada dalam modul, apabila
belum mengerti maka dapat dikonsultasikan kepada widyaiswara/Fasilitator.
BAB II

4 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
KONSEP REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK
KORBAN DAN ANAK SAKSI

Setelah pembelajaran Peserta diharapkan dapat:


Menjelaskan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial anak korban dan anak saksi.

A. Pengertian Rehabilitasi dan Reintegrasi


1. Pengertian Rehabilitasi dan Reintegrasi
Rehabilitasi berasal dari dua kata, yaitu re yang berarti kembali dan
habilitasi yang berarti kemampuan. Menurut arti katanya, rehabilitasi berarti
mengembalikan kemampuan.

a. Pengertian Rehabilitasi menurut para ahli:


1) Menurut Banja (1990:615), rehabilitasi didefinisikan sebagai satu
program holistik dan terpadu atas intervensi-intervensi medis,
fisik, psikososial, dan vokasional yang memberdayakan seorang
untuk meraih pencapaian pribadi, kebermaknaan sosial, dan
interaksi efektif yang fungsional dengan dunia.
2) Suparlan (1993:124) mengemukakan bahwa “rehabilitasi
merupakan suatu proses kegiatan untuk memperbaiki kembali
dan mengembangkan fisik, kemampuan serta mental seseorang
sehingga orang itu dapat mengatasi masalah kesejahteraan
sosial bagi dirinya serta keluarganya”.
3) Menurut Scott Allan, rehabilitasi bukan hanya merupakan proses
restorasi, tetapi merupakan serangkaian usaha untuk mencapai
kemandirian (independence), dapat merawat dirinya sendiri (self
care), dan untuk mewujudkan potensi-potensi yang mereka

5
miliki.
4) Menurut Prof. DR. Kusmanto Setyonegoro, rehabilitasi sosial
adalah serangkaian upaya yang terkoordinir, yang terdiri dari
upaya medis, sosial, edukasional, dan vokasional, untuk melatih
atau melatih kembali seseorang yang mengalami handicapped,
agar dapat mencapai kemampuan fungsionalnya pada taraf
setinggi mungkin.
5) Menurut LE. Hansie and RJ. Campbell, rehabilitasi adalah
serangkaian tindakan yang meliputi treatment fisik,
penyesuaian psikososial dan latihan vokasional, dalam usaha
untuk mengoptimalkan keberfungsian sosial, meningkatkan
kemampuan penyesuaian diri secara maksimal, serta untuk
mempersiapkan kelayan secara fisik, mental, sosial dan
vokasional.
b. Reintegrasi
Reintegrasi berasal dari kata re artinya kembali dan integrasi
berarti penyatuan. Jadi, reintegrasi berarti penyatuan kembali,
pengutuhan kembali dengan keluarga, sekolah, lingkungan, tempat
kerja, masyarakat/lingkungan tempat tinggal anak. Reintegrasi sosial
pada dasarnya adalah upaya menyatukan anak dengan lingkungannya,
baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat,
maupun lingkungan anak lainnya.

Reintegrasi Sosial Anak Korban dan saksi berarti penyatuan


kembali saksi dan/atau korban dengan pihak keluarga, keluarga
pengganti, atau masyarakat yang dapat memberikan perlindungan
dan pemenuhan kebutuhan bagi saksi dan/atau korban. Proses
Reintegrasi ini dilakukan setelah menyelesaikan proses rehabilitasi
atau dapat juga dilakukan bersama-sama dengan proses rehabilitasi.

6 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
B. Tujuan, Sasaran Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial
1. Tujuan
Tujuan Rehabilitasi dan Reintegrasi sosial adalah membantu
pencapaian kemandirian optimal secara fisik, psikologis, mental, sosial,
vokasional, dan ekonomi sesuai dengan kemampuan anak.Ini berarti
membantu Anak Korban dan Anak Saksi tersebut mencapai kapasitas
maksimalnya untuk memperoleh hidup yang layak dengan tetap mengakui
adanya kendala-kendala teknis yang terkait dengan keterbatasan teknologi
dan sumber-sumber keuangan serta sumber-sumber lainnya.

2. Sasaran Rehabilitasi dan Reintegrasi


Fokus upaya rehabilitasi adalah individu secara holistik dalam konteks
ekologinya. Perspektif holistik dan ekologis mencakup aspek- aspek fisik,
mental, dan spiritual individu yang bersangkutan maupun hubungannya
dengan keluarganya, dan keseluruhan lingkungannya. Manusia tidak
dipandang sebagai sekadar komponen-komponen yang terpisah-pisah
seperti komponen fisik, mental, psikologis, budaya, danekonomi, melainkan
sebagai satu kesatuan yang utuh yang mencakup semua komponen tersebut.
Sasaran rehabilitasi adalah individu sebagai suatu totalitas yang terdiri atas
aspek jasmani, kejiwaan, dan sebagai anggota masyarakat. Secara rinci
Qoleman (1988:663) mengemukakan sasaran rehabilitasi sebagai berikut.

a. Meningkatkan insight individu terhadap problem yang dihadapi,


kesulitannya dan tingkahlakunya.
b. Membentuk sosok self identity yang lebih baik pada individu.
c. Memecahkan konflik yang menghambat dan mengganggu.
d. Mengubah dan memperbaiki pola kebiasaan dan pola reaksi tingkah
laku yang tidakdiinginkan,
e. Meningkatkan kemampuan melakukan relasi interpersonal maupun
kemampuan-kemampuan lainnya.

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 7


f. Modifikasi asumsi-asumsi individu yang tidak tepat tentang dirinya
sendiri dan dunialingkungannya.
g. Membuka jalan bagi eksistensi individu yang lebih berarti dan bermakna
atau berguna.

C. Rehabilitasi Medis
Secara umum rehabilitasi kesehatan atau medis merupakan lapangan
spesialisasi ilmu kedokteran baru, yang berhubungan dengan penanganan secara
menyeluruh dari penderita yang mengalami gangguan fungsi/cidera (impairment),
kehilangan fungsi/cacat (disability) yang berasal dari susunan otot tulang
(musculoskeletal), susunan otot syaraf (neuromuscular), susunan jantung dan
paru-paru (cardiovascular and respiratory system), serta gangguan mental sosial
dan kekaryaan yang menyertai kecacatannya.

Menurut WHO Rehabilitasi Medik adalah ilmu pengetahuan kedokteran


yang mempelajari masalah atau semua tindakan yang ditujukan untuk mengurangi
/ menghilangkan dampak keadaan sakit/nyeri/cacat dan atau halangan serta
meningkatkan kemampuan pasien mencapai integrasi sosial. Pelaksanaan
rehabilitasi menurut Commission Education in Physical Medicine and Rehabilitation
ternyata tidak hanya aspek medis saja, tetapi juga aspek sosial yang berhubungan
dengan aspek medis.

Hal tersebut ditegaskan oleh World Health Organization bahwa tujuan


rehabilitasi medis tidak hanya mengembalikan fungsi fisik ke keadaan semula,
melainkan juga membangun semaksimal mungkin fungsi sosialnya. Ini berarti
pelaksana dalam rehabilitasi medis tidak terbatas hanya diberikan oleh ahli medis
dan paramedis, tetapi para guru pendidikan khusus dapat berperan serta dalam
melaksanakan program rehabilitasi medik, khususnya di sekolah.

Menurut Ahmad Tohamuslim (1985), rehabilitasi medis mempunyai dua


tujuan: Pertama, tujuan jangka pendek agar pasien segera keluar dari tempat
tidur dapat berjalan tanpa atau dengan alat paling tidak mampu memelihara diri
sendiri. Kedua, tujuan jangka panjang agar pasen dapat hidup kembali ditengah

8 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
masyarakat, paling tidak mampu memelihara diri sendiri, idealnya dapat kembali
kepada kegiatan kehidupan semula paling tidak mendekatinya.

Sifat layanan rehabilitasi medis meliputi usaha-usaha preventif, kuratif, dan


promotif.Usaha preventif dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kemunduran
status kesehatan fisik dan penyebaran penyakit menular.Usaha kuratif dimaksudkan
untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada anak korban dan anak saksi
baik pada segi kesehatan umum maupun pelayanan kesehatan khusus dan
terapi khusus sesuai dengan kebutuhan.Sedangkan usaha promotif dimaksudkan
sebagai upaya menjaga status kesehatan dan pembinaan kepada Anak Korban
dan Anak Saksi.Ruang lingkup rehabilitasi medis meliputi: pemeriksaan fisik (umum
dan khusus), pelayanan kesehatan umum (termasuk gigi), pelayanan kesehatan
khusus (terapi khusus), evaluasi, dan pembinaan lanjut bidang medis.

D. Rehabilitasi Psikologis
Rehabilitasi psikologis merupakan bagian dari proses rehabilitasi yang
berusaha untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi semaksimal
mungkin pengaruh negatif dari dampak tindak pidana serta melatih mempersiapkan
mental mereka agar siap dan mampu menyesuaikan diri di masyarakat. Proses
pelaksanaan rehabilitasi psikologis berjalan bersamaan dengan proses rehabilitasi
sosial, rehabilitasi medis, pendidikan, dan keterampilan. Tujuan proses ini:

1. Menghilangkan atau mengurangi semaksimal mungkin akibat psikologis


yang disebabkan oleh tindak pidana. Misalnya timbul perasaan putus asa,
perasaan rendah diri, harga diri yang rendah, mudah tersinggung, mudah
marah, malas, suka minta bantuan, suka mengisolasi diri, dsb.
2. Memupuk rasa harga diri, percaya pada kemampuan diri sendiri, semangat
juang, semangat kerja dalam kehidupan, rasa tanggung jawab pada diri
sendiri, keluarga, masyarakat, dan negara.
3. Mempersiapkan anak korban dan anak saksi secara mental psikologis agar
mereka tidak canggung bila berada di tengah masyarakat.

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 9


Rehabilitasi psikologis meliputi:

1. Aspek mental keagamaan


2. Aspek budi pekerti dan
3. Aspek sikologis.

E. Rehabilitasi Sosial
Pengertian rehabilitasi sosial yang dikutip oleh Zaenudin (1994) dari
pendapat LE.Hinsie &Canbell, bahwa rehabilitasi sosial adalah segala tindakan
fisik, penyesuaian psikologis dan penyesuaian diri secara maksimal untuk
mempersiapkan klien secara fisik, mental, sosial dan vokasional bagi kehidupan
sesuai dengan kemampuan.Dimana pada prosesnya diarahkan untuk:

1. Mencapai perbaikan penyesuaian klien sebesar-besarnya,


2. Kesempatan vokasional sehingga dapat bekerja dengan kapasitas maksimal,
3. Penyesuaian diri dalam lingkungan perorangan dan sosial secara memuaskan
sehingga dapat berfungsi sebagai anggota masyarakat.
Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionlisasi dan pengembangan
untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara
wajar dalam kehidupan masyarakat. (undang-Undang 11 tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial)

1. Tujuan Rehabilitasi Sosial


Tujuan dari rehabilitasi sosial adalah untuk memulihkan kembali rasa harga diri,
percaya diri, kesadaran serta tanggung jawab terhadap masa depan diri,
keluarga maupun masyarakat atau lingkungan sosialnya, dan memulihkan
kembali kemauan dan kemampuan agar dapat melaksanakan fungsi
sosialnya secara wajar.
2. Pendekatan Rehabilitasi sosial
a. sosial berbasis keluarga, dengan asusmsi bahwa cara terbaik untuk
memenuhi kebutuhan anak adalah didalam keluarga dan cara yang
efektif untuk menjamin keselamatan, permanensi dan kesejahteraan
adalah menyediakan pelayanan yang melibatkan, memperkuat dan

10 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
mendukung keluarga.(Universitas Lowa, 2020)
Keluarga dalah :
1) Unit terkecil dalam masyrakat dan lembaga sosialisasi pertama
dan utama dalam masyarakat.
2) Lembaga pengasuhan utama bagi anak yang menanamkan
nilai-nilai untuk mengarahkan perilaku, sifat, kapasitas anak dan
resiliensi anak dalam kehidupan
3) Merupakan tempat berlindung yang utama untuk memenuhi
kebutuhan fisik dan psikis
4) Tempat untuk menjalankan peran dan pengaktualis diri anak
5) Keluarga yang harmonis dan bahagia dapat meningkatkan
kualitas kesejahteraan sosial anak
6) Keluarga yang tidak peduli, tidak harmonis dan penuh konflik
akan beresiko bagi kesehatan fisik dan psikis bagi anak
7) Merupakan terbaik bagi anak sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan anak.
Layanan berbasis keluarga meliputi dukungan keluarga secara
intensifPengasuhan Kapasitas Anak (PKA) dan Penguatan Kapasitas
Keluarga (PKK)

a. Pendekatan berbasis Komunitas, berasumsi bahwa komintas


memiliki peranpartisipasi aktif untuk mengidentifikasi dan
menangani masalah yang mereka hadapi, dengan asusmsi lebih
rinci sebagai berikut :
1) Setiap masyarakat mempunyai potensi mengatasi masalah
sosialnya secar mandiri dengan mengelola sistem sumber
yang ada dimasyarakat
2) Masyarakat merupakan lingkungan terdekat bagi anak
dalam pemenuhan kebutuhan anak
3) Kominitas yang memiliki kesadaran bersama akan
melindungi anak dari kekerasan, stigma dan diskriminasi.

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 11


LKSA dapat menjadi penggerak uatama bagi keluarga dan
masyarakat dalam mendampingi/mengasuh anak
4) Komunitas merupakan sumber pertolongan terdekat yang
dialami anak.
Layanan berbasis komunitas meliputi kegiatan
Pekerja Sosial Go To School, Pekerja Sosial Go To
Community, Community Parenting, pendapingan
anak dalam keluarga, kampanye keterpisahan anak dan
keluarga, pengembangan sarana bermain, pertemanan
positif dikalangan teman sebaya dan kegiatan lain yang
memanfaatkan sarana dilingkungan masyarakat

b. Pendekatan berbasis Residensial berasumsi bahwa lembaga


merupakan alternatif terakhir dan bersifat sementara dalam layanan
pengasuhan dan perlindungan anak. Pelayanan Residensial dengan
ketentuan :
1) Merupakan alternatif terakhir setelah berbasis keluarga dan komunitas
2) Anak yang tidak memiliki keluarga atau kerabat tidak diketahui
3) Anak yang mejadi korban kekerasan, perlakuan salah, penelantaran
atau eksploitasi sehingga demi keselamatan kesejahteraan diri anak,
kepengasuhan bertentangan dengan kepentinagn terbaik anak.
4) Anak yang terpisah dari keluarga karena bencana baik konflik sosial
ataupun bencana alam.
3. Tahapan Rehabilitasi Sosial:
a. Pendekatan awal dan kesepakatan bersama
Asesmen merupakan tahapan pemeriksaan mendalam dan
seksama mengenai permasalahan dan kebutuhan pemenerima
manfaat dan/atau pihak-pihak yang memiliki pengaruh terhadap
penerima manfaat seperti kelurga, teman sebaya, sistem sumber,
asesmen dilakukan secara berkelanjutan.

12 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
b. Kesepakatan atau kontrak layanan
Kesepakatan awal merupakan persetujuan antara anak
sebagai calon penerima manfaat untuk melanjutkan program layanan
rehabilitasi sosial berupa kontrak layanan (informed consent). Untuk
memberikan kepastian layanan dan melindungi penerima manfaat
dari malpratik dan melindungi pekerja sosial dari konsekuensi hukum
akibat layanan yang diberikan/

c. Asesmen komperhenship
Merupakan pengumpulan data dan informasi secara menyuluuh
dan mendalam.

Bentuk kelanjutan dari asesmen awal, berupa: Medis, legal, fisik,


psikosoial, minat bakat, mental spiritual, penelusuran keluarga, dan
aspek lainnya yang dibutuhkan.

d. Perencanaan
Perencanaan layanan rehabilitasi sosial dilakukan dengan :

1) Pemetaan sistem sumber


2) Penyusunan rencana, mulai dengan :
a) Penentuan tujuan
b) Sasaran garapan
c) Pelaksana perubahan
d) Sistem sumber yang digunakan
e) Indikator keberhasilan
f) Faktor resiko
g) Faktor pendukung
h) Jadwal / waktu
Penetapan bersama Merupakan pelaksanaan rencana intervensi
yang telah disepakati bersama antara penerima manfaat dengan
pekerja sosial, adapun implentasi adalah:

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 13


e. Implementasi
1) Dukungan pemenuhan kebuhan hidup layak terdiri pemenuhan
gizi seimbang, pakaian layak, tempat tinggal sementara,
pendidikan, aksesibilitas, rekreasional dan pengembangan
potensi
2) Pengasuhan sosial/pengasuhan anak, merupakan layanan kasih
sayang, perhatian, kelekatan dan kesejahteraan dengan cara
merawat mengasuh dan memberikan perhatian dan bantuan
saranan prasana pengasuhan sosial/pengasuhan anak.
3) Dukungan keluarga merupakan upaya pemberian bantuan
terhadap anggota keluarga berupa: dukungan emosional,
pengetahuan, dan pengetahuan pengasuhan anak, kemampuan
berelasi dalam keluarga sendiri maupun keluarga pengganti. Hal
ini ditujukan untuk memberikan pendampingan dan penguatan
kapabilitas serta tanggungjawab sosial keluarga sendiri maupun
keluarga pengganti dukungan terhadap keluarga sendiri meliputi:
a) Medasi keluarga
b) Presrvasi keluarga
c) Lingkar dukungan antar keluarga
d) Penguatan Kapabilitas Anak (KPA) dan Penguatan
Kapabilitas Keluaga (PKK)
4) Terapi Fisik, mental Spiriual dan psikososial
a) Terapi Fisik aspek pelayanan kesehatan yang berkaitan
dengan rehabilitasi fungsional untuk mengoptimalkan,
memelihara dan mencegah kerusakan atau gangguan fisik
anak dan memaksimalkan kualitas hidup anak, Bentuk
terapi fisik diantaranya :
(1) Terapi teureputik
(2) Gerak tubuh
(3) Terapi nutrisi

14 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
(4) Terapi menggunakan alat bantu
(5) Olah Raga
b) Teraphy mental spritual, terpi yang menggunakan nilai-nilai
moral, spritual, agama untuk menyelarskan fikiran, tubuh
dan jiwa untuk mengatasi kecemasan dan depresi.Bentuk
terapi ini adalah :
(1) Menejemen stres
(2) Meditasi
(3) Ibadah keagamaan dan/
(4) Terapi yang menikmati harmoni dengan alam dan
dukungan alat
bantu
(5) Penanaman dan penguatan nilai dan norma atau
bimbingan budi pekerti
(6) Memadukan rehabilitasi psikososial dengan
pendekatan bimbingan rohani/agama.
c) Terpi psikosial, merupakan terapi yang ditujukan paa
perkembangan psikologis anak dan interaksi dengan
lingkungan sosialnya, untuk memperkuat dan memobilisasi
potensis anak dan keluarga dan peningkatan pengelolaan
diri dalam lingkungan sosialnya. Terapi psikososial
berkaitan dengan aspek kognitsi, psikis, sosial yang
dilakukan oleh pekerja sosial dengan profesi lainnya
Bentuk terapi psikososial terdiri atas :

(1) Layanan Dukungan Psikososial (intervensi krisis)


(2) CBT (Cognitive Behvioural Therapy and Trauma
Focused CBT)
(3) CAT (Cognitive Analysis Therapy)
(4) Terapi realiti
(5) Terapi naratif

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 15


(6) Psikoedukasi
(7) Konseling
(8) In Vivo Exposure
(9) Terapi gestalt
(10) Menegemen emosi
(11) Terapi pengalam
(12) EFT (Emotional Freedom therapy)
(13) Modeling
(14) Terapi bermain
(15) Terapi seni dan musik
(16) Diskusi terfokus
(17) Terapi kognitif
(18) Bimbingan cara berpikir positif dan penguatan
kemampuan pemecahan masalah
(19) Konseling individu dan kelompok
5) Pelatihan vokasional dan/atau pembinaan kewirausahaan
merupakan pemberin keterampilan kepada anak agar mampu
hidup mandiri dan/atau produktif
Bentuk pelatihan vokasional dan.atau pembinaan
kewirausahaan meliputi :

a) Pengembangan dan penyaluran minat bakat dan potensi


b) Pengembangan keterampilan sosial
c) Konseling pekerjaan
d) Menciptakan aktivitas yang produktif
e) Akses modl ekonomi produktif
f) Bantuan sarana dan prasaran rpoduktif dan/atau
g) Mengembangkan jenjang pemasaran

16 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
6) Bantuan dan Asistensi Sosial, bantuan stimulant kebuthan
dasar pemerlu pelayanan dan bantuan pendampingan apabila
diperlukan
7) Dukungan Aksesibiltas, untuk mempermudah pelayanan yang di

perlukan, dapat dilakukan dengan penjangkauan.


f. Resosialisasi
Adalah rangkaian kegiatan bimbingan yang diarahkan pada
kesiapan anak, keluarga dan masyarakat untuk menerima kembali
anak ditengah-tengah keluarga dan lingkungan masyarakat.

g. Reintegrasi Sosial
Merupakan rangkaian kegiatan pengembalian penerima manfaat
ke dalam lingkungan asuhan/bimbingan orang tua/kerabat/keluarga
pengganti/lembaga perujuk.

1) Mempersiapkan penerima manfaat dalam proses reintegrasi


2) Mempersiapkan orang tua/keluarga/lembaga perujuk untuk
menerima kembali penerima manfaat didalam lingkungannya.
h. Pembinaan Tindak Lanjut (after care)
Pembinaan tindak lanjut diberikan agar keberhasilan klien dalam
proses rehabilitasi dan telah disalurkan dapat lebih dimantapkan,
dari pembinaan tindak lanjut juga akan diketahui apakah klien dapat
menyesuaikan diri dan dapat diterima di masyarakat. Tujuan dari
pembinaan tindak lanjut adalah memelihara, memantapkan, dan
meningkatkan kemampuan sosial ekonomi dan mengembangkan
rasa tanggung jawab serta kesadaran hidup bermasyarakat. Kegiatan
tindak lanjut sangat penting, klien termonitor 1.kegiatannya juga dapat
diketahui keberhasilan dari program rehabilitasi yang telah diberikan.
Usaha rehabilitasi sosial (Depsos 1988:9) menurut pendekatan
pelayanan sosial dilaksanakan melalui tiga sistem, yaitu:

i. Terminasi, sebagai salah satu cara pengakhiran pelayanan.

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 17


F. Latihan
1. Diskusikan irisan antara rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi
psikologis dan rehabilitasi karya/vokasional.
2. Diskusikan keterkaitan antara rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosial.

G. Rangkuman
1. Rehabilitasi adalah satu program holistic dan terpadu atas intervensi
intervensi medis, fisik, psiko sosial, dan vokasional yang memberdayakan
seorang untuk meraih pencapaian pribadi, kebermaknaan sosial, dan
interaksi efektif yang fungsional dengan dunia.
2. Reintegrasi sosial pada dasarnya adalah upaya menyatukan anak dengan
lingkungannya, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan
masyarakat, maupun lingkungan anak lainnya. Reintegrasi Sosial Anak
Korban dan saksi berarti penyatuan kembali saksi dan/atau korban dengan
pihak keluarga, keluarga pengganti, atau masyarakat yang dapat memberikan
perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi saksi dan/atau korban.
3. Rehabilitasi medisi menurut WHO adalah Rehabilitasi Medik adalah ilmu
pengetahuan kedokteran yang mempelajari masalah atau semua tindakan
yang ditujukan untuk mengurangi/menghilangkan dampak keadaan sakit/
nyeri/cacat dan atau halangan serta meningkatkan kemampuan pasien
mencapai integrasi sosial.
4. Rehabilitasi sosial merupakan proses refungsionalisasi dan pengembangan
untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya
secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
5. Rehabilitasi psikologis merupakan bagian dari proses rehabilitasi yang
berusaha untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi
semaksimal mungkin pengaruh negatif dari dampak tindak pidana serta
melatih mempersiapkan mental mereka agar siap dan mampu menyesuaikan
diri di masyarakat.

18 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
6. Rehabilitasi keterampilan/karya adalah suatu rangkaian kegiatan pelatihan
yang berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan dan keahlian yang
diperlukan untuk suatu pekerjaan.
7. Tujuan Rehabilitasi dan Reintegrasi adalah membantu pencapaian
kemandirian optimal secara fisik, mental, sosial, vokasional, dan ekonomi
sesuai dengan kemampuan anak. Ini berarti membantu Anak Korban dan
Anak Saksi tersebut mencapai kapasitas maksimalnya untuk memperoleh
hidup yang layak dengan tetap mengakui adanya kendala-kendala teknis
yang terkait dengan keterbatasan teknologi dan sumber-sumber keuangan
serta sumber-sumber lainnya.
8. Sasaran rehabilitasi adalah individu sebagai suatu totalitas yang terdiri atas
aspek jasmani, kejiwaan, dan sebagai anggota masyarakat.

H. Evaluasi
Jawablah pertanyaan ini dengan singkat :

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Rehabilitasi Sosial ?


2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Reintegrasi Sosial ?Um

I. Umpan Balik
Apabila Saudara telah mampu menjawab pertanyaan diatas dengan benar,
maka Saudara telah memenuhi kriteria tuntas. Apabila belum, Saudara dapat
mendalami materi pada bab ini

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 19


BAB III
PERATURAN TERKAIT TENTANG REHABILITASI DAN
REINTEGRASI BAGI KORBAN DAN SAKSI

Dalam mengimplementasikan rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi anak korban dan saksi,
semua kegiatan berlandaskan pada peraturan- peraturan yang terkait telah ditetapkan, dibawah ini
dijelaskan berbagai peraturan tentang:

A. Konvensi Hak Anak (Pasal 39)


Negara akan mengambil semua langkah yang tepat untuk meningkatkan
pemulihan fisik maupun psikologis dan reintegrasi dalam masyarakat, seorang
anak yang menjadi korban dari setiap bentuk penelantaran, eksploitasi, atau
penyalahgunaan, penyiksaan, atau setiap bentuk kekejaman atau hukuman yang
kejam, tidak manusiawi atau yang merendahkan martabat, atau pertentangan
kesepakatan. Pemulihan fisik maupun psikologis dan reintegrasi dilakukan dalam
suatu lingkungan yang membantu pengembangan kesehatan, harga diri, dan
martabat anak, dilakukan tanpa diskriminasi, demi kepentingan terbaik bagi anak,
dan memastikan kelangsungan hidup dan perkembangan anak sampai batas
maksimal.

B. UU No. 23 Tahun 2002 jungto Perubahan UU No. 35 Tahun 2014


tentang Perlindungan Anak.
Beberapa pasal dari Undang-Undang No. 35 tahun 2014 terkait dengan
Perlindungan Anak yang menjadi dasar dalam melaksanakan rehabilitasi sosial
diantaranya

1. Pasal 64
Pelindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilaksanakan melalui :

21
1. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
2. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa
dan untuk menghindari labelisasi;
3. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik
fisik, mental, maupun sosial; dan
4. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.
Undang-undang nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
kemudian terdapat perubahan, pada Undang Undang No. 35 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak.

2. Pasal 59
Pasal 59 merupakan sasaran bagi pelaksanaan rehabilitasi sosial
yang dilakukan oleh Kementerian Sosial antara lain :

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya


berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan
Khusus kepada Anak.
(2) Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan kepada:
a. Anak dalam situasi darurat;
b. Anak yang berhadapan dengan hukum;
c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
f. Anak yang menjadi korban pornografi;
g. Anak dengan HIV/AIDS;
h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;
i. Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis;
j. Anak korban kejahatan seksual;

22 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
k. Anak korban jaringan terorisme;
l. Anak Penyandang Disabilitas;
m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan
o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait
dengan kondisi Orang Tuanya.
3. Pasal 59A
Perlindungan Khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 ayat (1) dilakukan melalui upaya:

a. penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi


secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan
gangguan kesehatan lainnya;
b. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;
c. pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga tidak
mampu; dan d. pemberian perlindungan dan pendampingan pada
setiap proses peradilan.

C. UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak


Beberapa pasal dari Undang-Undang no. 11 tahun 2012 yang menjadi dasar
dalam proses rehabilitasi antara lain :

1. Pasal 23
Pekerja Sosial melindungi anak korban dan anak saksi dalam proses
pemeriksaan

2. Pasal 27
Memberikan pertimbangan / saran dan membuat laporan sosial dalam
penyidikan anak korban dan anak saksi

3. Pasal 58
Pekerja sosial mendampingi anak korban dan anak saksi dalam pemeriksaan
langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual.

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 23


4. Pasal 90
Selain hak yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Anak Korban dan Anak
Saksi berhak atas:

a. Upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga


maupun di luar lembaga;
b. jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
c. kemudahan dalam mendapatkan
d. informasi mengenai perkembangan perkara.
5. Pasal 91
LPKS menerima rujukan perlindungan dan rehabilitasi sosial anak saksi dan
anak korban

6. Pasal 91
LPKS menerima rujukan perlindungan dan rehabilitasi sosial anak saksi dan
anak korban

7. Pasal 93
Masyarakat dapat berperan serta dalam pelindungan Anak mulai dari
pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial Anak dengan cara:

a. Menyampaikan laporan terjadinya pelanggaran hak Anak kepada


pihak yang berwenang;
b. Mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang
berkaitan dengan Anak;
c. Melakukan penelitian dan pendidikan mengenai Anak;
d. Berpartisipasi dalam penyelesaian perkara Anak melalui Diversi dan
pendekatan Keadilan Restoratif;
e. Berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial Anak, Anak
Korban dan/atau Anak Saksi melalui organisasi kemasyarakatan;
f. Melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum
dalam penanganan perkara Anak; atau

24 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
g. Melakukan sosialisasi mengenai hak Anak serta peraturan perundang
undangan yang berkaitan dengan Anak.
8. Pasal 105
Dalam waktu paling lama 5 tahun, Kementerian Sosial wajib membangun
Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).

D. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan


Sosial
Beberpa pasal dalam Undnag-undang Nomor 11 tahun 2009 menjelaskan
terkait tanggungjawab negera dalam pelayanan dan Rehabilitasi Sosial diantaranya:

1. Pasal 4
Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

2. Pasal 5
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan kepada:

1) perseorangan;
2) keluarga;
3) kelompok; dan/atau
4) masyarakat.
3. Pasal 7
(1) Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan
mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi
sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.
(2) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat
dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga,
masyarakat maupun Balai / loka.
(3) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diberikan
dalam bentuk:
a. Motivasi dan diagnosis psikososial;
b. Perawatan dan pengasuhan;
c. Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 25


d. Bimbingan mental spiritual;
e. Bimbingan fisik;
f. Bimbingan sosial dan konseling psikososial;
g. Pelayanan aksesibilitas;
h. Bantuan dan asistensi sosial;
i. Bimbingan resosialisasi;
j. Bimbingan lanjut; dan/atau
k. Rujukan.

E. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan


Tindak Pidana Perdagangan Orang / PTPPO (Korban)
Di antara pasal-pasal yang menjelaskan tentang hak bagi hak korban TPPO
antara lain terdapat pada :

1. Pasal 51
a. Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial,
pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang
bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat
tindak pidana perdagangan orang.
b. Hak-hak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diajukan oleh korban
atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping,
atau pekerja sosial setelah korban melaporkan kasus yang
dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada Kepolisian Negara
RepublikIndonesia.
c. Permohonan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diajukan kepada
pemerintah melalui menteri atau instansi yang menangani masalah-
masalah kesehatan dan sosial didaerah.
2. Pasal 52
a. Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51(1) wajib memberikan rehabilitasi kesehatan,
rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial paling lambat 7

26 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
(tujuh) hari terhitung sejak diajukanpermohonan.
b. Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi
sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk
rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.
c. Untuk penyelenggaraan pelayanan sebagaimana dimaksud pada Ayat
(2), masyarakat atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya dapat
pula membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.
3. Pasal 53
Dalam hal korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan
dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan
pertolongan segera, maka menteri atau instansi yang menangani masalah-
masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib memberikan pertolongan
pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diajukan.

4. Pasal 54
a. Dalam hal korban berada di luar negeri memerlukan perlindungan
hukum akibat tindak pidana perdagangan orang, maka Pemerintah
Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib
melindungi pribadi dan kepentingan korban, dan mengusahakan untuk
memulangkan korban ke Indonesia atas biayanegara.
b. Dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di
Indonesia, maka Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan
perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui koordinasi
dengan perwakilannya di Indonesia.
c. Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan
Ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, hukum internasional, atau kebiasaan internasional.

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 27


F. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban
Perlindungan terhadap saksi dan korban dapat terlihat pada :

1. Pasal 31
LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Saksi dan/
atau Korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan
kesediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.

2. Pasal 32
a. Perlindungan atas keamanan Saksi dan/atau Korban hanya dapat
dihentikan berdasarkan alasan:
1) Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya
dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;
2) Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan
perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas
permintaan pejabat yangbersangkutan;
3) Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana
tertulis dalam perjanjian;atau
4) LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/atau Korban tidak lagi
memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang
meyakinkan.
b. Penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi dan/atau Korban
harus dilakukan secara tertulis.

G. Latihan
Buatlah analisa secara substantif terhadap perubahan UU Nomor 23 Tahun
2002 kepada Undang Undang No. 35 Tahun 2014 terkait dengan perlindungan
anak danrehabilitasi terhadap anak.

28 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
H. Evaluasi
Jawablan pertanyaan dibawah ini:

1. Jelaskan terkait dengan konvensi hak anak


2. Sebutukan Undang-Undang yang menjadi dasar proses rehabilitasi
sosial

I. Rangkuman
Peraturan yang menjadi landasan hukum dalam melaksanakan rehabilitasi
dan reintegrasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai
pelaku, korban dan saksi meliputi:

1. Konvensi Hak Anak (Pasal 39)


2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
3. UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang
No.35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-undang nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
5. Undang-undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan
Tindak Pidana Perdagangan Orang/PTPPO (Korban). Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

J. Umpan Balik
Apabila Saudara telah mampu menjawab pertanyaan diatas dengan benar,
maka Saudara telah memenuhi kriteria tuntas. Apabila belum, Saudara dapat
mendalami materi pada bab ini

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 29


BAB IV
JEJARING KERJA LEMBAGA PENYELENGGARA
REHABILITASI DAN REINTEGRASI SOSIAL ANAK PELAKU,
KORBAN DAN SAKSI

Setelah membaca Bab ini, peserta diklat dapat mengidentifikasi jejaring kerja lembaga
penyelenggara rehabilitasi dan reintegrasi anak korban dan anak saksi.

Jejaring kerja lembaga merupakan bentuk persekutuan antara satu pihak atau
lebih yang membentuk satu ikatan kerjasama pada bidang tertentu untuk tujuan
tertentu dengan berbagi ide, informasi dan sumber daya untuk meraih kesuksesan
bersama. Aspek penting dalam implementasi jejaring kerja kebijakan melalui
penyelenggaraan setiap kegiatannya. Lembaga dalam hal ini meliputi institusi/
lembaga yang ditunjuk untuk menyelenggarakan rehabilitasi dan integrasi sosial
bagi Anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam memberikan perlindungan
khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum diperlukan dukungan
kelembagaan dan jejaring kerjasama dalam pemenuhan hak-hak anak. Institusi
dan kelembagaan yang bertugas menyelenggarakan rehabilitasi dan integrasi
bagi Anak yang berhadapan dengan hukum adalah:

A. PERAN POLRI
Tugas dan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
penanganan ABH meliputi:

1. Menyiapkan penyidik yang mempunyai minat, kemampuan, perhatian, dan


dedikasi dan bersertifikasi dibidang anak pada Mabes Polri dan jajaran
kewilayahannya;
2. Meningkatkan jumlah Unit Pelayanan Perempuan dan Anak/Unit PPA di
Mabes Polri dan jajaran kewilayahannya;

31
3. Menyediakan ruang pemeriksaan khusus bagi anak di Mabes Polri dan
jajaran kewilayahannya;
4. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan tentang penanganan ABH;
5. Menyusun panduan/pedoman standar tentang penanganan ABHdengan
pendekatan keadilan restoratif;
6. Membentuk kelompok kerja penanganan ABH; dan
7. Melakukan sosialisasi internal, yang dalam pelaksanaannya dapat bekerja
sama dengan instansi terkait.
Pelaksanaan tugas dan kewenanganan tersebut dilakukan secara terintegrasi
oleh Unit Pelaksana Teknis Kepolisian:

1. Penyidikan perkara anak dilakukan oleh Penyidik anak.


2. Setiap Polsek/Polres/Polresta/Polwiltabes/Polda/Mabespolri wajib mem­
punyai buku register khusus perkara anak (pelaku/saksi/korban) dan
membuat laporan berkala sedikitnya 6 (enam) bulan sekali.
3. SetiapPolsek/Polres/Polresta/Polwiltabes/Polda/Mabespolri harus memiliki
Penyidik khusus yang menangani perkara anak, yang ditunjuk oleh Kepala
kesatuan masing-masing.
4. Kepolisian mengutamakan penanganan perkara anak dengan mem­prio­
ritaskan proses penyidikan.
5. Waktu pemeriksaan anak untuk pembuatan BAP tidak lebih dari 4 (empat)
jam sehari dan tidak dilakukan pada malam hari. Diusahakan untuk
menghadirkan orangtua anak, wali dan penasehat hukum.

B. Peran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (BAPAS,


LPKA dan LPAS)
Pelaksanaan tugas dan kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia dalam penanganan ABH meliputi:

1. Menetapkan kebijakan, program dan kegiatan perlindungan dan pemenuhan


hak ABH di lingkungan pemasyarakatan;

32 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
2. Meningkatkan pelayanan litmas, pembimbingan, dan pengawasan, serta
pendampingan ABH;
3. Menyiapkan pembimbing kemasyarakatan (PK) pada BAPAS dan petugas
pemasyarakatan pada LPKA dan LPAS yang mempunyai minat, kemampuan,
perhatian dan dedikasi dengan bersertifikasi di bidang anak;
4. Meningkatkan pelayanan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, dan
pengawasan serta pendampingan terhadap anak yang diputus dengan
pidana pengawasan, pidana bersyarat, anak yang dikembalikan kepada
orang tua, dan anak yang memerlukan bimbingan lanjutan (after care);
5. Menyiapkan fasilitas dan prasarana bagi pembinaan, pembimbingan, dan
perawatan anak;
6. Menyiapkan ruang khusus bagi tahanan anak dan anak didik pemasyarakatan
di LPAS dan LPKA;
7. Menyediakan psikolog, tenaga pendidik, dan tenaga medis;
8. Menyusun prosedur standar operasional penanganan ABH dengan
pendekatan keadilan restoratif;
9. Meningkatkan peran serta masyarakat;
10. Membentuk kelompok kerja penanganan ABH; dan
11. Melakukan sosialisasi internal.

C. Peran Kementerian Sosial


Tugas dan kewenangan Kementerian Sosial Republik Indonesia dalam
penanganan ABH sesuai dengan Pasal 10 Keputusan Bersama tentang
Penanganan ABH meliputi:

1. Menyiapkan pekerja sosial dalam pelayanan masalah sosial ABH yang


mempunyai minat, kemampuan, perhatian dan dedikasi dengan bersertifikasi
diidang anak di tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah;
2. Memfasilitasi penyediaan LPKSA, Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA)
dan pusat trauma bagi anak yang berhadapan dengan hukum;
3. Mendorong dan memperkuat peran keluarga, masyarakat, dan organisasi
sosial atau lembaga masyarakat untuk peduli pada ABH;

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 33


4. Mengembangkan panduan atau pedoman perlindungan dan rehabilitasi
sosial ABH;
5. Membentuk kelompok kerja penanganan ABH; dan
6. Melakukan sosialisasi internal.
Untuk melaksanakan tugas dan kewenanganan tersebut dilakukan hal-hal:

1. Melaksanakan pendampingan psikososial bagi ABH didalam Balai / loka:


a. Melaksanakan orientasi, konsultasi, motivasi dan seleksi;
b. Melaksanakan assesmen dan perumusan rencana pelayanan;
c. Melaksanakan intervensi dan manajemen kasus yang mencakup
pendampingan sosial psikologis, peningkatan motivasi, konseling,
terapi psikososial, dan perubahan perilaku, mencatat dan memantau
perkembangan perilaku;
d. Melaksanakan pembinaan, terminasi institusi, dan rujukan.
2. Melaksanakan penjangkauan, rehabilitasi sosial bagi ABH, memfasilitasi
reintegrasi dan reunifikasi ABH.
3. Melakukan asesmen motivasi terhadap ABH sebelum dilakukan rujukan ke
Balai /loka.
4. Melaksanakan pendampingan dan advokasi sosial bagi ABH dan
lingkungannya.
5. Melaksanakan penyuluhan dan sosialisasi.
6. Melaksanakan fasilitasi penyelesaian kasus ABH sebelum masuk pada
proses penyidikan berkoordinasi dengan BAPAS dan pihak terkait.
7. Melaksanakan koordinasi dan kerjasama dengan PK dalam proses
penanganan kasus ABH.
8. Melaksanakan konsultasi, orientasi, peningkatan motivasi dan advokasi
sosial dalam upaya mendorong penyelesaian kasus ABH di luar pengadilan
dengan pihak terkait.
9. Memberikan motivasi dan pendampingan bagi ABH pada tahap bimbingan
awal masuk Balai / loka.
10. Melaksanakan asesmen, motivasi, konseling dan terapi psiko sosial dan

34 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
perubahan perilaku dengan sistem penjangkauan.
11. Dalam hal tidak terdapat LPAS, Balai /loka dapat menerima rujukan atau
penitipan ABH dari instansi yang secara yuridis berwenang melakukan
penahanan dengan tanggung-jawab pada instansi penitip.
12. Dalam hal hakim memutuskan tindakan pembinaan/pelatihan kerja di Balai /
loka, maka tanggung jawab fisik menjadi tanggung jawab Balai / loka.

D. Peran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan


Perlindungan Anak
Tugas dan kewenangan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia dalam penanganan ABH sesuai dengan
Pasal 11 Keputusan Bersama tentang Penanganan ABH meliputi:

1. Merumuskan kebijakan penanganan ABH;


2. Melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan instansi/lembaga terkait;
3. Melakukan sosialisasi, advokasi, dan fasilitasi;
4. Mendorong peran serta masyarakat;
5. Mengadakan pelatihan-pelatihan;
6. Membentuk kelompok kerja penanganan ABH;
7. Mengembangkan panduan atau pedoman, standard dan prosedur
penanganan anak yang berhadapan dengan hukum;
8. Melakukan sosialisasi internal; dan
9. Melakukan pemantauan, analisis, evaluasi dan pelaporan.
Untuk melaksanakan tugas dan kewenanganan, dilakukan hal-hal sebagai
berikut:

1. Melaksanakan kajian atau pemetaan situasi dan kondisi ABH;


2. Merumuskan kebijakan penanganan ABH;
3. Melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan instansi/lembaga terkait;
4. Melakukan sosialisasi, advokasi dan fasilitasi;
5. Mendorong peran serta masyarakat;
6. Mengadakan pelatihan-pelatihan bagi aparat penegak hukum dengan
pendekatan keadilan restoratif;

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 35


7. Membentuk kelompok kerja penanganan ABH;
8. Membentuk jejaring kerja aparat penegak hukum di tingkat pusat dan daerah;
9. Mengembangkan sistem pelaporan data ABH.

E. Peran Kementerian dan Lembaga Terkait Lainnya


1. Bidang Pendidikan
a. Kementerian Pendidikan Nasional
Tugas dan kewenangan Kementerian Pendidikan Nasional
dalam rangka menjamin ketersediaan layanan dan keberlangsungan
pendidikan bagi ABH meliputi:

(1) memfasilitasi pengambilan kebijakan nasional di bidang


penyediaan layanan pendidikan khusus bagi ABH, baik pada
jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan non formal;
(2) memfasilitasi lahirnya kerjasama khusus dengan dengan
Kementerian Hukum dan HAM untuk memberikan layanan
penyelenggaraan pendidikan khusus bagi ABH, baik dalam
LPAS anak maupun LPKA anak;
(3) menyediakan panduan umum tentang penyelenggaraan layanan
pendidikan khusus bagi ABH, baik pada jalur pendidikan formal
maupun non-formal;
(4) memfasilitasi penyediaan bantuan biaya operasional untuk
penyediaan layanan pendidikan khusus bagi ABH, baik selama
di LPAS anak maupun di LPKA anak;
(5) memfasilitasi penyediaan dukungan sarana/prasarana
pendidikan sesuai kebutuhan penyelenggaraan layanan
pendidikan bagi ABH yang dilangsungkan di dalam LPKA/LPAS
anak;
(6) menambah fasilitasi pendidikan hukum dan hak asasi manusia
dalam ekstrakulikuler.

36 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
b. Dinas Pendidikan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota)
Dinas pendidikan daerah (provinsi dan kabupaten/kota)
selaku pemegang otoritas kebijakan penyelenggaraan pendidikan
di daerah, sesuai dengan kewenangan dan kapasitasnya, wajib
mendukung implementasi MoU Kementerian Pendidikan Nasional
dan Kementerian Hukum dan HAM (LPKA anak dan perempuan)
di bidang penyelenggaraan layanan pendidikan untuk ABH, baik
yang berlangsung di LPAS anak atau LPKA anak. Dinas pendidikan
bekerjasama dengan LPKA dan LPAS anak wajib berperan membantu
menjamin keberlangsungan pelayanan pendidikan bagi ABH di
wilayahnya. Fasilitasi dinas pendidikan setempat meliputi:

(1) penyediaan sarana/prasarana pendidikan yang dibutuhkan LPKA


atau LPAS anak dalam rangka menyediakan layanan pendidikan
ABH;
(2) penyediaan guru/tenaga pengajar yang kompeten atau
memenuhi syarat sesuai kebutuhan pelaksanaan pembelajaran
ABH baik di dalam LPKA maupun di LPAS anak;
(3) penyediaan bahan ajar/belajar bagi ABH baik di dalam maupun
diluar LPKA atau LPAS anak di wilayahnya;
(4) bekerjasama dengan LPKA/LPAS anak, memfasilitasi
penyelenggaraan setiap jenis evaluasi pembelajaran ABH, baik
yang dilaksanakan di luar maupun di dalam LPKA anak maupun
LPAS anak;
(5) bekerjasama dengan LPKA atau LPAS, orangtua, dan
masyarakat memfasilitasi pengembalian anak dalam satuan
pendidikan reguler di luar LPKA/LPAS anak setelah berakhirnya
masa pelaksanaan tindakan yang dijalani ABH;
(6) bekerjasama dengan LPKA/LPAS anak memfasilitasi penyediaan
tenaga pendamping, psikolog, pekerja sosial yang bertugas

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 37


memberikan pendampingan baik selama ABH di LPAS maupun
menjalani sanksi hukum/tindakan di LPKA;
(7) mengupayakan dukungan penyediaan biaya penyelenggaraan
pendidikan bagi ABH, baik melalui APBD provinsi dan kabupaten/
kota maupun APBN; 8. bekerjasama dengan orang tua, LPKA/
LPAS memberikan dampingan untuk pengembalian anak dalam
binaan keluarga pasca menjalani masa sanksi atau tindakan
ABH.
2. Bidang Kesehatan
a. Kementerian Kesehatan
Kementerian Kesehatan bertanggung jawab menetapkan
kebijakan pemberian layanan kesehatan bagi ABH, baik sebagai pelaku
maupun korban/saksi maupun bagi anak yang berada di LPKA/LPAS.
Kebijakan tersebut termasuk penyusunan Norma, Standar, Pedoman
dan Kriteria (NSPK) Pelayanan Kesehatan Anak yang meliputi:

(1) Melaksanakan advokasi dan sosialisasi tentang NSPK.


(2) Meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan dalam memberikan
pelayanan kesehatan.
(3) Melaksanakan fasilitasi teknis bagi dinas kesehatan provinsi,
kabupaten/kota dalam pelayanan kesehatan.
(4) Melaksanakan koordinasi lintas program dengan sektor terkait
untuk meningkatkan pelayanan kesehatan.
(5) Menyiapkan sarana dan prasarana di puskesmas dan rumah
sakit dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan.
(6) Menyediakan biaya kesehatan melalui Jamkesmas untuk
mendukung pelayanan kesehatan.
(7) Melaksanakan monitoring dan evaluasi program pelayanan
kesehatan.

38 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
Selain itu Kementerian Kesehatan bertanggung jawab
menetapkan kebijakan layanan kesehatan bagi anak yang menjadi
korban kekerasan, yang meliputi:

(1) kebijakan dan strategi penanggulangan kekerasan terhadap


anak;
(2) pedoman umum dan pedoman teknis pelayanan kasus kekerasan
tehadap anak.
(3) standar pelayanan kesehatan bagi anak korban kekerasan
sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM);
(4) advokasi dan sosialisasi program penanganan kekerasan
terhadap anak;
(5) pelatihan pelatih bagi fasilitator penanganan kekerasan terhadap
anak tingkat propinsi;
(6) bimbingan teknis, supervisi, dan evaluasi;
(7) penelitian dan pengembangan;
(8) kegiatan Program Sub Gugus Tugas Bidang Rehabilitasi
Kesehatan dalam pencegah an dan penanganan tindak pidana
perdagangan orang/trafiking dan eksploitasi seksual anak (ESA).
b. Dinas Kesehatan Provinsi
(1) Melaksanakan advokasi dan sosialisasi program pembinaan
kesehatan anak di LPKA/LPAS.
(2) Meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan dalam memberikan
pelayanan kesehatan bagi anak di LPKA/LPAS.
(3) Melaksanakan fasilitasi teknis dinas kesehatan kabupaten/kota
dalam memberikan pelayanan kesehatan anak di LPKA/LPAS.
(4) Melaksanakan koordinasi dengan lintas program dan sektor
terkait untuk meningkatkan pelayanan kesehatan anak di LPKA/
LPAS.
(5) Mendistribusikan/mengadakan pedoman pelayanan kesehatan
bagi anak di LPKA/LPAS di kabupaten/kota dan puskesmas.

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 39


(6) Mendukung upaya pembiayaan kesehatan bagi anak di LPKA/
LPAS melalui Jamkesmas atau Jamkesda.
(7) Bagi kasus tertentu dimana anak tidak memiliki kartu kepesertaan
Jamkesmas, maka kepala LPKA/LPAS setempat dapat memberi
rekomendasi agar anak bisa memperoleh pelayanan kesehatan
yang dibutuhkan.
(8) Pelayanan membuat pencatatan dan pelaporan tentang
kesehatan anak di LPKA/LPAS.
(9) Melaksanakan monitoring dan evaluasi program pelayanan
kesehatan anak di LPKA/LPAS.
c. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
1) Melaksanakan advokasi dan sosialisasi program pembinaan kesehatan
anak di LPKA/LPAS.
2) Mendukung upaya peningkatan kemampuan tenaga kesehatan dalam
memberikan pelayanan kesehatan bagi anak di LPKA/LPAS.
3) Melaksanakan fasilitasi teknis di puskesmas dalam pelayanan
kesehatan anak di LPKA/LPAS.
4) Melaksanakan koordinasi dengan lintas program dan sektor terkait
untuk meningkatkan pelayanan kesehatan anak di LPKA/LPAS.
5) Mendistribusikan pedoman pelayanan kesehatan di puskesmas bagi
anak di LPKA/LPAS.
6) Mendukung upaya pembiayaan kesehatan bagi anak di LPKA/LPAS
melalui Jamkesmas atau Jamkesda.
7) Membuat pencatatan dan pelaporan tentang pelayanan kesehatan
anak di LPKA/LPAS.
8) Melaksanakan monitoring dan evaluasi program pelayanan kesehatan
anak di LPKA/LPAS.
d. Puskesmas

40 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
(1) Melaksanakan sosialisasi pelayanan anak di LPKA/LPAS di wilayah
kerjanya.
(2) Pelayanan kesehatan yang meliputi aspek promotif, kuratif dan
rehabilitatif dengan mengacu pada Buku Pedoman Pelayanan
Kesehatan Anak di LPKA/LPAS).
(3) Membuat pencatatan dan pelaporan tentang pelayanan kesehatan
anak di LPKA/LPAS.

3. Lembaga/Organisasi Bantuan Hukum


Lembaga/Organisasi yang terkait dengan Bantuan Hukum
bertanggung jawab menetapkan kebijakan pemberian bantuan hukum
bagi ABH.

a. Organisasi advokat wajib memberikan bantuan hukum untuk


anak dengan menyediakan penasehat hukum cuma-cuma yang
bekerja sama dengan BAPAS, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
LPKA/LPAS dalam menangani anak pelaku dan korban tindak
pidana.
b. Penyidik, jaksa penuntut umum maupun hakim menyediakan
penasehat hukum dengan meminta penasehat hukum cuma-
cuma dari lembaga bantuan hukum, organisasi advokat atau
lembaga masyarakat untuk mendampingi ABH selama proses
pemeriksaan baik ditingkat penyidikan, penuntutan maupun
pemeriksaan di pengadilan.
c. Dalam keadaan tertentu, untuk kepentingan terbaik bagi
anak, penasehat hukum dapat meminta hasil litmas kepada
pembimbing kemasyarakatan BAPAS.
d. Dalam memberikan bantuan hukum, penasehat hukum wajib
memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, kepentingan
umum serta berusaha agar suasana kekeluargaan tetap

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 41


terpelihara, dan proses pemeriksaan atau penyelesaian perkara
berjalan lancar.
e. Dalam memberikan bantuan hukum kepada anak, penasehat
hukum wajib memperhatikan usia anak dan segera mencari
bukti-bukti otentik dan bukti lainnya antara lain akte kelahiran/
surat kenal lahir atau surat keterangan lain seperti rapor, kartu
keluarga, dan surat keterangan dari RT, RW dan kelurahan, jika
hal itu belum dilakukan oleh penyidik.
f. Menerima kuasa dari orang tua/wali anak. Jika tidak ada orang
tua/wali, maka surat kuasa bisa ditanda tangani langsung oleh
anak tersebut.
g. Jika anak ditangkap maka penasehat hukum berhak meminta
surat penangkapan dari penyidik yang melakukan penangkapan
terhadap anak, dan segera menghubungi orang tua/wali.
h. Dalam hal anak tertangkap tangan dan penangkapan dilakukan
tanpa ada surat perintah penangkapan, maka penasehat hukum
berhak meminta keterangan dan klarifikasi dari penyidik tentang
alasan penangkapan;
i. Mendengarkan keterangan dari anak mengapa dia melakukan
tindak pidana tersebut.
j. Mencari informasi dan mengecek kronologis dari lingkungan
sekitar anak tinggal, bagaimana lingkungan pendidikan, sosial
dan budaya, serta masyarakat tempat dimana anak tersebut
tinggal.
k. Segera berkoordinasi dengan penyidik, BAPAS, pekerja sosial,
pihak sekolah dan tokoh masyarakat lingkungan tempat tinggal
anak, untuk mencari informasi penyebab anak melakukan tindak
pidana, dan mencari solusi penanganan perkara anak tersebut.

42 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
l. Penasehat hukum mendampingi anak dan orang tuanya dalam
proses penyidikan di kepolisian.
m. Penasehat hukum memberikan masukan kepada penyidik agar
proses penyidikan dilakukan di tempat khusus anak dengan
suasana kekeluargaan.
n. Penasehat hukum mengupayakan pendekatan keadilan restoratif
pada setiap tingkat pemeriksaan dengan mengikut-sertakan
BAPAS, pekerja sosial, pelaku dan korban.
o. Penasihat hukum mengupayakan pelaksanaan kesepakatan
keadilan restoratif agar berjalan dengan baik, dan tidak terjadi
pelanggaran terhadap hak anak.
p. Apabila tidak terjadi kesepakatan, maka penasehat hukum
mengajukan permohonan kepada penyidik untuk mempercepat
proses penyidikan.
q. Jika anak harus dilakukan penahanan, maka penasehat hukum
berhak.
 meminta surat penahanan dari pejabat yang secara yuridis
berwenang melakukan penahanan;
 segera menghubungi orang tua/wali; - meminta kepada
penyidik agar anak yang ditahan ditempatkan di tahanan
khusus untuk anak, atau ditempat lain yang terpisah dari
tahanan orang dewasa;
 mengupayakan penangguhan penahanan/ pengalihan
penahanan kepada pejabat yang secara yuridis berwenang
melakukan penahanan.
r. Penasehat hukum mengupayakan agar jaksa penuntut umum
dalam melakukan penuntutan mempertimbangkan kepentingan
terbaik bagi anak.
s. Penasehat hukum dalam pembelaannya meminta agara hakim
dalam putusannya memperhatikan kepentingan terbaik bagi

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 43


anak, dan mempertimbangkan penelitian kemasyarakatan
BAPAS.
t. Segera setelah diputus hakim, penasehat hukum meminta
ekstrak vonis dari panitera, menggandakan dokumen tersebut
dan menyerahkan kepada petugas BAPAS, LPAS dan LPKA.
u. Penasihat hukum mengupayakan terpenuhinya hak-hak anak
di setiap tahap pemeriksaan perkara, dan selama menjalani
putusan pengadilan.
v. Penasihat hukum bekerjasama dengan pekerja sosial, membantu
penyelesaian proses perkara pelaku anak yang telah selesai
menjalani masa pidana.

F. Latihan
Diskusikan dalam kelompok tentang:

1. Alur penanganan perlindungan khusus dan rehabilitasi yang diberikan


terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, baik sebagai pelaku,
korban atau saksi pada tiap kelembagaan.
2. Bagaimanakah koordinasi yang ideal dilaksanakan oleh setiap lembaga
dengan lembaga lainnya dalam memberikan perlindungan khusus dan
rehabilitasi.

G. Rangkuman
Dalam memberikan perlindungan khusus dan rehabilitasi serta reintegrasi
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum diperlukan dukungan kelembagaan
dan kerjasama dalam pemenuhan hak-hak anak. Institusi dan kelembagaan yang
bertugas menyelenggarakan rehabilitasi dan integrasi bagi Anak yang berhadapan
dengan hukum adalah:

1. Kepolisian Negara Republik Indonesia


2. Kejaksaan
3. Pengadilan
4. Kementerian Hukum dan HAM (BAPAS, LPKA dan LPAS)

44 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
5. Kementerian Sosial (PSMP, RPSA, PSBR, LSM/ORSOS)
6. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
7. Kementerian dan Lembaga Terkait Lainnya, antara lain:
a. Kementerian Pendidikan Nasional
b. Dinas Pendidikan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota)
c. Kementerian kesehatan (Dinas Kesehatan Propinsi, Dinas Kesehatan
Kabupaten / Kota, Puskemas)
d. Lembaga/Organisasi Bantuan Hukum.

H. Evaluasi
Jawablah pertanyaan dibawah ini

1. Jelaskan peran pemerintah pusat dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial ?


2. Jelaskan peran Pemerinah Daerah dalam pelaksaan rehabilitasi soial?

I. Umpan balik
Apabila Saudara telah mampu menjawab pertanyaan diatas dengan benar,
maka Saudara telah memenuhi kriteria tuntas. Apabila belum, Saudara dapat
mendalami materi pada bab ini.

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 45


BAB V
IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN DAN REHABILITASI
SOSIAL ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM

Setelah membaca Bab ini, peserta diklat dapat mengimplementasikan pelaksanaan rehabilitasi dan
reintegrasi anak korban dan saksi sesuai dengan tugas dan fungsinya

A. Persiapan implementasi
B. Strategi implementasi
C. Pelaksanaan Implementasi
D. Monitoring dan evaluasi
E. Pelaporan Hasil Implementasi

A. Persiapan Implementasi Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial


Anak.
1. Persiapan
Proses perlindungan dan rehabilitasi sosial diberikan kepada anak-
anak yang berhadapan dengan hukum, baik dalam proses peradilan formal
maupun dalam proses penyelesaian kasus dengan pendekatan peradilan
restoratif (informal). Adapun program perlindungan dan rehabilitasi sosial
dalam proses informal, dimulai dari penyelenggaraan berbagai program
pencegahan kepada anak-anak yang ada dalam situasi rentan untuk terlibat
dalam konflik hukum.

Bagi ABH, berbagai upaya dilakukan untuk terselenggaranya


musyawarah (keluarga dan masyarakat) sebagai wahana penyelesaian
kasus anak tanpa melalui proses peradilan formal. Sebagai sarana rehabilitasi
sosial dan pengubahan perilaku anak di dalam masyarakat, maka perlu
difasilitasi berbagai program dukungan sosial bagi anak pasca musyawarah.

47
Selain itu, pemberian pendampingan psikososial bagi anak dan keluarganya
juga perlu dilakukan untuk membantu anak dan keluarga tersebut mengatasi
permasalahan-permasalahan psikososial berkaitan dengan keterlibatannya
dalam konflik hukum yang mereka hadapi.

Untuk menjamin agar anak dan keluarga benar-benar menjalankan


kesepakatan yang telah dihasilkan pada musyawarah (keluarga atau
masyarakat) maka upaya pengawasan pun harus dilakukan dengan
melibatkan tokoh atau warga masyarakat setempat. Lebih dari itu,
berbagai program rehabilitasi dan reintegrasi sosial harus diciptakan dan
diselenggarakan agar bisa diakses oleh anak-anak yang akan dikembalikan
kepada keluarga dan masyarakatnya.

Proses perlindungan dan rehabilitasi sosial bagi ABH yang telah masuk
dalam poses peradilan formal dilaksanakan mulai dari proses pelaporan
kasus ke polisi, pada tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan,
masa manjalankan tindakan, bahkan ketika anak berada di dalam lembaga
pemasyarakatan, sampai dengan masa pembebasan.

Ketika, peradilan restoratif tidak bisa dilaksanakan karena satu


dan lain hal, maka proses peradilan formal perlu diupayakan dengan
tetap memberikan jaminan bagi pemenuhan hak-hak dasar anak
yang ditunjang dengan pemberian pelayanan sosial dasar bagi anak
dengan perpertimbangan kepentingan terbaik anak, serta dengan tetap
memperhatikan dan mengutamakan hak anak atas pengasuhan orang tua.
Upaya-upaya diversi perlu dilakukan pada setiap tahapan proses peradilan
formal, sebagai perwujudan dari pengutamaan pengasuhan anak dalam
lingkungan keluarga.

Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa program perlindungan dan


rehabilitasi sosial anak yang berhadapat dengan hukum meliputi 4 (empat)
aspek, yaitu:

48 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
1. Pencegahan
Program pencegahan diarahkan kepada kelompok anak dan
masyarakat yang karena kondisi dan situasinya, membuat mereka
menjadi rentan untuk mengahadapi konflik dengan hukum. Program-
program pencegahan dibuat untuk menjauhkan anak dari kemungkinan
berhadapan dengan hukum. Program pencegahan terutama diarahkan
untuk memperbaiki kualitas perlindungan dan pengasuhan anak di
dalam keluarga.

2. Perlindungan
Program perlindungan diberikan melalui pendampingan psikososial
untuk memberikan jaminan atas pemenuhan hak dasar anak, dengan
mengedepankan pendekatan keadilan restoratif dalam menyelesaikan
kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum, serta pemberian
pendampingan psikososial bagi anak yang terpaksa masuk dalam
proses peradilan.

3. Pelayanan
Pemberian pelayanan dasar yang terintegrasi dan tekoordinasi
dilakukan secara bersama-sama oleh semua stakeholder bagi semua
anak, termasuk anak-anak yang berhadapan dengan hukum yang
diproses dalam proses peradilan formal maupun anak yang ditangani
melalui musyawarah keluarga dan masyarakat. Pelayanan yang
dimaksud meliputi pelayanan bantuan hukum, pelayanan probasi,
dan pelayanan kesejahteraan sosial, termasuk pelayanan pendidikan,
kesehatan dan lain-lain. Pelayanan khusus yang diberikan Kementerian
Sosial melalui para pekerja sosialnya adalah pelayanan pendampingan
psikososial, program rehabilitasi sosial yang diarahkan pada upaya
pengubahan perilaku anak, serta program reintegrasi sosial.

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 49


4. Pengasuhan
Sejalan dengan kebijakan mengenai pengasuhan anak pada umumnya,
pengasuhan anak yang berhadapan dengan hukum pun diatur dengan
mengedepankankan pendekatan pengasuhan yang berbasis keluarga.
Prioritas terutama diberikan kepada anak-anak di bawah umur.
Dengan pertimbangan kepentingan terbaik anak dan prinsip keutuhan
keluarga, anak-anak berhadapan dengan hukum yang usianya masih
di bawah 12 tahun, diupayakan untuk menghindari penempatan anak
yang secara terpisah dari keluarganya. Tanggungjawab Kementerian
Sosial dalam hal ini adalah untuk memastikan agar anak masih tetap
berada dalam tanggungjawab pengasuhan orangtua atau keluarganya.
Dalam ketiadaan orang tua kandung, maka kerabat terdekat
anak diprioritaskan untuk menjadi pelindung anak, sebelum anak
diserahkan menjadi tanggungjawab masyarakat di mana anak tinggal.
Pengasuhan alternatif seperti lembaga asuhan atau lembaga lainnya,
hanya bisa dijadikan alternatif terakhir jika tidak ada pihak lain yang
lebih dekat dengan anak, mampu dan bersedia menjadi pengasuh atau
penanggungjawab anak dan bersifat sementara dengan pertimbangan
demi kepentingan terbaik anak.

Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH dalam pelaksanaannya


melibatkan berbagai instansi dan kementerian antara lain: Kementerian
Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan
Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama dan
Kepolisian RI, maka masing-masing kementerian menyusun peran
masing-masing.

B. Strategi implementasi
Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Berhadapan Hukum, kegiatan
berupa:

● Pemenuhan kebutuhan dasar sandang, pangan, papan.

50 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
● Akses Layanan pendidikan, kesehatan, hukum, sosial.
● Pengembangan potensi diri dana kreatifitas anak
● Penguatan, Peran dan tanggung jawab keluarga dalam pengasuhan.
● Penguatan Kapasitas lembaga terkait (menjadi mitra Komite PRS ABH, PRS
ABH BM, LSM/Orsos, FKPM dll).
● Fasititasi Pembentukan komite PRS ABH.
1. Pelaksanaan Implementasi Anak yang berhadapan dengan Hukum
Peran Kemensos, Menetapkan Kebijakan ABH sesuai kewenangannya
dengan perspektif keadilan restoratif.

Implementasi Program:

a. Penanganan ABH dengan perspektif restoratif justice melalui LKSA


(Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus
(BRSAMPK) “Handayani’ Jakarta, RPSA, PSBR, LSM/Orsos), bentuk
kegiatan berupa:
● Melakukan penjangkauan kasus
● Melakukan asesmen
● Melakukan case conference termasuk family conference dan
community conference.
● Membuat rencana pelayanan
● Melakukan pendampingan psikososial terhadap anak dan
keluarga
● Melakukan home visit
● Melakukan tracing, reunifikasi, dan reintegrasi
b. Melakukan Pencatatan, Monitoring dan evaluasi
● Penguatan kapasitas masyarakat melalui upaya pencegahan
● Penguatan kapasitas masyarakat dalam penyelesaian kasus
ABH, keluarga dan komunitas, dengan mengedepankan upaya
mediasi
● Fasilitasi pembentukan PRSABH Berbasis Masyarakat.

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 51


2. Memfasilitasi ketersediaan pekerja sosial untuk melaksanakan
pendampingan psikososial ABH.
Implementasi program:

a. Ketersediaan Pekerja Sosial Profesional yang ada di lembaga


kesejahteraan sosial anak (LKSA) yang bermitra dengan program
kesejahteraan sosial anak yang berhadapan dengan hukum, seperti di
UPT/UPTD ataupun lembaga layanan anak lainnya
b. Satuan Bhakti Pekerja Sosial (lulusan Sarjana Kesejahteraan Sosial
dan telah melalui proses seleksi) berjumlah 49 orang yang ditempatkan
di LKSA mitra PKS ABH. Dengan bentuk kegiatan berupa peningkatan
kemampuan dan kapasitas pekerja sosial dan satuan bhakti pekerja
sosial di LKSA (Sakti Peksos) tahun 2022 akan melebur menjadi
Pendamping Sosial.
3. Memfasilitasi penjangkauan kasus ABH (apabila diperlukan)
Implementasi Program:

a. Pendampingan anak di Masyarakat. dengan kegiatan berupa:


● Merespon laporan kasus dan asesmen;
● Motivasi dan penyiapan mediasi / penyelesaian melalui
musyawarah;
● Pelaksanaan mediasi dan penandatanganan berita acara
kesepakatan;
● Pelaksanaan kesepakatan;
● Monitoring dan evaluasi;
● Tindak lanjut pelayanan
b. Pendampingan ABH (pelaku, korban, saksi) pada proses di kepolisian,
meliputi:
● Pekerja Sosial melakukan home visit, penelusuran (tracing)
keluarga untuk memastikan keberadaan keluarga, hubungan
dan dukungan keluarga

52 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
● Memelihara atau mengupayakan anak tetap dalam asuhan
keluarga
● Asesmen kebutuhan dasar anak
● Memastikan kondisi fisik, psikis dan lingkungan sosial anak
● Penempatan pengasuhan dan perawatan yang bersifat
sementara bagi ABH dalam PSMP dan RPSA milik Kementerian
Sosial RI. Bagi ABH yang belum/ tidak diketahui keberadaan
orang tuanya, di upayakan untuk tetap dalam pengasuhan
kerabat maupun dengan alternatif pengasuhan lainnya
c. Pendampingan ABH pada proses penuntutan dan persidangan.
Dengan bentuk kegiatan berupa:
● Penguatan kepada keluarga agar mampu memberikan dukungan
kepada ABH.
● Pendampingan psikososial bagi pelaku, korban, maupun saksi
dan keluarganya.
● Mempermudah akses pendampingan hukum.
● Memastikan terpenuhinya akses layanan sosial, pendidikan,
kesehatan dan akses layanan lainnya yang dibutuhkan.
4. Melakukan koordinasi dengan Bapas untuk memfasilitasi dan
melaksanakan pendampingan psikososial ABH selama menjalani
proses peradilan, sampai dengan terjadinya reunifikasi keluarga dan
reintegrasi sosial kepada orang tua/ keluarga, kerabat, orangtua asuh
dan/atau orang tua pengganti.
Implementasi Program:

a. Pendampingan ABH pada proses peradilan. Dengan bentuk kegiatan


berupa:
● Pekerja Sosial melakukan home visit, tracing keluarga untuk
memastikan hubungan dan dukungan keluarga
● Mengupayakan anak tetap dalam asuhan keluarga dengan tidak
menjalani penahanan.

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 53


● Pendampingan psikososial pada anak maupun keluarganya.
● Melakukan asesmen sebagai bahan masukan/ pertimbangan
kepada APH, atau disampaikan melalui Litmas PK Bapas.
● Memastikan kondisi fisik, psikis dan lingkungan sosial anak.
● Penempatan pengasuhan dan perawatan yang bersifat
sementara bagi ABH dalam PSMP dan RPSA.
● Bagi ABH yang tidak diketahui keberadaan orang tuanya di
upayakan untuk tetap dalam pengasuhan kerabat maupun
dengan alternatif pengasuhan lainnya.
b. Menerima rujukan dari putusan pengadilan yang menempatkan anak
di PSMP atau LKSA lainnya, bentuk kegiatan berupa:
● Kelengkapan administrasi pelayanan sistem rujukan (berita
acara serah terima, case record ABH, kontrak layanan, dsb)
● Asesmen untuk menentukan layanan yang dibutuhkan ABH
● Pembahasan kasus, termasuk di keluarga dan masyarakat
● Penelusuran (Tracing) keluarga dan Home visit
● Reunifikasi
● Reintegrasi (keluarga, sosial, dan layanan sosial dasar)
● Monitoring dan evaluasi.
5. Melakukan Advokasi Sosial agar tercapai diversi dalam penyelesaian
kasus ABH.
Implementasi Program:

Optimalisasi peran komite PRSABH, PRS ABHBM, PSMP, RPSA, PSBR


dan LKSA lainnya, dengan bentuk kegiatan berupa:

● Rapat Koordinasi
● Pembahasan Kasus lintas sektor
● Pekerja sosial melakukan family and community conference
● Melakukan koordinasi dengan Bapas dalam memberikan masukan
kepada APH dalam PRS ABH berdasarkan perspektif Restoratif

54 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
Justice.
6. Melaksanakan Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial kepada ABH
melalui Unit Pelaksana Teknis (Pusat/ Daerah).
Implementasi Program:

a. Mengoptimalkan fungsi layanan PSMP dan PSBR milik Pemerintah


Daerah;
● BRSMP Cileungsi Jawa Barat;
● PSMP Tengkuyuk Riau;
● UPT Rehsos Anak Nakal dan Korban Napza Jawa Timur dan
● PSMP Dharmapala Palembang
● Serta 36 PSBR UPTD.
b. Kementerian Sosial RI memiliki 34 Balai / loka yang tersebar di
berbagai Provinsi antara lain: Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat, dan provinsi lainnya.
serta 6 regional Rumah Perlindungan Sosial Anak (Aceh, Jambi,
Jakarta, Batur Raden, Magelang, NTT dan NTB), bentuk kegiatan:
● Capacity Building untuk pekerja sosial, pendamping/ pengasuh,
dan pengelola
● Supervisi terhadap pelaksanaan layanan oleh pekerja sosial,
pendamping/ pengasuh, dan pengelola
● Studi banding skala nasional maupun Internasional
● Penyusunan buku pedoman
● Penyediaan sarana dan prasarana pendukung
7. Mengembangkan model Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Berbasis
Institusi, Keluarga dan Masyarakat.
Implementasi Program:

a. Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum


(PKS ABH)

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 55


b. Penanganan ABH dengan perspektif restoratif justice melalui PSMP
c. Komite PRS ABH
d. PRS ABH Berbasis Masyarakat
Bentuk kegiatan:

a. Pelaksanaan Workshop
b. Rapat Koordinasi
c. Penyusunan modul maupun pedoman terkait model layanan yang
dikembangkan
d. Penelitian
e. Peningkatan kapasitas pekerja sosial
f. Uji coba pengembangan model layanan
g. Supervisi, monitoring dan evaluasi untuk penyempurnaan model
layanan
h. Disusunnya Perjanjian Kerjasama SKB PRSABH antara Kementerian/
Lembaga (Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM,
Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan Nasional, Kepolisian
RI) yang difasilitasi UNICEF
i. Replikasi pengembangan model layanan
j. Mengembangkan sistem jaringan.
8. Memfasilitasi terbentuknya Komite Perlindungan dan Rehabilitasi
Sosial ABH di Tingkat Nasional serta mendukung terbentuknya komite
di Tingkat Kabupaten/ Kota.
Implementasi Program: Pengembangan Komite PRSABH, bentuk kegiatan
berupa:

a. Sosialisasi Komite PRS ABH


b. Membentuk Komite PRS ABH Nasional dan Komite PRSABH Provinsi/
Kabupaten Kota (Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi
DI Yogyakarta, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Nusa Tenggara
Barat serta Kota Pontianak dan Kabupaten Magelang).

56 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
c. Bantuan operasional Komite dalam mendukung pelaksanaan PKSABH
melalui dukungan APBN, Dana dekonsentrasi dan sharing APBD
dalam pembentukan komite di propinsi/kab. Kota.
9. Memfasilitasi peningkatan kemampuan (Capacity Building) Pendamping/
Pekerja Sosial dalam lembaga maupun luar lembaga, termasuk
pelaksana Komite Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH.
Implementasi Program: Capacity buliding SDM PRSABH. Dengan bentuk
kegiatan berupa:

a. Penyusunan pedoman TOT Pekerja Sosial dan Pengelola


b. Pelaksanaan kegiatan capacity building bagi Pekerja Sosial/
Pendamping UPT dan UPTD
c. Capacity building pengelola LKSA
d. Capacity building tim kerja PRSABHBM.

C. Monitoring dan Evaluasi


Dalam rangka meningkatkan kapasitas kualitas pelayanan rehabilitasi dan
reintegrasi sosial maka perlu dilakukan monitoring, evaluasi. Monitoring evaluasi
ini penting dilakukan untuk melihat secara faktual bagaimana pelaksanaan dan
manfaat yang dirasakan dari program pelayanan dan perkembangan anak yang
berhadapan dengan hukum sebagai penerima manfaat pelayanan..

Upaya-upaya dilakukan guna mengantisipasi yang ada khususnya yang


terkait dengan pelayanan pada lembaga pelayanan Kesejahteraan sosial, sehingga
pelaksanaan rehabiltasi & reintegrasi sosial dimasa yang akan datang dapat lebih
bermanfaat dan implementatif dalam proses pelayanan yang diberikan. Hal ini
dilakukan guna mengakomodir kebutuhan sesuai dan perkembangan yang terjadi
saat ini.

D. Pelaporan
Bentuk penyampaian informasi baik secara lisan maupun tertulis, laporan di
sampaikan oleh Pekerja sosial (Peksos) atau Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS)
dalam bentuk laporan sosial. Format laporan sosial sebagai mana terlapir dalam
lampiran.
MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 57
E. Latihan
Diskusikan dalam kelompok:
Masing – masing Kelompok membahas:
a. Implementasi pelaksanaan rehabilitasi dan reintegrasi pada
kelembagaan terkait dengan penanganan ABH.
b. Hambatan dan kendala Implementasi pelaksanaan rehabilitasi dan
reintegrasi
pada kelembagaan terkait dengan penanganan ABH.

F. Rangkuman
1. Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan
Hukum dilaksanakan secara komperhenship meliputi Pencegahan,
perlindungan,pelayanan dan pengasuhan dalam pelaksanaannya
melibatkan berbagaiinstansi dan kementerian dengan membangun
kerjasama dengan berbagai pihak Kementerian/Lembagaantara
maupun masyarakat.
2. Koordinasi memiliki peran yang sangat strategis dan menentukan,
karena semua pihak yang terkait diharapkan dapat bekerja sama dan
berkoordinasi untuk memberikan perlindungan dan rehabilitasi secara
optimal bagi anak yang berhadapan dengan hukum.

G. Evaluasi
Jawablah pertanyaan di bawah ini

1. Sebutkan dan jelaskan aspek perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ?


2. Bagaimana peran Pekerja Sosial / Satuan Bakti Pekerja Sosial dalam
proses perlindungan dan rehabilitasi.

H. Umpan Balik
Apabila Saudara telah mampu menjawab pertanyaan diatas dengan benar,
maka Saudara telah memenuhi kriteria tuntas. Apabila belum, Saudara dapat
mendalami materi pada bab ini

58 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
BAB VI
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Anak sebagai tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus
yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Anak memiliki karakteristik yang spesifik dibandingkan dengan orang dewasa
dan merupakan salah satu kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, oleh
karena itu hak anak menjadi penting untuk diprioritaskan.

Dalam Undang-undang Dasar 1945 pada Pasal 28B Ayat (2) disebutkan
bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Peran strategis
anak sebagai penerus cita–cita perjuangan bangsa telah disadari oleh masyarakat
internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi
anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-
hak yang dimilikinya. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Konvensi Hak Anak
(Convention on the Rights of the Child). Setiap anak yang berhadapan dengan
hukum berhak untuk mendapat perlindungan, baik fisik, mental, spiritual maupun
sosial. Dalam melaksanakan tugasnya aparat penegakan hukum dan instansi/
lembaga terkait perlu memperhatikan prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak dan
Undang-Undang Perlindungan Anak, yaitu prinsip non diskriminasi, kepentingan
yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan,
serta penghargaan terhadap pendapat anak.

Anak yang berhadapan dengan hukum, baik dalam proses peradilan formal
maupun dalam proses penyelesaian kasus dengan pendekatan peradilan restoratif

59
(informal). Adapun program perlindungan dan rehabilitasi sosial dalam proses
informal, dimulai dari penyelenggaraan berbagai program pencegahan kepada
anak-anak yang ada dalam situasi rentan untuk terlibat dalam konflik hukum. Bagi
anak-anak yang sudah berhadapan dengan hukum, berbagai upaya dilakukan
untuk terselenggaranya musyawarah (keluarga dan masyarakat) sebagai wahana
penyelesaian kasus anak tanpa melalui proses peradilan formal. Sebagai sarana
rehabilitasi sosial dan pengubahan perilaku anak di dalam masyarakat, maka
perlu difasilitasi berbagai program dukungan sosial bagi anak pasca musyawarah.
Pemberian pendampingan psikososial bagi anak dan keluarganya perlu dilakukan
untuk membantu anak dan keluarga tersebut mengatasi permasalahan-
permasalahan psikososial berkaitan dengan keterlibatannya dalam konflik hukum
yang dihadapi. Untuk menjamin agar anak dan keluarga benar-benar menjalankan
kesepakatan yang telah dihasilkan pada musyawarah (keluarga atau masyarakat)
maka upaya pengawasan pun harus dilakukan dengan melibatkan tokoh atau
warga masyarakat setempat. Lebih dari itu, berbagai program rehabilitasi dan
reintegrasi sosial harus diciptakan dan diselenggarakan agar bisa diakses oleh
anak-anak yang akan dikembalikan kepada keluarga dan masyarakat.

Proses perlindungan dan rehabilitasi sosial bagi ABH yang telah masuk
dalam poses peradilan formal dilaksanakan mulai dari proses pelaporan kasus ke
polisi, pada tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan, masa manjalankan
tindakan, bahkan ketika anak berada di dalam lembaga pemasyarakatan, sampai
dengan masa pembebasan. Ketika, peradilan restoratif tidak bisa dilaksanakan
karena satu dan lain hal, maka proses peradilan formal perlu diupayakan dengan
tetap memberikan jaminan bagi pemenuhan hak-hak dasar anak yang ditunjang
dengan pemberian pelayanan sosial dasar bagi anak dengan perpertimbangan
kepentingan terbaik anak, serta dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan
hak anak atas pengasuhan orang tua. Upaya-upaya diversi perlu dilakukan pada
setiap tahapan proses peradilan formal, sebagai perwujudan dari pengutamaan
pengasuhan anak dalam lingkungan keluarga.

60 PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN


PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
B. Tindak Lanjut
Materi rehabilitasi dan reintegrasi social Anak Korban dan Anak Saksi dalam
pelatihan terpadu Sistem Peradilan Pidana Anak bagi Aparat Penegah Hukum
mencakup materi yang cukup luas untuk dibahas. Apa yang telah diuraikan
dalam bab demi bab di dalam modul ini, baru memberikan sedikit gambaran
tentang apa dan bagaimana rehabilitasi dan reintegrasi social Anak Korban dan
Anak Saksi dalam Diklat Sistem Peradilan Pidana Anak, masih banyak aspek-
aspek dan bahasan-bahasan yang belum disampaikan dalam modul ini. Untuk
lebih memahami tentang rehabilitasi dan reintegrasi Anak Korban dan Anak Saksi
dalam Diklat Sistem Peradilan Pidana Anak, peserta dianjurkan untuk mempelajari
antara lain:

● Bahan bacaan yang telah digunakan untuk menulis modul, yang menjadi
referensi pembuatan modul ini dengan memanfaatkan teknologi informasi di
internet, video best practice di youtube dan lain-lain.
● Referensi lainnya yang berkaitan dengan bahasan tentang rehabilitasi dan
reintegrasi sosial Anak Korban dan Anak Saksi dalam Diklat Sistem Peradilan
Pidana Anak, sebagai kebijakan yang telah di sesuaikan dengan peraturan
yang berlaku.

MODUL REHABILITASI DAN REINTEGRASI ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI 61


DAFTAR PUSTAKA

1. Konvensi Hak Anak (Pasal 39)


2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan
UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
5. Undang-undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan
Tindak Pidana Perdagangan Orang /PTPPO (Korban).
6. Undang-Undang Pekerjaan Sosial
7. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban.
8. Sri Widati,1984. Rehabilitasi Sosial Psikologis. Bandung PLBFIP IKIP.
9. Sunaryo.1995. Dasar-Dasar Rehabilitasi dan Pekerjaan Sosial. Jakarta:
Depdikbud Dirjen Dikti PPTG.
10. Pedoman Penanganan Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM 2012.
11. Peraturan Menteri Sosial No, 26 tahun 2018 Rehabilitasi Sosial dan
Reintegrasi Sosial Bagi Anak yang Berhadapan Hukum,
12. Jangkauan Wilayah Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Direktorat
Jenderal Rehabilitasi Sosisl, Direktorat Jenderal Rehabiltasi Sosial
Kementerian Sosial RI 2021
13. Surat Keputusan Menteri Sosial nomor: 107 tahun 2019 tentang LPKS dan
RPSA
14. Peraturan Menteri Sosial Nomor 7 tahun 2021 tentang Asistensi Rehabilitasi
(ATENSI).
63

Anda mungkin juga menyukai