Anda di halaman 1dari 48

MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)


BAGI APARAT PENEGAK HUKUM DAN INSTANSI TERKAIT

PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014
TENTANG HAK CIPTA

Pasal 1
(1) Hak Cipta adalah hak eksklusifs pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam
bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000
(seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/ atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
BAGI APARAT PENEGAK HUKUM DAN INSTANSI TERKAIT

PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI

Penulis :
MARGARETHA HANITA

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA


HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
2021
MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
BAGI APARAT PENEGAK HUKUM DAN INSTANSI TERKAIT

PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI

MARGARETHA HANITA

BPSDM KUMHAM Press


Jalan Raya Gandul No. 4 Cinere-Depok 16512
Telepon (021) 7540077, 754124; Faksimili (021) 7543709, 7546120
Laman: http://bpsdm.kemenkumham.go.id

Cetakan I : Desember 2021


Perancang Sampul : Maria Mahardhika
Penata Letak : Maria Mahardhika

Ilustrasi Sampul : freepik.com, www.crimetraveller.org, assets.nst.com.my,


asset.kompas.com

xii+34 hlm; 18 x 25 cm
ISBN: 978-623-5716-23-7

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


Dilarang mengutip dan memublikasikan
sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin penerbit.

Dicetak oleh:
PERCETAKAN POHON CAHAYA

Isi di luar tanggung jawab percetakan


KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

SAMBUTAN

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa,
berkat rahmat dan karunia-Nya, review modul Pelatihan Terpadu Sistem Peradilan
Pidana Anak (SPPA) dengan Judul PENANGANAN ANAK KORBAN DAN SAKSI
telah terselesaikan.

BPSDM Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Koordinator Pelatihan


Terpadu SPPA bagi Aparat Penegak Hukum dan Instansi Terkait, yang memiliki
tujuan meningkatkan kualitas pelatihan Terpadu SPPA, dan mewujudkan
kompetensi yang diharapkan bagi Aparat Penegak Hukum (APH) dan pihak
terkait dalam implementasi Undang-Undang SPPA Nomor 11 Tahun 2012, perlu
melaksanakan review atau update modul Pelatihan Terpadu SPPA.

Dalam penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) diperlukan


keterpaduan beberapa Instansi dan pihak terkait, yaitu Kepolisian, Kejaksaan,
Hakim/Peradilan, Penasehat Hukum/Advokad, Pembimbing Kemasyarakatan/
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Pekerja Sosial/ Kementerian
Sosial. Keterpaduan antara APH dan pihak terkait menjadi kata kunci untuk
keberhasilan pelaksanaan prinsip keadilan restoratif dan diversi yang jadi
pendekatan utama UU SPPA.

v
Perpres No. 175 Tahun 2014 tentang Pendidikan dan Pelatihan Terpadu
bagi Penegak Hukum dan Pihak Terkait Mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak
mengatur tujuan dari pelaksanaan Diklat Terpadu, yaitu untuk menyamakan persepsi
dalam penanganan ABH dalam SPPA, terutama agar memiliki pemahaman yang
sama tentang hak-hak anak, keadilan restoratif dan diversi, serta meningkatkan
kompetensi teknis APH dan pihak terkait dalam penanganan ABH.

Anak adalah generasi penerus yang dalam diri mereka melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya. Tanpa keterpaduan, mustahil cita-cita luhur
untuk memulihkan kondisi ABH dapat terwujud. Adalah menjadi tanggung jawab
kita semua untuk memastikan agar prinsip kepentingan terbaik bagi anak atau the
best interest of child selalu menjadi pegangan dalam mengatasi persoalan anak,
termasuk mereka yang sedang berhadapan dengan hukum.

Dalam kesempatan ini, kami atas nama BPSDM Hukum dan Hak Asasi
Manusia menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak atas dukungan
dan kontribusinya dalam penyelesaian review modul ini. Semoga modul ini dapat
berkontribusi positif bagi APH dan pihak terkait dalam penanganan ABH.

Selamat Membaca, Salam Pembelajar.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Depok, 18 November 2021


Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Hukum Dan Hak Asasi Manusia,

Dr. Asep Kurnia


NIP 196611191986031001

vi PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


KATA SAMBUTAN

Anak sebagai generasi penerus bangsa merupakan kelompok rentan


(vulnerable groups) yang perlindungan dan pemenuhan haknya disebut secara
lugas dalam UUD 1945. Salah satu kelompok anak yang paling rentan adalah
Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Status, keterbatasan pengetahuan dan
kebelum-dewasaan mereka membutuhkan penanganan yang tidak biasa, yang
khusus apabila dibandingkan dengan orang dewasa.

Menindaklanjuti implementasi Konvensi Hak Anak yang diratifikasi Indonesia


pada tahun 1990 dengan Keputusan Presiden No. 36, UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
maka Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 11 Tahun 2012 mengenai
Sistem Peradilan Pidana Anak. Dengan memperkenalkan pendekatan keadilan
restoratif, Undang-undang ini membawa paradigma baru dalam penanganan
perkara pidana yang melibatkan anak. Pendekatan dan paradigma baru ini tentu
saja merupakan hal baru sehingga diperlukan adanya pelatihan bagi mereka yang
akan menerapkannya di lapangan.

Tahun ini UU SPPA berusia 9 tahun, walau pelaksanaannya baru berjalan


7 tahun. Sebagai lembaga utama yang bertugas melakukan pelatihan terpadu
di Kementerian Hukum dan HAM, BPSDM telah berkiprah lama dalam pelatihan
bagi aparatur penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat, Pembimbing
Kemasyarakatan) dan juga P ekerja S osial. Pelatihan terpadu menjadi program
penting bagi pemerintah Indonesia, sebagai refleksi kehadiran Negara bagi Anak
yang berhadapan dengan hukum, agar dicapai persamaan persepsi antar aparatur
penegak hukum yang menangani anak.

vii
Salah satu upaya penting BPSDM untuk mengembangkan pelatihan terpadu
ini adalah dengan menyusun Modul Pelatihan Terpadu, yang dirancang dan
ditulis bersama oleh perwakilan dari praktisi hukum, akademisi dan kementerian
terkait. Selain materi pembelajaran berupa kajian teoritis, instrumen internasional,
landasan hukum dan studi kasus, modul ini juga memuat metode pembelajaran
yang dapat digunakan instruktur. Dengan modul ini diharapkan bahwa para
instruktur, fasilitator dan juga peserta akan memperoleh manfaat yang besar
dalam mengembangkannya.

Selain itu BPSDM juga mengembangkan metode pelatihan terpadu di


masa pandemi dengan memanfaatkan metode dalam jaringan atau daring
(offline). Pelatihan daring ini sedikit banyak merupakan blessing in disguise baik
bagi BPSDM maupun peserta dan lembaga terkait, karena para peserta tidak
perlu meninggalkan pekerjaan untuk hadir di Jakarta, dan memiliki kesempatan
untuk mempelajari Modul di waktu yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
mereka.

Tiada gading yang tak retak, tentu Modul ini tidak sempurna. Oleh karenanya
masukan dan kritik pembaca atas Modul ini diharapkan untuk menyempurnakannya.
Akhirnya, saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada BPSDM
Kementerian Hukum dan HAM serta seluruh pihak yang telah bekerja sama dalam
pembuatan modul ini. Mari bersama kita lindungi generasi muda Indonesia.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, November 2021

Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., PhD.

viii PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Syukur Alhamdulillah, akhirnya penyusunan Modul Sistem Peradilan


Pidana Anak berjudul Modul Penanganan Anak Korban dan Saksi telah dapat
diselesaikan. Penyusunan Modul ini disusun sebagai salah satu dukungan sumber
pembelajaran dalam meningkatkan pemahaman dan pengetahuan terhadap
Pemenuhan Hak Anak Berhadapan dengan Hukum, khususnya Anak dan Saksi
dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Modul ini juga disusun untuk memenuhi tuntutan peningkatan kualitas Aparat
Penegak Hukum dalam pelaksanaan Peradilan Anak agar dapat menjalankan tugas
dan tanggung jawabnya secara lebih berdaya guna dan berhasil guna bekerjasama
dengan pihak-pihak terkait lainnya dalam mengupayakan pemenuhan hak para
ABH khususnya Anak dan Saksi. Diharapkan dengan modul ini proses transfer of
knowledge d a n s h a r i n g e x p e r i e n c e dapat dilaksanakan dengan lebih efektif,
meningkatkan kompetensi, untuk lebih berdaya guna dalam penegakan hukum.

Demikian Modul ini disusun, kami mengucapkan penghargaan yang setinggi-


tingginya kepada tim penyusun yang bekerja keras menyusun modul ini. Kami
menyadari modul ini dengan segala kekurangannya masih jauh dari sempurna,
kami mohon kesediaan pembaca untuk memberikan masukan konstruktif untuk

ix
penyempurnaan selanjutnya. Semoga buku ini dapat memberikan motivasi dan
inspirasi dalam melaksanakan manfaat bagi pengembangan pengetahuan bidang
hukum, utamanya dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Depok, November 2021


Kepala Pusat Pengembangan Diklat Teknis
dan Kepemimpinan,

Cucu Koswala, S.H., M.Si.


NIP. 19611212 198503 1 002

x PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


Daftar Isi

SAMBUTAN..................................................................................................... v
KATA SAMBUTAN............................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR......................................................................................... ix
DAFTAR ISI..................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang.............................................................................. 1
B. Deskripsi Singkat.......................................................................... 2
C. Manfaat Modul.............................................................................. 3
D. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok............................................. 3
E. Petunjuk Belajar ........................................................................... 3
BAB II KONSEP PENANGANAN ANAK KORBAN
DALAM PROSES LITIGASI DAN DIVERSI.................................................... 5
A. Definisi Anak Korban dan Saksi.................................................... 5
B. Hak Anak Korban dan Saksi......................................................... 6
C. Perlindungan Khusus Anak........................................................... 8
D. Latihan.......................................................................................... 8
E. Rangkuman................................................................................... 9
BAB III KEPENTINGAN TERBAIK BAGI ANAK KORBAN
DAN ANAK SAKSI DALAM PENANGANAN ANAK KORBAN
DAN ANAK SAKSI .......................................................................................... 11
A. Upaya Perlindungan Khusus bagi Anak
dalam Proses Penyidikan ............................................................ 11
B. Upaya Perlindungan Khusus bagi Anak
dalam Proses Penuntutan............................................................. 13

xi
C. Upaya Perlindungan Khusus bagi Anak
dalam Proses Pengadilan............................................................. 14
D. Latihan.......................................................................................... 17
E. Rangkuman................................................................................... 18
BAB IV KEWAJIBAN DAN PERAN PEMANGKU KEBIJAKAN DALAM
PENANGANAN ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI ..................................... 19
A. Kewajiban Kepolisian dalam Penanganan Anak Korban
dan Saksi ..................................................................................... 19
B. Kewajiban Kejaksaan dalam Penanganan Anak Korban
dan Saksi ..................................................................................... 20
C. Kewajiban Pengadilan dalam Penanganan Anak Korban
dan Saksi ..................................................................................... 20
D. Kewajiban Pekerja Sosial dalam Penanganan Anak Korban
dan Saksi ..................................................................................... 22
E. Peran Tenaga Kesejahteraan dalam Penanganan Anak Korban
dan Saksi ..................................................................................... 22
F. Peran Bapas dalam Penanganan Anak Korban dan Saksi........... 23
G. Peran Pemerintah Daerah dalam Penanganan Anak Korban
dan Saksi...................................................................................... 24
H. Peran LSM dan Ormas dalam Penanganan Anak Korban
dan Saksi...................................................................................... 26
I. Latihan.......................................................................................... 27
J. Rangkuman................................................................................... 28
BAB V KESIMPULAN DAN TINDAK LANJUT................................................ 29
A. Kesimpulan................................................................................... 29
B. Tindak Lanjut ............................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 31

xii PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak adalah generasi penerus bangsa dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam pembangunan sebuah Bangsa dan Negara. Oleh karena itu
kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi
kelangsungan hidup umat manusia. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak diberikan pengertian tentang “perlindungan anak” yaitu
“perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup Tumbuh dan berkembang dan berpatisipasi
secara optimal sesuai hasrat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari Kekerasan dan diskriminasi.

Dalam berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan dihadapkan pada


permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai
penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan lebih dari itu, terdapat pula anak
yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian
baik secara fisik, mental maupun sosial. Karena keadaan diri yang tidak memadai
tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja sering juga anak melakukan
tindakan atau berperilaku yang dapat merugikan dirinya dan atau masyarakat.

Permasalahan anak berhadapan dengan hukum, baik sebagai pelaku,


korban maupun saksi menjadi tanggung bersama antara pemerintah orang tua,
masyarakat dan lembaga-lembaga yang diber wewenang baik oleh pemerintah
pusat dan daerah. Untuk anak yang yang bermasalah Pada Tahun 2012 Pemerintah
RI telah melakukan perubahan atas Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak (PA) dengan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem

1
Peradilan pidana Anak (SP2A). Jika diperbandingkan Undang-undang No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan pidana Anak dengan Undang-undang No.3
Tahun 1997 tentang pengadilan Anak, maka Undang-undang No. 11 Tahun 2012
tentang Sitem Peradilan pidana Anak lebih komprehensip dalam menempatkan
posisi anak dalam hukum. Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan pidana Anak dikatakan komprehensip oleh karena, didalam undang-
undang ini (SP2A) seluruh Aparat Penegak Hukum dilibatkan untuk turut serta
menyelesasikan masalah anak. Semisal bagaimana aparat kepolisian, kejaksaan
dan kehakiman terlibat aktif dalam menyelesaikan kasus tanpa harus melalui
proses pidana hingga menghasilkan putusan pidana.

Disamping itu, dalam sumber daya manusianya, Aparat penegak hukumnya


khususnya penyidik, penuntut umum serta hakim dituntut untuk memahami
persoalan anak dengan mengikuti pendidikan pengadilan Anak. Demikian pula
dengan advokat yang harus pula dituntut untuk mengetahui persoalan anak.
Berbagai unsur belum memahami Sistem Peradilan Pidana Anak secara mendalam.
Oleh karenanya perlu diberikan Pendidikan dan Pelatihan yang terpadu agar
dapat meweujudkan peradilan anak yang responsive anak dan mengutamakan
kepentingan terbaik anak.

B. Deskripsi Singkat
Mata Diklat ini membahas Penanganan Anak Korban dan Anak Saksi yang
meliputi tinjauan konsep anak korban dan saksi, proses penanganan anak korban
dan saksi, pemenuhan hak-hak anak korban dan saksi dan kepentingan terbaik
bagi anak korban dan saksi dalam penanganan anak korban dan saksi dalam
implementasi Sistem Peradilan Pidana Anak. Kewajiban dan peran pemangku
kebijakan dalam penanganan Anak Korban dan atau Anak Saksi; Pembelajaran
disajikan secara collaborative learning dengan metode pembelajaran orang
dewasa, meliputi ceramah, tanya jawab, studi kasus, diskusi dan simulasi
penanganan anak korban dan saksi.

2 PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


C. Manfaat Modul
Modul ini diharapkan dapat bermanfaat menjadi acuan bagi trainer
dan peserta diklat agar dapat melaksanakan pembelajaran agar dapat dapat
menjelaskan, mengindentifikasi kebutuhan anak korban dan saksi sesuai hak-hak
yang dimandatkan dalam dalam peraturan perundang-undangan tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak dan Perlindungan Anak agar pemulihan kembali pada
keadaan semua dapat tercapai demi kepentingan terbaik bagi anak.

Tujuan Pembelajaran
1. Menjelaskan konsep penanganan anak korban dan anak saksi dalam proses ligitasi dan
diversi.
2. Menerapkan Kepentingan terbaik bagi anak korban dan anak saksi dalam penanganan anak
korban dan anak saksi.
3. Mengidentifikasi Kewajiban dan peran pemangku kebijakan dalam penanganan Anak Korban
dan Anak Saksi.

D. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok


1. Konsep penanganan anak korban dan anak saksi dalam proses ligitasi dan diversi.
2. Kepentingan terbaik bagi anak korban dan anak saksi dalam penanganan anak korban dan
anak saksi.
3. Kewajiban dan peran pemangku kebijakan dalam penanganan Anak Korban dan atau Anak
Saksi.

E. Petunjuk Belajar
Agar dapat mencapai hasil belajar yang diharapkan, bacalah keseluruhan
modul ini secara seksama dan berulang ulang, lakukanlah diskusi dengan peserta
lainnya untuk membahas hal hal yang kurang dipahami dan pahami pula peraturan
perundangan yang terkait dengan modul ini.

PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI 3


BAB II
KONSEP PENANGANAN ANAK KORBAN DALAM PROSES
LITIGASI DAN DIVERSI

Setelah pembelajaran peserta diharapkan mampuMenjelaskan konsep


penanganan anak korban dalam proses ligitasi dan diversi.

A. Definisi Anak Korban dan Saksi


UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) adalah undang-undang
tentang system peradilan pidana anak, sehingga UU SPPA hanya dapat
diberlakukan dalam kaitan dengan peradilan pidana ketika anak disangka/didakwa
melakukan tindak pidana. Pengertiannya berbeda dengan hal diatas, yaitu bila kita
menafsirkan secara lebih luas pengertian “peradilan pidanaanak”, yaitu mencakup
setiap peradilan pidana yang melibatkan anak. UU SPPA untuk melindungi anak
dalam setiap proses peradilan pidana yang melibatkan anak baik sebagai pelaku,
korban dan/ atau saksi.

Tujuan yang hendak dicapai dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana


Anak adalah untuk melindungi anak, khususnya anak yang berhadapan dengan
hukum (ABH) dalam sistem peradilan. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa ketentuan-ketentuan yang melindungi Anak Korban dan Anak Saksi dalam
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, berlaku bagi setiap Anak Korban
maupun Anak Aksi dalam setiap peradilan pidana. UU SPPA mendefinisikan Anak
Korban, sebagaimana dinyatakandalam Pasal 1 butir 4 sebagai berikut:

“anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut


Anak Korban adalah anak yangbelumberumur18(delapanbelas)
tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/ atau
kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.”

PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI 5


Sedangkan Anak Saksi sebagaimana Pasal 1 ayat 5 adalah

anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang


dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu
perkara pidana yang didengar, dilihat dan/atau dialaminya sendiri.

B. Hak Anak Korban dan Saksi


Hak anak adalah hak anak di mana pun anak berada. Hak-hak anak korban
dalam proses peradilan pidana, pada dasarnya tidak memiliki perbedaan dengan
hak-hak anak yang dimiliki oleh anak sebagai pelaku tindak pidana.

1. Hak-Hak Korban
Hak-hak yang relevan dengan Anak Korban dalam Pasal 3 UU SPPA,
antara lain:

a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan


sesuai dengan umurnya;
b. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
c. Melakukan kegiatan rekreasional;
d. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam,
tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
e. Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif,
f. tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
g. Tidak dipublikasikan identitasnya;
h. Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya
oleh anak;
i. Memperoleh advokasi sosial;
j. Memperoleh kehidupan pribadi;
k. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
l. Memperoleh pendidikan;
m. Memperoleh pelayanan kesehatan; dan

6 PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


n. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Hak-hak Anak Korban berdasarkan Pasal 90 UU SPPA:
a. Berhak atas upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di
dalam lembaga maupun di luar lembaga;
b. Berhak atas jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial;
c. Berhak atas kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai
d. perkembangan perkara.
2. Hak-Hak Anak Saksi
Hak-hak Anak Saksi dalam proses peradilan pidana, pada dasarnya
tidak memiliki perbedaan dengan hak-hak anak yang dimiliki oleh anak
sebagai pelaku maupun korbantindak pidana. Hak-hak yang relevan dengan
Anak Saksi, sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak, antara lain:

a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan


sesuai dengan umurnya;
b. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
c. Melakukan kegiatan rekreasional;
d. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam,
tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
e. Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
f. Tidak dipublikasikan identitasnya;
g. Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya
oleh anak;
h. Memperoleh advokasi sosial;
i. Memperoleh kehidupan pribadi;
j. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
k. Memperoleh pendidikan;
l. Memperoleh pelayanan kesehatan; dan

PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI 7


m. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Hak-hak Anak Saksi berdasarkan Pasal 90 UU SPPA, berhak atas:
a. upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga
maupun di luar lembaga;
b. jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial;
c. kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan
perkara.

C. Perlindungan Khusus Anak


Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki
harkat dan martabat sebagai menusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan
martabat, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan
hukum dalam system peradilan. Sebagai negara yang telah mengakui Konvensi
Hak Anak mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak mempunyai
kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus anak yang berhadapan dengan
hukum.

D. Latihan
1. Pelajari kasus ABH sesuai studi kasus yang disediakan secara berkelompok
2. Menyusun tabel penanganan kasus dan isi sesuai jenis penanganan dan
penanggung jawab
3. Jelaskan penanganan yang akan dilakukan
4. Tentukan tujuan akhir yang diharapkan bagi ABH
5. Harap diingat yang dimaksud ABH adalah:
a. Anak yang berkonflik dengan hukum
b. Anak yang menjadi korban tindak pidana
c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana
Kasus 1:
TI (14 th) tinggal serumah dengan orangtua dan pamannya sekeluarga di rumah
peninggalan kakek. Pada suatu hari TI diperkosa oleh sepupunya BD (15 th) anak

8 PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


pamannya, saat mereka berdua tinggal di rumah sendiri. Perkosaan tersebut
akhirnya diketahui oleh tetangga yang mendengar teriakan TI dan membawanya
puskesmas terdekat karena mengalami pendarahan, dokter yang merawat
menyarankan keluarga untuk melaporkan kasusnya ke polisi. Ayah TI akhirnya
melaporkan kasusnya ke polres terdekat. Sejak perkosaan tersebut TI tidak mau
keluar kamar dan sering menangis. Sebulan setelah kejadian ternyata diketahui TI
hamil, namun sang ibu memaksa TI untuk menggugurkan kandungannya karena
malu. Hingga kini masih proses hukum masih berjalan dan Anda dilibatkan untuk
menanganinya.

Kasus 2:
TO (12 th) dan S (14 th) tinggal berdekatan rumah dan bersekolah di SMP yang
sama. Suatu hari S main ke rumah TO dan mencuri handphone kakaknya yang
tergeletak di depan TV. Besoknya TO menanyakan kepada S karena curiga
temannya itu yang mengambil. S tidak mengaku. Karena takut akan dilaporkan,
besoknya S membawa pisau dan menusuk TO di jalan sepi saat mereka berangkat
sekolah bersama. TO mengalami luka parah akibat kejadian dan koma selama
4 hari. Orangtua TO yang tidak terima kemudian melaporkan kasusnya ke
polsek terdekat. Kasus ini mendapatkan perhatian dari sejumlah pemerhati anak
dan diliput media masa nasional. Karena mendapatkan perhatian besar, kasus
ini akhirnya dilimpahkan ke polres dan Anda dilibatkan untuk menanganinya.
Diskusikan upaya penanganan kasus-kasus diatas terkait dengan perlindungan
bagaimana Hak korban?

E. Rangkuman
Dalam penanganannya, Anak Korban dan Anak Saksi harus dilindungi dan
mendapatkan perlakuan khusus saat berhadapan dengan hukum. Anak yang
berhadapan dengan hukum (ABH) adalah anak yang berkonflik dengan hukum,
anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak
pidana. Pedoman perlakuan terhadap Anak Korban dan Anak SaksiPrinsip-prinsip
Konvensi Hak Anak:

PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI 9


1. Hidup dan tumbuh kembang
2. Nondiskriminasi
3. Kepentingan terbaik bagi anak
4. Hak untuk berpartisipasi
Pelaksanaan peradilan pidana saat ini masih belum memberikan perlindungan
terhadap anak pelaku tindak pidana, antara lain adanya tindakan kekerasan
yang dilakukan oleh aparat hukum dalam menangani kasus anak, belum adanya
upaya untuk mengalihkan penyelesaian secara informal yang memperhatikan
kepentingan semua pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian
tindak pidana. Bentuk pelaksanaan diversi dilakukan berdasarkan kebijakan
aparat penegak hukum dengan mempertimbangkan prinsip the best interest of
the child (kepentingan terbaik untuk anak). Tindakan diversi yang dilakukan
bertujuan untuk menghindarkan ada dari proses penahanan, dan implikasi
negatip dari proses peradilan pidana. Penyelesaian dengan mempergunakan
konsep restorative justice yaitu dengan melibatkan semua komponen lapisan
masyarakat dan aparat penegak hukum bersama-sama bermusyawarah untuk
menentukan tindakan terbaik bagi anak pelaku tindak pidana. Penyelesaian ini
bertujuan untuk memulihkan kembali kerugian yang telah ditimbulkan. Adapun
bentuk pertanggungjawaban yang diberikan yaitu ganti rugi materi, kerja sosial,
pendidikan dan pelatihan yang berguna bagi anak. Konsep diversi dan restorative
justice dapat dilakukan di Indonesia.

10 PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


BAB III
KEPENTINGAN TERBAIK BAGI ANAK KORBAN
DAN ANAK SAKSI DALAM PENANGANAN
ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI

Setelah pembelajaran peserta diharapkan mampu Menerapkan kepentingan terbaik bagi


anak korban dan Anak saksi dalam penanganan anak korban dan Anak saksi

A. Upaya Perlindungan Khusus bagi Anak dalam Proses


Penyidikan
1. Anak Korban dalam Proses Penyidikan
a. Wajib bagi pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional
dan tenaga kesejahteraan sosial, penyidik, penuntut umum,
hakim, dan advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya untuk
memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan
suasana kekeluargaan tetap terpelihara (Pasal 18 Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak).
b. Penyidik wajib membuat register secara khusus terkait dengan Anak
Korban.
c. Pemeriksaan untuk kepentingan penyidikan terhadap Anak Korban
dilakukan oleh penyidik khusus yang ditetapkan berdasarkan
keputusan Kapolri atau pejabat lain yang ditunjuk Kapolri. Hal ini
berlaku juga dalam perkara pidana biasa terdakwa/para terdakwanya
orang dewasa.
d. Penyidik dalam melakukan pemeriksaan terhadap Anak Korban tidak
menggunakan atribut kedinasan.
e. Pemeriksaan dilakukan terhadap Anak Korban dengan didampingi

11
oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban atau
pekerja sosial.
f. Anak Korban berhak untuk mendapatkan laporan perkembangan
penyelidikan atau penyidikan dari perkara [Pasal 90 (1) c Undang-
Undang Sistem Peradilan Pidana Anak].
g. Berdasarkan pertimbangan dan saran dari pembimbing kemasyarakatan,
pekerja sosial profesional atau tenaga kesejahteraan sosial atau
penyidik dapat merujuk Anak Korban ke instansi atau lembaga yang
menangani pelindungan anak atau lembaga kesejahteraan sosial
anak.
h. Dalam hal Anak Korban perlu untuk segera mendapatkan pertolongan,
penyidik dapat langsung merujuk Anak Korban ke rumah sakit atau
lembaga yang menangani pelindungan anak sesuai dengan kondisi
anak korban.
2. Anak Saksi dalam Penyelidikan dan Penyidikan
Wajib bagi pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosialprofesional
dan tenaga kesejahteraan sosial, penyidik, penuntut umum, hakim, dan
advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya untuk memperhatikan
kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan
tetap terpelihara (Pasal 18 UU Nomor 11 Tahun 2012). Pemeriksaan untuk
kepentingan penyidikan terhadap anak saksi dilakukan oleh penyidik anak.

Penyidik dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak saksi tidak


menggunakan atribut kedinasan. Pemeriksaan dilakukan terhadap Anak
Saksi dengan didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya
oleh anak saksi atau pekerja sosial. Berdasarkan pertimbangan dan saran
dari pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional atau tenaga
kesejahteraan sosial atau penyidik, APH dapat merujuk Anak Saksi ke
instansi atau lembaga yang menangani pelindungan anak atau lembaga
kesejahteraan sosial anak.

12 PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


B. Upaya Perlindungan Khusus bagi Anak dalam Proses
Penuntutan
Anak Korban dalam Proses Penuntutan:

a. Wajib bagi pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional


dan tenaga kesejahteraan sosial, penyidik, penuntut umum, hakim, dan
advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya untuk memperhatikan
kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana
kekeluargaan tetap terpelihara (Pasal 18 UU SPPA).
b. Penuntut Umum wajib membuat register secara khusus terkait dengan
anak korban.
c. Pemeriksaan untuk kepentingan penuntutan terhadap anak korban
dilakukan oleh penuntut khusus yang ditetapkan berdasarkan
keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk Jaksa Agung.
Hal ini berlaku juga dalam perkara pidana biasa yang terdakwa/para
terdakwanya orang dewasa.
d. Penuntut Umum dalam melakukan pemeriksaan terhadap AnakKorban
tidak menggunakan atribut kedinasan.
e. Proses Penuntutan dilakukan terhadap Anak Korban dengan
didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak
Korban atau pekerja sosial.
f. Anak Korban berhak untuk mendapatkan laporan perkembangan
penyelidikan atau penyidikan dari perkara (Pasal 90 (1) c UU SPPA).
g. Berdasarkan pertimbangan dan saran dari pembimbing kemasyarakatan,
pekerja sosial profesional atau tenaga kesejahteraan sosial atau
penuntut dapat merujuk anak korban ke instansi atau lembaga yang
menangani pelindungan anak atau lembaga kesejahteraan sosial
anak.

PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI 13


h. Dalam hal Anak Korban perlu untuk segera mendapatkan pertolongan,
penuntut dapat langsung merujuk anak korban ke rumah sakit atau
lembaga yang menangani pelindungan anak sesuai dengan kondisi
Anak Korban.

C. Upaya Perlindungan Khusus bagi Anak dalam Proses


Pengadilan
Anak Korban dalam Proses Pemeriksaan di pengadilan:

a. Dalam memeriksa Anak Korban (termasuk dalam perkara yang


terdakwanya orang dewasa), penyidik, penuntut umum, hakim,
pembimbing kemasyarakatan, advokat tatau pemberibantuan hukum
lainnya tidak memakai toga atau atribut kedinasan.
b. Anak korban wajib didampingi orangtuadan / atau orang yang dipercaya
oleh Anak Korban atau pekerja sosial.
c. Register perkara terkait dengan Anak Korban wajib dibuat secara
khusus dipengadilan dan lembaga yang menangani perkara anak
lainnya.
d. Anak korban akan didengar keterangannya pada siding pertama
pemeriksaan saksi (Pasal 160 (1)B).
e. Anak Korban yang belum berusia 15 (lima belas) tahun dan belum
kawin dapat memberikan keterangan tanpa sumpah (Pasal171
KUHAP).
f. Anak Korban dapat meminta kepada hakim agar terdakwa tidak berada
dalam ruang sidang selama anak korban memberikan keterangan
dimuka persidangan (Pasal 173 KUHAP)
g. Dalam perkara pidana anak, hakim dapat memerintahkan pelaku
dibawa keluar ruang sidang selama pemeriksaan Anak Korban (Pasal
58 UU SPPA)
h. Dalam hal Anak Korban tidakdapat berbahasa Indonesia ,berhak untuk
mendapatkan penerjemah.

14 PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


i. Anak Korban yang bisu dan/ atau tuli dan tidak dapat menulis, berhak
untuk mendapatkan penterjemah yang dapat menginterpretasikan
keterangan anak.
j. Dalam hal Anak Korban tidak dapat hadir untuk memberikan
keterangan di muka persidangan, hakim dapat memerintahkan
didengar keterangannya:
a. Diluar ruang sidang pengadilan melalui perkaman elektronik
yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan didaerah
hukum setempat dengandihadiri oleh penyidik atau penuntut
umum dan advokat ataupemeberi bantuan hukum lainnya; atau
b. Melalui pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi
audiovisual dengan didampingi oleh orangtua/wali, pembimbing
kemasyarakatan atau pendamping lainnya.
k. Identitas Anak Korban dalam putusan tetap harus dirahasiakan oleh
media massa dengan hanya menggunakan inisial tanpa gambar.
Anak Saksi dalam Proses Pemeriksaan di Pengadilan

1) Dalam memeriksa Anak Saksi (termasuk dalam perkara yang


terdakwanya orang dewasa), penyidik, penuntut umum, hakim,
pembimbing kemasyarakatan, advokat atau pemberi bantuan hukum
lainnya tidak memakai toga atau atribut kedinasan.
2) Anak Saksi wajib didampingi orang tua dan/atau orang yang dipercaya
oleh anak saksi atau pekerja sosial.
3) Khusus dalam perkara anak, pemeriksaan pengadilan dilakukan oleh
hakim tunggal, kecuali dalam hal tindak
4) pidana di ancaman dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih
atau sulit pembuktiannya, pemeriksaan dapat dilakukan oleh majelis
hakim
5) Anak Saksi yang belum berusia 15 (lima belas) tahun dan belum kawin
dapat memberikan keterangan tanpa sumpah Ppasal 171KUHAP).

PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI 15


6) Anak saksi dapat meminta kepada hakim agar terdakwa tidak berada
dalam ruang sidang selama anak korban memberikan keterangan
dimuka persidangan (Pasal 173 KUHAP)
7) Dalam perkara pidana anak, hakim dapat memerintahkan anak dibawa
keluar ruang sidang selama pemeriksaan anak saksi (Pasal 58 UU
Nomor 11 Tahun 2012)
8) Dalam hal Anak Saksi tidak dapat berbahasa Indonesia, Anak berhak
untuk mendapatkan penterjemah.
9) Anak Saksi yang bisu dan/atau tuli dan tidak dapat menulis, berhak
untuk mendapatkan penterjemah yang pandai bergaul dengan anak
saksi.
10) Dalam hal Anak Saksi tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan
di muka persidangan, hakim dapat memerintahkan didengar
keterangannya:
a. Di luar ruang sidang pengadilan melalui perkaman elektronik
yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan di daerah
hukum setempat dengan dihadiri oleh penyidik atau penuntut
umum dan advokat atau pemeberi bantuan hukum lainnya; atau
b. Melalui pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi
audiovisual dengan didampingi oleh orang tua/wali, pembimbing
kemasyarakatan atau pendamping lainnya [Pasal 58 (3) UU
Nomor 11 Tahun 2012].
11) Identitas anak saksi dalam putusan tetap harus dirahasiakan oleh
media masa dengan hanya menggunakan inisial tanpa gambar [Pasal
61 (2)].

16 PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


D. Latihan
1. Pelajari kasus ABH sesuai studi kasus yang disediakan secara berkelompok
2. Menyusun tabel penanganan kasus dan isi sesuai jenis penanganan dan
penanggung jawab
3. Jelaskan penanganan yang akan dilakukan
4. Tentukan tujuan akhir yang diharapkan bagi ABH
5. Harap diingat yang dimaksud ABH adalah:
● Anak yang berkonflik dengan hukum
● Anak yang menjadi korban tindak pidana
● Anak yang menjadi saksi tindak pidana

Kasus 1:
AR (7th) dan RC (8th) adalah dua anak SD yang sangat hiperaktif di sekolah.
Teman dan gurunya sering melihat dua anak ini bercanda secara berlebihan
secara fisik hingga saling dorong dan saling pukul. Suatu pagi di tengah acara
lomba menggambar di sekolahnya, AR dan RC tiba-tiba terlibat saling dorong.
Akibat dorongan AR, RC terjatuh dan kepalanya terbentur batu hingga berdarah.
Akibat benturan itu RC akhirnya muntah-muntah sampai dibawa ke RS terdekat.
Sejak siang kondisi RC tidak stabil dan koma, akhirnya RC meninggal pada pukul
18.45. Orangtua murid sangat resah dengan kejadian ini dan meminta kepala
sekolah segera mengeluarkan AR dari sekolah demi keamanan anak-anak
mereka. Berdasarkan informasi tetangga sekitar rumahnya, ternyata AR memang
dikenal anak yang nakal dan sering dipukuli oleh orangtuanya bahkan kakek dan
paman yang tinggal serumah dengan AR juga sering memukulinya. Pihak sekolah
melibatkan Anda menangani kasus ini.

Kasus 2:
ST (15th) adalah seorang anak perempuan yang tinggal di sebuah rumah kumuh.
Dia telah lama putus sekolah sejak ditelantarkan ibunya yang berprofesi sebagai
tukang pijat. Kini dia tinggal bersama tantenya yang bekerja sebagai pemandu

PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI 17


karaoke. Sudah 2 bulan ST berpacaran dengan anak tetangga di rumah kumuh
tersebut bernama DD (17th). Sejak beberapa bulan lalu DD dekat dengan
seorang tetangga barunya bernama OK (28th), dan mulai mengenal narkoba yang
didapatnya secara gratis. DD juga mengajak ST mencoba narkoba jenis sabu
saat ST main ke rumahnya. Karena mulai kecanduan DD dan ST sering minta
sabu kepada OK dan sebagai imbalan DD membiarkan OK melakukan hubungan
seksual dengan ST pacarnya yang sering teler karena pengaruh narkoba tersebut.
Saat polisi melakukan razia dan penggerebekan di rusun itu, DD, ST dan OK turut
ditahan karena terbukti mengkonsumsi narkoba. Anda dilibatkan untuk menangani
kasus ini.

E. Rangkuman
Salah satu perubahan yang cukup berarti dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2013 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dibandingkan dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Pidana Anak, adalah berkaitan
dengan perlindungan yang lebih menyeluruh dan seimbang terhadap (ABH),
yang meliputi anak sebagai pelaku tindak pidana, anak sebagai korban, dan anak
sebagai saksi dalam peradilan pidana.

Secara sepintas hal ini tampak dari ditemukannya beberapa pasal yang
terkait dengan anak sebagai korban dan anak sebagai saksi dan bahkan ada
bab tersendiri terkait anak korban dan anak saksi, sebagaimana dalam Bab VII
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas dan khususnya guna mendukung


tercapai tujuan yang dicita-citakan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak, sebagaimana dituangkan dalam konsiderannya, yaitu untuk secara
komprehensif memberikan perlindungan kepada ABH, maka dirasakan sangat
penting meningkatkan pemahaman dan keterampilan seluruh elemen yang terlibat
dalam sistem peradilan pidana anak, khususnya berkaitan dengan penanganan
Anak Korban tindak pidana dan anak sebagai saksi.

18 PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


BAB IV
KEWAJIBAN DAN PERAN PEMANGKU KEBIJAKAN DALAM
PENANGANAN ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI

Setelah pembelajaran peserta diharapkan mampumengidentifikasi kewajiban dan peran


pemangku kebijakan dalam penanganan Anak Korban dan Anak Saksi

A. Kewajiban Kepolisian dalam Penanganan Anak Korban


dan Saksi
Peran Kepolisian adalah melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap
anak korban maupun saksi. Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara
anak Penydidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pebimbing
Kemasayarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. Dalam hal
dianggap perlu, Penyidika dalam hal ini Kepolisian dapat meminta pertimbangan
atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, Pekerja Sosial
Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial dan tenaga ahli lainnya. Dalam hal
melakukan pemeriksaan terhadapa anak korban dan anak saksi wajib meminta
laporan sosial dari Pekerja Sosial setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.
((Pasal 27 UU SPPA) Dalam melaksanakan penyidikan, Penyidik berkoordinasi
dengan Penuntut Umum dan paling lama 1 x 24 (satu kali duapuluh empat jam)
sejak dimulai penyidikan. Pasal 29 UU SPPA mengatur:

(1) Penyidik Wajib mengupayakan Diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh)
hari setelah penyidikan dimulai
(2) Proses diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling
lama 30 (tiga Puluh) hari setelah dimulainya Diversi

19
(3) Dalam proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penyidik
menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada
ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.
Kewajiban dan Peran Kepolisian juga dalam penangkapan dan Penahanaan
(Pasal 30)

B. Kewajiban Kejaksaan dalam Penanganan Anak Korban dan


Saksi
Prosedur Penanganan Anak Saksi dan Korban dalam Diversi di Tingkat
Penyidik, JPU dan Pengadilan

Sesuai dengan Pasal 9 UU SPPA:

1. Penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus


mempertimbangkan:
a. kategori tindak pidana;
b. umur anak;
c. hasil penelitian masyarakatan dari bapas; dan
d. dukunganlingkungankeluargadan masyarakat.
2. Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/
atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluar-ganya,
kecuali untuk:
a. tindak pidanayangberupapelanggaran;
b. tindak pidana ringan;
c. tindak pidanatanpakorban; atau
d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat.

C. Kewajiban Pengadilan dalam Penanganan Anak Korban


dan Saksi
Kewajiban pengadilan pada setiap anak dalam proses di pengadilan:

1. Memperlakukan secara menusiawi dengan memperhatikan kebutuhan


sesuai dengan umurnya

20 PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


2. Memisahkan dari orag dewasa
3. Memberikan bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif
4. Melakukan kegiatan rekreasional
5. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam,
tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabantnya
6. Tidak menjatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup
7. Tidak menangkap, menahan taua penjara, kecuali sebagai upaya
terakhir dalam dalam waktu yang palng singkat
8. Memberikan keadilan dimuka pengadilan anak yang obyektif, tidak
memihak dan dalam siding yang tertutup untuk umum
9. Tidak dipublikasikan identitasnya
10. Memberikan pendampingan orangtua/wali dan orang yang dipercaya
oleh Anak
11. Memberikan advokasi sosial
12. Memberikan kehidupan pribadi
13. Memberikan aksesbilitas, terutama bagi anak cacat
14. Memberikan pendidikan
15. Memberikan pelayanan kesehatan dan memerikan hak lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Dalam hal Kerahasiaan Identitas Anak Korban dan Saksi dalam Peradilan

Kewajiban merahasiakan identitas anak saksi dalam pemberitaan di media


cetak ataupun elektronik.

Identitas adalah meliputi: nama anak korban, nama orang tua, alamat, wajah,
dan hal lainyang dapat mengungkapkan jati diriAnak Saksi. Pelanggaran terhadap
kerahasiaan identitas diancam pidana oleh pasal 97 dengan 5 tahun penjara dan
denda paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta).

PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI 21


D. Kewajiban Pekerja Sosial dalam Penanganan Anak Korban dan
Saksi
Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja baik di lembaga
pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan
sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperolah melalui pendidikan
pelatihan dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan
tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial. Pasal 68 UU SPPA menyatakan
bahwa pekerja social profesional dan tenaga kesejahteraan sosial bertugas:

1. Membimbing, membantu, melindungi, dan mendampingi anak dengan


melakukan konsultasi sosial dan mengembalikan kepercayaan diri anak;
2. Memberikan pendampingan dan advokasi sosial;
3. Menjadi sahabat anak dengan mendengarkan pendapat anak dan
menciptakan suasana kondusif;
4. Membantu proses pemulihan dan perubahan perilaku anak;
5. Membuat dan menyampaikan laporan kepada pembimbing kemasyarakatan
mengenai hasil bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap anak yang
berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau tindakan;
6. Memberikan pertimbangan kepada aparat penegak hukum untuk penanganan
rehabilitasi sosial anak;
7. Mendampingi penyerahan anak kepada orang tua, lembaga pemerintah,
atau lembaga masyarakat; dan
8. Melakukan pendekatan kepada masyarakat agar bersedia menerima kembali
anak di lingkungan sosialnya.

E. Peran Tenaga Kesejahteraan dalam Penanganan Anak Korban


dan Saksi
Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih
secara professional untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan
masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah

22 PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


aupun swasta, yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial.
Pasal 68 UU SPPA menyatakan bahwa pekerja social profesional dan tenaga
kesejahteraan sosial bertugas:

a. Membimbing, membantu, melindungi, dan mendampingi anak dengan


melakukan konsultasi sosial dan mengembalikan kepercayaan diri anak;
b. Memberikan pendampingan dan advokasi sosial;
c. Menjadi sahabat anak dengan mendengarkan pendapat anak dan
menciptakan suasana kondusif;
d. Membantu proses pemulihan dan perubahan perilaku anak;
e. Membuat dan menyampaikan laporan kepada pembimbing kemasyarakatan
mengenai hasil bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap anak yang
berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau tindakan;
f. Memberikan pertimbangan kepada aparat penegak hukum untuk penanganan
rehabilitasi sosial anak;
g. Mendampingi penyerahan anak kepada orang tua, lembaga pemerintah,atau
lembaga masyarakat; dan
h. Melakukan pendekatan kepada masyarakat agar bersedia menerima kembali
anak di lingkungan sosialnya.

F. Peran Bapas dalam Penanganan Anak Korban dan Saksi


Bapas adalah Balai Pemasyarakatan yaitu unit pelaksana teknis
pemsyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan,
pembingan, pengawasan dan pendampingan. Peran BAPAS melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan, perawatan pendidikan, pembinaan
dan pembimbingan klien anak. BAPAS wajib melakukan pengawasan terhadap
pelksanaan program pada saat (Pasal 4 UU SPPA):

(1) Anak yang sedang menjalani masa pidana


a. Anak mendapat pengurangan masa pidana
b. Memperoleh asimilasi
c. Memperoleh cuti mengunjungi keluarga

PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI 23


d. Memperoleh pembebasan bersyarat
e. Memperoleh cuti menjelang bebas
f. Memperoleh cuti bersyarat dan
g. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan

G. Peran Pemerintah Daerah dalam Penanganan Anak Korban


dan Saksi
Peran Pemerintah Daerah dalam penanganan anak korban dan saksi
adalah melakukan perlindungan dan pendidikan serta pengawasan. Semua peran
pemerintah daerah tercermin pada lembaga-lembaga daerah yang dibentuk
seperti misalnya, Rumah sakit, puskesmas, klinik kesehatan, maupun P2TP2A.
Rehabilitasi medis, bantuan hukum, reahabilitasi sosial, reintegrasi menjadi tugas
pemerintah daerah yang diperankan lembaga-lembaga bentukan pemerintah
daerah tersebut. P2TP2A singkatan dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan dan Anak, yang dibentuk berdasarkan kebijakan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. Saat ini P2TP2A di seluruh
Indonesia bertransisi menjadi UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD
PPA).

Berdasarkan pasal 17 Perpres No 75 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan


Anak Korban dan Saksi keterlibatan pemda secara spesifik dilakukan oleh
organisasi perangkat daerah yang membidangi pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak bekerjasama dengan Kepolisian RI. Sedangkan berdasarkan
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Nomor
4 Tahun 2018 Tentang Pedoman Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah
Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), perangkat daerah berupa UPTD
PPA ini harus dibentuk di setiap provinsi, kabupaten dan kota sebagai lembaga
pelayanan milik Pemerintah Daerah yang diperuntukkan bagi perempuan dan anak
yang menjadi korban kekerasan. Ruang lingkup dan fungsi layanannya meliputi

24 PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


pengaduan masyarakat, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, penampungan
sementara. Mediasi dan pendampingan korban.

Selain itu pemerintah wajib melakukan koordinasi, pemantauan dan evaluasi


terhadap penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, Pemerintah daerah
juga wajib menyelenggarakan kegiatan peningkatan kapasitas yang dapat
dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan bagi penegak hukum dan pihak terkait
lain secara terpadu dalam rangka penanganan anak korban dan saksi dalam
pidana anak. Selain lembaga pelayanan tersebut, pemerintah daerah juga nantinya
akan terlibat banyak dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi korban, antara lain
melalui Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan untuk memenuhi
hak-hak korban. Secara khusus peran pemda dalam hal ini akan dibahas dalam
modul selanjutnya. Gambaran pembagian peran yang melibatkan pemerintah
daerah digambarkan dalam tabel berikut.

No. Penanganan Profesi Lembaga


1. Rehabilitasi Dokter (umum dan Rumah sakit, puskesmas,
Medis spesialis), perawat, bidan klinik kesehatan

2. Bantuan Hukum Pengacara, pendamping, LBH, P2TP2A/UPTD PPA,


pekerja sosial dan LSM, dan Lembaga terkait
paralegal lainnya.

3. Rehabilitasi Psikolog, konselor, LPSK, LPKS, P2TP2A/


Sosial pekerja sosial, pengelola UPTD PPA, LSM, shelter/
shelter, tokoh adat, rumah aman, Dinas Sosial,
rohaniawan, tokoh agama pesantren, gereja, dll.

4. Reintegrasi Orang tua, guru, Keluarga LPSK,


pendamping, psikolog, LPKS, Sekolah, Dinas
tokoh adat, rohaniawan, Pendidikan, Panti Sosial
tokoh agama Dinas Sosial, P2TP2A/
UPTD PPA, LSM,
Pesantren, Gereja, dll.

PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI 25


H. Peran LSM dan Ormas dalam Penanganan Anak Korban
dan Saksi
Ciri khas lain dalam Undang-Undang SPPA, yakni memberikan peran serta
kepada masyarakat baik melalui LSM maupun organisasi masyarakat untuk
berperan aktif, dimana masyarakat dapat berperan serta dalam perlindungan anak
mulai dari pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial anak, sehingga dalam
menjalankan Undang-Undang SPPA ini bukan hanya menjadi kewajiban penegak
hukum tetapi termasuk kepada kita masyarakat umum diberikan ruang dan gerak
untuk ikut aktif melaksanakan perintah UU SPPA tersebut.

Sebagai contoh peran serta masyarakat pada saat proses diversi dilaksanakan
di setiap tingkatan dapat dihadirkan perwakilan masyarakat (tokoh masyarakat)
yang dapat dimintai pendapat oleh fasilitator baik di tingkat penyidikan, penuntutan
dan pada saat proses di Pengadilan Negeri mengenai hal yang terbaik kepada
si anak (pelaku). Berbeda ketika masih berlakuknya rezim UU Pengadilan Anak
yang sama sekali tidak memberikan ruang dan gerak kepada masyarakat untuk
ikut terlibat dalam menyelesaikan suatu perkara pidana yang melibatkan anak.
Masyarakat dapat berperan dalam perlindungan anak mulai pencegahan sampai
dengan reintegrasi sosial anak dengan cara:

1) menyampaikan laporan terjadinya pelanggaran hak anak kepada pihak yang


berwenang;
2) mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan
dengan anak
3) melakukan penelitian dan pendidikan mengenai anak;
4) berpartisipasi dalam penyelesaian perkara anak melalui diversi dan
pebdekatan keadilan restoratif;
5) berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial anak, anak korban
dan/atau anak saksi melalui organisasi kemasyarakatan;
6) melakukan pemantauan terhadap kinerja apparat penegak hukum dalam
penanganan perkara anak atau;

26 PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


7) melakukan sosialisasi mengenai hak anak serta peraturan perundag-
undangan yang berkaitan dengan anak (Pasal 93 UU SPPA).

I. Latihan
1. Pelajari kasus ABH sesuai studi kasus yang disediakan secara
berkelompok
2. Menyusun tabel penanganan kasus dan isi sesuai jenis penanganan
dan penanggung jawab
3. Jelaskan penanganan yang akan dilakukan
4. Tentukan tujuan akhir yang diharapkan bagi ABH
Harap diingat yang dimaksud ABH adalah:

● Anak yang berkonflik dengan hukum


● Anak yang menjadi korban tindak pidana
● Anak yang menjadi saksi tindak pidana

Kasus 1:
AR (7th) dan RC (8th) adalah dua anak SD di Jakarta Selatan yang sangat aktif
di sekolah. Beberapa teman dan guru-gurunya menceritakan bahwa dua anak
ini sering terlihat bercanda secara berlebihan secara fisik hingga saling dorong
dan saling pukul. Suatu pagi di tengah acara lomba menggambar di sekolahnya,
AR dan RC tiba-tiba terlibat saling dorong. Akibat dorongan AR, RC terjatuh dan
kepalanya terbentur hingga berdarah. Akibat benturan itu RC akhirnya muntah-
muntah dan harus dibawa ke RS terdekat. Sejak siang kondisi RC tidak stabil dan
koma, akhirnya RC meninggal pada pukul 18.45. Proses hukum hingga saat ini
masih berjalan dan Anda dilibatkan untuk menanganinya.

Kasus 2:
WA (14 th) adalah seorang anak laki-laki yatim dan ibunya seorang TKW yang
sudah lima tahun bekerja di Malaysia. Sejak usia balita WA tinggal bersama
neneknya yang miskin di desa. Untuk makan sehari-hari WA terbiasa ikut bekerja
bersama seorang pamannya yang jadi buruh angkut di pasar. Sejak berkenalan

PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI 27


dengan seorang preman di pasar 2 tahun lalu WA sering menjadi korban pelecehan
seksual, namun karena takut dia tak pernah bercerita pada pamannya. Lama-
lama WA jadi terbiasa dengan tindakan sang preman. Pada suatu hari entah
mengapa WA tiba-tiba melakukan sodomi kepada BD (8th) tetangganya di desa.
BD kesakitan dan menolak kemudian mengadu kepada ayahnya. Sang ayah yang
marah langsung melapor ke polisi dan Anda dilibatkan dalam menanganinya.

J. Rangkuman
Perubahan mendasar penanganan perkara anak dalam Undang –Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak memberi penguatan terhadap peranpemasyarakatan
berada dalam keseluruhan penanganan anak yang berkonflikdengan hukum dalam
kaitan dengan pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan/atau pendampingan.
Disinilah maka, peran Balai Pemasyarakatan (BAPAS), Rumah Tahanan Negara
(RUTAN) yang akan dibentuk menjadiLembaga Penempatan Anak Sementara
(LPAS) dan Lembaga PemasyarakatanAnak Negara (LPAN) yang nanti akan
berubah menjadi Lembaga Pembinaan.

Khusus Anak (LPKA), sebagai Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatanmenjadi


sangat penting dalam mendorong penanganan perkara anak melalui pendekatan
restorative justice dan diversi. Perlindungan anak melalui perlakuan khusus
tersebut diperlukan dengan mempertimbangkan kepentinganyang terbaik bagi
anak, dimana anak adalah subyek dengan kebutuhan khusus dan berhak atas
masa depannya.

28 PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


BAB V
KESIMPULAN DAN TINDAK LANJUT

A. Kesimpulan
UU Sistem Peradilan Pidana Anak ini tidak serta merta Pemerintah telah
dapat mewujudkan perlindungan bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum
sepenuhnya. Pemerintah masih memiliki hutang-hutang untuk menjamin dalam
implementasinya setiap Anak yang Berhadapan dengan Hukum wajib mendapatkan
Bantuan Hukum, karena banyaknya anak-anak tersebut harus berteman dengan
penjara karena pidana ringan dan mereka tidak tahu bahwa mereka mempunyai
hak untuk didampingi Kuasa Hukum dan mendapatkan Bantuan Hukum. Selain
itu Pemerintah juga harus segera menyiapkan pendidikan khusus terkait anak
kepada aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim. Pemerintah juga
harus menyiapkan lembaga-lembaga khusus yang akan digunakan bagi anak
yang berhadapan dengan Hukum (ABH) selama menempuh proses penyelesaian
perkara pidana. Kita sebagai masyarakat sipil juga harus berperan aktif dalam
mengawal implementasi Pemerintah terhadap UU Sistem Peradilan Pidana Anak
ini karena akan berdampak langsung bagi anak-anak penerus bangsa Indonesia.

B. Tindak Lanjut
Pada prinsipnya kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH)
baik anak sebagai korban maupun saksi yang dibawa dalam proses peradilan
adalah kasus-kasus berat yang sifatnya serius, dan tetap mengedepankan prinsip
kepentingan terbaik bagi anak serta proses penghukuman adalah jalan terakhir

29
dengan tetap tidak mengabaikan hak-hak anak. Selain itu, kasus-kasus anak dapat
diselesaikan melalui mekanisme non-formal yang dilakukan dengan pendekatan
restorative justice guna memenuhi rasa keadilan bagi korban sehingga kedua
belah pihak dapat saling memaafkan dan tidak ada dendam diantara mereka.

30 PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta 2010

A.F. Lamintang, Panitensir Indonesia, Armico, Bandung, 1998

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia Dari Retribusi ke


Reformasi,

Pradya paramitha, Jakarta, 1996.

Apong Herlina, et.al,, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan


Hukum, Buku

Saku Untuk Polisis, UNICEF, Jakarta 2004.

Asquit Stewart, Children and Young People in Conflict with the Law, Landon;
Jessica

Kingsley Publisher, 1996.

Bonger, WA, Pengantar Tentang Kriminologi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997.

Mannheim Herman, Criminal Justice and Sosial Reconstruction, Routledge &


Kegan RaulLtd, 1946.

Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Pusat


PelayananKeadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
1997.

Sutherland, Edwin H, Principle of Criminology, J.B. Lippincott New York, 1960.

United Nations Standarrd Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice
(The Beijing Rules), Adopted by General Assembly Resolutions 40/33,29-11-

31
1985.

Undang-Undang dan Konvensi International

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Peraturan


Perundang-Undangan Nasional

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem


Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Undang-Undang 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Penghapusan Tindak Pidana


Perdagangan Orang

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam


Rumah Tangga

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Undang_undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak

Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan dan


Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

Peraturan Pemerintah Penganti Undang_undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang


Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak

Perpres No 75 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Anak Korban dan Saksi

32 PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI


Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Pedoman Umum Penanganan Anak Yang
Berhadapan Dengan Hukum

Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Nomor 4


Tahun 2018 Tentang Pedoman Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah
Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA)

Keputusan Bersama Ketua Mahkaah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung


Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Hukum
dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia dan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
Nomor 166 A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor : 148 A/A/JA/12/2009, Nomor
B/45/XII/2009, Nomor M.HH-08 H.M.03.02 Tahun 2009, Nomor : 10/PRS-
2/KPTS/2009, Nomor : 02/MenPP.PA/XII/2009 tentang Penanganan Anak
yang Berhadapan dengan Hukum.

PENANGANAN ANAK KORBAN & SAKSI 33

Anda mungkin juga menyukai