Anda di halaman 1dari 21

Mata Kuliah : Hukum Pidana Perlindungan Anak

Dosen : Prof. Dr. Slamet Sampurno, S.H.,M.H

MAKALAH

PENANGGULANGAN PERMASALAHAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN


KEKERASAN SEKSUAL

DISUSUN OLEH :

FRAHESTI AGRININGSIH

B012202064

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb...

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah saya
tentang “Penanggulangan Permasalahan Hukum Bagi Anak Korban Kekerasan
Seksual “ ini dengan baik meskipun masih banyak kekurangan didalamnya. Saya
berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita tentang Penanggulangan Permasalahan kekerasan seksual.
Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saya berharap adanya
kritik dan saran serta usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatau yang sempurna tanpa ada saran yang
membangun.
Semoga makalah sederhana yang saya buat dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Dan juga dapat berguna bagi saya sendiri. Sebelumnya saya meminta
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenaan dan saya memohon
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah yang saya buat.

Makassar, 21 November 2021


Penyusun

Frahesti Agriningsih

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL.........................................................................................................................i

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................3
C. Tujuan........................................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN
A. Permasalahan Anak Korban Kekerasan Seksual Jika Berhadapan Dengan Hukum.4
B. Penanggulangan Permasalahan Hukum Bagi Anak Yang Menjadi Korban Kekerasan Seksual.....8
1. Upaya Kepolisian Sektor Kuta dalam Menanggulangi Kejahatan Tindak Pidana Kekerasan
Seksual Terhadap Anak............................................................................................8
2. Peranan Keluarga, Masyarakat Dan Negara......................................................10
3. Perlindungan hukum menurut perundang-undangan dalam sistem pidana di Indonesia.
11

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan..............................................................................................................14
B. Saran........................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa.
Anak memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan
negara di masa mendatang. Agar mereka mampu memikul tanggung
jawab itu, mereka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental,
maupun spiritual. Berdasarkan UU Peradilan Anak. Anak dalam UU No.3
tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “ Anak adalah
orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah
menikah.
Menurut naskah Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan
Kekerasan Seksual oleh KOMNAS Perempuan, kekerasan seksual adalah
setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan
lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat
seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara terpaksa. Kekerasan
seksual adalah setiap tindakan baik berupa ucapan ataupun perbuatan yang
dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi orang lain serta
membuatnya terlibat dalam aktifitas seksual yang tidak dikehendaki. 1
Dalam hal menjamin seorang anak agar kehidupannya bisa berjalan
dengan normal, maka negara telah memberikan payung hukum yakni Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun seiring
berjalannya waktu, pada kenyataannya undang-undang tersebut dirasa belum
dapat berjalan secara efektif karena masih adanya tumpang tindih antar
peraturan perundang-undangan sektoral terkait dengan definisi anak, di sisi
lain

1
Mengenali Kekerasan Seksual, (18 Juni 2020). Dilansir Pada
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:Y5GLa58CWNQJ:yayasanpulih.org/2017/06/meng
enali-kekerasan-seksual/&client=firefox-b-d&hl=id&gl=id&strip=0&vwsrc=0. (Diakses Pada 21 November
2021)

1
maraknya kejahatan terhadap anak di tengah-tengah masyarakat, salah satunya
adalah kejahatan seksual yang saat ini banyak dilakukan oleh orang-orang
dekat sang anak, serta belum terakomodirnya perlindungan hukum terhadap
anak penyandang disabilitas. Sehingga, berdasarkan paradigma tersebut maka
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang saat
ini sudah berlaku ± (kurang lebih) 12 (dua belas) tahun akhirnya diubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang
mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi
pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang
bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah
konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak. 2
Meskipun sudah diatur dan diperbaharui undang-undang tentang
perlindungan anak namun kasus kekerasan seksual terhadap anak masih
menjadi-jadi utamanya dalam proses hukumnya dan perlindungan hokum
yang diberikan kepada anak korban kekerasan seksual dinilai masih kurang,
hak-hak terhadap perlindungan korban kadang-kadang diabaikan dan tak
jarang pula korban merasa dirugikan dan apa yang dia dapatkan tidak adil dan
tidak sebagaimana yang diharapkan. Tekanan yang didapatkan pun tak jarang
sering terjadi dalam proses peradilan sehingga bukannya anak mendapatkan
keadilan namun hanya mendapatkan tekanan dari pihak-pihak tertentu akibat
dari tidak efektifnya perlindungan hukum yang diberikan.
Menurut Otto, dalam hal perlindungan terhadap anak, tidak seluruh
anak Indonesia dapat menikmati haknya, sebagaimana tertuang dalam
Konvensi Hak Anak (KHA). Tidak hanya soal terpenuhi hak-hak dasar seperti
hak sipil dan kebebasan, kesehatan, atau pendidikan, faktanya ada banyak
kasus kekerasan anak di Indonesia yang menjadi persoalan serius. Dari 4.016
kasus, kekerasan seksual menjadi isu yang paling banyak dihadapi oleh
anak-anak, dengan

2
Paradigma Baru Hukum Perlindungan Anak Pasca Perubahan Undang-Undang Perlindungan Anak, ( 1
Januari 2021). Dilansir Pada https://pn-palopo.go.id/index.php/publikasi/artikel/164-paradigma-baru-hukum-
perlindungan-anak-pasca-perubahan-undang-undang-perlindungan-anak. Diakses Pada (21 November 2021)
jumlah 2.556 kasus, eksploitasi sebanyak 73 kasus, dan kekerasan fisik
sebanyak 979 kasus.3
Tujuan dan dasar pemikiran perlindungan hukum terhadap anak tidak
dapat dilepaskan dari tujuan bagaimana mewujudkan kesejahteraan anak
sebagai bagian integral dan mewujudkan kesejahteraan sosial secara
menyeluruh. Anak merupakan generasi penerus bangsa karena di pundaknya
terletak tugas-tugas bangsa yang belum terselesaikan oleh generasi-generasi
sebelumnya. Sebagai generasi penerus cita-cita bangsa dan negara, anak-anak
harus tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang sehat jasmani
dan rohani, cerdas, berpendidikan dan bermoral yang baik. Oleh sebab itu
penanggulangan kekerasan seksual bagi anak sangat dibutuhkan, untuk
membahas lebih banyak lagi mengenai penanggulangan kasus kekerasan
seksual akan saya tuangkan dalam makalah yang berjudul “Penanggulangan
Permasalahan Hukum Bagi Anak Korban Kekerasan Seksual”.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang menjadi permasalahan anak korban kekerasan seksual
jika berhadapan dengan hukum?
2. Bagaimanakah penanggulangan permasalahan hukum bagi anak yang
menjadi korban kekerasan seksual ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui permasalahan anak korban kekerasan seksual jika
berhadapan dengan hukum.
2. Untuk mengetahui penanggulangan permasalahan hukum bagi anak yang
menjadi korban kekerasan seksual.

3
Mengurai Mekanisme Perlindungan Perempuan dan Anak di Indonesia, (27 Oktober 2020). Dilansir Pada
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f96f1bd58672/mengurai-mekanisme-perlindungan-perempuan-
dan-anak-di-indonesia/. Diakses Pada (21 November 2020)

3
BAB II
PEMBAHASA
N
A. Permasalahan Anak Korban Kekerasan Seksual Jika
Berhadapan Dengan Hukum
Definisi anak menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, anak didefiniskan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Seluruh pihak
sepakat bahwa anak merupakan pihak yang memiliki peluang besar untuk
dapat mengantarkan Indonesia untuk menjadi negara maju, oleh karena itu
baik buruknya sebuah bangsa akan sangat bergantung pada baik buruknya
kondisi anak Indonesia, dimana semakin baik kondisi anak Indonesia akan
semakin baik pula kondisi masa depan Indonesia.4
Tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dan anak kerap
merugikan secara fisik dan psikis. Bahkan perempuan dan anak yang menjadi
korban malah makin terpojokan ketika berhadapan dengan hukum. Untuk itu,
terbitnya Pedoman Kejaksaan No.1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi
Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana, bisa menjadi angin
segar bagi penegakan hukum, khususnya bagi saksi dan korban dalam perkara
perempuan dan anak berhadapan dengan hukum. Setidaknya terdapat delapan
persoalan perempuan dan anak dalam berhadapan dengan hukum yaitu sebagai
berikut :5
1. Belum optimalnya implementasi pidana tambahan dalam UU No.23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Pelaku kerapkali orang yang dekat atau dikenal korban. Merujuk
data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan periode 2020, ranah
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), didominasi kekerasan fisik
sebesar 43 persen.

4
Kondisi yang Dihadapi Oleh Anak Berhadapan dengan Hukum, (13 Juni 2021). Dilansir Pada
https://puspensos.kemensos.go.id/kondisi-yang-dihadapi-oleh-anak-berhadapan-dengan-hukum. Diakses
Pada (21 November 2021)
4
5
8 Permasalahan Perempuan dan Anak Berhadapan dengan Hukum, (9 Maret 2021). Dilansir Pada
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt6047093ca8e4c/8-permasalahan-perempuan-dan-anak-
berhadapan-dengan-hukum. (Diakses Pada 21 November 2021)

5
Kemudian kekerasan seksual sebesar 25 persen, psikis 19 persen.
Sedangkan hasil survei IJSR dan Infid periode 2020 ditemukan kekerasan
terhadap istri sebesar 59 persen. Sementara kekerasan terhadap anak
perempuan sebesar 21 persen. Selain itu, mayoritas responden mengalami
kekerasan seksual di tempat privat. Seperti di rumah sebesar 34 persen,
kantor 10,8 persen, sekolah 20 persen, dan media sosial sebesar 12,1
persen. Dia menerangkan, UU 23/2004 mengatur tentang pidana
tambahan yakni berupa program konseling bagi pelaku dan pembatasan
jarak. Namun praktiknya oleh penegak hukum sulit implementasinya
karena belum ada peraturan turunan, fasilitas/ sarana dan prasarana.
“Serta tidak adanya lembaga yang diberi amanat secara khusus untuk
menjadi penyedia layanan,” ujar Bestha Inatsan Ashilla dalam sebuah
webinar bertajuk “Peluncuran Pedoman Kejaksaan No.1 Tahun 2021
tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan
Perkara Pidana”, Senin
(8/3/2021).
2. Aparat penegak hukum belum memahami konsep relasi kuasa.
Relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau
ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan, dan/atau
ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak
lainnya. Dalam hal relasi antar gender inilah berakibat merugikan pihak
yang memiliki posisi lebih rendah. Misalnya, ayah dan anak, guru dan
murid, kepala sekolah dan guru, pembatu rumah tangga dengan majikan,
pegawai dengan pimpinan.
Relasi kuasa itulah membuat korban tidak bisa melawan/menolak
karena kekuasaan yang ada pada seseorang. Menurutnya, hasil temuan
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) periode 2016
menunjukan kekerasan seksual terjadi tak hanya adanya ancaman
kekerasan, tapi juga disebabkan adanya bujuk rayu, daya, tipu muslihat,
membuat tidak berdaya psikis. Seperti diberi/dijanjikan uang, menjanjikan
posisi/jabatan, menjanjikan ilmu, kesembuhan, diancam akan memutus
relasi, mengancam memberhentikan dukungan finansial, menggunakan
alkohol.
3. Adanya streotip, victim blaming dan reviktimisasi.
Menurutnya, streotip merupakan perempuan baik yang tak mungkin
menjadi korban pelecehan. Sebaliknya perempuan yang keluar malam
bukanlah perempuan baik-baik. Perempuan dianggap berperan terhadap
terjadinya tindak pidana. Sedangkan victim blaming merupakan korban
disalahkan ketika perempuan tak melakukan perlawanan dalam kasus
kekerasan seksual dianggap memberikan persetujuan. Kemudian
perempuan kerap disalahkan akibat menggunakan pakaian terbuka dan
keluar malam. Termasuk meragukan kesaksian korban lantaran memiliki
hubungan dengan pelaku.“Adanya persepsi perempuan menikmati atau
turut serta menjadi penyebab terjadinya tidak pidana,” ujarnya.
4. Aparat penegak hukum belum memberikan pertimbangan mengenai
dampak psikis.
Dalam praktiknya, pelaku memang diganjar hukuman penjara.
Namun, kata Bestha, aparat penegak hukum belum mempertimbangkan
dampak fisik dan psikis yang dialami perempuan korban, pemberian ganti
rugi, dan proses pemulihan yang terpadu. Kemudian, ketiadaan ahli seperti
psikolog dan visum et psikiatrikum yang dihadirkan dalam persidangan untuk
menilai kondisi korban. Padahal, keberadaan ahli dibutuhkan dalam hal
menjelaskan dampak psikologis (visum et psikiatrikum). Mekanisme pemeriksaan
tersebut merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 77 tahun
2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa Untuk Kepentingan
Penegakan Hukum. Selain itu, belum semua dakwaan dan tuntutan memuat
analisis sosial, penilaian/assessment perempuan, dan anak pelaku.
5. Belum semua pemberi bantuan hukum (PBH) memberi
pendampingan terhadap korban.
Aparat penegak hukum tidak mengakui atau tidak mengizinkan
pendamping korban mendampingi selama proses hukum. Padahal
pemberian pendampingan terhadap korban telah diatur gamblang dalam
Pasal 10 huruf d UU 23/2004 yang menyebutkan, “Korban berhak
mendapatkan: d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum
pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.”
Begitu pula dalam UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; UU No.21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
serta Perma No.3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
6. Korban tidak melaporkan perkara ke jalur hukum.
Menurut Bestha, sebanyak 61.7% masyarakat Indonesia cenderung
menggunakan mekanisme informal dalam menyelesaikan perkara. Seperti
aparat pemerintah setempat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat.
Sementara 32.1 persen menggunakan mekanisme formal. Seperti
kepolisian, kejaksaan, pengadilan.
Selanjutnya 39.4 persen, masyarakat yang memiliki permasalahan
hukum, tidak melakukan upaya apapun menyelesaikan permasalahan
hukumnya. Setidaknya terdapat alasan menempuh mekanisme formal
dianggap bakal membuat permasalahan semakin rumit sebesar 42%.
“Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian
hukum secara formal masih rendah,” kata dia.
7. Pemidanaan masih fokus pada pemenjaraan pelaku.
Dia menilai paradigma penegakan hukum dalam perkara kekerasan
terhadap perempuan dan anak masih berorientasi punitive dan retributive.
Alhasil, perlunya pendekatan secara restorative justice terutama terkait
pemulihan korban. Ironisnya, belum semua dakwaan dan tuntutan memuat
penilaian/assessment kerugianyang dialami korban. Untuk itu, perlunya
jaksa untuk mencantumkan penilaian atas kerugian korban dan
ditindaklajuti dengan dicantumkan dalam dakwaan dan tuntutan.
8. Kesulitan menghadirkan alat bukti dan menghadirkan korban
di persidangan.
Pembuktian kasus kekerasan terhadap perempuan acapkali
terhambat. Penyebabnya, akibat minimnya saksi dan alat bukti.
Keengganan saksi memberi keterangan akibat adanya ancaman
keselamatan maupun trauma. Nah korban kerapkali masih diperiksa secara
bersamaan dengan pelaku atau terdakwa. Merujuk Pasal 173 KUHAP,
hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai hal
tertentu tanpa hadirnya terdakwa. Namun untuk mengusahakan pemberian
keterangan yang bebas dan tanpa tekanan, sebaiknya pelaku dan korban
juga diperiksa secara terpisah. Seperti menggunakan pemeriksaan terpisah
melalui audio visual jarak jauh atau perekaman elektronik.
Sementara Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik, Siti
Mazumah menilai perempuan dan anak menjadi pihak yang dirugikan
secara langsung dan paling menderita akibat tindak pidana yang terjadi.
Tak jarang kerugian fisik, materi, ataupun psikis dialami korban seumur
hidup. Dalam pengalaman LBH Apik mendampingi perempuan
berhadapan dengan hukum, jaksa yang baik dan memiliki perspektif
korban hanya tentang keberuntungan.
B. Penanggulangan Permasalahan Hukum Bagi Anak Yang Menjadi
Korban Kekerasan Seksual.
Upaya perlindungan pada korban kekerasan seksual telah diatur dalam
Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban yang menyebutkan: “Korban pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana
perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana
kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat, selain berhak
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 juga berhak mendapatkan : a.
bantuan medis dan b. bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis”
1. Upaya Kepolisian Sektor Kuta dalam Menanggulangi
Kejahatan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak.
Polri dalam menanggulangi kejahatan kekerasan dan kejahatan
yang serius (violent and serious crimes) dipaksa bergerak lebih cepat oleh
masyarakat untuk melaksanakan tugas penegakan hukum.9 Polisi
memerlukan profesionalisme dalam pelaksanaan tugas untuk menangkap
pelaku kejahatan. Sebab jika tidak, masyarakat akan tetap merasa terancam
oleh perilaku menyimpang dari penjahat.6
Terdapat beberapa upaya yang telah dilakukan Kepolisian dalam
menanggulangi Kejahatan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap
Anak dengan melakukan upaya Pre-empetif dan upaya Preventif.7
a. Upaya Pre-empetif.
Tindakan pre-emptif yang dilaksanakan jajaran Kepolisian
dengan cara Melakukan pengawasan yang intensif di daerah-daerah
yang dianggap rawan terjadinya kejahatan. Pihak berwajib atau aparat
penegak hukum (kepolisian) melakukan pengawasan di daerah-daerah
yang rawan terjadinya kejahatan supaya tidak lagi terjadinya kejahatan
dengan menempatkan petugas dari pihak penegak hukum (kepolisian)
di tempat dimana rawannya terjadinya kejahatan yang salah satunya
adalah kejahatan pelecehan seksual dan melakukan patroli rutin, pihak
aparat penegak hukum (kepolisian) melakukan patroli siang dan malam
secara terus menerus, mungkin dengan cara ini adalah salah satunya
cara untuk mencegah terjadinya kejahatan.
b. Upaya Preventif.
Untuk menghindarkan seseorang melakukan tindak pidana
kekerasan seksual terhadap anak dimana merupakan tujuan dari upaya
preventif. Upaya preventif yang dilakukan kepolisian dalam
menanggulangi tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak
diantaranya adalah dengan melaksanakan penyuluhan tentang dampak
negatif kekerasan seksual, khususnya terhadap anak, baik secara fisik
maupun pisikis. Penyuluhan bertujuan agar seluruh lapisan masyarakat
turut berpartisipasi dalam upaya penanggulangan tindak pidana
kekerasan seksual terhadap anak secara bersama-sama dan terpadu.

6
M.Khoidin dan Sadjijono. 2007. Mengenal Figur Polisi Kita. Yogyakarta:LaksBang, hal. 58.
7
I nyoman Hendri Saputra. Seksual Terhadap Anak Di Kepolisian Sektor Kuta. Jurnal Hukum. Hlm 10
Pihak-pihak yang menjadi sasaran penyuluhan yang dilakukan
oleh Binmas antara lain:
a. Elemen pemuda;
b. Mahasiswa atau pelajar;
c. Masyarakat atau tokh agama.
Pidana Kekerasan Kekerasan Seksual terhadap Anak merupakan
tindak pidana yang spesifik dan berbeda dengan tindak pidanalainnya.
Pengaruh budaya patriarki sangat kental dan mengakibatkan
pendekatan preventif dalam pencegahan Tindak Pidana Kekerasan
Seksual terhadap Anak ini belum dapat dilaksanakan secara maksimal.
Upaya pencegahan secara preventif selalu dilaksanakan dalam upaya
pencegahannya.
2. Peranan Keluarga, Masyarakat Dan Negara
Penanganan kekerasan seksual terhadap anak, perlu adanya sinergi
antara keluarga, masyarakat dan negara. Kekerasan Seksual Terhadap
Anak, dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak
seharusnya bersifat holistik dan terintegrasi. Semua sisi memerlukan
pembenahan dan penanganan, baik dari sisi medis, sisi individu, aspek
hukum (dalam hal ini masih banyak mengandung kelemahan), maupun
dukungan sosial. 8
a. Peran Orang Tua.
Orangtua memegang peranan penting dalam menjaga anak-anak
dari ancaman kekerasan seksual. Orangtua harus benar-benar peka jika
melihat sinyal yang tak biasa dari anaknya. Namun, tak semua korban
kekerasan seksual bakal menunjukkan tandatanda yang mudah
dikenali, terutama apabila pelaku melakukan pendekatan secara
persuasif dan meyakinkan korban apa yang terjadi antara pelaku dan
korban merupakan hal wajar. Orang tua (bukan pelaku kekerasan)
sangat membantu proses penyesuaian dan pemulihan pada diri anak
pasca peristiwa kekerasan seksual tersebut. Pasca peristiwa kekerasan
seksual yang sudah terjadi, orang tua membutuhkan kesempatan untuk

10
8
Irvan Rizqian. 2021. Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan
Seksual Dikaji Menurut Hukum Pidana Indonesia. Journal Justiciabellen Vol. 01, No. 01. Hlm 56

10
mengatasi perasaannya tentang apa yang terjadi dan menyesuaikan diri
terhadap perubahan besar yang terjadi.
b. Peran Masyarakat.
Penanganan kekerasan seksual terhadap anak, perlu adanya
peran serta masyakarat, dengan memerhatikan aspek pencegahan yang
melibatkan warga dan juga melibatkan anak-anak, yang bertujuan
memberikan perlindungan pada anak di tingkat akar rumput.
Keterlibatan anak-anak dibutuhkan sebagai salah satu referensi untuk
mendeteksi adanya kasus kekerasan yang mereka alami. Minimal, anak
diajarkan untuk mengenali, menolak dan melaporkan potensi ancaman
kekerasan.
c. Peran Negara.
Negara telah melakukan “pembiaran” munculnya kekerasan
seksual disekitar anak-anak, oleh karena itu, peran negara tentu paling
besar dalam penanganan kekerasan seksual terhadap anak. Sebab, pada
hakikatnya negara memiliki kemampuan untuk membentuk kesiapan
individu, keluarga serta masyarakat. Negara dalam hal ini pemerintah
adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kemaslahatan
rakyatnya.
3. Perlindungan hukum menurut perundang-undangan dalam sistem
pidana di Indonesia.
Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual
menurut perundang-undangan dalam sistem pidana di Indonesia sebagai
berikut: 9
a. UU No. 23 Tahun 2002 Jo. UU No. 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak
Efektivitas pengawasan penyelenggraan perlindungana hukum
terhadap anak diperlukan lembaga independen yang diharapkan dapat

9
Anggar Kurniawati. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual
Di Kota Surakarta (Studi Kasus Pelayanan Tepadu Perempuan dan Anak Surakarta) Jurnal Hukum Vol 3 No
2 Mei-Agustus 2014 . Hlm 117

11
mendukung pemerintah dan pemerintah daerah dalam
menyelenggrakan perlindungan anak. Perubahan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mempertegas
tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku
kejahatan terhadap Anak, untuk memberikan efek jera, serta
mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik,
psikis dan sosial Anak korban dan/ atau Anak pelaku kejahatan. Hal
tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban dan/atau
Anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku
kejahatan yang sama.
b. UU No. 13 Tahun 2006 Jo. UU No. 31 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum yang menjadi salah
satu ciri negara hukum, saksi dan korban dalam proses peradilan
pidana harus diberi jaminan hukum. adapun pokok materi muatan yang
diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban
meliputi:
1) Perlindungan dan hak saksi dan korban,
2) Lembaga perlindungan saksi dan korban,
3) Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan,
4) Ketentuan pidana.
c. UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi, yaitu semua
pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama
mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat
segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak,
dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi,
dan menenteramkan khati yang tidak berdasarkan pembalasan.
Undang- Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengatur
mengenai seluruh proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan
dengan hukum mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana.
Upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum
terhadap anak korban tindak pidana pemerkosaan adalah :10

a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;


b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa
dan untuk menghindari labelisasi;
c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik
fisik, mental, maupun sosial; dan
d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.

Perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana


kekerasan seksual menurut Barda Narwawi Arief dapat dilihat dalam dua
makna yaitu :11

a. Perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana


kekerasan seksual ( berarti perlindungan HAM dan kepentingan hukum
seseorang).
b. Perlindungan hukum untuk memproleh jaminan atau santunan hukum
atas kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana kekerasan
seksual. Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik
(rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain dengan
pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan atau
santunan kesejahtraan sosial), dan sebagainya.

10
Zuleha. 2015. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Pemerkosaan Dalam Perspektif Viktimologi.
Jurnal Hukum Vol. 10 No. 1 Januari-Juni 2015. Hlm 132
11
Komang Ayu Suseni dan I Made Gami Sandi Untara. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan
Seksual Terhadap Anak. Jurnal Hukum. Hlm 21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Permasalahan anak korban kekerasan seksual jika berhadapan dengan


hukum terdapat beberapa macam kendala mulai dari belum optimalnya
implementasi pidana tambahan dalam UU 23/2004, aparat penegak hukum
belum memahami konsep relasi kuasa, hingga kesulitan menghadirkan alat
bukti dan menghadirkan korban di persidangan. Anak korban kekerasan
seksual yang seharusnya mendapatkan perlindungan malah mendapatkan
kesulitan dalam hal berproses dengan hukum berbagai kendala yang
dihadapi seperti yang dijelaskan dalam poin A bab II menjadikan anak
sebagai korban mengalami kesusahan berproses didalam hukum. Anak
korban kekerasan seksual yang seharusnya mendapatkan perlindungan
malah mendapatkan kesulitan dalam hal berproses dengan hukum.
2. Penanggulangan permasalahan hukum bagi anak yang menjadi korban
kekerasan seksual telah dilakukan sebagai upaya pencegahan tindak
pidana kekerasan seksual mulai dari upaya pencegahan hingga
pertanggungjawaban serta pemenuhan hak-hak korban dalam
mendapatkan perlindungan hukum, telah dilakukan perkembangan demi
perkembangan hukum agar dapat memenuhi segala aspek yang ada dalam
penanggulangan kekerasan seksual. Diharapkan agar upaya yang
dilakukan dapat mengurangi serta mencegah tindak pidana kekerasan
seksual utamanya pada anak.
B. Saran
Penanggulangan kekerasan seksual pada anak harus lebih diperhatikan
utamanya dalam hal pemenuhan hak-hak korban. Akan lebih baik jika undang-
undang yang berlaku selalu di perbaharui sesuai dengan kebutuhan yang ada
didalam masyarakat agar lebih efektif dalam menanggulangi kasus kekerasan
seksual pada anak.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
M.Khoidin dan Sadjijono. 2007. Mengenal Figur Polisi Kita. Yogyakarta:
LaksBang, hal. 58

Jurnal
Anggar Kurniawati. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban
Kekerasan Seksual Di Kota Surakarta (Studi Kasus Pelayanan Tepadu
Perempuan dan Anak Surakarta). Jurnal Hukum Vol 3 No 2 Mei-Agustus
2014 . Hlm 117

I nyoman Hendri Saputra. Kekerasan Seksual Terhadap Anak Di Kepolisian


Sektor Kuta. Jurnal Hukum. Hlm 10
Irvan Rizqian. 2021. Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai
Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dikaji Menurut Hukum Pidana
Indonesia. Journal Justiciabellen Vol. 01, No. 01. Hlm 56
Komang Ayu Suseni dan I Made Gami Sandi Untara. Upaya Penanggulangan
Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Jurnal Hukum. Hlm 21
Zuleha. 2015. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Pemerkosaan Dalam
Perspektif Viktimologi. Jurnal Hukum Vol. 10 No. 1 Januari-Juni 2015.
Hlm 132

Internet
Kondisi yang Dihadapi Oleh Anak Berhadapan dengan Hukum, (13 Juni 2021).
Dilansir Pada https://puspensos.kemensos.go.id/kondisi-yang-dihadapi-
oleh-anak-berhadapan-dengan-hukum. Diakses Pada (21 November 2021)
Mengenali Kekerasan Seksual, (18 Juni 2020). Dilansir Pada
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:Y5GLa58CWNQ
J:yayasanpulih.org/2017/06/mengenali-kekerasan-
seksual/&client=firefox-b-d&hl=id&gl=id&strip=0&vwsrc=0. (Diakses
Pada 21 November 2021)
Mengurai Mekanisme Perlindungan Perempuan dan Anak di Indonesia, (27
Oktober 2020). Dilansir
Pada
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f96f1bd58672/mengurai-
mekanisme-perlindungan-perempuan-dan-anak-di-indonesia/. Diakses
Pada (21 November 2020)
Paradigma Baru Hukum Perlindungan Anak Pasca Perubahan Undang-Undang
Perlindungan Anak, (1 Januari 2021). Dilansir Pada
https://pn- palopo.go.id/index.php/publikasi/artikel/164-
paradigma-baru-hukum- perlindungan-anak-pasca-perubahan-undang-
undang-perlindungan-anak. Diakses Pada (21 November 2021)
Permasalahan Perempuan dan Anak Berhadapan dengan Hukum, (9 Maret 2021).
DilansirPada.https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt6047093ca8e4c/
8permasalahan-perempuan-dan-anak-berhadapan-dengan-hukum.
(Diakses Pada 21 November 2021)

Anda mungkin juga menyukai