Anda di halaman 1dari 18

PENGETAHUAN DAN PEMAHAMAN

TENTANG BIDANG ATAU LAYANAN PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL


KOREKSIONAL ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Pekerjaan Sosial

Dosen Pengampu:
Meilani Dewi Setiamanah, MS., Ph.D.
Dra. Ati Rista Nainggolan, MP.

Disusun Oleh:
Eka Fitri Handayani 19.04.282
IA Pekerjaan Sosial

PROGRAM STUDI PEKERJAAN SOSIAL


POLITEKNIK KESEJAHTERAAN SOSIAL
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan nikmat, taufik serta hidayah-Nya yang sangat besar sehingga
penulis pada akhirnya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.Rasa
terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dosen Pengampu yang selalu memberikan
dukungan serta bimbingannya sehingga makalah ini dapat disusun dengan baik.Semoga
makalah yang telah penulis susun ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
para pembaca.
Makalah ini benar-benar karya penulis dengan arahan pembimbing.Oleh karena
itu, penulis bertanggung jawab terhadap seluruh isi makalah ini.

Bandung, 12 Mei 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................…………………………………i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................1
BAB 2 ISI LAPORAN .......................................................................................2
2.1 Bidang/Layanan Ketunaan/Koreksional (Anak Behadapan Hukum)2

BAB 3 PEMBAHASAN......................................................................................3
3.1 kompleksitas permasalahan sosial tersebut (social disfunctioning). .3
3.2 pendekatan pekerjaan sosial..............................................................4
3.3 Tujuan................................................................................................5
3.4 Fungsi................................................................................................6
3.5 Metode..................………………………………………………….6
3.6 Sistem sumber kesejahteraan sosial......…………………………….7

BAB 4 PENUTUP...............................................................................................8
4.1 Kesimpulan........................................................................................8
4.2 Saran..................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................9
LAMPIRAN.......................................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin
pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
Hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Secara filosofis anak merupakan masa depan bangsa dan sebagai generasi penerus
perjuangan. Pengertian anak diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dalam
Pasal 1 ayat (1) mengatakan “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Seorang anak yang bermasalah berarti
menjadi masalah bangsa, oleh karena itu kepentingan bagi anak menjadi pilihan yang harus
diutamakan dalam menangani anak yang bermasalah atau berkonflik dengan hukum.
Sehubungan dengan kedudukannya yang strategis dalam kehidupan bangsa dan negara,
maka anak memerlukan perlakuan khusus agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar
baik fisik, mental maupun rohaninya. Untuk itu anak perlu dihindarkan dan dijauhkan dari
perbuatan pidana yang dapat mempengaruhi perkembangan fisik, mental dan rohaninya
tersebut secara negatif. Jika terdapat suatu tindak pidana yang pelakunya adalah seorang anak
maka anak tersebut harus tetap dilindungi kepentingannya demi kelangsungan pertumbuhan
anak maupun jiwa anak tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana kompleksitas permasalahan sosial Anak Berhadapan dengan Hukum?
2. Bagaimana Pendekatan Anak Berhadapan dengan Hukum?
3. Bagaimana metode yang dilakukan terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum
4. Apa tujuan dan fungsi penanganan terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum?
5. Siapa sajakah sistem sumber kesejahteraan Anak Berhadapan dengan Hukum?

1
BAB II

ISI LAPORAN

Angka kejahatan di Indonesia semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kenakalan anak pun
telah banyak yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan sehingga jumlah anak yang berhadapan
dengan hukum selalu meningkat. Dari sekian banyak pemberi-taan tentang kejahatan tersebut, sangat
terlihat bahwa bukan hanya orang dewasa saja, namun bahkan anak-anak pun banyak yang menjadi
pelaku kejahatan, jumlah kriminalitas anak-anak me-ningkat dapat disebabkan oleh berbagai faktor
diantaranya adalah minimnya ruang untuk anak-anak berekspresi atau menyalurkan energi positif, serta
kurangnya perhatian lingkungan masyarakat.

Menurut Nicholas Mc Bala dalam bukunya Juvenile Justice System, anak adalah periode di
antara kelahiran dan permulaan kede-wasaan. Masa anak-anak merupakan masa dalam keterbatasan
kemampuan, termasuk keterbatasan untuk membahayakan orang lain. Anak masih memiliki aspek
psikologis yang labil dan belum matang, sehingga belum bisa memikirkan dengan baik dampak yang
akan mengiringi perilaku buruk yang dia lakukan. Pelanggaran hukum adalah perilaku apa pun
(tindakan atau kelalaian) yang dapat dihukum oleh hukum menurut sistem hukum mas-ing-masing.
Jenis pelanggaran hukum atau kasus kejahatan yang dilakukan anak-anak sangat bervariasi. Mulai dari
kejahatan ringan seperti membolos dan pelanggaran lalu lintas, sampai kasus berat seperti tawuran
pelajar, pencurian, penjambretan, tindakan asusila, penganiayaan, dan menghilangkan nyawa korban
dengan cara membunuh.

Tindakan pelanggaran hukum tersebut memiliki konsekuensi hukuman masing-masing


berdasarkan hukuum yang berlaku di Indonesia.Anak pelaku tindakan pelanggaran hukum dalam
hal ini disebut sebagai Anak berhadapan dengan Hukum (ABH)). Berdasarkan UU No 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Anak yang Berhadapan dengan Hukum yang selanjutnya
disebut sebagai Anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang
diduga melakukan tindak pidana. Defnisi tersebut lebih diperjelas lagi dalam pasal 1 ayat 2 bahwa
Anak yang Berhadapan dengan Hukum adala anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang
menjadi saksi tindak pidana. Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) juga didefnisikan
sebagai anak yang melakukan atau diduga melaku-kan tindak kriminal dan mereka dituntut
untukbertanggung jawab di hadapan hukum atas perbuatannya sehingga mereka harus terlibat dalam
proses hukum seperti penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, si-dang pengadilan, dan banyak
diantaranya yang harus menjalani hukuman di dalam penjara

Hukuman penjara bagi anak ini masih kontroversial di Indonesia. Hal ini disebabkan karena
pada usia anak, mereka seharusnya masih harus dibina perkembangan moral-nya. Faktor yang
mempengaruhi anak berkonflik dengan hukumpun sangat kompleks, sehingga bisa dikatakan bukan
kesalahan anak semata. Dalam pasal 20 UU Perlindungan Anak menentukan bahwa negara,
pemerintah, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak. Peran orangtua dan negara memegang peranan vital untuk
melindungi anak berhadapan dengan hukum secara fisik, psikis dan sosial

2
Angka kejahatan di Indonesia semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kenakalan anak pun
telah banyak
yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan sehingga jumlah anak yang berhadapan
dengan hukum
selalu meningkat (Ditjen Lapas Depkumham, 2008). Berbagai pemberitaan tentang kejahatan
banyak di-
publikasikan oleh media massa, baik media cetak maupun media elektronik. Dari sekian
banyak pemberi-
taan tentang kejahatan tersebut, sangat terlihat bahwa bukan hanya orang dewasa saja, namun
bahkan
anak-anak pun banyak yang menjadi pelaku kejahatan. Dari data Komisi Nasional
Perlindungan Anak
(Komnas PA) dapat diketahui bahwa pada tahun 2010 terjadi 2.413 kasus kriminal anak usia
sekolah.
Jumlah itu kemudian meningkat di tahun 2011, yaitu sebanyak 2.508 kasus, kemudian pada
empat bu-
lan pertama tahun 2012 ada 2.008 kasus kriminalitas yang dilakukan anak usia sekolah dan
diperkirakan
akan terus meningkat sepanjang tahun (metro.news.viva.co.id, 2012). Menurut
Kasubbaghumas Polresta-
bes Surabaya, Kompol Suparti, jumlah kriminalitas anak-anak me-ningkat dapat disebabkan
oleh berb-
agai faktor. Diantaranya adalah minimnya ruang untuk anak-anak berekspresi atau
menyalurkan energi
positif, serta kurangnya perhatian lingkungan masyarakat dan pemerintah
(metro.news.viva.co.id, 2012).
Denisi anak dalam pandangan hukum pada intinya sama, dan dirumuskan untuk
memberikan
keputusan yang seadil-adilnya untuk anak. Denisi anak berdasarkan UU No. 23 tahun
2002 tentang
SEMINAR PSIKOLOGI & KEMANUSIAAN
© 2015 Psychology Forum UMM, ISBN: 978-979-796-324-8
465
Perlindungan Anak adalah setiap manusia yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih
dalam kandungan. Sedangkan denisi anak berdasarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Ma-
nusia adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah termasuk
anak yang
masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Menurut Nicholas
Mc Bala
dalam bukunya Juvenile Justice System, anak adalah periode di antara kelahiran dan
permulaan kede-
wasaan. Masa anak-anak merupakan masa dalam keterbatasan kemampuan, termasuk
keterbatasan un-
3
tuk membahayakan orang lain (Marlina, 2009). Anak masih memiliki aspek psikologis yang
labil dan be-
lum matang, sehingga belum bisa memikirkan dengan baik dampak yang akan mengiringi
perilaku buruk
yang dia lakukan.
Berdasarkan Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Admin-
istrasi Peradilan bagi Anak/The Beijing Rules, Res. No. 40/33 tahun 1985, pelanggaran
hukum adalah
perilaku apa pun (tindakan atau kelalaian) yang dapat dihukum oleh hukum menurut sistem
hukum mas-
ing-masing. Jenis pelanggaran hukum atau kasus kejahatan yang dilakukan anak-anak sangat
bervariasi.
Mulai dari kejahatan ringan seperti membolos dan pelanggaran lalu lintas, sampai kasus berat
seperti
tawuran pelajar, pencurian, penjambretan, tindakan asusila, penganiayaan, dan menghilangkan
nyawa
korban dengan cara membunuh. Tindakan pelanggaran hukum tersebut memiliki konsekuensi
hukuman
masing-masing berdasarkan hukuum yang berlaku di Indonesia.
Anak pelaku tindakan pelanggaran hukum dalam hal ini disebut sebagai Anak
Berkonik dengan
Hukum (ABH) atau dalam beberapa sumber lain disebut dengan Anak yang Bermasalah
dengan Hukum
(ABH). Berdasarkan UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Anak
yang Berkonik
dengan Hukum yang selanjutnya disebut sebagai Anak adalah anak yang telah berumur 12
tahun, tetapi
belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Denisi tersebut lebih
diperjelas lagi
dalam pasal 1 ayat 2 bahwa Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang
berkonik dengan
hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
Anak yang
Berkonik dengan Hukum (ABH) juga didenisikan sebagai anak yang melakukan atau
diduga melaku-
kan tindak kriminal dan mereka dituntut untukbertanggung jawab di hadapan hukum atas
perbuatannya
sehingga mereka harus terlibat dalam proses hukum seperti penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan, si-
dang pengadilan, dan banyak diantaranya yang harus menjalani hukuman di dalam penjara
(Permatasari,
2006).
Komisi Nasional Perlindungan Anak mengungkapkan data dan laporan yang diterima dalam
kurun
4
waktu empat tahun, yaitu tahun 2010 sampai 2014, ada 21.689.797 kasus yang terjadi di 34
provinsi dan
179 kabupaten-kota. Dari jumlah tersebut, dapat dipisahkan sebanyak 42%-58% merupakan
kasus keja-
hatan seksual, selebihnya adalah kekerasan sik, penelantaran, penculikan, eksploitas
ekonomi, perda-
gangan anak untuk seksual komersial, serta kasus perebutan anak (antaranews.com, 2014).
Ditinjau dari latar belakang ABH, pada umumnya, ABH berjenis kelamin laki-laki dan berusia
antara
13 hingga 17 tahun. Status pendidikan dan ekonomi ABH pun tergolong sangat rendah.
Pendidikan ABH
pada umumnya yaitu lulusan SMP atau bahkan ada yang tidak lulus SD, sedangkan kondisi
sosial eko-
nomi pun kalangan menengah ke bawah (Nurhaeny, dkk, 2010).
Ada motivasi intrinsik dan ekstrinsik yang bisa dipelajari untuk menganalisis kejahatan yang
dilaku-
kan anak atau kenakalan anak dan remaja. Yang termasuk motivasi intrinsik adalah faktor
intelegensi,
usia, jenis kelamin, dan kedudukan anak dalam keluarga (Soetodjo & Wagiati, 2006). Faktor
intelegensi
dapat memengaruhi anak dalam mempertimbangkan baik atau buruknya perilaku yang
dilakukan, usia
memengaruhi pola pikir dan pemahaman moral di masyarakat tempat tinggalnya, jenis
kelamin laki-laki
cenderung lebih rentan melakukan pelanggaran hukum, dan kedudukan anak dalam
keluargapun akan
memengaruhi psikologis anak ketika melakukan kejahatan.
Sedangkan yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah faktor rumah tangga, pendidikan dan
sekolah,
pergaulan anak, dan media massa (Soetodjo & Wagiati, 2006). Faktor-faktor ini dapat
menyebabkan anak
yang awalnya berperilaku baik, ketika ada masalah dalam keluarganya, sekolah tidak
menerapkan aturan
yang tegas, pergaulan yang salah dan menyimpang dari norma masyarakat, serta pengaruh
media massa
yang menayangkan berbagai adegan buruk yang bisa dicontoh oleh anak, dapat melakukan
tindak pidana
sehingga terpaksa harus berurusan dengan hukum dan sistem peradilan.
Anak yang telah melanggar hukum dan tertangkap polisi akan menjalani serangkaian proses
pemer-
iksaan, penyidikan, dan sampai akhirnya dijebloskan ke penjara. Kehidupan di Lembaga
Permasyaraka-
tan di Indonesia sudah mulai banyak diteliti. Mulai dari praktisi hukum, lembaga bantuan
hukum, orang

5
yang bergerak di lembaga swadaya masyarakat, orang yang berada di lingkungan akademik,
dan juga
SEMINAR PSIKOLOGI & KEMANUSIAAN
© 2015 Psychology Forum UMM, ISBN: 978-979-796-324-8
466
orang yang memang memiliki minat untuk mengajinya lebih dalam.
Sesuai Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.02-PK.04.10 Tahun
1990 Ten-
tang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, Lembaga Permasyarakatan seharusnya memiliki
fungsi gan-
da, yaitu sebagai lembaga pendidikan dan lembaga pembangunan. Sebagai lembaga
pendidikan, lapas
memberikan pendidikan agar narapidana menjadi lebih berkualitas, beriman dan bertaqwa,
berbudi pe-
kerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, yang
memiliki
kesadaran beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, memiliki kemampuan
intelektual dan
berkesadaran hukum. Sebagai lembaga pembangunan, Lapas berfungsi untuk membentuk
narapidana
sebagai manusia pembangunan yang produktif, baik selama di dalam Lapas, maupun setelah
berada kem-
bali ke masyarakat, serta ikutserta menyukseskan pembanguna
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kompleksitas Permasalahan Sosial

Masalah sosial yang dihadapi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) tidak hanya meningkat
secara kuantitas, tetapi juga secara kualitas. Hal ini antara lain oleh karena mudahnya akses terhadap
teknologi informasi dan semakin melemahnya peran orang tua, keluarga dan masyarakat terhadap
pembentukan perilaku positif anak. Saat ini banyak anak-anak yang terseret ke masalah sosial atau
pelaku kejahatan yang memaksanya harus berhadapan dengan hukum yang dikategorikan sebagai
tindak pidana. Saat ini kondisi penegakan hukum, belum dapat memberikan jaminan terjadinya
perubahan perilaku atau efek jera bagi pelaku tindak pidana, termasuk pelaku tindak pidana yang
pelakunya anak-anak. Yang terjadi malah sebaliknya, dimana anak-anak pelaku tindak pidana, selama
menjalankan pidana di lembaga pemasyarakatan, kerap menyerap berbagai pengalaman buruk yang
dapat meningkatkan kualitas tindak pidana dan tidak mustahil akan mereka lakukan/ulangi setelah
selesai keluar atau selesai menjalankan pidana. Di samping itu, suatu hal yang kurang disadari, bahwa
anak selama menjalankan proses pidana di Kepolisian, Kejaksaan dan Sidang Pengadilan, tidak
mendapatkan berbagai hak-hak dan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh kembang menuju kedewasaan.
Selama proses dan menjalankan masa pidana, anak-anak pelaku tindak pidana diteror oleh rasa
bersalah, ketakutan terhadap aturan dan proses penegakan hukum yang belum mereka pahami. Mereka
6
terisolasi, menerima stigma negatif, terpisah dari keluarga, tertekan, kadang kala mereka juga
mengalami kekerasan fisik dan psikis selama menjalani proses peradilan lembaga hukum formal. Hal
ini tentu merupakan tragedi kemanusiaan bagi masa depan anak, dan hal ini tentu tidak dapat dibiarkan
dan disikapi hanya dengan ucapan rasa kasihan. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, ABH
membutuhkan bantuan, pendampingan dan dukungan dari orang dewasa yang peduli dan
bertanggungjawab atas nasib mereka.
Masalah anak merupakan arus balik yang tidak diperhitungkan dari proses dan perkembangan
pembangunan bangsa-bangsa yang mempunyai cita-cita tinggi dan masa depan cemerlang guna
menyongsong dan menggantikan pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia. Terkait dengan hal itu
paradigma pembangunan haruslah pro anak. Pada dasarnya terlihat tidak etis apabila tindak pidana
yang dilakukan oleh anak disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi
kejiwaan yang sangat labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, agresif dan
menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum. Hal ini belum
dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan yang ditimbulkan akibat kondisi psikologis
yang tidak seimbang dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukan anak.
Ketika seorang ABH selesai menjalani pemeriksaan, proses pengadilan, dan akhirnya dijatuhi
hukuman berupa penjara, maka anak tersebut akan berstatus narapidana. Dengan status narapidana
tersebut, anak mendapatkan dampak buruk yang sangat memengaruhi hidupnya. Dampak-dampak ini
harus bisa diantisipasi atau bahkan dicegah agar anak tidak merasa tertekan dan menimbulkan dampak
psikologis yang lebih besar lagi

Oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah penanganan masalah sosial ABH secara
terencana dan sistematis guna melindungi, merawat, dan memulihkan kondisi fisik dan psikis mereka
akibat permasalahan yang dialami. Demi kepentingan terbaik anak dan untuk menjamin proses
penanganan ABH dapat terlaksana dengan baik, sangat diperlukan pelibatan orang tua, keluarga dan
masyarakat lingkungan dalam upaya penanganan masalah ABH yang berpihak pada kepentingan dan
masa depan anak.

Dengan permasalahan tersebut Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan
Khusus (BRSAMPK) Handayani merupakan Pusat Pelayanan dan Rehabilitasi bagi anak yang
memerlukan perlindungan khusus (AMPK) yang terdiri dari 15 kluster yang diantaranya adalah ABH.
Tugas dari BRSAMPK Handayani adalah memberikan bimbingan, pelayanan, dan rehabilitasi sosial
yang bersifat preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk asesmen, pendampingan, dan
advokasi sosial, psikososial, vokasional dasar, resosialisasi, terminasi, bimbingan lanjut, serta
monitoring bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus agar dapat melaksanakan fungsi sosial
dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat

3.2 Pendekatan Pekerjaan Sosial

Pendekatan yang dilakukan pekerja sosial terhadapa Anak Berhadapan (ABH) dengan Hukum
melalui Pendekatan Mikro dilakukan secara individu melalui bimbingan, konseling, stress
management, crisis intervention, terapi . Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien
dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang
7
Berpusat pada Tugas (task centered approach), lalu Pendekatan Mezzo Pendekatan ini dilakukan pada
kepala keluarga dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan,
dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran,
pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan
yang dihadapinya. Dan Pendekatan Makro, pendekatan ini memandang keluarga klien sebagai orang
yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta
menentukan strategi yang tepat untuk bertindak.

Pendekatan diatas oleh pekerja sosial terhadap ABH juga harus meliputi 3 kerangka pekerja sosial
yang diantaranya :

1. Kerangka Pengetahuan (Body of Knowledge)


Pekerjaan Sosial dalam memberikan pelayanan peksos terhadap ABH haruslah menggunakan
pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang sudah teruji ketepatan dan kevaliditasannya.
Pengetahuan pekerjaan sosial dikelompokkan dalam 3 golongan
a. Pengetahuan tentang klien (individu, kelompok, masyarakat) bagaimana latar belakang
anak berhadapan hukum, hubungan dengan keluarga dirumah
b. Pengetahuan tentang lingkungan sosial, disamping dengan keluarga, yang membentuk anak
melakukan kejahatan tidak luput dari lingkungan sosial, sehingga sebagai pekerja sosial kita
harus memahami bagaiman lingkungan sosial klien itu sendiri.
c. Meliputi pengetahuan: Diri sebagai seorang pekerja sosial (self), profesi, intervensi,
bagaimana pengetahuan pekerja sosial dalam melakukan pendampingan biospikososial
terhadap ABH, intervensi yang dilakukan tepat
2. Kerangka Nilai (Body of Value) Pekerjaan Sosial
Nilai adalah sesuatu yang dianggap baik. Nilai adalah kepercayaan, pilihan atau
asumsi tentang apa yang baik untuk manusia. Pekerja sosial dalam melaksanakan tugasnya
selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai : nilai pribadi pekerjaan sosial, nilai profesi pekerjaan sosial,
nilai klien atau kelompok, nilai masyarakat.
pekerjaan sosial dalam menangani ABH ada nilai untuk menghargai keunikan dan perbedaan,
privacy, menjaga kerahasiaan, memberikan  pelayanan rehabilitasi, keadilan sosial, martabat
dan harga diri anak, pentingnya hubungan kemanusiaan, integritas, kompetensi. Susunan nilai-
nilai dasar tersebut merupakan gambaran unik dari peksos pekerjaan sosial dalam menangani
ABH karena ada keseimbangan dalam hal keadaan dan kerumitannya  pengalaman manusia.
Dasar utama perhatian pekerjaan sosial adalah terhadap  kekuatan lingkungan yang
menciptakan, memberi kontribusi dan memberi perhatian terhadap pemecahan masalah untuk
mengambil kebijakan yang terbaik bagi anak. 
3. Kerangka Keterampilan (Body of Skills) Pekerjaan Sosial
Keterampilan merupakan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan nilai
yang dipunyai oleh pekerja sosial merupakan alat untuk memadukan antara kerangka
pengetahuan kerangka nilai, untuk dapat mempraktekkan secara bertanggung jawab.
Ketrampilan - ketrampilan dasar pekerja sosial dalam menangani ABH haruslah mempunyai,
ketrampilan memberikan pertolongan dasar, Ketrampilan melakukan perjanjian saat
melakukan intake proses, Ketrampilan melakukan observasi, Ketrampilan berkomunikasi,

8
Ketrampilan empati, Pencatatan kasus dalam ABH haruslah lengkap dan jelas karena hasil dari
laporan perkembangan akan digunakan untuk keputusan aparat penegak hukum dalam
menentukan vonis hukuman bagi ABH, dalam penanganan ABH akan ada Konferensi
penangan kasus yang dimana pekerja sosial akan memaparkan mengenai kasus anak kepada
profesi lain terkait intervensi yang sudah dilakukan pekerja sosial, sehingga dalam hal ini
keterampilan public speaking sangat perlukan.

3.3 Tujuan
. Kementerian Sosial berdiri sebagai leading sector dalam mengembangkan Usaha
Kesejahteraan Sosial dalam mengemban amanat Undang-Undang Dasar 1945 untuk memajukan
kesejahteraan umum. Pengembangan tersebut diimplementasikan pada berbagai upaya untuk mengatasi
permasalahan sosial yang ada serta mengembangkan kapasitas masyarakat, BRSAMPK Handayani
adalah salah satu unit pelaksana teknis (UPT) yang menangani permasalahan anak yang membutuhkan
perlindungan khusus, dengan maksud:
1. Memulihkan kondisi psikologis dan kondisi sosial serta fungsi sosial anak sehingga mereka dapat
hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat serta menjadi sumber daya manusia
yang berguna, produktif, berkualitas, dan berakhlak mulia.
2. Menghilangkan label dan stigma negatif masyarakat terhadap anak yang menghambat tumbuh
kembang mereka untuk berpartisipasi dalam hidup dan kehidupan masyarakat.
3. Menemukan lingkungan dan situasi kehidupan yang mendukung bagi anak, serta keadaan yang
mendukung keberfungsian sosialnya sesuai dengan statusnya di dalam tatanan bermasyarakat serta
mencegah atau melakukan tindakan preventif agar anak tidak mengulangi perbuatannya di
kemudian hari.
Maksud dan tujuan di atas dikembangkan lagi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat
sehingga pada akhirnya dapat tercipta suatu pelayanan yang komprehensif dan berorientasi pada
kepentingan klien pelayanan.

3.4 Fungsi
Fungsinya rehabilitasi pekerja sosial terhadap ABH adalah untuk memberikan bimbingan,
pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk
bimbingan fisik, mental, sosial dan pelatihan keterampilan, resosialisasi, dan bimbingan lanjut bagi
anak berhadapan dengan hukum agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat.
1. Fungsi Pencegahan (preventive): Pencegahan yang dilakukan oleh pekerja sosial BRSAMPK
Handayani dilakukan di dalam dan di luar lingkungan balai. Kegiatan yang dilakukan di dalam
lingkungan balai dilakukan secara terkoordinir dalam proses penyembuhan dan pemberian sanksi
pada pelanggaran yang dilakukan selama proses rehabilitasi sosial oleh anak ABH. Sedangkan
kegiatan pencegahan yang dilakukan di luar balai berupa kegiatan penyuluhan ke sekolah-sekolah
di sekitar balai untuk memberikan edukasi tentang hukum pidana dan hal-hal yang sebaiknya
dihindari oleh usia anak dan memberikan edukasi pada guru juga orang tua.
2. Penyembuhan (curative): proses penyembuhan dilakukan melalui kegiatan pembinaan yang
dilaksanakan melalui bimbingan sosial, bimbingan MFD, dan bimbingan keagamaan bertujuan

9
agar klien memiliki intelektual, kondisi mental dan spiritual yang baik, sehingga terbangun
kesadaran hukum, menurunnya perilaku agresi pada anak berhadapan hukum
3. Pengembangan (development): proses pengembangan yang dijalankan oleh pekerja sosial
BRSAMPK Handayani dilakukan melalui kegiatan terapi vokasional yang disesuaikan dengan
minat dan kemampuan anak. Di mana dalam prosesnya, anak akan mendapatkan kesempatan untuk
ikut bekerja/menerima pekerjaan di luar balai yang di damping oleh instruktur.
4. Penunjang (supportive): kegiatan penunjang yang dijalankan oleh peksos BRSAMPK Handayani
dilakukan dalam bentuk pemberian terapi ADL, terapi kognitif, terapi psikososial untuk anak
pelaku kekerasan sosial, pemberian pendampingan, konseling, bimbingan lanjut, reintegrasi,
reunifikasi, dan family support.

3.5 Metode

Sebagai upaya rehabilitasi terhadap ABH Pekerja Sosial menggunakan beberapa metode intervensi
yaitu metode intervensi mikro, mezzo dan makro . Permasalahan yang muncul yaitu bagaimana
kemudian intervensi mikro yang dilakukan Pekerja Sosial dalam melakukan rehabilitasi terhadap anak
yang berhadapan hukum dan hambatan apa saja yang terjadi selama melaksanakan proses intervensi.
Adapun beberapa pendekatan terhadap ABH sebagai berikut
1. Pendekatan intervensi mikro merupakan keahlian pekerja sosial untuk mengatasi masalah yang
dihadapi oleh individu dan keluarga. Masalah sosial yang ditangani berkenaan dengan problem
psikologis, seperti stress dan despresi. Hambatan relasi, penyesuaian diri, kurang percaya diri,
alienasi atau kesepian dan keterasingan, apatisme hingga gangguan mental. Metode utama yang
biasa diterapkan oleh pekerja sosial dalam setting mikro ini adalah terapi perseorangan
(casework) yang melibatkan berbagai teknik penyembuhan atau terapi psikososial seperti terapi
berpusat pada klien (client-centered therapy), terapi perilaku (behavior therapy) dan terapi
keluarga (family therapy)
Tahap-tahap dalam proses pelaksanaan intervensi mikro terbagi menjadi lima tahap yaitu engagement
(Intake and Contract) , asessment, rencana intervensi, intervensi , dan evaluasi and terminasi
2. Metode intervensi di tingkat mezzo yaitu art therapy, seni musik, seni tari, bimbingan etika budi
pekerti, keterampilan sosial, bimbingan kedisiplinan dan bimbingan agama islam.
3. Sedangkan pada tingkat makro yaitu pengasuhan di luar balai dan penyusunan rencana
kesejahteraan sosial. Sedangkan faktor pendukung berhasilnya suatu metode intervensi sosial
untuk mengatasi ABH tidak terlepas dari peran pekerja sosial, praktisi, diri anak asuh maupun
keluarga dari anak asuh.
4. Model pengubahan perilaku akan mampu merubah klien secara total baik dalam cara berpikir
(thoughts), berperilaku (behavior), melakukan hubungan sosial (social relationships) dan
pengalaman (experiences) individu, dalam rangka melakukan model pengubahan perilaku
menyangkut sejumlah fakta.

3.6 Sistem Sumber Kesejahteraan Sosial/ Pekerjaan Sosial

Sistem sumber dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum antara lain :

10
1. Sumber Informal Dapat berupa keluarga, teman, tetangga, orang lain yang bersedia
membantu, dukungan emosional, kasih sayang, nasehat, informasi, pelayanan kongkrit lainnya
2. Sumber Formal
Keanggotaannya dalam suatu organisasi atau asosiasi formal bertujuan untuk meningkatkan
minat klien. Sistem sumber dapat juga membantu klien untuk bernegosiasi dan memanfaatkan
sistem sumber kemasyarakatan, yaitu Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Aparat
Penegak hukum diantaranya balai kemasyarakatan, kepolisian, dan pengadilan
3. Sistem Sumber Kemasyarakatan
Berupa rumah sakit, dinas sosial, program latihan kerja, pelayanan resmi. Orang dalam
kehidupannya terkait dengan sistem sumber kemasyarakatan, seperti sekolah, pusat perawatan
anak, rehabilitasi seperti Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan
Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) sebagai
institusi atau lembaga yang menagani anak berhadapan hukum (ABH).

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang
berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan saksi tindak pidana. Menurut
Pasal 1 ayat 3 Undang 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) menyatakan
bahwa Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas)
tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun.

Pendekatan yang dilakukan pekerja sosial terhadapa Anak Berhadapan (ABH) dengan Hukum
melalui Pendekatan Mikro Mezzo dan Makro, pendekatan ini tidak luput juga harus meliputi 3
kerangka pekerja sosial yang diantaranya : a. kerangka pengetahuan (body of knowledge) kerangka
keterampilan (body of skills) dan kerangka nilai (body of value) pekerjaan sosial. Tahap-tahap dalam
proses pelaksanaan intervensi mikro terbagi menjadi lima tahap yaitu engagement, asessment,
planning, intervention, dan evaluasi and termination. Sistem sumber dalam penanganan anak
berhadapan dengan hukum ada tiga yaitu sistem sumber formal, informal dan kemasyarakatan.
Fungsinya pekerja sosial dalam menangani ABH untuk memberikan bimbingan, pelayanan dan
rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik,
mental, sosial dan pelatihan keterampilan, resosialisasi, dan bimbingan lanjut bagi anak berhadapan
dengan hukum agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat.
11
4.2 Saran

Untuk menangani ABH, semua pihak harus terlibat aktif dan kontributif. Diperlukan juga integrasi
sin-ergis antara pekerja sosial dengan aparat penegak huku, untuk memberikan keputusan yang
terbaik bagi anak. Jika anak ABH terpaksa menjalani pengadilan, maka dukungan moril dari
lingkungan di sekitarnya dan stimulasi yang positif sangat dibutuhkan untuk merehabilitasi perilaku
anak menjadi lebih baik. Dengan demikian, an-tara orang tua dan negara memiliki porsi yang sama
untuk bersama menangani anak berhadapan dengan hukum. Dukungan keluarga selama anak
berhadapan dengan hukum hingga selesai masa hukuman san-gat diperlukan oleh anak. Dalam hal ini
anak tetap butuh pendampingan sebelum vonis, butuh dikun-jungi secara teratur untuk memberikan
dukungan moril dan membantunya merehabilitasi nama baiknya menjelang anak selesai dihukum
hingga anak kembali ke masyarakat. Sementara itu tugas Negara juga sangat diperlukan dalam
memberikan advokasi saat anak dinyatakan bersalah, dihukum dan selama hukuman anak
mendapatkan lingkungan yang kondusif, ramah anak, serta bebas dari akses kekerasan yang terjadi
selama masa hukuman. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi traumatik yang lebih berat ketika
anak kembali ke masyarakat. Selain itu Negara juga harus benar-benar mempersiapkan rehabilitasi
dan persiapan anak kembali ke masyarakat. Pemerintah juga harus mengedukasi masyarakat agar
dapat menerima dan tidak melakukan diskriminasi terhadap anak dengan stigma yang negatif pada
anak yang sudah selesai menjalani hukuman

DAFTAR PUSTAKA
Heru, Dwi Sukoco, Praktik Pekerjaan Sosial Dan Proses Pertolongannya, Bandung:
Koperasi Mahasiswa STKS Bandung, 2011

Huda, Miftahul, Pekerjaan Sosial & Kesejahteraan Sosial: Sebuah Pengantar,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Kementrian Komunikasi dan Informatika RI, Pedoman Operasional Komite


Perlindungan Dan Rehabilitasi Sosial Anak Brhadapan
Dengan Hukum,Jakarta: Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi
Publik, 2012
Undang-Undang:
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

12
Website:

Charlez H. Zastrow, Social Group With Group, dalam


https://books.google.co.id/books?
id=kqY8SQigMnwC&printsec=frontcover&
dq=charles+zastrow&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwj9wML6_q3LAhU
XkI4K HTMtC8kQ6AEIITAB#v=onepage&q=charles
%20zastrow&f=false, diakses pada tanggal 12 Mei 2020

David Kurniawan, “Kenakalan Remaja: 135 Anak


Tersandung Hukum”,
http://www.harianjogja.com/baca/2015/01/08/kenakalan-remaja-135-
anak- tersandung-kasus-hukum-566123, diakses tanggal tanggal 13
Mei 2020

David Setyawan, Kekerasan Pada Anak Terus Meningkat, dalam


http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-
tahun- meningkat/ diakses tanggal tanggal 15 Mei 2020
.

LAMPIRAN

Melaksanakan kegiatan temu bahas hasil Melaksanakan kegiatan dinamika kelompok


asesmen masalah,kebutuhan dan sistem
sumber penerima manfaat

13
Melakukan advokasi dengan bapas Mendampingi penerima manfaat dalam
pemeriksaan kesehatan

Meneliti kelengkapan persyaratan Mengumpulkan data dan informasi tambahan


administrasi Kepada keluarga penerima manfaart

14
Melakukan Sharing Peeling BRSAMPK Handayani

15

Anda mungkin juga menyukai