Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PENERAPAN SANKSI PIDANA DAN TINDAKAN

YANG EDUKATIF TERHADAP ANAK

Dosen Pengampu : Muhammad Badri ,S.H., MH.

Kelompok 3:

 Siti Ulfa Umamah 2100874201219


 Saputratriansyah 2100874201162
 Hikmal Akbar 2100874201100
 Andrea Fernando 2100874201029
 Muhammad Dwiky 1800874201130
 Hanif Fazri

UNIVERSITAS BATANGHARI
FAKULTAS HUKUM
JAMBI
T.A 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha pengasih lagi maha penyayang, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya, kami bisa Menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul
“Penerapan Sanksi Pidana Dan Tindakan Yang Edukatif Terhadap Anak” tak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan dorongan dan
motivasi.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik serta saran
yang membangun guna menyempurnakan makalah ini dan dapat menjadi acuan dalam
Menyusun makalah-makalah atau tugas-tugas selanjutnya.

Kami juga memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan
pengetikan dan kekeliruan sehingga membingungkan pembaca dalam memahami maksud kami.

Jambi, 14 November 2023


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................2

1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................3

2.1 Pengertian Anak.....................................................................................................................3

2.2 Sistem Peradilan Pidana Anak...............................................................................................5

2.3 Kelemahan Undang-Undang No 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak.............................8

2.4 Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak...........................................................................10

BAB III PENUTUP.......................................................................................................................13

3.1 Kesimpulan dan Saran.........................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa,
sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah,dalam rangka pembinaan anak
untuk mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh serta berkualitas. Berkaitan dengan
pembinaan anak diperlukan sarana dan prasarana hukum yang mengantisipasi segala
permasalahan yang timbul. Sarana dan prasarana yang dimaksud menyangkut kepentingan anak
maupun yang menyangkut penyimpangan sikap dan perilaku yang menjadikan anak terpaksa
dihadapkan ke muka pengadilan. Mental anak yang masih dalam tahap pencarian jati diri,
kadang mudahterpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan disekitarnya. Sehingga jika
lingkungan tempat anak berada tersebut buruk, dapat terpengaruh pada tindakan yang dapat
melanggar hukum. Hal itu tentu saja dapat merugikan dirinya sendiri dan masyarakat. Tidak
sedikit tindakan tersebut akhirnya menyeret mereka berurusan dengan aparat penegak hukum.
Anak merupakan bagian dari masyarakat, mereka mempunyai hak yang sama dengan masyarakat
lain yang harus dilindungi dan dihormati. Setiap Negara dimanapun di dunia ini wajib
memberikan perhatian serta perlindungan yang cukup terhadap hak-hak anak, yang antara lain
berupa hak-hak sipil ,ekonomi, sosial dan budaya, namun sepertinya kedudukan dan hak-hak
anak jika dilihat dari prespektif yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh
pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya dan masih jauhdari apa yang
sebenarnya harus diberikan kepada mereka. Kondisi inipun dipersulit oleh lemahnya penerapan
hukum mengenai hak-hak anak yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri.
Sebenarnya apabila memperhatikan teori kebijakan kriminal yang dikemukakan oleh Marc Ancel
bahwa : MaSS Media adalah sebagai salah satu sarana yang digunakan untuk melakukan
pencegahan kejahatan. Dalam kaitan perilaku delikuen, mass media justru berpengaruh terhadap
timbulnya suatu kenakalan. Hal ini memang dibenarkan, karena mass media dipahami
berpengaruh pula terhadap perkembangan anak. Keinginan atau kehendak anak untu melakukan
kenakalan, kadangkala timbul karena pengaruh bacaan, gambar dan film bagi anak yang mengisi
waktu senggangnya dengan bacaan-bacaan buruk, maka hal itu akan berbahaya dan dapat
menghalangi mereka untuk berbuat hal-hal yang baik. Demikian pula tontonan yang berupa
gambar-gambar porno akan memberikan rangsangan seks terhadap anak. Ransanmgan seks
tersebut akan berpengaruh negative terhadap perkembangan anak. (Arief, 2005a dan Arief,
2005b). Dengan adanya penelitian ini diharapkan para penegak hukum mampu mengedepankan
perlindungan hak-hak anak sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, sehingga Hakim dalam memutus suatu perkara anak lebih memperhatikan
kepentingan anak, yaitu dari segi psikologi dan latar belakang anak melakukan kenakalan
sehingga anak dan bukan sebagai pembalasan atas perbuatan yang telah dilakukan seorang anak.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Penerapan Sanksi pidana diPengadilan Negeri Makassar?


2. Apa Kelemahan Dari Undang-undang N0. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan adanya penelitian hukum ini adalah:

1. Untuk mengetahui apakah penjatuhan sanksi pidana penjara yang di berikan terhadap
anak sudah tepat.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Anak

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang
memiliki peran strategis serta mempunyai ciri dan sifat khusus. Anak memerlukan pembinaan
perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, sosial
secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Kedudukan anak dalam lingkungan hukum sebagai
subyek hukum ditentukan dari sistem hukum terhadap anak sebagai kelompok masyarakat yang
berada di dalam status hukum dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur. Maksud tidak
mampu adalah karena kedudukan akal dan pertumbuhan fisik yang sedang berkembang dalam
diri anak yang bersangkutan. Meletakkan anak sebagai subyek hukum yang lahir dari proses
sosialisasi berbagai nilai ke dalam peristiwa hukum pidana maupun hukum hubungan kontrak
yang berda dalam lingkup.
Pengertian anak yang terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak yaitu:
a. Anak dalam perkara anak nakal adalah orang yang telah mencapai umur 8 (delapan)
tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
b. Anak nakal adalah:
1. Anak yang melakukan tindak pidana atau
2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut
peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat bersangkutan.
c. Anak terlantar adalah:

Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan ditetapkan sebagai anak terlantar, atas

pertimbangan anak tersebut tidak terpenuhi dengan wajar kebutuhannya, baik secara

rohaniah, jasmaniah, maupun sosial disebabkan:


1. Adanya kesalahan, kelalaian, dan/atau ketidakmampuan orang tua, wali atau orang tua
asuhnya atau;
2. Statusnya sebagai anak yatim piatu atau tidak ada orang tuanya (Faisal, 2005: 5)

Sedangkan pengertian anak yang terdapat dalam Pasal 45 KUHP yaitu:


“Anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Apabila anak yang
masih dibawah umur terjerat perkara pidana hakim dapat memerintahkan supaya anak yang
terjerat perkara pidana dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau orang tua asuhnya,
tanpa pidana atau memerintahkan supaya diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana atau
dipidana pengurangan 1/3 (satu per tiga) dari ancaman maksimum 15 tahun.”
Sementara pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak berbunyi:
“Anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.“
Pengertian anak yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak yaitu:
“Anak adalah seseorang orang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun dan belum
pernah nikah. Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat
menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik secara rohani, jasmani,
maupun sosial.“
Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk
menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan anak.

Yang dimaksud dengan undang-undang kesejahteraan anak meliputi;

1. Usaha kesejahteraan anak terdiri atas usaha pembinaan, pengembangan, pencegahan, dan
rehabilitasi.
2. Usaha kesejahteraan anak dilakukan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.
3. Pemerintah mengadakan pengarahan,bimbingan, bantuan, dan pengawasan terhadap
usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh masyarakat.

Pengertian anak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1) yaitu:

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang
masih dalam kandungan. Ayat (1): memuat batas antara belum dewasa dengan telah dewasa
yaitu berumur 21 (dua puluh satu) tahun kecuali:

 anak yang sudah kawin sebelum umur 21 tahun


 pendewasaan Ayat (2): menyebutkan bahwa pembubaran perkawinan yang terjadi
pada seseorang sebelum berusia 21 tahun, tidak mempunyai pengaruh terhadap
kedewasaan.

2.2 Sistem Peradilan Pidana Anak

Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak menegaskan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik
dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak
pidans. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak juga menegeaskan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut
sebagai anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tidak pidana. Anak yang berhadapan dengan
hukum bisa dijatuhkan hukuman atau sanksi yang berupa tindakan atau pidana apabila terbukti
melanggar perundang-undangan hukum pidana.

Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak menegaskan anak hanya dapat dijatuhi pidana atau tindakan berdasarkan ketentuan dalam
Undang-undang ini, dan ayat (2) anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat
dikenai tindakan. Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak yang berhadapan dengan hukum
ialah pidana pokok dan tambahan. Pasal 71 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012.
Pidana pokok dapat berupa :
a. Pidana peringatan

b. Pidana dengan syarat:

1) Pembinaan diluar lembaga;

2) Pelayanan masyarakat; atau

3) Pengawasan

c. Pelatihan kerja

d. Pembinaan dalam lembaga; dan

e. Penjara.

Pidana tambahan terdiri dari perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
atau pemenuhan kewajiban adat Pasal 71 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012. Setiap
pelaksanaan pidana atau tindakan, diusahakan tidak menimbulkan korban, penderitaan, kerugian
mental, fisik dan sosial. Pidana dan tindakan bersifat edukatif, konstruktif, tidak destruktif dan
disamping itu harus pula memenuhi kepentingan anak yang bersangkutan.2 Pertimbangan pidana
dan perlakuannya terhadap anak-anak yang melakukan tindak pidana perlu mendapat perhatian
khusus, sebab pada peradilan anak ini mengutamakan pada pemberian bimbingan edukatif
terhadap anak-anak, disamping tindakan yang bersifat menghukum.

Ancaman pidana penjara terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yang melakukan
tindak pidana, sesuai Pasal 81 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 paling lama 1/2
(satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Berdasarkan ketentuan
pasal 81 ayat (2) ini, ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang
ancaman pidana bagi anak harus dibaca setengah dari ancaman hukuman bagi orang dewasa.

Sehubungan dengan hal ini, Pasal 117 ayat (1) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Nasional (Tahun 1999-2000) menentukan bahwa: Pidana pembatasan kebebasan,
diberlakukan dalam hal anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai
dengan kekerasan. Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling lama
(satu per dua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa.
Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada si anak ditentukan dalam Pasal 82 ayat (1) Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2012, meliputi:

a. Pengembalian kepada orang tua atau wali;

b. Penyerahan kepada seseorang;

c. Perawatan di rumah sakir jiwa;

d. Perawatan di LPKS;

e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah
atau badan swasta;

f. Pencabutan suran ijin mengemudi; dan/atau

g. Perbaikan akibat tindak pidana;

Peradilan Pidana Anak mewujudkan kesejahteraan anak, sehingga anak diadili secara
tersendiri. Segala aktivitas yang dilakukan dalam Peradilan Anak, seyogyanya dilakukan oleh
Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, Hakim Anak, atau Petugas Lembaga Kemasyarakatan
Anak, berdasarkan prinsip demi kesejahteraan anak. Hakim menjatuhkan pidana atau tindakan
dimaksudkan untuk memberikan yang paling baik bagi anak, tanpa mengorbankan kepentingan
masyarakat dan tegaknya wibawa hukum. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada anak
didasarkan pada kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan anak.

Saat ini proses penegakan hukum yang pelakunya masih anak-anak belum mendapat
haknya secara penuh dari aparat penegak hukum dan sering terjadi perbedaan antara putusan
hakim dengan perautran yang mengatur. Sebagian besar putusan pengadilan berupa pidana
penjara, walaupun pelaku kejahatan dibawah usia 18 (delapan belas) tahun dan pidana penjara
yang dijatuhakan terkadang melebihi setengah ancaman orang dewasa. Dalam praktek tidak
menjamin tindakan aparat penegak hukum dalam memperlakukan anak pelaku tindak pidana
secara arif dan bijaksana, dengan memperhatikan kondisi internal anak-anak dan pengaruh
jangka panjang bagi masa depan anak.
2.3 Kelemahan Undang-Undang No 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak

Undang undang nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak menegaskan bahwa prisnsip
pemidanaan terhadap anak sebagai langkah trerakhir (ultimum remedium). Tapi dalam
kenyataannya tidak berjalan lebih baik. Anak acapkali diperhadapkan pada situasi sosial yang
menimbulkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasarnya yang
menggambarkan bahwa tingkat kesejahteraan dan faktor pendidikan ikut menjadi andil akan
peningkatan angka ABH. Demikian juga pemahaman masyarakat yang rendah terkait metode
terbaik dalam penanggulangan anak, turut memicu hal tersebut.

Selanjutnya kelemahan dalam undang undang nomor 3 tahun 1997 itu sendiri juga
semakin mendorong meningkatnya jumlah ABH di nusantara, misalnya anak dapat dibebankan
pada usia 8 tahun yang merupakan usia yang masih rentan untuk dipertanggungjawabkan
didepan persidangan. Tentunya diusia yang sangat belia itu anak diharapkan masih dapat
berkembang lebih baik dengan pembinaan orang tuanya. Kelemahan undang undang nomor 3
tahun 1997 lainnya yaitu pendifisian anak nakal yang setara pelaku tindak pidana orang dewasa,
proses pidana dilingkup peradikan umum dan tidak diaturnya secara tegas mengenai bentuk
penanganan anak ataupun diversi ke panti panti sosial Apalagi masyarakat masih
mengedepankan teori pembalasan (suatu pelaku tindak pidana mutlak diberikan pembalasan
berupa sanksi pidana). Dalam pemidanaan termasuk pada kasus-kasus yang melibatkan anak
sebagai pelaku. Data yang bersumber dari ditjen pemasyarakatan kementrian hukum dan HAM
memberikan gambaran peningkatan angka pemidanaan anak tersebut, baik data anak anak yang
menempati lembaga pemasyarakatan (Lapas) maupun anak-anak yang mendapat pembinaan di
Balai Pemasyarakatan (Bapas).

Sebanyak 4235 anak menghuni Lapas hingga penghujung 2007, menanjak ke angka 5568
di akhir tahun 2008 kemudian di Bulan Juli 2009 meningkat menjadi 5638 anak dan 5682 anak
menghuni Lapas hingga akhir Agustus 2010. Data anak yang dibina di Bapas juga menunjukkan
data yang signifikan. Pada tahun 2008 terdapat 6505 anak dengan berbagai macam kasus telah
diajukan ke pengadilan dan 4622 anak diantaranya (71,5% diputus pidana). Sedangkan tahun
2009 terdapat 6704 anak yang diajukandan 4748 diantaranya (70,82% diputus pidana).
Persentase mungkin menurun, hanya saja kualitas anak yang dijatuhi pidana dan mendapatkan
pembinaan di Balai Pemasyarakatan mengalami peningkatan. Ironisnya, Rusdin Tompo selaku
aktivis perlindungan anak Sulawesi selatan mengemukakan bahwa sebagian besar anak anak
yang menghuni Lapas hanyalah karena terjerat kasus yang remeh atau bukanlah tergolong
kejahatran serius diantaranya kasus pencurian biasa, yang seharusnya dapat mengutamakan
pendekatan restorative justice ketimbang pendekatan retributive.

Kondisi yang tidak ditangani secara maksimal membuat permasalahan anak yang
dihadapi semakin kompleks. Untuk itu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan
menyediakan panti rehabilitasi sosial bagi ABH dan anak berperilaku nakal agar perilaku mereka
tidak semakin menyimpang.

Dari hasil penelitan di Panti Sosial Marsudi Putra di Makassar salah satu bagian yang
terpenting adalah bagian rehabilitasi sosial bagi Anak Bermasalah Hukum (ABH) yang bertugas
memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada anak yang bermasalah / anak nakal sebagai
“penerima manfaat” dalam bentuk bimbingan fisik, mental dan sosial. Selain itu, Panti Sosial
Marsudi Putra Makassar juga memberikan pelatihan kerja, resosialisasi dan bimbingan lanjutan
bagi penerima manfaaat agar mampu beradaptasi dengan lingkungan dalam melaksanakan peran
sosialnya di masyarakat secara baik.

Rehabilitasi sosial menjadi upaya mengintegrasikan kembali sesorang ke dalam


kehidupan masyarakat dengan cara membantunya menyesuaikan diri dengan keluarga,
masyarakat dan pekerjaan. Seseorang dapat berintegrasi dengan masyarakat apabila memiliki
kemampuan fisik, mental dan sosial serta diberikan kesempatan untuk berpartisipasi.

Dalam proses dan kegiatan rehabilitasi sosial, anak penerima manfaat akan menjalani
beberapa tahapan, diantaranya adalah tahapan pendekatan awal (Pre-Intake) yang dimana pada
tahapan ini, pihak panti sosial Marsudi Putra melakukan bebrapa kegiatan orientasi dan
konsultasi, identifikasi, motivasi dan seleksi. Tahapan selanjutnya adalah penerimaan (intake)
yang merupakan tahap registrasi, penelahaan dan pengungkapan masalah serta penempatan
dalam program rehabiliasi sosial. Dilanjutkan dengan tahapan assesment, dimana tahapan ini
merupakan kegiatan yang dilakukan untuk pengumpulan data dan informasi mengenai latar
belakang permasalahan penerima manfaat, meliputi bakat minat, potensi yang dimiliki,
kemampuan, harapan dan rencananya untuk masa depan yang dapat digunakan dalam
mendukung upaya pemecahan masalah serta upaya lainnya demi mengembalikan kemampuan
penerima manfaat. Tahapan selanjutnya adalah proses pembinaan dan bimbingan mental sosial,
dalam proses ini diberikan tahapan pembinaan fidik, mental psikologi, mental keagamaan,
bimbingan sosial serta pelatihan keterampilan usaha / kerja. Selanjutnya adalah tahapan
resosialisasi atau reintegrasi sosial yang merupakan tahapan atau proses hubungan partisipasi
keluarga dan masyarakat dalam penerimaan kembali mantan penerima manfaat dengan
membantu proses integrasi dan aktualisasi diri, percaya diri, kesadaran dan tanggung jawab
sosial serta lapangan kerja yang layak bagi penerima manfaat sekembalinya ke lingkungan
masyarakat. Tahapan yang terakhir adalah tahapan penyaluran dan bimbingan lanjutan dimana
mantan penerima manfaat telah kembali di daerah masing-masing atau telah tersalurkan pada
perusahaan atau lembaga kerja dimungkinkan tetap dalam pantauan atau komunikasi dengan
lembaga rehabilitasi sosial untuik mengetahui sejauh mana mengembangkan potensi diri juga
partisipasinya dalam masyarakat.

2.4 Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak

Sehubungan dengan sanksi yang dapat diberikan terhadap anak nakal, UU Pengadilan
Anak telah mengaturnya dan secara garis besarnya sanksi yang dapat dijatuhkan bagi anak yang
telah melakukan kenakalan terdiri dari sanksi pidana dan sanksi tindakan (Pasal 22). Perumusan
kedua jenis sanksi ini menunjukkan bahwa UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah
menganut apa yang disebut double track system, dengan kata lain UU ini secara eksplisit
mengatur tentang jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan sekaligus, penggunaan sistim dua jalur
(zweipurigkeit) merupakan konsekuensi dianutnya aliran klasik. Pemikiran bahwa seolah-olah
sistim tindakan hanya dikenakan bagi orang yang tidak mampu harus ditinggalkan.

Dalam pembangunan hukum pidana positif Indonesia, memang telah diakui keberadaan
sanksi tindakan selain sanksi pidana, walaupun dalam KUHP menganut single track systim yang
hanya mengatur satu jenis saja yaitu sanksi pidana (pasal 10 KUHP). Pengancaman sanksi
tindakan dalam UU Pengadilan Anak menunjukkan bahwa ada sarana lain selain pidana (penal)
sebagai saran dalam menaggulangi kejahatan.

Sebenarnya di tingkat praktis, perbedaaan antara pidana dan tindakan sering agak samar,
namun di tingkat ide dasar keduanya memiliki perbedaan fundamental, keduanya bersumber dari
ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar “mengapa diadakan
pemidanaan?”, sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar “untuk apa tindakan
pemidanaan itu?”. Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu
perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan
tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan
penderitaan (agar bersangkutan menjadi jera) maka fokus sanksi tindakan terarah pada supaya
memberi pertolongan agar dia berubah.

Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbangan). Ia


merupakan penderitaan yang sengaja diberikan kepada seorang pelanggar. Sedangkan sanksi
tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si
pembuat atau seperti yang dikatakan J.E. Jonkers sebagai berikut :

bahwa sanksi pidana dititik beratkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang
dilakukan,sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial.(Nashriana,
Perlindungan Hukum Bagi Anak di Indonesia, Rajawali Pers, 2011, hal 81)

Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak dari ide dasar
yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada
pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatnnya. Selain ditujukan kepada pengenaan
penderitaan terhadap pelaku, sanksi juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap
perbuatan si pelaku. Dengan demikian, perbedaan prinsip antara sanksi pidana dan sanksi
tindakan terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan ada tidaknya unsur penderitaan.
Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Jika di tinjau dari sudut teori- teori
pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas, ia semata-mata di
tujukan kepada prevensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat
merugikan kepentingan masyarakat itu. Singkatnya, sanksi pidana berorientasi pada ide
pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara sanksi tindakan berorientasi pada
ide perlindungan masyarakat.

Lebih lanjut, terkait dengan sanksi bagi anak nakal yang berupa sanksi pidana, terdiri atas
pidana pokok, ada empat macam sebagaiamana yang di tetapkan dalam paal 23 ayat (2), yaitu :
Pidana penjara, Pidana kurungan, Pidana denda dan Pidana pengawasan, Sedangkan mengenai
pidana tambahan berdasarkan pasal 23 ayat (2) ada dua macam, yakni Perampasan barang
tertentu dan Pembayaran ganti rugi.

Apabila dibandingkan dengan ketentuan pasal 19 KUHP, dimana memuat pidana pokok
berupa : Pidana mati, Pidana penjara, Pidana kurungan, Pidana denda dan Pidana tutupan. Maka
khusus untuk pidana mati, undang-undang pengadilan anak tidak menghendaki apabila anak
yang telah melakukan kenakalan diancam dan dijatuhi pidana pokok berupa pidana mati.
Sebagaiamana diketahui bahwa pemeriksaan anak nakal dilatarbelakangi oleh filosofi bahwa
semata-mata demi kepentingan anak. Artinya, terhadap anak yang notabene sebagai generasi
penerus bangsa tidak di inginkan untuk dijatuhi pidana mati, karena anak sangat memerlukan
pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan yang menunjang
perkembangan fisik, mental dan sosialnya. Karena itu, apabila diancamkan pidana mati, maka
upaya pembinaan dan perlindungan tidak akan pernah dapat diberikan sementara usia yang akan
dijalani oleh seorang anak masih sangat panjang. Demikian pula sama halnya dengan seumur
hidup, yang bermakna bahwa pelaksanaan pidana akan dilalui sepanjang hidup si anak di
lembaga pemasyarakatan. Hal tersebut tidak di inginkan UU Pengadilan Anak.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan dan Saran

Penerapan sanksi pidana khususnya di Pengadilan Negeri Makassar belum berjalan


seperti yang di amanatkan dalam UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan masih
cenderung di persamakan dengan pelaku dewasa, dalam hal penjatuhan sanksi pidana masih
menganut teori pembalasan tanpa mempertimbangkan aspek psikologi anak yang masih labil dan
masih membutuhkan bimbingan dalam melakukan integrasi dalam masyarakat. Penerapan sanksi
tindakan saat ini belum bisa mengurangi angka kriminalitas yang dilakukan oleh anak. Selain itu
kelemahan dari UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum bisa melindungi dan
mengurangi jumlah ABH darin tahun ke tahun. Menempatkan ABH di Panti Rehabilitasi Sosilal
untuk mendapatkan pembinaan fisik dan mental dan bukan ditempatkan di penjara adalah salah
satu solusi pemidanaan yang bersifat edukatif, dan bukan malah sebaliknya menghukum anak
tanpa memperhatikan aspek yang melekat terhadap diri seorang anak.

Memaksimalkan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana atau
ABH (Anak Berhadapan Hukum) sebagaiamana yang diamanatkan dalam UU No. 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak dan mengedepankan keadilan restoratif (restorativ justice) yaitu proses
diversi dimana semua yang terlibat dalam kasus pidana tertentu bersama-sama memecahkan
masalah tentang bagaimana menangani akibat perbuatan anak dimasa yang akan datang. Dengan
kata lain, keadilan restoratif mengedepankan pembinaan, pemulihan keadaan anak.
DAFTAR PUSTAKA

Arief Nawawi Barda.(2005). Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan


Hukum Pidana. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.(2005). Perkembangan Sistem Pemidanaan di
Indonesia, Surabaya : Bahan Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi XI Tahun 200.
Kerjasama FH UBAYA, Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi dan ASPEHUPIKI di Hyatt
Hotel,. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta : Balai Pustaka. Muchtar Fathuddin. (2006). Situasi Anak Yang Berkonflik Dengan
Hukum Di Daerah Istimewa Yogyakarta & Semarang, Yogyakarta : Samin Yayasan SETARA.
Media Empati.(2011). Makassar : Dinas Sosial Nashriani. (2010). Hukum Perlindungan Anak
Bagi Anak di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers. Gosita Arif.(1989). Masalah Perlindungan
Anak.Jakarta : Akademi Pressindo. Wologito Bimo. (1978). Kenakalan Remaja (Juvenile
Deliquency. Yogyakarta.: Fakultas Psikologi UGM, Siregar Bismar, Hakim G.N Abdul,
Sisworahardjo Suwantji, Gosita Arif, .Kusuma W Mulyana. (1986). Hukum dan Hak-Hak Anak.
Jakarta : Rajawali.

Anda mungkin juga menyukai