Anda di halaman 1dari 122

PENERAPAN DIVERSI PADA TINGKAT PENUNTUT UMUM

TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA


MENURUT UU NO 11 TAHUN 2012
(Studi Kasus di Cabang Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan di Sibuhuan)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah genersi penerus bangsa yang memiliki keterbatasan dalam

memahami dan melindungi diri dari berbagai pengaruh sistem yang ada. 1 Oleh

karenanya ketika anak menjadi pelaku tindak pidana, Negara harus memberikan

perlindungan kepadanya.

Anak merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang harus dijaga,

dididik sebagai bekal sumber daya untuk generasi berikutnya, anak merupakan harta

yang tidak ternilai harganya, seorang anak yang hadir kedunia ini adalah sebagai

amanah yang dititipkan Tuhan untuk dirawat dan dididik yang kelak akan berguna bagi

bangsa dan Negara.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan

kedua, dalam konsideran Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang perlindungan

anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karuia Tuhan Yang Maha Esa, yang

dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut

dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita

perjuangan bangsa, memiliki peran yang strategis dan mempunyai cirri dan sifat khusus

1
Marlina,”Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice”, Bandung, PT Refika Aditama, 2009, hal XV
1

yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara pada masa depan. Oleh

karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia

perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang

secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia, perlu dilakukan

upaya perlindugan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan

jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakukan tanpa diskriminasi.2

Anak secara nasional didasarkan pengertian pada batasan usia anak menurut

hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum islam. Secara internasional

pengertian tentang anak tertuang dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

mengenai hak anak atau United Nation Convention on Right of the Child tahun 1989,

aturan Standar Minimun Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Pelaksanaan Peradilan

anak atau United Nation Standar Minimun Rules for the administration of juvenile

delinquency (The Beijing Rules) tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau

Universal Declaration of Human Rights tahun 1948.

Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia banyak mengatur

tentang pengertian tentang anak, diantaranya Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang

perlindungan anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18

tahun dan bahkan masih dalam kandungan sedangkan undang-undang No 3 tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara

anak nakal telah mencapai usia 8 tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum

pernah menikah.

Pengertian anak yang ditetapkan perundang-undangan di Indonesia berbeda pula

dengan pengertian anak menurut hukum islam dan hukum adat. Hukum islam dan
2
M. Nasir Djamil, “Anak Bukan Untuk Di Hukum”, Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2015, hal 8-9
2

hukum adat sama-sama menentukan seseorang masih anak-anak atau sudah dewasa

bukan dari usia anak. Anak berbeda usia untuk mencapai tingkat kedewasaan. Hukum

Islam menentukan definisi anak dilihat dari tanda-tanda pada seseorang apakah

seseorang itu sudah dewasa atau belum. Seseorang dinyatakan anak apabila anak

tersebut belum memiliki tanda-tanda yang dimiliki orang dewasa sebagaimana yang

ditentukan oleh hukum islam. Sedangkan hukum adat menyebutkan bahwa dasar untuk

menentukan apakah seseorang itu anak-anak atau dewasa yaitu melihat unsur-unsur

yang dipenuhi seseorang, yaitu apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan rumah

orang tua atau rumah mertua dan mendirikan kehidupan keluarga sendiri3

Pembatasan anak dari segi umur tidaklah selamanya tepat karena kondisi umur

seseorang itu dihubungan dengan kedewasaan merupakan suatu yang bersifat semu dan

relatif. Masa sekarang ini ada anak dari segi kemampuannya masih terbatas akan tetapi

dari segi usia anak tersebut telah dewasa. Penentuan kedewasaan seseorang dari segi

usia tidaklah tepat. Menurut ahli psikologi kematangan seseorang anak tidak dapat

ditentukan dari segi usia karena ada anak yang berusia lebih muda akan tetapi sudang

matang dalam berfikir dan sebaliknya ada anak yang sudah dewasa akan tetapi

pemikirannya masih seperti anak-anak.

Nicholas McBala dalam bukunya juvenile justice system mengatakan anak

adalah periode diantara kelahiran dan permulaan kedewasaan. Masa ini merupakan

masa perkembangan hidup, juga masa dalam keterbatasan kemampuan termasuk

keterbatasan untuk membahayakan orang lain.4

3
Marlina ,Op Cit, hal 34
4
Marlina , Op Cit, hal 36
3

Perlindungan anak sangatlah penting karena anak merupakan potensi nasib

manusia di hari yang akan datang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa

sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang. Para tokoh pendidikan dan

para ahli sudah memperhatikan perkembangan kejiwaan anak, karena anak adalah anak,

anak tidak sama dengan orang dewasa. Anak memiliki sistem penilaian kanak-kanak

yang menampilkan mertabat anak sendiri dan kriteria norma tersendiri, sebab sejak lahir

anak menampakkan ciri-ciri dan tingkah laku karakteristik yang mandiri, memiliki

kepribadian yang khas dan unik. Hal ini disebabkan oleh karena taraf perkembangan

anak itu memang selalu berlainan dengan sifat-sifatnya dan ciri-cirinya, di mulai pada

usia bayi, remaja, dewasa, dan usia lanjut, akan berlainan psikis maupun jasmaninya.

Sistem penilaian anak-anak ini dengan bantuan usaha pendidikan harus bisa

dikaitkan atau disesuaikan dengan sistem penilaian manusia dewasa, namun demikian

adalah salah apabila menerapkan kadar nilai orang dewasa pada diri anak-anak.

Citra dan pengertian tentang manusia dan kemanusian merupakan faktor yang

dominan dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan perlindungan terhadap

anak yang merupakan permasalahan kehidupan manusia juga. Objek dan subjek

pelayanan dan kegiatan perlindungan anak sama-sama mempunyai hak-hak dan

kewajiban; motivasi seseorang untuk ikut serta secara tekun dan gigih dalam setiap

kegiatan perlindungan anak; pandangan bahwa setiap anak itu wajar dan berhak

mendapat perlindungan mental, fisik dan sosial dari orang tua, anggota masyarakat dan

Negara. Pandangan tersebut jelas berdasarkan pengertian dari citra yang tepat mengenai

manusia, tidak terkecuali manusia yang disebut dengan anak.5

5
Nashriana, “Perlindungan Hukum PIdana bagi anak di Indonesia”, Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada, 2014, hal 2
4

Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak

ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan

nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan tindakan hukum yang

berakibat hukum. Perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak.

Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan

mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam

pelaksanaan kegiatan perlindungan anak. Untuk itu, perlindungan anak setidaknya

memiliki dua aspek. Aspek pertama berkaitan dengan kebijakan dan peraturan

perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Aspek

kedua, menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut.

Peraturan perundang-undangan di Indonesia, telah banyak mengatur tentang

anak, mulai dari Undang-undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak, Undang-

undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Anak dan Undang-undang No 23 tahun

2002 tentang Perlindungan anak. Akan tetapi dalam pelaksanaannya sistem peradilan

anak di Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan. Persoalan yang ada

diantaranya dilakukan panahaan anak, proses peradilan yang panjang hingga proses

penahanan di lembaga pemasyarakatan akan akan mnimbulkan trauma yang mendalam

bagi psikis anak.

Penegakan hukum (law enforcement) merupakan proses usaha dalam

menegakkan norma-norma atau aturan-aturan hukum yang telah dibuat oleh lembaga

negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai wakil rakyat di pemerintah pusat

untuk menyampaikan aspirasi rakyat kecil agar dapat diperhatikan dan direalisasikan.

Penegakan hukum bukan saja berbicara mengenai pasal-pasal yang berada di dalam
5

peraturan perundang-undangan tetapi berbicara mengenai banyak faktor yaitu antara

lain: perilaku (habitual) orang-orang yang terlibat didalamnya seperti pelaku kejahatan,

korban kejahatan, para penegak hukum.

Penegakan hukum sangat berkaitan erat dengan 3(tiga) unsur dalam sistem

hukum yang dipopulerkan oleh Lawrence M.Friedman yaitu peraturan perundang-

undangan (substance of law), para penegak hukum (Structure of law), dan budaya

hukum (legal culture). Sehubungan dengan ketiga faktor tersebut diatas penegakan

hukum dari sisi sosiologis dilihat dari proses yang melibatkan manusia didalamnya,

karena dalam setiap ketiga unsur tersebut perlu manusia baik sebagai pembuat peraturan

perundang-undangan, sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan dan sebagai

kebudayaan atau kebiasanya yang terjadi didalam masyarakat. Faktor manusia

mempunyai peran yang sangat penting didalam usahanya menegakkan hukum.

Penegakan hukum bukan hanya suatu proses logis semata melainkan penuh dengan

keterlibatan manusia didalamnya.6

Penegakan hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia,7 dan

masyarakat disini mempunyai peran serta yang aktif juga dalam proses penegakan

hukum dan bukan hanya para aparat penegak hukum saja yaitu : polisi, jaksa atau hakim

yang ditetapkan dalam aturan perundang-undangan. Pelaksanaan hukum dapat

berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat juga terjadi karena adanya pelanggaran

hukum. Tiga unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum yaitu: kepastian

hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).

6
Satjipto Raharjo, “Penegakan Hukum, Dalam Sosiologis Hukum Perkembangan metode dan
pilihan Masalah”, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002, hal. 174
7
Marlina,”Pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum pidana/Marlina”,
Medan: USU Press, 2010, hal. 17
6

Kepastian hukum (rechtssicherheit) berarti hukum harus dilaksanakan dalam keadaan

bagaimanapun. kemanfaatan (zweckmassigkeit) berarti hukum harus memberikan

manfaat atau kegunaan bagi manusia. Keadilan (gerechtigkeit) berarti hukum harus

bersifat adil sama rata bagi setiap orang. Ketiga unsur tersebut dalam pelaksaannya

harus seimbang dan ketiga unsur tersebut dalam pelaksanaan penegakan hukum inilah

yang disebut dengan tiga tujuan hukum yaitu : kepastian hukum (rechtssicherheit),

keadilan (zweckmassigkeit) dan kemanfaatan (gerechtigkeit).8

Proses penegakan hukum yang terjadi di Indonesia selalu dipandang negatif

dikarenakan tingkat kepercayaan masyarakat sangat rendah terhadap keadilan yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum tersebut, oleh sebab itu bukan hanya menjadi

tugas dari pemerintah saja dalam proses penegakan hukum tetapi peran serta aktif

masyarakat juga harus terlibat sebagai pengawas perjalanan proses peradilan, dimana

tujuan dari penegakan hukum pada umunya adalah untuk membangun kepercayaan

masyarakat terhadap hukum dengan menunjukkan bahwa hukum secara luas

memperdulikan harapan masyarakat dan bujukan serta ajakan untuk mematuhinya.

Komponen-komponen yang saling bekerjasama dalam sistem ini adalah

terutama instansi badan yang disebut dengan: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan

Lembaga Pemasyarakatan. Keempat lembaga ini yang akan bekerjasama dalam sistem

Peradilan Pidana khususnya di negara Indonesia. Sistem peradilan pidana pada

hakekatnya merupakan suatu sistem yang berupaya menjaga keseimbangan

perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, kepentingan masyarakat maupun

kepentingan individu, termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.

8
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo (1993). Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti. Cetakan pertama, hal.1
7

Penyelenggaraan peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya para

aparat penegak hukum (law enforcement) mulai dari proses penyelidikan, penyidikan,

penangkapan, penahan, penuntutan, pemerikasaan disidang pengadilan serta

pelaksanaan putusan pengadilan di lembaga pemasyarakatan. Upaya penanggulangan

kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang paling lazim

terlihat dan ditemukan didalam sistem peradilan pidana di Indonesia, dan bahwa

penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang

paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri.9

Penelitian ini mengangkat suatu kasus tentang perjalanan perkara anak yang

masih dibawah umur melakukan tindak pidana pencurian sepeda motor diwilayah

hukum Polsek Barumun Kabupaten Padang Lawas, namun pada pemeriksaan awal oleh

penyidik di Polsek Barumun Kab. Padang lawas tidak ditemukan kendala dalam

penerapan sistem peradilan pidana sesuai dengan hukum di Indonesia karena pada saat

membuat berita acara pemeriksaan (BAP) tersangka mengaku, bahwa dirinya sudah

berumur 19 tahun, sehingga penyidik menahan tersangka serta melimpahkan berkasnya

ke Penuntut Umum di kantor cabang Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan di Sibuhuan,

dan pada tingkat penuntutan pun pada saat melaksanakan Tahap II sesuai dengan pasal

8 ayat (3) KUHAP yaitu tahap penyerahan tersangka dan Barang bukti dari penyidik

Polri ke Penuntut Umum tidak ditemukan hal yang ganjil, karena si tersangka mengakui

pada saat membuat Berita Acara Pemeriksaan tersangka bahwa dirinya berusia 19 tahun

kemudian berkas anak tersebut diteruskan hingga ke Pengadilan Negeri

Padangsidimpuan, namun pada saat pemeriksaan tersangka, keluarga tersangka datang

9
Barda Nawawi Arief, ”Masalah Penegakan Hukum dan Penanggulangan Kejahatan” Bandung:
Citra Aditya bakti, 2001, hal. 155
8

dan memberikan surat kartu keluarga yang menyatakan bahwa umur tersangka masih 16

tahun, sehingga Pengadilan Negeri Padangsidimpuan memberhentikan pemeriksaan dan

mengembalikan berkas ke pihak Kejaksaan.

Penjelasan kasus perkara tersebut diatas menunjukan bahwa salah satu kendala

dalam penerapan sistem hukum bagi anak yang masih di bawah umur sesuai dengan

ketentuan sistem peradilan anak yaitu Undang-Undang No 11 Tahun 2012 sebagai

perubahan dari Undang-Undang No 3 tahun 1997 masih banyak terjadi yaitu salah

satunya megenai pencatatan data diri sebagai warga Negara, hal ini sangat

mengkhwatirkan karena bagi penduduk desa khususnya di daerah penelitian saya di

daerah padang lawas, lebih banyak tidak memiliki kartu keluarga karena masyarakat

sekitar merasa tidak perlu surat atau kartu tersebut, karena bagi mereka yang utama

hanya bekerja dan memenuhi kebutuhan ekonomi saja.

Keseluruhan proses yang terlihat diatas adalah suatu proses penegakan hukum

didalam sistem peradilan pidana di Indonesia pada umumnya yang mempergunakan

kekuasaaan hukum yang besar, Menurut Wesley Cragg menyatakan bahwa pengunaan

kekuasaan hukum yang minimum merupakan suatu prinsip yang penting dalam

mengarahkan usaha penegakan hukum dan mengurangi usaha penggunaan kekuatan

hukum, hal tersebut dikarenakan kekerasan sering menggeser sifat asli dari moral

seseorang yang menerimanya.10 Pemaksaan (coercion) dapat mengacaukan moral dan

jiwa seseorang dan merangsang untuk kehilangan sikap kerelaan menerima aturan

hukum yang ada.

10
Marlina,”Pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum pidana/Marlina”,
Loc.Cit
9

Perbuatan melawan hukum atau tindak pidana dapat dilakukan oleh siapa saja

dengan tidak mengenal usia, jenis kelamin, suku, agama, jabatan dan lain sebagainya,

dan salah satu ciri tersebut bisa terjadi pada orang yang belum dewasa atau anak-anak,

dimana bisa menjadi sebagai pelaku, saksi maupun korban dari tindak pidana. Bahwa

anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang

merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan

strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan

perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental

dan sosial secara utuh, serasi selaras dan seimbang. Anak memiliki karakteristik yang

spesifik dibandingkan dengan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan

yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak anak menjadi penting untuk di

prioritaskan.

Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 memang sudah dijelaskan

tentang Hak-hak anak yang harus dilindungin oleh negara dan seluruh warga negara

Republik Indonesia, yaitu disebutkan bahwa Setiap anak berhak atas kelangsungan

hidup, tumbuh kembang dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan

dan diskriminasi. Anak-anak merupakan suatu aset untuk masa depan sebagai penerus

pemimpin negara Republik Indonesia, sehingga anak mempunyai fungsi yang startegis

bagi perencanaan pembangunan nasional kedepan negara Republik Indonesia. Peran

anak tersebutlah baru disadari oleh masyarakat internasional untuk melahirkan sebuah

konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk hidup yang harus atas

hak-hak yang melekat pada dirinya, hal ini ditandai dengan diterbitkannya Konvensi

Hak Anak (Convention on the Rights of the Child). Dan dari konvensi ini Indonesia
10

meratifikasinya melalui Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan

Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak Anak). Selanjutmnya dalam

rangka pelaksanaan konvensi tersebut, pemerintah berinisiatif untuk menerbitkan

beberapa aturan tentang anak yaitu antara lain Undang-undang No 3 Tahun 1997 Jo

Undang-Undang No 11 Tahun 2012, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi manusia, Undang-undang No 23 Tahun 2003 tentang perlindungan anak Jo

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang

Kejaksaan Republik Indonesia, Surat keputusan Bersama Mahkamah Agung, Jaksa

Agung, Kapolri, Menkumham, Mensos dan Mentri Negara Pemberdayaan Perempuan

dan Perlindungan Anak Republik Indonesia tentang penanganan anak yang berhadapan

dengan hukum pada tanggal 22 Desember 2009 dan lainnya.

Keterangan peraturan yang disebutkan diatas, diharapkan bahwa setiap anak

yang berkonflik atau berhadapan dengan hukum dapat memperoleh haknya dalam

bentuk perlindungan, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Pelaksanakan tugas

aparat penegak hukum maupun instansi/lembaga yang terkait perlu memperhatikan

prinsip-prinsip konvensi hak anak yaitu: prinsip non-diskriminasi, kepentingan terbaik

bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan

terhadap pendapat anak, dan senada dengan prinsip konvensi hak anak di indonesia

sudah mengadopsi prinsip tersebut didalam atauran perundang-undang indonesia yaitu

didalam sistem peradilan anak dengan diundangkannya Undang-Undang No. 11 tahun

2012,11 disebutkan Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:

perlindungan, keadilan, nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan

11
Pasal 2 UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153
11

terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan

dan pembimbingan anak, proposional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan

sebagai upaya terakhir, dan penghindaran pembalasan.

Anak merupakan harapan orang tua, harapan bangsa dan negara yang akan

melanjutkan generasi pembangunan kedepannya. Oleh sebab itu, setiap anak harus

mendapatkan pembinaan dari sejak dini dan anak perlu mendapatkan kesempatan yang

seluas-luasnya untuk dapat dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun

sosial dan ditambah lagi bahwa masa kanak-kanak merupakan periode penabur benih,

pembuat pondasi dan sebagai masa periode pembentukan watak, kepribadian dan

karakter diri seseorang manuasia utuh, agar mereka kelak memilki kekuatan dan

kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan. Karenanya sangat sensitif

apabila kita berbicara tentang anak pada masa dini sudah di perlihatkan atau di

perhadapkan dengan keadaan yang buruk baik seperti diperhadapkan di kepolisian, di

kejaksanan dan di pengadilan oleh hakim bahkan apabila terbukti bersalah di masukkan

didalam penjara dan sudah pasti tumbuh kembang di anak tersebut akan terganggung

dengan ingatan-ingatan yang buruk tersebut.

Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam

tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang

kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu dengan orang lain dalam melindungi

dirinya, mengingat situasi dan kondisinya khususnya dalam pelaksanaan peradilan

pidana anak yang asing bagi dirinya sendiri. Anak perlu mendapatkan perlindungan dari

kesalahn penerapan peraturan yang diberlakukan terhadap dirinya, yang menimbulkan

kerugian mental, fisik dan sosial.


12

Semakin tinggi angka kejahatan yang dilakukan oleh anak dibawah umur

sekarang ini menimbulkan perhatian khusus baik pemerintah dan msyarakat, khususnya

bagi anak yang dibawah umur dalam bidang pembinaan dan pengawasannya.

Kemungkinan besar anak akan masuk dalam proses peradilan pidana, dan menjalani

penahan di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) dan selanjutnya divonis dan menjalani

hukuman pidana penjara di Lembaga pemasyarakatan (LAPAS). Jumlah LAPAS anak

saat ini masih sangat kurang jika dibandingkan dengan jumlah kasus anak yang

berkonflik dengan hukum, maka akan mengakibatkan anak akan digabungkan dengan

tahanan dewasa dengan satu area/lingkungan, dengan keadan seperti ini akan membawa

implikasi yang buruk terhadap perkembangan anak untuk selama ditahan dan untuk

masa yang akan datang. Karena itu perlu suatu aturan khusus untuk mengurangi dampak

yang akan terjadi apabila anak yang masih dibawah umur terkena masalah atau

berkonflik dengan hukum. Dengan diundangkannya Undang-Undang No 11 tahun 2012

perubahan dari Undang-undang yang lama yaitu No 3 Tahun 1997 tentang Sistem

Pengadilan Anak, yang didalamnya termuat suatu sistem pengalihan sistem proses

peradilan pidana khususnya bagi anak yang dibawah umur dari proses peradilan formal

menuju peradilan informal.

Proses peradilan pidana anak mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan dan

dalam menjalankan putusan pengadilan di Lembaga Pemasyarakatan anak wajib

dilakukan oleh pejabat-pejabat yang terdidik khusus atau setidak-tidaknya mengetahui

masalah anak nakal. Proses perlakukan pidana bagi anak, harus memperhatikan hak-hak

anak agar jangan disamakan dengan proses peradilan bagi orang dewasa, baik dari segi

pemeriksaan oleh dilakukan oleh orang yang mengetahui tentang perilaku dan sifat anak
13

pada umumnya dan penampilan saat proses pemeriksaan harus seperti orang biasa tanpa

memakai toga bahkan sampai menjalankan hukuman harus dipisahkan dari tahanan

dewasa, hal ini yang melatarbelakangi lahirkan suatu sistem pengalihan perkara khusus

anak yang disebut dengan Diversi, dengan melakukan pendekatan restorative justice,

dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama

untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat

dari pelanggaran demi kepentingan masa depan, dan didalam konsep diversi

dikembangkan dengan disebutkan bahwa suatu proses pengalihan, penyelesaian perkara

anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.

Pelaksanaan diversi ini melibatkan semua aparat penegak hukum baik

dikepolisian, kejaksaan, kehakiman serta balai pemasyarakatan, namun penulis disini

akan membahas lebih mendalam khusus pelaksanaan diversi pada tingkat penuntutan di

Kejaksaan sesuai dengan proses penelitian yang penulis lakukan. Dikarenakan proses

diversi ini dilakukan oleh aparat penegak hukum yang konotasinya adalah manusia

biasa dengan mengunakan pola pikir dan perasaan dalam memutuskan suatu perkara.

Penerapan diversi terkesan ada terdapat pembedaan pada setiap kasus yang dilakukan

dalam proses peradilan pidana. Proses diversi itu sendiri membedakan dengan menitik

beratkan sifat konsisten pada kasus yang berbeda, lain hal nya dengan diskriminasi yang

tidak berdasarkan hukum dan menunjukan penggunaan kriteria yang tidak sah. Kedua

hal tersebut dapat dibedakan dengan keahlian petugas dalam pengalaman dan latihan.12

Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif

terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dalam proses sistem

12
Marlina,”Pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum pidana/Marlina”,
Op.Cit, hal 20
14

peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh

kewenangan aparat penegak hukum yang disebut dengan diskresi (discretion). Dalam

perkara pidana, kata diskresi kerap dihubungkan dengan kewenangan polisi saja

sementara kewenangan yang serupa dihubungkan dengan jaksa dikenal dengan hak

mendeponir atau mengalihkan perkara yang lazim dikenal sebaga oportunitas. Jaksa pun

menggunakan oportunitasnya atas dasar kewenangan diskresi yang dimilikinya dalam

memutuskan apakah perkara tersebut diteruskan kepengadilan untuk dilakukan

penuntutan atau tidak.

Kejaksanaan Republik Indonesia sebagai lembaga penuntutan di Indonesia juga

mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran

strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Kejaksaan berada diporos yang menjadi

filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai

pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan.13 Lembaga Kejaksaan sebagai

pengendali proses perkara (Dominus Litis), karena hanya Institusi Kejaksaan yang dapat

menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tdak berdasarkan

alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.

Jaksa menurut ketentuan undang-undang adalah Penuntut Umum yang diberikan

kewenangan melaksanakan atau menjalankan kebijaksanaan dalam melakukan

penuntutan perkara-perkara pidana kepengadilan yang berwenang sedangkan

kewenangan lain dari kejaksaan dari Undang-undang Nomor 15 tahun 1961 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, kemudian diperbaharui

dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan

13
Pasal 30 Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 67
15

pembaharuan terakhir dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai Tugas dan

Wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum yaitu pada pasal 35

huruf c dan menurut penjelasannya disebutkan bahwa, mengesampingkan perkara

merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung

setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang

mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Hal ini berarti kewenangan

mengesampingkan perkara hanya ada pada Jaksa Agung dan bukan pada jaksa dibawah

Jaksa Agung.14

Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum masih saja ditemukan didaerah

Republik Indonesia dengan mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan anak.

Penyebabnya antara lain karena kurangnya sosialisasi peraturan perundang-undangan,

sehingga pemahaman dan pelaksanaan penanganan anak yang berkonflik dengan hukum

masih bervariasi dan cenderung menggunakan persepsi yang berbeda dan terbatasnya

sarana dan prasarana penanganan anak yang berkonflik dengan hukum. Sehubungan

dengan penangan anak yang berkonflik dengan hukum sangat dibutuhkan adanya

persamaan persepsi antara penegak hukum dalam penanganan anak yang berkonflik

dengan hukum sehingga akan terwujudlah sistem peradilan yang terpadu, senada

dengan wacana tersebut para aparat penegak hukum telah membuat suatu kesepakatan

dengan surat keputusan bersama tertanggal 22 Desember 2009 yaitu antara ketua

Mahkamah Agung Republik, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia, Mentri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Mentri

14
Penjelasan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diundangkan tanggal 1
desember 1981
16

Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak Republik Indonesia Tentang penanganan anak yang berhadapan

dengan hukum.

Sehubungan dengan di tandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang

anak yang berhadapan dengan hukum kemudian dari pihak kejaksaan menindaklanjuti

dengan menerbitkan Surat Edara Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum / SE

JAMPIDUM No. B-363/E/EJP/02/2010 tanggal 25 Februari 2010 tentang petunjuk

teknis penanganan Anak yang Berhadapan dengan hukum.

Surat edaran JAMPIDUM tersebut ternyata tidak ada kebijakan mengenai

konsep diversi sehingga tidak terdapat dasar peluang jaksa untuk melakukan diversi

pada anak yang berhadapan dengan hukum sesuai yang tertuang didalam aturan Beijing

Rules, namun setelah di Undangkan sistem peradilan anak yang terbaru yaitu Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 serta petunjuk teknik khusus pada tingkat penuntut

umum dengan di terbitkan Peraturan Jaksa Agung No 006/A/J.A/2015 Tentang

Pedoman Pelaksanaan Diversi pada Tingkat Penuntutan yang didalamnya terdapat

aturan mengenai pelaksanaan Diversi, dan dalam aturan tersebut adalah merupakan

secercah harapan bagi seluruh Rakyat yang menantikan keadilan khususnya bagi

perkara anak yang berhadapan dengan hukum, dimana mengingat semakin

meningkatnya terus tindak pidana yang dilakukan anak dibawah umur di Negara

Repbulik Indonesia oleh sebab itu untuk mengendalikan tingkat kejahatan dan

melindungan hak-hak anak yang rentan pada diskriminasi konsep diversi sangat ideal

untuk mengalihkan proses peradilan dari sistem peradilan formal ke sistem peradilan

informal.
17

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam latar belakang diatas, bahwa anak

adalah anugerah dari sang pencipta yang memiliki cirri kahs yang belum sempurna baik

dari segi jasmani dan rohani sehingga memerlukan perlindungan baik dari keluarga,

masyarakat dan pemerintah agar dapat dilindungi apabila anak tersebut berhadapan

dengan hukum akibat konflik yang dihadapi sesuai dengan konsep diversi sebagaimana

tertuang dalam Beijing rules dan Undang-Undang Sistem Perlindungan Anak yaitu

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, sehingga dari latar belakang tersebut, penulis

membuat perumusan masalah dalam tulisan ini yaitu sebagai berikut :

1. Mengapa anak yang berkonflik dengan hukum harus diterapkan Diversi?

2. Bagaimana penerapan diversi pada tingkat kejaksaan terhadap anak yang

berkonflik dengan hukum di Kejaksaan Negeri PadangSidimpuan di Sibuhuan?

3. Kendala apa saja yang dihadapi dalam penerapan diversi di tingkat Kejaksaan

Negri PadangSidimpuan di Sibuhuan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan pokok-pokok permasalahan seperti yang

dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisa mengapa anak yang berkonflik dengan hukum harus

diterapkan Diversi.

2. Untuk mengetahui penerapan diversi Pada tingkat kejaksaan terhadap anak yang

berkonflik dengan hukum di Kejaksaan Negeri PadangSidimpuan di Sibuhuan.

3. Untuk mengetahui Kendala apa saja yang dihadapi dalam penerapan diversi di

Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan di Sibuhuan.


18

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi teoritis yakni :

1. Memberikan pemahaman bagaimana penerapan konsep Diversi yang dilakukan

aparat penegak yang dalam penelitian penulis focus menekankan pada peran

jaksa terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia.

2. Memberikan pemahaman mengenai kendala-kendala yang dihadapi oleh aparat

penegak hukum dalam proses Diversi khususnya di daerah Pengadilan Negeri

Padangsidimpuan di Sibuhuan.

3. Memberikan pemahaman baik kepada masyarakat maupun pemerintah dalam hal

anak yang berkonflik dengan hukum harus diprioritaskan Diversi.

2. Manfaat Praktek

Secara praktek penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada instansi-

instansi terkait baik eksekutif, yudikatif maupun legislatif untuk memberikan

perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum agar dapat diselesaikan dengan

baik tanpa harus mengorbankan hak-hak anak.

E. Keaslian Penelitian

Kegiatan manusia dari masa kemasa terus berkembang pesat seiring dengan

diikuti oleh perkembangan hukum, oleh sebab itu diperlukan penelitian hukum.

Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di perpustakaan

Universitas Sumatera Utara (USU), bahwa penelitian mengenai “Analisa Yuridis

Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana di Tinjai Menurut UU

Nomor 11 Tahun 2012” belum pernah dilakukan, maka penelitian ini dapat
19

dikategorikan sebagai penelitian yang baru, keasliannya pun dapat

dipertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuasa keilmuan, kejujuran rasioanl,

objektif, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

Penelusuran kepustakaan di Universitas Sumatera Utara (USU), ada beberapa

judul yang berkaitan dengan penerapan Diversi terhadap anak yang berkonflik dengan

hukum, seperti judul tesis tentang “Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice

dalam tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak (Studi di kota Medan)”, oleh

Bob Sadiwijaya, Tahun 2009, lalu tesis yang berjudul “Mekanisme Diversi dan

Restorative Justice terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (abh) di kepolisian

daerah Sumatera Utara”, oleh Muslim Harahap, Tahun 2010, lalu tesis yang berjudul, “

Analisa Yuridis Diversi terhadap anak yang melakukan penyalahgunaan Narkotika di

tinjau dari UU Nomor 35 Tahun 2009”, oleh Melrina Rohani Banjarnahor, Tahun 2011.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konseptual

1. Kerangka Teori

Terkait dengan rumusan yang diajukan dan untuk menjawab permasalahan

sebagaimana yang diuraikan diatas peneliti mengacu kepada teori-teori sebagai berikut:

a. Teori Restorative Justice

Teori Restorative Justice adalah suatu teori keadilan yang menekan pada suatu

pemulihan pada keadaan semula sebelum terjadinya tindak pidana,


20

Teori Restorative Justice dikembangkan oleh seorang ahli kriminologi yang

berkebangsaan Inggris Tony F. Marshal yang dalam tulisannya mengemukakan definisi

dari Restorative Justice adalah :15

“restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a

particular offence come together to resolve collectively how to deal with the
aftermath of the offence and its implications for the future” (restorative justice
adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam
penyelenggaraan tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan akibat dari
pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan).

Teori restorative justice merupakan suatu teori mengenai proses penyelesaian

perkara yang dilakukan diluar pengadilan formal. restorative justive mempunyai cara

berfikir dan pardigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan

oleh seseorang manusia tanpa semata-mata memberikan hukum pidana. Penanganan

terhadap tindak pidana dapat dilakukan dengan memperhitungkan pengaruh yang lebih

luas terhadap korban, pelaku dan masyarakat. 16 Teori ini memandang bahwa kejahatan

ini terjadi bukan hanya tanggung jawab negara akan tetapi tanggung jawab masyarakat,

oleh karena itu teori ini mengandung makna yang mendalam bahwa kejahatan yang

menimbulkan kerugian harus dipulihkan kerugian yang ditanggung oleh masyarakat.

Pemulihan ini bisa dilakukan dengan bentuk ganti kerugian dalam arti yang material

karena bila dituntut untuk pemulihan pada keadaan semula pada contoh kasus pidana

penganiayaan yang mengakibatkan luka cacat permanen akan menyulitkan oleh para

pelaku kejahatan, dan yang lebih penting lagi pelaku kejahatan yang dalam hal ini

adalah anak-anak, harus diperhatikan status dan kondisinya bukan sebagai orang

dewasa, sehingga pada teori restorative justive bukan hanya memperhatikan kondisi si

15
Marlina,”Pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum pidana/Marlina”,
Op.Cit, hal 28
16
Ibid, hal 39-40
21

korban tetapi kondisi si pelaku juga harus di perhatikan dengan berdasarkan

kepentingan yang terbaik bagi anak atau pelaku tersebut, sesuai dengan aturan hukum

Indonesia yang telah meratifikasi dari Convention On the Rights of the Child dengan

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Convention On the

Rights of the Child, yang didalam aturan tersebut terdapat beberapa prinsip yang penting

yang salah satunya adalah Prinsip The Best Interest of the Child atau prinsip

kepentingan terbaik bagi anak,

Prinsip The Best Interest of the Child adalah suatu prinsip yang sangat penting

dalam perlindungan bagi anak, dimana semua tindakan yang dilakukan oleh anak dalam

melakukan perbuatan hukum harus berdasarkan kepentingan yang terbaik semata bagi

anak tersebut.

Prinsip ini dilegitimasi dari prinsip-prinsip yang tertera didalam Convention On

the Rights of the Child, 20 November 1989. Dalam konvensi hak anak tersebut, terdapat

prinsip kepentingan terbaik bagi anak yang dirumuskan dalam Article 3 point 1 yang

menyatakan :

In all action concerning children, whether undertaken by public or private


sosial welfare institutions, court of law, administrative authorities or legislative
bodies, the best interests of the child shall be a primary consideration.

(Semua tindakan yang menyangkut anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga


kesejahteraan pemerintah atau swasta, pengadilan, penguasa-penguasa
pemerintah, atau badan-badan legislatif, maka kepentingan yang terbaik bagi
anak harus menjadi pertimbangan utama).

Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggara perlindungan anak

bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkut masa

depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat pada kepentingan
22

orang dewasa. Apa yang menurut orang dewasa baik, belum tentu baik pula menurut

ukuran kepentingan anak. Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan dan

menolong, tetapi yang sungguhnya terjadi penghancuran masa depan anak17.

Judul besar didalam konvensi tersebut telah ada tercantum didalam konstitusi

Negara Republik Indonesia. Pasal 28 B ayat(2) Undang-Undang Dasar 1945 telah

memberikan perlindungan terhadap anak dengan menyatakan bahwa “setiap anak

berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas

perlindungan atas kekerasan dan diskriminasi”, sehubungan dengan itu beberapa

undang-undang yang telah diberlakukan misalnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak (UUPA), diterbitkan sebagai undang-undang payung

(umbrella’s law) yang secara langsung mengatur hak-hak anak.18 Dalam pasal 2

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak disebutkan bahwa :

Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan pancasila dan berlandaskan


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-
prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:
a. non diskriminasi ;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak ;
c, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan ; dan

d. penghargaan terhadap pendapat anak.

b. Teori Sistem Hukum (legal system)

Menurut Lawrence M Friedman, system hukum (legal system) memiliki

cakupan yang luas dari hukum itu sendiri. Kata “hukum” sering mengacu pada aturan

dan peraturan. Padahal menurut Friedman sistem hukum membedakan antara aturan dan

peraturan, struktur serta lembaga dan proses dalam sistem itu. Bekerjanya hukum dalam

17
Hadi Supeno, “Kriminalisasi Anak”, 2010, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.56
18
Muchin, “Perlindungan Anak dalam Prespektif Hukum Positif”, 2011, Jakarta, Mahkamah
Agung RI, hal.1
23

suatu sistem ditentukan oleh tiga unsur, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi

hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).19

Struktur hukum (legal structure) merupakan kerangka berpikir yang

memberikan definisi dan bentuk bagi bekerjanya sistem yang ada dengan batasan yang

telah ditentukan. Jadi struktur hukum (legal structure) dapat dikatakan sebagai institusi

atau lembaga yang menjalankan penegakan hukum dengan segala proses yang ada

didalamnya. Dalam sistem peradilan (criminal justice system) struktur hukum (legal

structure) yang menjalankan proses peradilan pidana adalah kepolisian, kejaksaan,

kehakiman dan lembaga pemasyarakatan.

Substansi hukum (legal substance) merupakan aturan, norma dan pola perilaku

manusia yang berada di dalam sistem hukum. Substansi hukum (legal substance) berarti

produk yang dihasilkan oleh orang yang berada didalam sistem hukum itu, baik berupa

keputusan yang telah dikeluarkan maupun aturan-aturan baru yang hendak disusun.

Substansi hukum (legal substance) tidak hanya pada hukum yang tertulis (law in the

book), tetapi juga mencakup hukum yang hidup didalam masyarakat (the living law).

Budaya hukum (legal culture) merupakan sikap manusia terhadap hukum dan

sistem hukum. Sikap masyarakat ini meliputi kepercayaan, nilai-nilai, ide-ide serta

harapan masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum. Budaya hukum juga

merupakan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum dilaksanakan, dihindari

atau bahkan bagaimana hukum itu disalahgunakan.

Ketiga unsur sistem hukum tersebut berhubungan satu sama yang lain dan

mempunyai peran yang tidak dapat dipisahkan satu per satu. Ketiga unsur ini

19
Marlina. “Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan konsep DIversi dan Restorative
Justice,Op.Cit., hal.13
24

merupakan satu kesatuan yang menggerakkan sistem hukum yang ada agar berjalan

dengan lancar. Sebagai perumpamaan, stuktur hukum (legal struktur) merupakan mesin

yang menghasilkan sesuatu, substansi hukum (legal substance) merupakan produk yang

dihasilkan oleh mesin, dan budaya hukum (legal cultare) merupakan orang yang

memutuskan untuk menjalankan mesin serta membatasi penggunaan mesin. Sehingga

apabila salah satu dari ketiga unsure sistem hukum ini tidak berfungsi, maka akan

menyebabkan subsistem lainnya terganggu.20

Teori sistem hukum Friedman kemudian menuangkan suatu konsep keterpaduan

sistem peradilan pidana di Indonesia dan juga termasuk dalam Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) sebagai pengganti dari

sistem peradilan anak yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, didalam

Undang-Undang Sistem Peradilan yang terbaru sudah memuat pembaharuan yang tidak

terdapat di undang-undang yang lama yaitu salah satunya sistem Diversi yang

memungkinkan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum seperti disamakan

dengan orang yang dewasa saat berhadapan dengan hukum.

Sistem hukum terlihat mulai dari stuktur hukum (legal structure) yang sudah

mulai ada keterkaitan antara satu instansi ke instansi yang lain yaitu mulai dari

kepolisian sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penuntut, kehakiman sebagai penentu

putusan serta lembaga pemasyarakatan sebagai tempat untuk menjalani hukum.

Substansi hukum (legal substance) sudah tertuang dengan pembaharuan undang-

undang sistem peradilan anak dari Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 menjadi

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang lebih menekankan pada kepentingan

terbaik bagi anak (the best interest of the Child) yang sedang berkonflik dengan hukum
20
Ibid., hal.15
25

serta korban melalui pendekatan restorative justice dengan menerapkan sistem diversi

yang telah memiliki paying hukum yaitu pada pasal 5 disebutkan :

(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restorative
(2) Sistem Peradilan Pidana anak sebagaimana dimaksud dengan ayat (1) meliputi :
a) Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali di tentukan lain dalam
Undang-Undang ini ;
b) Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan dilingkungan peradilan
umum; dan
c) Pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan/atau pendampingan selama proses
pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dan b wajib di upayakan diversi.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang SPPA juga disebutkan bahwa:

“pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan

negeri wajib di upayakan diversi”.

Budaya hukum (legal culture) adalah sebagai sikap manusia terhadap hukum

dan sistem hukum tersebut baik dari segi aparat atau instansi yang menjalani hukum

itu yang terdapat dalam struktur hukum (legal structure) dan aturan-aturan atau

norma-norma yang tertuang dalam sebuah undang-undang yang dihasilkan oleh

pemerintah yang termasuk dalam substansi hukum (legal substance). Pada budaya

hukum inilah masyarakat dapat melihat apakah suatu aturan tersebut terasa adil atau

tidak serta dapat dipatuhi atau tidak dan dari dasar itu juga para pembuat perundang-

undangan melakukan pembaharuan pada sistem peradilan pidana dari Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997 menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, dimana

masyarakat pada undang-undang yang lama terasa ketidakadilan bagi anak yang

berhadapan dengan suatu aturan baru yang memungkinkan hak-hak anak diperoleh

dengan adil dan dapat menjalankan hukumnya tanpa harus melakukan pidana penjara

sebagai konsekwensi hukuman yang terakhir yaitu dengan mengalihkan penyelesaian


26

perkara anak dari proses diversi dengan mengalihkan penyelesaian perkara anak dari

proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.21

Alasan teori ini digunakan sebagai pisau analisis adalah karena sangat tepat

digunakan untuk melihat dan memudahkan pemecahan masalah yang ada hukum

dimana pada penerapan proses peradilannya disamakan dengan orang dewasa dan ada

beberapa hak anak yang tidak diperoleh bagi anak yang berkonflik dengan hukum,

sehingga perlu dari berbagai sub sistem, baik dari proses kebijakan pemidanaannya,

substansinya, strukturnya dan kulturnya. Teori menggunakan jalan pikiran menurut

kerangka yang logis, artinya mendudukan masalah penelitian yang telah dirumuskan

didalam kerangka teori yang relevan dan mampu menerangkan permasalahan tersebut.22

2. Landasan Konseptual

Untuk memberikan pemahaman yang sama atas istilah-istilah yang dipakai

dalam penelitian ini, penelitian ini, peneliti memberikan pengertian-pengertian

operasional terhadap istilah-istilah tersebut yaitu :

a) Anak yang berhadapan dengan hukum, menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 yang selanjutnya disebut dengan anak adalah anak yang telah berumur 12

(dua belas) tahun, tepai belum berumur 18(delapan belas) tahun yang diduga

melakukan tindak pidana23

21
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana Anak
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153
22
Made Wirata, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis (Yogyakarta : Andi,
2006)., Hal.23
23
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana Anak
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153
27

b) Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana

ke proses di luar peradilan pidana24

c) Penerapan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu proses, cara ,

perbuatan untuk menerapkan, pemasangan, pemanfaatan dan perihal

mempraktekkan .25

d) Tindak pidana, menurut pendapat para ahli hukum yaitu :

Simons seorang guru besar ilmu hukum pidana di Universitas Utrecht

berpendapat bahwa:” Tindak pidana atau “strafbaar feit” adalah perbuatan

melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang

mampu bertanggung jawab. Kesalahn yang dimaksud disini adalah kesalahan

dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan lalai).26

e) Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara

Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan

tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.27

G. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Penelitian ini digunakan jenis metode penelitian yurudis-normatif yaitu dengan

pendekatan perundang-undangan yang merupakan pedekatan utama dengan penelitian

ini karena yang menjadi pusat utama dari penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor

24
Ibid, Pasal 1 Angka 7
25
http://kbbi.web.id/index.php?w=penerapan, di Akses pada tanggal 24 Maret 2015
26
Marlina, “Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep DIversi dan Restorative
Justice,op.cit.,hal.75
27
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak Lembaran Negara Repbulik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153
28

11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak dan studi kasus Putusan Penetapan

Diversi di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan di Sibuhuan No:

01/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Psp.

2. Sifat Penelitan

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analisa, yaitu suatu

penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan dan

menganalisa data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat tentang Analisa

Yuridis terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana di tinjai menurut Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012, dengan studi kasus PUTUSAN PENETAPAN DIVERSI

PENGADILAN NEGERI PADANG SIDIMPUAN DI SIBUHUAN No:

01/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Psp.

3. Bahan Penelitian

Bahan hukum dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer dan

sekunder,serta bahan hukum tersier namun penelitian ini menitiberatkan pada bahan

hukum primer, sedangkan bahan hukum skunder dan tersier lebih menunjang. bahan

hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta

bahan hukum tersier. Untuk bahan hukum primer menekankan pada peraturan

perundang-undang yang berlaku di Indonesia. Adapun bahan hukum primer yang

digunakan dalam penelitian ini berupa Konvensi Hak Anak (KHA), Undang-Undang

Dasar 1945 amandemen ke 4, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak (SPPA), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia (HAM) dan keputusan penetapan Pengadilan Negeri Padangsidimpuan

di Sibuhuan Nomor: 01/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Psp. Sedangkan bahan hukum skunder


29

melipurti rencangan peraturan perundang-undangan serta pendapat para ahli dalam hasil

penelitian, dan bahan hukum tersier meliputi kamus besar bahasa Indonesia dan kamus-

kamus hukum.

4. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data pada penelitian normatif ini dengan mengumpulakan

data melalui studi literatur (Studi kepustakaan) dengan meneliti seluruh peraturan

perundang-undangan termasuk buku-buku hukum yang terkait dengan masalah diversi

anak di Indonesia.

5. Analisa data

Data yang diperoleh disajikan secara kualitatif, penganalisaan data tersebut

dilakukan secara kualitatif dengan menganalisa deskriptif. Penganalisa deskriptif ini pun

bertitik tolak dari analisa-normatif yang untuk pendalamannya dikaitkan dengan

putusan penetapam Pengadilan Negeri Padangsidimpuan di Sibuhuan Nomor:

01/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Psp.

6. Pendekatan dalam penelitian

Pendekatan dalam penilitian ini menggunakan Pendekatan undang-undang

(statute approach) yang dilakukan dengan mengkaji semua undang-undang dan

pengaturan yang bersangkut paut dengan isu hukum mengenai Diversi anak serta

mengkaitkan pertaturan tersebut tehadapat putusan pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum yang tetap.


30

BAB II
ALASAN-ALASAN YANG MENJADI DASAR ANAK YANG SEBAGAI
PELAKU TINDAK PIDANA PERLU DITERAPKAN DIVERSI

A. Kreteria/ Syarat Penerapan Diversi

Sebelum lahirnya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak No. 11 Tahun

2012, pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum awalnya didasari kewenangan

diskresi. Menurut Kamus Hukum, diskresi berarti kebebasan mengambil keputusan

dalam setiap situasi yang dihadapinya menurut pendapatnya sendiri. 28 Diskresi

diperlukan sebagai pelengkap dari asas legalitas yaitu asas hukum yang menyatakan

setiap tindakan atau perbuatan administrasi Negara harus berdasarkan ketentuan undang-

undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang-undang untuk mengatur segala macam

kasus posisi dalam praktik kehidupan sehari-hari. Penyidik, penuntut umum, atau badan-

badan lain yang menangani perkara anak akan diberi kuasa untuk memutuskan perkara

demikian, menurut diskresi mereka tanpa menggunakan pemeriksaan awal yang formal,

sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-

masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip di dalam peraturan-peraturan ini.

Menurut catatan sejarah di Inggris, seorang polisi telah lama melakukan diskresi

dan mengalihkan anak kepada proses non formal seperti pada kasus penanganan

terhadap anak-anak yang mempergunakan barang mainan yang membahayakan orang

lain. Catatan pertama kali dilakukannya perlakuan khusus untuk anak atas tindak

pidananya adalah pada tahun 1833, yakni dengan melakukan proses informal diluar

peradilan. Selanjutnya dibuat pemisahan peradilan untuk anak-anak dibawah umur yang

diatur dalam Children Act tahun 1908. Menurut Aturan Childre Act tahun 1908 polisi

28
JCT Simorangkir dkk, 2008, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal 38
31

diberi tugas menangani anak sebelum masuk ke pengadilan dengan lebih memperhatikan

pemberian kesejahteraan dan keadilan kepada anak pelaku tindak pidana. Pemberian

perlakuan khusus terhadap anak pelaku tindak pidana ini termasuk dalam program

diversi.

Di Inggris perkembangan pelaksaan diversi terhadap anak terus dilaksanakan

sampai akhirnya tercatat akhir abad ke-19 yaitu, negara Inggris yang merupakan negara

yang paling banyak melakukan diversi terhadap anak dengan menggunakan peradilan

khusus untuk anak atau pengadilan anak.29

Diversi atau diversion pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan

pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana Australia

(President Crime Commission) di Amerika Serikat pada tahun 1960. Sebelum

dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk seperti diversi telah

ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak (children’s courts)

sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi

polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning). 30

Setelah Lahirnya Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, terdapat kreteria/ Alasan yang menjadi dapat bagi anak sebagai pelaku

tindak pidana dapat dilaksanakan Diversi yaitu tercantum didalam pasal 7 yang

berbunyi:

(1) “pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di


pengadilan negeri wajib diupayakan diversi”.

(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan:

Marlina, ”Pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum pidana/Marlina”,
29

Op.Cit., hal 24
30
Ibid., hal.10
32

1. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan


2. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Selain Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang No 11 Tahun 2012 terdapat 1(satu)

Syarat lagi bagi aparat penegak hukum dapat menerapkan diversi yaitu sesuai dengan

bunyi pasal 1 Angka 3 disebutkan bahwa:

“Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah

anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)

tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”

Pasal tersebut secara tersirat menyatakan bahwa dikatakan yang yang berkonflik

dengan hukum adalah anak yang telah 12 hingga 18 Tahun saat melakukan tindak

pidana, sehingga anak yang masih berumur dibawah 12 tahun tidak dapat dilakukan

diversi atau hanya dilakukan tindakan seperti yang tertuang didalam Peraturan

Pemerintah No 65 Tahun 2015 pada pasal 67 yaitu disebutkan bahwa :

“Dalam hal Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau
diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan
Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani
bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk waktu
paling lama 6 (enam) bulan.”

Pasal 70 Peraturan Pemerintah No 65 Tahun 2015 juga menyebutkan hal yang sama
yaitu :
“Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun yang melakukan atau

diduga melakukan tindak pidana dapat ditempatkan pada orang tua/Walinya,

instansi pemerintah, atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan

sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah.”


33

Perlu diperhatikan terkait diversi ini adalah faktor – faktor penggunaan diversi

dalam penyelesaian perkara pidana anak, dalam Undang – Undang No. 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dan dirumuskan dalam ketentuan

Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang

berbunyi:

“Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus


Mempertimbangkan:
a. Kategori tindak pidana;
b. Umur Anak;
c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan
d. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.”
Dapat ditarik kesimpulan dalam penulisan ini secara normatif ada 3 (tiga)

hal yang menjadi dasar atau syarat seorang anak yang sebagai pelaku tindak pidana

dapat diterapkan Diversi yaitu :

1. Anak pelaku tindak pidana tersebut harus telah berusia 12 (dua belas)

Tahun;

2. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan

3. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana

Pelaksanaan proses diversi tersebut didasarkan atas dukungan administrasi

lembaga penegak hukum yang mempunyai tanggung jawab masing-masing.31 Ide diversi

tersebut diambil dari dalam United Nations Standard Minimum Rules for the

Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules (Resolusi Majelis

Umum PBB 40/33 tanggal 29 November 1985), dimana diversi (Diversion) tercantum

dalam Rule 11,1, 11.2 dan Rule 17.4 yang terkandung pernyataan bahwa anak yang

berkonflik dengan hukum harus dialihkan ke proses informal seperti mengembalikan

31
Ibid, hlm. 167
34

kepada lembaga sosial masyarakat baik pemerintah atau non-pemerintah.

B. Proses Diversi ditingkat pemeriksaan

Pasal 1 angka 7 UU SPPA disebutkan bahwa :

“Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan

pidana ke proses di luar peradilan pidana.”

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak telah mengatur tentang Diversi

yang berfungsi agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak terstigmatisasi akibat

proses peradilan yang harus dijalaninya. Penggunaan mekanisme diversi tersebut

diberikan kepada para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga lainnya) dalam

menangani pelanggar-pelanggar hukum yang melibatkan anak tanpa menggunakan

pengadilan formal. Penerapan Diversi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dampak

negatif keterlibatan anak dalam suatu proses peradilan.

1. Proses Ditingkat Kepolisian

Laporan Masyarakat UU SPPA – Penyidik POLISI Diversi 30 Hari

Forum Musyawarah /Mediasi Penal


RESTORATIVE JUSTICE
( PENYIDIK ANAK ,PK BAPAS, ANAK ,
ORTU,
PH/PENDAMPING,KORBAN/ORTU
Penetapan
TOKOH MASY.)
KPN

Laporan
Tidak
Penyidik MOU Berhasil
BA/MOU Berhasil

Keluar SP-3
Pemulihan Berkas dilimpahkan
ke Kejaksaan
35

Pasal 7 Ayat (1) Undang- Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak memberikannya kewenangan kepada kepolisian selaku penyidik untuk

melaksanakan diversi terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana.

Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif

terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan

pidana. Dengan penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal yang ada selama ini

lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak dari tindakan

pemenjaraan. Selain itu terlihat bahwa perlindungan anak dengan kebijakan diversi

dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari masyarakat sebelum terjadinya

tindak pidana dengan melakukan pencegahan. Setelah itu jika ada anak yang

melakukan pelanggaran maka tidak perlu diproses ke polisi. Berkaitan dengan hal

tersebut berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk kepentingan penyidikan, pihak Kepolisian

sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan yang selanjutnya melakukan

penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti

permulaan yang cukup. Sejalan dengan diberlakukannya Undang - Undang Nomor 11

Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, telah dipertegas bahwa penyidikan

terhadap perkara anak yang berhadapan dengan hukum (anak nakal) dilakukan oleh

penyidik Polri dengan dasar hukum Pasal 26 Undang-Undang No 11 Tahun 2012.

Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak Tentang Pengadilan Anak dikenal adanya penyidik anak, penyidik yang

berwenang melakukan penyidikan terhadap perkara pidana anak. Penyidik anak

diangkat oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Khusus untuk kepentingan tersebut.
36

Untuk dapat diangkat sebagai penyidik anak, Undang – Undang No. 11 Tahun 2012

melalui Pasal 26 Ayat (3) menetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh seorang

anggota Kepolisian Republik Indonesia adalah :

1. Telah berpengalaman sebagai penyidik;


2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak;
3. Telah Mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.

Berdasarkan syarat- syarat yang harus dipenuhi di dalam proses penyidikan

anak, penyidik anak dituntut lebih peka terhadap hak – hak anak, akibat- akibat dari

tindakan yang akan dilakukannya terhadap anak berhadapan hukum khusunya dalam hal

ini anak nakal demi kepentingan terbaik bagi anak salah satunya melakukan diversi

melalui kewenangan diskresi kepolisian atau tetap melanjutkan perkara ke tahap

penuntutan. Melalui kewenangan diskresi yang dimiliki kepolisian, seharusnya dapat

menjadi dasar penyidik untuk melakukan diversi dalam penyelesaian perkara tindak

pidana yang dilakukan oleh anak lebih didasarkan pada kedudukan kepolisian sebagai

lembaga penegak hukum yang pertama dan langsung berhubungan dengan masyarakat,

polisi pada dasarnya mempunyai potensi yang demikian besar untuk merubah kultur

masyarakat. Kewenangan dan otoritas polisi apabila dikemas secara dinamis akan

menjadi sarana bagi polisi dalam membangun masyarakat. Salah satu pedoman yang

dinilai dapat menjadi pegangan penyidik Polri dalam menerapkan konsep diversi dalam

menangani anak yang berhadapan dengan hukum adalah Peraturan Kabareskrim Polri

Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Standart Operasional Prosedur Penanganan Anak Yang

Berhadapan Hukum di Lingkungan Badan Reserse Kriminal yang memberi petunjuk

dan aturan tentang teknik diversi yang dapat dilakukan terhadap anak yang

berhadapan dengan hukum. Peraturan Kabareskrim Polri Nomor 1 Tahun 2012 ini
37

terbentuk karena di dalam penanganan perkara pidana anak penyidik kepolisian di masa

depan dan sejalan dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, selain itu keberadaan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002

Tentang Kepolisian yang didalamnya terdapat Pasal yang secara implicit relevan dengan

adanya tindakan kepolisian untuk melakukan diversi melalui kewenangan diskresi

kepolisian yaitu Pasal 16 – 18 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia yang membahas masalah Diskresi Kepolisian.

Diversi dapat diartikan pengalihan kasus-kasus yang berkaitan dengan anak

yang disangka telah melakukan pelanggaran diluar prosedur peradilan formal dengan

atau tanpa syarat-syarat tertentu. Berdasarkan uraian di atas dalam hal anak yang

berhadapan dengan hukum,anak yang berkonflik dengan hukum atau anak sebagai

pelaku tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui jalur diversi.

Didalam Peraturan Kabareskrim Polri Nomor 1 Tahun 2012 tentang Standart

Operasional Prosedur Penanganan Anak Berhadapan Hukum juga mengatur bagaimana

prosedur kerjasama koordinasi penanganan perkara anak berhadapan hukum. Di dalam

pelaksanaan diversi penyidik berperan sebagai leading sector yang berperan aktif di

dalam penyelesaian perkara pidana anak melalui diversi dengan melakukan koordinasi

dengan lembaga-lembaga pemerhati anak sebagai pendamping. Hal ini mengingat polisi

merupakan lembaga peradilan pertama yang harus dihadapi oleh anak berhadapan

hukum.

Kebijakan yang dibentuk oleh Kepolisian Republik Indonesia tentang SOP

penanganan anak berhadapan hukum melalui upaya diversi yang tercermin di dalam

Perkabareskrim Polri Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Standart Operasional Penanganan


38

Anak Berhadapan Hukum merupakan peraturan internal kepolisian yang di dalamnya

konsiderannya mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak.

2. Proses Ditingkat Kejaksaan

Forum Musyawarah
Kepala kejaksaan /Mediasi RESTORATIVE
Berkas di Terima Diversi 30 JUSTICE
oleh Kejaksaan menunjuk Jaksa
Hari ( POLISI, BAPAS, ANAK ,
Anak
ORTU,
PH/PENDAMPING,KORBA

Penetapan
KPN Diversi
Laporan MOU Tidak
JPU/ Berhasil Berhasil
BA/MOU

JPU Berkas
Keluarkan Dilimpahkan
SP-3 kepengadilan

Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau

menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana telah

mengatur tentang diversi yang berfungsi agar anak yang berhadapan dengan hukum

tidak terstigmatisasi akibat proses peradilan yang harus dijalaninya. Hal ini sesuai

dengan yang tercantum Pasal 7 ayat (1) serta didalam Undang - Undang Nomor 11

Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Tentang Pengadilan Anak dikenal

juga adanya penunutut anak, Penuntut anak yang berwenang melakukan Penuntutan

terhadap perkara pidana anak. Penunutut anak ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa
39

Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Untuk dapat diangkat sebagai

penunutut anak, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 melalui Pasal 41 Ayat (2)

menetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Penuntut Umum adalah :

“(2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum Sebagai dimaksud
pada ayat (1) meliputi :

a) Telah berpengalaman sebagai penuntut umum;


b) Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak;
dan
c) Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.”

Sejalan dengan diterbitkannya Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang

sistem peradilan Pidana Anak, pada tingkat kejaksaan hal senanda juga telah di

rumuskan untuk membuat suatu petunjuk teknis bagi Penuntut Umum di seluruh

wilayah Indonesia agar mempunyai pedoman dalam mengahdapi anak sebagai pelaku

tindak pidana yaitu Peraturan Jaksa Agung No 6 Tahun 2015 tentang Pedoman

Pelaksanaan Diversi pada Tingkat Penuntut Umum, yang di Undangkan Pada tanggal

27 April 2015.

Pedoman ini dimaksudkan sebagai acuan bagi Penuntut Umum dalam

penyelesaian perkara Anak pada tingkat Penuntutan, yaitu dengan melaksanakan

kewajiban mengupayakan proses penyelesaian di luar peradilan pidana melalui Diversi

berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.32

Pedoman ini bertujuan untuk terciptanya persamaan persepsi dan adanya

keseragaman standar teknis maupun administrasi yang berlaku bagi seluruh Penuntut

Umum dalam melaksanakan proses Diversi pada tingkat Penuntutan.33

32
Maksud dan Tujuan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-
006/A/J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntut Umum
33
Ibid
40

3. Proses Ditingkat Pengadilan

Berkas di Terima KPN Menunjuk


Pengadilan Hakim Anak Diversi 30 Hari Forum Musyawarah
Negeri /Mediasi RESTORATIVE
JUSTICE
( HAKIM, PK BAPAS, ANAK ,
ORTU,
Penetapan PH/PENDAMPING,KORBAN
Laporan /ORTU TOKOH MASY.)
KPN
HAKIM/
(Diversi)
BA/MOU MOU
Berhasil
Tidak
KPN Berhasil
Keluarkan
Penetapan
Penghentian Sidang
Pemeriksaan Dilanjutkan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,

sudah memiliki Payung hukum bagi hakim secara bebas untuk melakukan diversi sesuai

petunjuk pasal 7, dan didalam Undang-Undang itu juga terdapat syarat dan proses

penunjukan hakim yang khusus menangani perkara anak yang tercantum dalam pasal 43

Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tenga Sistem Peradilan Pidana Anak, yang

disebutan bahwa :

1) Pemeriksaan di siding pengadilan terhadap perkara anak dilakukan oleh


hakim yang ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung
atau pejabat lain yag ditunjuk oleh ketua Mahkamah Agung atas usul
Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui ketua pengadilan
tinggi.
2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi :
a) Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan
umum;
41

b) Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah


anak; dan
c) Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.

Sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tersebut,

Mahkamah Agung juga telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No 4 Tahun

2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang

dikeluarkan pada tanggal 24 Juli 2014 dengan berita Negara Republik Indonesia Tahun

2014 Nomor 1052.

Pada Peraturan Mahkamah Agung No 4 Tahun 2014 tersebut telah memberikan

payung hukum secara khusus bagi seluruh Hakim di Repbulik Indonesia untuk

menyelesaikan perkara anak yang berhadapan dengan hukum sesuai dengan pasal 2

yaitu :

“ Diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun

tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun

meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) Tahun, yang diduga

melakukan tindak pidana.”

Pelaksanaan diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana

terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak

menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan

memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak

dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan

pidana. United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile

Justice ("The Beijing Rules")(Office of the High Commissioner forHuman Rights, 1985)

butir 6 dan 11 terkandung pernyataan mengenai diversiyakni sebagai proses pelimpahan


42

anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke proses informal

seperti mengembalikan kepada lembagasosial masyarakat baik pemerintah atau non

pemerintah.34

Pertimbangan dilakukan diversi oleh pengadilan yaitu filosofi sistem peradilan

pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi (protection and rehabilitation) anak

pelaku tindak pidana. Tindakan diversi juga dilakukan sebagai upaya pencegahan

seorang pelaku anak menjadi pelaku kriminal dewasa. Usaha pencegahan anak inilah

yang membawa aparat penegak hukum untuk mengambil wewenang diskresi atau di

Amerika serikat sering disebut juga dengan istilah deinstitutionalisation dari sistem

peradilan pidana formal.

Sebagaimana kita ketahui bahwa diversi merupakan wewenang dari aparat

penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan

meneruskan perkara atau mengehentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai

dengan kebijakan yang dimiliknya35 Berdasarkan hal tersebut terdapat suatu kebijakan

apakah pekara tersebut diteruskan atau dihentikan. Apabila perkara tersebut diteruskan,

maka kita akan berhadapan dengan sistem pidana dan akan terdapat sanski pidana yang

harus dijalankan. Namun apabila perkara tersebut tidak diteruskan, maka dari awal

tingkat penyidikan perkara akan dihentikan guna kepentingan bagi kedua belah pihak

dimana prinsipnya memulihkan hubungan yang terjadi karena tindak pidana untuk

kepentingan masa depan bagi kedua belah pihak. Hal ini yang menjadi prinsip mengapa

dilakukan diversi khusunya bagi tindak pidana anak, dimana untuk mewujudkan

kesejahtraan bagi anak itu sendiri. Melalui diversi dapat memberikan kesempatan bagi
34
Marlina,”Pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum pidana/Marlina”,
Loc.Cit
35
Ibid, Hal 1
43

anak untuk menjadi sosok baru yang bersih dari catatan kejahatan dan tidak menjadi

resedivis.

C. Alasan Anak Pelaku Tindak Pidana perlu diterapkan Diversi

Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau

pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk

memperbaiki kesalahan.

Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang

tercantum didalam pasal 8 Ayat (3) disebutkan bahwa seluruh aparat penegak hukum

yang sedang berhadap dengan perkara anak yang sedang melakukan tindakan pidana

harus memperhatikan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

“Proses Diversi Wajib memperhatikan :


a) Kepentingan korban;
b) Kesejateraan dan Tanggung Jawab Anak;
c) Penghindaran stigma negatif;
d) Penghindaran pembalasan;
e) Keharmonisan masyarakat;
f) Kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum.”

Penelitian penulis pada studi kasus di Cabang kejaksaan Negeri

Padangsidimpuan di Sibuhuan, terdapat beberapa alasan yang menjadi pertimbangan

bahwa anak yang melakukan tindak pidana harus diterapak diversi yaitu :

1) Menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang sebagai


pelaku tindak pidana;

Menjamin kepentingan terbaik bagi anak adalah sesuai dengan asas dalam

sistem Peradilan Pidana Anak yang tertuang dalam pasal 2 huruf d didalam Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 .


44

Kepentingan terbaik bagi anak ini adalah sejalan dengan prinsip yang

dikemukan dalam kovensi hak anak yang disebutkan dalam sebuah prinsip The Best

Interest of the Child.

Prinsip The Best Interest of the Child adalah suatu prinsip yang sangat penting

dalam perlindungan bagi anak, dimana semua tindakan yang dilakukan oleh anak dalam

melakukan perbuatan hukum harus berdasarkan kepentingan yang terbaik semata bagi

anak tersebut.

Prinsip ini dilegitimasi dari prinsip-prinsip yang tertera didalam Convention On

the Rights of the Child, 20 November 1989. Dalam konvensi hak anak tersebut, terdapat

prinsip kepentingan terbaik bagi anak yang dirumuskan dalam Article 3 point 1 yang

menyatakan :

In all action concerning children, whether undertaken by public or private


sosial welfare institutions, court of law, administrative authorities or legislative
bodies, the best interests of the child shall be a primary consideration.

(Semua tindakan yang menyangkut anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga


kesejahteraan pemerintah atau swasta, pengadilan, penguasa-penguasa
pemerintah, atau badan-badan legislatif, maka kepentingan yang terbaik bagi
anak harus menjadi pertimbangan utama).

Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggara perlindungan anak bahwa

pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkut masa depan

anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat pada kepentingan orang

dewasa. Apa yang menurut orang dewasa baik, belum tentu baik pula menurut ukuran

kepentingan anak. Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan dan menolong,

tetapi yang sungguhnya terjadi penghancuran masa depan anak.

2) Menghindari penjatuhan pidana yang bersifat destruktif terhadap tumbuh


kembang anak;
45

Penghindaran Penjatuhan Hukum yang bersifat Destruktif atau hukuman badan

sejalan dengan asas Sistem peradilan pidana anak dalam Undang-Undang No 11 Tahun

2012 pada pasal 2 huruf (i). dimana disebutkan bahwa : ”perampasan kemerdekaan dan

pemidanaan sebagai upaya terakhir.”

Karena apabila anak sebagai pelaku tindak pidann langsung dijatuhi hukum pidana

berupa hukum kurungan sudah pasti akan memperhambat atau mengganggu proses

tumbuh kembang anak tersebut yang seharusnya sedang menjadalani proses pendidikan

di sekolah namun kenyataannya akan menghadapai proses persidangan dan proses

penjatuhan hukuman kurungan.

3) Menghindari efek stigmatisasi terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana;


Penghindaran Efek Stigmatisasi adalah penghindaran atas nilai suatu anak yang

akan di cap atau di labellisasi sebagai anak pelaku tindak pidana sehingga secara phikis

akan mempengharui pola pikir anak, pengindaran efek stigmatisasi ini sejalan dengan

hak-hak anak yang harus di perolehnya saat anak tersebut sedang menjalani proses

peradilan, yaitu pada pasal 3 huruf (i) : “Hak Anak untuk tidak di publikasikan

identitasnya”.

4) Menanamkan rasa tanggung jawab terhadap anak sebagai pelaku tindak


pidana;
“Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak pelaku tindak pidana”,

tercantum didalam pasal 6 huruf (e) Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang tujuan

diversi, di dalam setiap musyawarah diversi yang dipertemukan oleh fasilitator baik

keluarga korban, korban dan keluarga tersangka serta tersangka, terdapat point-point

yang menerangkan bahwa anak sebagai pelaku tindak pidana tidak akan mengulangi

perbuatan pidana tersebut kemudian hari, dan akan membayar konpensasi sebagai rasa
46

tanggung jawab kepada korban, dan apabila dilanggar, maka proses peradilan akan

lanjut kepada diri tersangka atau anak sebagai pelaku tindak pidana.

5) Memberikan perlindungan hak kepada korban.

“Memberikan perlindungan dan keadilan” bagi korban adalah sesuai dengan asas

system peradilan pidana anak yang tertera didalam pasal 2 huruf (a) dan (b) didalam

Undang-Undang No 11 Tahun 2012.

Pada pasal 2 huruf (a) dan (b) rasa keadilan dan perlindungan itu bukan hanya bagi

tersangka akan diterapkan namun bagi korban pun harus di terapakkan dan dirasa,

karena selama ini didalam sistem peradilan pidana bagi anak pelaku tindak pidana saja

yang akan diterapkan hukuman baik hukum pidana penjara atau denda, dimana pidana

penjara sudah pasti akan di hanya dirasakan oleh pihak tersangka dan denda pun juga

hanya akan disetor kepada kas negara, dengan telah di undangkan Undang-undang No

11 Tahun 2012 , telah terdapat payung hukum dalam melaksanakan diversi dengan cara

melibatkan pihak tersangka dan pihak korban dalam suatu musyawarah. Didalam

musyawarah terdapat akan terdapat keinginan-keinginan dari pihak korban untuk

dipenuhi oleh pihak tersangka, dalam hal ini dalam bentuk materi atau kompensasi ganti

rugi atas perbuatan pidana yang dilakukannya.

Tujuan dari diversi adalah untuk mendapatkan cara menangani pelanggaran

hukum di luar pengadilan atau sistem peradilan yang formal. Ada kesamaan antara

tujuan diskresi dan diversi. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari

efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem

peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh
47

kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau ‘diskresi’.36

Konsep diversi dalam penanganan kasus anak di tingkat Penuntut Umum yang

berhadapan dengan hukum, pemberian hukuman terhadap anak bukan semata-mata

untuk menghukum tetapi mendidik kembali dan memperbaki kembali. Menghindarkan

anak dari eksplolasi dan kekerasan, akan lebih baik apabila diversi dan apabila dihukum

maka tidak efektif. Konsep diversi juga didasarkan pada kenyataan proses peradilan

pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak

menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan

memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya, sehingga lebih

baik menghindarkannya keluar sistem peradilan pidana.

Diversi juga dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan

kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non

formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat diversi berupaya memberikan

keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada

aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum.

Diversi sebagai usaha mengajak masyarkat untuk taat dan menegakan hukum

negara, pelaksanaanya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama

disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana

seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang tuanya. Diversi tidak bertujuan

mengabadikan hukum dan keadailan sama sekali, akan tetapi berusaha memakai unsur

pemaksaan seminimal mungkin untuk membuat orang mentaati hukum.

36
Ibid, Hal 2
48

Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada

pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal

dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan

kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat

penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan

melalui sebuah penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi atau

tindakan yang tepat (appropriate treatment) tiga jenis pelaksanaan program diversi

dilaksanakan yaitu :

a. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orintation) yaitu aparat penegak

hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan

masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan.

Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya

kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat ;

b. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu

melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan

menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat

mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan ;

c. Menuju proses restroative justice atau perundingan (balanced or restroative justice

orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku

bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat

kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat, pelaksanaanya semua

pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan


49

tindakan pada pelaku.37

Proses diversi dilakukan dalam upaya melakukan kesempatan untuk

mengeluarkan atau mengalihkan suatu kasus tergantung landasan hukum atau kriteria

yang ada dalam prakteknya. Di lingkungan juga terlihat ada suatu model informal yang

tidak meletakan kasus satu persatu secara formal (seperti polisi memutuskan untuk tidak

melanjutkan penyidikan, berpikir untuk bedamai) keadaan ini merupakan satu tindakan

untuk melakukan perubahan, pengembalian, penyembuhan pada korban dan

pertanggungjawaban pelaku. Secara konteks variabel sepeti pengorganisasian,

kedudukan dan faktor situasi juga relevan dalam pelaksanaan diversi.

Penerapan ketentuan diversi merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan,

karena dengan diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin, dan menghindarkan anak

dari stigma sebagai “anak nakal”, karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang

anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum. 38

Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 39

a.       Untuk menghindari anak dari penahanan;

b.      Untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;

c.       Untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak;

d.       Agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;

e.     Untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa

37
Ibid,, Hal 15
38
Lushiana Primasari, Keadilan Restoratif Dan Pemenuhan Hak Asasi Bagi Anak Yang
Berhadapan Dengan Hukum, Internet, Hal 3. Diakses pada 1 Oktober 2015
39
Ibid, Hal 3-4
50

harus melalui proses formal Menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan;

f.         Menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.

Sejak di undangkannya Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang sistem

peradilan anak pada pasal 6 telah disebutkan secara jelas bahwa tujuan diversi adalah:

1. Mencapai perdamaian antar korban dan anak ;


2. Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan ;
3. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan ;
4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi ; dan
5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
51

BAB III

PENERAPAN DIVERSI PADA TINGKAT KEJAKSAAN NEGERI


PADANGSIDIMPUAN DI SIBUHUAN

A. Aturan Hukum tentang Diversi

Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 28B Ayat (2) disebutkan bahwa setiap

anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Peran strategis anak sebagai penerus cita-

cita perjuangan bangsa telah disadari oleh masyarakat internasional untuk melahirkan

sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang

harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Hal ini ditandai

dengan diterbitkannya Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child).

Ratifikasi terhadap Konvensi Hak Anak ini dilakukan melalui Keputusan Presiden

Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child

(Konvensi Hak Anak).

Selanjutnya dalam rangka pelaksanaan konvensi tersebut, pemerintah berinisiatif

untuk menerbitkan beberapan peraturan perundang-undangan utuk perlindungan anak,

diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak

yang telah di perbaharui dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang sistema peradilan anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak,

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan korban,


52

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentan Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan orang, Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan Republik

Indonesia, Surat Keputusan bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Jaksa agung,

Kapolri, Menkumham, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan anak Republik Indonesia tentan penanganan anak yang berhadapan

dengan hukum tahun 2009. Peraturan perundang-undangan tersebut diharapkan dapat

menjadi dasar pelaksanaan perlindungan anak, terutama bagi anak yang berhadapan

dengan hukum.

Ketentuan perundang-undangan/ instrumen hukum nasional yang mengatur

tentang Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) antara lain sebagai berikut:

A. UUD 1945, Pasal 28 B ayat (2) disebutkan bahwa :

"Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”

Pasal 28 H ayat (2) disebutkan bahwa:

“Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai

persamaan dan keadilan”.

B. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan dalam pasal 2 yaitu :

“ (1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan


berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan
khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
(2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk
menjadi warganegara yang baik dan berguna.
(3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlidungan, baik semasa dalam
kandungan maupun sesudah dilahirkan.
(4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan
wajar”.
53

C. UU No. 12 Tahun 1995 tentang Kemasyarakatan, diatur dalam pasal 18 s/d 38,

sedangkan hak narapidana anak diatur dalam pasal 14 kecuali huruf g yaitu :

a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;


b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku

D. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah di perbaharui

dengan UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistema peradilan anak, disebutkan dalam

pasal 7 yaitu :

“pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di

pengadilan negeri wajib diupayakan diversi”.

E. Peraturan Pemerintah No 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan

Penanganan Anak ayang belum berumur 12 (dua belas) Tahun, yang tertuang dalam

pasal 3 yaitu :

“(1) Setiap Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam memeriksa Anak wajib
mengupayakan Diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.”
54

F. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diperbaharui dengan UU

No. 35 Tahun 2014 yang memberikan perlindungan bagi anak-anak yang masih

dibawah umur yang menjadi korban dari kejahatan orang dewasa, dimana yaitu

tertuang dalam pasal 2 yaitu :

“Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-
prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :
a. non diskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak”.

Selain itu, keadilan restoratif dalam penerapan diversi juga terlihat pada

beberapa kebijakan penegak hukum, diantaranya:

A. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1987, tanggal 16

November 1987 , didalam SEMA ini hanya mengatur tentang bagaimana Tata Tertib

Sidang Anak di Pengadilan;

1. Dalam pemeriksaan perkara pidana di muka sidang pengadilan yang


terdakwanya adalah anak-anak, diperlukan pendalaman oleh Hakim yang
memeriksa perkara tersebut baik yang menyangkut unsur-unsur tindak
pidana yang didakwakan maupun yang menyangkut lingkungan
pengaruh serta keadaan jiwa anak itu yang melatar belakangi tindak
pidana.
2. Bahwa tidak setiap Hakim mempunyai perhatian (interesse) terhadap
masalah anak-anak yang melakukan tindak pidana, apalagi berkeinginan
untuk memperdalam pengetahuannya melalui literatur, diskusi dan
sebagainya.
3. Berdasarkan hal-hal tersebut diminta agar Saudara segera menunjuk
sedikitnya 2 (dua) orang Hakim yang ada di bawah pimpinan Saudara,
baik pria maupun wanita, yang menurut pendapat Saudara mempunyai
perhatian terhadap masalah "tindak pidana anak-anak", untuk di samping
tugasnya sehari-hari sebagai Hakim biasa, juga dibebani tugas khusus
memeriksa perkara-perkara tindak pidana yang terdakwanya adalah
anak-anak.
4. Hal ini dimaksudkan agar pada tingkat di mana dan menyongsong
55

Undang-undang tentang Peradilan untuk Anak di Indonesia yang


mendatang, kita sudah mengawali mendidik sejumlah hakim untuk
mampu dibebani tugas yang diberikan oleh Undang-undang tersebut.

B. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 4 Tahun 2014, tanggal 24

Juli 2014, didalam SEMA ini hanya mengatur tentang bagaimana Pedoman

Pelaksanaan Diversi dalam Sidang Anak di Pengadilan; sesuai dengan :

Pasal 2 disebutkan bahwa:

“Diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun

tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas)

tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun,

yang diduga melakukan tindak pidana”.

Pasal 3 menyebutkan bahwa :

“Hakim anak wajib mengupayakan Diversi dalam hal Anak didakwa melakukan

tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan

didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7

(tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidiaritas, alternative,

kumulatif maupun kombinasi (gabungan)”.

C. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-006/A/J.A/04/2015 tentang

Pedoman Pelaksanaan Diversi pada tingkat Penuntut, yaitu pada Bab II telah

disebutkan secara jelas tentang kewenangan penuntut umum untuk melakukan

diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yang disebutkan sebagai

berikut :

1. Kriteria tindak pidana yang wajib dilakukan Diversi


a. Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi pada
56

tingkatPenuntutan.
b.Diversi sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilaksanakan dalam
tindak pidana yang dilakukan :
1) Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun;
Dan
2) Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
2. Kriteria Anak yang wajib dilakukan Diversi
a . Upaya Diversi wajib dilakukan terhadap anak yang telah berumur
12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
b.Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka (1), upaya
Diversi wajib dilakukan meskipun Anak sudah atau pernah kawin

D. Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002/J.A/4/1989 tentang Penuntutan

terhadap Anak, dimana SEJA ini belum terdapat aturan tentang diversi namun

sebelum lahirnya UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, para

penuntut umum sudah menerapkan Asas Kepentingan Terbaik untuk anak, dimana

bagi anak yang berhadapan dengan hukum dapat dituntut Minimal ;

E. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor B-532/E/11/1995,

tangga 9 November 1995 tentang Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap

Anak; didalam SEJAMPIDUM ini adalah pembaharuan dari SEJA RI SE-

002/J.A/4/1989 dimana dalam menuntut anak dibawah umur dapat di terapkan

hukum menimal.

F. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-

334/E/Ejp/06/2006, tanggal 19 Juni 2006 tentang pengusulan nama-nama

Jaksa Anak pada setiap Kejaksaan Negeri/Kejaksaan Tinggi sebagai Jaksa

untuk Pengadilan Anak; didalam SEJAMPIDUM ini adalah tindak lanjut dari paya

perlindungan anak yang berhdapan dengan hukum, dengan mengadakan pelatihan

khusus bagi para penuntut umum yang berhadapan dengan anak yang masih dibawah
57

umur agar dapat dibedakan system pemeriksaan seperti orang dewasa pada

umumnya.

G. Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor. B-

363/E/EJP/02/2010 tanggal 25 Februari 2010 tentang Petunjuk Teknis

Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum; Didalam SEJAAMPIDUM ini

belum terdapat upaya diversi sebagai payung hukum bagi para penuntut umum

sehingga, didalam SEJA ini hanya mengatur tata cara persidangan dan penuntutan

yang minimum.

H. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MA/Kumdil/31/I/K/2005 tentang

kewajiban setiap PN mengadakan ruang sidang khusus dan ruang tunggu

khusus untuk anak yang akan disidangkan;

I. Peraturan Kabareskrim Polri Nomor 1 Tahun 2012 tentang Standart Operasional

Prosedur Penanganan Anak Berhadapan Hukum ;

J. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI,

Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak RI, NO.166/KMA/SKB/XII/2009,

NO.148 A/A/JA/12/2009, NO. B/45/XII/2009, NO.M.HH-08 HM.03.02

Tahun 2009, NO. 10/PRS-2/KPTS/2009, NO. 02/MEN.PP dan PA/XII/2009

Tanggal 22 Desember 2009 tentang penanganan anak yang berhadapan

dengan hukum, Didalam Surat Keputusan Bersam ini, mengatur tentang kerjasama

semua aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan

Bapas dalam menjalankan Tugas dan Wewenangnya dalam menghadapi anak yang

berhadapan dengan hukum harus memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak
58

yaitu mualai dalam pemilihan aparat penegak hukum yang telah mengikuti pelatihan

khusus tentang anak sampai dengan menyediakan saran dan prasarana yang khusus

bagi anak tersebut.

Standar Internasional untuk Peradilan Anak adalah :

A. Konvensi Hak-Hak Anak (United Nations Convention on the Rights of the

Child);40 seperti tertuang dalam Article 3 point 1 yang menyatakan :

’’In all action concerning children, whether undertaken by public or private


sosial welfare institutions, court of law, administrative authorities or legislative
bodies, the best interests of the child shall be a primary consideration.

(Semua tindakan yang menyangkut anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga


kesejahteraan pemerintah atau swasta, pengadilan, penguasa-penguasa
pemerintah, atau badan-badan legislatif, maka kepentingan yang terbaik bagi
anak harus menjadi pertimbangan utama)’’.

Pasal 40 Konvensi Hak Anak juga menyatakan bahwa :

’’Negara-negara peserta mengakui hak setiap anak yang diduga, dituduh, atau
diakui sebagai telah melanggar undang-undang hukum pidana akan diperlakukan
dengan cara konsisten dengan peningkatan pengertian anak tentang martabat dan
nilai, yang memperkuat sikap hormat anak pada hak-hak asasi manusia dan
kebebasan hakiki orang lain dan yang memperhatikan usia anak dan keinginan
untuk meningkatkan reintegrasi anak dna pelaksanaan peranan yang
konstrukstif anak dalam masyarakat”

B. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain

yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia

(Convention Against Torture and Other Cruel,Inhuman or Degrading

Treatment or Punishment);41 didalam konvensi ini mengatur tentang larangan bagi

Negara-negara yang telah meratifikasi Resolusi Majelis Umum 39/46 tanggal 10

Desember 1984 Mulai berlaku: 26 Juni 1987, yang tertuang dalam pasal 2 yaitu :

40
Ditandatangani pada tanggal 20 Nopember 1989 dan berlaku pada tanggal 2 September
1990.
Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi oleh Resolusi Majelis
41

Umum PBB 39/46 tanggal 10 Desember 1984. Mulai berlaku: 26 Juni 1987.
59

“Pasal 2
1. Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif,
administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah
tindak penyiksaan di dalamwilayah hukumnya.
2. Tidak ada terdapat pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang atau
ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau maupun keadaan
darurat lainnya, yang dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.
3. Perintah dari atasan atau penguasa tidak boleh digunakan sebagai pembenaran
penyiksaan”.

Telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1998 pada pasal 4

yaitu :

“Setiap negara peserta akan menjamin bahwa semua perbuatan penganiayaan

merupakan pelanggaran hukum pidana”.

C. Peraturan-Peraturan Minimum Standar PerserikatanBangsa-Bangsa

Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak (Standard Minimum Rules for The

Administrations of Juveniles Justice (SMR-JJ/The Beijing Rules);42 pada Aturan

Beijing Rules ini mengatur lebih detail tentang perlakuan khusus bagi anak yang

berhadapan dengan hukum yang tertuang dalam pasal 40 yaitu :

“Pasal 40
1. Negara-negara Pihak mengakui hak setiap anak yang dinyatakan sebagai
tertuduh, atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana, untuk
diperlakukan dalam suatu cara yang sesuai dengan peningkatan rasa
penghormatan dan harga diri anak, yang memperkuat kembali penghormatan
anak terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar orang-
orang lain, dan yang memperhatikan umur anak dan keinginan untuk
meningkatkan integrasi kembali anak dan pengambilan anak pada peran
konstruktif dalam masyarakat.
2. Untuk tujuan ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam
instrumen-instrumen internasional yang relevan, maka Negara-negara Pihak,
terutama, harusmenjamin bahwa:
(a) Tidak seorang anak pun dapat dinyatakan, dituduh, atau diakui telah
melanggar hukum pidana, karena alasan berbuat atau tidak berbuat yang tidak

42
Diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB 40/33 tanggal 29 Nopember 1985.
60

dilarang oleh hukum nasional atau internasional pada waktu perbuatan-


perbuatan itu dilakukan;
(b) Setiap anak yang dinyatakan sebagai atau dituduh telah melanggar hukum
pidana, paling sedikit memiliki jaminan-jaminan berikut:
(i) Dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum;
(ii) Diberi informasi denga segera dan langsung mengenai tuduhan-
tuduhan terhadapnya, dan, kalau tepat, melalui orang tuanya atau wali
hukumnya, dan mempunyai bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat
dalam mempersiapkan dan menyampaikan pembelaannya;
(iii) Masalah itu diputuskan tanpa penundaan, oleh suatu penguasa yang
berwenang, mandiri dan adil, atau badan pengadilan dalam suatu
pemeriksaan yang adil menurut hukum, dalam kehadiran bantuan hukum
atau bantuan lain yang tepat, dan kecuali dipertimbangkan tidak dalam
kepentingan terbaik si anak, terutama, dengan memperhatikan umurnya
atau situasinya, orang tuanya atau wali hukumnya;
(iv) Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian atau mengaku salah;
untuk memeriksa para saksi yang berlawanan, dan untuk memperoleh
keikutsertaan dan pemeriksaan para saksi atas namanya menurut syarat-
syarat keadilan;
(v) Kalau dianggap telah melanggar hukum pidana, maka putusan ini
dan setiap upaya yang dikenakan sebagai akibatnya, ditinjau kembali
oleh penguasa lebih tinggi yang berwenang, mandiri dan adil atau oleh
badan pengadilan menurut hukum;
(vi) Mendapat bantuan seorang penerjemah dengan cuma-cuma kalau
anak itu tidak dapat mengerti atau berbicara dengan bahasa yang
digunakan;
(vii) Kerahasiaannya dihormati dengan sepenuhnya pada semua tingkat
persidangan.
3. Negara-negara Pihak harus berusaha meningkatkan pembuatan undang-
undang, prosedur-prosedur, para penguasa dan lembaga-lembaga yang
berlaku secara khusus pada anak-anak yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau
diakui melanggar hukum pidana, terutama:
(a) Pembentukan umur minimum; di mana di bawah umur itu anak-anak
dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana;
(b) Setiap waktu yang tepat dan diinginkan, langkah-langkah untuk
menangani anak-anak semacam itu tanpa menggunakan jalan lain pada
persidangan pengadilan, dengan syarat bahwa hak-hak asasi manusia dan
perlindungan hukum dihormati sepenuhnya;
4. Berbagai pengaturan, seperti perawatan, bimbingan dan pengawasan, perintah,
penyuluhan, percobaan, pengasuhan anak angkat, pendidikan dan program-
program pelatihan kejuruan dan pilihan-pilihan lain untuk perawatan
kelembagaan harus tersedia untuk menjamin bahwa anak-anak ditangani
dalam suatu cara yang sesuai dengan kesejahteraan mereka dan sepadan
dengan keadaan-keadaan mereka maupun pelanggaran itu”.

D. Kumpulan Prinsip-Prinsip untuk Perlindungan Semua Orang yang Berada di


61

Bawah Bentuk Penahanan Apa pun atau Pemenjaraan (Body of Principles for the

Protection of All Persons under Any Form of Detention or

Imprisonment);43didalam aturan ini, terdapat prinsip-prinsip yang harus dihormati

dan harus dilaksanakan yaitu ;

Prinsip 6 yang menyatakan :

“ Tidak seorang pun yang berada dibawah bentuk penahanan atau pemenjaraan

apapun dapat dijadikan sasaran penganiayaan atau perlakuan kejam, tidak

manusiawi atau merendahkan martabat. Tidak satupun keadaan dapat dijadikan

sandaran sebagai pembenaran untuk penganiayaan atau perlakuan kejam yang

lain, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.”

Prinsip ini mempunyai kesamaan maksud dengan Undang-Undang RI Nomor 12 tahun

1995, antara lain :

1. Pasal 47 ayat (2) yang berbunyi44;

Jenis hukuman disiplin dapat berupa :

a. tutupan sunyi paling lama 6 (Enam) hari bagi narapidana atau anak pidana;

dan atau

b. menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka waktu tertentu sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pasal 47 ayat (3) yang berbunyi45 ;

Petugas pemasyarakatan dalam memberikan tindakan atau menjatuhkan

hukuman disiplin wajib :

43
Diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB 43/173 tanggal 9 Desember 1988.
44
Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang RI No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
45
Pasal 47 ayat (3) Undang-Undang RI No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
62

a. memperlakukan warga binaan pemasyarakatan secara adil dan tidak bertindak

sewenang-wenang dan

b. mendasarkan tindakannya pada peraturan tata tertib lembaga pemasyarakatan

Prinsip 28 yang menyatakan :

“ Seseorang yang ditahan atau dipenjara berhak memperoleh dalam batas-batas

sumber yang tersedia, kalaupun dari sumber-sumber umum, sejumlah bahan

pendidikan, budaya dan informasi yang layak, dengan tunduk pada syarat-syarat

yang pantas untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum di tempat

penahanan atau pemenjaraan “

Prinsip ini mempunyai kesamaan maksud dengan Undang-Undang RI Nomor 12

tahun 1995, pasal 14 ayat (1), mengenai hak-hak narapidana yaitu huruf 46:

b. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang

tidak dilarang.

E. Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pencegahan Tindak pidana

Anak (The United Nations Guidelines For The PreventionOf Juvenile

Deliquency (Riyadh Guidelines);47

Program dan pelayanan masyarakat untuk pencegahan kenakalan anak agar

dikembangkan dan badan-badan pengawasan sosial yang resmi agar dipergunakan

sebagai upaya akhir. Penegak hukum dan petugas lain yang relevan dari kedua jenis

46
Pasal 14 ayat (1) huruf B dan F Undang-Undang RI No 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
47
Diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB 45/112 tanggal 14 Desember 1990.
63

kelamin, harus dilatih agar tanggap terhadap kebutuhan khusus anak dan agar terbiasa

dan menerapkan semaksimal mungkin program-program dan kemungkinan-

kemungkinan penunjukan pengalihan anak dari sistem peradilan.

Butir 2. “Keberhasilan pencegahan dilakukannya tindak pidana oleh anak


memerlukan upaya-upaya dari seluruh masyarakat guna menjamin perkembangan
ke arah proses dewasa secara harmonis, dengan menghormati dan
mengembangkan kepribadian mereka sejak masa kanak-kanak”.
Butir 3. Dalam rangka menafsirkan pedoman ini, harus ditingkatkan orientasi
yang terpusat pada anak-anak. Anak harus mempunyai peran dan kerja sama aktif
dengan masyarakat dan agar tidak semata-mata menjadi obyek sosialisasi atau
pengawasan”.
Butir 6. “Program dan pelayanan masyarakat untuk pencegahan tindak pidana
anak agar dikembangkan, terutama dalam hal ketiadaan badan-badan tersebut.
Badan-badan pengawasan sosial yang resmi agar dipergunakan sebagai upaya
akhir. Perundang-undangan dan Administrasi Peradilan Anak”.
Butir 58. “Penegakan hukum dan petugas lain yang relevan dari kedua jenis
kelamin, agar dilatih untuk tanggap terhadap kebutuhan khusus anak dan agar
terbiasa dengan dan menerapkan, semaksimal mungkin, program-program dan
kemungkinan-kemungkinan penunjukan pengalihan anak dari sistem peradilan”.

F. Peraturan-Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perlindungan

Anak yang Kehilangan Kebebasannya (The United Nations Rules for The

Protection of Juveniles Deprived of Liberty).48

Aturan ini mengatur tentang hak anak yang kehilangan kebebasannya atau ditahan

dalam penjara, yang tertera dalam pasal 17 yaitu disebutkan sebagai berikut :

“Para anak yang ditahan di bawah penangkapan atau tengah menunggu peradilan
(“belum diadili”) harus dianggap tidak bersalah dan harus diperlakukan sebagai
orang yang tidak bersalah. Penahanan sebelum peradilan sedapat mungkin
dihindari dan dibatasi pada keadaan-keadaan yang luar biasa. Dengan demikian,
jika penahanan preventif digunakan, pengadilan-pengadilan bagi anak dan
badan-badan pengusut harus memberi prioritas tertinggi pada penanganan yang
tercepat terhadap kasus-kasus demikian untuk menjamin agar masa penahanan
sesingkat mungkin. Para anak yang ditahan dan belum diadili harus dipisahkan
dari para anak yang telah dijatuhi hukuman”.

48
Diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB 45/113 tanggal 14 Desember 1990.
64

Selain Aturan hukum secara umum di Indonesia tentang diversi yang telah

dikeluarkan pemerinatah yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak dan Peraturan Pemerintah No 56 Tahun 2015 tentang Pedoman

Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (dua belas)

Tahun, pada Tingkat Penuntut Umum juga telah dibuat aturan khusus yaitu Petunjuk

Teknis bagi para jaksa yang hendak melakukan Diversi terhadap anak yang berhadap

dengan hukum yaitu Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-

006/A/J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi pada tingkat Penuntut.

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut di atas dan ditambah lagi dengan

dibuat aturan khusus bagi Penuntut Umum diharapkan setiap anak yang berhadapan

dengan hukum, berhak untuk mendapatkan perlindungan, baik fisik, mental, spiritual

maupun sosial. Pelaksanakan tugasnya para Petuntut Umum dan instansi/lembaga

terkait perlu memperhatikan prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang

Perlindungan Anak, yaitu prinsip non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak,

hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan terhadap

pendapat anak. Anak merupakan harapan orang tua, harapan bangsa dan negara yang

akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan serta memiliki peran strategis,

mempunyai ciri atau sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan

negara pada masa depan. Setiap anak harus mendapatkan pembinaan dari sejak dini,

anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan

berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Terlebih lagi bahwa masa

kanak-kanak merupakan periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri


65

seorang manusia agar mereka kelak memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri

tegar dalam meniti kehidupan.

B. Syarat dan Proses Pemberian Diversi kepada anak Pelaku Tindak Pidana.

Penyelesaian perkara pidana anak diamanatkan oleh undang-undang diharuskan

upaya diversi. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Anak pada Pasal 5, yang berbunyi:

1. Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan


Restoratif ;
2. Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini;
b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum; dan
c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama
proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana
atau tindakan ;
3. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.

Terdapat perbedaan dalam hal anak yang melakukan tindak pidana di dalam

penyelesaiannya dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Namun

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak memberikan

syarat limitatif untuk dilakukannya sebuah diversi.

1. Syarat Pemberian Diversi Terhadap anak pelaku tindak pidana di Tingkat


Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan di Sibuhuan.
Pada Studi kasus di Cabang Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan di Sibuhuan

terdapat kreteria/ syarat yang dapat diterapkan bagi anak pelaku tindak pidana yaitu

sesuai Peraturan Jaksa Agung No 6 tahun 2015 tentang pedoman Pelaksanaan Diversi

pada tingkat Penuntutan yaitu pada BAB II tentang kewajiban Diversi :


66

1. Kriteria tindak pidana yang wajib dilakukan Diversi


a. Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi pada tingkat Penuntutan.
b. Diversi sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilaksanakan dalam tindak
pidana yang dilakukan:
1) Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
2) Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
2. Kriteria Anak yang wajib dilakukan Diversi
a. Upaya Diversi wajib dilakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.
b. Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka (1), upaya Diversi
wajib dilakukan meskipun Anak sudah atau pernah kawin.
Didalam Pedoman Peraturan Jaksa Agung tersebut secara umum sejalan dengan

amanah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang tertuang dalam pasal 7 ayat 2

yang berbunyi: Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal

tindak pidana yang dilakukan:

1. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan

2. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Didalam Kitab undang-undang hukum pidana terdapat 337 Pasal yang

menerangkan ancaman hukuman penjara dibawah 7 tahun baik dalam buku ke-2 KUHP

tentang Kejahatan yaitu sebanyak 259 pasal maupun di buku ke-3 KUHP tentang

pelanggaran sebanyak 78 pasal, dari syarat dan keterangan mengenai ancaman minuman

dibawah 7 (tujuh) tahun ini adalah sebagai patokan dasar bahwa tindak pidana yang

dilakukan oleh anak dibawah umur adalah tindak pidana yang bukan merupakan

tergolong tindak pidana yang berat. Sedangkan pada syarat dan kreteria kedua mengenai

anak yang dapat dilakukan diversi adalah “bukan merupakan pengulangan tindak
67

pidana” adalah merupakan kategori residivis namun didalam Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pengertian pengulangan tindak

pidana atau residive sedikit berbeda, seperti kita ketahui apabila pengertian residive

secara umum adalah seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi

pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun

kita ketahui bahwa penetapan Diversi yang dikeluarkan oleh Hakim di pengadilan

negeri bukanlah suatu keputusan, namun didalam penjelasan Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2011 pada pasal 7 ayat (2) huruf b disebutkan bahwa :

“Pengulangan tindak pidana adalam ketentuan ini merupakan tindak pidana yang

dilakukan oleh anak, baik tindak pidana sejenis mapun tindak pidana tidak sejenis

termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui diversi”

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa melalui penjelasan Pasal 7 ayat (2)

huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Indonesia dapat dinyatakan bahwa baik Putusan Hakim maupun Ketetapan Diversi

Hakim disuatu pengadilan dapat dikatagorikan sama karena memiliki kekuatan hukum

yang tetap atau “in kracht van gewijsde”

2. Proses Pemberian Diversi Terhadap anak pelaku tindak pidana di Tingkat


Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan di Sibuhuan.

Perkembangan saat ini telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang sistem Peradilan Anak sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 tahun

1997 tentang pengadilan anak, pemerintah sudah betul-betul melaksanakan sistem

diversi sesuai dengan kesepakatan para bangsa-bangsa di dunia sesuai dengan Konvensi

Hak Anak.
68

Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem

Peradilan Pidana Anak yang dinyatakan berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak

tanggal diundangkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor

153 tertanggal 30 juli 2012.49 Sehingga aturan tersebut berlaku pada juli 2014, pada

tingkat Kejaksaan untuk mendukung program pemerintah tentang perlindungan anak

tersebut, Jaksa Agung telah mengeluarkan petunjuk teknis tentang Pedoman

Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntut Umum yaitu Peraturan Jaksa Agung

Republik Indonesia Nomor PER-006/A/J.A/04/2015 dengan dasar pertimbangan Jaksa

Agung Mengeluarkan Petunjuk Teknis ini adalah sebagai berikut :50

a) bahwa penanganan perkara Anak Yang Berhadapan dengan Hukum harus


benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap Anak dan
harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun
Anak korban;
b) bahwa untuk terciptanya Keadilan Restoratif, sebelum beralih ke proses
peradilan pada tingkat penuntutan Penuntut Umum wajib mengupayakan
Diversi, sehubungan dengan pelaksanaan kewajiban tersebut, perlu peraturan
yang mengatur tata cara pelaksanaan Diversi yang baku, standar serta
mengikat bagi seluruh Penuntut Umum, untuk optimalisasi pelaksanaan tugas
Kejaksaan Republik Indonesia dalam proses penanganan Perkara Anak yang
Berhadapan dengan Hukum;
c) bahwa pelaksanaan ketentuan Diversi pada tingkat penuntutan sebagaimana
diatur dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak perlu diatur lebih lanjut tentang tata cara pelaksanaannya;
d) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Jaksa Agung tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan;

Dalam penanganan perkara anak yang dilakukan oleh Jaksa sebelum keluarnya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan

Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-006/A/J.A/04/2015 tentang

49
Pasal 108 UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153
50
Dasar Pertimbangan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-
006/A/J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntut Umum
69

Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntut Umum ini belum merasakan

keadilan sesuai dengan konsep Diversi sebagaimana termuat dalam United Nations

Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The

Beijing Rules (Resolusi Majelis Umum PBB 40/33 tanggal 29 November 1985), dimana

diversi (Diversion) tercantum dalam Rule 11,1, 11.2 dan Rule 17.4. Namun setelah

diterbitkan aturan tersebut bagi Jaksa atau penuntut umum sudah mempunya hak untuk

mendiversi perkara anak sebagai pelaku tindak pidana.

Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-006/A/J.A/04/2015

tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntut Umum, terdapat tahapan

Proses Pelaksanaan Diversi yang tertuang pada BAB III yaitu Sebagai berikut :

1. Penunjukan Penuntut Umum

Surat Perintah Penunjukan Penuntut Umum untuk Mengikuti Perkembangan

Penyidikan Perkara Anak dan Surat Perintah Penunjukan Penuntut Umum Untuk

Penyelesaian Perkara Anak sedapat mungkin menunjuk 2 (dua) orang Penuntut

Umum51, selanjutnya Penuntut Umum yang ditunjuk untuk penyelesaian Perkara Anak

sedapat mungkin sama dengan Penuntut Umum yang ditunjuk untuk mengikuti

perkembangan penyidikan, Dalam hal belum terdapat Penuntut Umum yang memenuhi

persyaratan yang diatur dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Penuntutan terhadap Perkara Anak dilakukan

oleh Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat

lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.

51
BAB III Proses Pelaksanaan Diversi, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-
006/A/J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntut Umum
70

2. Koordinasi

Setelah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, Jaksa Agung

Muda Tindak Pidana Umum/Kepala Kejaksaaan Tinggi/Kepala Kejaksaan

Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri segera menerbitkan Surat Perintah

Penunjukan Penuntut Umum Untuk Mengikuti Perkembangan Penyidikan Perkara

Anak.

Selain untuk mengikuti perkembangan penyidikan, Penuntut Umum juga

memantau perkembangan upaya Diversi pada tingkat penyidikan dan berkoordinasi

dengan penyidik untuk mencegah terjadinya bolak balik perkara.

3. Upaya Diversi

Setelah menerima penyerahan tanggung jawab atas Anak dan barang bukti

(tahap II), Kepala Cabang Kejaksaan Negeri segera menerbitkan Surat Perintah

Penunjukan Penuntut Umum Untuk Penyelesaian Perkara Anak, Penyelesaian Perkara

Anak meliputi penyelesaian di luar peradilan pidana melalui Diversi maupun

penyelesaian di dalam peradilan pidana, Penuntut Umum yang menerima penyerahan

tanggung jawab atas Anak serta barang bukti di RKA, kemudian melakukan penelitian

terhadap kebenaran identitas Anak serta barang bukti dalam Perkara Anak dan mencatat

hasil penelitian tersebut dalam Berita Acara Penerimaan dan Penelitian Anak, Identitas

Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dari pemberitaan di media

cetak ataupun elektronik, selanjutya Hasil penelitian terhadap barang bukti dicatat

dalam Berita Acara Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti, kemudian dibuat Label

Barang Bukti dan dilengkapi dengan Kartu Barang Bukti, Dalam jangka waktu 7 x 24
71

(tujuh kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal penerimaan tanggung jawab

atas Anak dan barang bukti, Penuntut Umum wajib melakukan upaya Diversi dengan

memanggil dan/atau menawarkan penyelesaian perkara melalui Diversi kepada Anak

dan/atau orang tua/wali serta korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/wali.

Dalam hal Anak dan/atau orang tua/wali serta korban atau Anak Korban

dan/atau orang tua/wali setuju untuk melakukan Diversi, Penuntut Umum menentukan

tanggal dimulainya musyawarah Diversi dan mencatatnya dalam Berita Acara Upaya

Diversi.

Dalam hal Anak dan/atau orang tua/wali serta korban atau Anak korban dan/atau

orang tua/wali menolak untuk melakukan Diversi, Penuntut Umum mencatatnya dalam

Berita Acara Upaya Diversi dengan memuat alasan penolakan terhadap upaya Diversi,

kemudian Penuntut Umum melimpahkan perkara ke pengadilan dengan pelimpahan

perkara acara pemeriksaan biasa atau pelimpahan perkara acara pemeriksaan singkat

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dengan melampirkan Berita Acara Upaya

Diversi serta Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan.

4. Musyawarah Diversi

Musyawarah Diversi adalah tahap pemanggilan semua pihak yang terlibat dan

bersangkut paut dalam perkara anak tersebut untuk secara bersama-sama menentukan

jalan keluar untuk kepentingan terbaik bagi kedua belah pihak. Diversi dilaksanakan

paling lama 30 (tiga puluh) hari52 sejak tanggal dimulainya Diversi yaitu tanggal yang

telah ditentukan Penuntut Umum untuk melakukan Musyawarah Diversi dengan

ketentuan sebagai berikut :


52
Ibid, BAB III Point IV, Proses Pelaksanaan Diversi
72

I. Penuntut Umum mengirimkan surat panggilan kepada para pihak, yang

harus sudah diterima selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum waktu

pelaksanaan Musyawarah Diversi, dengan membuat tanda terima sebagai

bukti panggilan yang sah.

II. Para pihak sebagaimana dimaksud pada angka 1) yaitu :

- Anak dan/atau orang tua/wali;

- Korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/wali;

- Pembimbing Kemasyarakatan; dan

- Pekerja Sosial Profesional.

III. Dalam hal dikehendaki oleh Anak dan/atau orang tua/wali, pelaksanaan

Musyawarah Diversi dapat melibatkan masyarakat yang terdiri atas :

- Tokoh Agama;

- Guru;

- Tokoh Masyarakat;

- Pendamping; dan/atau

- Advokat atau Pemberi Bantuan Hukum.

IV. Surat panggilan para pihak mencantumkan hari, tanggal serta tempat

dilaksanakannya Musyawarah Diversi.

Musyawarah Diversi dilaksanakan di RKA yang terdapat pada setiap satuan

kerja di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia atau dalam keadaan tertentu dapat

dilakukan ditempat lain yang disepakati oleh para pihak dengan persetujuan Kepala

Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri, dalam hal orang tua/wali Anak

tidak diketahui keberadaannya atau berhalangan hadir, Musyawarah Diversi tetap


73

dilanjutkan dengan dihadiri oleh Pembimbing Kemasyarakatan sebagai pengganti dari

orang tua/wali, dalam hal orang tua/wali Anak Korban tidak diketahui keberadaannya

atau berhalangan hadir, Musyawarah Diversi tetap dilanjutkan dengan dihadiri oleh

Pekerja Sosial Profesional sebagai pengganti dari orang tua/wali, dalam hal tidak

terdapat Pekerja Sosial Profesional dalam pelaksanaan musyawarah, keterwakilan

Pekerja Sosial Profesional dapat digantikan oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial.

Musyawarah Diversi dipimpin oleh Penuntut Umum sebagai fasilitator yang

diawali dengan perkenalan para pihak. Fasilitator menyampaikan maksud dan tujuan

dilaksanakannya Musyawarah Diversi, peran dari fasilitator, tata-tertib musyawarah

untuk disepakati oleh para pihak dan penjelasan tentang waktu dan tempat serta

ringkasan dugaan tindak pidana yang didakwakan terhadap Anak.

Pembimbing Kemasyarakatan menjelaskan ringkasan hasil penelitian

kemasyarakatan yang dilakukan terhadap Anak, Pekerja Sosial Profesional menjelaskan

ringkasan laporan sosial terhadap Anak Korban dan/atau Anak Saksi, dalam hal

dipandang perlu, fasilitator dapat melakukan pertemuan terpisah (kaukus) dengan para

pihak.

Dalam hal Kesepakatan Diversi tanpa memerlukan persetujuan korban atau

Anak Korban dan/atau orang tua/wali, proses Diversi dilaksanakan melalui musyawarah

yang dipimpin oleh Penuntut Umum sebagai fasilitator dan dihadiri oleh Pembimbing

Kemasyarakatan, Anak dan orang tua/walinya serta dapat melibatkan masyarakat.

Fasilitator wajib memberikan kesempatan kepada para pihak untuk memberikan

pendapat, saran, dan/atau tanggapan terhadap:

1) tindak pidana yang dipersangkakan kepada Anak;


74

2) hasil penelitian laporan kemasyarakatan;

3) hasil laporan sosial; dan/atau

4) bentuk dan cara penyelesaian perkara.

Musyawarah Diversi dicatat dalam Berita Acara Diversi, ditandatangani oleh

fasilitator serta para pihak yang hadir dalam Musyawarah Diversi dan dilaporkan

kepada Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri, dalam hal

Musyawarah Diversi tidak berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum

melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan pelimpahan perkara acara

pemeriksaan biasa atau pelimpahan perkara acara pemeriksaan singkat sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan.

Pelimpahan perkara melampirkan Berita Acara Diversi dan Hasil Penelitian

Kemasyarakatan, selama proses Diversi dan proses pemeriksaan Perkara Anak yang

memenuhi kriteria wajib Diversi, tidak dapat dilakukan penahanan terhadap Anak.

5. Kesepakatan Diversi

Dalam hal Musyawarah Diversi berhasil mencapai kesepakatan, fasilitator

menyusun dan merumuskannya dalam Kesepakatan Diversi. Kesepakatan Diversi harus

mendapatkan persetujuan korban, Anak Korban dan/atau orang tua/wali kecuali untuk :

1) tindak pidana yang berupa pelanggaran;

2) tindak pidana ringan;

3) tindak pidana tanpa korban; atau

4) nilai kerugian korban atau Anak Korban tidak lebih dari upah minimum

provinsi setempat.
75

Penyusunan dan perumusan Kesepakatan Diversi, fasilitator memperhatikan dan

mengarahkan agar Kesepakatan Diversi tidak memuat hal yang bertentangan dengan

hukum, kepatutan masyarakat setempat, kesusilaan, ketertiban umum dan hal-hal yang

tidak dapat dilaksanakan atau itikad tidak baik.

Dalam hal terdapat barang bukti dalam perkara Anak, selain memuat

kesepakatan mengenai bentuk dan cara penyelesaian perkara serta jangka waktu

pelaksanaan kesepakatan, Kesepakatan Diversi juga harus memuat klausula mengenai

status barang bukti, kesepakatan Diversi ditandatangani oleh para pihak dengan

diketahui oleh fasilitator, selanjutnya fasilitator menyampaikan Kesepakatan Diversi

kepada Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.

Kepala Kejaksaan Negeri/ Kepala Cabang Kejaksaan Negeri menyampaikan

Kesepakatan Diversi serta Berita Acara Diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri di

wilayah tempat terjadinya tindak pidana, dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari

sejak tercapainya Kesepakatan Diversi untuk dimintakan Penetapan.

Penetapan Ketua Pengadilan Negeri diterima oleh Kepala Kejaksaan Negeri

paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal ditetapkan.

6. Pelaksanaan Kesepakatan Diversi

Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari53 setelah menerima penetapan,

Penuntut Umum memanggil dan meminta para pihak untuk melaksanakan Kesepakatan

Diversi, pelaksanaan Kesepakatan Diversi dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah

disepakati dalam Kesepakatan Diversi namun tidak boleh melebihi ketentuan sebagai

berikut :

53
Ibid, BAB III Point VI, Proses Pelaksanaan Diversi
76

1) Dalam hal Kesepakatan Diversi mensyaratkan pembayaran ganti

kerugian atau pengembalian pada keadaan semula,Kesepakatan Diversi

dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah disepakati dalam

Musyawarah Diversi, namun tidak boleh melebihi 3 (tiga) bulan.

2) Dalam hal Kesepakatan Diversi mewajibkan dilaksanakannya kewajiban

selain bentuk sebagaimana diatur dalam Undang Undang Sistem

Peradilan Pidana Anak, Kesepakatan Diversi dilaksanakan untuk jangka

waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali

paling lama 3 (tiga) bulan.

Anak yang tidak melaksanakan atau melaksanakan tidak sepenuhnya hasil

Kesepakatan Diversi maka Penuntut Umum melimpahkan Perkara Anak ke pengadilan,

dalam hal Korban/Anak Korban tidak melaksanakan hasil kesepakatan, tidak

membatalkan Kesepakatan Diversi.

Pelimpahan Perkara Anak dapat dilakukan dengan pelimpahan perkara acara

pemeriksaan biasa atau pelimpahan perkara acara pemeriksaan singkat sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan, fasilitator tidak dapat dikenai pertanggungjawaban

pidana maupun perdata atas isi Kesepakatan Diversi.

7. Pengawasan dan Pelaporan Kesepakatan Diversi

Kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan/dilaksanakan tidak sepenuhnya dalam

waktu yang telah ditentukan, dan Pembimbing Kemasyarakatan melaporkan kepada

Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri untuk ditindaklanjuti dalam

proses peradilan pidana dengan tembusan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat.
77

Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri memerintahkan Penuntut

Umum untuk menindaklanjuti laporan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari

terhitung sejak tanggal laporan diterima.

8. Penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan

Kepala Kejaksaan Negeri menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan :

1) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari54 terhitung sejak tanggal

diterimanya surat penetapan pengadilan, jika Kesepakatan Diversi berbentuk

perdamaian tanpa ganti kerugian atau penyerahan kembali Anak kepada

orang tua/Wali;

2) Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal

Kesepakatan Diversi selesai dilaksanakan, jika Kesepakatan Diversi berupa

pembayaran ganti kerugian, pengembalian pada keadaan semula, atau

pelayanan masyarakat;

3) Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal

Kesepakatan Diversi selesai dilaksanakan, jika Kesepakatan Diversi berupa

keikutsertaan Anak dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan

atau LPKS; atau

4) Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal

seluruh Kesepakatan Diversi selesai dilaksanakan.

Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan sekaligus memuat penetapan status

barang bukti sesuai dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat.

Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan dikirimkan kepada Ketua Pengadilan

Negeri setempat beserta laporan proses Diversi dan Berita Acara Pemeriksaan dengan
54
Ibid, BAB III Point VIII; Proses Pelaksaan Diversi
78

tembusan kepada Anak dan orang tua/Wali, korban, Anak Korban dan/atau orang

tua/Wali, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional.

9. Registrasi Diversi

Setiap tahapan proses Diversi dalam Perkara Anak dicatat dalam Register

Perkara Anak dan dilaporkan secara periodik dan/atau insidentil kepada pimpinan.

Pencatatan dilakukan dengan mempedomani tahapan proses pelaksanaan Diversi

sebagaimana diatur di dalam Peraturan Jaksa Agung ini.

C. Penerapan Diversi Pada Tingkat Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan di

Sibuhuan

Pada studi kasus di Cabang Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan di Sibuhuan

perkara pidana yang umumnya pernah masuk dalam perkara anak sebagai pelaku tindak

pidana sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung N0 6 Tahun 2015 pada BAB II yaitu :

1. Kriteria tindak pidana yang wajib dilakukan Diversi


a. Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi pada tingkat Penuntutan.
b. Diversi sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilaksanakan dalam tindak
pidana yang dilakukan:
1) Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
2) Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
2. Kriteria Anak yang wajib dilakukan Diversi
a. Upaya Diversi wajib dilakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.
b. Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka (1), upaya Diversi
wajib dilakukan meskipun Anak sudah atau pernah kawin.
79

Perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur di daerah cabang

kejaksaan Negeri Padangsidimpuan di Sibuhuan adalah sebagai berikut :

Pasal 362

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian

kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,

diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau

pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Pasal 363

“(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

1.  pencurian ternak;

2.  pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir gempa bumi, atau

gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan

kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;

3.  pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup

yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak

diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;

4.  pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih:

5.   pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk

sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong

atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau

pakaian jabatan palsu.”

Pasal 351
80

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan

bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam

dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh

tahun.

Pasal 170

“(1) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama

menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

(2) Yang bersalah diancam:

1.Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja

menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan

mengakibatkan luka-luka;”

Analisa kasus pada studi kasus di Cabang kejaksaan Negeri PadangSidimpuan di

Sibuhuan yaitu :

1. Penetapan No.03/Pid.Sus.Anak/2014/PN/Psp,

Kasus Posisi :

Pada hari sabtu tanggal 10 Mei 2014 sekitar pukul 23.00 wib di desa Aliaga

Kec. Hutaraja Tinggi Kab. Padang Lawas. Ketika sedang melewati jalan umum

didatangi oleh tersangka 1 Muhammad ali syahbana Hasibuan, tersangka 2

Ramlan Lubis dan Tersangka 3 Muhammad Sobirin Lubis dan langsung

memukul Saksi korban Muhammad Kholil Siregar, hingga luka sebagai Visum
81

Et Repertum No; 567/VER/V/2014 tanggal 11 Mei 2014 yang dibuat dr.Paizah,

doktet pada puskesmas Pasar Ujung Batu.

Pasal yang disangkakan :

Primair : Pasal 170 KUHP

Subsidair : Pasal 351 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP

Proses Diversi :

Sesuai dengan Petunjuk teknis dari Peraturan Jaksa Agung N0 6 Tahun 2015

tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntut Umum ada 9

Tahapan dalam proses diversi yang harus diterapkan pada tingkat kejaksaan

yaitu :

1. Penunjukan Penuntut Umum;

Pada Point 1; Kepala Cabang Kejaksaan Negeri PadagSidimpuan di Sibuhuan

sudah menerbitkan surat penunjukan Jaksa Penuntut Umum dengan No kode P-

16 Anak, dengan No SP: 01/N.2.20/Ep.1/12/2014, hanya saja penunjukannya

hanya 1(satu) JPU saja, padahal menurut Petunjuk Teknis tersebut minimal

2(dua) JPU hal ini dikarenakan kekurangan JPU didaerah Cabang Kejaksaan

Negeri Padang Sidimpuan di Sibuhuan;

2. Koordinasi;

Setelah Menerbitkan P-16 Anak , JPU yang tertera sesuai dengan nama yang

ditunjuk oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri PadangSidimpuan di Sibuhuan

langsung melakukan koordinasi dengan penyidik Polri tentang perkara anak

tersebut yang mana SPDP (Surat perintah Dimulainya Penelidikan) telah masuk

ke kantor kejaksaan untuk menghindari bolak-balik berkas perkara.


82

3. Upaya Diversi;

Setelah Menerima Penyerahan Tanggung Jawab atas anak dan barang bukti

(Tahap II), JPU yang telah ditunjuk oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri

PadangSidimpuan di Sibuhuan melakukan penelitian terhadap identitas tersangka

dengan membuat Berita acara penerimaan dan penelitian Anak dan Barang bukti,

dan dalam waktu 7 x 24 jam, JPU tersebut harus melakukan diversi.

Pada prakteknya di Kantor Cabang kejaksaan Negeri padangsidimpuan, JPU

yang telah ditunjuk setelah menerima berkas perkara dari penyidik Polri,

langsung melakukan upaya pemanggilan para pihak baik tersangka, korban,

Bapas dan tokoh masyarakat untuk melakukan diversi pada hari yang ditentukan

(7 hari setelah berkas diterima),

4. Musyawarah Diversi;

Setalah JPU Anak tersebut melakukan pemanggilan, pada hari yang ditentukan

para pihak yang dipanggil secara sah dan patut, langsung di musyawarahkan di

kantor Cabang Kejaksaan Negeri PadangSidimpuan di Sibuhuan, Musyawarah

Diversi dipimpin oleh Penuntut Umum sebagai fasilitator yang diawali dengan

perkenalan para pihak. Fasilitator menyampaikan maksud dan tujuan

dilaksanakannya Musyawarah Diversi, peran dari fasilitator, tata-tertib

musyawarah untuk disepakati oleh para pihak dan penjelasan tentang waktu dan

tempat serta ringkasan dugaan tindak pidana yang didakwakan terhadap Anak.

Pembimbing Kemasyarakatan menjelaskan ringkasan hasil penelitian

kemasyarakatan yang dilakukan terhadap Anak. Fasilitator wajib memberikan


83

kesempatan kepada para pihak untuk memberikan pendapat, saran, dan/atau

tanggapan terhadap:

1) tindak pidana yang dipersangkakan kepada Anak;

2) hasil penelitian laporan kemasyarakatan;

3) hasil laporan sosial; dan/atau

4) bentuk dan cara penyelesaian perkara.

Pada studi kasus ini, Terjadi Pertemuan antara pihak tersangka 1 Muhammad ali

syahbana Hasibuan, tersangka 2 Ramlan Lubis dan Tersangka 3 Muhammad

Sobirin Lubis dan Saksi korban Muhammad Kholil Siregar dengan fasilitator

JPU di Cabang Kejaksaan Negeri Sidimpuan di sibuhuan dan disaksikan Kepala

desa Sibodak sosa jae Kec. Hutaraja tinggi Kab Padang Lawas pada tanggal 4

Desember 2014. Musyawarah Diversi dicatat dalam Berita Acara Diversi,

ditandatangani oleh fasilitator serta para pihak yang hadir dalam Musyawarah

Diversi dan dilaporkan kepada Kepala Cabang Kejaksaan Negeri

PadangSidimpuan di Sibuhuan. Dalam hal Musyawarah Diversi tidak berhasil

mencapai kesepakatan, Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan

Negeri PadangSidimpuan dengan pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa

atau pelimpahan perkara acara pemeriksaan singkat sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan dengan melampirkan Berita Acara Diversi dan Hasil

Penelitian Kemasyarakatan.

5. Kesepakatan Diversi;

Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban, Anak Korban

dan/atau orang tua/wali kecuali untuk :


84

1) tindak pidana yang berupa pelanggaran;

2) tindak pidana ringan;

3) tindak pidana tanpa korban; atau

4) nilai kerugian korban atau Anak Korban tidak lebih dari upah

minimum provinsi setempat.

Dalam penyusunan dan perumusan Kesepakatan Diversi, fasilitator

memperhatikan dan mengarahkan agar Kesepakatan Diversi tidak memuat hal

yang bertentangan dengan hukum, kepatutan masyarakat setempat, kesusilaan,

ketertiban umum dan hal-hal yang tidak dapat dilaksanakan atau itikad tidak

baik.

6. Pelaksanaan Kesepakatan Diversi;

Setelah mendapat surat penetapan diversi dari pengadilan negeri

padangsidimpuan, Penuntut Umum memanggil dan meminta para pihak untuk

melaksanakan Kesepakatan Diversi, pelaksanaan Kesepakatan Diversi

dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah disepakati dalam Kesepakatan

Diversi namun tidak boleh melebihi 3 (tiga) bulan, namun dapt diperpanjang

1(satu) kali dengan masa perpanjangan 3 bulan, Pada prakteknya di Cabang

kejaksaan negeri padangsidimpuan, JPU langsung memberikan kesepakatan

langsung yaitu memberikan kompensasi apabila disepakati untuk menghindari

wanprestasi dari pihak tersangka.

7. Pengawasan dan Pelaporan Kesepakatan Diversi;

Apabila dalam waktu yang ditentukan tidak terlaksana kesepakatan maka pihak

JPU dapat menindak lanjuti berkas perkara tersebut agar dilimpahkan ke


85

Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, Pada Prakteknya di cabang Kejaksaan

Negeri Padangsidimpuan di Sibuhuan tidak terjadi pelaporan karena JPU selalu

membuat kesepakatan bersama dengan para pihak untuk memberikan langsung

kompensasi atau ganti rugi untuk menghindari wanprestasi.

8. Penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan;

Setelah para pihak menyetuji dan menandatangani surat kesepakatan diversi,

setelah surat penetapan dari Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, JPU

mengeluarkan surat penghentian penuntutan dengan register kode – 26.

9. Registrasi Diversi.

Setelah di terbitkan surat P-26 atau penghentian penuntutan, JPU harus

meregister perkara anak tersebut dalam buku register anak dan melaporkan

secara periodik kepada pimpinan.

Hasil Diversi :

Pasal 1. Muhammad ali syahbana Hasibuan, Ramlan Lubis dan Muhammad

Sobirin Lubis dan Muhammad Kholil Siregar tidak ada permasalahan sebelum

dan sesudah adanya Berkas perkara dari penyelidikan.

Pasal 2 . Muhammad ali syahbana Hasibuan, Ramlan Lubis dan Muhammad

Sobirin Lubis dan Muhammad Kholil Siregar sepakat untuk menyelesaikan

secara kekeluargaan dengan fasilitasi kejaksaan selaku fasilitator tanpa ada

ketentuan dan syarat apapun dimana tidak ada dendam atau permasalahan antara

para pihak dikemudian hari.

Pasal 3. Kesepakatan ini dipenuhi secara seketika maka proses pemeriksaan

tidak dilanjutkan dalam proses persidangan.


86

Analisa :

Proses diversi baru ditemukan kata sepakat pada tingkat kejaksaan karena

adanya peran serta kerterlibatan dari Pihak kepala desa dalam

memusyarawahkan penduduk desanya, dan ditambah lagi, dalam proses berkas

perkara ini terdapat 1 pelaku dewasa yang sebenarnya yang melakukan tindak

pidana penganiayaan, yang dalam BAP nya sudah di pisahkan antara BAP anak-

anak dan BAP dewasa, sehingga proses Diversi ini dapat berjalan dengan baik.

2. Penetapan No.01/Pid.Sus.Anak/2015/PN/Psp,

Kasus Posisi :

Pada hari Rabu tanggal 15 Oktober 2014 sekitar Pkl 04.30 Wib bertempat di

rumah saksi Bisma Rohim di desa Lubuk Bunut kec. Sosa Kab. Padang Lawas,

terdakwa SAIDI SIREGAR mengamati rumah saksi Bisma Rohim Damanik

terlebih dahulu dengan jalan sekeliling rumah saksi dan setelah rasa aman lalu

terdakwa membuka paksa jendela dapur rumah saksi Bisma Rohim Damanik

dengan mengunakan Kunci T kemudian masuk kedalam rumah melalui jendela

yang sesampai didalam rumah terdakwa melihat 1(satu) unit sepeda motor

Honda Supra x 125 tahun 2010 warna violet Silver dengan no mor polisi BB

5421 KC milik saksi supriyanto dalam keadaan terkunci dan dimana saksi Bisma

Rohim Damanik dan Saksi Supriyanto dalam keadaan tertidur. Melihat hal

tersebut lalu terdakwa membuka pintu dapur rumah dengan menggunakan kunci

yang tergantung dipintu dapur lalu mendorong sepeda motor tersebut kekuar

rumah lalu masuk kembali kedalam rumah dan mengunci pintu dapur rumah dari

dalam kemudian keluar melalui jendela selanjutnya membawa sepeda motor


87

pergi. Bahwa akibat perbuatan terdakwa SAIDI dam saksi Supriyanto

mengalami kerugian sebesar ± Rp 7.000.000 (tujuh juta rupiah).

Pasal yang disangkakan :

Pasal 363 Ayat (1) ke-3 dan ke-5 KUHP Jo Pasal 363 Ayat (2).

Proses Diversi :

Sesuai dengan Petunjuk teknis dari Peraturan Jaksa Agung N0 6 Tahun 2015

tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntut Umum ada 9

Tahapan dalam proses diversi yang harus diterapkan pada tingkat kejaksaan

yaitu :

1. Penunjukan Penuntut Umum;

Pada Point 1; Kepala Cabang Kejaksaan Negeri PadagSidimpuan di Sibuhuan

sudah menerbitkan surat penunjukan Jaksa Penuntut Umum dengan Nomor kode

P-16 Anak, dengan No SP: 10/N.2.20/Ep.1/11/2014, hanya saja penunjukannya

hanya 1(satu) JPU saja, padahal menurut Petunjuk Teknis tersebut minimal

2(dua) JPU hal ini dikarenakan kekurangan JPU didaerah Cabang Kejaksaan

Negeri Padang Sidimpuan di Sibuhuan;

2. Koordinasi;

Setelah Menerbitkan P-16 Anak , JPU yang tertera sesuai dengan nama yang

ditunjuk oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri PadangSidimpuan di Sibuhuan

langsung melakukan koordinasi dengan penyidik Polri tentang perkara anak

tersebut yang mana SPDP (Surat perintah Dimulainya Penelidikan) telah masuk

ke kantor kejaksaan untuk menghindari bolak-balik berkas perkara.

3. Upaya Diversi;
88

Setelah Menerima Penyerahan Tanggung Jawab atas anak dan barang bukti

(Tahap II), JPU yang telah ditunjuk oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri

PadangSidimpuan di Sibuhuan melakukan penelitian terhadap identitas tersangka

dengan membuat Berita acara penerimaan dan penelitian Anak dan Barang bukti,

dan dalam waktu 7 x 24 jam, JPU tersebut harus melakukan diversi.

Pada prakteknya di Kantor Cabang kejaksaan Negeri padangsidimpuan, JPU

yang telah ditunjuk setelah menerima berkas perkara dari penyidik Polri,

langsung melakukan upaya pemanggilan para pihak baik tersangka, korban,

Bapas dan tokoh masyarakat untuk melakukan diversi pada hari yang ditentukan

( 7 hari setelah berkas diterima),

4. Musyawarah Diversi;

Setalah JPU Anak tersebut melakukan pemanggilan, pada hari yang ditentukan

para pihak yang dipanggil secara sah dan patut, langsung di musyawarahkan di

kantor Cabang Kejaksaan Negeri PadangSidimpuan di Sibuhuan, Musyawarah

Diversi dipimpin oleh Penuntut Umum sebagai fasilitator yang diawali dengan

perkenalan para pihak. Fasilitator menyampaikan maksud dan tujuan

dilaksanakannya Musyawarah Diversi, peran dari fasilitator, tata-tertib

musyawarah untuk disepakati oleh para pihak dan penjelasan tentang waktu dan

tempat serta ringkasan dugaan tindak pidana yang didakwakan terhadap Anak.

Pembimbing Kemasyarakatan menjelaskan ringkasan hasil penelitian

kemasyarakatan yang dilakukan terhadap Anak. Fasilitator wajib memberikan

kesempatan kepada para pihak untuk memberikan pendapat, saran, dan/atau

tanggapan terhadap:
89

1) tindak pidana yang dipersangkakan kepada Anak;

2) hasil penelitian laporan kemasyarakatan;

3) hasil laporan sosial; dan/atau

4) bentuk dan cara penyelesaian perkara.

Pada studi kasus ini, terjadi pertemuan antar pihak tersangka Saidi dan wali

tersangka Yusni Samroh Siregar dan korban Supriyanto dan Orang tua korban

Suyadi serta lurah pasar sibuhuan A.Juneid Siregar serat fasilitator JPU Cabang

Kejaksaan Padangsidimpuan di Sibuhuan, pada tanggal 14 Januari 2015.

Musyawarah Diversi dicatat dalam Berita Acara Diversi, ditandatangani oleh

fasilitator serta para pihak yang hadir dalam Musyawarah Diversi dan dilaporkan

kepada Kepala Cabang Kejaksaan Negeri PadagSidimpuan di Sibuhuan. Dalam

hal Musyawarah Diversi tidak berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum

melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri PadangSidimpuan dengan

pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa atau pelimpahan perkara acara

pemeriksaan singkat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dengan

melampirkan Berita Acara Diversi dan Hasil Penelitian Kemasyarakatan.

5. Kesepakatan Diversi;

Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban, Anak Korban

dan/atau orang tua/wali kecuali untuk :

1) tindak pidana yang berupa pelanggaran;

2) tindak pidana ringan;

3) tindak pidana tanpa korban; atau

4) nilai kerugian korban atau Anak Korban tidak lebih dari upah
90

minimum provinsi setempat.

Dalam penyusunan dan perumusan Kesepakatan Diversi, fasilitator

memperhatikan dan mengarahkan agar Kesepakatan Diversi tidak memuat hal

yang bertentangan dengan hukum, kepatutan masyarakat setempat, kesusilaan,

ketertiban umum dan hal-hal yang tidak dapat dilaksanakan atau itikad tidak

baik.

6. Pelaksanaan Kesepakatan Diversi;

Setelah mendapat surat penetapan diversi dari pengadilan negeri

padangsidimpuan, Penuntut Umum memanggil dan meminta para pihak untuk

melaksanakan Kesepakatan Diversi, pelaksanaan Kesepakatan Diversi

dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah disepakati dalam Kesepakatan

Diversi namun tidak boleh melebihi 3 (tiga) bulan, namun dapt diperpanjang

1(satu) kali dengan masa perpanjangan 3 bulan,

Pada prakteknya di Cabang kejaksaan negeri padangsidimpuan, JPU langsung

memberikan kesepakatan langsung yaitu memberikan kompensasi secara

langsung kepada pihak korban yaitu pada berkas perkara ini terdapat kompensasi

sebesar Rp.1.000.000,- (Satu Juta Rupiah) untuk menghindari wanprestasi dari

pihak tersangka.

7. Pengawasan dan Pelaporan Kesepakatan Diversi;

Apabila dalam waktu yang ditentukan tidak terlaksana kesepakatan maka pihak

JPU dapat menindak lanjuti berkas perkara tersebut agar dilimpahkan ke

Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, Pada Prakteknya di cabang Kejaksaan

Negeri Padangsidimpuan di Sibuhuan tidak terjadi pelaporan karena JPU selalu


91

membuat kesepakatan bersama dengan para pihak untuk memberikan langsung

kompensasi atau ganti rugi untuk menghindari wanprestasi.

8. Penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan;

Setelah para pihak menyetuji dan menandatangani surat kesepakatan diversi,

setelah surat penetapan dari Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, JPU

mengeluarkan surat penghentian penuntutan dengan register kode P– 26.

9. Registrasi Diversi.

Setelah di terbitkan surat P-26 atau penghentian penuntutan, JPU harus

meregister perkara anak tersebut dalam buku register anak dan melaporkan

secara periodik kepada pimpinan.

Hasil Diversi :

Pasal 1. Saidi Siregar dan Supriyanto tidak ada permasalahan sebelum dan

sesudah adanya Berkas perkara dari penyelidikan.

Pasal 2 . Saidi Siregar dan Supriyanto sepakat untuk menyelesaikan secara

kekeluargaan dengan fasilitasi kejaksaan selaku fasilitator dengan ketentuan dan

syarat pembayaran biaya perbaikan sepeda motor milik Supriyanto sebesar Rp

1.000.000,- (satu juta rupiah).

Pasal 3. Pihak Saidi Siregar membayar biaya perbaikan sepeda motor milik

Supriyanto sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) secara langsung dan

seketika kepada Supriyanto dihadapan fasilitator.

Pasal 4. Saidi Siregar dan Supriyanto sepakat untuk menyelesaikan secara

kekeluargaan dengan fasilitasi Kejaksaan Selaku Fasilitator dimana tidak ada

denda ataupun permasalahan antara para pihak dikemudian hari.


92

Pasal 5. Kesepakatan ini dipenuhi seketika maka proses pemeriksaan tidak

dilanjutkan dalam proses persidangan.

Analisa :

Proses diversi baru ditemukan kata sepakat pada tingkat kejaksaan karena pada

tingkat penyidik polri dalam BAP tersangka saidi menyatakan bahwa dirinya

adalah dewasa dengan umur 19 tahun dan hingga dipengadilan lalu pihak

keluarga datang dan membawa surat bukti Kartu keluarga yang menyatakan

bahwa dirinya masih 15 Tahun, oleh sebab itu berkas perkara saidi dikembalikan

ke pihak Kejaksaan untuk dilakukan Diversi terlebih dahulu dikarena status

tersangka ada masih anak dibawah umur, dan dengan keterlibatan seluruh pihak

antara keluarga korban dan tersangka serta lurah di pasar sibuhuan untuk

mendamaikan warganya, sehingga timbul kata sepakatan dengan biaya

kompensasi kepada pihak korban sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) pada

tanggal 14 Januari 2015.

3. Penetapan No.31/Pid.Sus.A/2015/PN/Psp,

Kasus Posisi :

Pada hari Jumat tangal 13 Nopember 2015 sekitar Pukul 13.00 Wib bertempat

dikebun kelapa sawit milik PT MAI Bunut Sosa pada Blok 121 Afd III Kec.

Sosa, Kab. Padang Lawas, anak Faisal Siregar , saksi Hoirudin Nasution dan

Sarwedi Nasution tiba di kebun kelapa sawit milik PT MAI Bunut Sosa pada

Blok 121 Afd III Kec. Sosa, kab. Padang Lawas lalu saksi Hoirudin Nasution

menghentikan becak dipinggir kebun kemudian anak faisal siregar dan sarwedi

nasution masuk kedalam kebun tersebut lalu sarwedi nasution mengegrek buah
93

kelapa sawit dari pohon kelapa sawit dengan menggunakan 1 (satu) buah pisau

egrek hingga buah kelapa sawit jatuh dari pohon kelapa sawit lalu anak faisal

melangsir/mengangkut buah kelapa sawit tersebut menuju parit gajah/batas

kebun dimansa saksi Hoirudin menunggu saksi lalu saksi hoirudin nasution

melangsir/mengangkut buah kelapa sawit tersebut dari parit gajah/batas kebun

menuju becak motor yang diparkir dipinggir kebun tersebut hingga keseluruhan

yang telah dilangsir/diangkut kebecak sebanyak 8(delapan) tanda buah kelapa

sawit namun secara tiba-tiba saksi Ansori Nasution dan saksi Sonang Ranto

Siregar yang merupakan petugas keamanan datang dna membawa anak faisal

berikut 8 (delapan) tanda buah kelapa sawit, 1(satu) buah pisau egrek dan

1(satu) buah becak motor ke kantor polisi.

Pasal yang disangkakan :

Pasal 363 Ayat (1) ke-4

Proses Diversi :

Sesuai dengan Petunjuk teknis dari Peraturan Jaksa Agung N0 6 Tahun 2015

tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntut Umum ada 9

Tahapan dalam proses diversi yang harus diterapkan pada tingkat kejaksaan

yaitu :

1. Penunjukan Penuntut Umum;

Pada Point 1; Kepala Cabang Kejaksaan Negeri PadagSidimpuan di Sibuhuan

sudah menerbitkan surat penunjukan Jaksa Penuntut Umum dengan Nomor kode

P-16 Anak, dengan No SP: 12/N.2.20/Ep.3/11/2015, hanya saja penunjukannya

hanya 1(satu) JPU saja, padahal menurut Petunjuk Teknis tersebut minimal
94

2(dua) JPU hal ini dikarenakan kekurangan JPU didaerah Cabang Kejaksaan

Negeri Padang Sidimpuan di Sibuhuan;

2. Koordinasi;

Setelah Menerbitkan P-16 Anak , JPU yang tertera sesuai dengan nama yang

ditunjuk oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri PadangSidimpuan di Sibuhuan

langsung melakukan koordinasi dengan penyidik Polri tentang perkara anak

tersebut yang mana SPDP (Surat perintah Dimulainya Penelidikan) telah masuk

ke kantor kejaksaan untuk menghindari bolak-balik berkas perkara.

3. Upaya Diversi;

Setelah Menerima Penyerahan Tanggung Jawab atas anak dan barang bukti

( Tahap II), JPU yang telah ditunjuk oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri

PadangSidimpuan di Sibuhuan melakukan penelitian terhadap identitas tersangka

dengan membuat Berita acara penerimaan dan penelitian Anak dan Barang bukti,

dan dalam waktu 7 x 24 jam, JPU tersebut harus melakukan diversi.

Pada prakteknya di Kantor Cabang kejaksaan Negeri padangsidimpuan, JPU

yang telah ditunjuk setelah menerima berkas perkara dari penyidik Polri,

langsung melakukan upaya pemanggilan para pihak baik tersangka, korban,

Bapas dan tokoh masyarakat untuk melakukan diversi pada hari yang ditentukan

(7 hari setelah berkas diterima),

4. Musyawarah Diversi;

Setalah JPU Anak tersebut melakukan pemanggilan, pada hari yang ditentukan

para pihak yang dipanggil secara sah dan patut, langsung di musyawarahkan di

kantor Cabang Kejaksaan Negeri PadangSidimpuan di Sibuhuan, Musyawarah


95

Diversi dipimpin oleh Penuntut Umum sebagai fasilitator yang diawali dengan

perkenalan para pihak. Fasilitator menyampaikan maksud dan tujuan

dilaksanakannya Musyawarah Diversi, peran dari fasilitator, tata-tertib

musyawarah untuk disepakati oleh para pihak dan penjelasan tentang waktu dan

tempat serta ringkasan dugaan tindak pidana yang didakwakan terhadap Anak.

Pembimbing Kemasyarakatan menjelaskan ringkasan hasil penelitian

kemasyarakatan yang dilakukan terhadap Anak. Fasilitator wajib memberikan

kesempatan kepada para pihak untuk memberikan pendapat, saran, dan/atau

tanggapan terhadap:

1) tindak pidana yang dipersangkakan kepada Anak;

2) hasil penelitian laporan kemasyarakatan;

3) hasil laporan sosial; dan/atau

4) bentuk dan cara penyelesaian perkara.

Pada studi kasus ini, terjadi pertemuan antar pihak tersangka Faisal Siregar dan

wali tersangka Heny Siregar dan korban dari PT MAI yang diwakili oleh Eddy

Husni dan Basaruddin Hasibuan serta BAPAS Sibuhuan Edi Syahputra

Hasibuan serta fasilitator JPU Cabang Kejaksaan Padangsidimpuan di Sibuhuan,

pada tanggal 27 Nopember 2015. Musyawarah Diversi dicatat dalam Berita

Acara Diversi, ditandatangani oleh fasilitator serta para pihak yang hadir dalam

Musyawarah Diversi dan dilaporkan kepada Kepala Cabang Kejaksaan Negeri

PadagSidimpuan di Sibuhuan. Dalam hal Musyawarah Diversi tidak berhasil

mencapai kesepakatan, Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan

Negeri PadangSidimpuan dengan pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa


96

atau pelimpahan perkara acara pemeriksaan singkat sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan dengan melampirkan Berita Acara Diversi dan Hasil

Penelitian Kemasyarakatan.

5. Kesepakatan Diversi;

Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban, Anak Korban

dan/atau orang tua/wali kecuali untuk :

1) tindak pidana yang berupa pelanggaran;

2) tindak pidana ringan;

3) tindak pidana tanpa korban; atau

4) nilai kerugian korban atau Anak Korban tidak lebih dari upah

minimum provinsi setempat.

Dalam penyusunan dan perumusan Kesepakatan Diversi, fasilitator

memperhatikan dan mengarahkan agar Kesepakatan Diversi tidak memuat hal

yang bertentangan dengan hukum, kepatutan masyarakat setempat, kesusilaan,

ketertiban umum dan hal-hal yang tidak dapat dilaksanakan atau itikad tidak

baik.

6. Pelaksanaan Kesepakatan Diversi;

Setelah mendapat surat penetapan diversi dari pengadilan negeri

padangsidimpuan, Penuntut Umum memanggil dan meminta para pihak untuk

melaksanakan Kesepakatan Diversi, pelaksanaan Kesepakatan Diversi

dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah disepakati dalam Kesepakatan

Diversi namun tidak boleh melebihi 3 (tiga) bulan, namun dapt diperpanjang

1(satu) kali dengan masa perpanjangan 3 bulan, Pada prakteknya di Cabang


97

kejaksaan negeri padangsidimpuan, JPU langsung memberikan kesepakatan

langsung yaitu memberikan kompensasi secara langsung kepada pihak korban

yaitu pada berkas perkara ini terdapat kompensasi sebesar Rp.1.000.000,- (Satu

Juta Rupiah) untuk menghindari wanprestasi dari pihak tersangka.

7. Pengawasan dan Pelaporan Kesepakatan Diversi;

Apabila dalam waktu yang ditentukan tidak terlaksana kesepakatan maka pihak

JPU dapat menindak lanjuti berkas perkara tersebut agar dilimpahkan ke

Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, Pada Prakteknya di cabang Kejaksaan

Negeri Padangsidimpuan di Sibuhuan tidak terjadi pelaporan karena JPU selalu

membuat kesepakatan bersama dengan para pihak untuk memberikan langsung

kompensasi atau ganti rugi untuk menghindari wanprestasi.

8. Penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan;

Setelah para pihak menyetuji dan menandatangani surat kesepakatan diversi,

setelah surat penetapan dari Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, JPU

mengeluarkan surat penghentian penuntutan dengan register kode P– 26.

9. Registrasi Diversi.

Setelah di terbitkan surat P-26 atau penghentian penuntutan, JPU harus

meregister perkara anak tersebut dalam buku register anak dan melaporkan

secara periodik kepada pimpinan.

Hasil Diversi :

Anak : Memohon kepada korban untuk memaafkan perbuatannya.

Orang tua atau wali : Memohon kepada korban agar mau memaafkan dan

berusaha untuk mengupayakan damai.


98

Korban : PT MAI yang diwakili oleh Eddy Husni dan Basarudin Hasibuan :

sejak awal tidaka ada penyesalan anak tersebut ketika selesai melakukan

tindakan dan kami meminta untuk sementara ini proses hukum terhadap anak

Faisal Siregar tetap di lanjutkan.

Bahwa setelah dilakukan musyawarah, ternyata para pihak tidak mempunyai

kesepahaman pendapat terkait penyelesaian perkara anak dan untuk tercapainya

suatu kesepakatan fasilitator member saran sebagai berikut : agar upaya

mencapai kesepakatan terus dilakukan.

Bahwa atas saran fasilitator kepada para pihak, ternyata masih belum terdapat

kesepahaman pendapat, sehingga musywarah Diversi tidaka berhasil mencapai

kata sepakat, maka proses pemeriksaan perkara akan dilanjutkan kepengadilan.

Analisa :

Proses diversi tidak ditemukan kata sepakat pada tingkat kejaksaan karena pihak

korban dari PT MAI tetap bersikeras bahwa anak pelaku tindak pidana tersebut

tidak menunjukan rasa penyesalannya, namun analisa dari Penulis bahwa salah

satu faktor yang tidak ditemukan perdamaian atau proses diversi tidak berhasil

adalah dikarenakan tidak adanya peran serta kepala desa yang membantu

mendamaikan para pihak korban dan tersangka dan ditambah lagi tidak ada

pengetahuan para pihak dan seluruh masyarakat tentang Diversi serta pentingnya

perlindungan bagi anak yang masih dibawah umur.

Penegak hukum khusus pada penulisan ini pada tingkat Penuntut Umum juga

harus memperhatikan pertimbangan sesuai dengan bunyi pasal 9 Undang-Undang

Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang berbunyi :


99

1. Penyidik, Penuntut umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus


mempertimbangkan :
a. Kategori tindak pidana;
b. Umur anak;
c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas;
d. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
2. Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau
keluarga Anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya,kecuali untuk :
a. Tindak pidana yang berupa pelanggaran;
b. Tindak pidana ringan;
c. Tindak pidana tanpa korban;
d. Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah menimum provinsi
setempat.

Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interaksi,

interkoneksi dan interpendensi (interface) dengan lingkungannya dalam peringkat-

peringkat, masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan, dan teknologi serta subsistem-

subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsystems of criminal justice

system), salah satu indikator keterpaduan sistem peradilan pidana adalah “sinkronisasi”

pelaksanaan penegakan hukum.55 Selanjutnya sistem peradilan pidana harus dilihat

sebagai sistem terbuka (open system) sebab pengaruh lingkungan seringkali

berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tersebut mencapai tujuannya. Dalam hal ini,

dalam menyelesaikan perkara pidana anak tidak bisa disamakan dengan orang dewasa

yang dengan proses pidana biasa. Sehingga dapat dikatakan hukum pidana harus

melihat atau mempertimbangkan individualisasi pelaku tindak pidana.

55
Muladi, Kapita selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip: Semarang,1995, hal 7
100

BAB IV

KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PENERAPAN DIVERSI PADA


TINGKAT PENUNTUT UMUM

A. Kendala dari Segi Hukum

Substansi hukum (legal substance) merupakan aturan, norma dan pola perilaku

manusia yang berada di dalam sistem hukum. Substansi hukum (legal substance) berarti

produk yang dihasilkan oleh orang yang berada didalam sistem hukum itu, baik berupa

keputusan yang telah dikeluarkan maupun aturan-aturan baru yang hendak disusun.

Substansi hukum (legal substance) tidak hanya pada hukum yang tertulis (law in the

book), tetapi juga mencakup hukum yang hidup didalam masyarakat (the living law).56

Pengakuan Internasional pertama tentang Diversi bagi anak yang berhadapan

dengan hukum muncul pada tahun 1985 dalam Beijing Rules yang mengatur bahwa

diversi bisa dilakukan oleh Polisi, Jaksa dan Hakim. Aturan 11 dalam Beijing Rules

menjelaskan kapan dan bagaimana diversi seharusnya digunakan pada anak yang

berhadapan dengan hukum. Aturan 11.2 lebih spesifik menyatakan bahwa Polisi, Jaksa,

Hakim dan badan-badan lainnya harus diberdayakan agar menangani kasus anak yang

berhadapan dengan hukum menggunakan diversi. Konvensi Hak Anak Internasional

Perserikatan Bangsa-bangsa (Convention on the Rights of the child) tahun 1990 pada

pasal 40.3 (b) menetapkan bahwa diversi adalah cara yang paling tepat menangani anak

yang berhadapan dengan hukum. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak

56
Marlina,”Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice”, Op.Cit, hal 14
101

Internasional tahun 1990 melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 dan berlaku

tanggal 05 Oktober 1990. Selain Konvensi Hak Anak dan Beijing Rules, instrumen

hukum internasional seperti The Tokyo Rules, Riyadh Guidelines dan Havana Rules

telah melengkapi pengaturan, pengakuan dan pemajuan perlindungan Hak Anak.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2012 secara tegas

menyatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan

Keadilan Restoratif. Diversi dilaksanakan dengan tujuan untuk mencapai perdamaian

antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan,

menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk

berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Pasal 7 (1) Undang-

Undang Nomor 11 tahun 2012 bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan Diversi. Diversi

dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di

bawah 7 (tujuh) bulan dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Proses diversi

dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban

dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial

professional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif dapat melibatkan tenaga

kesejahteraan sosial dan atau masyarakat yang hasilnya dibuat dalam bentuk Berita

Acara Diversi. Pelaksanaan proses Diversi wajib diperhatikan kepentingan korban,

kesejahteraan dan tanggungjawab anak, penghindaran stigma negatif, keharmonisan

masyarakat dan kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum. Kewajiban Jaksa Penuntut

Umum untuk melakukan diversi diatur dalam pasal 42 UU Nomor 11 tahun 2012

dimana Penuntut Umum wajib melakukan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah
102

menerima berkas perkara dari Penyidik. Penafsiran 7 (tujuh) hari setelah menerima

berkas perkara dari Penyidik dapat dimaknai pada saat dilakukan Proses Prapenuntutan

dan secara riel tanggungjawab tersangka dan barang bukti masih menjadi tanggung

jawab penyidik sehingga dalam pelaksanaannya nanti Penuntut Umum harus melakukan

koordinasi dengan Penyidik menyangkut waktu, tempat dan cara pemanggilan terhadap

mereka-mereka yang wajib hadir dalam proses diversi. Yang menjadi kendala yang

dihadapi oleh Penuntut Umum yaitu hingga saat ini aturan dan tata cara pelaksanaan

Diversi dalam tahap Penuntutan belum diatur baik.

Sebelum terbentuknya peraturan khusus pada tingkat penuntut umum mengenai

penanganan anak yang berhadapan dengan hukum yaitu : Peraturan Jaksa Agung

Nomor PER-006/A/J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat

Penuntut Umum, tertanggal 15 Juni 2015, pada tingkat penuntut umum masih

berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, yang berlaku aktif 2(dua) tahun sejak di keluarkan pada tanggal 31 Juli

2012 dan secara otomatis berlaku bagi seluruh wilayah Republik Indonesia pada tanggal

1 Agustus 2014 dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 4 tahun 2014 tentang

Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak , yang berlaku

pada tanggal 24 Juli 2014, sesuai dengan studi kasus yang penulis angkat pada

penelitian ini ada 2(dua) berkas yang masih menggunakan pedoman aturan Perma

Nomor 4 Tahun 2014 tersebut.

Pada berkas pertama yaitu “PUTUSAN PENETAPAN DIVERSI

PENGADILAN NEGERI PADANG SIDIMPUAN DI SIBUHUAN No:

03/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Psp” mengenai kasus penganiayaan antara sesama anak yang


103

masih dibawah umur dengan pasal yang disangkakan adalah pasal 170 dari KUHP

dimana pelaku dan korban masih berumur 17 tahun, tetapi salah satu dari tersangka ada

1(satu) orang dewasa, sehingga berkas tersebut harus di split atau di pisahkan atara

berkas perkara anak yang masih dibawah umur dengan orang dewasa, sehingga berkas

perkara anak dapat di upaya diversi sesuai dengan bunyi pasal 7 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang berbunyi:

“Pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di

pengadilan negeri wajib diupayakan diversi”.

Sedangkan orang dewasa yang masuk dalam salah satu tersangka penganiayaan tersebut

akan masuk dalam pengadilan umum untuk orang dewasa sesuai dengan bunyi pasal 24

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang berbunyi:

“Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa atau

anggota Tentara Nasional Indonesia diajukan ke pengadilan Anak, sedangkan

orang dewasa atau anggota Tentara Nasional Indonesia diajukan ke pengadilan

yang berwenang”.

Berkas pertama yang sudah terpisah antara orang dewasa dan anak dibawah

umur dapat dilaksanakan pelaksanan diversi sesuai dengan pasal 5 dan 6 Perma No. 4

Tahun 2014 57disebutkan bahwa:

Pasal 5 :
(1) Musyawarah Diversi dibuka oleh Fasilitator Diversi dengan
memperkenalkan para pihak yang hadir, penyampaikan maksud dan tujuan
musyawarah diversi, serta tata tertib musyawarah untuk disepakati oleh para
pihak yang hadir.
(2) Fasilitator Diversi menjelaskan tugas Fasilitator Diversi
(3) Fasilitator Diversi menjelaskan ringkasan dakwaan dan Pembimbing
Kemasyarakatan memberikan informasi tentang perilaku dan keadaan sosial
57
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1052
104

anak serta memberikan saran untuk memperoleh penyelesaian.


(4) Fasilitator Diversi wajib memberikan kesempatan kepada:
a. Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan.
b. orangtua/wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan
perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.
c. Korban/anak korban/orangtua/wali untuk memberi tanggapan dan bentuk
penyelesaian yang diharapkan.
(5) Pekerja Sosial Profesional memberikan informasi tentang keadaan sosial
Anak Korban serta memberikan saran untuk memperoleh penyelesaian.
(6) Bila dipandang perlu, fasilitator Diversi dapat memanggi perwakilan
masyarakat maupun pihak lain untuk memberikan informasi untuk
mendukung penyelesaian.
(7) Bila dipandang perlu Fasilitator Diversi dapat melakukan pertemuan
terpisah (Kaukus) dengan para pihak.
(8) Fasilitator Diversi menuangkan hasil musyawarah kedalam kesepakatan
Diversi.
(9) Dalam menyusun kesepakatan diversi, Fasilitator Diversi memperhatikan
dan mengarahkan agar kesepakatan tidak bertentangan dengan hukum,
agama, kepatutan masyarakat setempat, kesusilaan; atau memuat hal-hal
yang tidak dapat dilaksanakan anak; atau memuat itikad tidak baik.

Pasal 6:
(1) Musyawarah Diversi dicatat dalam berita acara Diversi dan
ditandatangani oleh fasilitator Diversi dan Panitera/Panitera Pengganti.
(2) Kesepakatan diversi ditandatangani oleh para pihak dan dilaporkan kepada
Ketua pengadilan oleh Fasilitator Diversi.
(3) Ketua Pengadilan dapat mengeluarkan Penetapan Kesepakatan Diversi
berdasarkan kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Ketua Pengadilan dapat mengembalikan Kesepakatan Diversi untuk
diperbaiki oleh Fasilitator Diversi apabila tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (9), selambat-lambatnya dalam
waktu 3(tiga) hari.
(5) Setelah menerima penetapan dari Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Hakim menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan
perkara.

Peraturan Mahkamah Agung Repbulik Indonesia Nomor 4 tahun 2014 inilah

sebagai pengisi kekosongan hukum sementara bagi para aparat penegak hukum mulai

dari kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dimana pemerintah belum mengeluarkan

Peraturan Pelaksanannya dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tersebut.

Setelah keluarnya aturan khusus bagi Penuntut umum yaitu Peraturan Jaksa
105

Agung Nomor PER-006/A/J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada

Tingkat Penuntut Umum, hingga sekarang ini khusus di daerah Cabang Kejaksaan

Negeri Padang Sidimpuan di Sibuhuan sudah mempunyai petunjuk khusus tersendiri

dan tanpa menggunakan pedoman dari Peraturan Mahkamah Agung Repbulik Indonesia

Nomor No 4 Tahun 2014, namun demikian dalam prakteknya masih ada aturan didalam

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang

secara aturannya sudah ada dibuat oleh pemerintah namun secara sarana dan prasananya

belum lengkap seperti yang termuat dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 yaitu:

(1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang

tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan,

dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan keadilan Restoratif.

(2) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan / masyarakat.

Pasal 8 tersebut baik ayat (1) dan (2) ada 2 (dua) pihak yang harus terlibat dalam

proses diversi yaitu Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, namun

dalam prakteknya khusus di wilayah Cabang Kejaksaan Padang Sidimpuan di Sibuhuan,

belum ada ke-2 Pihak tersebut yang seharusnya mendampingi anak saat proses diversi

untuk membela hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum dan ditambah lagi bila

mengacu pada pasal 104 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012, masih belum

terbentuk Lembaga LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) di Cabang Kejaksaan

Negeri PadangSidimpuan di Sibuhuan yang seharusnya menurut pasal 104 tersebut :

“Setiap lembaga pemasyarakatan anak harus melakukan perubahan sistem menjadi


106

LPKA sesuai dengan Undang-Undang ini paling lama 3 (tiga) tahun”. Namun hingga

sekarang belum terbentuk lembaga tersebut dan lembaga lain yang berkaitan tentang

anak pun juga belum ada seperti LPAS (Lembaga Penempatan Anak Sementara) dan

LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial).

Pada studi kasus perkara anak yang ketiga yaitu PUTUSAN PENGADILAN

NEGERI PADANG SIDIMPUAN DI SIBUHUAN No: 31/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Psp,

mengenai kasus anak pencurian buah kelapa sawit dari PT MAI, yang dikenakan pasal

363 ayat (1) ke-4 KUHP, dimana pelaku atau anak yang berhadapan dengan hukum

tersebut harus ditahan, dikarenakan pada saat dilaksanakan proses diversi pada tingkat

kepolisian, kejaksaan dan kehakiman telah gagal sehingga harus dilanjutkan keproses

pengadilan dan Vonis pidana penjara di rumah tahanan Sibuhuan, kegagalan diversi

pada tingkat penuntut umum ini dikarenakan tidak adanya kata sepakat baik pelaku

(Anak yang berhadapan dengan hukum) dengan PT MAI sebagai pihak korban yang

dirugikan karena buah kelapa sawitnya dicuri, proses diversi tersebut tetap berlangsung

sesuai dengan bunyi pasal 8 Undang-Undang No 11 Tahun 2012, walaupun dari kasus

tersebut banyak para pihak yang belum lengkap tapi masih dapat dirangkap oleh pihak

Bapas untuk memenuhi pelengkap bukti formil58 dalam proses pelaksaan diversi di

Cabang Kejaksaan Negeri PadangSidimpuan di Sibuhuan, seperti Pekerja Sosial

Profesional dan Tenaga Kerja Sosial dan juga lembaga yang belum tersedia di daerah

Cabang Kejaksaan Negeri PadangSidimpuan di Sibuhuan seperti LPKS dan LPKA serta

LPAS yang masih belum terbentuk dalam Bapas di Rumah Tahanan Sibuhuan sehingga

mengakibatkan terjadinya percampuran tahanan baik yang dewasa dan anak. Oleh sebab

Edy Ikhsan, Dkk,”Diversi dan Keadilan Restoratif Kesiapan Aparat Penegak Hukum dan
58

Masyarakat Studi di 6 Kota di Indonesia, Medan,Pusaka Indonesia,2014, Hal 82


107

itu dari paparan kasus diatas, perlu peran pemerintah untuk mempercepat proses saran

dan prasarana baik ditingkat pusat dan daerah.

B. Kendala dari segi Struktur Hukum

Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan ukuran

pengadilan, yurisdiksinnya (termasuk jenis kasus yang berwenang mereka periksa), dan

tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti

bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh

presiden, prosedur ada yang diikuti oleh Penuntut umum dan sebagainya. Jadi struktur

(legal struktur) terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan

perangkat hukum yang ada.

Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau

pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk

memperbaiki kesalahan. Aparat penegak hukum dalam hal ini pada tingkat Penuntut

Umum dalam melaksanakan diversi menunjukkan pentingnya ketaatan kepada hukum

dan aturan kepada anak yang berhadapan dengan hukum (pelaku). Penuntut umum

melakukan diversi dengan cara pendekatan persuasif dan menghindari penahanan yang

menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan, untuk mengalihkan suatu kasus dari

proses formal ke proses informal. Proses pengalihan ditujukan untuk memberikan

perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum mengenai hak-haknya

yang seharusnya diperoleh.

Tindakan penahanan membawa sifat keterpaksaan sebagai hasil dari penegakan

hukum. Penghindaran penahanan dengan kekerasan dan pemaksaan menjadi tujuan dari

pelaksanaan diversi. Tujuannya menegakkan hukum tanpa melakukan tindakan


108

kekerasan dan menyakitkan dengan memberi kesempatan kepada seseorang untuk

memperbaiki kesalahannya tanpa melalui hukuman pidana oleh negara yang

mempunyai otoritas penuh.

Didalam berkas perkara yang kedua yaitu PUTUSAN PENETAPAN DIVERSI


PENGADILAN NEGERI PADANG SIDIMPUAN DI SIBUHUAN No:
03/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Psp mengenai perkara Anak yang masih dibawah umur 16
tahun melakukan tindak pidana pencurian sepeda motor diwilayah hukum Polsek
Barumun Kabupaten Padang Lawas, namun pada pemeriksaan awal oleh penyidik di
Polsek Barumun Kab. Padang lawas tidak ditemukan kendala dalam penerapan sistem
peradilan pidana sesuai dengan hukum di Indonesia karena pada saat membuat berita
acara pemeriksaan (BAP) tersangka mengaku, bahwa dirinya sudah berumur 19 tahun,
sehingga penyidik menahan tersangka serta melimpahkan berkasnya ke Penuntut Umum
di kantor cabang Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan di Sibuhuan, dan pada tingkat
penuntutan pun pada saat melaksanakan Tahap II sesuai dengan pasal 8 ayat (3)
KUHAP yaitu tahap penyerahan tersangka dan Barang bukti dari penyidik polri ke
Penuntut Umum tidak ditemukan hal yang ganjil, karena si tersangka mengakui pada
saat membuat Berita Acara Pemeriksaan tersangka bahwa dirinya berusia 19 tahun
kemudian berkas anak tersebut diteruskan hingga ke Pengadilan Negeri
Padangsidimpuan, namun pada saat pemeriksaan tersangka, keluarga tersangka datang
dan memberikan surat kartu keluarga yang menyatakan bahwa umur tersangka masih 16
tahun, sehingga pengadilan negeri Padangsidimpuan memberhentikan pemeriksaan dan
mengembalikan berkas ke pihak kejaksaan untuk dilakukan diversi.

Dari pemaparan kasus diatas terlihat jelas peran aparat penegak hukum

khususnya dalam tingkat penuntut umum yang harus cekatan dan teliti dalam

memeriksa tersangka, sesuai dengan isi pasal 41 Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 yaitu disebutkan :

(1) Penuntutan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penuntut Umum yang
ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh Jaksa Agung.
(2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami
masalah
anak; dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
(3) Dalam hal belum terdapat Penuntut Umum yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat(2), tugas penuntutan dilaksanakan oleh
109

penuntut umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana


yang dilakukan oleh orang dewasa.

Sehingga pada Cabang Kejaksaan Negeri PadangSidimpuan di Sibuhuan sejak

berlakunya Undang-Undang No 11 tahun 2012 beserta Peraturan Pemerintah Nomor 65

Tahun 2015 dan Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-006/A/J.A/04/2015 masih

menggunakan Penuntut umum yang bertindak pada tindak pidana yang dilakukan oleh

orang dewasa sesuai dengan pasal 41 ayat (3) Undang-Undang No 11 tahun 2012.

Namun demikian setiap perkara anak yang masuk ke Cabang Kejaksaan Negeri

PadangSidimpuan di Sibuhuan selalu diupayakan diversi sesuai dengan studi kasus

yang penulis teliti.

Kendala Sumber Daya Manusia aparat penegak hukum khususnya para Penuntut

umum yang belum mendapat pelatihan dan pendidikan sesuai dengan amanat pasal 41

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, Pada tingkat Penuntut Umum belum terdapat

unit khusus seperti Kepolisan yang disebut dengan PPA (Pelayanan Perempuan dan

Anak), sedangkan didalam Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-006/A/J.A/04/2015

Secara tertulis point pengertian huruf (l) disebutkan bahwa sudah terdapat RKA (Ruang

Khusus Anak)

(l) Ruang Khusus Anak yang selanjutnya disingkat RKA adalah ruang khusus

yang responsif Anak, digunakan untuk melaksanakan penerimaan tanggung

jawab atas Anak dan barang bukti dalam perkara Anak dan melaksanakan proses

Diversi.

Bab III didalam peraturan Jaksa Agung tersebut juga tertulis pada Upaya Diversi pada

huruf (c) disebutkan bahwa :


110

(c) Penuntut Umum menerima penyerahan tanggung jawab atas Anak serta

barang bukti di RKA, kemudian melakukan penelitian terhadap kebenaran

identitas Anak serta barang bukti dalam Perkara Anak dan mencatat hasil

penelitian tersebut dalam Berita Acara Penerimaan dan Penelitian Anak.

Bab III tersebut juga tercantum pada Amanah Diversi pada (b) yaitu disebutkan bahwa:

(b) Musyawarah Diversi dilaksanakan di RKA yang terdapat pada setiap satuan

kerja di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia atau dalam keadaan tertentu

dapat dilakukan ditempat lain yang disepakati oleh para pihak dengan

persetujuan Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.

Keseluruhan aturan khusus yang disebutkan didalam Peraturan Jaksa Agung

Nomor PER-006/A/J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi pada Tingkat

Penuntutan, secara tersirat sudah mengamanahkan agar terbentuk unit khusus bagi

penuntut umum khusus anak dan segala sarana dan prasananya seperti RKA( ruang

Khusus Anak, namun pada kenyataanya unit tersebut belum terbentuk di tingkat

kejaksaan negeri padangsidimpuan di sibuhuan.

Selain aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman

serta Bapas, peran serta instansi terkait lain seperti SKPD (Satua Kerja Perangkat

Daerah) yaitu Dinas pendidikan dan Catatan Sipil juga mempengaruhi penerapan diversi

di cabang kejaksaan negeri Padang Sidimpuan di Sibuhuan, oleh sebab itu perlu

kerjasama yang erat diseluruh aspek pemerintahan baik pusat dan daerah agar tidak

terjadi lagi penahan seperti berkas perkara kedua yang dialami anak yang berhadapan

dengan hukum tersebut dapat diterapkan sistem diversi.


111

C. Kendala dari segi Budaya / Kultur Hukum

Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia

(termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem

hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang

ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung

budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka

penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.

Ditinjau dari budaya hukum, lebih mengarah pada sikap masyarakat,

kepercayaan masyarakat, nilai-nilai yang dianut masyarakat dan ide-ide atau

pengharapan mereka terhadap hukum dan sistem hukum. Dalam hal ini kultur hukum

merupakan gambaran dari sikap dan perilaku terhadap hukum, serta keseluruhan faktor-

faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan

dapat diterima oleh warga masyarakat dalam kerangka budaya masyarakat. Semakin

tinggi kesadaran hukum masyarakat, maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan

dapat merubah pola pikir masyarakat selama ini. Secara sederhana tingkat kepatuhan

masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.

Berkas perkara ketiga yaitu: PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PADANG


SIDIMPUAN DI SIBUHUAN No: 31/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Psp, mengenai kasus
anak dibawah umum mencuri buah kelapa sawit dari PT MAI, yang dikenakan pasal
363 ayat (1) ke-4 KUHP, dimana pelaku atau anak yang berhadapan dengan hukum
tersebut harus ditahan, dikarenakan pada saat dilaksanakan proses diversi pada tingkat
kepolisian, kejaksaan dan kehakiman telah gagal sehingga harus dilanjutkan keproses
pengadilan dan Vonis pidana penjara di rumah tahanan Sibuhuan, kegagalan diversi
pada tingkat penuntut umum ini dikarenakan tidak adanya kata sepakat baik pelaku
(Anak yang berhadapan dengan hukum) dengan PT MAI sebagai pihak korban yang
dirugikan karena buah kelapa sawitnya dicuri.
112

Kasus diatas juga terdapat kendala dalam pemahaman terhadap pengertian

Diversi. Pengertian Diversi sangat tergantung dari latar belakang dan dimana Diversi

akan diterapkan. Diversi dapat memberikan makna yang sangat luas terhadap jenis

dan tindakan apa saja yang dapat disebut Diversi.59

Diversi masih belum dikenal luas oleh masyarakat sehingga akan mendapat

keganjalan dari masyarakat itu sendiri.60 Bukan hanya masyarakat yang belum

mengenal Diversi namun Aparat Penegak hukum pun hampir belum memahami secara

maksimal seperti pada tingkat Penuntut Umum, walaupun Kejaksaan RI melalui Badan

Diklat Kejaksaan RI sejak Tahun 2009 telah melaksanakan diklat tekhnis fungsional

mengenai Anak Yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) untuk para Jaksa dari

seluruh Indonesia yang hasil dari diklat tersebut akan di laporkan langsung ke Jaksa

Agung, namun dengan keterbatasan tempat, waktu dan anggaran sehingga belum semua

Jaksa pernah mengikuti diklat tekhnis mengenai Anak Berhadapan dengan Hukum

tersebut.

Dengan diundangkan Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak maka para penegak hukum dalam hal ini pada Penuntut Umum

dan masyarakat wajib mengetahui mengenai Diversi tersebut sehingga tujuan dari

Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tersebut dapat terwujud. Dan ini merupakan

tugasdari semua kalangan untuk mengetahui mengenai konsep Diversi serta tujuannya

demi kepentingan dan kesejahteraan anak.

Apabila kita lihat pasal 8 dan pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

59
Marlina,”Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice”, Op.Cit, hal 179
60
Hasil wawancara dengan Paul D.B Sinulingga, Jaksa Pada Kejaksaan Negeri
padangsidimpuan, pada tanggal 18 Januari 2016.
113

yang berbunyi :

Pasal 8 :
1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan
orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan
Keadilan Restoratif.
2) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat.
3) Dalam proses Diversi wajib memperhatikan:
a. kepentingan korban;
b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
c. penghindaran stigma negatif;
d. penghindaran pembalasan;
e. keharmonisan masyarakat; dan
f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum

Pasal 9 :
1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus
mempertimbangkan:
a. kategori tindak pidana;
b. umur Anak;
c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan;
d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
2) Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau
keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali
untuk:
a. tindak pidana yang berupa pelanggaran;
b. tindak pidana ringan;
c. tindak pidana yang dilakukan Anak tanpa korban; atau
d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat.

Pasal 8 dan 9 Undang-Undang No 11 Tahun 2012 diatas maka jelas bahwa

proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang

tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan

Pekerja Sosial Profesional dan atau masyarakat berdasarkan pendekatan Keadilan

Restoratif, dan kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan dari korban

dan/atau keluarga korban, sehingga disini masyarakat wajib untuk tahu dan

mengerti mengenai Diversi dan merupakan tanggung jawab dari pemerintah dan
114

penegak hukum untuk memberikan penyuluhan atau penerangan hukum kepada

masyarakat mengenai definisi dan pengertian dari Diversi tersebut.

Sehingga dalam setiap upaya Diversi yang dilakukan oleh penegak hukum

dapat berjalan dan mendapatkan solusi yang mengedepankan kepentingan dan

kesejahteraan anak. Selain pemahaman mengenai Diversi dan anak yang berhadapan

dengan hukum perlu diketahui dan dipahami oleh masyarakat yang paling utama ialah

pemahaman oleh para penegak hukum mengenai Diversi itu sendiri sehingga penegak

hukum dalam mengaplikasikan Diversi dapat secara maksimal selaku mediator yang

memberikan pemahaman kepada korban, keluarga dan masyarakat. Cenderung

masyarakat kita masih memandang pemidanaan adalah akibat nyata/mutlak yang

harus ada sebagai suatu pembalasan kepada pelaku tindak pidana.61

Kendala tersebut terdapat juga kendala mengenai tingkat kepercayaan

Masyarakat di daerah Cabang Kejaksaan Negeri PadangSidimpuan di Sibuhuan, dimana

para aparat penegak hukum dalam hal ini Penuntut umum pada saat melakukan diversi

harus mengambil tindakan yang tepat berkaitan dengan tindakan diversi, bila tidak akan

menimbulkan kekacauan akibat kurang kepercayaan bagi masyarakat, baik korban

maupun pelaku. Akibatnya masyarakat akan menghindari proses diversi, karena

beranggapan ada ketimpangan dalam pelaksanaannya dan diversi sebagai kesewenang-

wenangan aparat dalam hal ini penuntut umum dalam menerjemahkan kekuasaannya.62

Kasus ketiga diatas terlihat jelas tidak terjadi kata sepakat dalam diversi

terkhususnya pihak dari PT MAI yang merasa dirugikan karena buah kelapa sawitnya

61
Eva Achjani Zulfa, Indriyanto Seno Adji, “Pergeseran Paradigma Pemidanaan”, Bandung:
Lubuk Agung, 2011, hal 51
62
Marlina,”Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice”, Loc.Cit
115

telah dicuri oleh tersangka yang statusnya masih anak dibawah umur, selain pemahaman

dari pihak korban yaitu PT MAI yang tidak mendukung perlindungan anak dan hanya

memikirkan keuntungan pribadi saja, terlihat juga dengan jelas tidak ada dukungan

masyarakat dalam hal ini kepala desa yang biasanya ikut serta dalam setiap perkara

pidana yang menyangkut anggota masyarakat desanya, karena kurang juga memahami

tentang pengertian diversi, dan dampaknya bagi anak.63

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan yaitu :

1. Penjatuhan hukuman pidana kepada anak dibawah umur sebagai pelaku tindak

pidana harus di minimalisir. Alasan yang menjadi dasar anak yang sebagai

63
Hasil wawancara dengan Paul D.B Sinulingga, Jaksa Pada Kejaksaan Negeri
padangsidimpuan, pada tanggal 02 Februari 2016
116

pelaku tindak pidana harus diterapkan Diversi yaitu :

a. Menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang sebagai

pelaku tindak pidana;

b. Untuk menghindari penjatuhan pidana yang bersifat destruktif terhadap

tumbuh kembang anak;

c. Untuk menghindari efek stigmatisasi terhadap anak sebagai pelaku tindak

pidana;

d. Untuk menghindari efek stigmatisasi terhadap anak sebagai pelaku tindak

pidana;

e. Untuk memberikan perlindungan hak kepada korban

2. Penerapan Diversi pada Tingkat Cabang Kejaksaan Negeri PadangSidimpuan di

Sibuhuan berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-

006/A/J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntut

Umum, terdapat tahapan Proses Pelaksanaan Diversi yang tertuang pada BAB III

yaitu Sebagai berikut :

1. Penunjukan Penuntut Umum;

2. Koordinasi;

3. Upaya Diversi;

4. Musyawarah Diversi;

5. Kesepakatan Diversi;

6. Pelaksanaan Kesepakatan Diversi;

7. Pengawasan dan Pelaporan Kesepakatan Diversi;

8. Penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan;


117

9. Registrasi Diversi.

3. Kendala yang dihadapi dalam penerapan diversi di tingkat Cabang Kejaksaan

Negeri PadangSidimpuan di Sibuhuan pada anak yang berhadapan dengan

hukum yaitu:

a. Dari segi Aturan Hukum

Amanat Pasal 41 UU No 11 Tahun 2012 belum terlaksana khusus di Cabang

Kejaksaan Negeri PadangSidimpuan di Sibuhuan, karena belum ada terdapat

para-para pihak seperti Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan

Sosial bahkan lembaganya pun belum tersedia seperti LPKA (Lembaga

Pembinaan Khusus Anak), LPAS (Lembaga Penempatan Anak Sementara)

dan LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial).

b. Dari segi Struktur Hukum

Selain kendala Sumber daya Manusia aparat penegak hukum khususnya para

Penuntut umum yang belum mendapat pelatihan dan pendidikan sesuai

dengan amanat pasal 41 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, terdapat

kendala kelembagaan unit khusus yang belum terbentuk di tingkat kejaksaan

hingga kini, yaitu seperti unit khusus di kepolisian yang disebut dengan PPA

(Pelayanan Perempuan dan Anak)

c. Dari segi Budaya / Kultur Hukum

Berkas perkara ketiga yaitu: PUTUSAN PENGADILAN NEGERI

PADANG SIDIMPUAN DI SIBUHUAN No:

31/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Psp, terdapat kendala dalam “pemahaman

terhadap pengertian Diversi”.


118

Bukan hanya masyarakat yang belum mengenal Diversi namun Aparat

Penegak hukum pun hampir belum memahami secara maksimal seperti pada

tingkat Penuntut Umum, dikarenakan keterbatasan tempat, waktu dan

anggaran.

B. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan analisa terhadap permasalahan yang telah

dikemukakan dalam tesis ini, maka saran yang dapat diberikan penulis adalah sebagai

berikut :

1. Mendorong pembentukan dan pembangunan saran dan prasaran tentang Anak

sebagai pelaku tindak pidana didaerah Cabang Kejaksaan Negeri

PadangSidimpuan di Sibuhuan, seperti: Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga

Kesejahteraan Sosial bahkan lembaga-lembaganya seperti LPKA (Lembaga

Pembinaan Khusus Anak), LPAS (Lembaga Penempatan Anak Sementara) dan

LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial);

2. Mendorong terbentuknya unit khusus di tingkat Kejaksaan yang mengatur

penanganan anak yang masih dibawah umur sebagai pelaku tindak pidana

sepertinya halnya pada unit PPA( Pelayanan Perempuan dan Anak) di tingkat

Kepolisian.

3. Kerja sama antara Aparat Penegak hukum dalam hal ini pada tingkat Penuntut

Umum berkoordinasi dengan SKPD seperti Dinas Pendidikan dan Catatan Sipil

agar lebih cermat dalam pencatatan data terkhusus dari segi umur seluruh warga

di Kabupaten Padang Lawas; sehingga kedepannya dapat dilakukan Sosialisasi


119

terhadap seluruh masyarakat di Kabupaten Padang Lawas terhadap penerapan

Diversi sehingga masyarakat mengerti tentang keberadaan Diversi dalam

penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana Sesuai dengan Amanat Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Daftar Pustaka

A. Buku-Buku

Djamil, M. Nasir, 2015, “Anak Bukan Untuk Di Hukum”, Sinar Grafika, Jakarta Timur.

Edy Ikhsan, Dkk, 2014,”Diversi dan Keadilan Restoratif Kesiapan Aparat Penegak

Hukum dan Masyarakat Studi di 6 Kota di Indonesia, Pusaka Indonesia, Medan.

Eva Achjani Zulfa, Indriyanto Seno Adji, 2011, “Pergeseran Paradigma

Pemidanaan”,Lubuk Agung, Bandung.

JCT Simorangkir dkk, 2008, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Made Wirata, 2006, ”Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis”,

Yogyakarta

Marlina, 2010,”Pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum

pidana/Marlina”, USU Press, Medan.

Marlina, 2009”Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi

dan Restorative Justice”, PT Refika Aditama, Bandung.

Muchin, 2011, “Perlindungan Anak dalam Prespektif Hukum Positif”, Mahkamah


120

Agung RI, Jakarta.

Muladi,1995, “Kapita selekta Sistem Peradilan Pidana”, Undip: Semarang.

Nashriana, 2014, “Perlindungan Hukum PIdana bagi anak di Indonesia”, PT

RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Nawawi Arief, Barda, 2001 ”Masalah Penegakan Hukum dan Penanggulangan

Kejahatan”, Citra Aditya bakti, Bandung.

Raharjo, Satjipto, 2002,“Penegakan Hukum, Dalam Sosiologis Hukum Perkembangan

metode dan pilihan Masalah”, Muhammadiyah University Press, Surakarta.

Supeno, Hadi,2010, “Kriminalisasi Anak”, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-006/A/J.A/04/2015

tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntut Umum

Peraturan Mahkamah Agung Repbulik Indonesia Nomor 4 Tahun tentang Pedoman

Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

D. Makalah, Karya Tulis, Surat Kabar

Laporan hasil kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan

Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana Tahun Anggaran 2006,

yang bekerja berdasarkan Keputusan Mentri Hukum dan Hak Asasi RI Nomor :

G1-11.PR.09.03 tahun 2006 Tentang Pembentukan Tim-Tim Analisis dan Evaluasi


121

Hukum tahun Anggaran 2006. Tertanggal 16 Januari 2006 di Jakarta, Hal 7-8

E. Internet

Lushiana Primasari, Keadilan Restoratif Dan Pemenuhan Hak Asasi Bagi Anak

Yang Berhadapan Dengan Hukum, Internet, Hal 3. Diakses pada 1 Oktober

2015

Anda mungkin juga menyukai