BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
memahami dan melindungi diri dari berbagai pengaruh sistem yang ada. 1 Oleh
karenanya ketika anak menjadi pelaku tindak pidana, Negara harus memberikan
perlindungan kepadanya.
Anak merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang harus dijaga,
dididik sebagai bekal sumber daya untuk generasi berikutnya, anak merupakan harta
yang tidak ternilai harganya, seorang anak yang hadir kedunia ini adalah sebagai
amanah yang dititipkan Tuhan untuk dirawat dan dididik yang kelak akan berguna bagi
anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karuia Tuhan Yang Maha Esa, yang
dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut
dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa, memiliki peran yang strategis dan mempunyai cirri dan sifat khusus
1
Marlina,”Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice”, Bandung, PT Refika Aditama, 2009, hal XV
1
yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara pada masa depan. Oleh
karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia
secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia, perlu dilakukan
Anak secara nasional didasarkan pengertian pada batasan usia anak menurut
hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum islam. Secara internasional
mengenai hak anak atau United Nation Convention on Right of the Child tahun 1989,
anak atau United Nation Standar Minimun Rules for the administration of juvenile
delinquency (The Beijing Rules) tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau
perlindungan anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun dan bahkan masih dalam kandungan sedangkan undang-undang No 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara
anak nakal telah mencapai usia 8 tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum
pernah menikah.
dengan pengertian anak menurut hukum islam dan hukum adat. Hukum islam dan
2
M. Nasir Djamil, “Anak Bukan Untuk Di Hukum”, Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2015, hal 8-9
2
hukum adat sama-sama menentukan seseorang masih anak-anak atau sudah dewasa
bukan dari usia anak. Anak berbeda usia untuk mencapai tingkat kedewasaan. Hukum
Islam menentukan definisi anak dilihat dari tanda-tanda pada seseorang apakah
seseorang itu sudah dewasa atau belum. Seseorang dinyatakan anak apabila anak
tersebut belum memiliki tanda-tanda yang dimiliki orang dewasa sebagaimana yang
ditentukan oleh hukum islam. Sedangkan hukum adat menyebutkan bahwa dasar untuk
menentukan apakah seseorang itu anak-anak atau dewasa yaitu melihat unsur-unsur
yang dipenuhi seseorang, yaitu apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan rumah
orang tua atau rumah mertua dan mendirikan kehidupan keluarga sendiri3
Pembatasan anak dari segi umur tidaklah selamanya tepat karena kondisi umur
seseorang itu dihubungan dengan kedewasaan merupakan suatu yang bersifat semu dan
relatif. Masa sekarang ini ada anak dari segi kemampuannya masih terbatas akan tetapi
dari segi usia anak tersebut telah dewasa. Penentuan kedewasaan seseorang dari segi
usia tidaklah tepat. Menurut ahli psikologi kematangan seseorang anak tidak dapat
ditentukan dari segi usia karena ada anak yang berusia lebih muda akan tetapi sudang
matang dalam berfikir dan sebaliknya ada anak yang sudah dewasa akan tetapi
adalah periode diantara kelahiran dan permulaan kedewasaan. Masa ini merupakan
3
Marlina ,Op Cit, hal 34
4
Marlina , Op Cit, hal 36
3
manusia di hari yang akan datang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa
sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang. Para tokoh pendidikan dan
para ahli sudah memperhatikan perkembangan kejiwaan anak, karena anak adalah anak,
anak tidak sama dengan orang dewasa. Anak memiliki sistem penilaian kanak-kanak
yang menampilkan mertabat anak sendiri dan kriteria norma tersendiri, sebab sejak lahir
anak menampakkan ciri-ciri dan tingkah laku karakteristik yang mandiri, memiliki
kepribadian yang khas dan unik. Hal ini disebabkan oleh karena taraf perkembangan
anak itu memang selalu berlainan dengan sifat-sifatnya dan ciri-cirinya, di mulai pada
usia bayi, remaja, dewasa, dan usia lanjut, akan berlainan psikis maupun jasmaninya.
Sistem penilaian anak-anak ini dengan bantuan usaha pendidikan harus bisa
dikaitkan atau disesuaikan dengan sistem penilaian manusia dewasa, namun demikian
adalah salah apabila menerapkan kadar nilai orang dewasa pada diri anak-anak.
Citra dan pengertian tentang manusia dan kemanusian merupakan faktor yang
anak yang merupakan permasalahan kehidupan manusia juga. Objek dan subjek
kewajiban; motivasi seseorang untuk ikut serta secara tekun dan gigih dalam setiap
kegiatan perlindungan anak; pandangan bahwa setiap anak itu wajar dan berhak
mendapat perlindungan mental, fisik dan sosial dari orang tua, anggota masyarakat dan
Negara. Pandangan tersebut jelas berdasarkan pengertian dari citra yang tepat mengenai
5
Nashriana, “Perlindungan Hukum PIdana bagi anak di Indonesia”, Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada, 2014, hal 2
4
ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan
nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan tindakan hukum yang
berakibat hukum. Perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak.
Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan
mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam
memiliki dua aspek. Aspek pertama berkaitan dengan kebijakan dan peraturan
anak, mulai dari Undang-undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak, Undang-
undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Anak dan Undang-undang No 23 tahun
2002 tentang Perlindungan anak. Akan tetapi dalam pelaksanaannya sistem peradilan
diantaranya dilakukan panahaan anak, proses peradilan yang panjang hingga proses
menegakkan norma-norma atau aturan-aturan hukum yang telah dibuat oleh lembaga
negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai wakil rakyat di pemerintah pusat
untuk menyampaikan aspirasi rakyat kecil agar dapat diperhatikan dan direalisasikan.
Penegakan hukum bukan saja berbicara mengenai pasal-pasal yang berada di dalam
5
lain: perilaku (habitual) orang-orang yang terlibat didalamnya seperti pelaku kejahatan,
Penegakan hukum sangat berkaitan erat dengan 3(tiga) unsur dalam sistem
undangan (substance of law), para penegak hukum (Structure of law), dan budaya
hukum (legal culture). Sehubungan dengan ketiga faktor tersebut diatas penegakan
hukum dari sisi sosiologis dilihat dari proses yang melibatkan manusia didalamnya,
karena dalam setiap ketiga unsur tersebut perlu manusia baik sebagai pembuat peraturan
Penegakan hukum bukan hanya suatu proses logis semata melainkan penuh dengan
masyarakat disini mempunyai peran serta yang aktif juga dalam proses penegakan
hukum dan bukan hanya para aparat penegak hukum saja yaitu : polisi, jaksa atau hakim
berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat juga terjadi karena adanya pelanggaran
hukum. Tiga unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum yaitu: kepastian
6
Satjipto Raharjo, “Penegakan Hukum, Dalam Sosiologis Hukum Perkembangan metode dan
pilihan Masalah”, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002, hal. 174
7
Marlina,”Pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum pidana/Marlina”,
Medan: USU Press, 2010, hal. 17
6
manfaat atau kegunaan bagi manusia. Keadilan (gerechtigkeit) berarti hukum harus
bersifat adil sama rata bagi setiap orang. Ketiga unsur tersebut dalam pelaksaannya
harus seimbang dan ketiga unsur tersebut dalam pelaksanaan penegakan hukum inilah
yang disebut dengan tiga tujuan hukum yaitu : kepastian hukum (rechtssicherheit),
dilakukan oleh aparat penegak hukum tersebut, oleh sebab itu bukan hanya menjadi
tugas dari pemerintah saja dalam proses penegakan hukum tetapi peran serta aktif
masyarakat juga harus terlibat sebagai pengawas perjalanan proses peradilan, dimana
tujuan dari penegakan hukum pada umunya adalah untuk membangun kepercayaan
terutama instansi badan yang disebut dengan: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan
Lembaga Pemasyarakatan. Keempat lembaga ini yang akan bekerjasama dalam sistem
kepentingan individu, termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.
8
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo (1993). Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti. Cetakan pertama, hal.1
7
aparat penegak hukum (law enforcement) mulai dari proses penyelidikan, penyidikan,
kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang paling lazim
terlihat dan ditemukan didalam sistem peradilan pidana di Indonesia, dan bahwa
Penelitian ini mengangkat suatu kasus tentang perjalanan perkara anak yang
masih dibawah umur melakukan tindak pidana pencurian sepeda motor diwilayah
hukum Polsek Barumun Kabupaten Padang Lawas, namun pada pemeriksaan awal oleh
penyidik di Polsek Barumun Kab. Padang lawas tidak ditemukan kendala dalam
penerapan sistem peradilan pidana sesuai dengan hukum di Indonesia karena pada saat
membuat berita acara pemeriksaan (BAP) tersangka mengaku, bahwa dirinya sudah
dan pada tingkat penuntutan pun pada saat melaksanakan Tahap II sesuai dengan pasal
8 ayat (3) KUHAP yaitu tahap penyerahan tersangka dan Barang bukti dari penyidik
Polri ke Penuntut Umum tidak ditemukan hal yang ganjil, karena si tersangka mengakui
pada saat membuat Berita Acara Pemeriksaan tersangka bahwa dirinya berusia 19 tahun
9
Barda Nawawi Arief, ”Masalah Penegakan Hukum dan Penanggulangan Kejahatan” Bandung:
Citra Aditya bakti, 2001, hal. 155
8
dan memberikan surat kartu keluarga yang menyatakan bahwa umur tersangka masih 16
Penjelasan kasus perkara tersebut diatas menunjukan bahwa salah satu kendala
dalam penerapan sistem hukum bagi anak yang masih di bawah umur sesuai dengan
perubahan dari Undang-Undang No 3 tahun 1997 masih banyak terjadi yaitu salah
satunya megenai pencatatan data diri sebagai warga Negara, hal ini sangat
daerah padang lawas, lebih banyak tidak memiliki kartu keluarga karena masyarakat
sekitar merasa tidak perlu surat atau kartu tersebut, karena bagi mereka yang utama
Keseluruhan proses yang terlihat diatas adalah suatu proses penegakan hukum
kekuasaaan hukum yang besar, Menurut Wesley Cragg menyatakan bahwa pengunaan
kekuasaan hukum yang minimum merupakan suatu prinsip yang penting dalam
hukum, hal tersebut dikarenakan kekerasan sering menggeser sifat asli dari moral
jiwa seseorang dan merangsang untuk kehilangan sikap kerelaan menerima aturan
10
Marlina,”Pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum pidana/Marlina”,
Loc.Cit
9
Perbuatan melawan hukum atau tindak pidana dapat dilakukan oleh siapa saja
dengan tidak mengenal usia, jenis kelamin, suku, agama, jabatan dan lain sebagainya,
dan salah satu ciri tersebut bisa terjadi pada orang yang belum dewasa atau anak-anak,
dimana bisa menjadi sebagai pelaku, saksi maupun korban dari tindak pidana. Bahwa
anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang
merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan
strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan
dan sosial secara utuh, serasi selaras dan seimbang. Anak memiliki karakteristik yang
spesifik dibandingkan dengan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan
yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak anak menjadi penting untuk di
prioritaskan.
tentang Hak-hak anak yang harus dilindungin oleh negara dan seluruh warga negara
Republik Indonesia, yaitu disebutkan bahwa Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh kembang dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi. Anak-anak merupakan suatu aset untuk masa depan sebagai penerus
pemimpin negara Republik Indonesia, sehingga anak mempunyai fungsi yang startegis
anak tersebutlah baru disadari oleh masyarakat internasional untuk melahirkan sebuah
konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk hidup yang harus atas
hak-hak yang melekat pada dirinya, hal ini ditandai dengan diterbitkannya Konvensi
Hak Anak (Convention on the Rights of the Child). Dan dari konvensi ini Indonesia
10
Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak Anak). Selanjutmnya dalam
beberapa aturan tentang anak yaitu antara lain Undang-undang No 3 Tahun 1997 Jo
dan Perlindungan Anak Republik Indonesia tentang penanganan anak yang berhadapan
yang berkonflik atau berhadapan dengan hukum dapat memperoleh haknya dalam
bentuk perlindungan, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Pelaksanakan tugas
bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan
terhadap pendapat anak, dan senada dengan prinsip konvensi hak anak di indonesia
11
Pasal 2 UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153
11
terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan
Anak merupakan harapan orang tua, harapan bangsa dan negara yang akan
melanjutkan generasi pembangunan kedepannya. Oleh sebab itu, setiap anak harus
mendapatkan pembinaan dari sejak dini dan anak perlu mendapatkan kesempatan yang
seluas-luasnya untuk dapat dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun
sosial dan ditambah lagi bahwa masa kanak-kanak merupakan periode penabur benih,
pembuat pondasi dan sebagai masa periode pembentukan watak, kepribadian dan
karakter diri seseorang manuasia utuh, agar mereka kelak memilki kekuatan dan
kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan. Karenanya sangat sensitif
apabila kita berbicara tentang anak pada masa dini sudah di perlihatkan atau di
kejaksanan dan di pengadilan oleh hakim bahkan apabila terbukti bersalah di masukkan
didalam penjara dan sudah pasti tumbuh kembang di anak tersebut akan terganggung
Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam
tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang
kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu dengan orang lain dalam melindungi
pidana anak yang asing bagi dirinya sendiri. Anak perlu mendapatkan perlindungan dari
Semakin tinggi angka kejahatan yang dilakukan oleh anak dibawah umur
sekarang ini menimbulkan perhatian khusus baik pemerintah dan msyarakat, khususnya
bagi anak yang dibawah umur dalam bidang pembinaan dan pengawasannya.
Kemungkinan besar anak akan masuk dalam proses peradilan pidana, dan menjalani
penahan di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) dan selanjutnya divonis dan menjalani
saat ini masih sangat kurang jika dibandingkan dengan jumlah kasus anak yang
berkonflik dengan hukum, maka akan mengakibatkan anak akan digabungkan dengan
tahanan dewasa dengan satu area/lingkungan, dengan keadan seperti ini akan membawa
implikasi yang buruk terhadap perkembangan anak untuk selama ditahan dan untuk
masa yang akan datang. Karena itu perlu suatu aturan khusus untuk mengurangi dampak
yang akan terjadi apabila anak yang masih dibawah umur terkena masalah atau
perubahan dari Undang-undang yang lama yaitu No 3 Tahun 1997 tentang Sistem
Pengadilan Anak, yang didalamnya termuat suatu sistem pengalihan sistem proses
peradilan pidana khususnya bagi anak yang dibawah umur dari proses peradilan formal
Proses peradilan pidana anak mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan dan
masalah anak nakal. Proses perlakukan pidana bagi anak, harus memperhatikan hak-hak
anak agar jangan disamakan dengan proses peradilan bagi orang dewasa, baik dari segi
pemeriksaan oleh dilakukan oleh orang yang mengetahui tentang perilaku dan sifat anak
13
pada umumnya dan penampilan saat proses pemeriksaan harus seperti orang biasa tanpa
memakai toga bahkan sampai menjalankan hukuman harus dipisahkan dari tahanan
dewasa, hal ini yang melatarbelakangi lahirkan suatu sistem pengalihan perkara khusus
anak yang disebut dengan Diversi, dengan melakukan pendekatan restorative justice,
dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama
dari pelanggaran demi kepentingan masa depan, dan didalam konsep diversi
akan membahas lebih mendalam khusus pelaksanaan diversi pada tingkat penuntutan di
Kejaksaan sesuai dengan proses penelitian yang penulis lakukan. Dikarenakan proses
diversi ini dilakukan oleh aparat penegak hukum yang konotasinya adalah manusia
biasa dengan mengunakan pola pikir dan perasaan dalam memutuskan suatu perkara.
Penerapan diversi terkesan ada terdapat pembedaan pada setiap kasus yang dilakukan
dalam proses peradilan pidana. Proses diversi itu sendiri membedakan dengan menitik
beratkan sifat konsisten pada kasus yang berbeda, lain hal nya dengan diskriminasi yang
tidak berdasarkan hukum dan menunjukan penggunaan kriteria yang tidak sah. Kedua
hal tersebut dapat dibedakan dengan keahlian petugas dalam pengalaman dan latihan.12
terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dalam proses sistem
12
Marlina,”Pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum pidana/Marlina”,
Op.Cit, hal 20
14
peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh
kewenangan aparat penegak hukum yang disebut dengan diskresi (discretion). Dalam
perkara pidana, kata diskresi kerap dihubungkan dengan kewenangan polisi saja
sementara kewenangan yang serupa dihubungkan dengan jaksa dikenal dengan hak
mendeponir atau mengalihkan perkara yang lazim dikenal sebaga oportunitas. Jaksa pun
mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran
strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Kejaksaan berada diporos yang menjadi
filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai
pengendali proses perkara (Dominus Litis), karena hanya Institusi Kejaksaan yang dapat
menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tdak berdasarkan
kewenangan lain dari kejaksaan dari Undang-undang Nomor 15 tahun 1961 tentang
dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan
13
Pasal 30 Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 67
15
Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai Tugas dan
merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung
setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang
mengesampingkan perkara hanya ada pada Jaksa Agung dan bukan pada jaksa dibawah
Jaksa Agung.14
Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum masih saja ditemukan didaerah
sehingga pemahaman dan pelaksanaan penanganan anak yang berkonflik dengan hukum
masih bervariasi dan cenderung menggunakan persepsi yang berbeda dan terbatasnya
sarana dan prasarana penanganan anak yang berkonflik dengan hukum. Sehubungan
dengan penangan anak yang berkonflik dengan hukum sangat dibutuhkan adanya
persamaan persepsi antara penegak hukum dalam penanganan anak yang berkonflik
dengan hukum sehingga akan terwujudlah sistem peradilan yang terpadu, senada
dengan wacana tersebut para aparat penegak hukum telah membuat suatu kesepakatan
dengan surat keputusan bersama tertanggal 22 Desember 2009 yaitu antara ketua
Negara Republik Indonesia, Mentri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Mentri
14
Penjelasan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diundangkan tanggal 1
desember 1981
16
dengan hukum.
anak yang berhadapan dengan hukum kemudian dari pihak kejaksaan menindaklanjuti
dengan menerbitkan Surat Edara Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum / SE
konsep diversi sehingga tidak terdapat dasar peluang jaksa untuk melakukan diversi
pada anak yang berhadapan dengan hukum sesuai yang tertuang didalam aturan Beijing
Rules, namun setelah di Undangkan sistem peradilan anak yang terbaru yaitu Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 serta petunjuk teknik khusus pada tingkat penuntut
aturan mengenai pelaksanaan Diversi, dan dalam aturan tersebut adalah merupakan
secercah harapan bagi seluruh Rakyat yang menantikan keadilan khususnya bagi
meningkatnya terus tindak pidana yang dilakukan anak dibawah umur di Negara
Repbulik Indonesia oleh sebab itu untuk mengendalikan tingkat kejahatan dan
melindungan hak-hak anak yang rentan pada diskriminasi konsep diversi sangat ideal
untuk mengalihkan proses peradilan dari sistem peradilan formal ke sistem peradilan
informal.
17
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam latar belakang diatas, bahwa anak
adalah anugerah dari sang pencipta yang memiliki cirri kahs yang belum sempurna baik
dari segi jasmani dan rohani sehingga memerlukan perlindungan baik dari keluarga,
masyarakat dan pemerintah agar dapat dilindungi apabila anak tersebut berhadapan
dengan hukum akibat konflik yang dihadapi sesuai dengan konsep diversi sebagaimana
tertuang dalam Beijing rules dan Undang-Undang Sistem Perlindungan Anak yaitu
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, sehingga dari latar belakang tersebut, penulis
3. Kendala apa saja yang dihadapi dalam penerapan diversi di tingkat Kejaksaan
C. Tujuan Penelitian
diterapkan Diversi.
2. Untuk mengetahui penerapan diversi Pada tingkat kejaksaan terhadap anak yang
3. Untuk mengetahui Kendala apa saja yang dihadapi dalam penerapan diversi di
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
aparat penegak yang dalam penelitian penulis focus menekankan pada peran
Padangsidimpuan di Sibuhuan.
2. Manfaat Praktek
perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum agar dapat diselesaikan dengan
E. Keaslian Penelitian
Kegiatan manusia dari masa kemasa terus berkembang pesat seiring dengan
diikuti oleh perkembangan hukum, oleh sebab itu diperlukan penelitian hukum.
Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana di Tinjai Menurut UU
Nomor 11 Tahun 2012” belum pernah dilakukan, maka penelitian ini dapat
19
judul yang berkaitan dengan penerapan Diversi terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum, seperti judul tesis tentang “Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice
dalam tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak (Studi di kota Medan)”, oleh
Bob Sadiwijaya, Tahun 2009, lalu tesis yang berjudul “Mekanisme Diversi dan
Restorative Justice terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (abh) di kepolisian
daerah Sumatera Utara”, oleh Muslim Harahap, Tahun 2010, lalu tesis yang berjudul, “
tinjau dari UU Nomor 35 Tahun 2009”, oleh Melrina Rohani Banjarnahor, Tahun 2011.
1. Kerangka Teori
sebagaimana yang diuraikan diatas peneliti mengacu kepada teori-teori sebagai berikut:
Teori Restorative Justice adalah suatu teori keadilan yang menekan pada suatu
particular offence come together to resolve collectively how to deal with the
aftermath of the offence and its implications for the future” (restorative justice
adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam
penyelenggaraan tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan akibat dari
pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan).
perkara yang dilakukan diluar pengadilan formal. restorative justive mempunyai cara
berfikir dan pardigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan
terhadap tindak pidana dapat dilakukan dengan memperhitungkan pengaruh yang lebih
luas terhadap korban, pelaku dan masyarakat. 16 Teori ini memandang bahwa kejahatan
ini terjadi bukan hanya tanggung jawab negara akan tetapi tanggung jawab masyarakat,
oleh karena itu teori ini mengandung makna yang mendalam bahwa kejahatan yang
Pemulihan ini bisa dilakukan dengan bentuk ganti kerugian dalam arti yang material
karena bila dituntut untuk pemulihan pada keadaan semula pada contoh kasus pidana
penganiayaan yang mengakibatkan luka cacat permanen akan menyulitkan oleh para
pelaku kejahatan, dan yang lebih penting lagi pelaku kejahatan yang dalam hal ini
adalah anak-anak, harus diperhatikan status dan kondisinya bukan sebagai orang
dewasa, sehingga pada teori restorative justive bukan hanya memperhatikan kondisi si
15
Marlina,”Pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum pidana/Marlina”,
Op.Cit, hal 28
16
Ibid, hal 39-40
21
kepentingan yang terbaik bagi anak atau pelaku tersebut, sesuai dengan aturan hukum
Indonesia yang telah meratifikasi dari Convention On the Rights of the Child dengan
Rights of the Child, yang didalam aturan tersebut terdapat beberapa prinsip yang penting
yang salah satunya adalah Prinsip The Best Interest of the Child atau prinsip
Prinsip The Best Interest of the Child adalah suatu prinsip yang sangat penting
dalam perlindungan bagi anak, dimana semua tindakan yang dilakukan oleh anak dalam
melakukan perbuatan hukum harus berdasarkan kepentingan yang terbaik semata bagi
anak tersebut.
the Rights of the Child, 20 November 1989. Dalam konvensi hak anak tersebut, terdapat
prinsip kepentingan terbaik bagi anak yang dirumuskan dalam Article 3 point 1 yang
menyatakan :
depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat pada kepentingan
22
orang dewasa. Apa yang menurut orang dewasa baik, belum tentu baik pula menurut
ukuran kepentingan anak. Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan dan
Judul besar didalam konvensi tersebut telah ada tercantum didalam konstitusi
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
(umbrella’s law) yang secara langsung mengatur hak-hak anak.18 Dalam pasal 2
cakupan yang luas dari hukum itu sendiri. Kata “hukum” sering mengacu pada aturan
dan peraturan. Padahal menurut Friedman sistem hukum membedakan antara aturan dan
peraturan, struktur serta lembaga dan proses dalam sistem itu. Bekerjanya hukum dalam
17
Hadi Supeno, “Kriminalisasi Anak”, 2010, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.56
18
Muchin, “Perlindungan Anak dalam Prespektif Hukum Positif”, 2011, Jakarta, Mahkamah
Agung RI, hal.1
23
suatu sistem ditentukan oleh tiga unsur, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi
memberikan definisi dan bentuk bagi bekerjanya sistem yang ada dengan batasan yang
telah ditentukan. Jadi struktur hukum (legal structure) dapat dikatakan sebagai institusi
atau lembaga yang menjalankan penegakan hukum dengan segala proses yang ada
didalamnya. Dalam sistem peradilan (criminal justice system) struktur hukum (legal
Substansi hukum (legal substance) merupakan aturan, norma dan pola perilaku
manusia yang berada di dalam sistem hukum. Substansi hukum (legal substance) berarti
produk yang dihasilkan oleh orang yang berada didalam sistem hukum itu, baik berupa
keputusan yang telah dikeluarkan maupun aturan-aturan baru yang hendak disusun.
Substansi hukum (legal substance) tidak hanya pada hukum yang tertulis (law in the
book), tetapi juga mencakup hukum yang hidup didalam masyarakat (the living law).
Budaya hukum (legal culture) merupakan sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum. Sikap masyarakat ini meliputi kepercayaan, nilai-nilai, ide-ide serta
harapan masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum. Budaya hukum juga
Ketiga unsur sistem hukum tersebut berhubungan satu sama yang lain dan
mempunyai peran yang tidak dapat dipisahkan satu per satu. Ketiga unsur ini
19
Marlina. “Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan konsep DIversi dan Restorative
Justice,Op.Cit., hal.13
24
merupakan satu kesatuan yang menggerakkan sistem hukum yang ada agar berjalan
dengan lancar. Sebagai perumpamaan, stuktur hukum (legal struktur) merupakan mesin
yang menghasilkan sesuatu, substansi hukum (legal substance) merupakan produk yang
dihasilkan oleh mesin, dan budaya hukum (legal cultare) merupakan orang yang
apabila salah satu dari ketiga unsure sistem hukum ini tidak berfungsi, maka akan
sistem peradilan pidana di Indonesia dan juga termasuk dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) sebagai pengganti dari
sistem peradilan anak yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, didalam
Undang-Undang Sistem Peradilan yang terbaru sudah memuat pembaharuan yang tidak
terdapat di undang-undang yang lama yaitu salah satunya sistem Diversi yang
Sistem hukum terlihat mulai dari stuktur hukum (legal structure) yang sudah
mulai ada keterkaitan antara satu instansi ke instansi yang lain yaitu mulai dari
undang sistem peradilan anak dari Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 menjadi
terbaik bagi anak (the best interest of the Child) yang sedang berkonflik dengan hukum
20
Ibid., hal.15
25
serta korban melalui pendekatan restorative justice dengan menerapkan sistem diversi
(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restorative
(2) Sistem Peradilan Pidana anak sebagaimana dimaksud dengan ayat (1) meliputi :
a) Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali di tentukan lain dalam
Undang-Undang ini ;
b) Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan dilingkungan peradilan
umum; dan
c) Pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan/atau pendampingan selama proses
pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dan b wajib di upayakan diversi.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang SPPA juga disebutkan bahwa:
Budaya hukum (legal culture) adalah sebagai sikap manusia terhadap hukum
dan sistem hukum tersebut baik dari segi aparat atau instansi yang menjalani hukum
itu yang terdapat dalam struktur hukum (legal structure) dan aturan-aturan atau
pemerintah yang termasuk dalam substansi hukum (legal substance). Pada budaya
hukum inilah masyarakat dapat melihat apakah suatu aturan tersebut terasa adil atau
tidak serta dapat dipatuhi atau tidak dan dari dasar itu juga para pembuat perundang-
masyarakat pada undang-undang yang lama terasa ketidakadilan bagi anak yang
berhadapan dengan suatu aturan baru yang memungkinkan hak-hak anak diperoleh
dengan adil dan dapat menjalankan hukumnya tanpa harus melakukan pidana penjara
perkara anak dari proses diversi dengan mengalihkan penyelesaian perkara anak dari
Alasan teori ini digunakan sebagai pisau analisis adalah karena sangat tepat
digunakan untuk melihat dan memudahkan pemecahan masalah yang ada hukum
dimana pada penerapan proses peradilannya disamakan dengan orang dewasa dan ada
beberapa hak anak yang tidak diperoleh bagi anak yang berkonflik dengan hukum,
sehingga perlu dari berbagai sub sistem, baik dari proses kebijakan pemidanaannya,
kerangka yang logis, artinya mendudukan masalah penelitian yang telah dirumuskan
didalam kerangka teori yang relevan dan mampu menerangkan permasalahan tersebut.22
2. Landasan Konseptual
2012 yang selanjutnya disebut dengan anak adalah anak yang telah berumur 12
(dua belas) tahun, tepai belum berumur 18(delapan belas) tahun yang diduga
21
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana Anak
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153
22
Made Wirata, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis (Yogyakarta : Andi,
2006)., Hal.23
23
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana Anak
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153
27
b) Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana
c) Penerapan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu proses, cara ,
mempraktekkan .25
dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan lalai).26
Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan
G. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
ini karena yang menjadi pusat utama dari penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor
24
Ibid, Pasal 1 Angka 7
25
http://kbbi.web.id/index.php?w=penerapan, di Akses pada tanggal 24 Maret 2015
26
Marlina, “Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep DIversi dan Restorative
Justice,op.cit.,hal.75
27
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak Lembaran Negara Repbulik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153
28
11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak dan studi kasus Putusan Penetapan
01/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Psp.
2. Sifat Penelitan
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analisa, yaitu suatu
menganalisa data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat tentang Analisa
Yuridis terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana di tinjai menurut Undang-Undang
01/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Psp.
3. Bahan Penelitian
Bahan hukum dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer dan
sekunder,serta bahan hukum tersier namun penelitian ini menitiberatkan pada bahan
hukum primer, sedangkan bahan hukum skunder dan tersier lebih menunjang. bahan
hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta
bahan hukum tersier. Untuk bahan hukum primer menekankan pada peraturan
digunakan dalam penelitian ini berupa Konvensi Hak Anak (KHA), Undang-Undang
Peradilan Pidana Anak (SPPA), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
melipurti rencangan peraturan perundang-undangan serta pendapat para ahli dalam hasil
penelitian, dan bahan hukum tersier meliputi kamus besar bahasa Indonesia dan kamus-
kamus hukum.
data melalui studi literatur (Studi kepustakaan) dengan meneliti seluruh peraturan
anak di Indonesia.
5. Analisa data
dilakukan secara kualitatif dengan menganalisa deskriptif. Penganalisa deskriptif ini pun
01/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Psp.
pengaturan yang bersangkut paut dengan isu hukum mengenai Diversi anak serta
BAB II
ALASAN-ALASAN YANG MENJADI DASAR ANAK YANG SEBAGAI
PELAKU TINDAK PIDANA PERLU DITERAPKAN DIVERSI
2012, pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum awalnya didasari kewenangan
diperlukan sebagai pelengkap dari asas legalitas yaitu asas hukum yang menyatakan
setiap tindakan atau perbuatan administrasi Negara harus berdasarkan ketentuan undang-
undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang-undang untuk mengatur segala macam
kasus posisi dalam praktik kehidupan sehari-hari. Penyidik, penuntut umum, atau badan-
badan lain yang menangani perkara anak akan diberi kuasa untuk memutuskan perkara
demikian, menurut diskresi mereka tanpa menggunakan pemeriksaan awal yang formal,
sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-
Menurut catatan sejarah di Inggris, seorang polisi telah lama melakukan diskresi
dan mengalihkan anak kepada proses non formal seperti pada kasus penanganan
lain. Catatan pertama kali dilakukannya perlakuan khusus untuk anak atas tindak
pidananya adalah pada tahun 1833, yakni dengan melakukan proses informal diluar
peradilan. Selanjutnya dibuat pemisahan peradilan untuk anak-anak dibawah umur yang
diatur dalam Children Act tahun 1908. Menurut Aturan Childre Act tahun 1908 polisi
28
JCT Simorangkir dkk, 2008, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal 38
31
diberi tugas menangani anak sebelum masuk ke pengadilan dengan lebih memperhatikan
pemberian kesejahteraan dan keadilan kepada anak pelaku tindak pidana. Pemberian
perlakuan khusus terhadap anak pelaku tindak pidana ini termasuk dalam program
diversi.
sampai akhirnya tercatat akhir abad ke-19 yaitu, negara Inggris yang merupakan negara
yang paling banyak melakukan diversi terhadap anak dengan menggunakan peradilan
Diversi atau diversion pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan
dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk seperti diversi telah
ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak (children’s courts)
sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi
Pidana Anak, terdapat kreteria/ Alasan yang menjadi dapat bagi anak sebagai pelaku
tindak pidana dapat dilaksanakan Diversi yaitu tercantum didalam pasal 7 yang
berbunyi:
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan:
Marlina, ”Pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum pidana/Marlina”,
29
Op.Cit., hal 24
30
Ibid., hal.10
32
Syarat lagi bagi aparat penegak hukum dapat menerapkan diversi yaitu sesuai dengan
“Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah
anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
Pasal tersebut secara tersirat menyatakan bahwa dikatakan yang yang berkonflik
dengan hukum adalah anak yang telah 12 hingga 18 Tahun saat melakukan tindak
pidana, sehingga anak yang masih berumur dibawah 12 tahun tidak dapat dilakukan
diversi atau hanya dilakukan tindakan seperti yang tertuang didalam Peraturan
“Dalam hal Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau
diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan
Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani
bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk waktu
paling lama 6 (enam) bulan.”
Pasal 70 Peraturan Pemerintah No 65 Tahun 2015 juga menyebutkan hal yang sama
yaitu :
“Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun yang melakukan atau
Perlu diperhatikan terkait diversi ini adalah faktor – faktor penggunaan diversi
dalam penyelesaian perkara pidana anak, dalam Undang – Undang No. 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dan dirumuskan dalam ketentuan
Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang
berbunyi:
hal yang menjadi dasar atau syarat seorang anak yang sebagai pelaku tindak pidana
1. Anak pelaku tindak pidana tersebut harus telah berusia 12 (dua belas)
Tahun;
lembaga penegak hukum yang mempunyai tanggung jawab masing-masing.31 Ide diversi
tersebut diambil dari dalam United Nations Standard Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules (Resolusi Majelis
Umum PBB 40/33 tanggal 29 November 1985), dimana diversi (Diversion) tercantum
dalam Rule 11,1, 11.2 dan Rule 17.4 yang terkandung pernyataan bahwa anak yang
31
Ibid, hlm. 167
34
yang berfungsi agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak terstigmatisasi akibat
diberikan kepada para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga lainnya) dalam
Laporan
Tidak
Penyidik MOU Berhasil
BA/MOU Berhasil
Keluar SP-3
Pemulihan Berkas dilimpahkan
ke Kejaksaan
35
Pasal 7 Ayat (1) Undang- Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan
pidana. Dengan penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal yang ada selama ini
pemenjaraan. Selain itu terlihat bahwa perlindungan anak dengan kebijakan diversi
dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari masyarakat sebelum terjadinya
tindak pidana dengan melakukan pencegahan. Setelah itu jika ada anak yang
melakukan pelanggaran maka tidak perlu diproses ke polisi. Berkaitan dengan hal
penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, telah dipertegas bahwa penyidikan
terhadap perkara anak yang berhadapan dengan hukum (anak nakal) dilakukan oleh
Anak Tentang Pengadilan Anak dikenal adanya penyidik anak, penyidik yang
diangkat oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Khusus untuk kepentingan tersebut.
36
Untuk dapat diangkat sebagai penyidik anak, Undang – Undang No. 11 Tahun 2012
melalui Pasal 26 Ayat (3) menetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
anak, penyidik anak dituntut lebih peka terhadap hak – hak anak, akibat- akibat dari
tindakan yang akan dilakukannya terhadap anak berhadapan hukum khusunya dalam hal
ini anak nakal demi kepentingan terbaik bagi anak salah satunya melakukan diversi
menjadi dasar penyidik untuk melakukan diversi dalam penyelesaian perkara tindak
pidana yang dilakukan oleh anak lebih didasarkan pada kedudukan kepolisian sebagai
lembaga penegak hukum yang pertama dan langsung berhubungan dengan masyarakat,
polisi pada dasarnya mempunyai potensi yang demikian besar untuk merubah kultur
masyarakat. Kewenangan dan otoritas polisi apabila dikemas secara dinamis akan
menjadi sarana bagi polisi dalam membangun masyarakat. Salah satu pedoman yang
dinilai dapat menjadi pegangan penyidik Polri dalam menerapkan konsep diversi dalam
menangani anak yang berhadapan dengan hukum adalah Peraturan Kabareskrim Polri
Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Standart Operasional Prosedur Penanganan Anak Yang
dan aturan tentang teknik diversi yang dapat dilakukan terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum. Peraturan Kabareskrim Polri Nomor 1 Tahun 2012 ini
37
terbentuk karena di dalam penanganan perkara pidana anak penyidik kepolisian di masa
depan dan sejalan dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, selain itu keberadaan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian yang didalamnya terdapat Pasal yang secara implicit relevan dengan
yang disangka telah melakukan pelanggaran diluar prosedur peradilan formal dengan
atau tanpa syarat-syarat tertentu. Berdasarkan uraian di atas dalam hal anak yang
berhadapan dengan hukum,anak yang berkonflik dengan hukum atau anak sebagai
pelaksanaan diversi penyidik berperan sebagai leading sector yang berperan aktif di
dalam penyelesaian perkara pidana anak melalui diversi dengan melakukan koordinasi
dengan lembaga-lembaga pemerhati anak sebagai pendamping. Hal ini mengingat polisi
merupakan lembaga peradilan pertama yang harus dihadapi oleh anak berhadapan
hukum.
penanganan anak berhadapan hukum melalui upaya diversi yang tercermin di dalam
Forum Musyawarah
Kepala kejaksaan /Mediasi RESTORATIVE
Berkas di Terima Diversi 30 JUSTICE
oleh Kejaksaan menunjuk Jaksa
Hari ( POLISI, BAPAS, ANAK ,
Anak
ORTU,
PH/PENDAMPING,KORBA
Penetapan
KPN Diversi
Laporan MOU Tidak
JPU/ Berhasil Berhasil
BA/MOU
JPU Berkas
Keluarkan Dilimpahkan
SP-3 kepengadilan
menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana.
mengatur tentang diversi yang berfungsi agar anak yang berhadapan dengan hukum
tidak terstigmatisasi akibat proses peradilan yang harus dijalaninya. Hal ini sesuai
dengan yang tercantum Pasal 7 ayat (1) serta didalam Undang - Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Tentang Pengadilan Anak dikenal
juga adanya penunutut anak, Penuntut anak yang berwenang melakukan Penuntutan
terhadap perkara pidana anak. Penunutut anak ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa
39
Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Untuk dapat diangkat sebagai
penunutut anak, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 melalui Pasal 41 Ayat (2)
menetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Penuntut Umum adalah :
“(2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum Sebagai dimaksud
pada ayat (1) meliputi :
sistem peradilan Pidana Anak, pada tingkat kejaksaan hal senanda juga telah di
rumuskan untuk membuat suatu petunjuk teknis bagi Penuntut Umum di seluruh
wilayah Indonesia agar mempunyai pedoman dalam mengahdapi anak sebagai pelaku
tindak pidana yaitu Peraturan Jaksa Agung No 6 Tahun 2015 tentang Pedoman
Pelaksanaan Diversi pada Tingkat Penuntut Umum, yang di Undangkan Pada tanggal
27 April 2015.
keseragaman standar teknis maupun administrasi yang berlaku bagi seluruh Penuntut
32
Maksud dan Tujuan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-
006/A/J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntut Umum
33
Ibid
40
sudah memiliki Payung hukum bagi hakim secara bebas untuk melakukan diversi sesuai
petunjuk pasal 7, dan didalam Undang-Undang itu juga terdapat syarat dan proses
penunjukan hakim yang khusus menangani perkara anak yang tercantum dalam pasal 43
disebutan bahwa :
2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang
dikeluarkan pada tanggal 24 Juli 2014 dengan berita Negara Republik Indonesia Tahun
payung hukum secara khusus bagi seluruh Hakim di Repbulik Indonesia untuk
menyelesaikan perkara anak yang berhadapan dengan hukum sesuai dengan pasal 2
yaitu :
“ Diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun
meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) Tahun, yang diduga
terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak
memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak
dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan
pidana. United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile
Justice ("The Beijing Rules")(Office of the High Commissioner forHuman Rights, 1985)
anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke proses informal
pemerintah.34
pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi (protection and rehabilitation) anak
pelaku tindak pidana. Tindakan diversi juga dilakukan sebagai upaya pencegahan
seorang pelaku anak menjadi pelaku kriminal dewasa. Usaha pencegahan anak inilah
yang membawa aparat penegak hukum untuk mengambil wewenang diskresi atau di
Amerika serikat sering disebut juga dengan istilah deinstitutionalisation dari sistem
penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan
dengan kebijakan yang dimiliknya35 Berdasarkan hal tersebut terdapat suatu kebijakan
apakah pekara tersebut diteruskan atau dihentikan. Apabila perkara tersebut diteruskan,
maka kita akan berhadapan dengan sistem pidana dan akan terdapat sanski pidana yang
harus dijalankan. Namun apabila perkara tersebut tidak diteruskan, maka dari awal
tingkat penyidikan perkara akan dihentikan guna kepentingan bagi kedua belah pihak
dimana prinsipnya memulihkan hubungan yang terjadi karena tindak pidana untuk
kepentingan masa depan bagi kedua belah pihak. Hal ini yang menjadi prinsip mengapa
dilakukan diversi khusunya bagi tindak pidana anak, dimana untuk mewujudkan
kesejahtraan bagi anak itu sendiri. Melalui diversi dapat memberikan kesempatan bagi
34
Marlina,”Pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum pidana/Marlina”,
Loc.Cit
35
Ibid, Hal 1
43
anak untuk menjadi sosok baru yang bersih dari catatan kejahatan dan tidak menjadi
resedivis.
memperbaiki kesalahan.
tercantum didalam pasal 8 Ayat (3) disebutkan bahwa seluruh aparat penegak hukum
yang sedang berhadap dengan perkara anak yang sedang melakukan tindakan pidana
bahwa anak yang melakukan tindak pidana harus diterapak diversi yaitu :
Menjamin kepentingan terbaik bagi anak adalah sesuai dengan asas dalam
sistem Peradilan Pidana Anak yang tertuang dalam pasal 2 huruf d didalam Undang-
Kepentingan terbaik bagi anak ini adalah sejalan dengan prinsip yang
dikemukan dalam kovensi hak anak yang disebutkan dalam sebuah prinsip The Best
Prinsip The Best Interest of the Child adalah suatu prinsip yang sangat penting
dalam perlindungan bagi anak, dimana semua tindakan yang dilakukan oleh anak dalam
melakukan perbuatan hukum harus berdasarkan kepentingan yang terbaik semata bagi
anak tersebut.
the Rights of the Child, 20 November 1989. Dalam konvensi hak anak tersebut, terdapat
prinsip kepentingan terbaik bagi anak yang dirumuskan dalam Article 3 point 1 yang
menyatakan :
anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat pada kepentingan orang
dewasa. Apa yang menurut orang dewasa baik, belum tentu baik pula menurut ukuran
kepentingan anak. Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan dan menolong,
sejalan dengan asas Sistem peradilan pidana anak dalam Undang-Undang No 11 Tahun
2012 pada pasal 2 huruf (i). dimana disebutkan bahwa : ”perampasan kemerdekaan dan
Karena apabila anak sebagai pelaku tindak pidann langsung dijatuhi hukum pidana
berupa hukum kurungan sudah pasti akan memperhambat atau mengganggu proses
tumbuh kembang anak tersebut yang seharusnya sedang menjadalani proses pendidikan
akan di cap atau di labellisasi sebagai anak pelaku tindak pidana sehingga secara phikis
akan mempengharui pola pikir anak, pengindaran efek stigmatisasi ini sejalan dengan
hak-hak anak yang harus di perolehnya saat anak tersebut sedang menjalani proses
peradilan, yaitu pada pasal 3 huruf (i) : “Hak Anak untuk tidak di publikasikan
identitasnya”.
tercantum didalam pasal 6 huruf (e) Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang tujuan
diversi, di dalam setiap musyawarah diversi yang dipertemukan oleh fasilitator baik
keluarga korban, korban dan keluarga tersangka serta tersangka, terdapat point-point
yang menerangkan bahwa anak sebagai pelaku tindak pidana tidak akan mengulangi
perbuatan pidana tersebut kemudian hari, dan akan membayar konpensasi sebagai rasa
46
tanggung jawab kepada korban, dan apabila dilanggar, maka proses peradilan akan
lanjut kepada diri tersangka atau anak sebagai pelaku tindak pidana.
“Memberikan perlindungan dan keadilan” bagi korban adalah sesuai dengan asas
system peradilan pidana anak yang tertera didalam pasal 2 huruf (a) dan (b) didalam
Pada pasal 2 huruf (a) dan (b) rasa keadilan dan perlindungan itu bukan hanya bagi
tersangka akan diterapkan namun bagi korban pun harus di terapakkan dan dirasa,
karena selama ini didalam sistem peradilan pidana bagi anak pelaku tindak pidana saja
yang akan diterapkan hukuman baik hukum pidana penjara atau denda, dimana pidana
penjara sudah pasti akan di hanya dirasakan oleh pihak tersangka dan denda pun juga
hanya akan disetor kepada kas negara, dengan telah di undangkan Undang-undang No
11 Tahun 2012 , telah terdapat payung hukum dalam melaksanakan diversi dengan cara
melibatkan pihak tersangka dan pihak korban dalam suatu musyawarah. Didalam
dipenuhi oleh pihak tersangka, dalam hal ini dalam bentuk materi atau kompensasi ganti
hukum di luar pengadilan atau sistem peradilan yang formal. Ada kesamaan antara
efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem
peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh
47
Konsep diversi dalam penanganan kasus anak di tingkat Penuntut Umum yang
anak dari eksplolasi dan kekerasan, akan lebih baik apabila diversi dan apabila dihukum
maka tidak efektif. Konsep diversi juga didasarkan pada kenyataan proses peradilan
pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak
memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya, sehingga lebih
kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non
keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada
Diversi sebagai usaha mengajak masyarkat untuk taat dan menegakan hukum
disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana
seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang tuanya. Diversi tidak bertujuan
mengabadikan hukum dan keadailan sama sekali, akan tetapi berusaha memakai unsur
36
Ibid, Hal 2
48
pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal
kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat
penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan
melalui sebuah penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi atau
tindakan yang tepat (appropriate treatment) tiga jenis pelaksanaan program diversi
dilaksanakan yaitu :
a. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orintation) yaitu aparat penegak
Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya
b. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu
mengeluarkan atau mengalihkan suatu kasus tergantung landasan hukum atau kriteria
yang ada dalam prakteknya. Di lingkungan juga terlihat ada suatu model informal yang
tidak meletakan kasus satu persatu secara formal (seperti polisi memutuskan untuk tidak
melanjutkan penyidikan, berpikir untuk bedamai) keadaan ini merupakan satu tindakan
karena dengan diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin, dan menghindarkan anak
dari stigma sebagai “anak nakal”, karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang
anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum. 38
e. Untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa
37
Ibid,, Hal 15
38
Lushiana Primasari, Keadilan Restoratif Dan Pemenuhan Hak Asasi Bagi Anak Yang
Berhadapan Dengan Hukum, Internet, Hal 3. Diakses pada 1 Oktober 2015
39
Ibid, Hal 3-4
50
harus melalui proses formal Menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan;
f. Menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
peradilan anak pada pasal 6 telah disebutkan secara jelas bahwa tujuan diversi adalah:
BAB III
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Peran strategis anak sebagai penerus cita-
cita perjuangan bangsa telah disadari oleh masyarakat internasional untuk melahirkan
sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang
harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Hal ini ditandai
Ratifikasi terhadap Konvensi Hak Anak ini dilakukan melalui Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child
tentang sistema peradilan anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak,
Indonesia, Surat Keputusan bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Jaksa agung,
menjadi dasar pelaksanaan perlindungan anak, terutama bagi anak yang berhadapan
dengan hukum.
tentang Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) antara lain sebagai berikut:
"Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas
B. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan dalam pasal 2 yaitu :
C. UU No. 12 Tahun 1995 tentang Kemasyarakatan, diatur dalam pasal 18 s/d 38,
sedangkan hak narapidana anak diatur dalam pasal 14 kecuali huruf g yaitu :
dengan UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistema peradilan anak, disebutkan dalam
pasal 7 yaitu :
Penanganan Anak ayang belum berumur 12 (dua belas) Tahun, yang tertuang dalam
pasal 3 yaitu :
“(1) Setiap Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam memeriksa Anak wajib
mengupayakan Diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.”
54
No. 35 Tahun 2014 yang memberikan perlindungan bagi anak-anak yang masih
dibawah umur yang menjadi korban dari kejahatan orang dewasa, dimana yaitu
Selain itu, keadilan restoratif dalam penerapan diversi juga terlihat pada
November 1987 , didalam SEMA ini hanya mengatur tentang bagaimana Tata Tertib
Juli 2014, didalam SEMA ini hanya mengatur tentang bagaimana Pedoman
“Diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas)
tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun,
“Hakim anak wajib mengupayakan Diversi dalam hal Anak didakwa melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan
didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7
(tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidiaritas, alternative,
Pedoman Pelaksanaan Diversi pada tingkat Penuntut, yaitu pada Bab II telah
diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yang disebutkan sebagai
berikut :
tingkatPenuntutan.
b.Diversi sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilaksanakan dalam
tindak pidana yang dilakukan :
1) Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun;
Dan
2) Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
2. Kriteria Anak yang wajib dilakukan Diversi
a . Upaya Diversi wajib dilakukan terhadap anak yang telah berumur
12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
b.Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka (1), upaya
Diversi wajib dilakukan meskipun Anak sudah atau pernah kawin
terhadap Anak, dimana SEJA ini belum terdapat aturan tentang diversi namun
sebelum lahirnya UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, para
penuntut umum sudah menerapkan Asas Kepentingan Terbaik untuk anak, dimana
hukum menimal.
untuk Pengadilan Anak; didalam SEJAMPIDUM ini adalah tindak lanjut dari paya
khusus bagi para penuntut umum yang berhadapan dengan anak yang masih dibawah
57
umur agar dapat dibedakan system pemeriksaan seperti orang dewasa pada
umumnya.
belum terdapat upaya diversi sebagai payung hukum bagi para penuntut umum
sehingga, didalam SEJA ini hanya mengatur tata cara persidangan dan penuntutan
yang minimum.
J. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI,
Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan
dengan hukum, Didalam Surat Keputusan Bersam ini, mengatur tentang kerjasama
semua aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan
Bapas dalam menjalankan Tugas dan Wewenangnya dalam menghadapi anak yang
berhadapan dengan hukum harus memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak
58
yaitu mualai dalam pemilihan aparat penegak hukum yang telah mengikuti pelatihan
khusus tentang anak sampai dengan menyediakan saran dan prasarana yang khusus
’’Negara-negara peserta mengakui hak setiap anak yang diduga, dituduh, atau
diakui sebagai telah melanggar undang-undang hukum pidana akan diperlakukan
dengan cara konsisten dengan peningkatan pengertian anak tentang martabat dan
nilai, yang memperkuat sikap hormat anak pada hak-hak asasi manusia dan
kebebasan hakiki orang lain dan yang memperhatikan usia anak dan keinginan
untuk meningkatkan reintegrasi anak dna pelaksanaan peranan yang
konstrukstif anak dalam masyarakat”
Desember 1984 Mulai berlaku: 26 Juni 1987, yang tertuang dalam pasal 2 yaitu :
40
Ditandatangani pada tanggal 20 Nopember 1989 dan berlaku pada tanggal 2 September
1990.
Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi oleh Resolusi Majelis
41
Umum PBB 39/46 tanggal 10 Desember 1984. Mulai berlaku: 26 Juni 1987.
59
“Pasal 2
1. Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif,
administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah
tindak penyiksaan di dalamwilayah hukumnya.
2. Tidak ada terdapat pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang atau
ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau maupun keadaan
darurat lainnya, yang dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.
3. Perintah dari atasan atau penguasa tidak boleh digunakan sebagai pembenaran
penyiksaan”.
yaitu :
Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak (Standard Minimum Rules for The
Beijing Rules ini mengatur lebih detail tentang perlakuan khusus bagi anak yang
“Pasal 40
1. Negara-negara Pihak mengakui hak setiap anak yang dinyatakan sebagai
tertuduh, atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana, untuk
diperlakukan dalam suatu cara yang sesuai dengan peningkatan rasa
penghormatan dan harga diri anak, yang memperkuat kembali penghormatan
anak terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar orang-
orang lain, dan yang memperhatikan umur anak dan keinginan untuk
meningkatkan integrasi kembali anak dan pengambilan anak pada peran
konstruktif dalam masyarakat.
2. Untuk tujuan ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam
instrumen-instrumen internasional yang relevan, maka Negara-negara Pihak,
terutama, harusmenjamin bahwa:
(a) Tidak seorang anak pun dapat dinyatakan, dituduh, atau diakui telah
melanggar hukum pidana, karena alasan berbuat atau tidak berbuat yang tidak
42
Diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB 40/33 tanggal 29 Nopember 1985.
60
Bawah Bentuk Penahanan Apa pun atau Pemenjaraan (Body of Principles for the
“ Tidak seorang pun yang berada dibawah bentuk penahanan atau pemenjaraan
a. tutupan sunyi paling lama 6 (Enam) hari bagi narapidana atau anak pidana;
dan atau
b. menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka waktu tertentu sesuai
43
Diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB 43/173 tanggal 9 Desember 1988.
44
Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang RI No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
45
Pasal 47 ayat (3) Undang-Undang RI No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
62
sewenang-wenang dan
pendidikan, budaya dan informasi yang layak, dengan tunduk pada syarat-syarat
tahun 1995, pasal 14 ayat (1), mengenai hak-hak narapidana yaitu huruf 46:
f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang.
sebagai upaya akhir. Penegak hukum dan petugas lain yang relevan dari kedua jenis
46
Pasal 14 ayat (1) huruf B dan F Undang-Undang RI No 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
47
Diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB 45/112 tanggal 14 Desember 1990.
63
kelamin, harus dilatih agar tanggap terhadap kebutuhan khusus anak dan agar terbiasa
Anak yang Kehilangan Kebebasannya (The United Nations Rules for The
Aturan ini mengatur tentang hak anak yang kehilangan kebebasannya atau ditahan
dalam penjara, yang tertera dalam pasal 17 yaitu disebutkan sebagai berikut :
“Para anak yang ditahan di bawah penangkapan atau tengah menunggu peradilan
(“belum diadili”) harus dianggap tidak bersalah dan harus diperlakukan sebagai
orang yang tidak bersalah. Penahanan sebelum peradilan sedapat mungkin
dihindari dan dibatasi pada keadaan-keadaan yang luar biasa. Dengan demikian,
jika penahanan preventif digunakan, pengadilan-pengadilan bagi anak dan
badan-badan pengusut harus memberi prioritas tertinggi pada penanganan yang
tercepat terhadap kasus-kasus demikian untuk menjamin agar masa penahanan
sesingkat mungkin. Para anak yang ditahan dan belum diadili harus dipisahkan
dari para anak yang telah dijatuhi hukuman”.
48
Diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB 45/113 tanggal 14 Desember 1990.
64
Selain Aturan hukum secara umum di Indonesia tentang diversi yang telah
Peradilan Pidana Anak dan Peraturan Pemerintah No 56 Tahun 2015 tentang Pedoman
Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (dua belas)
Tahun, pada Tingkat Penuntut Umum juga telah dibuat aturan khusus yaitu Petunjuk
Teknis bagi para jaksa yang hendak melakukan Diversi terhadap anak yang berhadap
dengan hukum yaitu Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-
dibuat aturan khusus bagi Penuntut Umum diharapkan setiap anak yang berhadapan
dengan hukum, berhak untuk mendapatkan perlindungan, baik fisik, mental, spiritual
Perlindungan Anak, yaitu prinsip non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak,
hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan terhadap
pendapat anak. Anak merupakan harapan orang tua, harapan bangsa dan negara yang
mempunyai ciri atau sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan
negara pada masa depan. Setiap anak harus mendapatkan pembinaan dari sejak dini,
anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Terlebih lagi bahwa masa
seorang manusia agar mereka kelak memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri
B. Syarat dan Proses Pemberian Diversi kepada anak Pelaku Tindak Pidana.
upaya diversi. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang
Terdapat perbedaan dalam hal anak yang melakukan tindak pidana di dalam
penyelesaiannya dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Namun
terdapat kreteria/ syarat yang dapat diterapkan bagi anak pelaku tindak pidana yaitu
sesuai Peraturan Jaksa Agung No 6 tahun 2015 tentang pedoman Pelaksanaan Diversi
amanah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang tertuang dalam pasal 7 ayat 2
yang berbunyi: Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal
menerangkan ancaman hukuman penjara dibawah 7 tahun baik dalam buku ke-2 KUHP
tentang Kejahatan yaitu sebanyak 259 pasal maupun di buku ke-3 KUHP tentang
pelanggaran sebanyak 78 pasal, dari syarat dan keterangan mengenai ancaman minuman
dibawah 7 (tujuh) tahun ini adalah sebagai patokan dasar bahwa tindak pidana yang
dilakukan oleh anak dibawah umur adalah tindak pidana yang bukan merupakan
tergolong tindak pidana yang berat. Sedangkan pada syarat dan kreteria kedua mengenai
anak yang dapat dilakukan diversi adalah “bukan merupakan pengulangan tindak
67
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pengertian pengulangan tindak
pidana atau residive sedikit berbeda, seperti kita ketahui apabila pengertian residive
secara umum adalah seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi
pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun
kita ketahui bahwa penetapan Diversi yang dikeluarkan oleh Hakim di pengadilan
“Pengulangan tindak pidana adalam ketentuan ini merupakan tindak pidana yang
dilakukan oleh anak, baik tindak pidana sejenis mapun tindak pidana tidak sejenis
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa melalui penjelasan Pasal 7 ayat (2)
Indonesia dapat dinyatakan bahwa baik Putusan Hakim maupun Ketetapan Diversi
Hakim disuatu pengadilan dapat dikatagorikan sama karena memiliki kekuatan hukum
tentang sistem Peradilan Anak sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 tahun
diversi sesuai dengan kesepakatan para bangsa-bangsa di dunia sesuai dengan Konvensi
Hak Anak.
68
Peradilan Pidana Anak yang dinyatakan berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak
tanggal diundangkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
153 tertanggal 30 juli 2012.49 Sehingga aturan tersebut berlaku pada juli 2014, pada
Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntut Umum yaitu Peraturan Jaksa Agung
Dalam penanganan perkara anak yang dilakukan oleh Jaksa sebelum keluarnya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan
49
Pasal 108 UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153
50
Dasar Pertimbangan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-
006/A/J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntut Umum
69
Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntut Umum ini belum merasakan
keadilan sesuai dengan konsep Diversi sebagaimana termuat dalam United Nations
Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The
Beijing Rules (Resolusi Majelis Umum PBB 40/33 tanggal 29 November 1985), dimana
diversi (Diversion) tercantum dalam Rule 11,1, 11.2 dan Rule 17.4. Namun setelah
diterbitkan aturan tersebut bagi Jaksa atau penuntut umum sudah mempunya hak untuk
tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntut Umum, terdapat tahapan
Proses Pelaksanaan Diversi yang tertuang pada BAB III yaitu Sebagai berikut :
Penyidikan Perkara Anak dan Surat Perintah Penunjukan Penuntut Umum Untuk
Umum51, selanjutnya Penuntut Umum yang ditunjuk untuk penyelesaian Perkara Anak
sedapat mungkin sama dengan Penuntut Umum yang ditunjuk untuk mengikuti
perkembangan penyidikan, Dalam hal belum terdapat Penuntut Umum yang memenuhi
persyaratan yang diatur dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Penuntutan terhadap Perkara Anak dilakukan
oleh Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat
51
BAB III Proses Pelaksanaan Diversi, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-
006/A/J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntut Umum
70
2. Koordinasi
Anak.
3. Upaya Diversi
Setelah menerima penyerahan tanggung jawab atas Anak dan barang bukti
(tahap II), Kepala Cabang Kejaksaan Negeri segera menerbitkan Surat Perintah
tanggung jawab atas Anak serta barang bukti di RKA, kemudian melakukan penelitian
terhadap kebenaran identitas Anak serta barang bukti dalam Perkara Anak dan mencatat
hasil penelitian tersebut dalam Berita Acara Penerimaan dan Penelitian Anak, Identitas
Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dari pemberitaan di media
cetak ataupun elektronik, selanjutya Hasil penelitian terhadap barang bukti dicatat
dalam Berita Acara Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti, kemudian dibuat Label
Barang Bukti dan dilengkapi dengan Kartu Barang Bukti, Dalam jangka waktu 7 x 24
71
(tujuh kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal penerimaan tanggung jawab
atas Anak dan barang bukti, Penuntut Umum wajib melakukan upaya Diversi dengan
dan/atau orang tua/wali serta korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/wali.
Dalam hal Anak dan/atau orang tua/wali serta korban atau Anak Korban
dan/atau orang tua/wali setuju untuk melakukan Diversi, Penuntut Umum menentukan
tanggal dimulainya musyawarah Diversi dan mencatatnya dalam Berita Acara Upaya
Diversi.
Dalam hal Anak dan/atau orang tua/wali serta korban atau Anak korban dan/atau
orang tua/wali menolak untuk melakukan Diversi, Penuntut Umum mencatatnya dalam
Berita Acara Upaya Diversi dengan memuat alasan penolakan terhadap upaya Diversi,
perkara acara pemeriksaan biasa atau pelimpahan perkara acara pemeriksaan singkat
4. Musyawarah Diversi
Musyawarah Diversi adalah tahap pemanggilan semua pihak yang terlibat dan
bersangkut paut dalam perkara anak tersebut untuk secara bersama-sama menentukan
jalan keluar untuk kepentingan terbaik bagi kedua belah pihak. Diversi dilaksanakan
paling lama 30 (tiga puluh) hari52 sejak tanggal dimulainya Diversi yaitu tanggal yang
III. Dalam hal dikehendaki oleh Anak dan/atau orang tua/wali, pelaksanaan
- Tokoh Agama;
- Guru;
- Tokoh Masyarakat;
- Pendamping; dan/atau
IV. Surat panggilan para pihak mencantumkan hari, tanggal serta tempat
kerja di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia atau dalam keadaan tertentu dapat
dilakukan ditempat lain yang disepakati oleh para pihak dengan persetujuan Kepala
Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri, dalam hal orang tua/wali Anak
orang tua/wali, dalam hal orang tua/wali Anak Korban tidak diketahui keberadaannya
atau berhalangan hadir, Musyawarah Diversi tetap dilanjutkan dengan dihadiri oleh
Pekerja Sosial Profesional sebagai pengganti dari orang tua/wali, dalam hal tidak
diawali dengan perkenalan para pihak. Fasilitator menyampaikan maksud dan tujuan
untuk disepakati oleh para pihak dan penjelasan tentang waktu dan tempat serta
ringkasan laporan sosial terhadap Anak Korban dan/atau Anak Saksi, dalam hal
dipandang perlu, fasilitator dapat melakukan pertemuan terpisah (kaukus) dengan para
pihak.
Anak Korban dan/atau orang tua/wali, proses Diversi dilaksanakan melalui musyawarah
yang dipimpin oleh Penuntut Umum sebagai fasilitator dan dihadiri oleh Pembimbing
fasilitator serta para pihak yang hadir dalam Musyawarah Diversi dan dilaporkan
pemeriksaan biasa atau pelimpahan perkara acara pemeriksaan singkat sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
Kemasyarakatan, selama proses Diversi dan proses pemeriksaan Perkara Anak yang
memenuhi kriteria wajib Diversi, tidak dapat dilakukan penahanan terhadap Anak.
5. Kesepakatan Diversi
mendapatkan persetujuan korban, Anak Korban dan/atau orang tua/wali kecuali untuk :
4) nilai kerugian korban atau Anak Korban tidak lebih dari upah minimum
provinsi setempat.
75
mengarahkan agar Kesepakatan Diversi tidak memuat hal yang bertentangan dengan
hukum, kepatutan masyarakat setempat, kesusilaan, ketertiban umum dan hal-hal yang
Dalam hal terdapat barang bukti dalam perkara Anak, selain memuat
kesepakatan mengenai bentuk dan cara penyelesaian perkara serta jangka waktu
status barang bukti, kesepakatan Diversi ditandatangani oleh para pihak dengan
Kesepakatan Diversi serta Berita Acara Diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri di
wilayah tempat terjadinya tindak pidana, dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari
Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari53 setelah menerima penetapan,
Penuntut Umum memanggil dan meminta para pihak untuk melaksanakan Kesepakatan
Diversi, pelaksanaan Kesepakatan Diversi dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah
disepakati dalam Kesepakatan Diversi namun tidak boleh melebihi ketentuan sebagai
berikut :
53
Ibid, BAB III Point VI, Proses Pelaksanaan Diversi
76
waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali
pemeriksaan biasa atau pelimpahan perkara acara pemeriksaan singkat sesuai dengan
proses peradilan pidana dengan tembusan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat.
77
Umum untuk menindaklanjuti laporan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
1) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari54 terhitung sejak tanggal
orang tua/Wali;
2) Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal
pelayanan masyarakat;
3) Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal
4) Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal
Negeri setempat beserta laporan proses Diversi dan Berita Acara Pemeriksaan dengan
54
Ibid, BAB III Point VIII; Proses Pelaksaan Diversi
78
tembusan kepada Anak dan orang tua/Wali, korban, Anak Korban dan/atau orang
9. Registrasi Diversi
Setiap tahapan proses Diversi dalam Perkara Anak dicatat dalam Register
Perkara Anak dan dilaporkan secara periodik dan/atau insidentil kepada pimpinan.
Sibuhuan
perkara pidana yang umumnya pernah masuk dalam perkara anak sebagai pelaku tindak
pidana sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung N0 6 Tahun 2015 pada BAB II yaitu :
Perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur di daerah cabang
Pasal 362
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
Pasal 363
1. pencurian ternak;
2. pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir gempa bumi, atau
3. pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup
yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak
5. pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk
atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau
Pasal 351
80
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
Pasal 170
1.Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja
mengakibatkan luka-luka;”
Sibuhuan yaitu :
1. Penetapan No.03/Pid.Sus.Anak/2014/PN/Psp,
Kasus Posisi :
Pada hari sabtu tanggal 10 Mei 2014 sekitar pukul 23.00 wib di desa Aliaga
Kec. Hutaraja Tinggi Kab. Padang Lawas. Ketika sedang melewati jalan umum
memukul Saksi korban Muhammad Kholil Siregar, hingga luka sebagai Visum
81
Subsidair : Pasal 351 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP
Proses Diversi :
Sesuai dengan Petunjuk teknis dari Peraturan Jaksa Agung N0 6 Tahun 2015
Tahapan dalam proses diversi yang harus diterapkan pada tingkat kejaksaan
yaitu :
hanya 1(satu) JPU saja, padahal menurut Petunjuk Teknis tersebut minimal
2(dua) JPU hal ini dikarenakan kekurangan JPU didaerah Cabang Kejaksaan
2. Koordinasi;
Setelah Menerbitkan P-16 Anak , JPU yang tertera sesuai dengan nama yang
tersebut yang mana SPDP (Surat perintah Dimulainya Penelidikan) telah masuk
3. Upaya Diversi;
Setelah Menerima Penyerahan Tanggung Jawab atas anak dan barang bukti
(Tahap II), JPU yang telah ditunjuk oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri
dengan membuat Berita acara penerimaan dan penelitian Anak dan Barang bukti,
yang telah ditunjuk setelah menerima berkas perkara dari penyidik Polri,
Bapas dan tokoh masyarakat untuk melakukan diversi pada hari yang ditentukan
4. Musyawarah Diversi;
Setalah JPU Anak tersebut melakukan pemanggilan, pada hari yang ditentukan
para pihak yang dipanggil secara sah dan patut, langsung di musyawarahkan di
Diversi dipimpin oleh Penuntut Umum sebagai fasilitator yang diawali dengan
musyawarah untuk disepakati oleh para pihak dan penjelasan tentang waktu dan
tempat serta ringkasan dugaan tindak pidana yang didakwakan terhadap Anak.
tanggapan terhadap:
Pada studi kasus ini, Terjadi Pertemuan antara pihak tersangka 1 Muhammad ali
Sobirin Lubis dan Saksi korban Muhammad Kholil Siregar dengan fasilitator
desa Sibodak sosa jae Kec. Hutaraja tinggi Kab Padang Lawas pada tanggal 4
ditandatangani oleh fasilitator serta para pihak yang hadir dalam Musyawarah
Penelitian Kemasyarakatan.
5. Kesepakatan Diversi;
4) nilai kerugian korban atau Anak Korban tidak lebih dari upah
ketertiban umum dan hal-hal yang tidak dapat dilaksanakan atau itikad tidak
baik.
Diversi namun tidak boleh melebihi 3 (tiga) bulan, namun dapt diperpanjang
Apabila dalam waktu yang ditentukan tidak terlaksana kesepakatan maka pihak
9. Registrasi Diversi.
meregister perkara anak tersebut dalam buku register anak dan melaporkan
Hasil Diversi :
Sobirin Lubis dan Muhammad Kholil Siregar tidak ada permasalahan sebelum
ketentuan dan syarat apapun dimana tidak ada dendam atau permasalahan antara
Analisa :
Proses diversi baru ditemukan kata sepakat pada tingkat kejaksaan karena
perkara ini terdapat 1 pelaku dewasa yang sebenarnya yang melakukan tindak
pidana penganiayaan, yang dalam BAP nya sudah di pisahkan antara BAP anak-
anak dan BAP dewasa, sehingga proses Diversi ini dapat berjalan dengan baik.
2. Penetapan No.01/Pid.Sus.Anak/2015/PN/Psp,
Kasus Posisi :
Pada hari Rabu tanggal 15 Oktober 2014 sekitar Pkl 04.30 Wib bertempat di
rumah saksi Bisma Rohim di desa Lubuk Bunut kec. Sosa Kab. Padang Lawas,
terlebih dahulu dengan jalan sekeliling rumah saksi dan setelah rasa aman lalu
terdakwa membuka paksa jendela dapur rumah saksi Bisma Rohim Damanik
yang sesampai didalam rumah terdakwa melihat 1(satu) unit sepeda motor
Honda Supra x 125 tahun 2010 warna violet Silver dengan no mor polisi BB
5421 KC milik saksi supriyanto dalam keadaan terkunci dan dimana saksi Bisma
Rohim Damanik dan Saksi Supriyanto dalam keadaan tertidur. Melihat hal
tersebut lalu terdakwa membuka pintu dapur rumah dengan menggunakan kunci
yang tergantung dipintu dapur lalu mendorong sepeda motor tersebut kekuar
rumah lalu masuk kembali kedalam rumah dan mengunci pintu dapur rumah dari
Pasal 363 Ayat (1) ke-3 dan ke-5 KUHP Jo Pasal 363 Ayat (2).
Proses Diversi :
Sesuai dengan Petunjuk teknis dari Peraturan Jaksa Agung N0 6 Tahun 2015
Tahapan dalam proses diversi yang harus diterapkan pada tingkat kejaksaan
yaitu :
sudah menerbitkan surat penunjukan Jaksa Penuntut Umum dengan Nomor kode
hanya 1(satu) JPU saja, padahal menurut Petunjuk Teknis tersebut minimal
2(dua) JPU hal ini dikarenakan kekurangan JPU didaerah Cabang Kejaksaan
2. Koordinasi;
Setelah Menerbitkan P-16 Anak , JPU yang tertera sesuai dengan nama yang
tersebut yang mana SPDP (Surat perintah Dimulainya Penelidikan) telah masuk
3. Upaya Diversi;
88
Setelah Menerima Penyerahan Tanggung Jawab atas anak dan barang bukti
(Tahap II), JPU yang telah ditunjuk oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri
dengan membuat Berita acara penerimaan dan penelitian Anak dan Barang bukti,
yang telah ditunjuk setelah menerima berkas perkara dari penyidik Polri,
Bapas dan tokoh masyarakat untuk melakukan diversi pada hari yang ditentukan
4. Musyawarah Diversi;
Setalah JPU Anak tersebut melakukan pemanggilan, pada hari yang ditentukan
para pihak yang dipanggil secara sah dan patut, langsung di musyawarahkan di
Diversi dipimpin oleh Penuntut Umum sebagai fasilitator yang diawali dengan
musyawarah untuk disepakati oleh para pihak dan penjelasan tentang waktu dan
tempat serta ringkasan dugaan tindak pidana yang didakwakan terhadap Anak.
tanggapan terhadap:
89
Pada studi kasus ini, terjadi pertemuan antar pihak tersangka Saidi dan wali
tersangka Yusni Samroh Siregar dan korban Supriyanto dan Orang tua korban
Suyadi serta lurah pasar sibuhuan A.Juneid Siregar serat fasilitator JPU Cabang
fasilitator serta para pihak yang hadir dalam Musyawarah Diversi dan dilaporkan
5. Kesepakatan Diversi;
4) nilai kerugian korban atau Anak Korban tidak lebih dari upah
90
ketertiban umum dan hal-hal yang tidak dapat dilaksanakan atau itikad tidak
baik.
Diversi namun tidak boleh melebihi 3 (tiga) bulan, namun dapt diperpanjang
langsung kepada pihak korban yaitu pada berkas perkara ini terdapat kompensasi
pihak tersangka.
Apabila dalam waktu yang ditentukan tidak terlaksana kesepakatan maka pihak
9. Registrasi Diversi.
meregister perkara anak tersebut dalam buku register anak dan melaporkan
Hasil Diversi :
Pasal 1. Saidi Siregar dan Supriyanto tidak ada permasalahan sebelum dan
Pasal 3. Pihak Saidi Siregar membayar biaya perbaikan sepeda motor milik
Analisa :
Proses diversi baru ditemukan kata sepakat pada tingkat kejaksaan karena pada
tingkat penyidik polri dalam BAP tersangka saidi menyatakan bahwa dirinya
adalah dewasa dengan umur 19 tahun dan hingga dipengadilan lalu pihak
keluarga datang dan membawa surat bukti Kartu keluarga yang menyatakan
bahwa dirinya masih 15 Tahun, oleh sebab itu berkas perkara saidi dikembalikan
tersangka ada masih anak dibawah umur, dan dengan keterlibatan seluruh pihak
antara keluarga korban dan tersangka serta lurah di pasar sibuhuan untuk
kompensasi kepada pihak korban sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) pada
3. Penetapan No.31/Pid.Sus.A/2015/PN/Psp,
Kasus Posisi :
Pada hari Jumat tangal 13 Nopember 2015 sekitar Pukul 13.00 Wib bertempat
dikebun kelapa sawit milik PT MAI Bunut Sosa pada Blok 121 Afd III Kec.
Sosa, Kab. Padang Lawas, anak Faisal Siregar , saksi Hoirudin Nasution dan
Sarwedi Nasution tiba di kebun kelapa sawit milik PT MAI Bunut Sosa pada
Blok 121 Afd III Kec. Sosa, kab. Padang Lawas lalu saksi Hoirudin Nasution
menghentikan becak dipinggir kebun kemudian anak faisal siregar dan sarwedi
nasution masuk kedalam kebun tersebut lalu sarwedi nasution mengegrek buah
93
kelapa sawit dari pohon kelapa sawit dengan menggunakan 1 (satu) buah pisau
egrek hingga buah kelapa sawit jatuh dari pohon kelapa sawit lalu anak faisal
kebun dimansa saksi Hoirudin menunggu saksi lalu saksi hoirudin nasution
menuju becak motor yang diparkir dipinggir kebun tersebut hingga keseluruhan
sawit namun secara tiba-tiba saksi Ansori Nasution dan saksi Sonang Ranto
Siregar yang merupakan petugas keamanan datang dna membawa anak faisal
berikut 8 (delapan) tanda buah kelapa sawit, 1(satu) buah pisau egrek dan
Proses Diversi :
Sesuai dengan Petunjuk teknis dari Peraturan Jaksa Agung N0 6 Tahun 2015
Tahapan dalam proses diversi yang harus diterapkan pada tingkat kejaksaan
yaitu :
sudah menerbitkan surat penunjukan Jaksa Penuntut Umum dengan Nomor kode
hanya 1(satu) JPU saja, padahal menurut Petunjuk Teknis tersebut minimal
94
2(dua) JPU hal ini dikarenakan kekurangan JPU didaerah Cabang Kejaksaan
2. Koordinasi;
Setelah Menerbitkan P-16 Anak , JPU yang tertera sesuai dengan nama yang
tersebut yang mana SPDP (Surat perintah Dimulainya Penelidikan) telah masuk
3. Upaya Diversi;
Setelah Menerima Penyerahan Tanggung Jawab atas anak dan barang bukti
( Tahap II), JPU yang telah ditunjuk oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri
dengan membuat Berita acara penerimaan dan penelitian Anak dan Barang bukti,
yang telah ditunjuk setelah menerima berkas perkara dari penyidik Polri,
Bapas dan tokoh masyarakat untuk melakukan diversi pada hari yang ditentukan
4. Musyawarah Diversi;
Setalah JPU Anak tersebut melakukan pemanggilan, pada hari yang ditentukan
para pihak yang dipanggil secara sah dan patut, langsung di musyawarahkan di
Diversi dipimpin oleh Penuntut Umum sebagai fasilitator yang diawali dengan
musyawarah untuk disepakati oleh para pihak dan penjelasan tentang waktu dan
tempat serta ringkasan dugaan tindak pidana yang didakwakan terhadap Anak.
tanggapan terhadap:
Pada studi kasus ini, terjadi pertemuan antar pihak tersangka Faisal Siregar dan
wali tersangka Heny Siregar dan korban dari PT MAI yang diwakili oleh Eddy
Acara Diversi, ditandatangani oleh fasilitator serta para pihak yang hadir dalam
Penelitian Kemasyarakatan.
5. Kesepakatan Diversi;
4) nilai kerugian korban atau Anak Korban tidak lebih dari upah
ketertiban umum dan hal-hal yang tidak dapat dilaksanakan atau itikad tidak
baik.
Diversi namun tidak boleh melebihi 3 (tiga) bulan, namun dapt diperpanjang
yaitu pada berkas perkara ini terdapat kompensasi sebesar Rp.1.000.000,- (Satu
Apabila dalam waktu yang ditentukan tidak terlaksana kesepakatan maka pihak
9. Registrasi Diversi.
meregister perkara anak tersebut dalam buku register anak dan melaporkan
Hasil Diversi :
Orang tua atau wali : Memohon kepada korban agar mau memaafkan dan
Korban : PT MAI yang diwakili oleh Eddy Husni dan Basarudin Hasibuan :
sejak awal tidaka ada penyesalan anak tersebut ketika selesai melakukan
tindakan dan kami meminta untuk sementara ini proses hukum terhadap anak
Bahwa atas saran fasilitator kepada para pihak, ternyata masih belum terdapat
Analisa :
Proses diversi tidak ditemukan kata sepakat pada tingkat kejaksaan karena pihak
korban dari PT MAI tetap bersikeras bahwa anak pelaku tindak pidana tersebut
tidak menunjukan rasa penyesalannya, namun analisa dari Penulis bahwa salah
satu faktor yang tidak ditemukan perdamaian atau proses diversi tidak berhasil
adalah dikarenakan tidak adanya peran serta kepala desa yang membantu
mendamaikan para pihak korban dan tersangka dan ditambah lagi tidak ada
pengetahuan para pihak dan seluruh masyarakat tentang Diversi serta pentingnya
Penegak hukum khusus pada penulisan ini pada tingkat Penuntut Umum juga
subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsystems of criminal justice
system), salah satu indikator keterpaduan sistem peradilan pidana adalah “sinkronisasi”
berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tersebut mencapai tujuannya. Dalam hal ini,
dalam menyelesaikan perkara pidana anak tidak bisa disamakan dengan orang dewasa
yang dengan proses pidana biasa. Sehingga dapat dikatakan hukum pidana harus
55
Muladi, Kapita selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip: Semarang,1995, hal 7
100
BAB IV
Substansi hukum (legal substance) merupakan aturan, norma dan pola perilaku
manusia yang berada di dalam sistem hukum. Substansi hukum (legal substance) berarti
produk yang dihasilkan oleh orang yang berada didalam sistem hukum itu, baik berupa
keputusan yang telah dikeluarkan maupun aturan-aturan baru yang hendak disusun.
Substansi hukum (legal substance) tidak hanya pada hukum yang tertulis (law in the
book), tetapi juga mencakup hukum yang hidup didalam masyarakat (the living law).56
dengan hukum muncul pada tahun 1985 dalam Beijing Rules yang mengatur bahwa
diversi bisa dilakukan oleh Polisi, Jaksa dan Hakim. Aturan 11 dalam Beijing Rules
menjelaskan kapan dan bagaimana diversi seharusnya digunakan pada anak yang
berhadapan dengan hukum. Aturan 11.2 lebih spesifik menyatakan bahwa Polisi, Jaksa,
Hakim dan badan-badan lainnya harus diberdayakan agar menangani kasus anak yang
Perserikatan Bangsa-bangsa (Convention on the Rights of the child) tahun 1990 pada
pasal 40.3 (b) menetapkan bahwa diversi adalah cara yang paling tepat menangani anak
yang berhadapan dengan hukum. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak
56
Marlina,”Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice”, Op.Cit, hal 14
101
Internasional tahun 1990 melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 dan berlaku
tanggal 05 Oktober 1990. Selain Konvensi Hak Anak dan Beijing Rules, instrumen
hukum internasional seperti The Tokyo Rules, Riyadh Guidelines dan Havana Rules
antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan,
berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Pasal 7 (1) Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2012 bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan dan
dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di
bawah 7 (tujuh) bulan dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Proses diversi
dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban
kesejahteraan sosial dan atau masyarakat yang hasilnya dibuat dalam bentuk Berita
masyarakat dan kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum. Kewajiban Jaksa Penuntut
Umum untuk melakukan diversi diatur dalam pasal 42 UU Nomor 11 tahun 2012
dimana Penuntut Umum wajib melakukan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah
102
menerima berkas perkara dari Penyidik. Penafsiran 7 (tujuh) hari setelah menerima
berkas perkara dari Penyidik dapat dimaknai pada saat dilakukan Proses Prapenuntutan
dan secara riel tanggungjawab tersangka dan barang bukti masih menjadi tanggung
jawab penyidik sehingga dalam pelaksanaannya nanti Penuntut Umum harus melakukan
koordinasi dengan Penyidik menyangkut waktu, tempat dan cara pemanggilan terhadap
mereka-mereka yang wajib hadir dalam proses diversi. Yang menjadi kendala yang
dihadapi oleh Penuntut Umum yaitu hingga saat ini aturan dan tata cara pelaksanaan
penanganan anak yang berhadapan dengan hukum yaitu : Peraturan Jaksa Agung
Penuntut Umum, tertanggal 15 Juni 2015, pada tingkat penuntut umum masih
Pidana Anak, yang berlaku aktif 2(dua) tahun sejak di keluarkan pada tanggal 31 Juli
2012 dan secara otomatis berlaku bagi seluruh wilayah Republik Indonesia pada tanggal
1 Agustus 2014 dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 4 tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak , yang berlaku
pada tanggal 24 Juli 2014, sesuai dengan studi kasus yang penulis angkat pada
penelitian ini ada 2(dua) berkas yang masih menggunakan pedoman aturan Perma
masih dibawah umur dengan pasal yang disangkakan adalah pasal 170 dari KUHP
dimana pelaku dan korban masih berumur 17 tahun, tetapi salah satu dari tersangka ada
1(satu) orang dewasa, sehingga berkas tersebut harus di split atau di pisahkan atara
berkas perkara anak yang masih dibawah umur dengan orang dewasa, sehingga berkas
perkara anak dapat di upaya diversi sesuai dengan bunyi pasal 7 ayat (1) Undang-
Sedangkan orang dewasa yang masuk dalam salah satu tersangka penganiayaan tersebut
akan masuk dalam pengadilan umum untuk orang dewasa sesuai dengan bunyi pasal 24
“Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa atau
yang berwenang”.
Berkas pertama yang sudah terpisah antara orang dewasa dan anak dibawah
umur dapat dilaksanakan pelaksanan diversi sesuai dengan pasal 5 dan 6 Perma No. 4
Pasal 5 :
(1) Musyawarah Diversi dibuka oleh Fasilitator Diversi dengan
memperkenalkan para pihak yang hadir, penyampaikan maksud dan tujuan
musyawarah diversi, serta tata tertib musyawarah untuk disepakati oleh para
pihak yang hadir.
(2) Fasilitator Diversi menjelaskan tugas Fasilitator Diversi
(3) Fasilitator Diversi menjelaskan ringkasan dakwaan dan Pembimbing
Kemasyarakatan memberikan informasi tentang perilaku dan keadaan sosial
57
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1052
104
Pasal 6:
(1) Musyawarah Diversi dicatat dalam berita acara Diversi dan
ditandatangani oleh fasilitator Diversi dan Panitera/Panitera Pengganti.
(2) Kesepakatan diversi ditandatangani oleh para pihak dan dilaporkan kepada
Ketua pengadilan oleh Fasilitator Diversi.
(3) Ketua Pengadilan dapat mengeluarkan Penetapan Kesepakatan Diversi
berdasarkan kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Ketua Pengadilan dapat mengembalikan Kesepakatan Diversi untuk
diperbaiki oleh Fasilitator Diversi apabila tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (9), selambat-lambatnya dalam
waktu 3(tiga) hari.
(5) Setelah menerima penetapan dari Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Hakim menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan
perkara.
sebagai pengisi kekosongan hukum sementara bagi para aparat penegak hukum mulai
Setelah keluarnya aturan khusus bagi Penuntut umum yaitu Peraturan Jaksa
105
Tingkat Penuntut Umum, hingga sekarang ini khusus di daerah Cabang Kejaksaan
dan tanpa menggunakan pedoman dari Peraturan Mahkamah Agung Repbulik Indonesia
Nomor No 4 Tahun 2014, namun demikian dalam prakteknya masih ada aturan didalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang
secara aturannya sudah ada dibuat oleh pemerintah namun secara sarana dan prasananya
belum lengkap seperti yang termuat dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 yaitu:
(1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang
(2) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
Pasal 8 tersebut baik ayat (1) dan (2) ada 2 (dua) pihak yang harus terlibat dalam
proses diversi yaitu Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, namun
belum ada ke-2 Pihak tersebut yang seharusnya mendampingi anak saat proses diversi
untuk membela hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum dan ditambah lagi bila
mengacu pada pasal 104 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012, masih belum
LPKA sesuai dengan Undang-Undang ini paling lama 3 (tiga) tahun”. Namun hingga
sekarang belum terbentuk lembaga tersebut dan lembaga lain yang berkaitan tentang
anak pun juga belum ada seperti LPAS (Lembaga Penempatan Anak Sementara) dan
Pada studi kasus perkara anak yang ketiga yaitu PUTUSAN PENGADILAN
mengenai kasus anak pencurian buah kelapa sawit dari PT MAI, yang dikenakan pasal
363 ayat (1) ke-4 KUHP, dimana pelaku atau anak yang berhadapan dengan hukum
tersebut harus ditahan, dikarenakan pada saat dilaksanakan proses diversi pada tingkat
kepolisian, kejaksaan dan kehakiman telah gagal sehingga harus dilanjutkan keproses
pengadilan dan Vonis pidana penjara di rumah tahanan Sibuhuan, kegagalan diversi
pada tingkat penuntut umum ini dikarenakan tidak adanya kata sepakat baik pelaku
(Anak yang berhadapan dengan hukum) dengan PT MAI sebagai pihak korban yang
dirugikan karena buah kelapa sawitnya dicuri, proses diversi tersebut tetap berlangsung
sesuai dengan bunyi pasal 8 Undang-Undang No 11 Tahun 2012, walaupun dari kasus
tersebut banyak para pihak yang belum lengkap tapi masih dapat dirangkap oleh pihak
Bapas untuk memenuhi pelengkap bukti formil58 dalam proses pelaksaan diversi di
Profesional dan Tenaga Kerja Sosial dan juga lembaga yang belum tersedia di daerah
Cabang Kejaksaan Negeri PadangSidimpuan di Sibuhuan seperti LPKS dan LPKA serta
LPAS yang masih belum terbentuk dalam Bapas di Rumah Tahanan Sibuhuan sehingga
mengakibatkan terjadinya percampuran tahanan baik yang dewasa dan anak. Oleh sebab
Edy Ikhsan, Dkk,”Diversi dan Keadilan Restoratif Kesiapan Aparat Penegak Hukum dan
58
itu dari paparan kasus diatas, perlu peran pemerintah untuk mempercepat proses saran
Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan ukuran
pengadilan, yurisdiksinnya (termasuk jenis kasus yang berwenang mereka periksa), dan
tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti
bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh
presiden, prosedur ada yang diikuti oleh Penuntut umum dan sebagainya. Jadi struktur
(legal struktur) terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan
memperbaiki kesalahan. Aparat penegak hukum dalam hal ini pada tingkat Penuntut
dan aturan kepada anak yang berhadapan dengan hukum (pelaku). Penuntut umum
melakukan diversi dengan cara pendekatan persuasif dan menghindari penahanan yang
menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan, untuk mengalihkan suatu kasus dari
hukum. Penghindaran penahanan dengan kekerasan dan pemaksaan menjadi tujuan dari
Dari pemaparan kasus diatas terlihat jelas peran aparat penegak hukum
khususnya dalam tingkat penuntut umum yang harus cekatan dan teliti dalam
(1) Penuntutan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penuntut Umum yang
ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh Jaksa Agung.
(2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami
masalah
anak; dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
(3) Dalam hal belum terdapat Penuntut Umum yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat(2), tugas penuntutan dilaksanakan oleh
109
menggunakan Penuntut umum yang bertindak pada tindak pidana yang dilakukan oleh
orang dewasa sesuai dengan pasal 41 ayat (3) Undang-Undang No 11 tahun 2012.
Namun demikian setiap perkara anak yang masuk ke Cabang Kejaksaan Negeri
Kendala Sumber Daya Manusia aparat penegak hukum khususnya para Penuntut
umum yang belum mendapat pelatihan dan pendidikan sesuai dengan amanat pasal 41
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, Pada tingkat Penuntut Umum belum terdapat
unit khusus seperti Kepolisan yang disebut dengan PPA (Pelayanan Perempuan dan
Secara tertulis point pengertian huruf (l) disebutkan bahwa sudah terdapat RKA (Ruang
Khusus Anak)
(l) Ruang Khusus Anak yang selanjutnya disingkat RKA adalah ruang khusus
jawab atas Anak dan barang bukti dalam perkara Anak dan melaksanakan proses
Diversi.
Bab III didalam peraturan Jaksa Agung tersebut juga tertulis pada Upaya Diversi pada
(c) Penuntut Umum menerima penyerahan tanggung jawab atas Anak serta
identitas Anak serta barang bukti dalam Perkara Anak dan mencatat hasil
Bab III tersebut juga tercantum pada Amanah Diversi pada (b) yaitu disebutkan bahwa:
(b) Musyawarah Diversi dilaksanakan di RKA yang terdapat pada setiap satuan
dapat dilakukan ditempat lain yang disepakati oleh para pihak dengan
Penuntutan, secara tersirat sudah mengamanahkan agar terbentuk unit khusus bagi
penuntut umum khusus anak dan segala sarana dan prasananya seperti RKA( ruang
Khusus Anak, namun pada kenyataanya unit tersebut belum terbentuk di tingkat
Selain aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman
serta Bapas, peran serta instansi terkait lain seperti SKPD (Satua Kerja Perangkat
Daerah) yaitu Dinas pendidikan dan Catatan Sipil juga mempengaruhi penerapan diversi
di cabang kejaksaan negeri Padang Sidimpuan di Sibuhuan, oleh sebab itu perlu
kerjasama yang erat diseluruh aspek pemerintahan baik pusat dan daerah agar tidak
terjadi lagi penahan seperti berkas perkara kedua yang dialami anak yang berhadapan
(termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem
hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang
ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung
budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka
pengharapan mereka terhadap hukum dan sistem hukum. Dalam hal ini kultur hukum
merupakan gambaran dari sikap dan perilaku terhadap hukum, serta keseluruhan faktor-
faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan
dapat diterima oleh warga masyarakat dalam kerangka budaya masyarakat. Semakin
tinggi kesadaran hukum masyarakat, maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan
dapat merubah pola pikir masyarakat selama ini. Secara sederhana tingkat kepatuhan
Diversi. Pengertian Diversi sangat tergantung dari latar belakang dan dimana Diversi
akan diterapkan. Diversi dapat memberikan makna yang sangat luas terhadap jenis
Diversi masih belum dikenal luas oleh masyarakat sehingga akan mendapat
keganjalan dari masyarakat itu sendiri.60 Bukan hanya masyarakat yang belum
mengenal Diversi namun Aparat Penegak hukum pun hampir belum memahami secara
maksimal seperti pada tingkat Penuntut Umum, walaupun Kejaksaan RI melalui Badan
Diklat Kejaksaan RI sejak Tahun 2009 telah melaksanakan diklat tekhnis fungsional
mengenai Anak Yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) untuk para Jaksa dari
seluruh Indonesia yang hasil dari diklat tersebut akan di laporkan langsung ke Jaksa
Agung, namun dengan keterbatasan tempat, waktu dan anggaran sehingga belum semua
Jaksa pernah mengikuti diklat tekhnis mengenai Anak Berhadapan dengan Hukum
tersebut.
Peradilan Pidana Anak maka para penegak hukum dalam hal ini pada Penuntut Umum
dan masyarakat wajib mengetahui mengenai Diversi tersebut sehingga tujuan dari
tugasdari semua kalangan untuk mengetahui mengenai konsep Diversi serta tujuannya
Apabila kita lihat pasal 8 dan pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
59
Marlina,”Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice”, Op.Cit, hal 179
60
Hasil wawancara dengan Paul D.B Sinulingga, Jaksa Pada Kejaksaan Negeri
padangsidimpuan, pada tanggal 18 Januari 2016.
113
yang berbunyi :
Pasal 8 :
1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan
orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan
Keadilan Restoratif.
2) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat.
3) Dalam proses Diversi wajib memperhatikan:
a. kepentingan korban;
b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
c. penghindaran stigma negatif;
d. penghindaran pembalasan;
e. keharmonisan masyarakat; dan
f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum
Pasal 9 :
1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus
mempertimbangkan:
a. kategori tindak pidana;
b. umur Anak;
c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan;
d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
2) Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau
keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali
untuk:
a. tindak pidana yang berupa pelanggaran;
b. tindak pidana ringan;
c. tindak pidana yang dilakukan Anak tanpa korban; atau
d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat.
proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang
dan/atau keluarga korban, sehingga disini masyarakat wajib untuk tahu dan
mengerti mengenai Diversi dan merupakan tanggung jawab dari pemerintah dan
114
Sehingga dalam setiap upaya Diversi yang dilakukan oleh penegak hukum
kesejahteraan anak. Selain pemahaman mengenai Diversi dan anak yang berhadapan
dengan hukum perlu diketahui dan dipahami oleh masyarakat yang paling utama ialah
pemahaman oleh para penegak hukum mengenai Diversi itu sendiri sehingga penegak
hukum dalam mengaplikasikan Diversi dapat secara maksimal selaku mediator yang
para aparat penegak hukum dalam hal ini Penuntut umum pada saat melakukan diversi
harus mengambil tindakan yang tepat berkaitan dengan tindakan diversi, bila tidak akan
wenangan aparat dalam hal ini penuntut umum dalam menerjemahkan kekuasaannya.62
Kasus ketiga diatas terlihat jelas tidak terjadi kata sepakat dalam diversi
terkhususnya pihak dari PT MAI yang merasa dirugikan karena buah kelapa sawitnya
61
Eva Achjani Zulfa, Indriyanto Seno Adji, “Pergeseran Paradigma Pemidanaan”, Bandung:
Lubuk Agung, 2011, hal 51
62
Marlina,”Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice”, Loc.Cit
115
telah dicuri oleh tersangka yang statusnya masih anak dibawah umur, selain pemahaman
dari pihak korban yaitu PT MAI yang tidak mendukung perlindungan anak dan hanya
memikirkan keuntungan pribadi saja, terlihat juga dengan jelas tidak ada dukungan
masyarakat dalam hal ini kepala desa yang biasanya ikut serta dalam setiap perkara
pidana yang menyangkut anggota masyarakat desanya, karena kurang juga memahami
BAB V
A. Kesimpulan
1. Penjatuhan hukuman pidana kepada anak dibawah umur sebagai pelaku tindak
pidana harus di minimalisir. Alasan yang menjadi dasar anak yang sebagai
63
Hasil wawancara dengan Paul D.B Sinulingga, Jaksa Pada Kejaksaan Negeri
padangsidimpuan, pada tanggal 02 Februari 2016
116
pidana;
pidana;
Umum, terdapat tahapan Proses Pelaksanaan Diversi yang tertuang pada BAB III
2. Koordinasi;
3. Upaya Diversi;
4. Musyawarah Diversi;
5. Kesepakatan Diversi;
9. Registrasi Diversi.
hukum yaitu:
Selain kendala Sumber daya Manusia aparat penegak hukum khususnya para
hingga kini, yaitu seperti unit khusus di kepolisian yang disebut dengan PPA
Penegak hukum pun hampir belum memahami secara maksimal seperti pada
anggaran.
B. Saran
dikemukakan dalam tesis ini, maka saran yang dapat diberikan penulis adalah sebagai
berikut :
penanganan anak yang masih dibawah umur sebagai pelaku tindak pidana
sepertinya halnya pada unit PPA( Pelayanan Perempuan dan Anak) di tingkat
Kepolisian.
3. Kerja sama antara Aparat Penegak hukum dalam hal ini pada tingkat Penuntut
Umum berkoordinasi dengan SKPD seperti Dinas Pendidikan dan Catatan Sipil
agar lebih cermat dalam pencatatan data terkhusus dari segi umur seluruh warga
Daftar Pustaka
A. Buku-Buku
Djamil, M. Nasir, 2015, “Anak Bukan Untuk Di Hukum”, Sinar Grafika, Jakarta Timur.
Edy Ikhsan, Dkk, 2014,”Diversi dan Keadilan Restoratif Kesiapan Aparat Penegak
Made Wirata, 2006, ”Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis”,
Yogyakarta
B. Peraturan Perundang-Undangan
Laporan hasil kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan
yang bekerja berdasarkan Keputusan Mentri Hukum dan Hak Asasi RI Nomor :
Hukum tahun Anggaran 2006. Tertanggal 16 Januari 2006 di Jakarta, Hal 7-8
E. Internet
2015