Anda di halaman 1dari 52

1

PEMIDANAAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKANTINDAK PIDANA

DI PENGADILAN NEGRI KELAS IA WATAMPONE DALAM PERSFEKTIF

UNDANG-UNDANG N0M0R 11 TAHUN 2012TENTANG SISTEM

PENRADILAN PIDANA ANAK

(STUDI KASUS PENGADILAN NEGRI KELAS 1A WATAMPONE)

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk mendapatkan

nilai pada mata kulia tatistik

OLEH

NOVI LESTARI

01 18 119

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM (STIH)

PENGAYOMAN WATAMPONE

2021
2

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………

HALAMAN PERSETUJUAN………………………………………………

DAFTAR ISI ………………………………………………………………

BAB 1 PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG ………………………………………...

B. RUMUSAN MASALAH ……………………………………….

C. TUJUAN PENELITIAN ………………………………………..

D. MANFAAT PENELITIAN ………………………………………..

E.METODE PENELITIAN …………………………………………..

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.pidana, pemidanaan, dan tindak pidana.…………………………

1.Istila dan definisi pidana …………………………. …………………

a. pemidanaan ………………………………………………….

c.tindak pidana …………….……………………………………

d.pemidanaan ……………………………………………………

2.pengertian anak dan narapidana anak………………………………

a. pengertian anak ……………………………………………

b.narapidana anak ………………………………………

BAB III METODE PENELITIAN


3

A.Lokasi penelitian ………………………………………………………

B.Tips pendekatan dan.Sifat penelitian ………………………………

C..jenis Dan Sumber Data ………………………………………………

D.Teknik pengumpulan Data……………………………………………

E. analisis Data……………………………………………………………
4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seorang anak merupakan harapan dan dambaan bagi setiap

orang tua, karena anak merupakan bagian dari generasi muda yang

merupakan salah satu sumber daya manusia yang berpotensi yang

akan menjadi penerus cita-cita perjuangan bangsa dimana anak juga

memiliki peranan strategis dalam memajukan bangsa ini untuk itu

mereka memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka

menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan social

secara utuh serasi dan seimbang.

Anak merupakan bagian dari masyarakat, mereka mempunyai

hak yang sama dengan masyarakat lain yang harus dilindungi dan

dihormati. Setiap Negara dimanapun di dunia ini wajib memberikan

perhatian serta perlindungan yang cukup terhadap hak-hak anak,

yang antara lain berupa hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya.

Namun sepertinya kedudukan dan hak-hak anak jika dilihat dari

prespektif yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh

pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya dan

masih jauh dari apa yang sebenarnya harus diberikan kepada mereka.

Kondisi inipun dipersulit oleh lemahnya penerapan hukum mengenai

hak-hak anak yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri.
5

Terkait dengan hal diatas dalam pembukaandeklarasi hak-hak

anak pada alenia 3 disebutkan : “ where as the child by reason if his

physical and mental immaturity, needs special safeguards and care,

incluiding appropriate legal protection, before as well as after birth”dari

pernyataan tersebut terkandung makna bahwa karena alasan fisik dan

mental yang belum matang dan dewasa, maka anak-anak

membutuhkan perlindungan dan serta perawatan khusus termasuk

perlindungan hukum sebelum maupun sesudah mereka dilahirkandari

pernyataan tersebut tercermin bahwa setiap orang wajib memberikan

yang terbaik bagi anaknya.

Memang disadari bahwa hak-hak anak harus dijamin dan

dipenuhi, terutama menyangkut kelangsungan hidup, tumbuh

kembang, perlindungan dan partisipasi merekadalam berbagai aspek

kehidupan.Namun dalam kehidupan bermasyarakat, kompleksitas

permasalahan menyertai kehidupan anak, baik aspek pendidikan,

kesehatan maupun perlakuan yang tidak adil dipandang darisegi

hukum, agama maupun moralitas kemanusiaan.

Sebagian besar anak mempunyai kemampuan dalam

mengembangkan dirinya untuk dapat melaksanakan hak

dankewajibannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab dan

bermanfaat untuk sesama manusia.Kondisi fisik dan mental seorang

anak yang masih lemah seringkali memungkinkan dirinya


6

disalahgunakansecara legal atau ilegal, secara langsung atau tidak

langsung oleh orang sekelilingnya tanpa dapat berbuat sesuatu.

Kondisi buruk bagi anak ini, dapat berkembang terus dan

mempengaruhi hidupnya lebih lanjut dalam bernegara dan

bermasyarakat. Situasi seperti ini dapat membahayakan negara,

karena maju atau mundurnya suatu bangsa itu memperlakukan dan

mendidik anak-anaknya. Oleh karena itu, prlindungan anak perlu

mendapat perhatian khusus di dalam pembangunan bangsa.

Saat ini banyak dijumpai anak-anak yang berperilaku

menyimpang. Perilaku menyimpang anak ini, jelas tampak kini di

tengah-tengah masyarakat. Kenyataan-kenyataan ini menunjukkan

bahwa perilaku mereka sudah sangat mengkhawatirkan dan

merupakan masalah yang berbahaya. Kenyataan-kenyataan ini

disebabkan oleh berbagai faktor antara lain adanya dampak negatif

dari arus globalalisasi, komunikasi, informasi, kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi, dan perubahan gaya hidup telah

membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan

masyarakat, terlebih kepada perilaku anak.

Salah satu persoalan yang sering muncul adalah bagaimana

penanganan hukum terhadapanak tanpa mengenyampingkan hak-hak

dari anak, karena menurut hemat penulis perilaku menyimpang oleh

anak ini di sebabkan oleh umur yang masih terlalu muda,

pertumbuhan batin dan jiwanya masih belum sempurna / labil. Maka


7

dari itu pemberlakuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak pada Bab IV Pasal 20 sampai dengan Pasal 25

telah mencantumkan tentang hak anak, dandalam pelaksanaan

pemeliharaan dan menjaga hak asasi, menjadi kewajiban dan

tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah

sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Perlindungan

anak dalam segala aspek merupakan bagian dari kegiatan

pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan

berbangsa dan bernegara.

Perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan

hukum, tidak lepas dari penjatuhan pidana terhadap anak tersebut.

Oleh karena itu anak yang berhadapan dengan hukum memerlukan

perlindungan khusus dalam rangka menjamin perkembangan dan

pertumbuhan fisik, mental dan sosial anak secara utuh, selaras, serasi

dan seimbang sebagaimana yang tercantum dalam pasal 64 Undang-

undang Nomor 35 Tahun 2014 tetang perlindungan Anak.Pemidanaan

dalam hal ini adalah bagian dari suatu hukum pidana dan tentu saja

memberikan akibat yang negatif bagi yang dikenai pidana.Oleh karena

itu, seorang anak yang mendapatkan hukuman pidana berupa

pemidanaan,maka hakimharuslah menggunakan dasar pertimbangan

yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.Sebelum

menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh

seorang anak.
8

Perlindungan terhadap hak-hak anak secara umum mencakup

pula didalamnyaperlindungan hak-hak anak bermasalah baik secara

fisik, mental maupun prilaku anak yang menyimpang / deviant atau

prilaku yang mengarah pada tindak kriminal, dan berbicara masalah

hak anak yang bermasalah hal ini sering dikaitkan dengan masalah

prilaku anak yang dalam kadar tertentu berbentuk prilaku

yangmenyimpang atau prilaku yang mengarah pada terjadinya tindak

kriminal beserta latar belakangnya termasuk usaha-usaha

penanggulangan terhadap prilaku tersebut.

Didalam usaha untuk menanggulangi kejahatan pada

umumnya terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan salah

satunya adalah melalui upaya penal yakni dengan menggunakan

sarana hukum pidana yang umumnya terdapat dalam pasal 10 KUHP

yang salah satunya adalah pidana penjara.Begitu pula terhadap anak

sebagai pelaku tindak pidana kejahatan dimana penjatuhan pidana

penjara terhadap anak merupakan salah satu penerapan dari jenis

pidana yang dikenal dalam hukum pidana kita, yang dilakukan dalam

upaya untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi.

Menurut H.L Packer (Barda Nawawi A, 1996: 17) bahwa

usaha pengendalian perbuatan anti social dengan pengenaan hukum

pidana, merupakan problem social yang memiliki dimensi hukum yang

penting artinya, sampai saat ini masih dipersoalkan peranannya

karena dengan mengandalkan pemberian pidana tidak akan dapat


9

menumbuhkan suatu kesadaran yang tumbuh dalam diri seseorang,

justru dengan pidana efek yang timbul hanyalah perasaan takut saja

akan hukuman yang akan dijatuhkan.

Sementara itu dari perspektif ilmu pemidanaan, meyakini

bahwa penjatuhan pidana terhadap anak nakal (delinkuen)cenderung

merugikan perkembangan jiwa anak di masa

mendatang.Kecenderungan merugikan ini akibat dari efek penjatuhan

pidana terutama pidana penjara, yang berupa stigma (cap

jahat).Dikemukakan juga oleh Barda Nawawi Arief (1994), Bahwa

hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan

pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya

oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial.

Berdasarkan hasil studi perbandingan efektivitas pidana dari

Komite Hak Anak PBB, angka perbandingan rata-rata pengulangan

atau penghukuman kembali (reconviction rate) orang yang pertama

kali melakukan kejahatan berbanding terbalik dengan usia pelaku.

Revonviction rate yang tertinggi, terlihat pada anak-anak, yaitu

mencapai 50 persen. Angka itu lebih tinggi lagi setelah orang dijatuhi

pidana penjara daripada pidana bukan penjara hal ini di karenakan

tingginya jumlah anak yang dipenjara kerena kejahatan

ringan,dicampurnya tahanan anak bersama orang dewasa dan batas

yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak sangatlah rendah yaitu 8 tahun, karena itu harus


10

dinaikkan agar lebih rasional menjadi (12 tahun) sesuai dengan

Beijing Rules. Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma

dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum, antara

lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan

lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab

untuk meningkatkan kesejahteraan Anak serta memberikan

pelindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum.

Penyusunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan penggantian terhadap

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668) yang

dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-

benar menjamin pelindungan kepentingan terbaik terhadap Anak yang

berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa.

Undang-Undang ini menggunakan nama Sistem Peradilan

Pidana Anak tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana

diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah


11

Konstitusi. Namun, Undang-Undang ini merupakan bagian dari

lingkungan peradilan umum.

Adapun substansi yang diatur dalam Undang-Undang ini,

antara lain, mengenai penempatan Anak yang menjalani proses

peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak

(LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini

adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan

Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak

dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi

terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak

dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena

itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka

mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya

Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan

Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang

terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi

masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala

sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan

masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan

menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.

Dari kasus yang muncul, ada kalanya Anak berada dalam

status saksi dan/atau korban sehingga Anak Korban dan/atau Anak

Saksi juga diatur dalam Undang-Undang ini. Khusus mengenai sanksi


12

terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur Anak, yaitu

bagi Anak yang masih berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun

hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai

umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun

dapat dijatuhi tindakan dan pidana.

Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi

pelindungan terhadap Anak, perkara Anak yang berhadapan dengan

hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana Anak yang berada di

lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara Anak sejak

ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh

pejabat khusus yang memahami masalah Anak. Namun, sebelum

masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan

masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur

pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan

Restoratif.

Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini

mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak

yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai

dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

Berdasarkan uraian di atas maka Penulis terdorong untuk

mengkajitentang penerapan pidana terhadap anak yangakan tertuang


13

secara ilmiah dalam tugas akhir yang berjudul :”PEMIDANAAN

TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI

PENGADILAN NEGERI KLAS 1A WATAMPONE DALAM

PERSFEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012

TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI KASUS

PENGADILAN NEGERI KLAS 1A WATAMPONE)”

B. Rumusan Masalah

Adapun masalah pokok dalam penelitian ini dapat

dirumuskansebagai berikut :

1. Bagaimana pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak

pidana di Pengadilan Negeri Klas 1A Watampone dalam persfektif

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak?

2. Apakah pertimbangan hukum pemidanaan terhadap anak yang

melakukan tindak pidana di Pengadilan Negeri Klas 1A

Watampone?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pemidanaan

terhadap anak yang melakukan tindak pidana di Pengadilan Negeri


14

Klas 1A Watampone dalam persfektif Undang-undang Nomor 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum

pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana di

Pengadilan Negeri Klas 1A Watampone.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan Penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoritis, yakni dapat dijadikan sebagai referensi pada

perpustakaan dan pengembangan ilmu hukum serta dapat

dijadikan sebagai bahan acuan untuk mengetahui lebih jauh pada

penelitian selanjutnya yang berhubungan dengansistem peradilan

pidana anak di kabupaten Bone.

2. Kegunaan praktis, yakni penelitian ini dapat dijadikan sebagai

rujukan bagi penelitian berikutnya yang menyangkut masalah yang

sama dan mempunyai nilai yang berdaya guna dan bermanfaat

untuk kepentingan peneliti atau dalam hal ini dapat menjadi acuan

dan perbandingan bagi pihak-pihak yang akan meneliti masalah-

masalah tentangsistem peradilan pidana anak berikutnya di

Kabupaten Bone,serta diharapkan dapat menjadi salah satu bahan

pertimbangan yang kiranya dapat mempengaruhi upaya

penanganan kasus tindak pidanayang dilakukan oleh anak di

Kabupaten Bone, guna menciptakan keamanan, ketertiban baik

dalam lingkup keluarga maupun dalam lingkup sosial masyarakat.


15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pidana, Pemidanaan, dan Tindak Pidana

1. Istilah dan Definisi Pidana

Secara Etimologi penggunaan istilah pidana diartikan

sebagai sanksi pidana. Untuk pengertian yang sama sering juga

digunakan istilah lain yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan,

penjatuhan hukuman, pemberian pidana dan hukuman pidana.

Adapun pendapat para ahli menenai istilah “pidana” secara

etimologi, antara lain:

a. Menurut Moelyatno (1949:40), mengatakan bahwa:

Istilah hukuman yang berasal dari kata straf dan istilah

dihukum yang berasal dari perkataan woedt gestraf merupakan

istilah-istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan

istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang non

konvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata straf dan

diancam dengan pidana untuk menggantikan kata wordt gestraf.

Menurutnya, kalau straf diartikan hukuman maka strafrecht

seharusnya diartikan hukum hukuman. Menurut beliau dihukum

berarti diterapi hukum baik hukum pidana maupun hukum

perdata. Hukuman adalah hasil dari akibat penerapan hukum

tadi yang maknanya lebih luas daripada pidana sebab mencakup

juga keputusan hakim dalam hukum perdata.


16

b. Menurut Sudarto (1990:68), menyatakan bahwa:

Penghukuman berasal dari kata hukum sehingga dapat

diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang

hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu

peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja,

namun juga hukum perdata. Selanjutnya menurut beliau istilah

penghukuman dapat disempitkan artinya, yakni penghukuman

dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan

pemidanaan atau pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim.

Dengan demikian, menurutnya bahwa istilah hukuman kadang-

kadang digunakan untuk pengganti kata starft namun istilah

pidana lebih baik digunakan daripada hukuman.

Beberapa definisi pidana yang dikemukakan oleh

beberapa pakar antara lain:

1) Sudarto (1990:24), menyatakan bahwa :

Menyatakan secara tradisional, pidana didefinisikan sebagai

nestapa yang dikenakan oleh negara kepada seseorang

yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-

undang, sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.

2) Van Hamel (Lamintang, 1985:47), mengatakan bahwa:

Hukum positif, arti dari pidana atau straf adalah suatu

penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh

kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas


17

nama negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban

umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena

orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang

harus ditegakkan oleh negara.

3) Algra Jassen (Lamintang,1985:47) menyatakan bahwa:

Pidana atau straf merupakan alat yang dipergunakan oleh

penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka yang telah

melakukan seuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan.

Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali

sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati

terpidana atas nyawa, kebebasan, atau harta kekayaannya,

yaitu seandainya ia telah melakukan suatu tindak pidana.

4) Ted Honderich (Marlina, 2011:19), mengatakan bahwa:

Punishment is an the authority’s infliction of penalty

(something involving deprivation or distress) on an offender

for an offense. Artinya yaitu: Pidana adalah hukuman dari

pihak yang berwenang (sesuatu yang meliputi

pencabutan/penderitaan) terhadap seorang pelanggar dari

sebuah pelanggaran.

5) Mulyadi dan Barda Nawawi Arief dalam Dwija Priyatno (Dwi

Priyatno, 2007: 1-2):

Tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana pada

hakikatnya adalah suatu penderitaan atau nestapa,


18

diantaranya adalah: Menurut Hulsman, hakikat pidana

adalah “menyerukan untuk tertib” (tot de orde reopen).

Pidana pada hakikatnya mempunyai dua tujuan utama, yakni

untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding) dan

penyelesaian konflik (conflictoplossing). Penyelesaian konflik

dapat terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami atau

perbaikan hubungan baik yang dirusak atau pengembalian

kepercayaan antar sesama manusia.

2. Pemidanaan

Sebelum membahas lebih jauh mengenai masalah yang

ada, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan pengertian

pemidanaan, tujuan pemidanaan, dan sistem pemidanaan di

Indonesia.

Sanksi pidana merupakan salah satu cara untuk

menanggulangi tindak pidana. Pendekatan mengenai peranan

pidana dalam menghadapi kejahatan menurut Anttila telah

berlangsung beratus-ratus tahun. Penggunaan sanksi pidana untuk

menanggulangi kejahatan merupakan cara yang paling tua, setua

dengan peradaban manusia itu sendiri, bahkan ada yang

menyebutkan sebagai “older philosophy of crime control”.

Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan

sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata

“pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan


19

“pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Doktrin

membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil.

a. J.M. Van Bemmelen (Laden Marpaung, 2005:2) menjelaskan

kedua hal tersebut sebagai berikut :

1) Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut

berturut-turut, peraturan umum dapat diterapkan terhadap

perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap

perbuatan itu.

2) Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara

pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib

yang harus diperhatikan pada kesemptan itu.

b. Tirtamidjaja(Laden Marpaung, 2005:2) menjelaskan hukum

pidana meteril dan hukum pidana formil sebagai berikut :

1) Hukum pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang

menentukan pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat

bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan

orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman ataas

pelanggaran pidana.

2) Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang

mengatur cara mempertahankan hukum pidana materil

terhadap pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu,

atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum


20

pidana materil diwujudkan sehingga memperoleh keputusan

hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim.

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana

materil berisi larangan atau perintah jika tidak terpenuhi diancam

sanksi, sedangkan hukum pidana formil adalah aturan hukum yang

mengatur cara menjalankan dan melaksanakan hukum pidana

materil.

Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang

penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena

pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi

si terpidana, korban juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu

teori ini disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan

bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak

lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa.

Pernyataan di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama

sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan

sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus

sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa.

Pemberian pidana atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud

apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai berikut :

1) Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang

2) Pemberian pidana oleh badan yang berwenang

3) Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang


21

Adapun beberapa teori tujuan pemidanaan menurut Alf

Ross (Marlina, 2011:29-30) bahwa “Concept of Punishment”

bertolak pada dua syarat atau tujuan yaitu:

a. Pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang

yang bersangkutan (punishment is aimed at anflicting suffering

upon the person upon whom it is imposed);

b. Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencegahan terhadap

perbuatan si pelaku (the punishment is an expression of

disapproval of the action for wich it is imposed).

Sebelum membahas mengenai tujuan dari pemidanaan itu

sendiri, terlebih dahulu kita melihat unsur-unsur atau ciri-ciri pidana

sebagaimana yang dinyatakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief

(Amir Ilyas, 2010:12) sebagai berikut:

a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan

penderitaan atas nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak

menyenangkan;

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan

yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan

tindak pidana menurut undang-undang.


22

Berdasarkan uraian di atas,M. Shoelehuddin (Amir Ilyas,

2010:13)mengemukakan sifat dari unsur-unsur pidana berdasarkan

atas tujuan pemidanaan tersebut,yaitu:

a. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut

menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang.

b. Edukatif, dalam artian bahwa pemidanaan itu mampu membuat

orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan

menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan

konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan.

c. Keadilan, dalam artian bahwa pemidanaan tersebut dirasakan

adil (baik oleh terhukum maupun oleh korban penanggulangan

kejahatan)

Hal senada terdapat pada pernyataan Roscoe Pound(Pipin

Syarifin, 2008:23)yang merupakan seorang ahli filsafat hukum yang

mengemukakan uraiannya bahwa pada akhir abad ke-19 tumbuh

suatu cara pemikiran baru, dimana sarjana-sarjana hukum tidak lagi

berbicara tentang kemauan manusia pribadi, tetapi mulai berpikir

dalam istilah kebutuhan manusia dalam masyarakat, dan tujuan

hukum dihubungkan dengan tujuan sosial. Di sini mulai tumbuh apa

yang dikatakan tujuan atau fungsi hukum sebagai Law as a tool of

social engineering, yaitu bahwa hukum telah beralih, tidak saja

hukum sebagai alat untuk memelihara ketertiban dalam


23

masyarakatmelainkan sebagai alat yang dapat membantu proses

perubahan masyarakat.

Dari pernyataan di atas. Hukum pidana mendapat

pengaruh dari pandangan Roscue Pound, yang akhirnya

menimbulkan aliran hukum pidana modern, yitu tujuan hukum

pidana untuk melindungi individu dan sekaligus masyarakat

terhadap kejahatan dan penjahat itu haruslah disertai penentuan

tujuan pemidanaan yang tidak klasik dengan pidana tidak hanya

semata-mata sebagai pembalasan.

Berikut ini adalah beberapa teori-teori yang pernah

dirumuskan oleh para ahli untuk menjelaskan secara mendetail

mengenai pemidanaan dan tujuan dari dijatuhkannya

pemidanaan.Pada umumnya teori-teori pemidanaan terbagi atas

tiga golongan besar, yaitu :

a. Teori absolut / teori pembalasan / teori retributif

(Vergeldings Theorien)

Aliran ini menganggap sebagai dasar dari hukum

pidana adalah alam pikiran untuk pembalasan (vergelding atau

vergeltung). Teori ini muncul pada akhir abad ke-18. Penganut

dari teori ini antara lain Emmanuel Kant, Julius Stahl, Leo

Polak, Hegel, Herbart.


24

Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat

dengan jelas sesuai yang telah dikutip dari pendapat Immanuel

Kant di dalam bukunya “Philosophy of Law” (Pipin Syarifin,

2008:46)sebagai berikut:

“...........pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai


sarana untuk memproposikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si
pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat tetapi dalam semua
hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan
telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh
anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya
sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terkahir
yang masih berada di dalam penjara harus dipidana mati
sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu
dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang
seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya dan
perasaan balas dendam tidak boleh ada tetap ada pada
anggota masyarakat karena apabila tidak dilakukan mereka
semua dapat memandang sebagai orang yang ikut ambil
bagian dalam pembunuhan itu merupakan pelanggaran
terhadap keadilan umum”.

Menurut Emmanuel Kant (Prof. Dr. A. S. Alam, 2010:81), “siapa

yang membunuh harus dibunuh pula”.

Dengan demikian Immanuel Kant berpendapat,

pembalasan atas suatu perbuatan melawan hukum adalah

suatu syarat mutlak menurut hukum dan keadilan, hukuman

mati terhadap penjahat yang melakukan pembunuhan

berencana mutlak dijatuhkan.

Selain itu teori ini mengatakan bahwa pidana tidaklah

bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat.

Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk

dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena


25

dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan

manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus

berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Oleh karena

itulah maka teori ini disebut teori absolute. Pidana merupakan

tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan

tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah

pembalasan.

Namun dengan melihat teori ini, M. Cherif Bassiouni

(Marlina, 2011:27-28) berpendapat bahwa: hukum pidana

penuh dengan gambarangambaran mengenai perlakuan oleh

ukuran-ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui

batas. Selanjutnya dikatakan bahwa pembaharuan pidana di

Eropa kontinental, selanjutnya di Inggris justru merupakan

reaksi humanistik terhadap kekejaman pidana. Atas dasar

pandangan yang demikian kiranya ada pendapat bahwa theory

retributive atau teori pembalasan dalam hal pemidanaan

merupakan “a relic of barbarism” (sebuah peninggalan dari

kebiadaban).

b. Teori relatif / teori tujuan (Doel Theorien) / (De Relatieve

Theorien)

Teori ini muncul sebagai reaksi keberatan terhadap

teori absolut. Menurut teori ini, memidana bukanlah untuk

memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu


26

sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana

untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu

sebagaimana yang telah dikutip dari J. Andenles (Marlina,

2011:57), dapat disebut sebagai “teori perlindungan

masyarakat” (the theory of social defense).

Bertitik tolak pada dasar pemikiran bahwa tujuan utama

pidana adalah alat untuk menyelenggarakan, menegakkan dan

mempertahankan serta melindungi kepentingan pribadi maupun

publik dan mempertahankan tatatertib hukum dan tertib sosial

dalam masyarakat (rechtsorde; social orde) untuk prevensi

terjadinya kejahatan. Maka dari itu untuk merealisasikannya

diperlukan pemidanaan, yang dimana menurut sifatnya adalah:

menakuti, memperbaiki, atau membinasakan.

Dengan demikian menurut Wirjono Prodjodikoro (Pipin

Syarifin, 2008:22), tujuan dari hukum pidana ialah untuk

memenuhi rasa keadilan. Selanjutnya ia mengatakan, “Di

antara para sarjana hukum diutarakan bahwa tujuan hukum

pidana ialah” :

1) Untuk menakut-nakuti orang agar tidak melakukan

kejahatan, baik menakut-nakuti orang banyak (generale

preventie), maupun menakut-nakuti orang tertentu yang

telah melakukan kejahatan, agar di kemudian hari ia tidak

melakukan kejahatan lagi (speciale preventie).


27

2) Untuk mendidik atau memperbaiki orang yang sudah

menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi

orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi

masyarakat.

Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana

pencegahan, baik pencegahan khusus (speciale preventie)

yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum

(general preventie) yang ditujukan ke masyarakat. Dengan

penjelasan bahwa pencegahan umum (menakut-nakuti dengan

cara pelaku yang tertangkap dijadikan contoh, dengan harapan

menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak

melakukan delik) dan pencegahan khusus (tujuan dari pidana

adalah untuk mencegah niat jahat dari si pelaku tindak pidana

yang telah dijatuhi pidana agar tidak melakukan tindak pidana

lagi).

Van Hamel (Adami Chazawi, 2002:160) menunjukkan

bahwa prevensi khusus suatu pidana ialah :

1) Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya

mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk

tidak melaksanakan niat buruknya.

2) Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana.

3) Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang

tidak mungkin diperbaiki.


28

4) Tujuan satu-satunya suatu pidana ialah mempertahankan

tata tertib hukum.

Teori relatif ini berasas pada tiga tujuan utama

pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan

preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan

menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat.

Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut

melakukan kejahatan, baik bagi individual pelaku agar tidak

mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik sebagai langkah

panjang. Sedangkan tujuan perubahan (reformation) untuk

mengubah sifat jahat si pelaku dengan dilakukannya

pembinaan dan pengawasan, sehingga nantinya dapat kembali

melanjutkan kebiasaan hidupnya seharihari sebagai manusia

yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat.

Selanjutnya Christian (Marlina,2011:54) mengatakan

bahwa adapun ciri-ciri Teori Relatif, yaitu:

1) Tujuan pemidanaan adalah untuk pencegahan;

2) Pencegahan ini bukanlah tujuan akhir (final aim), tetapi

merupakan saran untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi

lagi, yaitu kesejahteraan masyarakant (social welfare);

3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat

dipersalahkan kepada pelaku kejahatan, berupa


29

kesengajaan atau kelalaian, sebagai syarat untuk

dijatuhkannya pidana

c. Teori gabungan (Vernegins Theorien)

Dengan menyikapi keberadaan dari teori Absolut dan

teori Relatif, maka muncullah teori ketiga yakni Teori Gabungan

yang menitikberatkan pada pandangan bahwa pidana

hendaknya didasarkan pada tujuan pembalasan namun juga

mengutamakan tata tertib dalam masyarakat, dengan

penerapan secara kombinasi yang menitik beratkan pada salah

satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur lainnya maupun

dengan mengutamakan keseimbangan antara kedua unsur

ada.

Hal ini juga dapat dilihat dalam pernyataan M.

Sholehuddin (Amir Ilyas, 2010:13) yang mengatakan: Tujuan

pemidanaan harus sesuai dengan politik hukum pidana dimana

harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari

kesejahteraan serta keseimbangan dan keselarasan hidup

dengan memperhatikan kepentingan masyarakat/negara,

korban, dan pelaku.

Menurut Adami Chazawi (Adami Chazawi, 2011:162),

teori gabungan dapat dapat digolongkan dalam dua golongan

besar, yaitu:
30

1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi

pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang

perlu dipertahankannya tata tertib masyarakat.

2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata

tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya

pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang

dilakukan terpidana.

Dengan demikian secara singkat dapat dilihat teori ini bertujuan

untuk:

1) Pembalasan, membuat pelaku menderita

2) Upaya presensi, mencegah terjadinya tindak pidana

3) Merehabilitasi pelaku

4) Melindungi masyarakat

Dengan berkembangnya Restorative Justice saat ini

sebagai koreksi atas Retributive Justice (Keadilan yang

Merestorasi) secara umum bertujuan untuk membuat pelaku

mengembalikan keadaan kepada kondisi semula. Keadilan

yang bukan saja menjatuhkan sanksi yang seimbang bagi

pelaku namun juga memperhatikan keadilan bagi korban.

Pemahaman ini telah diakomodir oleh RKUHP tahun 2005.

Tujuan Pemidanaan berdasarkan Pasal 54 R-KUHP

tahun 2005 :

1) Pemidanaan bertujuan:
31

a. mencegah dilakukanya tindak pidana dengan


menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan;
e. memaafkan terpidana.
2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia.

Dalam Pasal 55 R-KUHP juga terdapat pedoman

pemidanaan yang belum diatur dalam Undang-undang kita :

1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:


a. Kesalahan pembuat tindak pidana;
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. Sikap batin pembuat tindak pidana;
d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
e. Cara melakukan tindak pidana;
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak
pidana;
g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi
pembuat tindak pidana
h. Pengaruh pidana terhadap massa depan pembuat
tindak pidana;
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga
korban;
j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya dan /atau;
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang
dilakukan.
2) Rintangan perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau
keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi
kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak
menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan
mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Dari aturan diatas dapat dicermati bahwa dalam R-

KUHP menganut teori prevensi, rehabilitasi dan restotaif dalam

tujuan pemidanaannya. Teori prevensi umum tercermin dari


32

tujuan pemidanaan mencegah dilakukannya tindak pidana

dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman kepada

masyarakat. Teori rehabilitasi dan resosialisasi tergambar dari

tujuan pemidanaan untuk memasyarakatkan terpidana, dengan

melakukan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan

berguna. Dan restoratif terdapat dalam tujuan pemidanaan

yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan

oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan

mendatangkan rasa damai dalam damai dalam masyarakat;

membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan memaafkan

terpidana.

Pada saat ini sistem hukum pidana yang berlaku di

Indonesia adalah sistem hukum pidana yang berlaku seperti yang

diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ditetapkan

pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1964 jouncto Undang-

Undang Nomor 73 Tahun 1958, beserta perubahan-perubahannya

sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 1

Tahun 1960 tentang perubahan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, Undang-Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang

beberapa perubahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

Undang-UndangNomor 18 Prp tentang perubahan jumlah

maksimum pidana denda dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana.
33

Meskipun Wetboek van Strarecht peninggalan zaman penjajahan

belanda sudah tidak dipakai lagi di Negara kita, tapi sistem

pemidanaannya masih tetap digunakan sampai sekarang,

meskipun dalam praktek pelaksanaannya sudah sedikit berbeda.

Dalam masalah pemidanaan dikenal dua sistem atau cara

yang biasa diterapkan mulai dari jaman W.V.S belanda sampai

dengan sekarang yakni dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana :

a. Bahwa orang yang dipidana harus menjalani pidananya

didalam tembok penjara. Ia harus diasingkan dari masyarakat

ramai terpisah dari kebiasaan hidup sebagaimana layaknya

mereka bebas. Pembinaan bagi terpidana juga harus dilakukan

dibalik tembok penjara.

b. Bahwa selain narapidana dipidana, mereka juga harus dibina

untuk kembali bermasyarakat atau rehabilitasi/resosialisasi.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana penjatuhan

pidana pokok hanya boleh satu macam saja dari tindak pidana

yang dilakukan, yaitu salah satu pidana pokok diancam secara

alternatif pada pasal tindak pidana yang bersangkutan.

Untuk pidana pokok masih dapat satu atau lebih pidana

tambahan seperti termasuk dalam Pasal 10b, dikatakan dapat

berarti penambahan pidana tersebut adalah fakultatif.Jadi pada


34

dasarnya dalam sistem Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini

tidak diperbolehkan dijatuhi pidana tambahan mandiri tanpa

penjatuhan pidana pokok, kecuali dalam Pasal 39 ayat 3

(perampasan atas barang sitaan dari orang yang bersalah) dan

Pasal 40(pengembalian anak yang belum dewasa tersebut pada

orangtuanya).

Mengenai maksimum pidana penjara dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana adalah lima tahun dan hanya boleh

dilampaui hingga menjadi dua puluh tahun, yang pidananya hakim

boleh memilih antara pidana mati,pidana seumur hidup, atau

pidana penjara selama waktu tertentu. Atau antara pidana penjara

seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu

sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (3) sedangkan minimum

pidana penjara selama waktu tertentu adalah satu hari dan paling

lama lima belas hari sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Sedangkan mengenai maksimum pidana kurungan adalah

satu tahun dan hanya boleh dilewati menjadi satu tahun empat

bulan, dalam hal ada pemberatan pidana karena pengulangan,

perbarengan, atau karena ketentuan Pasal 52-52a.Adapun

minimum pidana kurungan adalah satu hari sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 18 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.


35

3. Tindak Pidana

Bagian ini secara khusus akan membahas mengenai

masalah tindak pidana yang di uraikan sebagaimana berikut:

a. Istilah Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal

dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun

istilah ini terdapat WvS (Wetboek van Strarecht) Belanda,

dengan demikian juga WvS (Wetboek van Strarecht) Hindia

Belanda (KUHP). Kata strafbaar feit kemudian diterjemahkan

dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Hingga

saat ini tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud

dengan strafbaar feit itu, namun hingga saat ini belum ada

keseragaman pendapat.

Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam

perundangundangan yang ada maupun dalam berbagai literatur

hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit(Adami

Chazawi, 2008:67-68) adalah sebagai berikut:

1) Tindak pidana, dapat diartikan berupa istilah resmi dalam

perundang-undangan kita. Hampir seluruh peraturan

perundangundangan menggunakan istilah tindak pidana

seperti dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982

tentang Hak Cipta. Ahli hukum yang menggunakan istilah

ini yaitu Wirjono Prodjodikoro.


36

2) Peritiwa Pidana, digunakan olehh beberapa ahli hukum,

misalya R.Tresna dalam bukunya Asas-Asas Hukum

Pidana, A.Zainal Abidin Farid dalam buku beliau Hukum

Pidana.

3) Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum

juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang

dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini digunakan oleh

Utrecht.

4) Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam tulisan M.

H.Tirtaamidjaja.

5) Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan Karni,

begitu juga Schravendijk.

6) Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk

Undang-Undang Nomor 12/Drt Tahun 1951 Tentang

Senjata Api dan Bahan Peledak.

7) Perbuatan Pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam

berbagai tulisannya.

b. Definisi dan Unsur-unsur Pidana

Untuk memberikan gambaran secara jelas tentang

definisi tindak pidana atau delik, berikut ini penulis

mengemukakan pandangan dari beberapa ahli hukum, antara

lain:

1) D.Simons (Tongat, 2009:105), mengatakan bahwa:


37

Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang

telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan

sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung-

jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang

telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat

dihukum.

2) Moeljatno (Tongat, 2009:107) , mengatakan bahwa:

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan

pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut.

3) Van Hattum (Lamintang, 1997:184), mengatakan bahwa:

Perkataan Strafbaar itu berarti voor sraaf in aanmerking

komend atau straaf verdienend yang juga mempunyai arti

sebagai pantas untuk dihukum, sehingga perkataan

“strafbaar feit” seperti yang telah digunakan oleh

pembentuk Undang-Undang di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana itu secara “eliptis” haruslah

diartikan sebagai suatu “tindakan, yang karena telah

melakukan tindakan semacam itu membuat seseorang

menjadi dapat dihukum” atau suatu “feit terzake van

hetwelk een persoon strafbaar is”.

Unsur-unsur strafbaar feit, atau tindak pidana, atau

delik antara lain:

1) Suatu perbuatan manusia;


38

2) Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh

undang-undang

3) Perbuatan itu harus bertentangan dengan hukum; dan

4) Perbuatan itu harus dilakukan oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan, artinya dapat dipersalahkan

karena melakukan perbuatan tersebut.

c. Jenis atau Penggolongan Tindak Pidana

Secara umum tindak pidana dapat dibedakan kedalam

beberapa pembagian sebagai berikut:

1) Tindak pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas

kejahatan dan pelanggaran:

a) Kejahatan

Secara doktrinal kejahatan adalah rechtdelicht,

yaitu perbuatan yang bertentangan dengan keadilan,

terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam

suatu undangundang atau tidak. Sekalipun tidak

dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang,

perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat

sebagai perbuatan yang bertentangan dengan

keadilan. Jenis tindak pidana ini sering disebut

malaperse. Perbuatan-perbuatan yang dapat

dikualifikasikan sebaga rechtdelicht dapat disebut

antara lain pembunuhan, pencurian, dan sebagainya.


39

b) Pelanggaran

Jenis tindak pidana ini disebut wetsdelicht,

yaitu perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru

disadari sebagai suatu tindak pidana, karena undang-

undang merumuskannya sebagai suatu delik.

Perbuatan-perbuatan ini baru disadari sebagai tindak

pidana oleh masyarakat oleh karena undang-undang

mengancamnya denan sanksi pidana. Tindak pidana ini

disebut juga mala quila prohibita. Perbuatanperbuatan

yang dapat dikualifikasikan sebagai wetsdelicht antara

lain misalnya memarkir mobil di sebelah kanan jalan,

berjalan di jalan raya sebelah kanan, dan sebagainya.

2) Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana formil

dan tindak pidana materiil:

a) Tindak Pidana Formil

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang

perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yang

dilarang. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa

tindak pidana formil adalah tindak pidana yang telah

dianggap terjadi selesai dengan telah dilakukannya

perbuatan yang dilarang dalam undang-undang, tanpa

mempersoalkan akibat. Misalnya pencurian

sebagaimana diatur dalam Pasal 362 Kitab Undang-


40

Undang Hukum Pidana, penghasutan sebagaimana

diatur dalam Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, dan sebagainya.

b) Tindak Pidana Materil

Tindak pidana materiil adalah tindak pidana

yang perumusannya dititikberatkan pada akibat yang

dilarang. Dengan kata lain tindak pidana materiil adalah

adalah tindak pidana yang baru dianggap telah terjadi,

atau dianggap telah selesai apabila akibat yang

dilarang itu telah terjadi. Apabila belum terjadi akibat

yang dilarang, maka belum bisa dikatakan selesai

tindak pidana ini, yang terjadi baru percobaan. Misalnya

tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam Pasal

338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, penipuan

dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

dan sebagainya.

Berdasarkan dari berbagai rumusan tentang tindak

pidana, maka dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah

suatu perbuatan yang melawan hukum yang mengakibatkan

pembuatnya dapat dipidana.


41

B. Pengertian Anak dan Narapidana Anak

1. Pengertian Anak

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI,1984:38),

yang dimaksud dengan anak adalah keturunan atau manusia yang

masih kecil. Sedangkan dalam pengertian sehari-hari yang

dimaksud dengan anak-anak adalah yang belum mencapiusia

tertentu atau belum kawin, pengertian ini seringkali dipakai sebagai

pedoman umum.

Dalam ilmu pengetahuan pada umumnya, kriteria atau

standar untuk menentukan kapan seseorang dikategorikan sebagai

anak adalah usia. Namun secara eksplisit (pasti), tidak dapat

ditentukan usia berapa yang sesungguhnya dikatakan anak dan

yang sudah dewasa. Penentuan usia dalam pelbagai ketentuan

atau peraturan sebenarnya tidak dapat dijadikan suatu tolak ukur

yang pasti, bahwa dengan penentuan usia tersebut dapat

dikategorikan sebagai anak atau belum dewasa, tetapi penentuan

usia tersebut dikarenakan adanya kepentingan (tendensi) tertentu.

Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang

dilahirkan dari perkawinan anatar seorang perempuan dengan

seorang laki-laki dengan tidak menyangkut bahwa seseorang yang

dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan

pernikahan tetap dikatakan anak.


42

Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi

baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan

sumber daya manusia bagi pembangunan Nasional.Anak adalah

aset bangsa. Masa depan bangsa dan Negara dimasa yang akan

datang berada ditangan anak sekarang.Semakin baik keperibadian

anak sekarang maka semakin baik pula kehidupan masa depan

bangsa. Begitu pula sebaliknya, apabila keperibadian anak tersebut

buruk maka akan bobrok pula kehidupan bangsa yang akan

datang.

Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-

kanak merupakan masa yang panjang dalam rentang

kehidupan.Bagi kehidupan anak, masa kanak-kanak seringkali

dianggap tidak ada akhirnya, sehingga mereka tidak sabar

menunggu saat yang didambakan yaitu pengakuan dari masyarakat

bahwa mreka bukan lagi anak-ank tapi orang dewasa.

Menurut Hurlock (1980), manusia berkembang melalui

beberapa tahapan yang berlangsung secara berurutan, terus

menerus dan dalam tempo perkembangan yang tertentu, terus

menerus dan dalam tempo perkembangan yang tertentu dan bias

berlaku umum. Untuk lebih jelasnya tahapan perkembangan

tersebut dapat dilihat pada uraian tersebut:

a. Masa pra-lahir : Dimulai sejak terjadinya konsepsi lahir

b. Masa jabang bayi : satu hari-dua minggu


43

c. Masa Bayi : dua minggu-satu tahun

d. Masa anak-anak awal : 1tahun-6 bulan, anak-anak akhir:6

tahun-12/13 tahun

e. Masa remaja : 12/13 tahun-21 tahun – Masa dewasa : 21

tahun-40 tahun

f. Masa tengah baya : 40 tahun-60 tahun. – Masa tua : 60 tahun-

meninggal .

Dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak

saja dalam bidang ilmu pengetahuan (the body of knowledge) tetapi

dapat di telah dari sisi pandang sentralistis kehidupan.Misalnya

agama, hukum dan sosiologi menjadikan pengertian anak semakin

rasionaldan aktual dalam lingkungan sosial.Untuk meletakkan anak

kedalam pengertian subjek hukum maka diperlukan unsur-unsur

internal maupun eksternal di dalam ruang lingkup untuk

menggolongkan status anak tersebut.

Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:

a. Unsur internal pada diri anak

1) Subjek Hukum: sebagai manusia anak juga digolongkan

sebagai human right yang terkait dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan. Ketentuan dimaksud

diletakkan pada anak dalam golongan orang yang belum

dewasa, seseorang yang berada dalam perwalian, orang

yang tidak mampu melakukan perbuatan huku.


44

2) Persamaan hak dan kewajibananak: anak juga mempunyai

hak dan kewajiban yang sama dengan dengan orang

dewasa yang diberikan oleh ketentuan perturan perundang-

undangan dalam melakyukan perbuatan hukum. Hukum

akan meletakan anak dalam posisi seabagai perantara

hukum untuk dapat disejajarkan dengan kedudukan orang

dewasa atau untuk disebut sebagai subjek hukum.

b. Unsur eksternal pada diri anak

1) Ketentuan hukum atau persamaan kedudukan dalam

hukum (equality before the low) dapat memberikan legalitas

formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu

untuk berbuat peristiwa hukum yang ditentukan oleh

ketentuan peraturan-peraturan hukum itu sendiri, atau

meletakan ketentuan hukum yang memuat perincian

tentang klasifikasi kemampuan dan kewenangan berbuat

peristiwa hukum dari anak yang bersangkutan.

2) Hak-hak privilegeyang diberikan Negara atau pemerintah

yang timbul dari Undng-Undang Dasar dan peraturan

perundang-undangan .

Untuk dapat memahami pengertian tentang anak itu sendiri

sehingga mendekati makna yang benar, diperlukan suatu

pengelompokan yang dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan,

yaitu aspek agama, ekonomi, sosiologis dan hukum.


45

a. Pengertian Anak Dari Aspek Agama.

Dalam sudut pandang yang dibangun oleh agama

khususnya dalam hal ini adalah agama islam, anak merupakan

makhluk yang dhaif dan mulia, yang keberadaannya adalah

kewenangan dari kehendak Allah SWT dengan melalui proses

penciptaan. Oleh karena anak mempunyai kehidupan yang mulia

dalam pandangan agama islam, maka anak harus diperlakukan

secara manusiawi seperti dioberi nafkah baik lahir maupun batin,

sehingga kelak anak tersebut tumbuh menjadi anak yang berakhlak

mulia seperti dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan

dirinya untuk mencapai kebutuhan hidupnya dimasa mendatang.

Dalam pengertian Islam,anak adalah titipan Allah SWT kepada

kedua orang tua, masyarakat bangsa dan negara yang kelak akan

memakmurkan dunia sebagai rahmatan lila’lamin dan sebagai

pewaris ajaran islam pengertian ini mengandung arti bahwa setiap

anak yang dilahirkan harus diakui, diyakini, dan diamankan sebagai

implementasi amalan yang diterima oleh akan dari orang tua,

masyarakat , bangsa dan negara.

b. Pengertian Dari aspek Ekonomi

Dalam pengertian ekonom, anak dikelompokan pada

golongan non produktif.Apabila terdapat kemampuan yang

persuasive pada kelompok anak, hal itu disebabkan karena anak


46

mengalami transpormasi financial sebagai akibat terjadinya

interaksi dalam lingkungan keluarga yang didasarkan nilai

kemanusiaan.Fakta-fakta yang timbul dimasyarakat anak sering

diproses untuk melakukan kegiatan ekonomi atau produktivitas

yang dapat menghasilkan nilai-nilai ekonomi. Kelompok pengertian

anak dalam bidang ekonomi mengarah pada konsepsi

kesejahteraan anak sebagaimana yang ditetapkan oleh Undang-

UndangNomor .4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yaitu

anak berhak atas kepeliharaan dan perlingdungan, baik semasa

dalam kendungan , dalam lingkungan masyarakat yang dapat

menghambat atau membahayakan perkembanganya, sehingga

anak tidak lagui menjadi korban dari ketidakmampuan ekonomi

keluarga dan masyarakat.

c. Dari Apek Sosiologis

Dalam aspek sosiologis anak diartikan sebagai makhluk

ciptaan Allah SWT yang senantiasa berinteraksi dalam lingkungan

masyarakat bangsa dan negara. Dalam hal ini anak diposisikan

sebagai kelompok social yang mempunyai setatus social yang lebih

rendah dari masyarakat dilingkungan tempat berinteraksi.Makna

anak dalam aspek sosial ini lebih mengarah pada perlindungan

kodrati anak itu sendiri. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan-

keterbatasan yang dimiliki oleh sang anak sebagai wujud untuk

berekspresi sebagaimana orang dewasa, misalnya terbatasnya


47

kemajuan anak karena anak tersebut berada pada proses

pertumbuhan, proses belajar dan proses sosialisasi dari akibat usia

yang belum dewasa.


48

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Agar penulis dapat menjawab rumusan masalah yang

diangkat pada penulisan skripsi ini, maka penulis akan melakukan

penelitian pada Pengadilan Negeri klas 1A Watampone.

Pertimbangan mengenai dipilihnya lokasi penelitian ini yaitu dengan

melakukan penelitian di lokasi tersebut Penulis dapat memperoleh

data yang lengkap, akurat dan memadai sehingga dapat memperoleh

hasil penelitian yang obyektif dan berkaitan dengan obyek penelitian,

sesuai dengan tujuan penulisan skripsi yaitu untuk meneliti bagaimana

pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana di

Pengadilan Negeri Klas 1A Watampone dalam persfektif Undang-

undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak, dan menganalisis pertimbangan hukum pemidanaan terhadap

anak yang melakukan tindak pidana di Pengadilan Negeri Klas 1A

Watampone, serta menguraikan fakta yang didapatkan di lapangan

melalui hasil wawancara penulis dengan pihak-pihak yang

bersangkutan.
49

B. Tipe, Pendekatan dan Sifat Penelitian

Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka tipe

penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum Normatif yang

menggunakan pendekatan studi kasus (case study), yaitu menelaah

putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hal pokok yang dikaji

pada setiap pertimbangan hakim untuk sampai pasa putusan,

sehinggadapat digunakan argumentasi dalam memecahkan perkara

tindak pidana anak.

Sifat dari penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yaitu

suatu penelitian yang bertujuan memberi gambaran keadaan yang

secermat mungkin mengenai individu (manusia), keadaan gejala atau

kelompok tertentu. Dalam penulisan hukum ini, penulis memberi

gambaran mengenai putusan Hakim Pengadilan Negeri Klas 1B

Watampone.

C. Jenis dan Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ilmiah yang penulis gunakan

terdiri atas 2 (dua), yakni:

1. Data primer yaitu data dan informasi-informasi yang diperoleh

melalui penelitian lapangan dengan pihak-pihak yang terkait

sehubungan dengan penelitian ini.

2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan

terhadap berbagai macam bacaan yaitu dengan menelaah literatur,

artikel, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun


50

sumber lainnya yang berkaitan dengan masalah dan tujuan

penelitian.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum ini

adalah :

1. Sumber Data Sekunder

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat

dan masih relevan. Dalam penelitian ini adalah Undang-Undang

Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidan Anak.

b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan-bahan yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu

serta menganalisis yaitu buku-buku para sarjana, jurnal, makalah

atau literatur lainnya yang berkaitan dengan tindak pidan anak.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan

informasi tentang bahan hokum primer dan skunder. Dalam

penelitian ini yang digunakan adalah internet.


51

2. Sumber Data Primer

Dalam penelitian ini penulis menggunakan wawancara

secara langsung kepada pihak-pihak terkait seperti Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Klas 1B Watampone, Penuntut Umum,

Pendamping Anak, Orang Tua dan Terdakwa sebagai sumber data

primer.

D. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data :

1. Metode penelitian kepustakaan, penelitian ini Penulis lakukan

dengan membaca serta mengkaji berbagai literatur yang relevan

dan berhubungan langsung dengan objek penelitian yang dijadikan

landasan teoritis.

2. Metode penelitian lapangan, dilakukan dengan metode wawancara

atau pembicaraan langsung dan terbuka dalam bentuktanya jawab

terhadap Majelis Hakim, penuntut umum, pendamping anak, orang

tua, dan terdakwa yang dianggap dapat memberikan keterangan

dan informasi yang diperlukan dalam pembahasan objek penelitian.

E. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik atau metode analisa

kualitatif, adapun yang dimaksud analisa kualitatif yaitu penelitian

yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan

Perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma

yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Jadi setelah


52

melakukan penelitian, penulis menuangkannya kedalam penelitian

hukum ini dengan kritik dan saran yang membangun.

Anda mungkin juga menyukai