Anda di halaman 1dari 45

TUGAS

MATA KULIAH : STATISTIK

MODIFIKASI PATI SAGU (Metroxylon sp) DENGAN

METODE CROSS-LINK DALAM PEMBUATAN EDIBLE FILM

PROPOSAL PENELITIAN

OLEH :

ASPIYANDI

01 18 153

FAKULTAS ILMU HUKUM

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM PENGAYOMAN 2021

i
ii
Abstrak

Pati sagu adalah tepung atau olahan yang diperoleh dari proses

teras rumbia atau “pohon sagu” (Metroxylon sp). Tepung sagu memiliki ciri

fisik yang mirip dengan tepung tapioka. Pati sagu umumnya, digunakan

sebagai bahan fungsional dalam industri makanan seperti, pengental,

penstabil dan pebentuk gel. Namun pemanfaatan pati sagu belum optimal

bila pati sagu dimasak, pati sagu bertekstur keras, tidak bening dan

sangat lengket. Dengan demikian dilakukan modifikasi sagu dengan

metode cross-link. Metode cross-link (hubungan silang) merupakan salah

satu metode yang dapat dilakukan untuk memilih pati. Prinsip dari metode

ini adalah fungsi dari gugus OH- dengan gugus fungsi yang lain.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pembuatan

modifikasipati sagu (Metroxylon sp) dengan metode cross-link dalam

pembuatan edible film dan untuk mengetahui karakteristik modifikasi pati

sagu terbaik dengan metode cross-link dalam pembuatan edible film.

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, langkah pertama adalah pembuatan

pati modifikasi dengan metode cross-link dengan berbagai konsentrasi

Natrium Asetat yaitu: 10%, 15% dan 20% yang bertujuan untuk

mendapatkan pati yang dimodifikasi layak untuk menjadi bahan dasar

dalam pembuatan edible film. Tahap kedua adalah sagu yang telah

dimodifikasi dengan ciri-ciri analisis seperti kadar air, swelling power,

kadar abu, gelatinisasi, kandungan amilosa, kandungan protein,

1
kandungan lemak. Tahap ketiga pembuatan edible film dari tahap kedua

penelitian yang menghasilkan pati modifikasi sagu paling baik dilihat dari

uji parameter.

Hasil pengujian karakteristik menunjukkan mutu terbaik untuk

dijadikan bahan baku pembuatan edible film yaitu pati sagu modifikasi

cross-link dengan konsentrasi 15%, karena kandungan amilosa yang

diperoleh semakin tinggi maka nilai uap air semakin menurun karena

amilosa yang berantai lurus akan membentuk jaringan yang lebih rapat.

Hasil hidrofobilitas yang lebih tinggi dari pati sagu modifikasi yang terkait

dengan peran OH- yang tersedia dalam ranti molekul, bukti ini

menunjukkan bahwa film modifikasi lebih hidrofobik dari pada film pati

sagu murni.

Kata kunci: pati sagu, cross-link, natrium asetat, edible film, hidrofobik.

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT

yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, kepada kita semua,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Modifikasi

Pati Sagu (Metroxylon sp) dengan Metode Cross-link dalam Pembuatan

Edible Film” yang sebagai salah satu pemenuhan tugas pada mata kuliah

Statistik.

Penulis menyadari bahwa skripai ini masih jauh dari kesempurnaan.

Karenanya, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi

kesempurnaan tugas akhir ini. Akhirnya penulis mengucapkan banyak

terima kasih, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wabillahi taufik walhidayah

Assalamu’ alaikum Wr. Wb

Watampone, 15 November 2021

Penulis

3
DAFTAR ISI

Abstrak................................................................................................................. 1

KATA PENGANTAR.............................................................................................2

DAFTAR ISI.......................................................................................................... 3

BAB I. PENDAHULUAN........................................................................................5

1.1 Latar Belakang....................................................................................5

1.2 Rumusan Masalah..............................................................................6

1.3 Tujuan Penelitian................................................................................7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................8

2.1. Deskripsi Sagu....................................................................................8

2.1. 1 Klasifikasi Sagu................................................................................9

2.1.2 Kandungan Nutrisi Sagu...................................................................10

2.1.3 Khasiat dan Manfaat Sagu................................................................11

2.2 Pati....................................................................................................11

2.3 Karakteristik Bahan secara Fisik.......................................................12

2.3.1 Kadar Air...........................................................................................12

2.3.2 Kadar Abu.........................................................................................13

2.3.3 Swellinng Power dan Kelarutan........................................................13

4
2.3.4 Temperatur Gelatinisasi....................................................................14

2.3.5 Kadar Amilosa...................................................................................15

2.4 Analisis Proksimat.............................................................................16

2.4.1 Kadar Protein....................................................................................16

2.4.2 Kadar Lemak.....................................................................................17

2.5 Modifikasi Cross-link.........................................................................19

2.6 Edible Film........................................................................................21

2.7 Bahan Tambahan.............................................................................22

2.7.1 Silikon Dioksida (SiO).......................................................................22

2.7.2 Gliserol..............................................................................................23

BAB III. METEDOLOGI PENELITIAN................................................................23

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian...........................................................23

3.3.2.6 Kadar Protein (Northrop, 1926).........................................................27

5
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pangan memiliki peran penting dalam kehidupan sebagai sumber

gizi, namun pangan memiliki kelemahan yaitu mudah mengalami

kerusakan atau bersifat perishabel. Sehingga di era berkembangnya

teknologi, beberapa cara dilakukan untuk mengatasi permasalahan

tersebut. Salah satu yang dapat dilakukan untuk mengatasi kerusakan

pangan segar atau pangan olahan adalah melalui penggunaan kemasan

edible film yang dapat menghambat perpindahan uap air. Pada umumnya

edible terbuat dari plasticizers seperti gliserol atau bahan yang

mengandung amilosa dan lain-lain. Salah satu sumber hayati yang

memiliki kandungan karbohidrat tinggi adalah sagu, sehingga sagu

memiliki potensi untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan edible film.

Sagu adalah tepung atau olahan yang diperoleh dari pemrosesan

teras rumbia atau "pohon sagu" (Metroxylon sagu Rottb). Tepung sagu

memiliki karakteristik fisik yang mirip dengan tepung tapioka. Pati sagu

umumnya digunakan sebagai bahan fungsional dalam industri makanan

seperti, pengental (thickener), penstabil (stabilizer), dan pembentuk gel

(gelling agent). Ditinjau dari segi penghasil karbohidrat, kandungan

karbohidrat sagu lebih tinggi dibandingkan tanaman karbohidrat lainnya.

Hingga kini, sagu diketahui mempunyai daya hasil pati tertinggi per satuan

luas per satuan waktu. Sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25

6
ton per hektar, jauh melebihi produksi pati beras atau jagung yang

masing-masing hanya 6 ton dan 5,5 ton per hektar. Sagu tidak hanya

menghasilkan pati terbesar, tetapi juga menghasilkan pati sepanjang

tahun.

Sebagai sumber karbohidrat, sagu merupakan bahan pokok bagi

masyarakat Maluku dan Papua yang tinggal di pesisir. Sagu dimakan

dalam bentuk papeda, semacam bubur, atau dalam olahan lain. Sagu

sendiri dijual sebagai tepung curah maupun yang didapatkan dan dikemas

dengan daun pisang. Selain itu, saat ini sagu juga diolah menjadi mie.

Sementara itu, pati (polisakarida) telah banyak digunakan sebagai bahan

baku alternatif pembuatan pelapis layak makan (edible coating) karena

bersifat biodegradable, bahan baku mudah diporelah, harga murah dan

ramah lingkungan serta meningkatkan permintaan konsumen untuk

makanan yang aman pangan (food grade). Selain itu, dapat membentuk

film (film forming) yang kuat dan transparan dan dapat dengan mudah

dimodifikasi sifat dan karakteristiknya (Teressa dan Silva, 2011; chopin et

al. 2014).

Edible packaging dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu

yang berfungsi sebagai pelapis (edible coating) dan yang berbentuk

lembaran (edible film). Edible coating banyak digunakan untuk pelapis

produk daging beku, makanan semi basah, produk hasil laut, sosis, buah-

buahan dan obat-obatan terutama untuk pelapis kapsul (Krochta et al,

1994). Edible film adalah lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat

7
dimakan, dibentuk di atas komponen makanan yang berfungsi sebagai

penghambat transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lemak, zat

terlarut) dan atau sebagai carrier bahan makan atau aditif dan atau untuk

meningkatkan penangan makanan (Krochta, 1992).

Namun pemanfaatan pati sagu belum optimal disebabkan bila pati

sagu dimasak, pasta yang terbentuk keras, tidak bening dan sangat

lengket. Hal ini menjadi kendala dalam aplikasi sebagai bahan baku

industri pangan maupun non pangan. Akan tetapi, berkembangnya

teknologi pangan membuat berbagai metode dalam modifikasi tepung

sagu mulai bermunculan, salah satunya metode cros-slink. Modifikasi

ikatan silang (cross-link) merupakan salah satu metode yang dapat

dilakukan untuk memodifakasi pati. Reaksi cross-link dikembangkan oleh

Maxwell yang bertujuan untuk menghambat pengembangan pati agar

viskositas pengembangan pati stabil.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dilakukan penelitian

terkait dengan “Modifikasi Pati Sagu (Metroxylon sp) dengan Metode

Cross-link dalam Pembuatan Edible Film”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana proses pembuatan modifikasi pati sagu (Metroxylon

sp) dengan metode cross-link dalam pembuatan edible film ?

8
2. Menentukan karakterisasi terbaik pada modifikasi pati sagu

dengan metode cross-link dalam pembuatan edible film ?

3. Bagaimana kualitas metode cross-link terhadap modifikasi pati

sagu dalam pembuatan edible film ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari rumusan masalah diatas maka tujuan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui proses pembuatan modifikasi pati sagu (Metroxylon

sp) dengan metode cross-link dalam pembuatan edible film.

2. Mengetahui karakterisasi terbaik pada modifikasi pati sagu

dengan metode cross-link dalam pembuatan edible film.

3. Mengetahui kualitas metode cross-link terhadap modifikasi pati

sagu dalam pembuatan edible film.

9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Sagu

Sagu (Metroxylon sp) termasuk tumbuhan monokotil dari keluarga

Palmae. Terdapat empat marga palma yang kandungan patinya banyak

dimanfaatkan, yaitu Metroxylon sp, Coripha sp, Euqeissona sp, dan

Cariota sp. (Ruddle et al., 1978). Batang sagu terdiri atas lapisan kulit

bagian luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur atau isi sagu

yang mengandung serat-serat dan pati. Tebal kulit luar yang keras sekitar

3-5 cm dan bagian tersebut di daerah Maluku sering digunakan sebagai

bahan bangunan. Pohon sagu yang masih muda mempunyai kulit yang

lebih tipis dibandingkan sagu dewasa (Haryanto dan Pangloli, 1992).

Metroxylon berasal dari bahasa latin yang terdiri atas dua kata, yaitu

Metro/Metra dan Xylon. Metra berarti pith (isi batang atau empulur) dan

Xylon berarti xylem. Kata sago atau sagu memiliki arti pati yang

terkandung dalam batang palma sagu (Flach, 1997). Di Indonesia ada

beberapa nama daerah untuk tanaman sagu seperti rumbia, kirai (Sunda),

ambulung kersulu (Jawa), dan Lapia (Ambon). Warga Malaysia mengenal

sagu dengan sebutan rumbia dan balau, lumbia (Philipina), thagu bin

(Myanmar), saku (Kamboja), dan sakhu (Thailand), (Ruddle et al., 1976).

Sagu yang merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang

potensial di Indonesia dapat digunakan untuk penganekaragaman pangan

sesuai dengan INPRES No. 20 tahun 1979 (Haryanto dan Pangloli dalam

10
Bintoro, 2008). Sagu merupakan sumber karbohidrat penting di Indonesia

dan menempati urutan ke-4 setelah ubi kayu, jagung dan ubi jalar dan

tanaman sagu memiliki kandungan jumlah pati yang cukup banyak. Jika

dihitung jumlah pati yang dapat sagu hasilkan, maka akan terlihat

perbandingan yang cukup besar antara jumlah pati yang dihasilkan oleh

tanaman sagu satu hektar dengan tanaman jagung atau padi satu

hektar. Pati yang terdapat dalam satu batang sagu berkisar 200-400 kg.

Beberapa peneliti jepang menemukan pohon sagu yang mengandung pati

800-900 kg/batang sagu. pati sagu mengandung 84.7% karbohidrat yang

terdiri atas 73% amilopektin dan 27% amilosa (Wiyono dan Silitonga

dalam Bintoro, 2008). Pengolahan sagu hanya menghasilkan pati sekitar

16-18% dari bobot total batang sagu yang termanfaatkan.

Gambar 2.1. Pohon Sagu

2.1. 1 Klasifikasi Sagu

Tanaman sagu ini masih diduga berasal dari Indonesia lebih

tepatnya di daerah Maluku dan Irian. Daerah tersebut tanaman sagu ini

11
dijadikan sebagai makanan pokok di daerah tersebut, dengan kemajuan

teknologi tanaman sagu ini dijadikan untuk berbagai olahan terutamanya

tepung, dan juga olahan jadi lainnya. Tanaman sagu ini hampir

menyerupai pohon kelapa yang memiliki pelepah daun panjang berbwarna

kehijauan dan juga memiliki batang berwarna kecoklatan dengan panjang

mencapai 10-20 meter.

Tanaman sagu ini dapat diperbanyak dengan dua cara yaitu secara

generatif (menggunakan biji) dan juga vegetatif (menggunakan anakan).

Selain itu, tanaman sagu ini juga dapat dibagi dua bagian berdasarkan

pemanenan terutamanya.

a) Tanaman sagu berbunga dan berbuah satu kali yang disebut

Hapxanthic.

b) Tanaman sagu berbunga dan berbuah dua kali yang disebut

Pleonanthic.

Berdasarkan penelitian dari Ruddle et.al ( 1978 ) kedudukan

tanaman sagu mulai dari taksonomi, morfolologi dan klasifikasinya adalah

sebagai berikut.

Tabel 2.1. Klasifikasi Sagu

12
Kingdom Plantae (Tumbuhan)
Sub Kingdom Trachebionta (Tumbuhan berpebuluh)
Super devisi Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi Magniliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas Liliopsida (Berkeping satu/monokotil
Sub kelas Arecidae
Ordo Arecales
Genus Metroxylon
Spesies Metroxylon sagu
2.1.2 Kandungan Nutrisi Sagu

Pati sagu merupakan sumber karbohidrat yang penting dan

diharapkan penggunaannya sebagai diversifikasi pola makanan, maka

perlu dikeluarkan standar mutu pati sagu. Badan Standarisasi Nasional

(BSN) telah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai

standar mutu pati sagu seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2.2. Syarat Mutu Pati Sagu Menurut SNI 01 – 3729 – 1995

No Komponen Kandungan
1 Kadar air, % (b/b) Maks. 13
2 Kadar abu, % (b/b) Maks. 0,5
3 Kadar serat kasar, % (b/b) Maks. 0,1
4 Protein Maks. 0,3
5 Dearjat asam (ml NaOH 1 N/100 g) Maks. 4
6 Kadar SO2 (mg/kg) Maks. 30
7 Jenis pati lain selain pati sagu Tidak boleh ada
8 Kehalusan (lolos ayakan 100 mesh) % Min. 95

(b/b)
9 Total Plate Count (koloni/g) Maks. 106
Sumber.SNI 01-3729-1995

13
2.1.3 Khasiat dan Manfaat Sagu

Sagu mempunyai prospek yang baik sebagai salah satu sumber

utama pangan murah. Pengembangan produk baru dengan komponen

utama sagu yang sesuai dengan selera masyarakat diharapkan dapat

menjadi pangan sumber karbohidrat siap konsumsi, seperti tepung kering

dan mi, sehingga dapat membantu upaya percepatan penganekaragaman

pangan yang sedang kita galakkan.

Manfaat dan keunggulan bila kita mengonsumsi aneka makanan

yang berasal dari sagu, baik dalam bentuk snack maupun olahan yang

berasal dari sagu, antara lain:

a) Dapat memberikan efek mengenyangkan tetapi tidak menyebabkan

gemuk.

b) Mencegah sembelit dan dapat mencegah risiko kanker usus.

c) Tidak cepat meningkatkan kadar glukosa dalam darah

(indeks glikemik rendah) sehingga dapat dikonsumsi oleh penderita

diabetes melitus.

Produk ini dapat disebarluaskan kepada masyarakat baik

dalam bentuk tepung ataupun yang sudah menjadi hasil industri seperti

ini. Marilah kita angkat pangan lokal kita dari Indonesia ini sebagai

cadangan bahan makanan dalam meningkatkan ketahanan pangan kita.

Yayasan Gizi Kuliner Jakarta kedatangan tamu dari Papua untuk pelatihan

kuliner bahan dasar pangan lokal di Papua. Keinginan agar pangan lokal

14
Papua dapat diminati bukan saja oleh masyarakat Papua perlu

diapresiasi.

2.2 Pati

Pati merupakan zat gizi penting dalam diet sehari-hari. Sekitar 80%

kebutuhan energi manusia di dunia dipenuhi oleh karbohidrat (Greenwood

dan Munro, 1979). Karbohidrat ini dapat dipenuhi dari sumber seperti biji-

bijian (jagung, padi, gandum), umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, kentang)

dan batang (sagu) sebagai tempat penyimpanan pati yang merupakan

cadangan makanan bagi tanaman.

Pati memegang peranan penting dalam industri pengolahan pangan

secara luas juga dipergunakan dalam industri seperti kertas, lem, tekstil,

lumpur pemboran, permen, glukosa, dekstrosa, sirop fruktosa, dan lain-

lain. Dalam perdagangan dikenal dua macam pati yaitu pati yang belum

dimodifikasi dan pati yang telah dimodifikasi. Pati yang belum dimodifikasi

atau pati biasa adalah semua jenis pati yang dihasilkan dari pabrik

pengolahan dasar misalnya tepung tapioka.

Pati alami seperti tapioka, pati jagung, sagu dan pati-patian lain

mempunyai beberapa kendala jika dipakai sebagai bahan baku dalam

industri pangan maupun non pangan. Jika dimasak pati membutuhkan

waktu yang lama (hingga butuh energi tinggi), juga pasta yang terbentuk

keras dan tidak bening. Disamping itu sifatnya terlalu lengket dan tidak

tahan perlakuan dengan asam. Kendala-kendala tersebut menyebabkan

pati alami terbatas penggunaannya dalam industri. Padahal sumber dan

15
produksi pati-patian di negara kita sangat berlimpah, yang terdiri dari

tapioka (pati singkong), pati sagu, pati beras, pati umbi-umbian selain

singkong, pati buah-buahan (misalnya pati pisang) dan banyak lagi

sumber pati yang belum diproduksi secara komersial.

2.3 Karakteristik Bahan secara Fisik

2.3.1 Kadar Air

Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan

yang dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu karakteristik

yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi

penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam

bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan

tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang,

dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan

pada bahan pangan (Winarno, 1997).

Penentuan kadar air sangat penting dalam banyak masalah industri,

misalnya dalam evaluasi materials balance atau kehilangan selama

pengolahan. Kita harus tahu kandungan air (dan kadang juga distribusi

air) untuk pengolahan optimum, misalnya dalam penggilingan serealia,

pencampuran adonan sampai konsistensi tertentu, dan produksi roti

dengan daya awet dan tekstur tinggi. Kadar air harus diketahui dalam

penentuan nilai gizi pangan, untuk memenuhi standar komposisi dan

peraturan-peraturan pangan. Kepentingan yang lain adalah bahwa kadar

air diperlukan untuk penentuan mengetahui pengolahan terhadap

16
komposisi kimia yang sering dinyatakan pada dasar dry matt. Penentuan

kadar air yang cepat dan akurat bervariasi tergantung struktur dan

komposisinya. Dari segi analisis pangan, kandungan air dalam pangan

dapat dibagi menjadi tiga macam bentuk. Air bebas adalah air dalam

bentuk sebagai air bebas dalam ruang intergranular dan dalam pori-pori

bahan. Air demikian ini berlaku sebagai agensia pendispersi bahan-bahan

koloidal dan sebagai solven senyawa-senyawa kristalin. Air yang terserap

(teradsorpsi) pada permukaan koloid makromolekular (pati, pektin,

cellulosa, protein). Air ini berkaitan erat dengan makromolekul-

makromolekul yang mengadsorpsi dengan gaya absorpsi, yang

diatributkan dengan gaya Van der Waals atau dengan pembentukan

ikatan hidrogen. Air terikat, berkombinasi dengan berbagai substansi,

sebagai air hidrat. Klasifikasi tersebut tidak mutlak. Istilah air bebas,

terabsorpsi, dan terikat itu relatif (Anonim, 2011).

2.3.2 Kadar Abu

Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau

mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan

terdiri dari 96% bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan

unsur-unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagai zat organik atau kadar

abu. Kadar abu tersebut dapat menunjukan total mineral dalam suatu

bahan pangan. Bahan-bahan organik dalam proses pembakaran akan

terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut

sebagai kadar abu. Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk

17
berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu

pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai

penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan (Astuti, 2011).

Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan

dancara pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral

suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan

dua macam garam berdasarkan Anonim (2011) yaitu :

a) Garam-garam organik, misalnya garam dari as. malat, oxalate,

asetat., pektat dan lain-lain.

b) Garam-garam anorganik, misalnya phospat, carbonat, chloride, sulfat

nitrat dan logam alkali.

2.3.3 Swellinng Power dan Kelarutan

Kemampuan granula pati untuk mengembang dapat ditentukan dari

viskositas puncak pasta pada saat mengalami pemanasan ataupun dari

pengukuran swelling volume atau swelling power. Swelling volume adalah

perbandingan volume pasta pati terhadap berat keringnya (Collado et

al. 2001). Sementara swelling power didefinisikan sebagai perbandingan

antara berat sedimen pasta pati dengan berat kering pati yang dapat

membentuk pasta (Wattanachant et al. 2002b). Pada umumnya pati

dengan swelling power atau swelling volume yang tinggi mempunyai

kelarutan pasta pati yang tinggi pula. Kim et al. (1996) melaporkan bahwa

pati kentang yang memiliki swelling power lebih tinggi dibanding pati

18
kacang-kacangan (navy bean dan pinto bean) memiliki kelarutan yang

lebih tinggi pula.

Keterkaitan antara swelling power dan kelarutan berhubungan

dengan kemudahan molekul air untuk berinteraksi dengan molekul dalam

granula pati dan menggantikan interaksi hidrogen antar molekul, sehingga

granula akan lebih mudah menyerap air dan memiliki pengembangan

tinggi. Muhamed et al. (2008) menyatakan bahwa pengembangan granula

terjadi ketika granula dipanaskan bersama air dan ikatan hidrogen yang

menstabilkan struktur heliks ganda dalam kristal terputus dan digantikan

oleh ikatan hidrogen dengan air. Adanya pengembangan tersebut akan

menekan granula dari dalam, sehingga granula akan pecah dan molekul

pati terutama amilosa akan keluar. Sebagai akibat dari

peristiwa swelling akan terjadi peningkatan kelarutan, dimana kelarutan

tertinggi terjadi pada suhu 90°C. Peningkatan kelarutan ini disebabkan

oleh adanya molekul amilosa terlarut yang bocor dan keluar dari granula

pati yang mengalami swelling (Rincón & Padilla 2004). Semakin banyak

molekul amilosa yang keluar dari granula pati maka kelarutan akan

semakin tinggi. Oleh karena itu, pati dengan kandungan amilosa tinggi

pada umumnya akan memiliki kelarutan yang tinggi pula. Namun demikian

tidak selamanya kandungan amilosa berbanding lurus dengan kelarutan.

Keberadaan kompleks antara amilosa dengan lipid, seperti pada pati

kacang-kacangan, dapat mengurangi kelarutan amilosa (Kim et al. 1996).

19
2.3.4 Temperatur Gelatinisasi

Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia. Selain

itu karbohidrat juga dapat berperan dalam pengolahan pangan. Bentuk

molekul karbohidrat paling sederhana terdiri dari satu molekul gula

sederhana yang disebut monosakarida, misalnya glukosa, galaktosa, dan

fruktosa. Banyak karbohidrat merupakan polimer yang tersusun dari

molekul gula yang terangkai menjadi rantai yang panjang serta dapat pula

bercabang-cabang, disebut polisakarida, misalnya pati, kitin dan selulosa.

Selain monosakarida dan polisakarida, terdapat pula disakarida (rantai

dua monosakarida) dan oligosakarida (rangkaian beberapa

monosakarida) (Anonim, 2010). Tepung adalah partikel padat yang

berbentuk butiran halus atau sangat halus tergantung pemakaiannya.

Biasanya digunakan untuk keperluan penelitian, rumah tangga, dan bahan

baku industri. Tepung bisa berasal dari bahan nabati misalnya tepung

terigu dari gandum, tapioka dari singkong, maizena dari jagung dan

hewani misalnya tepung tulang dan tepung ikan. Kemampuan melakukan

gelatinisasi tergantung pada konsentrasi pati yang terdapat pada masing-

masing jenis tepung tersebut (Anonim, 2012).

Gelatinisasi merupakan fenomena pembuatan gel yang diawali

dengan pembengkakan granula pati akibat penyerapan air. Bila pati

mentah dimasukan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air

dan mulai bengkak namun terbatas,  sekitar 30% dari berat tepung.

Proses pemanasan adonan tepung menyebabkan granula semakin

20
membengkak karena penyerapan air semakin banyak. Suhu dimana

pembengkakan maksimal disebut dengan suhu gelatinisasi (Anonim,

2008).  Beras ketan (juga disebut ketan, beras manis, beras lilin, beras

mochi dan beras mutiara) adalah jenis beras Asia yang lengket saat

dimasak. Hal ini disebut glutinous yang artinya menjadi seperti lemah atau

lengket dan tidak dalam arti yang mengandung gluten (Anonim, 2012).

Pati jagung atau yang biasa disebut tepung maizena merupakan sumber

karbohidrat yang digunakan untuk pembuatan roti, kue kering, makanan

bayi dan lain-lain, serta digunakan dalam industri farmasi (Anonim, 2008).

Mocaf (Modified Cassava Flour) adalah produk turunan dari tepung

singkong yang menggunakan prinsip memodifikasi sel singkong secara

fermentasi, yang menhasilkan karakteristik khas, sehingga dapat

digunakan sebagai food ingredient dengan skala sangat luas (Anonim,

2010).

2.3.5 Kadar Amilosa

Amilosa (polisakarida yang linier) dan amilopektin (polisakarida yang

bercabang) adalah komponen dari pati. Pati adalah karbohidrat terbesar

dalam tanaman berklorofil. Tiap jenis pati tertentu disusun oleh kedua

fraksi tersebut dalam perbandingan yang berbeda-beda. Amilosa

merupakan komponen pati yang mempunyai rantai lurus dan larut dalam

air, pada umumnya amilosa menyusun pati 17 – 21 %. Polimer amilosa

tersusun dari glukosa sebagai monomernya, setiap monomer terhubung

dengan ikatan 1,6-glikosidik. Amilosa merupakan polimer tidak bercabang

21
yang bersama-sama dengan amilopektinmenjadi komponen

penyusun pati (Anonim, 2010).

Dalam aplikasinya, amilosa banyak digunakan sebagai bahan

makanan karena mempunyai sifat dapat memberi efek keras atau pera

dalam bahan makanan. Selain itu, amilosa banyak digunakan sebagai

sediaan farmasi terutama pada formula sediaan tablet, baik sebagai

pengisi, penghancur, maupun sebagai bahan pengikat. Kadar amilosa

dalam suatu bahan makanan dapat diketahui secara spektrofotometrik

berdasarkan prinsip bahwa amilosa akan berwarna biru jika bereaksi

dengan senyawa iodin. Intensitas warna biru akan berbeda tergantung

dari kadar amilosa dalam bahan. Semakin pekat konsentrasi warna biru

maka semakin tinggi kadar amilosa dalam suatu bahan tersebut.

2.4 Analisis Proksimat

2.4.1 Kadar Protein

Protein dapat larut dalam air dan jika dipanaskan dapat membeku

(Abdi, 2001). Cara untuk mengklasifikasikan asam amino ada beberapa

cara antara lain cara mendasar pada jumlah gugus karboksilat dan gugus

asam amino yang terkandung oleh senyawa itu (Bayu, 2002). Semua

asam amino atau peptida yang mengandung α amino bebas akan

bereaksi dengan ninhidrin membentuk senyawa kompleks berwarna biru-

ungu. Namun prolin dan hidroksipolin menghasilkan senyawa berwarna

kuning (Berry, 2000). Secara kimia dapat dibedakan antara protein

sederhana yang terdiri dari polipeptida dan protein kompleks yang

22
mengandung zat-zat makanan tambahan seperti hern, karbohidrat, lipid

atau asam nukleat. Untuk protein kompleks, bagian polipeptida dinamakan

aproprotein dan keseluruhannya dinamakan haloprotein. Secara

fungsional protein juga menunjukkan banyak perbedaan. Dalam sel

mereka berfungsi sebagai enzim, bahan bangunan, pelumas dan molekul

pengembang. Tapi sebenarnya protein merupakan polimer alam yang

tersusun dari berbagai asam amino melalui ikatan peptida (Hart, 1987).

Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O, dan

N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat. Molekul protein

mengandung gula terpor belerang, dan ada jenis protein yang

mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarnno, 1997).

Denaturasi protein adalah hilangnya sifat-sifat struktur lebih tinggi

oleh terkacaunya ikatan hidrogen dan gaya-gaya sekunder lain yang

memutuskan molekul protein. Akibat dari suatu denaturasi adalah

hilangnya banyak sifat-sifat biologis suatu protein. Salah satu penyebab

denaturasi protein adalah perubahan temperatur, dan juga perubahan pH.

Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan denaturasi adalah detergen,

radiasi zat pengoksidasi atau pereduksi, dan perubahan jenis pelarut.

Denaturasi dapat bersifat reversibel, jika suatu protein hanya dikenai

kondisi denaturasi yang lembut seperti perubahan pH. Jika protein

dikembangkan kelingkungan alamnya, hal ini untuk memperoleh kembali

struktur lebih tingginya yang alamiah dalam suatu proses yang disebut

denaturasi. Denaturasi umumnya sangat lambat atau tidak terjadi sama

23
sekali (Fessenden, 1989). Protein bersifat higroskop sehingga

mengabsorbansi air lebih bayak jika benih disimpan di dalam kantong

terigu. Salah satu faktor yang memungkinkan benih mengabsorbsi air dari

lingkungannya adalah komposisi kimia benih, antara lain protein (Justice

dan Bass, 1990). Peningkatan kadar air benih menyebabkan hidrolisis

protein dan fluiditas membran mitokondria berkurang sehingga menugab

bentuk protein yang terikat pada bilayer lipid (Reed, 1997).

2.4.2 Kadar Lemak

Lemak adalah garam yang terbentuk dari penyatuan asam lemak

dengan alkohol organik yang disebut gliserol atau gliserin. Lemak yang

dapat mencair dalam temperatur biasa disebut minyak, sedangkan dalam

bentuk padat disebut lemak. Seperti halnya karbohidrat, lemak tersusun

atas molekul karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O2) dengan jumlah

atom lebih banyak, misalnya stearin (C57H10O6). Sifat-sifat lemak antara

lain mengapung pada permukaan air, tidak larut dalam air, mencair pada

suhu tertentu, dan dapat melarutkan vitamin A, D, E, dan K. Manfaat

lemak dalam tubuh adalah sebagai sumber energi, melarutkan vitamin

sehingga dapat diserap oleh usus dan dapat memperlama masa kenyang

(Surbakti, 2010).

Berdasarkan kerangka dasarnya, lipida atau lemak dibedakan

menjadi lipida kompleks dan lipida sederhana. Golongan pertama dapat

dihidrolisi sedangkan golongan kedua tidak dapat dihidrolisi. Lipida

kompleks dibagi menjadi triasil gliseron, fosfolipida, sfingolipida, dan lilin.

24
Asam lemak yang terdapat di alam dapat dikelompokkan berdasakan

jumlah atom C, taraf kejenuhan, dan tingkat esensialitasnya.asam lemak

yang tergolong dalam asam lemak esensial antara lain adalah asam

linoleatdan linolenat. Ikatan ganda (rangkap) kalau hanya sebuah terdapat

pada atom nomor 9, bilamana terdapat lebih dari satu, maka ikatan atom

C rangkap berikutnya terjadi dengan antara tiga buah atom C

(Martoharsono, 2012).

Lemak terdiri atas trigliserida campuran yang merupakan ester dari

gliserol dan asam lemak rantai panjang. Minyak dan lemak dapat

diperoleh dari hewan maupun tumbuhan. Minyak nabati terdapat dalam

buah-buahan, kacang-kacangan, akar tanaman, dan sayuran. Trigliserida

dapat berwujud padat atau cair tergantung pada komposisi asam lemak

penyusunnya. Sebagian besar minyak nabati berbentuk cair karena

mengandung sejumlah asam tidak lemak jenuh, sedangkan lemak hewani

pada umumnya berbentuk padat pada suhu kamar karena banyak

mengandung asam lemak jenuh. Lemak termasuk dalam salah satu gizi

makro yang dibutuhkan oleh tubuh. Lemak adalah senyawa trigliserida

atau triagliserol atau berarti triester dari gliserol dan memilikienergi yang
karbohidrat
paling besar dibandingkan dengan dan protein (Anam, 2013).

Lipid dapat dikelompokkan menjadi lipid sederhana (simple lipid),

lipid komposit (composite lipid), spingolipid, dan lipid turunan (derived

lipid). Lipid sederhana adalah lipid yang mengandung dua jenis komponen

penyusun, yaitu ester gliserin (ester asam lemak dan gliserin), ester

25
kolesterol (ester kolesterol dan gliserin), wax (ester asam lemak dan

alkohol), dan keramid (ester amid dan asam lemak). Lipid komposit adalah

lipid yang mengandung lebih dari tiga komponen penyusun (gliserin, asam

lemak, dan asam fosfat). Spingolipid adalah turunan dari keramid. Lipid

turunan adalah struktur lipid hasil hidrolisis dari kelompok lipid. Dalam

struktur lemak dan minyak, molekul gliserin mengikat tiga rantai asam

lemak dan membentuk senyawa ester yang bersifat non-polar. Panjang

struktur molekul lemak tergantung pada jenis asam lemak yang terikat

pada gliserin (Kusnandar, 2010).

         Bilangan iodin menyatakan derajat ketidakjenuhan asam lemak

penyusun minyak. Asam lemak tidak jenuh mampu mengikat iodium dan

membentuk senyawa yang jenuh. Banyaknya iodium yang diikat

menunjukkan banyaknya ikatan rangkap dimana asam lemak tidak jenuh

mempu mengikat iodium dan membentuk senyawa jenuh. Iodium akan

mengadisi ikatan asam lemak tidak jenuh maupun dalam bentuk ester.

Bilangan iodium tergantung pada jumlah asam lemaktidak jenuh dalam

lemak. Semakin banyak jumlah asam lemak tidak jenuh dalam minyak

maka semakin tinggi pula bilangan iodium yang dikandung oleh minyak

tersebut (Khotimah, 2013).

2.5 Modifikasi Cross-link

Pati merupakan karbohidrat dengan berat molekul tinggi yang

terdapat pada tanaman dan mampu mensuplay 70 hingga 80 % kalori

yang dibutuhkan manusia dari bahan pangan yang dikonsumsi. Namun,

26
selain sebagai sumber kalori utama, pati juga mempunyai sejumlah

kegunaan pada makanan, seperti : sebagai bahan pengikat, pembentuk

lapisan, penstabil, pembentuk tekstur, pengental, dll (Winarno, 2004).

Secara komersil pati dapat diperoleh dari biji-bijian, terutama dari jagung,

gandum, dan berbagai jenis beras. Selain itu, pati dapat juga diperoleh

dari batang dan akar seperti kentang, ubi jalar, singkong, sagu, dan talas.

Setiap jenis pati memiliki karakteristik dan sifat fungsional yang

berbeda. Sifat fungsional pati yang terbatas menyebabkan terbatasnya

pula aplikasi pati tersebut untuk produk pangan. Adapun yang

menghambat pengaplikasian pati alami dalam proses pengolahan pangan

(Kusnandar, 2010), diantaranya adalah : pati alami tidak tahan pada

pemanasan suhu tinggi, pati alami menghasilkan suspensi pati dengan

viskositas dan kemampuan membentuk gel yang tidak seragam

(konsisten), pati tidak tahan pada kondisi asam, pati tidak tahan

pengadukan, kelarutan pati yang terbatas di dalam air, serta gel pati

mudah mengalami sineresis. Dilain pihak, industri pengguna pati

menginginkan pati yang mempunyai kekentalan yang stabil baik pada

suhu tinggi maupun rendah, mempunyai ketahanan yang baik terhadap

perlakuan mekanis, dan daya pengentalannya tahan pada kondisi asam

dan suhu tinggi. Sifat-sifat penting yang diinginkan dari pati termodifikasi

(yang tidak dimiliki oleh pati alam) diantaranya adalah: kecerahannya lebih

tinggi (pati lebih putih), retrogradasi yang rendah, kekentalannya lebih

rendah, gel yang terbentuk lebih jernih, tekstur gel yang dibentuk lebih

27
lembek, kekuatan regang yang rendah, granula pati lebih mudah pecah,

waktu dan suhu gelatinisasi yang lebih tinggi, serta waktu dan suhu

granula pati untuk pecah lebih rendah.

Peningkatan sifat fungsional dan karakteristik pati dapat dilakukan

dengan metode modifikasi pati sehingga pati yang dimodifikasi tersebut

mempunyai sifat-sifat yang diinginkan dan dapat memperluas

penggunaannya dalam proses pengolahan pangan. Modifikasi Pati

dimaksudkan untuk merubah struktur molekul dari pati tersebut dengan

cara merubah gugus hidroksilnya lewat suatu reaksi kimia (esterifikasi,

sterifikasi atau oksidasi) atau dengan menggangu struktur asalnya

(Fleche, 1985). Modifikasi pati dapat dilakukan secara kimia, fisik, maupun

enzimatik. Secara fisik, modifikasi pati dapat dilakukan dengan cara

gelatinisasi, heat moisture treatment, dan annealing. Sedangkan

modifikasi pati secara kimia dapat dilakukan dengan penambahan asam,

oksidasi, cross-link, dan starch esthers.

Modifikasi ikatan silang (cross-link) merupakan salah satu metode

yang dapat dilakukan untuk memodifikasi pati. Reaksi cross-link

dikembangkan oleh Maxwell yang bertujuan untuk menghambat

pengembangan pati agar viskositas pengembangan pati stabil. Prinsip dari

metode ini yaitu mengganti gugus OH- dengan gugus fungsi yang lain,

seperti gugus eter, gugus ester, atau gugus fosfat. Pati cross-link

diperoleh dengan cara perlakuan kimia yaitu dengan penambahan “cross-

link agent” dalam suspensi pati pada suhu tertentu dan pH yang sesuai

28
agar dapat menyebabkan terbentuknya ikatan-ikatan (jembatan) baru

antar molekul di dalam pati itu sendiri atau diantara molekul pati yang satu

dengan molekul pati yang lain sehingga didapatkan jaringan makro

molekul yang kaku. Dengan sejumlah “cross-link agent”, viskositas

tertinggi dicapai pada temperatur pembentukan yang normal dan

viskositas ini relatif stabil selama konversi pati. Cara ini akan merubah

sifat rheologi dari pati dan sifat resistensinya terhadap asam.

Keuntungan dari penggunaan metode cross-link ini adalah dapat

menghasilkan pati dengan swelling power yang kecil dimana hal ini akan

memperkuat granula pati dan menjadikan pati lebih tahan terhadap

medium asam dan panas sehingga tidak mudah pecah pada saat

pemanasan. Selain itu, metode cross-link dapat meningkatkan tekstur,

viskositas, paste clarity, gel strength, dan adhesiveness pati. Disisi lain,

metode ini memiliki kekurangan yaitu menjadikan solubility, sediment

volume, gel elasticity, dan freeze-thaw stability pati menurun (Raina, et al.,

2006).

Pati hasil cross-link digunakan secara luas sebagai pengental

makanan, khususnya dimana kekentalan yang tinggi dan stabil diperlukan.

Cross-link memperkecil pecahnya granula, hilangnya kekentalan , dan

pembentukan pasta yang lengket dalam pemasakan. Cross-link dilakukan

dengan mereaksikan granula pati dengan pereaksi multifungsi yang

mampu membentuk ikatan dalam pati. Cross-link memperkuata ikatan

hidrogen dalam granula dengan ikatan kimia yang bertindak sebagai

29
jembatan antara molekul. Sehungga, pati hasil cross-link dipanaskan

dalam air, granula dapat membengkak dan ikatan hidrogen melemah;

namun, oati hasil cross-link dapat memberikan integritas pati yang cukup

untuk menjaga granula bengkak tetap utuh (CFR, 1995).

Keuntungan dari penggunaan metode cross-link adalah dapat

menghasilkan pati dengan swelling power yang kecil dimana hal ini akan

memperkuat granula pati dan menjadikan pati lebih tahan terhadap

medium asam dan panas sehingga tidak mudah pecah pada saat

pemanasan. Selain itu, metode cross-link dapat meningkatkan tekstur,

viskositas, pengental, paste clarity, pasting properties, gel strength, dan

adhesiveness pati. Disisi lain, metode ini memiliki kekurangan yaitu

menjadikan solubility, sediment volume, gel elasticity, dan freeze-thaw

stability pati menurun (Raina, et al,. 2006). Aplikasi pemanfaatan pati

termodifikasi cross- link pada bidang pangan antara lain sebagai “pei

filing” pengalengan sop, “gravy” saus, untuk pembuatan makanan bayi,

salad dressing, dan lain-lain. Sedangkan di bidang non pangan sangat

beraneka ragam termasuk di dalamnya member sifat kedap air pada kotak

kardus, “sizing” tekstil dan kertas.

2.6 Edible Film

Edible film didefinisikan sebagai lapisan yang dapat dimakan yang

ditempatkan di atas atau di antara komponen makanan (Lee dan Wan,

2006 dalam Hui, 2006). Merurut Arpah (1997) dikutip Christsania (2008),

edible packaging pada bahan pangan pada dasarnya dibagi menjadi tiga

30
jenis bentuk, yaitu: edible film, edible coating, dan enkapsulasi. Hal yang

membedakan edible coating dengan edible film adalah cara

pengaplikasiannya. Edible coating langsung dibentuk pada produk,

sedangkan pada edible film pembentukannya tidak secara langsung pada

produk yang akan dilapisi/dikemas. Enkapsulasi adalah edible packaging

yang berfungsi sebagai pembawa zat flavor berbentuk serbuk.

Fungsi dari edible film sebagai penghambat perpindahan uap air,

menghambat pertukaran gas, mencegah kehilangan aroma, mencegah

perpindahan lemak, meningkatkan karakteristik fisik, dan sebagai

pembawa zat aditif. Edible film yang terbuat dari lipida dan juga film dua

lapis (bilayer) ataupun campuran yang terbuat dari lipida dan protein atau

polisakarida pada umumya baik digunakan sebagai penghambat

perpindahan uap air dibandingkn dengan edible film yang terbuat dari

protein dan polisakarida dikarenakan lebih bersifat hidrofobik. Jumlah

karbondioksida dan oksigen yang kontak dengan produk merupakan salah

satu yang harus diperhatikan untuk mempertahan kualitas produk dan

akan berakibat pula terhadap umur simpan produk (Lee dan Wan, 2006

dalam Hui, 2006).

Edible film dapat bergabung dengan bahan tambahan makanan dan

substansi lain untuk mempertinggi kualitas warna, aroma, dan tekstur

produk, untuk mengontrol pertumbuhan mikroba, serta untuk

meningkatkan seluruh kenampakan. Asam benzoat, natrium benzoat,

asam sorbat, potasium sorbat, dan asam propionat merupakan beberapa

31
antimikroba yang ditambahkan pada edible film untuk menghambat

pertumbuhan mikroba. Asam sitrat, asam askorbat, dan ester lainnya,

merupakan beberapa antioksidan yang ditambahkan pada edible film

untuk meningkatkan kestabilan dan mempertahankan komposisi gizi dan

warna makanan dengan mencegah oksidasi ketengikan, degradasi, dan

pemudaran warna (discoloration) (Cuppett, 1994 dalam Krochta, Baldwin,

dan Nisperos-Carriedo, 1994).

2.7 Bahan Tambahan

2.7.1 Silikon Dioksida (SiO)

Silikon dioksida atau silika adalah salah satu senyawa kimia yang

paling umum. Silika relatif tidak reaktif terhadap CI 2, H2, asam-asam dan

sebagaian besar logam pada suhu 25 0C atau pada suhu yang lebih tinggi,

teapi dapat diserang oleh hidroksida alkali dan leburan-leburan karbonat.

Bentuk-bentuk silika merupakan beberapa struktur kristal yang penting

bukan saja karena silika merupakan zat yang melimpah dan berguna,

tetapi karena strukturnya adalah unit yang mendasar dalam kebanyakan

mineral.

2.7.2 Gliserol

Gliserol memiliki sifat plastik maka ditambahkan berbagai enis

tambahan atau aditif. Bahan tambahan ini sengaja ditambahkan dan

berupa komponen bukan plastik yang diantaranya berfungsi sebagai

plasticizer, penstabil pangan, pewarna, penyerap UV dan lain-lain. Bahan

itu dapat berupa senyawa organik maupun anorganik yang biasanya

32
mempunyai berat molekul rendah. Plasticizer merupakan bahan tambahan

yang diberikan pada waktu proses agar plastik lebih halus dan luwes.

Fungsinya untuk memisahkan bagian-bagian dari rantai molekul yang

panjang.

BAB III. METEDOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari - Juni 2018 di Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian Kimia, Pusat

Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPITEK) Tangerang

Selatan, Serpong.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah pati sagu yang

berasal dari daerah Ambon. Bahan Kimia yang digunakan untuk

pembuatan pati sagu modifikasi cross-link adalah Silikon Dioksida (SiO),

33
Natrium Hidroksida (NaOH), Natrium Asetat (CH 3COONa). Sedangkan

bahan yang digunakan untuk pembuatan edible film adalah pati sagu

modifikasi cross-link, aquades dan gliserol.

Peralatan yang digunakan dalam modifikasi pati sagu dan

pembuatan edible film adalah cawan persolin,cawan petri, oven, desikator,

saptula, timbangan, penjepit, gelas piala, termometer, stopwatch,

lumpang, alu, erlenmeyer, water bath, hot plate, vakum dan alat-alat lain

untuk analisis.

3.3 Metode Penelitian

Data hasil penelitian akan dilakukan secara deskripsif dan disajikan

dalam bentuk tabel dan grafik.

3.3.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan pati sagu yang telah dimodifikasi

melalui metode cross-link dengan konsentrasi Natrium Asetat

(CH3COONa) yang bervariasi yaitu : 10%, 15%, dan 20% yang bertujuan

untuk mendapatkan pati modifikasi yang layak untuk dijadikan bahan

dasar dalam pembuatan edible film. Diagram alir proses pembuatan pati

sagu modifikasi cross-link tersebut dapat diliat pada Gambar 2. Sagu

murni ditimbang 25 g dan ditambahkan H 2O 100 ml, 0.05 g Silikon

Dioksida (SiO) diaduk selama 5 menit, ditambahkan 1 g Natrium

Hidroksida (NaOH) yang dilarutkan dalam 50 ml H 2O diaduk selama 20

menit, kemudian larutkan Natrium Asetat (CH 3COONa) dengan variasi

10%, 15% dan 20% dari berat pati yang dilarutkan dalam 50 ml H 2O,

34
diaduk selama 15 menit. Dipanaskan di water bath dengan suhu 400C

selama 1 jam, kemudian saring dengan menggunakan vakum lalu tuang

kedalam cawan dan keringkan dalam oven suhu 50 0C selama 3 jam.

Pati Sagu (25 g) + H2O (100 ml)

Mixing I
( SiO 0,05 g + H2O 50 ml)

Mixing II
( NaOH 1 g + H2O 50 ml)

Mixing III
(CH3COONa 10%, 15% dan 20% dari W pati + H2O 50 ml)

Pemanasan
(T= 40 0C, t= 1 jam)

Penyaringan

Pengeringan
(T= 500C, t= 3 jam) 35
PATI SAGU
CROSS-LINK

Gambar 3.2. Alur Proses Modifikasi Cross-Link

3.3.2 Penelitian Tahap Kedua

Penelitan pada tahap kedua pati sagu yang telah dimodifikasi

dianalisi secara karakteristik diantaranya kadar air, swelling power, kadar

abu, gelatinisasi, kadar amilosa, kadar protein, kadar lemak.

3.3.2.1 Analisis Kadar Air (AOAC, 2000)

Cawan kosong pada oven dengan suhu 105 0C selama 3 jam.

Kemudian dipindahkan kedalam desikator hingga dingin, lalu ditimbang

sebanyak 3 g pati sagu ke dalam cawan kemudian lalu di oven dengan

suhu 1050C selama 3 jam. Setelah kering, cawan sampel dipindahkan

kedalam desikator. Setelah dingin, cawan ditimbang kembali dan memulai

menghitung kadar air dengan rumus sebagai berikut :

(W +W 1)−W 2
% Kadar Air = × 100 %
W1

Dimana :

W = Berat cawan kosong setelah dikeringkan

36
W1 = Berat sampel sebelum dikeringkan

W2 = Berat sampel setelah dikeringkan

3.3.2.2 Analisis Swelling Power (Sennayake et al, 2013)

Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g dilarutkan dalam 50 ml aquades

dan dimasukkan kedalam erlenmeyer 100 ml yang telah diketahui

bobotnya. Suspensi tersebut ditempatkan pada water bath dengan suhu

700C selama 2 jam dengan pengadukan kontinyu. Sebanyak 30 ml larutan

yang jernih dimasukkan ke cawan petri yang telah diketahui bobotnya.

Keringkan cawan berisi larutan dan erlenmeyer yang berisi endapan

dalam oven suhu 1000C selama 5 jam. Kemudian ditimbang dan dihitung

dalam rumus sebagai berikut :

Indeks kelarutan dalam air (%) =

Penambahan bobot ×50 ml


× 100 %
Bobot sampel ×larutan jernih yang diambil

Bobot pasta yang mengendap


Swelling point =
Bobot sampel ×(100−%indeks kelarutan)

3.3.2.3 Analisis Kadar Abu (AOAC, 2000)

Cawan kosong dengan kondisi tertutup di masukkan ke dalam

furnace dengan suhu 5500C selama 24 jam. Kemudian pindahkan

kedalam desikator dan disimpan selama 30 menit. Kemudian cawan

kosong ditimbang dengan penutupnya dengan 3 angka decimal. Dan

tambahkan 5 g sampel pati sagu didalam cawan kemudian ditimbang.

Kemudian cawan yang berisi sampel dimasukkan kedalam furnace

37
dengan suhu 2000C dan 5500C selama 6 jam. Kemudian dinginkan

kedalam desikator selama 30 menit dan pastikan sampel sudah jadi abu.

Kemudian timbang cawan dengan kodisi tertutup dan lakukan perhitungan

sebagai berikut :

% Kadar Abu =

Berat abu ( sanpel ) setelah difurnace−Berat cawankosong


× 100 %
Berat sampel sebelum dioven

3.3.2.4 Suhu Gelatinisasi (Akpa et al, 1994)

Pati sagu ditimbang sebanyak 1,5 g dan tambahkan H2O sebanyak

10 ml kemudian diukur pHnya. Larutan distirrer didalam waterbath.

Gunakan termometer untuk mengetahui suhu saat terbentuk gel atau

warna larutan milky.

3.3.2.5 Kadar Amilosa (AOAC, 2016)

 Penetapan Standar Amilosa

Amilosa murni ditimbang 0,01 dimasukkan ke dalam beker gelas, lalu

ditambahkan 0,25ml etanol 95%. Kemudian ditambahkan 2,25 NaOH dan

dipanaskan dalam penangas selama 10 menit dengan suhu 50 0C. Setelah

itu ditambahkan H2O dan ditera dalam 25 ml. Siapkan labu ukur 50 ml 5

buah dan masing-masing diberi label 4 ppm, 8 ppm, 12 ppm, 16 ppm, 20

ppm. Lalu pada masing-masing labu dipipet amilosa murni 1 ml (4 ppm), 2

ml (8 ppm), 3 ml (12 ppm), 4 ml (16 ppm), 5 ml (20 ppm). Kemudian

tambahkan CH3COOH 0,2 ml ( 4 ppm), 0,4 ml (8 ppm), 0,6 ml (12 ppm),

0,8 ml (16 ppm), 1 ml ( 20 ppm). Kemudian tambahkan Iod 2 ml pada

38
masing-masing larutan lalu tera kedalam labu 100 ml. Diamkan 20 menit

dan ukur absorbansi λ= 620 nm.

 Pengujian Kadar Amilosa pada Sampel

Sampel ditimbang 100 mg + 1 ml etanol 95% ditambahkan 9 ml

NaOH 1 N dan dipanaskan dalam penangas selama 10 menit dengan

suhu 500C. Tambahkan H2O hingga tera dalam labu 100 ml, dikocok.

Diambil 1 ml sampel ke dalam labu 50 ml dan tambahkan 1 ml CH3COOH

1N dan 2 ml Ki 2% ditera dengan H2O. Diamkan selama 20 menit hingga

berubah warna. Kemudian ukur absorbansi λ= 620 dan hitung kadar

amilosa dalam rumus :

Absorbansi × Fk ×V ×100
Kadar amilosa % = × 100
W

3.3.2.6 Kadar Protein (Northrop, 1926)

Pati sagu ditimbang 5 g yang dilarutkan dengan aquades didalam

labu ukur 100 ml hingga tera. Kemudian 10 ml suspensi pati sagu diambil

dan dipindahka kedalam erlenmeyer lalu ditambahkan 20 ml aquades , 0.4

ml K2SO4 0.5 M dan 3-4 tetes indikator PP. Kemudian dititrasi kembali

dengan NaOH 0.1 N. Lalu larutkan blanko dititrasi, hitung sesuai dengan

rumus sebagai berikut :

Kadar N % =

( V titer sampel−V titer blanko ) × N NaOH ×100 × 14,008


Berat sampel ×1000

Kadar Protein = %N × Fk (6,25)

39
3.3.2.7 Kadar Lemak (Horwitz, 2000)

Timbang 5 g pati sagu, setelah ditimbang masukkan kedalam

selongsong kertas lalu distriples. Solongsong kemudian dimasukkan

kedalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi

batu didih yang telah dikeringkan. Lalu di extrak dengan N-heksan 300 ml

selama 6 jam. Ekstrak lemak kemudian dipindahkan kedalam erlenmeyer

yang telah diketahui bobotnya, evaporator hingga heksan menyisahkan

lemak kemudian oven dengan suhu 105 0C lalu dipindahkan ke desikator

untuk didinginkan dan kemudian ditimbang. Dan pengeringan diulang

hingga bobot konstan.

W 2−W 1
% Lemak = ×100 %
W

Keterangan :

W = bobot sampel

W 1= bobot erlenmeyer sebelum dikeringkan

W 2= bobot erlenmeyer setelah dikeringkan

3.3.2.8 Penelitian Tahap Ketiga

Pembuatan edible film dari penelitian tahap kedua yang

menghasilkan pati sagu modifikasi yang terbaik yang diliat dari pengujian

parameter, digunakan sebagai acuan pembuatan edible film. Adapun

alaur proses pembuatan edible film dapat diliat pada Gambar 3. Sampel

modifikasi Cross-link 15% sebanyak 2,5 g ke dalam beker gelas dan tambahkan

H2O 50 ml, lalu panaskan ke dalam hot plate suhu 80 0C sampai membentuk gel.

Sampel yang sudah terbentuk gel ditambahkan gliserol sebanyak 1,25 ml aduk

40
sampai rata. Setelah itu tuang ke dalam cawan yang sudah disediankan

kemudian masukkan ke dalam oven suhu 500C selama 24 jam, dan didiamkan di

suhu ruangan (280C) kurang lebih 3 hari.

Pati Sagu

Pemanasan

(T = 800C, t = 15-20 menit)

Pencampuran

Larutan Edible Film

Pencetakan

Pengeringan

(T= 500C, t= 24 jam)

Edible Film

Gambar 3.3. Alur Proses Edible Film

41
3.3.2.9 Krakterisasi Edible Film

3.3.3 Kandungan Air (Genevois et al., 2016)

Kelembaban sampel film ditentukan dengan menerapkan metode

gravimetri dua langkah. Pertama, sampel dikeringkan dalam oven (110 ° C

– 24 jam) dan, kedua, disimpan dalam desikator sampai berat konstan

tercapai. Hasil akhir dinyatakan sebagai g air per 100 g film kering.

Mo−M
Kandungan Air %= ×100 %
Mo

Di mana: Mo = berat sampel sebelum pengeringan (g)

               M = berat erlenmeyer setelah pengeringan (g)

3.3.4 Hidrofobik Permukaan (Bangyekan et al 2005)

Sudut kontak dari film yang disiapkan dinilai dengan prosedur yang

direkomendasikan oleh Bangyekan et al (2005). Sebuah model pengukur

sudut kontak CAM-PLUS MICRO (Tantec Inc., USA) digunakan untuk

mengevaluasi keterbasahan sampel film.

42
43

Anda mungkin juga menyukai