SKRIPSI
Oleh:
Kata kunci : GCWSS, Metode alkohol-alkali, Pati alami, Pati modifikasi, Sifat
fungsional
iii
ABSTRACT
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena
dengan izin dan ridho-Nya sehingga skripsi dengan judul “Kajian Sifat
Fungsional Granular Cold Water Swelling Starch dari Aneka Jenis Pati” dapat
diselesaikan. Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
adanya bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan
1. Yana Cahyana, S.TP., DEA., Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
3. In-in Hanidah, S.TP., M.Si selaku penelaah yang telah memberikan saran serta
4. Dr. Tita Rialita, S.Si., M.Si selaku dosen wali yang selalu memberikan
v
5. Dr. Ir. Mohamad Djali, M.S selaku Ketua Departemen Teknologi Industri
Pangan.
6. Dr. Ir. Edy Suryadi, M.T selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri Pertanian.
7. Seluruh civitas akademika FTIP yang telah mengayomi penulis selama berada
di kampus.
8. Ayah, Ibu, Embah, Dinar, Diar atas segala kasih sayang, do’a, dukungan moril
10. Teman seperjuangan di Teknologi Industri Pangan Unpad 2015 yang telah
11. Segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, namun telah
skripsi ini.
Penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan
Penulis
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK.............................................................................................................iii
ABSTRACT............................................................................................................iv
KATA PENGANTAR............................................................................................v
DAFTAR ISI........................................................................................................vii
DAFTAR TABEL..................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................xii
I. PENDAHULUAN..............................................................................................1
vii
2.6. Granular Cold Water Swelling Starch (GCWSS)..................................16
2.7.5. Viskositas.........................................................................................23
3.2. Hipotesis.................................................................................................30
4.2.1. Alat...................................................................................................31
4.2.2. Bahan...............................................................................................31
5.6. Viskositas................................................................................................55
6.1. Kesimpulan.............................................................................................59
6.2. Saran.......................................................................................................59
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................60
RIWAYAT HIDUP..............................................................................................67
LAMPIRAN..........................................................................................................69
ix
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
x
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
1. Struktur Amilosa..................................................................................................8
2. Struktur Amilopektin...........................................................................................9
5. Konversi Granula Pati Tipe A Menjadi Tipe V dengan A Sebagai Amilosa dan
B Sebagai Amilopektin........................................................................................17
11. (A) Kentang GCWSS (B) Singkong GCWSS (C) Pisang GCWSS (D)
Gandum GCWSS...............................................................................................93
12. Suspensi Pati GCWSS Konsentrasi 3% (A) Kentang GCWSS (B) Singkong
GCWSS (C) Pisang Kapas GCWSS (D) Gandum GCWSS.............................93
xi
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1. Prosdur Analisis.................................................................................................70
xii
I. PENDAHULUAN
polimer glukosa yang terdiri dari amilosa dan amilopektin (Jacobs dan Delcour,
2002). Pati tersimpan dalam bentuk granula dan terdapat pada hampir semua
bagian tumbuhan hijau yaitu tersimpan dalam jaringan dan organ tumbuhan
seperti daun, kayu, buah, biji dan akar (Preiss, 2004). Pati tumbuhan tersusun atas
tiga molekul yaitu amilosa, amilopektin dan bahan antara seperti protein dan
makanan olahan.
misalnya industri kertas, lem, tekstil, permen, glukosa, dekstrosa dan sirup
fruktosa (Koswara, 2009). Majzoobi et al, (2015) menyatakan bahwa pati yang
digunakan oleh industri pangan berfungsi sebagai tickening agent atau penambah
viskositas (kekentalan) bahan pangan dan sebagai stabilizer atau penstabil bahan
pangan. Dalam industri pangan, pati digunakan sebagai bahan dasar pembuatan
makanan yang diolah secara instan seperti pudding, cold desserts, makanan bayi,
di samping juga digunakan sebagai bahan campuran untuk bahan yang banyak
mengandung zat tidak tahan panas seperti vitamin, zat pewarna dan flavor.
Sumber pati yang sering digunakan umumnya berasal dari barley, jagung,
kentang, gandum, singkong, beras dan pisang (Mohamad Yazid et al., 2018;
Rafida, 2017). Terdapat potensi ekstraksi pati dari sejumlah komoditas yang lazim
1
2
tropis seperti Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (2018) mencatat bahwa
total produksi di indonesia pada tahun 2017 mencapai 7,162,680 Ton, kemudian
karbohidrat terbesar ketiga setelah padi dan jagung, pada tahun 2015 Indonesia
berhasil memproduksi 21,80 juta ton dan diproyeksikan akan terus meningkat, dan
produksi terbesar berada pada pulau Jawa (Kementrian Pertanian, 2016). Selain
umumnya diproduksi di pulau Jawa dan pada tahun 2016 memproduksi sebesar
gandum (Triticum sp) yang merupakan bahan baku dari pembuatan tempung
untuk memenuhi kebutuhannya (Yanuarti dan Afsari, 2016) luas panen gandum
dunia pada tahun 2014 mencapai 246,620 juta hektar, hal ini menjadikan gandum
komoditas gandum ini dapat dilakukan pengolahan menjadi bahan setengah jadi
seperti membuat pati terlebih dahulu agar dapat menaikan nilai jual. Rendemen
pati
yang dimiliki oleh suatu komoditas pastinya berbeda, pisang memiliki rendemen
yang dimiliki pisang kapas ini sebesar 21,36% (bk) (Rafida 2017). Komoditas
singkong memiliki rendemen sebesar 18,744% (bk) dari berat daging buah
memiliki rendemen sebesar 17,33% (bk), sementara untuk pati gandum menurut
dalam sebutir gandum sebesar 60-75% (bk) dari total bobot kering dan menurut
seperti viskositas (viscocity), gel formation dan kejernihan pasta (paste clarity).
dalam industri seperti kurangnya solubility jika diproses pada temperatur rendah,
Perbaikan sifat fungsional pati alami agar pati tersebut dapat digunakan
secara lebih luas, dilakukan dengan cara memodifikasinya secara fisik, kimia
fisik atau kimia yang dimiliki pati alami sehingga pati modifikasi yang dihasilkan
memiliki sifat fungsional yang lebih baik seperti derajat kecerahan yang lebih
tinggi (warna pati lebih putih), retrogradasi yang lebih rendah, tingkat kekentalan
lebih rendah, gel yang terbentuk lebih jernih, kekuatan untuk merenggang lebih
rendah,
granula pati lebih mudah untuk pecah, waktu dan suhu gelatinisasi yang lebih
cepat dan rendah dibandingkan pati alami (Koswara, 2009). Dengan adanya
memanfaatkan pati modifikasi secara lebih luas untuk membuat produk yang
(GCWSS), tergantung pada proses pemberian perlakuan fisik atau kimia terhadap
pati alami. (Chen dan Jane, 1994) menyatakan bahwa pati PGS dan pati GCWSS
dapat menyerap air dan meningkatkan viskositas lebih cepat pada suhu ruang bila
dibandingkan dengan pati alami. Pati PGS secara umum dihasilkan dari pati alami
bantuan alat drum drying, proses ekstraksi atau spray drying (Anastasiades et al
dikutip
tekstur berpasir, tidak mengkilap dan gel yang terbentuk terlalu lemah.
sebagai bahan untuk menghasilkan aneka jenis makanan. Kekurangan pati PGS
dapat diatasi dengan cara memodifikasi pati alami menggunakan metode tertentu
Pati GCWSS dapat diproduksi dengan cara menginjeksi bubur pati alami
ke dalam pipa semprot atau nozzle (Pitchon et al., 1981), namun cara ini
dalam tekanan yang tinggi (Eastman dan Moore, 1984) atau dengan menerapkan
metode alkohol-alkali (Jane et al., 1986). Dries et al, (2014) menerangkan bahwa
berupa pelarut etanol pada suhu tinggi akan membentuk granula pati tipe V yang
memiliki kelarutan tinggi dalam air pada suhu ruang. Teknik modifikasi yang
campuran air dan pelarut organik (Chiu dan Solarek, 2009). Pada penelitian
pembuatan pati GCWSS yang lain, Eastman dan Moore, (1984) membuat pati
GCWSS menggunakan campuran air dan alkohol pada suhu dan tekanan tinggi;
Zhang et al, (2012) menggunakan campuran air dan alkohol pada suhu tinggi dan
pada suhu tinggi dan tekanan atmosfer; Jane et al, (1986) menggunakan metode
dalam larutan alkohol yang dilakukan pada suhu ruang dengan menggunakan
tekanan atmosfer akan menghasilkan pati yang lebih jernih, viskositas yang lebih
tinggi dan lebih halus (Hedayati et al., 2016). Singh dan Narpider (2003)
GCWSS, seperti konsentrasi alkohol, jumlah dan konsentrasi larutan alkali, serta
suhu yang digunakan. Penelitian pembuatan pati GCWSS juga dilakukan oleh
beberapa
peneliti di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2018) dan Sawitri
(2018) masih memiliki kekurangan dan perlu adanya modifikasi metode. Salah
satu modifikasi yang dapat dilakukan adalah dengan cara menggunakan suhu
reaksi yang berbeda-beda, karena suhu akan mempengaruhi sifat fungsional pati
yang dihasilkan.
yang lebih baik, dan ada pula penelitian yang membandingkan karakteristik pati
modifikasi, namun menggunakan sumber pati yang berbeda. Pada sisi yang lain,
di Indonesia terdapat beberapa bahan yang biasa digunakan sebagai sumber pati
yaitu kentang, pisang, jagung dan gandum, beberapa bahan tersebut cukup banyak
dihasilkan di Indonesia.
berbahan singkong, kentang, pisang kapas dan gandum dalam menghasilkan sifat
fungsional terpilih?.
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk memodifikasi pati alami berbahan
singkong, kentang, pisang kapas, dan gandum dengan metode GCWSS agar
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menetapkan jenis pati terbaik untuk
fungsional terpilih.
granular cold water swelling starch (GCWSS) dari pati alami dengan sifat
fungsional terpilih.
tersebut dapat diaplikasikan sebagai dasar dalam penggunaan pati produk lokal
yang diinginkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Silva Clerici, 2019). Kadar kandungan amilosa dan amilopektin dalam granula
pati akan berbeda-beda tergantung jenis bahan panghasil pati. Tester, Karkalas
dan Qi (2004) menyatakan bahwa jumlah amilosa dan amilopektin berkisar antara
menjadi tiga jenis yaitu waxy starch yang memiliki kadar amilosa kurang dari
15%, pati normal yang memiliki kadar amilosa sekitar 20% - 35% dan pati
tertinggi memiliki kadar amilosa lebih dari 40% (Tester, Karkalas dan Qi., 2004).
8
9
Amilosa tersusun atas ikatan α-1,4 glikosidik dengan sedikit ikatan α-1,6
glikosidik yang memiliki struktur rantai yang linier dan panjang, di mana struktur
ini cendrung memiliki bentuk heliks (Finnie dam Atwell, 2016; Schmiele,
terhadap air dan meningkatkan suhu gelatinisasi (Copeland et al., 2009; Schmiele,
tersusun atas ikatan α-1,4 glikosidik yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan
dengan ikatan α-1,6 glikosidik (Schmiele, Sampiao dan Pedrosa, 2019). Berbeda
dengan amilosa, amilopektin larut dalam air karena amilopektin tidak memiliki
akan lebih lemah dibandingkan amilosa. Amilosa dan amilopektin memiliki sifat
Pati pisang dapat digunakan sebagai sumber pati alami oleh industri.
Kandungan pati tertinggi yang dapat diambil dari pisang adalah pada saat pisang
tersebut masih mentah atau berwarna hijau. Kandungan pati pisang akan
Penurunan kandungan pati tersebut terjadi karena adanya perubahan struktur pati
menjadi struktur yang lebih sederhana (glukosa). Happi et al, (2007) menunjukan
Tingkat Kematangan
Gambar 3. Tingkat Kandungan Pati dan Total Gula berdasarkan Tingkat
Kematangan Pisang
(Sumber: Happi et al., 2007)
Khusus pati yang berasal dari jenis pisang kapas, Rafida (2017)
menunjukan bahwa pati pisang kapas memiliki rendemen sebesar 21.36% berat
kering. Rata-rata kandungan pati pisang pada saat fase klimaterik sebesar 70-80%
dan terus menurun hingga pada akhir fase klimaterik (Cordenunsi dan Lajolo,
al., 2005). Selain itu, Rohmah (2013) menunjukan bahwa pati pisang kapas
mana kadar amilosa dan amilopektin ini akan mempengaruhi sifat fungsional pati
serta akan mempengaruhi proses gelatinisasi pati. Kadar amilosa yang tinggi akan
rendah menyebabkan pati akan mengental (Tester dan Morisson, 1990 dikutip
termodifikasi dengan karakteristik dan sifat fungsional yang lebih baik. Selain
menunjukan bentuk fisik granula pati pisang kapas bila dilihat menggunakan
Secara umum, granula pati pisang memiliki ukuran sebesar 4.4 μm – 35.0
μm (Rafida, 2017). Semakin kecil ukuran granula akan semakin mudah pati
dan padi (Shevkani., et al, 2017). Komposisi kimia pati gandum terdiri dari
kandungan protein yang rendah ini menandakan bahwa pati gandum ini bebas
gluten dan sudah diketahui lebih lanjut bahwa pati yang memiliki kandungan
protein kurang dari 0,23% dapat dikatakan pati bebas gluten (Skerritt dan Hill,
1992).
granula dipengaruhi oleh tingkat kematangan biji gndum. Ukuran granula gandum
dapat dikelompokan ke dalam tiga tipe, yaitu tipe A terdiri dari granula berukuran
besar, tipe B terdiri dari granula berukuran sedang, dan tipe C untuk kelompok
granula berukuran kecil. Granula tipe A memiliki rata-rata diameter sepanjang 23-
28 µm, granula tipe B memiliki rata-rata diameter sepanjang 9-11µm dan granula
kentang. Kandungan pati dalam umbi kentang berkisar antara 15%-20% dari total
berat umbi kentang (Bertoft dan Blennow, 2016). Bila dibandingkan dengan pati
dari komoditas lain, salah satu ciri khas pati kentang adalah struktur granulanya
halus dan berukuran besar. Sifat fungsional pati kentang cukup baik, diantaranya
memiliki viskositas yang tinggi, membentuk pasta dan gel dengan tingkat
konsistensi yang tinggi dan memiliki tingkat kejernihan yang tinggi. Sifat
fungsional pati kentang yang cukup baik sangat dibutuhkan dalam pembuatan
kekurangan, diantaranya tingkat kelarutan dalam air dingin sangat kecil. Jivan,
Yarmand dan Madadlou (2014) menyatakan bahwa tingkat kelarutan pati alami
kentang sebesar 4% dan meningkat menjadi 23% bila dilarutkan dalam air
bersuhu 35oC. Bila pati alami tersebut dimodifikasi menjadi pati GCWSS, maka
tingkat kelarutannya naik menjadi 51% dan meningkat menjadi 74% bila
modifikasi dilakukan pada suhu 35oC. Tabel 4 menyajikan karakteristik kimia pati
kentang.
Tabel 4. Karakteristik Kimia Pati Kentang
Karakteristik Karakteristik
Kadar (%) Kadar (%)
Kimia Kimia
Lemakb 0,1
Abub 0,2-0,3 Pati
Proteinb 0,1 - Amilosaa 19,0-22,0
a b
Sumber: (Gomand et al., 2010 ; Dhital et al., 2011 )
satu sumber pati. Pati singkong sering disebut dengan tepung tapioka. Pati
makanan seperti mie, makanan bayi, puding, thickener dan stabilizer. Pati
menjadi pati singkong, maka akan memiliki rendemen sebesar 18,744%. Umbi
singkong harus dalam keadaan segar jika ingin diambil patinya. Dalam waktu 24
jam setelah pemanenan umbi singkong harus segera diolah menjadi pati. Tingkat
rendemen umbi singkong yang diolah menjadi pati dipengaruhi oleh berbagai
singkong.
memodifikasi pati alami sehingga dihasilkan pati modifikasi yang memiliki sifat
fungsional yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau industri. Pati
GCWSS adalah suhu pelarutan rendah, lebih cepat terdispersi dalam air dingin
dan mampu membentuk pasta yang kental dalam air dingin. Majzoobi et al.
bermanfaat bila pati GWCSS digunakan sebagai bahan dasar pembuatan produk
yang memiliki komponen yang sensitif terhadap panas seperti vitamin, zat
pewarna dan flavor. Produk GCWSS juga sangat baik digunakan dalam
pembuatan produk makanan instan seperti cold desserts, instant baby food, pie
beberapa metode. BeMiller dan Huber (2015) menyatakan metode pertama untuk
menghasilkan pati GCWSS yaitu pati dipanaskan dalam larutan etanol dengan
metode kedua yaitu dilakukan pemanasan bubur pati secara cepat menggunakan
tergelatinisasi yang sudah kering di dalam alat spray-dried dan metode ketiga
yaitu dilakukan modifikasi pati menggunakan alkali dan larutan alkohol pada suhu
25 oC
-35oC.
Proses pembuatan pati alami menjadi pati GCWSS dilakukan dengan cara
pati alami dicampur dengan basa kuat dalam air, sehingga proton pada –OH
terdisosiasi dan meninggalkan ion negatif pada molekul pati, akibatnya terjadi
gaya tolak menolak antar molekul sehingga granula pati mengembang. Langkah
Fungsi amilosa dalam proses ini adalah sebagai konektor antar molekul
single helix dengan alkohol tersimpan di dalam celah-celah yang ada pada rantai
struktur granula pati yang berubah dari tipe A menjadi tipe V akibat adanya
GCWSS sehingga pada saat dilarutkan dalam air akan lebih mudah dan cepat
alami yang digunakan, konsentrasi etanol dan NaOH yang diberikan, serta derajat
semakin tinggi konsentrasi NaOH dan semakin tinggi suhu reaksi akan
menghasilkan pati GCWSS dengan kelarutan yang tinggi. Selain itu, sumber pati
alami yang digunakan akan mempengaruhi tingkat kelarutan pati GCWSS yang
dihasilkan.
Beberapa sifat fisiko-kimia pati GCWSS yang dapat diamati dan diukur
Tingkat kelarutan pati menunjukan berat pati yang larut dalam air.
Besarnya tingkat kelarutan pati dapat diukur dengan cara menimbang banyaknya
pati yang mengendap (supernatan) akibat adanya gaya sentrifugal pada suhu 25oC
(Rajagopalan dan Seib, 1992; Baah, 2009). Umumnya pati tanpa modifikasi atau
pati alami tidak larut dalam air dingin, namun pati akan larut jika suhu air 60 oC
Kelarutan pati dalam air dingin tergantung pada kadar amilosa dan
amilopektin yang dimiliki pati. Rashmi dan Urooj (2003) menyatakan jika
pati akan lebih basah, lengket dan akan sedikit menyerap air. Kelarutan pati
disebabkan oleh adanya leaching amilosa yang berdifusi keluar dari granula pati
selama masa pembengkakan (Sun et al, 2013 dikutip Rosmala, 2017)). Cui,
(2005) menjelaskan bahwa kelarutan pati juga dipengaruhi oleh adanya perbedaan
ukuran granula pati. Granula pati berpartikel kecil akan memiliki kelarutan yang
tinggi. Modifikasi pati alami secara fisik maupun kimia diharapkan akan
ke dalam granula pati dan pati dapat larut dalam air dingin. Zhu, Liu dan Gao
yang terlalu
rendah akan menyebabkan pati tergelatinisasi secara berlebihan sehingga akan
mengurangi kelarutan pati dalam air dingin. Hasil penelitian Pratiwi (2018) dan
Sawitri (2018) mendapatkan nilai kelarutan (cold water solubility) pati GCWSS
pisang kapas masing-masing sebesar 13,24 ± 0,81 % dan 12,80 ± 0,58 %, hasil
penelitian Choi, Baik, dan Kim (2017) menunjukan nilai kelarutan pati GCWSS
volume dan berat maksimum pati jika dimasukan ke dalam air (Balagopalan et al.,
1988 dikutip Rahman, 2007). Rahman (2007) menjelaskan bahwa granula pati
akan
hidrasi granula pati mencapai maksimum. Hidrasi granula pati oleh air
terjadinya pemutusan ikatan hidrogen antar molekul pati pada daerah amorf.
diletakan pada waterbath selama 30 menit dengan suhu ±20°C sambil diaduk
dengan interval waktu selama 5 menit, lalu dilakukan sentrifugasi selama 30 menit
penghitungan nilai swelling power, nilai hasil perhitungan dikoreksi dengan nilai
carbohydrate leaching (CHL). Nilai CHL diperoleh dari proses penentuan jumlah
karbohidrat yang terdispersi keluar dari granula dengan menggunakan
amilosa dan amilopektin, dimana bila kandungan amilopektin lebih banyak maka
memiliki sifat menghambat proses swelling dan kelarutan (Pedrosa, Sampaio dan
Schmiele, 2019). Hasil penelitian Pratiwi (2018) dan Sawitri (2018) mendapatkan
nilai swelling power pati GCWSS pisang kapas masing-masing sebesar 33,99 ±
membengkak dan mengisi ruang kosong pada suspensi pati. Bentuk dan distribusi
ukuran granula akan mempengaruhi konsentrasi pati yang dibutuhkan untuk close
packing, di mana ketika granula mengalami close packed maka jumlah amilosa
Nilai C* akan semakin meningkat bila pati alami sudah termodifikasi. Pati
konsentrasi lebih tinggi akan memiliki granula pati yang mengembang sempurna
yang mengisi ruang kosong yang tersedia seperti ditunjukan pada gambar 6(b),
akan tetapi bilamana konsentrasi pati sangat tinggi maka granula pati tidak dapat
membengkak secara sempurna karena ruang yang tersedia sangat terbatas seperti
ditunjukkan pada gambar 6(c) (Eerlingen et al., 1997; Ahmed et al., 2017). Hasil
penelitian Pratiwi (2018) dan Sawitri (2018) mendapatkan nilai close packing
%.
larut, di mana amilosa ikut keluar bersama dengan air pada saat proses
amilosa yang terlarut ketika pati GCWSS disuspensikan ke dalam air bersuhu
ruang. Dries et al. (2016) menyatakan bahwa tidak ada karbohidrat yang keluar
nilai daya kembang (swelling power). Proses perhitungan nilai CHL dimulai
dan Sawitri (2018) mendapatkan nilai CHL pati GCWSS pisang kapas masing-
2.7.5. Viskositas
dari suatu fluida dapat mengalir. Viskositas pati sangat berkaitan erat dengan
akan semakin tinggi pula nilai viskositas yang didapatkan. Viskositas ini dapat
TVB-10W dengan alat tersebut mampu mengetahui besarnya hambatan laju yang
dialami oleh suspensi pati oleh spindel yang berputar akibat adanya gaya gesek
antara spindel dengan suspensi pati. Prinsip kerja dari alat ini adalah putaran
spindel, putaran yang dihasilkan dari gaya gesek antara spindel dan suspensi, dan
dilengkapi dengan 3 spindel, dan tiap spindel ini memiliki fungsi yang berbeda-
beda. Spindel dengan nomor yang semakin besar semakin kecil ukurannya, dan
spindel ini cocok untuk mengukur larutan atau fluida yang semakin kental.
adanya swelling pada pati dan kelarutan granula pati di dalam air. Pati GCWSS
diharapkan memiliki viskositas yang lebih tinggi pada suhu 25 oC karena pati
dengan pengolahan instan atau produk yang memiliki kandungan yang sensitif
terhadap panas seperti vitamin, pewarna, flavor dan komponen bioaktif (Majzoobi
et al., 2015). Hasil penelitian Pratiwi (2018) dan Sawitri (2018) mendapatkan nilai
viskositas pati GCWSS pisang kapas masing-masing sebesar 641,25 ± 69,57 cps
berperan dalam proses gelatinisasi dan akan memberikan karakterisitik pasta pada
pati. Sunarti et al, (2007) menyatakan bahwa gelatinisasi pati dengan kadar
amilosa yang tinggi akan membutuhkan energi yang lebih besar, hal ini akibat dari
struktur dan banyaknya rantai lurus yang dimilikinya. Pengukuran kadar amilosa
menghasilkan kompleks
berwarna biru. Intensitas warna biru ini dapat dilihat dengan menggunakan alat
(2018) mendapatkan nilai kadar amilosa pati GCWSS pisang kapas masing-
Pati sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan industri pangan atau non-
pangan. Karakteristik pati alami masih kurang bagus dan tidak sepenuhnya sesuai
(2009) berpendapat bahwa pati alami memiliki karakteristik yang tidak dapat
menyerap air dalam suhu dingin, memerlukan energi yang besar dan waktu yang
lama dalam prosesnya. Pati yang dapat larut dalam air dingin sangat dibutuhkan
penyajian seperti pudding, cold desserts, makanan bayi, sup, saus dan produk
pangan yang mengandung zat-zat yang sensitif terhadap panas seperti vitamin,
pewarna dan flavor (Majzoobi et al., 2015). Pati alami perlu dimodifikasi supaya
memiliki karakteristik yang lebih sesuai dengan karakteristik yang diperlukan oleh
masyarakat dan industri. Kelompok teknik modifikasi pati alami menjadi pati
yang larut dalam air dingin adalah granular cold water swelling starch (GCWSS).
GCWSS, dimana pati GCWSS tersebut dapat meningkatkan nilai viskositas yang
lebih tinggi dan dapat mengembang dalam air dingin bila dibandingkan dengan
pati alaminya dimana umumnya pati akan larut dan mengembang pada suhu 60-
70oC (Singh dan Singh, 2003). Modifikasi ini nantinya akan merubah struktur
menjadi struktur single helix kristal tipe V (Rajagopalan dan Seib, 1992), bentuk
single helix kristal tipe V ini diketahui akan mudah untuk larut pada suhu ruang
26
27
Beberapa metode pembuatan pati GCWSS telah banyak diteliti dan dikembangkan
seperti penelitian yang dilakukan oleh Pitchon et al, (1981). Pitchon et al, (1981)
membuat pati GCWSS dengan cara menginjeksikan bubur pati ke dalam pipa
semprot atau nozzle, namun pembuatan pati GCWSS dengan cara ini
yang lebih rendah, misalnya pembuatan pati GCWSS dengan cara pemanasan
menggunakan suhu tinggi terhadap pati yang dilarutkan ke dalam larutan alkohol
(Zhang et al., 2012) atau menggunakan metode alkohol-alkali (Chen dan Jane,
1994).
Salah satu metode yang umum diterapkan untuk memodifikasi pati alami
efisien dan mudah pada semua jenis pati (Hedayati et al., 2016). Dalam
yang konstan supaya terjadi reaksi yang efektif. Tahapan prosedur metode
molekular pada granula pati, sehingga pati memiliki tingkat kelarutan yang tinggi.
Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang diberikan maka akan semakin tinggi pula
tingkat kelarutan dari pati modifikasi, namun dengan seiring tingginya konsentrasi
NaOH yang diberikan pada suspensi pati maka pati tersebut akan tergelatinisasi.
Hasil dari memodifikasi pati alami menjadi pati GCWSS akan dilakukan
pengamatan terhadap lima sifat fungsional pati yaitu kadar amilosa, kelarutan
pengaruh modifikasi pati terhadap kadar amilosa dari pati alami. Solubility dapat
mempresentasikan granula pati yang larut dan mengembang dalam air bersuhu
25oC dan tidak terbentuk sedimen ketika diberi gaya sentrifugal (Rajaoopalan dan
Seib, 1992). Swelling power didefinisikan sebagai jumlah penyerapan air oleh pati
al., 2014). Nilai CHL dihitung berdasarkan penentuan total karbohidrat yang
keluar dari granula pati dan digunakan perbandingan dengan kurva standar
karbohidrat yang keluar dari granula pati ketika pati GCWSS dilarutkan dalam air
akan berdifusi keluar granula ketika pati mengalami pengembangan volume dan
membuat larutan menjadi keruh. Nilai close packing concentration (C*) besarnya
ruang kosong yang tersisa antara suspensi pati dan air pada suhu ruang. Tinggi
rendahnya nilai C* dipengaruhi oleh nilai swelling power, dimana semakin rendah
nilai C* maka semakin mengembangnya pati dan mengurangi ruang kosong antara
suspensi pati dan air. Nilai viskositas menurut Toledo, (2007) adalah suatu ukuran
ketahanan dari suatu fluida dapat mengalir. Nilai viskositas ini dipengaruhi dari
nilai swelling power, dan close packing concentration ketika pati tersebut
Pati alami yang dimodifikasi menjadi pati GCWSS telah dilakukan oleh
dan Singh, (2003) mengkaji karakteristik morfologis pati GCWS jagung dengan
dan menemukan bahwa kadar amilosa kedua pati GCWS lebih rendah
suhu terkontrol (25oC dan 35oC) dengan menggunakan pati alami pisang varietas
dengan suhu 35oC akan memiliki kelarutan yang lebih besar yakni sebesar 54,3 ±
mengurangi kelarutannya (J. Chen dan J. Jane, 1992 dikutip Bello-Pérez et al.,
oleh J Chen dan Jane, (1994b) menggunakan pati jagung dengan konsentrasi
menurut penelitian Jivan, Yarmand, dan Madadlou, (2014) yang juga menerapkan
metode alkohol-alkali, menggunakan pati alami kentang, suhu reaksi 25oC dan
35oC, NaOH
3N dan 40% etanol. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa pati modifikasi
tersebut memiliki kelarutan sebesar 51% dan 74%, dan mengungkapkan bahwa
kelarutan pati, kemudian penelitian yang telah dilakukan oleh Pratiwi (2018)
alkohol-alkali. Pati alami yang dimodifikasi berasal dari bahan singkong, kentang,
alami untuk tiap sumber pati tidak diperbandingkan, maka nilai karakteristik
3.2. Hipotesis
GCWSS berupa kadar amilosa, kelarutan (cold water solubility), daya kembang
viskositas.
IV. BAHAN DAN METODE
4.2.1. Alat
ayakan 100 mesh, beaker glass 250 ml, labu ukur 25, 50, 100, dan 250 ml,
spatula, waterbath, kertas saring, hot plate, sentrifugator beserta tabung, tabung
reaksi, pipet ukur, pipet volume, corong, UV-Vis spektrofotometer, kuvet, vortex
4.2.2. Bahan
Bahan pati yang digunakan adalah pati alami pisang kapas yang dibuat
hari setelah berbunga), panjang pisang +/- 17-20 cm dengan diameter +/- 4-5 cm
yang dibeli di Pasar Astana Anyar Bandung dan pati alami komersil yang terbuat
dari singkong dengan merek Sagu Ubi dari PT. Hadian Global Gemilang dengan
berat kemasan sebesar 620 g , selanjutnya kentang dengan merek dagang Mr.
Food
31
32
dari PT. Wadah Pangan Makmur dengan berat kemasan 150 g, dan gandum
dengan merek dagang Mamata Brand dari PO. Moon & Star Indonesia denan
Bahan-bahan kimia utama yang digunakan adalah larutan etanol pro analis
97% (Merck), NaOH 3M (Merck), larutan HCl pro analis 36% (Merck) dan
aquades. Disamping itu, digunakan pula bahan kimia pendukung berupa air,
larutan fenol 5% (Merck), larutan H2SO4 96% (Merck), larutan KI + iod 2%,
larutan CH3COOH 1N, larutan amilosa standar (Sigma), larutan glukosa standar
GCWSS yang dihasilkan dari pati alami berbahan singkong, kentang, pisang
kapas dan gandum. Seluruh pati GCWSS dibuat menggunakan metode alkohol-
alkali dengan bahan etanol pro analisis 97% dan NaOH 3N. Selama masa
percobaan, konsentrasi etanol tidak berubah sebesar 97% dan NaOH 3N, dengan
suhu reaksi tetap 35oC. Sifat-sifat fungsional yang diukur adalah kandungan
close packing concentration dan viskositas. Setiap sifat fungsional akan diukur
experiment) berupa jenis pati yang terdiri atas empat level yaitu pati GCWSS
singkong, pati GCWSS kentang, pati GCWSS pisang kapas dan pati GCWSS
gandum. Pengaruh konsentrasi alkohol, konsentrasi alkali dan suhu tidak diteliti
karena ketiganya bersifat konstan selama percobaan. Kombinasi jenis pati alami,
konsentrasi alkohol, konsentrasi alkali dan suhu reaksi akan menghasilkan empat
pati GCWSS dari tiap jenis pati alami, berikut pengukuran sifat fungsionalnya,
dalam tiap ulangan bersifat acak. Pengacakan urutan dilakukan dengan bantuan
KELOMPOK
1 2 3
C D B
B A D
D B C
A C A
kelompok sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian ini akan memiliki bentuk
seperti yang ditunjukan dalam Tabel 6. Terdapat empat perlakuan atau level dari
faktor pati yang akan diperbandingan. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali
perlakuan. Nilai sifat fungsional pati yang diamati untuk setiap perlakuan bersifat
acak, sehingga sifat fungsional pati merupakan variabel acak (random variable).
yij = μ + τi + βj + εij
sehingga j=1
SSP = 3 ∑(y̅ i. − y̅ .. )2 3 KT G
i=A
KTk = SSk Fk = KTk
Kelompok 2 3
SSk = 4 ∑(y̅ .j − y̅ .. )2 2 KT G
j=1
εij~N(0, σ2). Apabila hasil uji F pada taraf uji 5% mengindikasikan terdapat
maka akan
dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui perbedaan sifat fungsional pati
sebagaimana ditunjukan dalam tabel ANOVA menolak Ho, maka diakukan uji
dengan perlakuan lain untuk suatu variabel acak sifat fungsional. Identifikasi akan
dilakukan dengan cara menguji selisih rata-rata nilai variabel acak sifat fungsional
Ho : µi = µi’
H1 : µi ≠ µi’
µi dan µi’ merupakan nilai rata-rata populasi (popuation means) untuk variabel
acak sifat fungsional perlakuan i dan i’. Kriteria keputusan untuk uji Tukey adalah
sifat fungsional perlakuan i dan i’, α adalah tingkat signifikansi uji (significance
tabel ANOVA, sedangkan nilai 𝑞𝛼(𝑟, 𝑛𝑇 − 𝑟) berasal dari persentil atas (upper
tiap perlakuan tidak sama maka overall significance level maksimal sebesar α.
Prosedur uji Tukey juga dapat digunakan untuk membentuk interval kepercayaan
(confidence interval) dengan tingkat kepercayaan sebesar 1-α. Batas atas dan batas
bawah interval kepercayaan selisih rata-rata nilai variabel acak sifat fungsional
𝑦̅ 1 1
− 𝑞𝛼(𝑟,𝑛 𝑇−𝑟) ( + )
𝑦̅ ± √𝐾𝑇 𝐺
𝑖 𝑖′ √2 𝑛𝑖 𝑛𝑖′
dimana 𝑛𝑖 dan 𝑛𝑖′ merupakan banyaknya hasil pengukuran (data) variabel acak
sifat fungsional perlakuan i dan i’ dan KTG merupakan kuadrat tengah galat (mean
Dalam penelitian ini, uji Tukey akan dilakukan dengan tingkat signifikansi
Selanjutnya, batas
atas dan batas bawah interval kepercayaan 95% selisih antara rata-rata nilai
variabel acak sifat fungsional perlakuan i dan i’ dapat dituliskan menjadi sebagai
berikut:
pati alami pisang kapas. Tahap kedua adalah modifikasi pati alami singkong, pati
alami kentang, pati alami pisang kapas dan pati alami gandum menjadi pati
Pembuatan pati alami pisang kapas mengikuti metode yang dilakukan oleh
Pengupasan Kulit
Penyaringan I
Larutan Natrium
Pisang Iris
Metabisulft 100 ppm
Penghancuran
11-15 kali
Bubur Pisang
Fraksi Cair
Pati basah
pembuatan pati GCWSS yang dilakukan oleh Kaur, Fazilah dan Karim (2011)
dalam Gambar 8.
39
40
10 g Pati alami
GCWSS
GCWSS pisang kapas dan pati GCWSS gandum yang diukur ada enam sifat
fungsional, yaitu:
2) Kelarutan dalam Air Dingin (Cold Water Solubility) (Chen dan Jane, 1994;
4) Closed Packing Concentration (Chen dan Jane, 1994; Dries et al., 2014)
mengindikasikan adanya perbedaan nilai amilosa antar jenis pati GCWSS. Analisis varian
sebagaimana ditunjukan dalam tabel sidik ragam pada Lampiran 3 memberikan nilai p-value <
0,05 untuk faktor jenis pati GCWSS, artinya pengujian pada taraf uji 5% (α=0,05) akan menolak
Ho, sehingga disimpulkan jenis pati memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keragaman nilai
kandungan amilosa pati, kemudian dilakukan uji lanjut (follow up test) untuk mengetahui
amilosanya, serta dilakukan pengujian untuk mengetahui apakah terdapat perubahan sifat setelah
pati alami dimodifikasi. Pengujian dilakukan dengan uji-t. Tabel 7. Sifat Kandungan Amilosa
Amilosa(%)
Jenis Pati Pati Alami Pati GCWSS
a
Kentangperlakuan yang ditandai
Keterangan: Rata-rata 29,73
huruf ± kecil
1,55yang sama menunjukkan
30,98 ±tidak
2,36berbeda
** b
Singkong
nyata pada taraf 5% menurut Uji Tukey; 30,15
**
± 0,75 dengan uji-t, α=0.05,
signifikan 27,86 artinya
± 0,64 terjadi
perubahan Pisang
signifikan sifat
Kapas kadar amilosa setelah pati dimodifikasi.
31,88 ± 1,02 31,49 ± 0,67a
Gandum 32,79 ± 2,08 31,12 ± 0,87a
Hasil uji perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) menggunakan
uji Tukey pada taraf uji α = 0.05 ditunjukan dalam Tabel 7. Berdasarkan hasil uji
Tukey, sifat kandungan amilosa pati GCWSS pisang kapas, pati GCWSS gandum
dan pati GCWSS kentang tidak berbeda signifikan satu terhadap yang lainnya.
Sifat kandungan amilosa pati GCWSS singkong berbeda secara signifikan dengan
sifat kandungan amilosa ketiga pati GCWSS lainnya, kemudian untuk uji-t pada
taraf uji
42
43
α = 0,05 ditunjukan dalam Tabel 7 sifat kandungan amilosa pati alami kentang,
pati alami pisang kapas dan pati alami gandum tidak mengalami perubahan
sifat kandungan amilosa secara signifikan dengan nilai amilosa yang mengecil.
memiliki kadar yang lebih rendah dibandingkan dengan pati alaminya, hal ini
terjadi karena pada saat proses pembuatan pati modifikasi ini menggunakan basa
kuat (NaOH) yang menyebabkan granula pati untuk mengembang dan sebagian
dari amilosa akan keluar (leaching) (J Chen dan Jane, 1994a). Analisa ini
dilakukan untuk membandingkan kadar amilosa pati pada granula pati sebelum
untuk bereaksi dengan senyawa iod yang akan membentuk kompleks berwarna
biru, dan intensitas warna inipun akan berbeda dari setiap jenis patinya.
(Yenrina, 2015).
Tidak berbedanya kadar amilosa sebelum dan sesudah ini dapat terjadi
35oC, menggunakan etanol 97% dan NaOH 3N belum menghasilkan granula pati
dengan kondisi yang membengkak, hal ini menyebabkan sedikitnya amilosa yang
keluar dari struktur granula pati. Kedua, terdapat senyawa selain amilosa yang
terdeteksi ketika dilakukan analisa amilosa. Berikut merupakan grafik antara hasil
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
Dapat dilihat perbandingan melalu grafik diatas antara pati alami dengan
pati modifikasi, kadar amilosa pati bila dilihat secara umum mengalami
penurunan kadar amilosa setelah dilakukan proses modifikasi hal ini sudah sesuai
dengan teori yang menyebutkan bahwa kadar amilosa akan menurun karena
adanya proses modifikasi yang menjadikan amilosa keluar dari granula pati (J
Hasil pengukuran sifat kelarutan dalam air dingin (cold water solubility)
nilai kelarutan antar jenis pati GCWSS. Analisis varian sebagaimana ditunjukan
dalam tabel sidik ragam pada Lampiran 4 memberikan nilai p-value < 0,05 untuk
faktor jenis pati GCWSS, artinya pengujian pada taraf uji 5% (α=0,05) akan
menolak Ho, sehingga disimpulkan jenis pati memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap keragaman nilai kelarutan pati, kemudian dilakukan uji lanjut (follow up
uji Tukey pada taraf uji α = 0,05 ditunjukan dalam Tabel 9. Berdasarkan hasil uji
Tukey, sifat kelarutan pati GCWSS singkong, pati GCWSS pisang kapas dan pati
GCWSS gandum tidak berbeda signifikan satu terhadap yang lainnya. Sifat
kelarutan pati GCWSS kentang berbeda secara signifikan dengan sifat kelarutan
lebih tinggi disusul dengan pati GCWSS Singkong, pati GCWSS Gandum dan
pati GCWSS pisang kapas yang dianggap sama melalui model statistik. Perbedaan
nilai kelarutan dari berbagai jenis pati ini dapat dilihat dari ukuran granula tiap
pati yang akan berpengaruh pada pengembangan granula pati pada saat
modifikasi, dimana pati dengan ukuran granula yang tergolong besar akan lebih
mudah untuk larut dalam air dingin dan granula pati yang memiliki ukuran yang
tergolong kecil maka granula pati tersebut lebih resisten untuk larut karena tidak
alkohol-alkali (Chen dan Jane, 1994a). Menurut Bergthaller, (2004a) granula pati
kentang umumnya memiliki ukuran yang besar antara (5-100 µm). sedangkan pati
singkong memiliki
ukuran granula lebih kecil yaitu sebesar (5-40 µm) (Moorthy, 2004). pati pisang
memiliki ukuran granula lebih kecil dibandingkan singkong sebesar (4,4-35,0 µm)
Rafida, (2017), dan untuk pati gandum menurut Cornell (2004) umumnya
memiliki dua macam ukuran granula granula yakni kelompok ukuran besar dan
kelompok ukuran kecil. untuk tipe ukuran besar memiliki diameter berkisar antara
(20-35 µm) sedangkan untuk ukuran kecil memiliki diameter granula berkisar
antara (2-8 µm). Selain ukuran yang membedakan kelarutan dari pati adalah
struktur kristalin pada tiap pati. Menurut Dries et al. (2016) tipe kristal pada pati
dibagi menjadi tiga kelompok. yaitu kristal tipe A, B, dan C. Untuk kristal type A
lebih sulit untuk dihancurkan dibandingkan dengan tipe B, hal ini dikarenakan tipe
A lebih stabil dibandingkan tipe B. Oleh karena itu, pati yang memiliki pati
dengan tipe kristal B akan lebih mudah untuk dilakukan modifikasi dibandingkan
tipe A. Struktur kristalin tipe A dari komoditas yang diteliti dan mengacu pada
penelitian Hover. (2001) dikutip Gomand et al, (2010) berada pada pati singkong.
kemudian untuk struktur kristalin tipe B dimiliki oleh pati kentang dan pisang
(Choi et al., 2017; Zhang dan Hamaker. 2012). pati gandum umumnya memiliki
dua tipe kristalin yaitu tipe A dan B. hal ini bergantung pada jenis gandum yang
untuk pati kentang yang diteliti oleh Singh dan Singh (2003) dengan metode
memiliki kelarutan antara (85,2-93,8%). kelarutan pati singkong yang diteliti oleh
Kaveh et al, (2019) dengan menggunakan etanol 40% dan 2,5 M NaOH
sebesar 20,89%.
kelarutan pati pisang kapas yang diteliti oleh Pratiwi dengan menggunakan etanol
40% dan NaOH 3 M sebesar 13,24 ± 0,81 %. dan untuk pati gandum menurut
penelitian Rajaoopalan dan Seib (1992) dengan menggunakan etanol pada tekanan
pula oleh kandungan amilosa pada granula pati. pati yang memiliki kadar amilosa
yang tergolong tinggi akan memiliki kelarutan yang tinggi pula, namun kadar
amilosa tidak selalu menjadi penentu tingkat kelarutan suatu pati. hal ini
lipid) sehingga akan mengurangi tingkat kelarutan pada pati (Copeland et al.,
2009).
Daya kembang pada pati merupakan parameter yang mengukur jumlah air
yang diserap oleh pati dan pada perhitungannya akan dikoreksi dengan nilai
dikutip Dries et al., 2014). Nilai dari carbohydrate leaching ini nantinya
pati GCWSS. Analisis varian sebagaimana ditunjukan dalam tabel sidik ragam
pada Lampiran 5 memberikan nilai p-value < 0,05 untuk faktor jenis pati
GCWSS. artinya pengujian pada taraf uji 5% (α=0,05) akan menolak Ho,
keragaman nilai
swelling power pati, kemudian dilakukan uji lanjut (follow up test) untuk
uji Tukey pada taraf uji α = 0,05 ditunjukan dalam Tabel 9. Berdasarkan hasil uji
Tukey, sifat swelling power pati GCWSS singkong. pati GCWSS pisang kapas
dan pati GCWSS gandum tidak berbeda signifikan satu terhadap yang lainnya.
Sifat swelling power pati GCWSS kentang berbeda secara signifikan dengan sifat
Perbedaan nilai swelling power untuk tiap jenis pati sangat dipengaruhi
oleh besar kecilnya ukuran granula pati tersebut. Semakin kecil ukuran granula
maka semakin sulit untuk mengembang atau terjadinya swelling, tetapi bila
ukuran granula semakin besar. maka pati akan cepat mengembang. Menurut Chen
dan Jane (1994) pati dengan ukuran granula yang lebih besar akan cenderung
5-100 µm. sehingga pati kentang digolongkan sebagai pati bergranula besar bila
dibandingkan dengan pati singkong. pati pisang kapas. dan pati gandum. Pati
kentang lebih mudah mengalami swelling dengan tingkat swelling sebesar 22,81
g/g ± 2,29 g/g. Pati singkong merupakan pati dengan nilai swelling power paling
kecil bila dibandingkan pati jenis lainnya dengan tingkat swelling sebesar 2,08 g/g
± 0,26 g/g. Rendahnya nilai swelling power pati singkong dikarenakan adanya
ikatan kompleks antara amilosa lipid dan rasio antara amilosa dengan amilopektin
yang terkandung dalam pati singkong. Rendahnya nilai swelling power pati
Gomand et al, (2010) menyatakan bahwa nilai swelling power pati kentang
alami bila dipanaskan pada suhu 90oC berkisar antara 60-130 g/g, sedangkan
dalam penelitian ini rata-rata nilai swelling power pati GCWSS kentang adalah
22,81 g/g, bila dilihat angka yang dihasilkan dari pati GCWSS kentang sudah
bersuhu ± 25oC. Penelitian Anggraini et al, (2009) terhadap pati singkong alami
yang dipanaskan pada suhu 84oC menghasilkan nilai swelling power pada kisaran
40 g/g - 60 g/g, sedangkan hasil penelitian ini menunjukan nilai swelling power
pati GCWSS singkong sebesar 2,08 g/g, dengan demikian pati GCWSS singkong
harus dikaji ulang dalam modifikasinya. Pati alami pisang memiliki nilai swelling
power dalam rentang 2,4 g/g-24 g/g jika dilakukan pemanasan pada suhu 60 oC -
90oC (Pelissari et al., 2012), sedangkan nilai swelling power pati GCWSS pisang
kapas yang dihasilkan dalam penelitian ini sebesar 3,22 g/g, sehingga hal ini
menandakan bahwa pati GCWSS pisang kapas memiliki nilai mendekati rentang
nilai pati alami. Penelitian Anggraini et al, (2009) terhadap pati gandum alami
yang dipanaskan
pada suhu 84oC memiliki nilai swelling power sebesar 40 g/g, sedangkan nilai
swelling power pati GCWSS gandum yang dihasilkan dalam penelitian ini sebesar
3,52 g/g.
rantai panjang yang dimiliki pati maka akan meningkatkan nilai swelling power
leaching antar jenis pati GCWSS. Analisis varian sebagaimana ditunjukan dalam
tabel sidik ragam pada Lampiran 6 memberikan nilai p-value < 0,05 untuk faktor
jenis pati GCWSS, artinya pengujian pada taraf uji 5% (α=0,05) akan menolak
Ho, sehingga disimpulkan jenis pati memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
carbohydrate leaching-nya.
Tabel 10. Sifat Carbohydrate Leaching
Jenis Pati Carbohydrate Leaching (%)
Kentang 17,42 ± 1,32a
Singkong 2,29 ± 1,43b
Pisang Kapas 0,60 ± 0,15b
Gandum 1,25 ± 0,54b
Keterangan: Rata-rata perlakuan yang ditandai huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada taraf 5% menurut Uji Tukey
uji Tukey pada taraf uji α = 0,05 ditunjukan dalam Tabel 10. Berdasarkan hasil uji
Tukey, sifat carbohydrate leaching pati GCWSS singkong, pati GCWSS pisang
kapas dan pati GCWSS gandum tidak berbeda signifikan satu terhadap yang
karbohidrat yang berdifusi keluar dari granula pati ketika pati GCWSS dilarutkan
dalam air bersuhu 25oC. Prosedur pengujian CHL dalam penelitian ini mengikuti
prosedur yang dilakukan oleh Dries et al, (2014), dimana nilai karbohidrat yang
berdifusi keluar dari granula pati akan dibandingkan dengan kurva glukosa standar
dengan fenol yang akan menghasilkan warna kuning keemasan (Nielsen, 2003).
Sifat CHL sangat berkaitan dengan daya kembang atau swelling power (SP) pati,
karena perhitungan nilai swelling power pati akan dikoreksi oleh nilai CHL.
Berdasarkan hasil analisa terhadap data dalam tabel 10, terdapat indikasi
adanya karbohidrat yang terdifusi keluar ketika pati dilarutkan dalam air bersuhu
±25oC untuk seluruh jenis pati GCWSS yang diteliti. Pati GCWSS kentang
memiliki nilai CHL paling tinggi di antara pati lainnya yaitu sebesar 17,42%
±1,32% dan nilai CHL terendah dimiliki oleh pati GCWSS pisang kapas yaitu
sebesar 0,60% ± 0,15%. Besarnya nilai CHL dipengaruhi oleh hilangnya struktur
pada saat dilarutkan dalam air bersuhu ±25oC. Pengembangan struktur granula
pati menyebabkan terjadinya difusi sejumlah karbohidrat keluar dari granula pati
tersebut. Nilai CHL dari ketiga jenis pati yang rendah ini menandakan kurang
mengembangnya pati saat dilakukan pelarutan pada air bersuhu ruang, dan perlu
ditunjukan dalam tabel sidik ragam pada Lampiran 7 memberikan nilai p-value <
0,05 untuk faktor jenis pati GCWSS, artinya pengujian pada taraf uji 5% (α=0,05)
akan menolak Ho, sehingga disimpulkan jenis pati memiliki pengaruh yang
uji Tukey pada taraf uji α = 0,05 ditunjukan dalam Tabel 11. Berdasarkan hasil uji
Tukey. sifat close packing concentration pati GCWSS pisang kapas dan pati
GCWSS gandum tidak berbeda signifikan satu terhadap yang lainnya. Sifat close
sifat close packing concentration ketiga pati GCWSS lainnya, demikian pula
halnya dengan sifat close packing concentration pati GCWSS singkong berbeda
secara signifikan dengan sifat close packing concentration ketiga pati GCWSS
lainnya.
sisa ruang kosong pada saat pati disuspensikan ke dalam air bersuhu ruang.
Eerlingen et al (1997) menjelaskan bahwa nilai C* dihitung pada saat granula pati
sudah mengembang. Hasil analisa data dalam Tabel 11 di atas menunjukan bahwa
nilai C* setiap pati tidaklah sama. Pati GCWSS singkong mempunyai nilai C*
paling tinggi bila dibandingkan dengan nilai C* pati lainnya. Tingginya nilai C*
pati singkong karena pati tersebut memiliki ukuran granula yang tergolong kecil
(Moorthy, 2004), selain ukuran granula pati singkongpun memiliki tipe kristal A
dan hal itu menyebabkan sulitnya pati untuk mengembang saat dilarutkan di
dalam air, sehingga masih banyak ruang kosong tersisa antar granula. Sementara
itu, pati
GCWSS kentang memiliki nilai C* yang jauh lebih rendah. Rendahnya nilai C*
dapat terjadi karena pati kentang memiliki ukuran granula yang tergolong besar,
60
Pati Singkong
50
40
Pat i Pisang
30 Pat i Gandum
C*
y = 101.38x-0.935
20 R² = 0.9994
10
Pati Kentang
0
0 5 10 15 20 25
Swelling power
Gambar 10. Grafik Hubungan Antara nilai CPC dan Swelling Power
swelling power maka nilai C* semakin mengecil atau menurun. Hal ini telah
dijelaskan oleh Bao dan Bergman (2004) yang mengatakan bahwa seiring dengan
meningkatnya swelling power maka nilai C* akan menurun, hasil tersebut dapat
menjelaskan bahwa pati singkong memiliki nilai CPC tertinggi dan swelling
power yang rendah dari pati lainnya maka dalam modifikasinya dapat dikatakan
belum sempurna dan sama halnya dengan kedua pati pisang dan gandum yang
Nilai viskositas suatu bahan pangan dipengaruhi oleh nilai swelling power
dan close packing concentration, artinya semakin tinggi nilai swelling power
maka akan semakin tinggi pula nilai viskositas. Pengukuran nilai viskositas
spindel nomor 2 dan diukur padaputaran RPM 50, RPM 60, RPM 100. Hasil
Lampiran 8 memberikan nilai p-value > 0,05 untuk faktor kecepatan putaran
mesin (RPM) dan faktor interaksi antara kecepatan putaran mesin dengan jenis
pati. artinya pengujian pada taraf uji 5% (α=0,05) akan menolak Ho, sehingga
mesin dengan jenis pati tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
keragaman nilai viskositas pati. Nilai p-value untuk jenis pati < 0,05, sehingga
nilai viskositas pati. kemudian dilakukan uji lanjut (follow up test) untuk
uji Tukey pada taraf uji α = 0,05 ditunjukan dalam Tabel 12. Berdasarkan hasil uji
Tukey, sifat viskositas pati GCWSS singkong, pati GCWSS pisang kapas dan pati
GCWSS gandum tidak berbeda signifikan satu terhadap yang lainnya. Sifat
viskositas pati GCWSS kentang berbeda secara signifikan dengan sifat viskositas
ketiga pati GCWSS lainnya. Kesimpulan hasil uji berpasangan tersebut berlaku
untuk ketiga kecepatan putaran mesin RPM 50, RPM 60, dan RPM 100. Selain
itu, pengujian berpasangan antar RPM menunjukan tidak ada perbedaan sifat
Perbedaan sifat viskositas dapat dilihat dari hasil analisa swelling power,
CPC, dan juga carbohydrate leaching. Semakin tinggi nilai swelling power dan
semakin rendah nilai CPC suatu pati modifikasi, maka nilai viskositas pati
tersebut akan tinggi juga. Namun demikian, nilai viskositas semakin menurun
akibat bertambahnya nilai kecepatan putaran pada spindel, hal ini dapat terjadi
karena adanya kerusakan yang terjadi akibat saling bertabrakan antar granula pati
menurun
(BeMiller dan Whistler, 2009). Terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
nilai viskositas pati GCWSS diantaranya adanya ikatan amilosa dengan lipid
sehingga pati sulit larut dalam air bersuhu ruang. Tingginya kandungan amilosa
inhibitor ketika berikatan dengan lipid terhadap daya kembang pati. adanya
yang berkaitan dengan perubahan berat molekul amilosa menjadi lebih ringan
dalam satu grup yang artinya memiliki nilai yang tidak signifikan atau tidak jauh
berbeda satu dengan yang lainnya. Berbeda dengan pati GCWSS kentang yang
memiliki hasil kelarutan lebih tinggi dari lainnya dan berbeda signifikan terhadap
pati GCWSS jenis lainnya. Pati kentang memiliki nilai viskositas yang tinggipun
dikarenakan nilai kelarutannya lebih tinggi dari jenis GCWSS pati lainnya yakni
sebesar 74,80%, sedangkan kelarutan dari pati GCWSS singkong, pisang kapas,
dan gandum memiliki kelarutan yang tidak jauh berbeda dapat dilihat pada Tabel
9, maka dari itu nilai viskositas yang didapatkanpun tidak berbeda jauh. Bila
dilihat dari hasil nilai pengukuran swelling power, jenis pati GCWSS singkong,
pisang kapas, dan gandum tidak terlalu besar bila dibanding kentang yang
memiliki nilai 22,81 (g/g), hal ini yang menjadikan kentang memiliki viskositas
telah diberi nilai bobot dan dijumlahkan sebagai perlakuan dengan total bobot
paling tinggi. Sifat kelarutan (cold water solubility), swelling power, kandungan
penentu karena kedua sifat tersebut merupakan pendukung sifat swelling power.
disimpulkan bahwa pati dengan sifat fungsional terpilih ialah pati kentang dengan
kelarutan dalam air dingin sebesar 74,80%, kandungan amilosa sebesar 29,73%.
swelling power sebesar 22,81 (g/g), viskositas sebesar 177,40 Cps pada RPM 50,
5.42%.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
viskositas di antara pati GCWSS kentang, pati GCWSS singkong, pati GCWSS
2. Pati GCWSS dengan sifat fungsional terpilih adalah pati GCWSS kentang yang
sebesar 29,73%, swelling power sebesar 22,81 (g/g), viskositas sebesar 177,40
Cps pada RPM 50, carbohydrate leaching sebesar 17,42%, dan close packing
6.2. Saran
Beberapa saran yang dapat penulis berikan untuk penelitian lebih lanjut
adalah:
1. Pati alami yang akan dimodifikasi hendaknya dibuat dalam kondisi yang sama.
tertentu.
59
60
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, V., Sudarmonowati, E., Hartati, N. S., Suurs, L., & Visser, R. G. F.
(2009). Characterization of cassava starch attributes of different genotypes.
Starch/Staerke. https://doi.org/10.1002/star.200800121
Bao, J., & Bergman, C. J. (2004). The functionality of rice starch. In Starch in
Food. https://doi.org/10.1533/9781855739093.2.258
BeMiller, J., & Whistler, R. (2009). Starch Chemistry and Technology (Third Ed).
New York: Academic Press.
Choi, Y. J., Baik, M. Y., & Kim, B. Y. (2017). Characteristics of granular cold-
water-soluble potato starch treated with alcohol and alkali. Food Science and
Biotechnology, 26(5), 1263–1270. https://doi.org/10.1007/s10068-017-0172-
5
Copeland, L., Blazek, J., Salman, H., & Tang, M. C. (2009). Form and
functionality of starch. Food Hydrocolloids, 23(6), 1527–1534.
https://doi.org/10.1016/j.foodhyd.2008.09.016
Cornell, H. (2004). The functionality of wheat starch. In Starch in Food (pp. 211–
240). https://doi.org/10.1533/9781855739093.2.211
Dhital, S., Shrestha, A. K., Hasjim, J., & Gidley, M. J. (2011). Physicochemical
and structural properties of maize and potato starches as a function of granule
size. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 59(18), 10151–10161.
https://doi.org/10.1021/jf202293s
Dries, D. M., Gomand, S. V., Delcour, J. A., & Goderis, B. (2016). V-type crystal
formation in starch by aqueous ethanol treatment: The effect of amylose
degree of polymerization. Food Hydrocolloids, 61, 649–661.
https://doi.org/10.1016/j.foodhyd.2016.06.026
Dries, D. M., Gomand, S. V, Goderis, B., & Delcour, J. A. (2014). Structural and
thermal transitions during the conversion from native to granular cold-water
swelling maize starch. Carbohydrate Polymers, 114, 196–205.
https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2014.07.066
Eerlingen, R. C., Jacobs, H., Block, K., & Delcour, J. A. (1997). Effects of
hydrothermal treatments on the rheological properties of potato starch.
Carbohydrate Research, 297(4), 347–356. https://doi.org/10.1016/S0008-
6215(96)00279-0
Erika, C. (2010). Produksi Pati Termodifikasi dari Beberapa Jenis Pati. Jurnal
Rekayasa Kimia & Lingkungan, 7(3), 130–137.
Finnie, S., & Atwell, W. A. (2016). Wheat Flour. In Wheat Flour (Second Edi).
https://doi.org/10.1016/B978-1-891127-90-8.50012-7
Gomand, S. V., Lamberts, L., Derde, L. J., Goesaert, H., Vandeputte, G. E.,
Goderis, B., … Delcour, J. A. (2010). Structural properties and gelatinisation
characteristics of potato and cassava starches and mutants thereof. Food
Hydrocolloids, 24(4), 307–317.
https://doi.org/10.1016/j.foodhyd.2009.10.008
Happi Emaga, T., Andrianaivo, R. H., Wathelet, B., Tchango, J. T., & Paquot, M.
(2007). Effects of the stage of maturation and varieties on the chemical
composition of banana and plantain peels. Food Chemistry, 103(2), 590–600.
https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2006.09.006
Hedayati, S., Shahidi, F., Koocheki, A., Farahnaky, A., & Majzoobi, M. (2016).
Physical properties of pregelatinized and granular cold water swelling maize
starches at different pH values. International Journal of Biological
Macromolecules. https://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2016.06.020
Jivan, M. J., Yarmand, M., & Madadlou, A. (2014). Preparation of cold water-
soluble potato starch and its characterization. Journal of Food Science and
Technology, 51(3), 601–605. https://doi.org/10.1007/s13197-013-1200-y
Kaveh, Z., Azadmard-damirchi, S., Yousefi, G., Mohammad, S., & Hosseini, H.
(2019). Effect of different alcoholic-alkaline treatments on physical and
mucoadhesive properties of tapioca starch. International Journal of Biological
Macromolecules. https://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2019.10.230
Lii, C., Chang, S., & Young, Y. (1982). Investigation of the Physical and
Chemical Properties of Banana Starches. Journal of Food Science, 47(5),
1493–1497. https://doi.org/10.1111/j.1365-2621.1982.tb04968.x
Majzoobi, M., Kaveh, Z., Blanchard, C. L., & Farahnaky, A. (2015). Physical
properties of pregelatinized and granular cold water swelling maize starches
in presence of acetic acid. Food Hydrocolloids, 51, 375–382.
https://doi.org/10.1016/j.foodhyd.2015.06.002
Mbougueng, P. D., Dzudie, T., Scher, J., & Clergé, T. (2009). Physicochemical
and functional properties of cultivars of Irish potato and cassava starches.
International Journal of Food Engineering, 5(3).
https://doi.org/10.2202/1556- 3758.1208
Mtunguja, M. K., Laswai, H. S., Kanju, E., Ndunguru, J., & Muzanila, Y. C.
(2016). Effect of genotype and genotype by environment interaction on total
cyanide content, fresh root, and starch yield in farmer-preferred cassava
landraces in Tanzania. Food Science and Nutrition, 4(6), 791–801.
https://doi.org/10.1002/fsn3.345
Mustafa, A. (2016). Analisis Proses Pembuatan Pati Ubi Kayu (Tapioka) Berbasis
Neraca Massa. Agrointek, 9(2), 118.
https://doi.org/10.21107/agrointek.v9i2.2143
Pitchon, E., O’Rourke, J. D., & Joseph, T. H. (1981). Process for cooking or
gelatinizing materials. U.S. Patent, 4. 280.851(19), 12.
Preiss, J. (2004). Plant starch synthesis. In A.-C. Eliasson (Ed.), Starch in food -
Structure, function and applications (pp. 17–70). Michigan: Woodhead
Publishing Limited.
Rafida, Nadia. (2017). Kajian Karakteristik dan Kadar Slowly Digestable Starch
(SDS) pada Pati Pisang Kapas Alami dan Termodifikasi Fisik. Skripsi.
Program Studi Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri Pertanian,
Univesitas Padjadjaran, Jatinangor.
Rahman, A. M. (2007). Mempelajari Karakteristik Kimia Dan Fisik Tepung
Tapioka Dan Mocal (Modified Cassava Flour) Sebagai Penyalut Kacang
Pada Produk Kacang Salut, Jurnal Teknologi Pertanian, 8(1), pp. 11–15.
Sasaki, T., & Matsuki, J. (1998). Effect of Wheat Starch Structure on Swelling
Power. Cereal Chemistry, 75(4), 525–529.
Schmiele, M., Sampaio, U. M., & Pedrosa Silva Clerici, M. T. (2019). Basic
Principles. In Starches for Food Application (pp. 1–22).
https://doi.org/10.1016/B978-0-12-809440-2.00001-0
Shevkani, K., Singh, N., Bajaj, R., & Kaur, A. (2017). Wheat starch production,
structure, functionality and applications—a review. International Journal of
Food Science and Technology, 52(1), 38–58.
https://doi.org/10.1111/ijfs.13266
Singh, J., & Singh, N. (2003). Studies on the morphological and rheological
properties of granular cold water soluble corn and potato starches. Food
Hydrocolloids, 17, 63–72.
Skerritt, J., & Hill, A. (1992). How free is gluten free ? relationship between
Kjeldahl nitrogen values and gluten protein content for wheat starches.
Cereal Chemistry, Vol. 69, pp. 110–112.
Suarni. (2016). Struktur dan Komposisi Biji dan Nutrisi Gandum. In Gandum:
Peluang Pengembangan di Indonesia (pp. 51–68).
Tester, R. F., Karkalas, J., & Qi, X. (2004). Starch - Composition, Fine Structure
and Architecture. Journal of Cereal Science, 39(2), 151–165.
https://doi.org/10.1016/j.jcs.2003.12.001
Toae, R., Chatakanonda, P., Wansuksri, R., Piyachomkwan, K., & Sriroth, K.
(2010). Preparation of Granular Cold Water Soluble Rice Starches having
Different Amylose Contents Abstract Introduction. Cassava and Starch
Technology Research Unit, National Center for Genetic Engineering and
Biotechnology, Bangkok, Thailand.
Wang, J., Zhai, W., & Zheng, W. (2011). Preparation of granular cold-water-
soluble corn starch by surface modification with polyethylene glycol.
Starch/Staerke. https://doi.org/10.1002/star.201100033
Zhang, B., Dhital, S., Haque, E., & Gidley, M. J. (2012). Preparation and
Characterization of Gelatinized Granular Starches from Aqueous Ethanol
Treatments. Carbohydrate Polymers, 90(4), 1587–1594.
https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2012.07.035
Zhang, P., & Hamaker, B. R. (2012). Banana starch structure and digestibility.
Carbohydrate Polymers, 87(2), 1552–1558.
https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2011.09.053
Zhang, P., Whistler, R. L., Bemiller, J. N., & Hamaker, B. R. (2005). Banana
starch: Production, physicochemical properties, and digestibility - A review.
Carbohydrate Polymers, Vol. 59, pp. 443–458.
https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2004.10.014
Zhu, B., Liu, J., & Gao, W. (2016). Process optimization of ultrasound-assisted
alcoholic-alkaline treatment for granular cold water swelling starches.
Ultrasonics Sonochemistry, 38, 579–584.
https://doi.org/10.1016/j.ultsonch.2016.08.025
RIWAYAT HIDUP
Riwayat Pendidikan
NAMA INSTANSI TAHUN
TK Cakrawala Baru, Kota Bogor 2002 – 2003
SDN Sasanawiyata 01, Kabupaten Bogor 2003 – 2009
SMP Negeri 5 Bogor, Kota Bogor 2009 – 2012
SMA Negeri 2 Bogor, Kota Bogor 2012 – 2015
Universitas Padjadjaran 2015 – 2019
Riwayat Pekerjaan
INSTANSI TAHUN
Praktik Kerja Lapang Departemen Produksi PT. ISM Bogasari
Cibitung 2018
(Agustus-September)
Asisten Praktikum Kimia Pangan 2018
Asisten Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan 2019
Asisten Praktikum Teknologi Pengolahan Susu dan Telur 2019
Riwayat Organisasi
NAMA LEMBAGA JABATAN PERIODE
Staff Advokasi dan Pelayanan
BEM Kema FTIP Unpad 2015-2016
Mahasiswa
Anggota MTK KEMA
Presidium 2 2016-2017
FTIP Unpad
BPM KEMA FTIP Ketua Deputi Pengembangan
2017-2018
Unpad Sumberdaya dan Organisasi
Riwayat Kepanitiaan
NAMA KEGIATAN JABATAN TAHUN
UNIVATION Anggota Divisi Logistik 2017
PRABU Unpad Koordinator Tim Fasilitator 2017
UNIVATION Anggota Bidang Logistik 2016
SPEKTA Ketua Bidang Medik 2016
SPARTA Anggota Bidang Medik 2016
PRABU Unpad Anggota Divisi Fasilitator 2016
Riwayat Prestasi
PRESTASI TAHUN
Juara 1 Food Quiz Bowl Himatipan Unpad 2018
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosdur Analisis
Prosedur:
Tujuan: mengetahui jumlah air yang diserap oleh pati dan dikoreksi dengan
viskositas. Prosedur:
mg.
30 menit.
Tujuan: mengetahui jumlah karbohidrat yang keluar dari granula pati. Setelah
Prosedur:
reaksi.
vortex shaker.
menit.
standar glukosa.
4. Viskositas (Bello-Pérez et al.. 2000; Toae et al.. 2010)
suhu 35oC apabila dilarutkan didalam air bersuhu ruang. Viskositas ditentukan
Prosedur:
sebanyak 3% (b/v).
3 pada suhu 25oC dalam nilai 50 rpm. 60 rpm dan 100 rpm.
Tujuan: mengetahui jumlah amilosa pada pati sebelum dan sesudah modifikasi
suhu 35oC.
Prosedur:
pendinginan.
larutan iod.
absorbansi .
Penetapan sampel
4. Pemasukkan pasta pati ke dalam labu takar 100 ml dan dilakukan penetapan
Perhitungan:
𝐶𝑥 𝑉𝑥𝐹𝑃𝑥 100%
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑚𝑖𝑙𝑜𝑠𝑎 (%) =
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑚𝑔)
digunakan seperti kulit dan kotoran yang melekat pada lapisan kulit serta
pisang kapas.
dan air adalah 1:3 (b/v) yang bertujuan untuk melunakan jaringan serta
rendaman.
kotoran yang masih melekat pada pati. Pencucian dilakukan sebanyak 4-5
bahan hingga diperoleh hasil akhir pati dengan kadar air tertentu.
selama 24 jam.
2011) dengan sedikit modifikasi untuk menentukan suhu reaksi terbaik yang
dengan suhu reaksi 35oC. Proses pembuatan pati GCWSS adalah sebagai
berikut:
a. Penyiapan bahan. bahan utama berupa pati dan pelarut alkohol ditimbang
b. Suhu di atur terlebih dahulu berdasarkan suhu yang telah ditentukan (35o).
c. Pencampuran. bertujuan untuk mencampurkan bahan pati dengan alkohol
pro analis konsentrasi 97% dengan perbandingan antara pati dan pelarut
penghambat pecahnya granula pati. Dan juga sebagai media pelarut agar
suspensi kental dan akan menjadi sulit diipisahkan dari larutan alkali.
selanjutnya.
etanol.
untuk mengembang.
dalam suspensi.
silica gel agar pati yang dihasilkan terlindung dari kotoran dan tidak
p. Proses pembuatan GCWSS pati pisang kapas dapat dilihat pada Gambar 9.
Lampiran 3. Hasil Pengamatan Kandungan Amilosa
Gandum
Tabel Sidik Ragam [raw data]
Sumber Ragam DB JK KT
Jenis Pati 3 13,441.30 4,480.44
Ulangan 2 62.10
Galat 18
Total
p-value > 0.05
Pisang Kapas
Gandu
Uji Perbandingan Berpasangan Tukey
Pasangan Selisih Rata-rata Standar deviasi Interval Kepercayaan T-value p-value
Selisih Rata-rata 95%
Kentang - Gandum -25.80 5.04 (-39.91; -11.70) -5.120 0.000
Pisang - Gandum 3.83 5.04 (-10.27; 17.94) 0.760 0.871 *
Singkong - Gandum 18.73 5.04 (4.62; 32.83) 3.720 0.007
Pisang - Kentang 29.64 5.04 (15.53; 43.74) 5.880 0.000
Singkong - Kentang 44.53 5.04 (30.43; 58.63) 8.840 0.000
Singkong - Pisang 14.89 5.04 (0.79; 29.00) 2.960 0.036
* p-value > 0.05, Ho tidak ditolak, kesimpulan: kedua nilai rata-rata tidak berbeda signifikan
Lampiran 8. Hasil Pengamatan Viskositas
Gambar 11. (A) Kentang GCWSS (B) Singkong GCWSS (C) Pisang
GCWSS (D) Gandum GCWSS