Anda di halaman 1dari 16

Thalia

240210160051
Kelompok 9A
V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Teknologi pembuatan tepung merupakan salah satu proses alternatif
produk setengah jadi yang dianjurkan karena lebih tahan simpan, mudah
dicampur, diperkaya zat gizi, dibentuk, dan lebih cepat diolah. Tepung adalah
bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara pengilingan atau penepungan. Tepung
merupakan partikel padat yang berbentuk butiran sangat halus dan memiliki
karakteristik kadar air yang sangat rendah berkisar 2 -10% yang menyebabkannya
memiliki masa simpan yang lama (Wibowo, D., 2012).
Pati merupakan karbohidrat yang tersusun dari amilosa, amilopektin, dan
material antara seperti protein dan lemak. Secara umum, pati diperoleh dengan
proses ekstraksi pati dengan cara pengendapan. Hasil dari proses ekstraksi pati
secara keseluruhan belum merupakan pati murni sehingga masih mengandung
material antara (Banks dan Greenwood, 1975). Praktikum kali ini dilakukan
pembuatan tepung dan pati dari komoditas pisang, ubi jalar, ubi kayu, sukun, dan
beras.

5.1 Pembuatan Tepung


Proses pembuatan tepung diawali dengan sortasi bahan. Sortasi dilakukan
untuk memilih bahan baku yang benar – benar baik secara fisik dan tidak ada
cacat. Apabila terdapat cacat atau busuk pada bahan baku dapat menghasilkan
tepung dengan kualitas yang rendah. Setelah dilakukan sortasi, dilakukan proses
pengupasan atau trimming bahan untuk membersihkan bahan baku dari kotoran
dan bagian yang tidak diperlukan seperti kulit. Setelah itu dilakukan pencucian
dengan air agar bahan terbebas dari kotoran yang menempel pada bahan.
Pengecilan ukuran dengan pengirisan dilakukan setelah pencucian. Pengecilan
ukuran bertujuan untuk memperbesar luas permukaan bahan yang membantu dan
memperlancar proses, dalam hal ini mempercepat proses pengeringan bahan
(Brennan, 1969).
Perendaman bahan baku dalam larutan natrium metabisulfit selama 15
menit bertujuan untuk mencegah kerusakan pada warna bahan akibat pengeringan.
Proses pengeringan yang akan dilakukan dapat menyebabkan proses pencoklatan.
Pemakaian Na-metabisulfit bertujuan untuk mencegah proses pencoklatan pada
Thalia
240210160051
Kelompok 9A
bahan baku, menghilangkan bau dan rasa getir terutama pada ubi kayu, dan untuk
mempertahankan warna agar tetap menarik. Natrium metabisulfit dapat bereaksi
dengan gugus karbonil sehingga mengikat melanoidin yang merupakan senyawa
penyebab terjadinya pencoklatan (Syaried dan Irawati, 1988). Bahan yang telah
direndam larutan natrium metabisulfit selanjutnya dikeringkan. Pengeringan
dilakukan untuk menghilangkan sejumlah air yang terdapat dalam bahan pangan
melalui penguapan / evaporasi. Pengeringan dilakukan dengan oven cabinet
dengan suhu 60°C selama 16-18 jam Pengeringan dengan oven lebih
menguntungkan karena waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan lebih
singkat dan dapat mencegah kontaminasi dari debu, tanah, serangga, dan kapang.
Prinsip pengeringan dengan oven cabinet adalah memanaskan udara melalui
sumber panas ke dalam ruangan yang berisi bahan yang akan dikeringkan
sehingga pengeringan dapat dikontrol dan waktu pengeringan bisa lebih cepat dan
tidak tergantung oleh cuaca. Suhu yang digunakan adalah 60°C untuk menjaga
agar sifat higroskopis dari tepung yang dihasilkan tidak terlalu tinggi. Menurut
Lidiasari et al (2006) tepung tapai ubi kayu yang dikeringkan dengan suhu 70°C
memiliki sifat higroskopis lebih rendah daripada suhu 80°C. Suhu pengeringan
merupakan faktor yang penting dalam proses pengeringan. Apabila suhu yang
digunakan terlalu rendah maka pengeringan akan membutuhkan waktu yang lama
dan dapat menurunkan mutu produk yang dihasilkan sedangkan penggunaan suhu
yang terlalu tinggi dapat menyebabkan case hardening dan pencoklatan non-
enzimatis. Proses pengeringan merupakan salah satu proses yang penting dalam
pembuatan tepung. Proses pengeringan dilakukan untuk meningkatkan stabilitas
makanan karena dapat mengurangi aktivitas mikrobiologi dalam makanan dan
memperpanjang umur simpan. Kadar air yang masih tinggi pada produk tepung
dapat menjadi penyebab utama kerusakan tepung. Hal ini dapat diketahui dengan
bersatunya partikel antara butiran tepung atau proses penggumpalan. Kadar air
yang sesuai untuk tepung berkisar 4 – 11% (Depkes RI, 1989).
Tahap selanjutnya adalah proses penggilingan dengan grinder untuk
memperoleh partikel tepung yang halus. Tepung yang telah digiling dilakukan
pengayakan dengan ayakan 80 mesh. Menurut BSN (2009) standar kehalusan
lolos ayakan 212 (mesh No. 70) tepung terigu adalah sebesar 95%. Proses
Thalia
240210160051
Kelompok 9A
pengayakan ini bertujuan untuk mendapatkan ukuran partikel yang paling halus
dan menyeragamkan ukuran partikel tepung (Purwantana, 2008). Tepung yang
telah lolos ayakan 80 mesh disimpan dalam kemasan plastik PP dan diberi silika
gel. Pengemasan ini betujuan untuk mempertahankan mutu tepung dengan
mencegah perubahan bau, warna, serangan dari jamur dan serangga. Tepung yang
telah jadi umumnya memiliki sifat yang higroskopis atau mudah menyerap air
sehingga dibutuhkan silika gel untuk mempertahankan kadar air pada bahan tetap
stabil (Ginting et al, 2011). Karakteristik kenampakan yang diamati dari tepung
yang dihasilkan adalah rendemen, warna, aroma, dan teksturnya. Berikut hasil
pengamatan pembuatan tepung.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Tepung
Karakteristik Kenampakan
Sampel
Rendemen Warna Aroma Tekstur Gambar
153.994 gram Putih Khas Halus
566 gram agak pisang +++
Pisang
x 100 krem
¿ 27.21 %
Orange Khas ubi Halus +
517 gram muda jalar ++++
Ubi 2450 gram
Jalar x 100 %=21,10 %

Putih + Khas Sangat


402 g ++++ Singkong Halus
Ubi x100
1560 kg
Kayu
%=25,67%

201 gram Putih Khas Halus +


x 100 %=23,70 %
848 gram agak sukun ++++
Sukun 402 g krem
1560 kg

1.058 kg Putih + Khas Halus


x 100=64,98 %
1.628 kg ++ beras dan
Beras
Licin

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018)


Berdasarkan hasil pengamatan, tepung pisang menghasilkan rendemen
27,21 %. Hasil rendemen ini tergolong tinggi bila dibandingkan dengan penelitian
Rahmah (2007) yang menyatakan rendemen tepung pisang adalah sebesar
Thalia
240210160051
Kelompok 9A
24,38%. Rendemen merupakan perbandingan berat produk yang diperoleh
terhadap berat bahan baku yang digunakan. Perhitungan rendemen dilakukan
berdasarkan berat kering bahan. Rendemen tepung menyatakan nilai efisiensi dari
proses pengolahan sehingga dapat diketahui jumlah tepung yang dihasilkan dari
bahan dasar awalnya. Rendemen pada tepung pisang dapat dipengaruhi oleh
varietas pisang, tingkat kematangan, dan kadar air pisang. Pisang yang belum
matang memiliki kandungan pati yang tinggi dan kadar air yang lebih rendah. Hal
ini yang menyebabkan rendeman tepung pisang yang dihasilkan banyak
(Widowati, 2009).
Warna tepung pisang yang dihasilkan adalah putih agak krem. Derajat
putih pada tepung pisang dipengaruhi oleh adanya reaksi Maillard yaitu reaksi
antara gula reduksi dan asam amino pada bahan selama proses pengeringan.
Semakin tinggi kandungan gula reduksi pada pisang maka derajat putih dari
tepung pisang akan semakin menurun (Camire dan Belbez, 1996). Proses
pencoklatan ini dapat sudah dicegah dengan perendaman natrium metabisulfit,
namun karna kandungan gula reduksi yang tinggi pada pisang menyebabkan
penambahan natrium metabisulfit belum efektif untuk mencegah reaksi
pencoklatan (Syaried dan Irawati, 1988). Hasil pengamatan menunjukkan tepung
pisang memiliki aroma khas pisang, dan tekstur yang sangat halus. Aroma pada
tepung pisang disebabkan adanya senyawa volatil seperti amil asetat, isoamil
asetat, amil propionat, amil butirat, metal asetat, amil alkohol (Hulme, 1981).
Tekstur pada tepung pisang dapat dipengaruhi oleh kandungan serat pada pisang.
Pisang yang paling baik untuk dijadikan tepung adalah pisang kepok karena akan
menghasilkan warna tepung yang paling putih. Pisang kepok memiliki daging
buah dengan kandungan padatan yang cukup tinggi sehingga cocok untuk bahan
pembuatan tepung pisang. Syarat pisang untuk bahan baku pembuatan tepung
pisang adalah pisang yang memiliki kandungan pati 16,5% - 19,5% (Eddy dan
Lilik, 2007).
Berdasarkan hasil pengamatan, tepung ubi jalar menghasilkan rendemen
sebesar 21,10%. Hasil ini sesuai dengan penelitian Koswara (2013) dimana
rendemen tepung ubi jalar berkisar 20% - 30%. Rendemen tepung ubi jalar
bergantung pada varietas ubi jalar yang digunakan. Kadar bahan kering ubi jalar
Thalia
240210160051
Kelompok 9A
juga dapat mempengaruhi besarnya rendemen tepung. Semakin besar kadar bahan
kering ubi jalar maka rendemen yang dihasilkan juga akan semakin tinggi
(Widowati, 2009). Tepung ubi jalar memiliki warna oranye muda. Warna ini
disebabkan oleh kandungan β-karoten. Hasil ini sesuai dengan penelitian Syamsir
dan Honestin (2009) yang menyatakan tepung ubi jalar mengandung unsur warna
merah dan kuning. Warna dari tepung ubi jalar juga dapat dipengaruhi oleh
pemanasan. Semakin meningkatnya intensitas panas yang diteruma selama proses
pengeringan maka terjadi penurunan kecerahan tepung ubi jalar. Kerusakan warna
buah selama proses pengolahan dengan panas disebabkan oleh degradasi pigmen
dan reaksi pencoklatan (reaksi Maillard). Hasil pengamatan menunjukkan tepung
ubi jalar memiliki aroma yang khas ubi jalar dan tekstur yang halus. Aroma khas
ubi jalar sering menimbulkan bau langu sehingga kurang disukai. Bau langu ini
disebabkan oleh adanya reaksi isomerase dan oksidasi (Penicaud et al, 2011).
Hasil pengamatan menunjukkan tepung ubi kayu menghasilkan rendemen
sebesar 25,67%. Hasil ini telah sesuai dengan standar yang ditetapkan Direktorat
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (2005) yang menyatakan rata – rata
rendemen tepung ubi kayu adalah 25%. Rendemen pati dapat dipengaruhi oleh
perbedaan kandungan pati dari berbagai varietas, perbedaan struktur umbi dan biji
tanaman sehingga lebih banyak menghasilkan rendemen pati kering (Orindia,
2017). Tepung ubi kayu memiliki warna putih yang disebabkan oleh bahan baku
berupa singkong yang memiliki karakteristik warna putih. Hal ini juga
menunjukkan proses perendaman ubi kayu dengan Natrium metabisulfit telah
efektif untuk mencegah proses pencoklatan. Warna putih pada tepung dapat
menentukan mutu dari tepung tersebut melalui derajat putih. Menurut Desroiser
(1998) apabila derajat putih tepung ubi kayu tinggi maka mutu tepung dapat
dikatakan baik. Praktikum kali ini tidak dilakukan penilaian derajat putih namun
hanya penilaian warna secara sensori. Aroma yang ditimbulkan dari tepung ubi
kayu adalah khas ubi kayu. Sama halnya dengan tepung ubi jalar, aroma khas ini
berupa aroma langu yang timbul karena adanya oksidasi selama pengeringan.
Tekstur yang halus disebabkan oleh proses pengayakan tepung dengan ayakan 80
mesh (Purwantana, 2008).
Thalia
240210160051
Kelompok 9A
Hasil pengamatan menunjukkan rendemen tepung sukun diperoleh
23,70%. Hasil ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian Masita dkk
(2017) yang memperoleh rendemen tepung sukun sebesar 17,09%. Rendemen
tepung bergantung pada kadar pati yang tergelatinisasi, bobot berat buah, dan
kadar air dalam bahan baku. Proses gelatinisasi yang sempurna akan
menghasilkan rendemen yang tinggi. Semaki berat buah sukun maka dapat
menyebabkan rendemem yang semakin tinggi. Kadar air dalam bahan yang tinggi
juga akan menyebabkan rendemen tepung yang rendah. Kadar air dalam bahan
dapat dipengaruhi oleh suhu pada proses pengeringan. Semakin rendah suhu
pengeringan, maka semakin sedikit air yang teruapkan sehingga diperoleh
rendemen yang tinggi (Masita, dkk., 2017). Hasil pengamatan menunjukkan
warna tepung sukun adalah putih agak krem. Hasil ini tidak sesuai dengan SNI
dimana warna tepung yang memenuhi syarat adalah berwarna putih. Warna
tepung yang tidak putih sempurna disebabkan oleh kandungan gula dan adanya
enzim polifenol. Kandungan gula yang tinggi pada buah sukun menyebabkan
kemungkinan terjadinya reaksi Maillard semakin besar diiringi dengan adanya
enzim polifenol pada buah sukun. Enzim polifenol merupakan enzim yang
menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan pada buah sukun ketika dikupas.
Proses pencoklatan ini dapat dicegah dengan perendaman buah sukun pada larutan
natrium metabisulfit. Ketika proses pembuatan tepung sukun, buah sukun sudah
direndam dalam natrium metabisulfit. Namun proses perendaman belum efektif
untuk mencegah proses pencoklatan (Masita, dkk., 2017). Aroma khas dari tepung
sukun disebabkan oleh adanya senyawa volatil pada buah sukun. Tekstur yang
halus pada tepung sukun disebabkan oleh adanya proses pengecilan ukuran dan
pengayakan yang menyeragamkan ukuran partikel tepung (Purwantana, 2008).
Berdasarkan hasil pengamatan, tepung beras menghasilkan rendemen
sebesar 64,98%, warna putih, rasa khas beras, dan tekstur yang halus dan licin.
Hasil ini sesuai dengan penelitian Indriyani dkk (2013) yang menyatakan
rendemen tepung beras adalah 63,50% - 65,47%. Rendemen tepung beras
dipengaruhi oleh varietas beras dan lama pengeringan. Hasil dari tepung beras
memiliki warna putih. Hal ini disebabkan oleh kondisi penyimpanan dan derajat
sosoh beras. Menurut Mardiah dkk (2016) semakin lama beras disosoh maka
Thalia
240210160051
Kelompok 9A
warna akan semakin putih karena banyaknya lapisan aleuron yang hilang. Aroma
dari tepung beras yang dihasilkan adalah khas beras. Hal ini disebabkan oleh
adanya senyawa volatil yang mengandung hidrokarbon aromatik dan aldehid.
Tekstur tepung beras yang dihasilkan adalah halus dan licin. Hal ini dapat
disebabkan oleh rendemen yang dihasilkan cukup beras. Rendemen yang tinggi
menunjukkan semakin banyak partikel tepung yang lolos ayakan 80 mesh dan
menunjukkan partikel tepung secara umum adalah halus (Purwantana, 2008).

5.2 Pembuatan Pati


Proses pembuatan pati diawali dengan sortasi bahan. Sortasi dilakukan
untuk memilih bahan baku yang benar – benar baik secara fisik dan tidak ada
cacat. Setelah dilakukan sortasi, dilakukan proses pengupasan atau trimming
bahan untuk membersihkan bahan baku dari kotoran dan bagian yang tidak
diperlukan seperti kulit. Setelah itu dilakukan pencucian dengan air agar bahan
terbebas dari kotoran yang menempel pada bahan (Brennan, 1969). Bahan yang
telah bersih dihancurkan dengan blender. Proses penghancuran bertujuan untuk
memecah dinding sel pada bahan sehingga granula pati dan komponen lain akan
keluar dari bahan. Penghancuran merupakan bentuk pengecilan ukuran agar
proses keluarnya granula pati ke permukaan lebih cepat sehingga granula pati
yang terekstrak lebih banyak. Perbandingan air dan bahan selama proses
penghancuran adalah 1:4. Penambahan air dilakukan agar granula pati yang keluar
dari bahan dapat terekstrak ke dalam air. Campuran bahan dengan air kemudian
disaring dengan kain dan diperas. Penyaringan ini merupakan bentuk ekstraksi
yang bertujuan untuk memisahkan suspensi pati dari ampasnya. Setelah dilakukan
penyaringan, ditambahkan air dengan perbandingan 1:1 untuk mengekstrak
kembali pati dan mempercepat perpindahan granula pati melalui penyaringan
(Banks dan Greenwood, 1975).
Proses selanjutnya adalah pengendapan. Pengendapan dilakukan untuk
memisahkan bagian pati dan air. Pengendapan dilakukan dengan cara dibiarkan
selama 24 jam agar pati mengendap sempurna dan terpisah dari air dan ampas.
Pati memiliki sifat tidak larut dalam air sehingga akan membentuk endapan pada
dasar larutan. Setelah 24 jam, akan terbentuk dua fase yaitu air pada bagian atas
Thalia
240210160051
Kelompok 9A
dan endapan pati pada bagian bawah. Air pada bagian atas dibuang, endapan pati
dicuci kembali dengan air sekali lagi, dan diendapkan kurang lebih selama 20
menit. Pencucian pati ini betujuan untuk memisahkan komponen pati dari ampas
atau bahan – bahan lain sehingga hasil yang didapatkan merupakan pati murni.
Pati yang telah dicuci dikeringkan dengan oven cabinet dengan suhu 50°C selama
24 jam. Proses pengeringan dengan suhu 50°C dilakukan agar tidak merusak
molekul pati atau mencegahnya proses leaching. Suhu pengeringan yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan adanya proses leaching pati sehingga kadar pati
semakin berkurang. Proses pengeringan juga bertujuan untuk mengurangi
kandungan air yang mungkin masih terdapat di endapan pati sehingga dapat
mencegah tumbuhnya mikroba atau jamur (Lidiasari et al, 2006).
Tahap selanjutnya adalah proses penggilingan dengan grinder untuk
memperoleh partikel pati yang halus. Pati yang telah digiling dilakukan
pengayakan dengan ayakan 80 mesh. Proses pengayakan ini bertujuan untuk
mendapatkan ukuran partikel yang paling halus dan menyeragamkan ukuran
partikel pati (Purwantana, 2008). Pati yang telah lolos ayakan 80 mesh disimpan
dalam kemasan plastik PP dan diberi silika gel. Pengemasan ini betujuan untuk
mempertahankan mutu tepung dengan mencegah perubahan bau, warna, serangan
dari jamur dan serangga. Pati yang telah jadi umumnya memiliki sifat yang
higroskopis atau mudah menyerap air sehingga dibutuhkan silika gel untuk
mempertahankan kadar air pada bahan tetap stabil (Ginting et al, 2011).
Karakteristik kenampakan yang diamati dari pati yang dihasilkan adalah
rendemen, warna, aroma, dan teksturnya. Berikut hasil pengamatan pembuatan
pati.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Pati
Karakteristik Kenampakan
Sampe
Tekstu
l Rendemen Warna Aroma Gambar
r

0.008 kg Putih Tidak


x 100 % Halus +
Pisang 1,674 kg Kecoklata Berarom
+++
= 1,39 % n a
Thalia
240210160051
Kelompok 9A
Karakteristik Kenampakan
Sampe
Tekstu
l Rendemen Warna Aroma Gambar
r

0.234 kg Tidak Halus


Ubi x 100 %
2.676 kg Putih berarom dan
Jalar
= 8.744% a kesat

325 g Putih ++ Tidak Haslus


Ubi x 100 %
2950 g +++ berarom +++++
Kayu
= 11.016% a
32 g Putih +++ Khas Halus +
x 100 %
1654 g sukun +, dan
Sukun = 1.935% Bau kesat
busuk +
+
504 g Halus
x 100 % Khas
Beras 2.750 g Putih dan
Beras
=18,33% Licin
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018)
Berdasarkan hasil pengamatan, pati pisang menghasilkan rendemen
sebesar 1,39 %. Kadar rendemen yang sedikit menunjukkan tingkat kematangan
yang tinggi pada pisang. Menurut Alamanda et al (2015) rendemen pati pisang
secara berturut-turut untuk tingkat kematangan 1, 2, 3, 4, and 5 adalah sebesar 14
– 10 %, 9 – 6 %, 5 – 0.9 %, 0.6 – 0.1 %, and 0.2 – 0.1 % (dalam %, b/b). Kadar
pati akan menurun pada tingkat kematangan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan
pati yang terkandung akan terurai menjadi gula seiring meningkatnya
kematangan. Pati pisang yang dihasilkan memiliki warna putih kecoklatan. Pati
pisang yang dihasilkan ini belum dapat dikategorikan pati pisang bermutu baik.
Pati pisang bermutu baik memiliki warna putih. Warna putih kecoklatan ini dapat
disebabkan oleh varietas pisang yang digunakan. Menurut Satuhu dan Supriyadi
(2000) pati pisang ambon dan pisang siem memiliki warna putih kecoklatan
sedangkan pati pisang kapok memiliki warna putih. Pati pisang tidak beraroma
dan memiliki tekstur yang sangat halus. Menurut BeMiller dan Whistler (2009)
salah satu sifat dari pati adalah tidak memiliki aroma. Tekstur yang halus
disebabkan oleh proses pengecilan ukuran dan pengayakan yang menyeragamkan
ukuran pati pisang.
Thalia
240210160051
Kelompok 9A
Berdasarkan hasil pengamatan, pati ubi jalar menghasilkan rendemen
sebesar 8,74%. Hasil ini lebih tinggi bila dibandingan dengan penelitian
Kurniawan (2013) yang menyatakan rendemen pati ubi jalar ungu sebesar 6,75%.
Rendemen pati ubi jalar dapat dipengaruhi oleh tingkat kematangan ubi jalar yang
digunakan, kadar pati dari setiap varietas, dan perbedaan struktur umbi. Pati ubi
jalar memiliki warna putih. Standar mutu pati ubi jalar di Indonesia terhadap
derajat putih ini memang belum ada, tetapi jika dibandingkan dengan standar
mutu tapioka (pati ubi kayu) berdasarkan SNI 01-3451-1994, yaitu sebesar 94.5%
untuk mutu I dan 92% untuk mutu II. Pati ubi jalar tidak memiliki aroma dan
tekstur yang dihasilkan halus namun kesat. Sama halnya dengan pati pisang,
aroma pati ubi jalar disebabkan oleh sifat dari pati dimana tidak memiliki aroma.
Tekstur yang halus dan kesat juga merupakan ciri khas dari pati. Tekstur
merupakan salah satu sifat yang dapat digunakan untuk membedakan antara
tepung dan pati. Tepung dan pati memiliki tekstur yang sama – sama halus,
namun pada pati terdapat tekstur yang kesat (BeMiller dan Whistler, 2009).
Berdasarkan hasil pengamatan, pati ubi kayu menghasilkan rendemen
sebesar 11,02%. Hasil ini lebih kecil bila dibandingkan dengan penelitian Orindia
(2017) yang menyatakan rendemen pati ubi kayu adalah sebesar 22,69%.
Perbedaan rendemen pati dapat disebabkan oleh perbedaan kandungan pati dari
berbagai varietas, perbedaan struktur umbi dan biji tanaman sehingga lebih
banyak menghasilkan rendemen pati kering. Agar rendemen pati yang dihasilkan
lebih banyak, pelarut untuk merendam dan mengekstrak pati dapat diganti dengan
larutan Natrium bisulfit. Pati ubi kayu memiliki warna putih, tidak beraroma, dan
tekstur yang sangat halus. Warna putih pada tepung dapat menentukan mutu dari
tepung tersebut melalui derajat putih. Menurut Desroiser (1998) apabila derajat
putih tepung ubi kayu tinggi maka mutu tepung dapat dikatakan baik. Tidak
adanya aroma dari pati ubi kayu disebabkan oleh hanya ada kandungan pati yang
memiliki sifat tidak beraroma. Tekstur yang halus disebabkan oleh proses
pengayakan tepung dengan ayakan 80 mesh (Purwantana, 2008).
Berdasarkan hasil pengamatan, pati sukun menghasilkan rendemen sebesar
1,94%. Hasil ini jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan penelitian
Prasesti dkk (2016) yang mendapatkan rendemen pati sukun dari buah sukun
Thalia
240210160051
Kelompok 9A
masa panen 1 bulan sebesar 10,62% dan pati sukun dari buah sukun masa panen 2
bulan adalah 12,29%. Rendemen pati sukun dipengaruhi oleh tingkat kematangan.
Hal ini menunjukkan untuk mendapatkan pati sukun dengan jumlah tertentu dapat
menggunakan buah sukun yang masih muda atau mentah agar dapat
mengoptimalkan dan meningkatkan efisiensi pengerjaan. Pati sukun memiliki
warna putih. Warna dari pati sukun dipengaruhi oleh umur panen. Pati sukun yang
berwarna putih menandakan waktu panennya masih tergolong muda. Pati sukun
memiliki aroma khas sukun dan tekstur yang halus namun kesat. Tektur yang
halus namun kesat menunjukkan sifat dari pati yang membedakannya dari tepung
(Purwantana, 2008).
Berdasarkan hasil pengamatan, rendemen pati beras yang didapatkan
adalah sebesar 18,33. Hasil ini jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan
penelitian Wulan dkk (2007) yang menyatakan rendemen pati beras alami adalah
70,83%. Rendemen dari pati beras dapat dipengaruhi oleh proses modifikasi pada
pati beras baik secara fisik dan kimia. Proses modifikasi secara fisik seperti
ekstrusi dapat menurunkan rendemen pati beras. Komponen utama yang ada
dalam beras adalah karbohidrat. Karbohidrat tersebut terdiri dari pati merupakan
bagian besar dan bagian kecil beras adalah gula, selulosa, hemiselulosa dan
pentosa. Pati yang ada dalam beras 85-90% dari berat kering beras, pentosa 2,0-
2,5% dan gula 0,6- 1,4% dari berat beras pecah kulit. Hasil pengamatan pati beras
menunjukkan warna putih. Biji beras yang putih bersih disebabkan oleh adanya
kandungan pati. Pati beras memiliki warna putih yang disebabkan karena hanya
memiliki sedikit aleuron dan kandungan amilosa umumnya sekitar 20% (Dianti,
R. W., 2010). Aroma yang khas pada pati beras disebabkan oleh senyawa volatil
berupa hidrokarbon aromatik dan aldehid. Hidrokarbon aromatik ini kemungkinan
adalah kontaminan yang berasal dari udara, air, dan tanah (Liu dan Korenaga,
2001). Tekstur dari pati beras berupa halus dan licin. Tektur dari pati beras
dipengaruhi oleh perbandungan komposisi kedua golongan pati. Beras pera
memiliki kandungan amilosa seitar 20% yang membuat butiran pati terpencar atau
tidak berlekatan sedangkan pada ketan yang hamper didominasi oleh amilopektin
memiliki tekstur yang sangat lekat. Secara umum kandungan amilosa pada beras
Thalia
240210160051
Kelompok 9A
adalah 18% sedangkan kandungan amilopektinnya sebesar 82% (Dianti, R., W.,
2010).

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini adalah
 Tepung pisang menghasilkan rendemen 27,21 %, warna putih agak krem,
aroma khas pisang, dan tekstur yang sangat halus.
 Tepung ubi jalar menghasilkan rendemen sebesar 21,10%, warna oranye
muda, aroma khas ubi jalar, dan tekstur yang sangat halus.
 Tepung ubi kayu menghasilkan rendemen sebesar 25,67%, memiliki
warna putih, rasa khas singkong, dan tekstur yang sangat halus.
 Tepung sukun menghasilkan rendemen 23,70%, warma putih agak krem,
rasa khas sukun, dan tekstur yang sangat halus.
 Tepung beras menghasilkan rendemen sebesar 64,98%, warna putih, rasa
khas beras, dan tekstur yang halus dan licin.
 Pati pisang menghasilkan rendemen sebesar 1,39 %, warna putih
kecoklatan, tidak beraroma, dan tekstur yang sangat halus.
 Pati ubi jalar menghasilkan rendemen sebesar 8,74%, warna putih, tidak
beraroma, dan tekstur yang halus namun kesat.
 Pati ubi kayu menghasilkan rendemen sebesar 11,02%, warna putih, tidak
beraroma, dan tekstur yang sangat halus.
 Pati sukun menghasilkan rendemen sebesar 1,94%, warna putih, aroma
khas sukun, dan tekstur yang halus namun kesat.
 Pati beras menghasilkan rendemen sebesar 18,33%, warna putih, aroma
khas beras dan tekstur yang halus namun licin.
Thalia
240210160051
Kelompok 9A

6.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari praktikum ini adalah praktikan harus lebih
teliti dan rapi dalam praktikum dan mengetahui literatur yang ada agar proses
praktikum berjalan lancar

DAFTAR PUSTAKA
Alamanda et al. 2015. Karakteristik Fisikokimia Pati Pisang pada Berbagai
Tingkat Kematangan. [Skripsi]. IPB. Bogor
Badan Standarisasi Nasional. 2009. Tepung Terigu (SNI 01-3751-2009). Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
Banks W dan Greenwood CT. 1975. Starch and Its Components. Helsted Press,
John Willey and Sons, New York.
Bemiller, J. dan R. Whistler. 2009. Starch: Chemistry and Technology. Elvesier
Inc. New York, hal. 544.
Brennan, J. G, J. R. Butter, N. D. Cowell, A. E. V. Lilly. 1969. Food Engineering
Operation. Elsevier Publishing Company Limited, New York.
Camire, M. E., dan Belbez, E. O. 1996. Flavour Formation During Extrution
Cooking. Cereal Foods World. 41 (9):734-746
Depkes R.I 1989. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhratara Karya Aksara,
Jakarta
Desroiser, N. W. 1998. Teknologi Pengawetan Pangan. UI Press. Jakarta.
Dianti, R., W. 2010. Kajian Karakteristik Fisikokimia Dan Sensori Beras Organik
Mentik Susu Dan IR64; Pecah Kulit Dan Giling Selama Penyimpanan.
[Skripsi]. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2005. Pengembangan
Usaha Pengolahan Tepung Tapioka. Direktorat Jenderal Bina Pengolahan
dan Pemasaran Hasil Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Eddy, S., dan Lilik, N., 2007. Membuat Aneka Roti, Penebar Swadaya, Jakarta
Ginting, E., Joko, S., Utomo, R. Y., dan Jusuf, M. 2011. Potensi Ubi Jalar Ungu
Sebagai Pangan Fungsional. Volume 6. Iptek Tanaman Pangan.
Hulme, A. C. 1981. The Biochemistry of Fruits and Their Product. Vol 2.
Academic Press London and New York.
Indriyani, F., Nurhidajah, dan Suyanto, A. 2013. Karakteristik Fisik, Kimia, dan
Sifat Organoleptik Tepung Beras Merah Berdasarkan Variasi Lama
Thalia
240210160051
Kelompok 9A
Pengeringan. Jurnal Pangan dan Gizi Vol.4 No.8. Universitas
Muhammadiyah Semarang.
Koswara, S. 2013. Teknologi Pengolahan Umbi-umbian: Ubi Jalar. UNIMED
IPB. Bogor
Kurniawan, W., L. 2013. Pembuatan dan Karakterisasi Tepung Dan Pati Ubi Jalar
Ungu. Diakses di http://repository.unpar.ac.id/handle/123456789/4138
pada 14 November 2018
Lidiasari, E., M.I. Syafutri, dan F. Syaiful. 2006. Pengaruh perbedaan suhu
pengeringan tepung tapai ubi kayu terhadap mutu fisik dan kimia yang
dihasilkan. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. 8(2): 141-146.
Liu, X., dan Korenaga, T. 2001. Dynamics Analysis fo The Distribution of
Polycyclic Aromatic Hydrocarbons in Rice. J. Health Sci. 47(5):446-451.
Mardiah, Z., Rakhmi, A. T., Indrasari, S. D., dan Kusbiantoro, B. 2016. Evaluasi
Mutu Beras untuk Menentukan Pola Preferensi Konsumen di Pulau Jawa.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Subang.
Masita, S., Wijaya, M., dan Fadilah, R. 2017. Karakteristik Sifat Fisiko-Kimia
Tepung Sukun (Artocarpus altilis) Dengan Varietas Toddo’Puli. Jurnal
Pendidikan Tekonogi Pertanian Vol. 3:5(234-241). Makasar.
Orindia, S. 2017. Karakteristik Pati Dari Beberapa Tanaman. [Tesis]. Universitas
Andalas. Sumatera
Penicaud, C., Nawel, A., Claudie, D. M., Manuel, D., dan Philippe, B. 2011.
Degradation of β-karoten During Fruit and Vegetable Processing or
Storage: Reaction Mechanisms and Kinetic Aspects: A Review. Journal
Fruit Vol. 66 No.6 p. 417-440.
Prasesti, G., K., Ardana, M., dan Rusli, R. 2016. Karakteristik Fisikokimia
Eksipien Tablet Dari Pati Sukun. Universitas Mulawarman. Kalimantan.
Purwantana, B. 2008. Kajian Kinerja Mesin Ekstraksi Tipe Ulir Pada Proses
Pembuatan Pati Aren (Arenga pinnata Merr). Available at www.i-
lib.ugm.ac.id (Diakses pada tanggal 11 November 2018)
Rahmah, N., A. 2007. Studi Pembuatan Tepung Pisang Tanduk Dan Aplikasi
Pada Cookies. Diakses di umm.ac.id pada 13 November 2018
Satuhu, A dan Supriyadi A. 2000. Pisang Budidaya, Pengolahan, dan Prospek
Pasar. Penerbit Swadaya. Jakarta
Syamsir, E dan Honestin T. 2009. Karakteristik Fisiko-Kimia Tepung Ubi Jalar
Varietas Sukuh Dengan Variasi Proses Pengeringan. Jurnal Teknologi dan
Industri Pangan Vol. 20:2(90-95). Bogor
Syarief; R. dan Irawati, 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian.
Jakarta: M ediyatama Sarana Perkasa.
Wibowo, D. 2012. Uji Coba Pembuatan Cookies Dengan Tepung Kulit Telur
Ayam Sebagai Pengganti Tepung Terigu. Universitas Bina Nusantara.
Jakarta.
Thalia
240210160051
Kelompok 9A
Widowati, S. 2009. Tepung Aneka Umbi Sebuah Solusi Ketahanan Pangan.Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian dalam Tabloid
Sinar Tani
Wulan, S., N., Widyaningsih, T., W., dan Ekasari, D. 2007. Modifikasi Pati Alami
Dan Pati Hasil Pemutusan Rantai Cabang Dengan Perlakuan Fisik/Kimia
Untuk Meningkatkan Kadar Pati Resisten Pada Pati Beras. Jurnal
Teknologi Pertanian Vol. 8:2(80-87). Malang

JAWABAN PERTANYAAN
1. Menurut saudara bagaimana karakteristik tepung dan pati yang baik?
Jawab:
Karakteristik tepung yang baik adalah kadar airnya yang rendah berkisar 2 –
10%, warna putih dengan derajat putih >90%, tidak ada cemaran baik logam
maupun mikroba, tekstur yang halus, ukuran partikel yang seragam dengan
lolos ayakan 80 mesh, dan aroma yang khas dari bahan baku. Sedangkan
karakteristik pati yang baik adalah kadar air yang rendah berkisar 2 -10%,
warna putih, tidak ada cemaran mikroba, serangga, maupun logam, tekstur
yang halus namun kesat, ukuran partikel yang seragam, dan tidak beraroma.

2. Apa fungsi perendaman dalam Natrium metabisulfit pada pembuatan


tepung?
Jawab:
Fungsi perendaman dalam Natrium metabisulfit pada pembuatan tepung
yaitu untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan baik enzimatis maupun
non-enzimatis. Hal ini dikarenakan Natrium metabisulfit akan berinteraksi
dengan gugus karbonil sehingga mengikat melanoidin yang merupakan
senyawa penyebab terjadinya pencoklatan. Selain itu, perendaman dengan
larutan garam akan mencegah pencoklatan karena Na akan berikatan dengan
gugus fenol (-OH) sehingga tidak terbentuk senyawa kuinon yang
menyebabkan pencoklatan.

3. Apa fungsi pencucian pada proses pembuatan pati?


Thalia
240210160051
Kelompok 9A
Jawab:
Pencucian pati ini betujuan untuk memisahkan komponen pati dari ampas
atau bahan – bahan lain sehingga hasil yang didapatkan merupakan pati
murni.

Anda mungkin juga menyukai