Anda di halaman 1dari 13

Fajar Abhirama A. I.

240210160076

IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN


Tabel 1. Hasil Pengamatan Tepung
Karakteristik Kenampakan
Kel Sampel Rende Gambar
Warna Aroma Tekstur
men
1B 0.507 𝑘𝑔
𝑥100
Putih Sedikit
Sangat
Pisang 1.454 𝑘𝑔 sedikit khas
= 34.87% kecokelatan halus
pisang
2B 1.104 𝑘𝑔
𝑥 100%
4.5 𝑘𝑔
Ubi Putih Khas ubi Sangat
Jalar = 24.53% kekuningan jalar halus

3B

1.106 kg
2.870 kg
Singkon Khas Sangat
x 100% Putih
g singkong halus
=
38.54%

0.174 𝑘𝑔
4B 𝑥 100% =
1.55 𝑘𝑔

11.25% Khas Sangat


Sukun Krem
sukun halus

5B 1.187 𝑘𝑔
𝑥100
3 𝑘𝑔 Putih Khas Sangat
Beras
= 39.67% kecokelatan beras halus

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2018)

Tepung dan pati merupakan dua produk yang berbeda cara pengolahan dan
pemanfaatannya. Pada pembuatan tepung, seluruh komponen yang terkandung di
dalamnya dipertahankan keberadaannya, kecuali air sehingga tepung bisa jadi tidak
murni hanya mengandung pati, karena tercampur dengan serat, protein dan
Fajar Abhirama A. I.
240210160076

sebagainya, sedangkan pati pada prinsipnya hanya mengekstrak kandungan patinya


saja (Muchtadi, et al 1988).
Pada awal pembuatan pati dan tepung, perlu dilakukannya sortasi bahan, agar
didapatkan bahan yang tidak tercampur dengan komponen lain dan didapatkan pula
bahan baik. Sortasi sendiri adalah pemisahan bahan yang sudah dibersihkan ke dalam
berbagai fraksi kualitas berdasarkan karakteristik fisik (kadar air, bentuk, ukuran,
berat jenis, tekstur, warna, benda asing/ kotoran), kimia (komposisi bahan, bau dan
rasa ketengikan) dan biologis (jenis dan jumlah kerusakan oleh serangga, jumlah
mikroba dan daya tumbuh khususnya pada bahan pertanian berbentuk bijian)
(Raharjo, 1976).
Tepung
Tepung adalah bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara pengilingan atau
penepungan. Tepung memiliki kadar air yang rendah, hal tersebut berpengaruh
terhadap keawetan tepung. Jumlah air yang terkandung dalam tepung dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain sifat dan jenis atau asal bahan baku pembuatan
tepung, perlakuan yang telah dialami oleh tepung, kelembaban udara, tempat
penyimpanan dan jenis pengemasan. Tepung juga merupakan salah satu bentuk
alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena akan lebih tahan disimpan,
mudah dicampur, dibentuk dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan
modern yang serba praktis. Cara yang paling umum dilakukan untuk menurunkan
kadar air adalah dengan pengeringan, baik dengan penjemuran atau dengan alat
pengering biasa (Nurani dan Yuwono, 2014).
Proses pertama pembuatan tepung adalah preparasi bahan yang dilakukan dengan
membersihkan bahan dari residu pengotor dan kulitnya dengan cara mencuci bahan
dan mengupas kulit dari bahan, dimana tujuannya untuk mengurangi adanya unsur
yang tidak dibutuhkan seperti jaringan yang rusak dan adanya kotoran pada
permukaan ubi dan beras sedangkan pada pisang dan sukun dilakukan pengupasan
dikarenakan produk yang dibuat adalah tepung yang menggunakan daging buah
dimana salah satu tujuannya agar ketika dibandingkan dengan patinya akan lebih
apple to apple. Selain itu juga adanya sortasi dapat mencegah adanya kerusakan kimia
Fajar Abhirama A. I.
240210160076

pada tepung dimana umbi-umbian terutama Ubi Kayu dapat mengandung asam
Sianida dimana dalam SNI 01-3451-1994 disebutkan batasan maksimalnya sebesar
40 mg/kg dimana dibuktikan dengan adanya perbedaan warna yang menjadi biru
gelap. Tak hanya itu, umbi-umbian merupakan komoditas yang rawan rusak dimana
disebutkan oleh Widowati (2009) bahwa umbi merupakan komoditas yang mudah
mengalami pencoklatan setelah dikupas. Hal ini disebabkan oksidasi dengan udara
sehingga terbentuk reaksi pencoklatan oleh pengaruh enzim yang terdapat di dalam
bahan pangan tersebut (browning enzymatic). Pencoklatan karena enzim merupakan
reaksi antara oksigen dan suatu senyawa phenol yang dikatalisis oleh polyphenol
oksidase.
Selanjutnya, pengecilan ukuran dapat dilakukan agar mempermudah proses
pengeringan kadar air nantinya, karena dengan luas permukaan yang lebih kecil akan
mempermudah proses penguapan air dari bahan. Hal tersebut sesuai dengan Afrianti,
Leni H. (2008), yang mengtakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi proses
pengeringan adalah suhu, luas permukaan, kecepatan pergerakan udara, dan tekanan
atmosfir. Selain itu menurut Muchtadi, et al. (1988) adanya penyeragaman ukuran
bertujuan untuk konsistensi struktur yang homogen dalam menghasilkan tekstur akhir
pada produk lebih diinginkan karena dalam pelaksanaannya operator dapat
mengendalikan kondisi-kondisi yang dapat dikendalikan. Setelah itu dilakukan
pengeringan. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengeringan
secara langsung dibawah sinar matahari dan pengeringan menggunakan alat
(Muharam 1992). Untuk pengeringan dengan menggunakan alat, digunakan suhu
sekitar 40oC – 60oC dengan alas alumunium sebagai konduktor dalam proses
pengeringan dimana penggunaan suhu tinggi mengakibatkan tepung akan menjendal
dan mengeras sehingga hasil akhir tidak dapat memuaskan (Hendrasty, 2003).
Peralatan pengeringan yang digunakan adalah oven cabinet dimana oven jenis ini
mengalirkan sirkulasi udara dimana bertujuan untuk mempercepat pengeringan dan
dengan digunakannya listrik sebagai instrumen maka mempermudah pengaturan suhu
secara komputerisasi.
Fajar Abhirama A. I.
240210160076

Proses berikutnya setelah bahan kering dengan sempurna adalah penggilingan


untuk memperoleh tepung dalam bentuk bubuk atau powder. Keseragaman ukuran
partikel dapat mempengaruhi mutu tepung yang dihasilkan, sehingga perlu dilakukan
proses pengayakan. Ukuran partikel yang dihasilkan bergantung pada ukuran mesh
yang digunakan. Hasil tepung memiliki karakteristik yang berbeda, namun kadar air
pada tepung secara SNI 01-3451-1994 memiliki kadar air maksimal 12% dimana hal
ini disebutkan Hendrasty (2003) dalam bukunya adalah pada saat produk telah jadi,
maka produk akan tetap menyerap air sehingga jika memiliki kadar air yang lebih
tinggi mengakibatkan adanya pengembunan dan pencemaran produk oleh air dimana
membuat kerusakan menjadi lebih cepat baik secara biologi maupun kimia.
Dikarenakan hal itu maka dalam pengemasannya digunakan plastic PP dan silica gel
dimana plastik PP berfungsi sebagai kemasan yang bersifat bening dan tidak berbau
dimana hal ini cocok untuk produk tepung dan pati karena sifatnya yang higroskopis.
Adanya penambahan silica gel adalah tindakan perventif yang tujuannya menyerap
uap air yang terdapat pada ruangan dalam kemasan dimana dapat menurunkan
kelembapan yang dapat meningkatkan umur simpan.
Pada sampel tepung pisang, didapatkan hasil bahwa rendemen dari tepung pisang
sebesar 34,87%. Hasil ini sedikit berbeda dari data hasil penelitian dari Universitas
Katolik Soegijapranata yang menyebutkan banyak rendemen dari tepung pisang
sebesar 31,65%, tingkat kematangan dan kadar air pisang akan berpengaruh terhadap
rendemen pisang yang dihasilkan. Pada penelitian ini pisang yang digunakan adalah
yang belum matang sempurna dengan kulit yang masih kehijauan. Pisang yang belum
matang memiliki kandungan pati yang tinggi dan kadar air yang lebih rendah. Hal
tersebut membuat rendemen tepung pisang yang dihasilkan akan semakin banyak
(Widowati, 2009). Warna, aroma, dan tekstur dari tepung pisang dari hasil
pengamatan berturut-turut adalah putih kecokelatan, beraroma khas pisang, dan
tekstur sangat halus. Perbedaan penilaian warna, aroma, dan tekstur dapat disebabkan
karena varietas pisang dan kepekaan panelis, antara pisang meja dan pisang plaintain.
Pisang nangka termasuk jenis pisang plaintain. Pisang meja pada umumnya memiliki
Fajar Abhirama A. I.
240210160076

aroma yang lebih kuat dan rasa yang manis dibandingkan dengan pisang plaintain
yang harus diolah atau dimasak terlebih dahulu sebelum dikonsumsi (Gilbert, 2009).
Pada sampel tepung ubi jalar, didapatkan hasil bahwa rendemen dari tepung ubi
jalar sebesar 24,53%. Hasil ini sesuai dengan range data hasil dari penelitian yang
dilakukan di Filipina, berdasarkan Woolfe (1992) yang diacu dalam Hal (2000)
menyebutkan rendemen penepungan ubi jalar di Filipina yaitu 12%-37%. Warna,
aroma, dan tekstur dari tepung ubi jalar dari hasil pengamatan berturut-turut adalah
putih kekuningan, beraroma khas ubi, dan memiliki tekstur yang sangat halus..
Perbedaan penilaian warna, aroma, dan tekstur dapat disebabkan karena varietas ubi
jalar namun hasil tersebut sudah sesuai dengan tepung berbahan dasar ubi jalar.
Pada sampel tepung singkong, didapatkan hasil bahwa rendemen dari tepung
singkong sebesar 38,54%%. Hasil ini tidak sesuai dengan rendemen tepung singkong
yang seharusnya, karena menurut Fauzi, et al (2012), rendemen tepung singkong atau
tapioka berkisar antara 19-24%. Tinggi atau rendahnya rendemen pada suatu produk
juga ditentukan oleh bahan baku yang digunakan, menurut Direktorat Pengolahan
Hasil Pertanian (2012), bahwa Varietas singkong yang digunakan dalam pembuatan
tepung dan pati singkong dapat berasal dari semua varietas. Faktor pengolahan juga
sangat berpengaruh pada rendemen yang dihasilkan, misalnya pada saat pemerasaan
yang dilakukan kurang optimal. Demikan pula pada proses penggilingan, biasanya
pada proses ini apabila tidak ditangani dengan baik maka banyak tepung yang
terbuang karena ukuran butiran yang kecil dan halus sehingga mudah keluar akibat
tiupan udara melalui celah-celah yang terdapat pada sepanjang aliran tepung sampai
pada kemasan. Warna, aroma, dan tekstur dari tepung singkong dari hasil pengamatan
berturut-turut adalah putih pucat, beraroma khas singkong, dan memiliki tekstur yang
sangat halus.. Perbedaan penilaian warna, aroma, dan tekstur dari yang seharusnya
dapat disebabkan karena varietas singkong dan penilaian setiap individu.
Pada sampel tepung sukun, didapatkan hasil bahwa rendemen dari tepung ubi
jalar sebesar 11,25%. Hasil ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian Masita S, et al
(2014) yang menyebutkan bahwa hasil rendemen dari tepung sukun sebesar 17,09%.
Hasil dari pengamatan kami yang kurang ini dapat disebabkan karena pada kadar pati
Fajar Abhirama A. I.
240210160076

yang tergelatinisasi, dimana proses gelatinisasi sempurna akan menghasilkan


rendemen yang tinggi (Santosa, et al, 2005). Tingginya rendemen tepung sukun yang
dihasilkan dalam penelitian ini dapat dipengaruhi oleh bobot berat buah sukun yang
digunakan dimana semakin berat buah sukun maka dapat menyebabkan rendemen
yang diperoleh semakin tinggi. Selain berat buah sukun, tingginya rendemen yang
dihasilkan dalam penelitian ini dapat pula dipengeruhi oleh kandungan air dalam
bahan pangan. Semakin tinggi kadar air bahan akan menyebabkan rendemen tepung
yang dihasilkan lebih banyak. Kadar air dalam bahan pangan dapat dipengaruhi oleh
proses pengeringan bahan. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Martunis
(2012) yang menyatakan bahwa semakin rendah suhu pengeringan. maka semakin
sedikit air yang teruapkan sehingga diperoleh rendemen yang tinggi. Warna, aroma,
dan tekstur dari tepung sukun dari hasil pengamatan berturut-turut adalah krem,
beraroma khas sukun, dan bertekstur sangat halus. Perbedaan penilaian warna, aroma,
dan tekstur dapat disebabkan karena varietas ubi jalar. Berdasarkan BSN yaitu SNI
01-3751-2006 disebutkan bahwa warna tepung yang memenuhi syarat yaitu warna
putih, maka warna dari tepung sukun kurang lebih sudah memenuhi syarat dari BSN,
karena warna tepung sukun yang tidak putih sempurna diakibatkan buah sukun
mengandung enzim polifenol. Enzim polifenol adalah enzim yang dapat
menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan pada buah sukun ketika dikupas. Untuk
aromanya, hal ini sesuai dengan standar mutu SNI 01-3751-2006 tepung bahwa
aroma yang baik untuk tepung yaitu normal (bebas dari bau asing).
Pada sampel tepung beras, didapatkan hasil bahwa rendemen dari tepung beras
sebesar 39,67%. Warna, aroma, dan tekstur dari tepung beras dari hasil pengamatan
berturut-turut adalah putih, beraroma khas berasm dan bertekstur sangat halus.
Perbedaan penilaian warna, aroma, dan tekstur dapat disebabkan karena varietas
beras namun hasil tersebut sudah sesuai dengan tepung berbahan dasar beras.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Pati
Karakteristik Kenampakan
Kel Sampel Rende Gambar
Warna Aroma Tekstur
men
Fajar Abhirama A. I.
240210160076

Karakteristik Kenampakan
Kel Sampel Rende Gambar
Warna Aroma Tekstur
men
6B 0.012 𝑘𝑔
𝑥100%
1,578 𝑘𝑔 Putih Khas Sangat
Pisang
= kecokelatan pisang Halus
0.76%
7B 0.2673 𝑘𝑔
𝑥100% Sangat
Ubi 2.5 𝑘𝑔 Khas ubi
Putih halus dan
Jalar = jalar
kesat
10.69%
8B 0.636 𝑘𝑔
𝑥100%
3.75 𝑘𝑔
=
Singkon Khas Sangat
16.96% Putih
g singkong Halus

9B 0.02 𝑘𝑔
𝑥 100%
Cokelat
1.730 𝑘𝑔 Khas Sangat
Sukun muda
= Sukun Halus
kehijauan
1.156%
10B 0.440 𝑘𝑔
𝑥100%
2.25 𝑘𝑔 Putih bersih Khas Sangat
Beras
= beras Halus
19.55%
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2018)
Pati
Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa, dan terdiri atas amilosa
dan amilopektin (Jacobs dan Delcour 1998). Pati terdiri dari butiran-butiran kecil
yang disebut granula. Winarno (2002), menyatakan bahwa granula pati mempunyai
sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal
hitam putih. Sifat inilah yang disebut birefringent. Pada saat granula mulai pecah,
sifat birefringent ini akan menghilang.Pengolahan Pati memiliki pengolahan yang
serupa dengan tepung namun batas perbedaannya dalam pengolahannya terdapat pada
fase ekstraksi dimana pati diekstrak bagian yang memiliki banyak kandungan
polisakarida sehingga jika proses pembuatannya dilakukan dengan baik, pati yang
dihasilkan akan berwarna putih bersih (Moorthy, 2004). Pati dapat diperoleh dari biji-
Fajar Abhirama A. I.
240210160076

bijian, umbi-umbian, sayuran, maupun buah-buahan. Sumber alami pati antara lain
adalah jagung, labu, kentang, ubi jalar, pisang, barley, gandul, beras, sagu, amaranth,
ubi kayu, ganyong, dan sorgum.
Pada proses sortasi fungsinya sama seperti tepung begitupun saat pengecilan
ukuran. Dimana hal ini dikarenakan ukuran partikel yang kecil mempermudah dalam
pengeringan karena area yang dihasilkan lebih besar dan ketebalan yang seragam.
Selain itu menurut Muchtadi, et al. (1988) adanya penyeragaman ukuran bertujuan
untuk konsistensi struktur yang homogen dalam menghasilkan tekstur akhir pada
produk lebih diinginkan karena dalam pelaksanaannya operator dapat mengendalikan
kondisi-kondisi yang dapat dikendalikan. Selanjutnya dilakukan ekstraksi. Proses
ekstraksi pada pati dilakukan selama 24 jam, hal ini bertujuan untuk memisahkan
antara pati dan zat lainnya dimana ketika dilakukan pengendapan, granula pati akan
mengendap pada dasar wadah dan akan membentuk pasta (Mustafa 2016).
Menurut Suprapti (2005) dalam bukunya Teknologi Pengolahan Pangan Tepung
Tapioka dijelaskan bahwa volume pencucian tepung sebanyak 4-6 kali, dimana pada
praktikum ini digunakan 4 kali yang tujuannya untuk meningkatkan derajat keputihan
agar menciptakan pati yang lebih putih. Selain pencucian, kualitas air juga
mempengaruhi dimana cemaran dan kandungan yang terlarut dalam air
mempengaruhi produk akhir.Proses Pencucian atau leaching adalah proses pemisahan
komponen pelarut dari bahan pangan (Fellows, 2000). Prinsip yang digunakan
adalah, ketika suatu bahan pangan mengalami kontak dengan suatu cairan, beberapa
unsurnya akan terlarut menjadi tingkatan yang lebih tinggi atau rendah. Tingkatan
pemutusan (degree of dissolution) dari masing-masing unsur ketika kontak dengan
cairan menyebabkan terbentuknya ekstrak atau leachate/percolate yang dapat
digunakan untuk bermacam-macam tujuan (Sloot, et. al., 1997).
Setelah itu dilakukan pengeringan dimana digunakan suhu sekitar 40oC – 60oC
dengan alas alumunium sebagai konduktor dalam proses pengeringan dimana
penggunaan suhu tinggi mengakibatkan tepung akan menjendal dan mengeras
sehingga hasil akhir tidak dapat memuaskan (Hendrasty, 2003). Peralatan
pengeringan yang digunakan adalah oven cabinet dimana oven jenis ini mengalirkan
Fajar Abhirama A. I.
240210160076

sirkulasi udara dimana bertujuan untuk mempercepat pengeringan dan dengan


digunakannya listrik sebagai instrumen maka mempermudah pengaturan suhu secara
komputerisasi. Tujuan akhir dari pengeringan adalah pengurangan kadar air dimana
menjadi dibawah 14%.
Sebelum dikemas, pati dilakukan penggilingan dimana menggunakan ukuran 100
mesh dimana hal ini menjadi krusial dikarenakan untuk menentukan mutu pati. Pati
yang baik adalah tepung yang tidak menggumpal dan memiliki kehalusan yang baik.
Dalam SNI tidak dipersyaratkan mengenai kehalusan pati. Salah satu institusi yang
mensyaratkan kehalusan sebagai syarat mutu pati yakni The Tapioca Institute of
America (TIA), yang membagi pati menjadi tiga kelas (grade) berdasarkan
kehalusannya. Standar kehalusan tepung tapioka menurut TIA grade terbaik adalah
pati yang lolos ayakan dengan presentase sebesar 99% dengan ukuran ayakan 140
mesh (Radley, 1976). Perbedaan kadar pati juga dapat terjadi karena proses
pengolahan. Abera dan Rakshit (2003) melaporkan bahwa proses penggilingan kering
pada pembuatan tepung tapioka dapat menghilangkan kadar pati sebesar 13-20%.
Selain itu, kadar pati juga dapat berkurang karena partikel-partikel pati yang
berukuran kecil ikut terbuang bersama partikel serat halus selama proses pencucian
pati. Pada proses penyaringan basah, kehilangan jumlah pati juga dapat terjadi karena
adanya partikel-partikel pati yang lebih besar yang tidak lolos saringan, sehingga
jumlah pati yang terukur menjadi lebih sedikit.
Hendrasty (2003) dalam bukunya adalah pada saat produk telah jadi, maka
produk akan tetap menyerap air sehingga jika memiliki kadar air yang lebih tinggi
mengakibatkan adanya pengembunan dan pencemaran produk oleh air dimana
membuat kerusakan menjadi lebih cepat baik secara biologi maupun kimia.
Dikarenakan hal itu maka dalam pengemasannya digunakan plastic PP dan silica gel
dimana plastik PP berfungsi sebagai kemasan yang bersifat bening dan tidak berbau
dimana hal ini cocok untuk produk tepung dan pati karena sifatnya yang higroskopis.
Adanya penambahan silica gel adalah tindakan perventif yang tujuannya menyerap
uap air yang terdapat pada ruangan dalam kemasan dimana dapat menurunkan
kelembapan yang dapat meningkatkan umur simpan.
Fajar Abhirama A. I.
240210160076

Pada sampel pati pisang, didapatkan hasil bahwa rendemen dari pati pisang
sebesar 0,76%. Kadar total pati pada pisang matang menurut Zhang et al (2005),
hanya berkisar 1 – 2 %, sementara kadar pati pada pisang mentah berkisar antara 20 –
23 %. Maka hasil yang didapatkan dari hasil pengamatan sudah sesuai dengan
seharusnya. Perbedaan nilai kadar total pati antar varietas yang didapatkan dapat
dipengaruhi oleh proses ekstraksi yang dilakukan (Pelissari et al. 2012). Warna,
aroma, dan tekstur dari pati pisang dari hasil pengamatan berturut-turut adalah putih
kecokelatan, beraroma khss pisang, dan bertekstur sangat halus. Perbedaan penilaian
warna, aroma, dan tekstur dapat disebabkan karena varietas pisang namun hasil
tersebut sudah sesuai dengan pati pisang biasanya.
Pada sampel pati ubi jalar, didapatkan hasil bahwa rendemen dari pati ubi jalar
sebesar 10,69%. Rendemen pati berdasarkan SNI 01 - 4493 - 1998 tentang ubi jalar
yaitu sebesar 25% sehingga hasil yang didapatkan yaitu 10,69% sudah sesuai dan
dapat dibilang sangat rendah. Perbedaan nilai kadar total pati antar varietas yang
didapatkan dapat dipengaruhi oleh proses ekstraksi yang dilakukan (Pelissari et al.
2012). Warna, aroma, dan tekstur dari pati ubi jalar dari hasil pengamatan berturut-
turut adalah putih, beraroma khas ubi jalar, dan bertekstur sangat halus. Perbedaan
penilaian warna, aroma, dan tekstur dapat disebabkan karena varietas ubi jalar namun
hasil tersebut sudah sesuai dengan pati ubi jalar.
Pada sampel pati singkong, didapatkan hasil bahwa rendemen dari pati singkong
sebesar 10,69%. Hal ini dibawah hasil penelitian yang dilakukan Apriyadi (2009),
yang menurutnya rendemen pati singkong yang didapat dengan pengeringan
menggunakan oven berkisar antara 22-54%. Perbedaan nilai kadar total pati antar
varietas yang didapatkan dapat dipengaruhi oleh proses ekstraksi yang dilakukan
(Pelissari et al. 2012). Warna, aroma, dan tekstur dari pati singkong dari hasil
pengamatan berturut-turut adalah putih, beraroma khas singkong, dan bertekstur
sangat halus. Hal ini dikarenakan kandungan pati yang tinggi dalam pati ubi dimana
menurut Moorthy (2004) pati merupakan senyawa polisakarida yang berwarna putih
cerah. Tidak adanya bau dikarenakan kandungan dalam tapioka tidak mengandung
Fajar Abhirama A. I.
240210160076

volatil dimana tidak menimbulkan aroma. Ukuran dari tapioka dalam praktikum ini
adalah lolos 100mesh dimana membuat pati bertekstur sangat halus.
Pada sampel pati sukun, didapatkan hasil bahwa rendemen dari pati sukun
sebesar 1,156%. Alasan pati sukun memiliki rendemen pati yang sedikit dikarenakan
menurut Winata (2001) disebutkan bahwa kandunga pati pada sukun hanya 13,5%
dimana membuat rendemen patinya hanya sedikit. Perbedaan nilai kadar total pati
antar varietas yang didapatkan dapat dipengaruhi oleh proses ekstraksi yang
dilakukan (Pelissari et al. 2012). Warna, aroma, dan tekstur dari pati sukun dari hasil
pengamatan berturut-turut adalah cokelat muda kehijauan, beraroma khas sukun, dan
bertekstur sangat halus. Perbedaan penilaian warna, aroma, dan tekstur dapat
disebabkan karena varietas sukun.
Pada sampel pati beras, didapatkan hasil bahwa rendemen dari pati beras sebesar
19,55%. Perbedaan nilai kadar total pati antar varietas yang didapatkan dapat
dipengaruhi oleh proses ekstraksi yang dilakukan (Pelissari et al. 2012). Warna,
aroma, dan tekstur dari pati beras dari hasil pengamatan berturut-turut adalah putih,
beraroma khas beras, dan bertekstur sangat halus. Perbedaan penilaian warna, aroma,
dan tekstur dapat disebabkan karena varietas beras yang digunakan.
Fajar Abhirama A. I.
240210160076

DAFTAR PUSTAKA

Afrianti, Leni Herliana. 2008. Teknologi Pengawetan Pangan. Bandung

Dewan Standardisasi Nasional. 1994. Tepung Tapioka (SNI 01-3751-2006). Dewan


Standardisasi Nasional, Jakarta.

Fauzi, Y. Dkk. 2012. Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta.

Hal, M. van. 2000. Quality of Sweetpotato Flour during Pprocessing and Storage.
Food Rev. Int. 16 (1): 1-37.

Hendrasty, H.K., 2003. Tepung Labu Kuning Pembuatan dan Pemanfaatannya.


Kanisius, Yogyakarta.

Martunis. 2012. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan Terhadap Kuantitas dan
Kualitas Pati Kentang Varietas Granola. Jurnal. Fakultas Pertanian, Universitas
Syiah Kuala

Masita S, Mohammad Wijaya, dan Ratnawaty Fadilah. Karakteristik Sifat Fisiko-


kimia Tepung Sukun (Artocarpus altilis) dengan Varietas Toddo’Puli.

Moorthy SN. 2004. Tropical Source of Starch. Di dalam Eliasson AC (ed). 2004.
Boca Raton: Starch in Food : Structure, Function, and Application. CRC Press.

Muchtadi, T.R., Purwiyatno, Ahza A.A. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi.


Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Muharam, S., 1992. Studi Karakteristik Fisiko Kimia dan Fungsional Tepung
Singkong (Manihot esculenta crantz) dengan Modifikasi Pengukusan,
Penyangraian, dan Penambahan GMS, serta Aplikasinya dalam Pembuatan
Roti tawar. Skripsi. IPB-Press, Bogor.

Nurani dan S. Yuwono, S. S. 2014. Pemanfaatan Tepung Kimpul Sebagai Bahan


Baku Cookies. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol 2. No. 2 hal. 50-58,
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.

Raharjo, M. 1976. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Purwokerto : Universitas


Jendral Soedirman

Santosa, B.A.S., Sudaryono dan Widowati, S. 2005. Evaluasi Teknologi Tepung


Instan dari Jagung Brondong dan Mutunya. Jurnal Pascapanen 2.

Widowati, S. (2009). Tepung Aneka Umbi Sebuah Solusi Ketahanan Pangan.


Tabloid Sinar Tani, 6.
Fajar Abhirama A. I.
240210160076

Winata, Aida. 2001. Karakterisasi Tepung Sukun (Artocarpus altilis) Pramasak


Hasil Pengeringan Drum serta Aplikasinya untuk Substitusi Tepung Terigu
pada Pembuatan Roti Manis. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Woolfe, J. A. 1992. Sweetpotato an Untapped Food Resource. Cambridge


University Press, New York, p. 15.

Zhang P, RL Whistler, JN BeMiller, dan BR Hamaker. 2005. Banana starch:


production, physicochemical properties, and digestibility – a reviews.
Carbohydr. Polym. 59:443-458

Anda mungkin juga menyukai