Anda di halaman 1dari 11

Syifa Noorazizah Husein

240210140109

V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Praktikum yang dilakukan kali ini yaitu mengenai pengeringan komoditi


serealia, kacang-kacangan dan umbi-umbian. Pengeringan merupakan salah satu
cara penanganan bahan pangan yang sangat penting. Proses pengeringan adalah
proses perpindahan panas dari sebuah permukaan benda sehingga kandungan air
pada permukaan benda berkurang (Mahadi, 2007). Proses pengeringan pada
prinsipnya menyangkut proses pindah panas dan pindah massa yang terjadi secara
bersamaan (simultan) (Rahmawan, 2001). Pengeringan merupakan tahapan
operasi rumit yang meliputi perpindahan panas dan massa secara transien serta
melalui beberapa laju proses, seperti transformasi fisik atau kimia, yang pada
gilirannya menyebabkan perubahan mutu hasil maupun mekanisme perpindahan
panas dan massa. Proses pengeringan dilakukan sampai pada kadar air seimbang
dengan keadaan udara atmosfir normal (Equilibrium Moisture Content) atau pada
batas tertentu sehingga aman disimpan dan tetap memiliki mutu yang baik sampai
ke tahap proses pengolahan berikutnya (Widyotomo and Mulato, 2005).
Mekanisme pengeringan yang dijelaskan oleh Fellows (2000), yaitu ketika udara
panas ditiupkan melalui makanan basah (kadar air tinggi), uap air berdifusi
melalui lapisan tapal batas pada udara di sekitar makanan dan uap air terbawa oleh
udara yang bergerak. Gradien tekanan uap air terbentuk dari bagian dalam
makanan yang lembab ke udara kering, gradien ini memberikan ‘driving force’
untuk menghilangkan air dari makanan.
Pengeringan pada praktikum kali ini dilakukan pada sampel singkong, ubi
jalar putih, jagung, dan kedelai hitam. Sampel tersebut ada yang dikeringkan
untuk dijadikan tepung dan ada yang dijadikan pati. Berdasarkan prosesnya,
perbedaan tepung dengan pati yaitu pati diekstrak dengan proses basah, sedangkan
tepung diperoleh dari hasil penggilingan chips kering (Dufour et al., 2002).
Karakteristik yang dimiliki pati dan tepung pun berbeda, seperti hasil penelitian
oleh Dufour et al. (2002) bahwa suhu gelatinisasi yang mencatat mengungkapkan
perbedaan yang konsisten antara sampel tepung dan pati. Membandingkan nilai
untuk suhu awal, suhu maksimum, dan suhu akhir, hasil untuk tepung masing-
masing 2-3°C lebih tinggi daripada untuk pati yang sama. Komponen dalam
Syifa Noorazizah Husein
240210140109

tepung, dengan membatasi akses air ke dalam granula pati, dapat menunda
gelatinisasi. Kenaikan suhu gelatinisasi tepung juga mungkin disebabkan oleh
serat. Surfaktan dan lipid, dengan membentuk kompleks, diketahui untuk
meningkatkan suhu gelatinisasi.

5.1 Tepung Singkong dan Tepung Ubi


Tepung singkong dan tepung ubi jalar putih dibuat dengan cara yang sama,
yaitu pertama-tama sampel singkong dan ubi jalar dikupas menggunakan pisau
stainless steel lalu dicuci untuk menghilangkan kotoran yang masih melekat pada
sampel, kemudian sampel diiris tipis sekitar 5x1x1 cm. Pisau yang digunakan
bukan pisau besi melainkan pisau stainless steel agar dapat menghambat
pencoklatan, karena menurut deMan (1997), pisau besi mengandung tembaga
(Cu) yang merupakan gugus prostetik yang diperlukan enzim polifenol oksidase
(enzim penyebab pencoklatan). Sampel selanjutnya direndam dalam larutan Na
Bisulfit 0,2% selama 15 menit yang bertujuan untuk menghambat pencegahan
pencoklatan enzimatis pada sampel singkong dan ubi jalar. Menurut
Padmaningrum dan Utomo (2009) bahwa salah satu kendala yang sering dialami
dalam proses pembuatan produk kering adalah terjadinya perubahan warna pada
produk kering yang dihasilkan. Hal ini terjadi juga pada pembuatan tepung ubi
jalar sejak bahan dikupas, yaitu mula-mula kecoklatan dan akhirnya menjadi
hitam yang menyebabkan penampilan kurang menarik. Cara mengatasi warna
coklat-kehitaman yang telah dilakukan adalah dengan perendaman dalam larutan
pemutih salah satunya yaitu natrium bisulfit (Padmaningrum dan Utomo, 2009).
Sampel yang telah direndam kemudian ditiriskan, lalu dikeringkan menggunakan
oven dengan suhu 60°C selama 12 jam, kemudian sampel dikecilkan ukurannya,
lalu diayak menggunakan ayakan 80 mesh, dan jadilah tepung singkong/tepung
ubi jalar. Karakteristik inderawi serta rendemen dari tepung singkong dan tepung
ubi jalar diamati. Rendemen diperoleh dari berat akhir bahan dibagi berat awal
bahan.
Singkong dan ubi jalar dibuat menjadi tepung karena keduanya merupakan
sumber karbohidrat yang baik, dan salah satu bentuk olahan yang dapat
dikembangkan lebih lanjut untuk meningkatkan nilai tambah singkong dan ubi
Syifa Noorazizah Husein
240210140109

jalar adalah dalam bentuk tepung. Menurut Sutardi dkk. (2002), beberapa
kelebihan bahan pangan yang diolah dalam bentuk tepung adalah mudah disimpan
dan memiliki saya simpan yang lebih tinggi, serta memudahkan kegiatan
transportasi produk. Hasil pengamatan karakteristik tepung singkong dan tepung
ubi jalar disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Karakteristik Tepung Singkong dan Tepung Ubi


Jalar
Rend
Ke Sampe War Tekstu Gamb
Aroma Berat e-
l l na r ar
men
Khas
sebelu
Tepung Putih Singkon Keras 950 g
m 29,54
7 Singko g
%
ng sesuda Tidak
Putih Halus 243 g
h berbau
sebelu Khas
Putih Keras 630 g
m ubi
Tepung
Putih 21,7
9 Ubi
sesuda Keku Khas 129,78 %
Jalar Halus
h ninga ubi 13
n g
(Sumber: Dokuemntasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan, karakteristik warna pada singkong sebelum


ditepungkan maupun setelah menjadi tepung singkong adalah sama, yaitu
berwarna putih. Berbeda halnya dengan tepung ubi jalar yang memiliki warna
tepung putih kekuningan, tidak berwarna putih seperti sebelum ditepungkan.
Warna pada tepung biasanya diamati sebagai derajat putih. Menurut Richana dan
Sunarti (2004), derajat putih umbi sangat dipengaruhi oleh kadar polifenol yang
ada pada umbi. Polifenol menyebabkan terjadinya pencoklatan enzimatis, yaitu
reaksi polifenolase dan oksigen yang terdapat di udara. Enzim tersebut keluar
apabila terjadi luka pada umbi. Berdasarkan literatur tersebut, maka warna putih
kekuningan pada tepung ubi jalar disebabkan oleh proses pencoklatan enziamtis.
Hal ini menunjukan larutan Na Bisulfit lebih efektif mencegah pencoklatan pada
tepung singkong. Menurut Prayudi (1988), pencegahan reaksi pencoklatan ini
ialah dengan mencegah aktivitas fenolase itu sendiri. Natrium bisulfit dapat
berikatan dengan Cu (kofaktor yang mengefektifkan enzim) sehingga proses kerja
enzim dapat terhambat. Penambahan NaHSO3 yang semakin meningkat akan
Syifa Noorazizah Husein
240210140109

menghambat reaksi pencoklatan lebih baik sehingga derajat putih dapat


meningkat.
Karakteristik aroma pada tepung singkong adalah tidak berbau, sedangkan
singkong segar sebelum ditepungkan memiliki aroma khas singkong. Aroma ubi
jalar sebelum maupun sesudah penepungan tidak berubah, yaitu mengeluarkan
aroma khas ubi. Tekstur tepung singkong dan tepung ubi jalar memiliki
krakateristik yang sama yaitu bertesktur halus, karena dalam proses
pembuatannya kedua sampel telah megalami pngecilan ukuran dan pengayakan.
Rendemen yang dihasilkan dari tepung singkong yaitu 29,54% lebih besar dari
rendemen tepung ubi jalar yang hanya 21,7%. Rendemen tepung ubi jalar yang
dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan menurut Murwati, dkk (2005) yang
mengatakan bahwa ubi jalar segar dijadikan tepung rata-rata rendemennya adalah
19,63%. Tidak berbeda halnya dengan tepung singkong, rendemen yang diperoleh
lebih besar dibandingkan hasil penelitian oleh Misgiyarta, dkk (2012), bahwa
rendemen tepung singkong non fermentasi yaitu 28,01%. Rendemen yang
diperoleh dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti suhu pengeringan, proses
pembuatan, dan perlakuan lainnya. Hal ini didukung dengan pernyataan oleh
Rizal (2013), bahwa semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan maka
rendemen yang dihasilkan semakin rendah, hal ini disebabkan semakin tingginya
suhu pengeringan maka terjadi penguapan air yang semakin banyak. Konsentrasi
larutan Na Bisulfit yang ditambahkan juga dapat memengaruhi rendemen yang
dihasilkan, seperti hasil penelitian oleh Rahman (2007) bahwa semakin tinggi
konsentrasi natrium bisulfit maka kandungan mineral Na dan S pada bahan
semakin banyak, sehingga rendemen semakin meningkat.

5.2 Pati Singkong dan Pati Ubi Jalar


Pembuatan pati singkong dan pati ubi jalar dilakukan dengan cara yaitu
pertama-tama sampel dikupas terlebih dahulu, kemudian dilakukan pemarutan
singkong/ubi jalar yang bertujuan untuk memperkecil ukuran serta membantu
untuk menghancurkan dinding sel singkong/ubi jalar agar diperoleh hasil yang
maksimal (Prayati, 2005). Tahap selanjutnya yaitu ekstrasi yang bertujuan untuk
memisahkan antara cairan yang mengandung pati dengan ampas, caranya yaitu
Syifa Noorazizah Husein
240210140109

dengan menambahkan air ke dalam sampel yg telah diparut (air : bahan = 4 : 1),
lalu diperas hingga tidak ada ekstrak yang menetes lagi dan diperoleh ampas yang
merupakan pati basah. Pati basah tersebut kemudian dicuci, pencucian berulang
bertujuan untuk menghasilkan pati berkualitas tinggi dengan sisa protein yang
sangat rendah, karena pati dengan kualitas baik memiliki tingkat kemurnian lebih
dari 99,5% (Pratama, 2008). Pati basah kemudian dikeringkan dalam oven selama
12 jam pada T = 60°C, lalu jadilah pati kering. Hasil pengamatan terhadap pati
singkong dan pati ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Karakteristik Pati Singkong dan Pati Ubi Jalar
Kel Warn Tekstu
Sampel Aroma Berat Rendemen Gambar
. a r
Khas
Sebelum Putih Kasar 1,4 kg
Pati singkong
8 32,5% -
singkong Khas
Sesudah Putih Halus 455
singkong
Putih Khas Keras 1,15 kg
Sebelum
Pati ubi Ubi
12 12,85% -
jalar Putih Khas Halus 147,7511
Sesudah
Ubi g
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan, karakteristik warna dan aroma pada pati


singkong dan pati ubi jalar tidak mengalami perubahan baik sebelum (bahan
segar) maupun sesudah pengeringan (pati). Tekstur singkong dan ubi jalar segar
adalah keras, sedangkan patinya bertekstur halus. Tingkat kekerasan singkong dan
ubi jalar diduga memiliki hubungan dengan kadar pati yang dikandung singkong
tersebut. Hal ini sesuai dengan Wills et al. (2005) yang menyatakan bahwa pada
umumnya dengan bertambahnya tingkat ketuaan umbi-umbian akan semakin
keras teksturnya karena kandungan pati yang semakin meningkat, akan tetapi
apabila terlalu tua kandungan seratnya bertambah sedang kandungan pati
menurun.
Rendemen pati ubi jalar yang dihasilkan (12,85%) ternyata lebih rendah
dibandingkan rendemen pati ubi jalar hasil penelitian oleh Triyono (2007) yaitu
sekitar 15%. Berbeda halnya dengan rendemen pati singkong yang dihasilkan
(32,5%) lebih tinggi dibandingkan rendemen pati singkong menurut Asfia (2013)
yaitu sekitar 25%. Beberapa hal yang mempengaruhi pencapaian rendemen
Syifa Noorazizah Husein
240210140109

tersebut adalah umur kurang dari 9 bulan, mesin/alat parut kurang baik sehingga
parutan kurang halus, proses pemerasan kurang sempurna sehingga tidak seluruh
bagian terekstraksi, dalam proses pemisahan tapioka dengan airnya banyak tepung
yang terbuang, kualitas bahan baku ubi kayu kurang baik atau banyak bagian yang
rusak dan terbuang (Asfia, 2013).

5.3 Pati Jagung


Pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang kandungan bahan
kimianya masih lengkap. Perbedaan yang signifikan terutama pada kandungan
protein, lemak, dan kadar abu, pada tepung jagung masih lengkap sedangkan pada
pati jagung sudah dipisahkan serta sebagian hilang pada proses pencucian. Pati
tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin, dan
material antara seperti protein dan lemak (Greenwood, 1979). Pembuatan pati
jagung hampir serupa dengan cara pembuatan pati singkong dan pati ubi jalar.
Pembuatan pati jagung dimulai dengan sortasi jagung pipil dan kemudian jagung
pipil direndam dengan air selama 24 jam. Selama perendaman, air akan berdifusi
ke dalam kernel meningkatkan kadar air dari 15% menjadi 45%. Difusi air
menyebabkan ukuran kernel membengkak dua kali ukuran semula, melunakkan
kernel dan memudahkan pemisahan pada tahap selanjutnya (Pratama, 2008).
Jagung pipil selanjutnya mengalami pengecilan ukuran, lalu diekstrasi hingga
mendapat pati basah. Pati basah yang diperoleh kemudian dicuci dan dipisahkan
lagi, lalu dikeringkan dalam oven dengan suhu 60°C selama 12 jam, kemudian
kembali mengelamai pengecilan ukuran dan akhirnya diperoleh pati jagung.
Pelarutan dan pencucian yang berulang digunakan untuk menghasilkan pati
berkualitas tinggi dengan sisa protein yang sangat rendah, karena pati dengan
kualitas baik memiliki tingkat kemurnian lebih dari 99.5% (Pratama, 2008). Hasil
pengamatan karakteristik pati jagung disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengamatan Karakteristik Pati Jagung


Kel Sampe Warn Tekstu
Aroma Berat Rendemen Gambar
. l a r
11 Pati Kunin Khas Keras 450 g 34,03%
Sebelum
Jagung g Jagung
Sesudah Putih Tidak Halus 146,
Berbau 3263
Syifa Noorazizah Husein
240210140109

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan, warna jagung pipil adalah kuning,


sedangkan warna pati jagung adalah putih. Perubahan warna tersebut diduga
karena bagian kulit atau perikarp jagung telah lepas selama proses pembuatan
pati, sehingga yang dihasilkan adalah pati yang berwarna putih. Jika pati yang
dihasilkan tetap berwarna kuning dikhawatirkan pati yang diperoleh tidak murni.
Hal ini didukung pernyataan menurut Hodge & Osman, (1976), bahwa dalam
keadaan murni, granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak
berasa. Rendemen pati jagung yang dihasilkan (34,03%) relatif lebih rendah
dibandingkan dengan rendemen pati jagung dari beberapa varietas hasil penelitian
oleh Suarni dkk. (2013) yaitu sebesar 28,95-41,77%. Rendemen dan kadar pati
jagung dipengaruhi oleh sifat agronomis setiap varietas, termasuk bobot biji, mutu
biji, umur panen (masak fisiologis), dan tipe biji. Rendemen yang relatif rendah
disebabkan oleh pemisahan lembaga secara manual, sehingga sebagian pati ikut
terbawa. Pemisahan serat menggunakan kain saring berlapis sehingga masih ada
pati yang terbawa bersama serat, proses ekstraksi yang dilakukan dengan
perlakuan perendaman menyebabkan larutnya pati bersama air rendaman dan
waktu pengendapan terpisah sehingga rendemen pati berkurang (Suarni dkk.,
2013).

5.4 Tepung Kedelai Hitam


Pembuatan tepung kedelai hitam dilakukan dengan merendam kedelai
hitam dalam air selama 6 jam, kemudian direbus selama 30 menit. Perendaman
kedelai dimaksudkan untuk melunakkan struktur selular kedelai sehingga mudah
digiling dan memberikan dispersi dan suspensi bahan padat kedelai lebih baik
pada waktu ekstraksi (Darmajana, 2012), sedangkan perebusan awal (pre-
blanching) bertujuan untuk mengurangi off flavor pada kedelai, seperti menurut
Shutleff d& Aoyagi (1984) bahwa flavor dan aroma yang tidak diinginkan pada
susu kedelai ini dapat dieliminasi dengan beberapa cara diantaranya yaitu
Syifa Noorazizah Husein
240210140109

penggilingan dengan panas (hot grinding), pra-blansir atau pemanasan kering-


awal, penghilangan lemak (defatted soy meal), deodorasi vakum, penggumpalan
protein kedelai dengan asam, dll. Terdapat dua perlakuan berbeda yang diberikan
pada kedelai hitam, yaitu kedelai hitam yang telah dikupas kulitnya dan kedelai
hitam tanpa kupas kulit. Keduanya dikeringkan dalamoven selama 12 jam pada
suhu 60°C, lalu diberi perlakuan pengecilan ukuran, diayak 80 mesh, dan
kemudian menjadi tepung kedelai hitam. Hasil pengamatan karakteristik tepung
kedelai hitam disajikan dalam Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Hasil Pengamatan Karakteristik Tepung Kedelai Hitam


Kel Sampe Warn Tekstu Rendeme
Aroma Berat Gambar
. l a r n
Sebelu
Hitam Langu Keras 274 g
m
Tepung
Khas
10 kedelai 58,87%
Sesuda Putih Kedelai 161,31
hitam Halus
h gading menyenga 7
t
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan, warna kedelai hitam sebelum proses


penepungan adalah hitam, sedangkan sesudah penepungan menjadi berwarna
putih gading. Hal tersebut diduga karena pelepasan kulit kedelai hitam selama
proses sehingga yang terbawa adalah bagian biji dari kedelai yang berwarna putih
yang menandakan kemurnian pati tersebut. Menurut Hodge & Osman, (1976),
bahwa dalam keadaan murni, granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau
dan tidak berasa. Rendemen tepung kedelai hitam yang dihasilkan (58,78%)
merupakan yang paling besar di antara jenis tepung dan pati lain yang dibuat pada
praktikum ini.
Syifa Noorazizah Husein
240210140109

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil praktikum kali ini yaitu :
 Salah satu perbedaan antara pati dengan tepung adalah proses
pembuatannya; yaitu pati diekstrak dengan proses basah, sedangkan
tepung diperoleh dari hasil penggilingan chips kering.
 Tepung singkong memiliki warna putih baik sebelum maupun sesudah
penepungan, tidak berbau, bertekstur halus, dan menghasilkan rendemen
sebesar 29,54%.
 Tepung ubi jalar memiliki warna putih kekuningan, berbau khas ubi,
bertekstur halus, dan menghasilkan rendemen sebesar 21,7 %.
 Pati singkong memiliki warna putih, bertekstur halus, berbau khas
singkong, dan menghasilkan rendemen 32,5%.
 Pati ubu jalar memiliki warna putih, berbau khas ubi, bertekstur halus, dan
menghasilkan rendemen sebesar 12,85%.
 Pati jagung memiliki warna putih, tidak berbau, tekstur halus, dan
menghasilkan rendemen sebesar 34,03%.
 Tepung kedelai hitam memiliki warna putih gading, tekstur halus,
beraroma khas kedelai yang menyengat, dan menghasil rendemen paling
besar di antara jenis tepung/pati lain, yaitu 58,87%.

6.2 Saran
Saran yang dapat diberikan untuk praktikum kali ini yaitu setiap tahapan
prosedur praktikum harus dikerjakan dengan baik, benar dan teliti. Demi efisiensi
waktu, alangkah baiknya jika peralatan yang digunakan pun tidak terlalu
konvensional. Praktikan juga disarankan untuk menjaga ketertiban saat praktikum
dan mengutamakan keamanan & keselamatan kerja.
Syifa Noorazizah Husein
240210140109

DAFTAR PUSTAKA

Asfia, N. 2013. Analisis Pendapatan, Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan


Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat: Studi Kasus Desa Pasir Jambu
Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Darmajana, D. A. 2012. Pengaruh Suhu dan Waktu Perendaman terhadap Bobot
Kacang Kedelai sebagai Bahan Baku Tahu. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian dan PKM, Vol. 3(1): 159-164.
deMan, M. J. 1997. Kimia Makanan. Penerbit ITB, Bandung.
Dufour, D., G. M. O’Brien, and R. Best. Cassava Flour and Starch: Progress in
Research and Development. CIAT publisher, Colombia.
Fellows, P. 2000. Food Prcessing Technology. CRC Press, Boca Raton.
Greenwood, C.T. and D. N. Munro. 1979. Carbohydrates. Di dalam : Muchtadi
T.R., P.Haryadi, dan Azra A.B. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi.
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hodge G.E. dan Osman E.M. 1976. Carbohydrate Di dalam O.R. Fennema (ed.).
Food Chemistry. Marcel Dekker Inc, New York.
Mahadi. 2007. Model Sistem dan Analisa Pengering Produk Makanan. USU
Repository. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Misgiyarta, Suismono, Suyanti. 2012. Teknologi Produksi Tepung Kasava Bimo.
Badan Litbang Pertanian Nomor 3462, Bogor.
Murwati, T. F. Djafaar, dan S. Rahayu. 2005. Teknologi Pembuatan Tepung dan
Olahan Ubi Jalar. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Yogyakarta.
Padmaningrum, R. T. and M. P.Utomo. 2009. Perubahan Warna dan Kadar B-
Karoten dalam Tepung Ubi Jalar (Ipomea Batatas L. ) Akibat Pemutihan.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA,
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Pratama, G.G.F.S. 2008. Paket Teknologi untuk Memproduksi Mi Jagung dengan
Bahan Baku Tepung Jagung. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Prayati, P.U. 2005. Mempelajari Proses Penanganan Limbah Cair dan Limbah
Padat Tapioka di PT. Umas Jaya Agrotama Lampung Tengah. Laporan
Praktik Umum. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung, Lampung.
Prayudi, R. J. 1988. Pengaruh Perlakuan Perendaman NaHSO3 dan Vitamin C
dalam Mencegah Reaksi Pencoklatan Selama Ekstraksi Pati Sagu
(Metroxylon sp.). [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Syifa Noorazizah Husein
240210140109

Rachmawan, O. 2001. Pengeringan, Pendinginan dan Pengemasan Komoditas


Pertanian. Depdiknas, Jakarta.
Rahman, F. 2007. Pengaruh Konsentrasi Natrium Metabisulfit (Na2S2O5) dan
Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Pati Biji Alpukat. [Skripsi]. Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Richana, N. dan T. C. Sunarti. 2004. Karakterisasi Sifat Fisiko-kimia Tepung
Umbi dan Tepung Pati Umbi Ganyong, Suweg, Ubi Kelapa dan Gembili.
Jurnal Pascapanen Vol. 1(1) : 29-37.
Rizal, S. 2013. Pengaruh Suhu Pengeringan dan Konsentrasi Natrium Metabisulfit
Terhadap Sifat Fisik-Kimia Tepung Biji Nangka. [Skripsi]. Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
Shurtleff, W. dan A. Aoyagi. 1984. Tofu and Soymilk Production: The Book of
Tofu. Vol. II. The Soyfoods Center, Lafayette, California.
Suarni, I. U. Firmansyah, dan M. Aqil. 2013. Keragaman Mutu Pati Beberapa
varietas Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan Vol. 32(1): 50-56.
Sutardi, Supriyanto, dan I. S. Utami. 2002. Produksi dan karakterisasi Tepung
Sukun (Artocarpus communis). Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan
Ahli Teknologi Pangan Indonesia “Peran Pendidikan dalam Meningkatkan
Ketangguhan Industri Pangan di Era Pasar Bebas”, Malang.
Triyono, A. 2007. Peningkatan Fungsional Pati dari Ubi Jalar (Ipomea batatas L.)
dengan Enzim Amilase (Bacillus subtilis) sebagai Bahan Substitusi
Pengolahan Pangan. J. Sains MIPA, Edisi Khusus Tahun 2007, Vol. 13(1):
60 – 66.
Widyotomo, S. dan Sri Mulato. 2005. Penentuan Karakteristik Pengeringan Kopi
Robusta Lapis Tebal. Study of Drying Characteristic Robusta Coffe with
Thick Layer Drying Method. Buletin Ilmiah INSTIPER Vol. 1(1): 15-37.
Wills, R.B.H., T. H. Lee, D. Graham, W. B. McGlason, and E. G. Hall. 2005.
Postharvest: An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and
Vegetables. 2nd Ed. AVI Publ..Co., USA.

Anda mungkin juga menyukai