Anda di halaman 1dari 17

PROSES PENGOLAHAN GAMBIR

(Laporan Praktikum Teknologi Bahan Penyegar)

Oleh

Silaturahmi Widaputri 1714051010


Ananda Kusuma Mahardika 1714051011

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah pengekspor utama gambir. Pada saat ini pusat produksi berada di
Sumatera Barat, walaupun provinsi Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan
juga menghasilkan komoditi ini. Sumatera Barat tanaman gambir tumbuh dengan
baik di daerah Lima Puluh Kota, Pesisir Selatan dan daerah tingkat II lainnya. Di
Kabupaten Lima Puluh Kota sebanyak 11937 Ha dengan produksi 7379 ton
pertahun. Di Kabupaten Pesisir Selatan sebanyak 2469 Ha dengan produksi 688 ton
pertahun dan Kabupaten lainnya seluas 175 Ha yang sebagian besar belum
berproduksi. Walaupun Indonesia pengekspor gambir satu – satunya di dunia, tetapi
harga gambir di tingkat petani masih lemah. Harga gambir yang dinikmati petani
jauh lebih kecil dari harga yang berlaku di dunia internasional. Permasalahan yang
dihadapi dalam pengembangan komoditas gambir adalah pasar gambir yang saat
ini masih mengandalkan pasar perantara yaitu India. Dengan demikian untuk
menembus pasar ekspor secara langsung merupakan hal yang penting untuk saat
ini. Konsekuensinya, kita harus menyiapkan apa yang disyaratkan oleh pembeli dari
luar negeri baik kualitas, kuantitas, maupun kontunuitas (Nazir, 2000).

Gambir adalah ekstrak daun dan ranting tanaman Uncaria gambir ( Hunter ) Roxb.
yang dikeringkan. Gambir memiliki dua komponen kimia yang terpenting yaitu
katekin dan tanin. Kedua senyawa kimia tersebut menyebabkan gambir memiliki
banyak kegunaan dan nilai tambah yang tinggi. Kegunaan gambir diantaranya
adalah sebagai campuran untuk menyirih, anti bakteri, anti diare, obat penyakit hati,
penetralisir nikotin, penawar racun alkaloid dan logam, sebagai zat warna alami,
senyawa astringen, dan sebagai zat penyamak kulit. Tanaman ini pantas
menyandang gelar tanaman serba guna, karena tidak penyirih saja yang
membutuhkannya sebagai teman pinang dan sirih. Gambir berperan juga di
berbagai industri minuman, kosmetik, obat-obatan, dan lain-lain (Aisman, Novizar,
dan Djalal, 1999).
Gambir yang berada di pasar lokal sampai saat ini masih rendah mutunya. Hal ini
disebabkan oleh cara pengolahan gambir yang masih sederhana, penanganan, dan
perlakuan pasca panen tanaman gambir masih belum baik. Selain itu masih ada
pihak petani atau pengolah gambir yang masih mencampur gambirnya dengan
bahan lain dengan maksud untuk menambah berat dari gambir tersebut. Untuk
mendapatkan gambir dengan warna yang baik petani juga mencampurnya dengan
pupuk. Tindakan ini akan menurunkan citra gambir di pasar internasional. Peralatan
dan cara pengolahan gambir yang dilakukan petani gambir masih tradisional
dimana aspek kebersihan dan efisiensi belum banyak mendapat perhatian sehingga
rendemen dan mutu gambir yang digunakan masih rendah (Nazir, 2000). Oleh
karena itu, pada praktikum ini digunakan berbagai macam tepung dekstrin saat
pengolahan gambir yang bertujuan untuk mengetahui gambir yang dihasilkan
selama proses pengolahan.

1.2 Tujuan

Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui pengolahan gambir


dan pengaruh penambahan tepung dekstrin terhadap gambir yang dihasilkan
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambir

Tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb) tumbuh baik pada daerah dengan
ketinggian 900 m dari permukaan laut. Tanaman ini membutuhkan cahaya matahari
penuh serta curah hujan merata sepanjang tahun. Bagian tanaman gambir yang
dipanen adalah daun dan ranting yang selanjutnya diolah untuk menghasilkan
ekstrak gambir yang bernilai ekonomis (Surbakti, 2011). Panen dan pemangkasan
daun dilakukan setelah tanaman berumur 1,5 tahun. Pemangkasan dilakukan 2-3
kali setahun dengan selang 4-6 bulan. Pangkasan daun dan ranting harus segera
diolah, karena jika pengolahan ditunda lebih dari 24 jam, getahnya akan berkurang
(Alim, 2011). Gambir dibudidayakan pada lahan ketinggian 200-800 m diatas
permukaan laut. Mulai dari topografi agak datar sampai di lereng bukit. Biasanya
ditanam sebagai tanaman perkebunan di pekarangan atau kebun di pinggir hutan.
Budidaya biasanya semi intensif, jarang diberi pupuk tetapi pembersihan dan
pemangkasan dilakukan (Surbakti, 2011).

Gambir mengandung katekin yang merupakan komponen utama. Katekin


merupakan senyawa flavonoid yang dapat ditemukan pada teh hijau, teh hitam,
gambir, anggur dan tanaman pangan lainnya seperti buah–buahan dan kakao.
Katekin larut dalam alkohol dingin, etil asetat, air panas serta asam asetat glasial
dan aseton dan berguna sebagai antibiotik. Mutu gambir antara lain ditentukan oleh
kadar katekin sebagaimana tercantum dalam stándar mutu SNI 01-3391-2000.
Proses pengolahan gambir adalah proses pengeluaran getah yang terkandung dalam
daun dan ranting dengan menggunakan alat pengepres, sedangkan bahan yang akan
dikeluarkan adalah catechin, kandungan inilah yang menentukan persyaratan mutu
gambir. Bagian gambir yang dipanen adalah daun dan ranting yang selanjutnya
diolah untuk menghasilkan ekstrak gambir yang bernilai ekonomis (Alim, 2011).
Daun gambir tumbuh tunggal pada tangkai batang dan saling berhadapan, berwarna
hijau dan memiliki panjang 8-13 cm dan lebar 4-7 cm. Bentuk daun oval, bagian
ujung meruncing, bagian tepi bergerigi dan permukaan tidak berbulu. Perbedaan
kadar katekin pada daun gambir dipengaruhi oleh letak daun yang diekstrak. Daun
gambir muda memiliki kandungan katekin dan rendemen ekstrak lebih tinggi dari
daun tua. Penanganan daun yang akan digunakan untuk ekstraksi juga berpengaruh
pada kadar katekin gambir seperti yang terjadi pada penundaan proses pengolahan
daun gambir selama dua hari berpengaruh pada menurunnya kadar katekin dan
rendemen proses ekstraksi daun dan ranting gambir. Tanin yang terdapat dalam
gambir merupakan tanin yang tidak dapat dihidrolisis (tanin kondensasi). Pada
tanaman gambir, polifenol terdapat pada daun. Pada umumnya, tingkat ketuaan
daun berpengaruh pada kandungan dan jenis polifenolnya. Pada tanaman teh, kadar
polifenol daun muda lebih tinggi dari pada kadar polifenol daun tua, namun
signifikansi tingkat perbedaan sampai sekarang belum diketahui. Untuk
mendapatkan produk gambir dengan kadar polifenol tinggi, bahan yang digunakan
dipetik dari daun relatif muda (Damanik dkk., 2014).

2.2 Dextrin

Dextrin adalah zat yang dibentuk pada hidrolisa pati atau pencernaan parsial pati.
Dextrin merupakan produk degradasi pati yang dapat dihasilkan dengan beberapa
cara yaitu memperlakukan suspensi pati dalam air dengan asam atau enzim pada
kondisi tertentu, atau degradasi/pirolisis pati dalam bentuk kering dengan
menggunakan perlakuan panas atau kombinasi antara panas dan asam atau katalis
lain. Dextrin mempunyai rumus kimia (C6H10O5)n dan memiliki struktur serta
karakteristik intermediate antara pati dan dextrose. Berdasarkan reaksi warnanya
dengan yodium, dextrin dapat diklasifikasikan atas amilodextrin, eritrodextrin dan
akrodextrin. Pada tahap awal hidrolisa, akan dihasilkan amilodextrin yang masih
memberikan warna biru bila direaksikan dengan yodium. Bila hidrolisa dilanjutkan
akan dihasilkan eritrodextrin yang akan memberikan warna merah kecoklatan bila
direaksikan dengan yodium. Sedangkan pada tahap akhir hidrolisa, akan dihasilkan
akrodextrin yang tidak memberikan warna bila direaksikan dengan yodium
(Abubakar, 1986).
Berdasarkan reaksi warnanya dengan yodium, dextrin juga dapat dibedakan dengan
amilosa dan amilopektin. Pati bila berikatan dengan yodium akan menghasilkan
warna biru karena struktur molekul pati yang berbentuk spiral, sehingga akan
mengikat molekul yodium dan membentuk warna biru. Berdasarkan percobaan
diperoleh bahwa pati akan merefleksikan warna biru bila polimer glukosanya lebih
besar dari 20 (seperti amilosa). Bila polimer glukosanya kurang dari 20, seperti
amilopektin, akan dihasilkan warna merah. Sedangkan polimer yang lebih kecil dari
lima, tidak memberi warna dengan yodium. Berdasarkan cara pembuatannya,
dekstrin dikelompokkan menjadi dextrin putih, kuning, dan British Gum. Dextrin
putih dibuat dengan menggunakan suhu rendah, pH rendah serta waktu yang cepat
menghasilkan produk konversi tanpa perubahan warna yang menyolok. Dextrin
kuning dibuat dengan menggunakan suhu tinggi, pH rendah serta waktu yang lama
menghasilkan produk konversi tingkat tinggi. British Gum dibuat dengan
menggunakan suhu tinggi, pH tinggi dan waktu mendekati 20 jam menghasilkan
produk dengan warna yang lebih gelap dari pada dextrin putih (Abubakar, 1986).

Selain dextrin putih, dextrin kuning dan British Gum, dikenal pula dextrin
Schardinger adalah suatu jenis dextrin yang dihasilkan dari degradasi pati oleh
Bacillus macerans. Dextrin Schardinger dikenal juga sebagai Siklodextrin karena
strukturnya yang melingkar. Dextrin Schardinger mempunyai jumlah unit glukosa
lima dan enam. Sedangkan menurut Heimann (1980), dextrin Schardinger
mengandung enam sampai delapan unit glukosa yang tersusun secara melingkar
menyerupai bentuk cincin. Saat ini dikenal tiga jenis siklodextrin yaitu α-
siklodextrin yang terdiri dari enam unit glukosa, β-siklodextrin yang terdiri dari
tujuh unit glukosa dan γ- siklodextrin yang terdiri dari delapan unit glukosa dalam
struktur melingkarnya (Abubakar, 1986).

Pembuatan dextrin dapat dilakukan dengan tiga macam proses yaitu proses
konversi basah dan katalis asam, proses konversi basah dengan enzim serta proses
konversi kering. Pada proses konversi basah dengan katalis asam, terjadi hidrolisa
pati menghasilkan sejumlah besar oligosakarida dan polisakarida dengan berat
molekul rendah. Proses ini dilakukan dengan cara memanaskan bubur pati dalam
larutan asam secara perlahan-lahan sampai derajat konversi yang diinginkan
tercapai. Kemudian produk yang dihasilkan dinetralisasi dan segera dikeringkan
pada rol panas atau spray drier.Proses konversi basah dengan enzim dilakukan
menggunakan enzim α- amilase pada larutan pati untuk menghidrolisa pati menjadi
molekul-molekul pati dengan berat molekul yang lebih rendah. Di industri,
pembuatan dextrin dengan cara konversi basah dengan menggunakan enzim
dilakukan dengan meningkatkan suhu secara perlahan-lahan serta dengan
menambahkan enzim secara periodic dalam jumlah sedikit (Chaplin, 2004).

Sedangkan pada proses konversi kering, molekul pati diperkecil ukurannya sampai
pada suatu tingkat dimana molekul tersebut dapat larut dalam air dingin. Pembuatan
dextrin dengan cara konversi kering dapat dilakukan dengan memanaskan pati

secara kering (menyangrai) pada suhu 79 – 190oC selama 3 – 24 jam. Selama


pemanasan biasanya ditambahkan pula sejumlah kecil katalis asam seperti HCl.
Terdapat empat tahap utama yang terlibat dalam proses konversi kering yaitu
persiapan bahan, pemanasan pendahuluan, pemanasan lanjut atau pirokonversi dan
pendinginan (Chaplin, 2004).
III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada hari Selasa, 3 September 2019 pukul 13.00 – 15.00
WIB di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah oven, mortar dan alu, gelas ukur,
gelas cup, dan timbangan. Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah produk
gambir, tepung dextrin dan air.

3.3 Diagram Alir

Prosedur praktikum yang dilakukan dapat dilihat melalui diagram alir sebagai
berikut
Daun dan ranting gambir

Direbus selama 1,5 jam dan dibalik

Dililit dengan tali

Dikempa selama 30-45 menit

Diendapkan selama 20 jam

Diambil tannin dan kristal katekin dikumpulkan

Ditiriskan endapan dan dihimpit dengan benda berat selama 10-20 jam

Ditambahkan tepung dekstrin (0%; 2,5%; 5%; 7,5%; dan 10%)

Dicetak

Dikeringkan selama 24 jam lalu diamati

HASIL

Gambar 1 Diagram Alir Proses Pengolahan Gambir

Pada praktikum ini, mula – mula disiapkan alat dan bahan. Bahan utama yang
digunakan adalah ranting dan daun gambir. Kemudian, daun dan ranting gambir
direbus selama 1,5 jam dan dibalik serta dililit dengan tali. Selanjutnya, dikempa
selama 30-45 menit dan diendapkan selama 20 jam. Kemudian, tannin diambil dan
kristal katekin dikumpulkan. Endapan ditiriskan dan dihimpit dengan benda berat
selama 10 – 20 jam. Selanjutnya ditambahkan tepung dekstrin sesuai dengan
perlakuan yaitu (0% = 0 gram; 2,5% = 0,625gram; 5% = 1,25gram; 7,5% =
1,875gram; 10%= 2,5gram). Terakhir, adonan dicetak dan dikeringkan selama 24
jam serta diamati aroma dan teksturnya.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Tabel 1 Hasil Pengamatan Aroma dan Tekstur Olahan Gambir dengan


Penambahan Tepung Dekstrin
Hasil
No. Perlakuan Gambar
Aroma Tekstur

Gambir 200 mL dan


Tidak khas
1. Tepung dekstrin 0% Agak Keras
gambir
(0 gram)

2.
Gambir 200 mL dan
Tidak khas Tekstur keras
Tepung dekstrin 2,5%
gambir dan kasar
(0,625 gram)

3.
Gambir 200 mL dan
Agak khas
Tepung dekstrin 5% Keras
gambir
(1,25 gram)

4.
Gambir 200 mL dan
Agak khas
Tepung dekstrin 7,5% Keras
gambir
(1,875 gram)

5.
Gambir 200 mL dan Keras, ada
Pekat khas
Tepung dekstrin 10% bitnik-bintik
gambir
(2,5 gram) kasar
4.2 Pembahasan

Gambir (Uncaria gambir (Hunt) Roxb) merupakan spesies tanaman berbunga genus
Uncaria dalam famili Rubiaceae. Gambir merupakan tanaman perdu dengan tinggi 1 - 3m.
Batangnya tegak, bulat, percabangan simpodial, dan warna cokelat pucat. Pada tanaman
yang sudah tua, lingkar batang pohon dapat berukuran hingga 36 cm. Daunnya tunggal,
berhadapan, berbentuk lonjong, tepi bergerigi, panjang bulat, ujung meruncing, panjang 8
- 13 cm, lebar 4 - 7 cm, dan berwarna hijau. Bunga gambir adalah bunga majemuk,
berbentuk lonceng, terletak di ketiak daun, panjang lebih kurang 5 cm, memiliki mahkota
sebanyak 5 helai yang berbentuk lonjong, dan berwarna ungu. Buahnya berbentuk bulat
telur, panjang lebih kurang 1,5 cm, dan berwarna hitam (Sudibyo, 1988). Tanaman gambir
diketahui tumbuh di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Tanaman gambir saat ini tumbuh
secara alami dapat ditemukan di Kepulauan Riau, pantai timur Sumatera, Indragiri,
Bangka, Belitung, Sumatra Barat, Kalimantan Barat (Sambas, Mempawah, Landak dan
Malaysia). Tanaman gambir dapat pula ditemukan di Kabupaten Merauke Papua. Sentra
perkebunan gambir di Indonesia adalah Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau,
Bangka Belitung, Sumatera Selatan, dan Papua. Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, dan
Sumatera Selatan merupakan propinsi sentra produksi gambir Sumatera. Diantara keempat
sentra produksi gambir tersebut, Propinsi Sumatera Barat merupakan sentra produksi
gambir terbesar yang memasok sekitar 90% dari total produksi gambir nasional (Amos et
al., 2005).

Thorpe dan Whiteley (l921) mengemukankan bahwa kandungan utama gambir adalah
asam catechutannat (20-50%), katekin (7-33%), dan pyrocatechol (20-30%), sedangkan
yang lainnya dalan jumlah terbatas. Di lain pihak Bakhtiar (1991) menyatakan bahwa
kandungan kimia gambir yang paling banyak dimanfaatkan adalah katekin dan tanin.
Katekin biasa disebut asam catechoat yang termasuk dalam struktur flavanoid, tidak
berwarna, dan dalam keadaan murni tidak larut dalam air dingin tetapi sangat larut dalam
air panas, larut dalam alkohol dan etil asetat. Katekin hampir tidak larut dalam kloroform,
benzene, dan eter. Asam catechutannat disebut anhydride dan dapat dihasilkan apabila
larutan dipanaskan pada suhu 110°C dengan larutan alkali karbonat.Asam catechutannat
larut dalam alkohol dan air dingin, tidak larut dalam eter. Asam catechutannat adalah
campuran terbesar yang terkandung dalam gambir. Bila airnya diuapkan maka bubuk yang
dihasilkan berwarna merah kecoklatan. Katekin dan tanin merupakan hasil pemurnian
komponen yang terkandung dalam gambir asalan yang kini paling banyak dicari pasar.
Katekin diperdagangkan dalam bentuk bubuk katekin, sedangkan tanin diperdagangkan
dalam bentuk balok kecil dan serbuk. Produk-produk gambir olahan tersebut digunakan
oleh industri hilir gambir seperti tanin untuk industri penyamakan kulit, pewarna, adhesive
dan sebagainya, sedangkan katekin diperlukan oleh industri farmasi, kosmetik, minuman,
dan lainnya (Nazir, 2000).

Tanin merupakan senyawa polifenol yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan
logam-logam berat seperti Pb, Cu, Fe, dan Sn. Komponen dasar tanin adalah asam galat
dan flavonoid dan akan membentuk glikosida bila polifenol berikatan dengan karbohidrat.
Tanin di alam umumnya banyak terdapat pada tanaman tertentu seperti pada teh, anggur,
kacang-kacangan yang sebagian besar dapat memberikan rasa dan aroma yang khas,
tersebar luas pada seluruh bagian tumbuhan terutama pada daun, buah, dan kulit kayu
seperti akasia (Acacia sp), ekaliptus (Eucalyptus sp), pinus (Pinus sp) dan sebagainya.
Kandungan tanin pada tanaman tergantung pada jenis dan umur tanaman. Selama ini tanin
banyak digunakan sebagai bahan perekat, yang terutama terdapat pada bagian kulit kayu.
Tanin memiliki sifat antara lain dapat larut dalam air atau alkohol karena tanin banyak
mengandung fenol yang memiliki gugus OH, dapat mengikat logam berat, serta adanya zat
yang bersifat anti rayap dan jamur. Tanin adalah suatu senyawa polifenol dan dari struktur
kimianya dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu tanin terhidrolisis (hidrolized
tannin) dan tanin terkondensasi (condensed tannin). Tanin yang terhidrolisis bobot
molekulnya akan terpolimerisasi bila dipanaskan. Dengan adanya asam kuat akan
terbentuk suatu zat warna merah yang disebut flobafen atau tanin merah. Tanin yang
terdapat dalam gambir merupakan tanin yang tidak dapat dihidrolisa (Carter et al., 1978).

Tanin banyak digunakan dalam berbagai aktivitas industri hilir, baik sebagai bahan baku
maupun bahan pembantu. Industri yang menggunakan tanin adalah industri kulit yaitu
getah gambir dapat digunakan sebagai zat penyamak kulit. Pada proses penyamakan,
katekin dan tanin mengendapkan sisa-sisa protein yang tertinggal di kulit. Dengan
bebasnya kulit dari protein, maka kulit tidak dapat ditumbuhi oleh mikroorganisme,
sehingga kulit menjadi lemas dan tidak cepat busuk. Senyawa yang secara langsung bekerja
sebagai zat samak pada gambir adalah tanin sedangkan secara tidak langsung adalah
katekin. Gambir digunakan oleh penyamak kulit di Eropa untuk memperoleh kulit jenis
“calf” dan “kips”. Bila hanya gambir yang digunakan pada penyamakan, tanpa adanya
campuran lain, maka penyamakan akan menghasilkan kulit yang lebih berongga dan
kurang bermutu. Akan tetapi bila gambir dicampur dengan wattle dan myobalans
penyamakan akan menghasilkan kulit dengan mutu yang tinggi (Bakhtiar, 1991).
Selanjutnya adalah industri tekstil. Penggunaan gambir yang mengandung tanin tinggi
dalam industri tekstil adalah sebagai pewarna. Gambir yang mengandung tanin digunakan
sebagai bahan pembantu untuk mendapatkan warna coklat kemerah- merahan pada kain
batik yang tahan terhadap terik matahari. Tanin gambir dapat pula digunakan untuk
mewarnai sutera dan wool. Di Eropa, gambir digunakan dalam bentuk campuran dengan
logwood dan fustic (Nazir, 2000).

Industri lainnya adalah industri farmasi, gambir yang mengandung tanin dalam industri
farmasi digunakan sebagai obat anti diare, obat kumur-kumur, dan obat sakit kulit. Tanin
dalam jumlah kecil dapat menghalangi pertumbuhan mikroorganisme dan dalam jumlah
besar dapat berfungsi sebagai anti bakteri. Hal ini terjadi dengan cara menggumpalkan
protoplasma yang terdapat pada bakteri. Namun demikian dengan terbentuknya mukosa,
maka tanin akan mengakibatkan terjadinya penggumpalan lapisan yang lebih dalam yang
dapat menyebabkan iritasi dan muntah-muntah pada manusia. Di samping itu tanin dalam
gambir juga dapat digunakan sebagai penawar racun alkaloid atau logam, dimana racun
tersebut diendapkan dan membentuk senyawa tidak larut (Bakhtiar, 1991). Industri Logam
yaitu tanin mengandung senyawa yang dapat digunakan sebagai peluruh karat pada besi.
Tanin telah dikenal sebagai senyawa peluruh karat (rust converter) dan senyawa anti karat
(rust inhibitor). Selanjutnya adalah laboratorium, tanin digunakan sebagai reaksi pengental
alkaloid, protein, dan garam logam berat dan membentuk senyawa yang tidak larut. Oleh
karena itu tanin digunakan di laboratorium untuk reaksi uji alkaloid, protein, dan garam-
garam logam berat. Jika bereaksi dengan kapur, tanin akan menjadi kalsium tannat
(Bakhtiar, 1991). Terakhir berfungsi dalam industri bahan perekat yaitu tanin yang terdapat
pada gambir dapat digunakan sebagai bahan perekat kayu lapis atau papan partikel. Tanin
yang terdapat pada gambir merupakan tanin terkondensasi. Tanin kondensasi merupakan
jenis tanin yang diduga menyebabkan tanin dapat digunakan sebagai bahan perekat.
Penggunaannya dipengaruhi oleh pH perekat terutama waktu gelatinisasi, umur pakai,
waktu penyimpanan, dan umur perekat Komponen kimia tanin sangat potensial digunakan
sebagai perekat, dan keadaan perekat tanin ini tergantung pada keadaan struktur kimia
poliflavanoid (Pizzi, 1983).

Katekin biasanya disebut juga dengan asam catechoat dengan rumus kimia C15H14O6.
Katekin termasuk struktur flavonoid, tidak berwarna, dan dalam keadaan murni tidak larut
dalam air dingin tetapi sangat larut dalam air panas, larut dalam alkohol dan etil asetat.
Katekin hampir tidak larut dalam kloroform, benzene, dan eter. Jika katekin diberi timah
hitam asetat yang dikristalkan dari air dengan udara kering, maka produk yang dihasilkan
akan mencair pada suhu 96°C. Jika diberi ferri chloride katekin akan menghasilkan cairan
yang berwarna hijau pekat (Thorpe and Whiteley, 1921).

Katekin digunakan dalam berbagai industri hilir sebagai bahan untuk pembuatan berbagai
produk turunan lainnya, diantaranya sebagai berikut yaitu industri farmasi. Katekin
dimanfaatkan oleh industri farmasi dalam pembuatan berbagai macam obat seperti obat
penyakit hati, permen pelega tenggorokan, obat sakit perut, obat sakit gigi, obat untuk
penyakit Alzheimer, obat anti kanker, pasta gigi, dan sebagainya (Nazir, 2000). Selanjutnya
adalah industri kosmetika. Dalam industri kosmetika, katekin digunakan untuk membuat
aneka ragam produk kosmetika diantarnya krim anti penuaan, krim anti jerawat, anti
ketombe, kosmetik perawatan rambut rusak, sabun mandi, dan sebagainya (Gumbira-Sa’id
et al, 2009). Dalam industri minuman, katekin dapat digunakan dalam pembuatan
minuman. Selain itu katekin dapat digunakan sebagai bahan dalam pembuatan minuman
kesehatan gambir selain teh gambir (Gumbira Sa’id et al., 2009). Terakhir adalah industri
pewarna alami yaitu senyawa katekin yang terdapat pada gambir dapat dijadikan bahan
pewarna alami untuk mewarnai kain wool dan sutra. Selain digunakan untuk mewarnai
kain, katekin dapat digunakan untuk pewarna kulit samak, pewarna rambut, dan pewarna
makanan (Gumbira-Sa’id et al., 2009).

Salah satu produk olahan diversifikasi gambir adalah the botol gambir. Teh botol
merupakan produk teh siap minum yang dikemas di dalam botol biasanya berasal
dari tanaman teh (Camellia sinensis), merupakan minuman penyegar yang sudah
dikenal dengan luas di Indonesia dan di dunia. Aromanya yang harum serta rasanya
yang khas membuat minuman ini banyak dikonsumsi. Teh adalah jenis minuman
yang paling banyak dikonsumsi manusia dewasa setelah air, dan diperkirakan tidak
kurang dari 120 ml per harinya (Damayanthi, 2008). Dalam kesegaran dan rasa
yang khas tersebut ada terkandung beberapa zat yang perlu dikurangi karena
memberikan mudhorat bagi kesehatan tubuh yaitu kandungan tanin yang tinggi.
Tanin dalam teh berpotensi sebagai penyebab anemia karena disinyalir mampu
mengabsorbsi mineral sebagai bentuk zat besi. Hal ini dikaitkan dengan peranan
tanin yang terdapat dalam teh. Mineral makanan sebagai salah satu pembentuk zat
besi bila bereaksi dengan tanin akan membentuk ikatan kompleks yang tidak larut
dalam sistim pencernaan, akibatnya meneral makanan tidak berfungsi lagi dan
dikeluarkan oleh tubuh dalam bentuk feses. Tanin mempunyai kekuatan untuk
mengikat protein sehingga mempunyai kemampuan mengabsosbsi sari makanan.

Gambir juga mengandung tanin, namun lebih sedikit dibandingkan daun teh
Camellia sinensis. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengolahan komoditas
gambir sebagai pengganti teh botol Camellia sinensis dengan rasa dan aroma tidak
kalah dengan teh botol Camellia sinensis. Secara genetik, tanaman gambir lebih
banyak mengandung katekin dibandingkan tanin. Sedangkan tanaman teh lebih
banyak mengandung tanin dibandingkan katekin (Ariani, et.al, 2013). Oleh karena
itu ditinjau dari kesehatan, seharusnya lebih baik meminum teh daun gambir
dibandingkan teh Camellia sinensis, karena teh daun gambir mengandung katecin
lebih tinggi. Kasim (2011) dan Hayani (2003) menyatakan bahwa komoponen
utama daun gambir adalah katekin dan tanin. Katekin merupakan monomer dari
tanin. Jika 3 sampai 8 molekul katekin membentuk polimer maka polimer yang
terbentuk akan membentuk tannin, tepatnya tannin kondensasi. Proses fermentasi
dapat menghambat proses kondensasi sehingga tannin terkondensasi tidak
terbentuk (Fajriati, 2006; Ariani et al, 2013). Sesuai dengan struktur kimia tersebut
maka katekin dan tannin juga akan mempunyai manfaat yang berbeda. Katekin
lebih banyak manfaatnya untuk bidang kesehatan, kosmetika, farmasi dan pangan,
sedangkan tannin utamanya digunakan sebagai bahan penyamak kulit. Tanin yang
diproduksi dunia 90% diantaranya digunakan sebagai penyamak kulit.

Oleh sebab itu didalam pengolahan teh botol proses fermentasi, dan tingkat ketuaan
daun berpengaruh terhadap mutu teh botol yang dihasilkan. Fermentasi selama 2
hari dengan menggunakan daun gambir ke- 1 sampai dengan ke- 4 dapat
memperbaiki warna dan rasa teh botol yang dihasilkan serta memberikan
kandungan katecin yang tinggi (Iswari et al, 2015). Penggunaan teh botol jauh lebih
praktis dibandingkan teh seduh, terutama bagi kelompok usia anak-anak dan
kelompok kerja. Oleh sebab itu pasar teh botol daun gambir akan berbeda dengan
teh seduh. Di Indonesia jenis minuman teh yang popular dan mampu mengalahkan
pangsa pasar dari carbonated drink adalah teh botol. Saat ini pangsa pasar teh botol
mencapai 28% dari total pasar minuman di Indonesia, sementara pangsa pasar
carbonated drink adalah 27%. Teh botol yang tersedia adalah teh Camellia sinesis
bukan dari daun gambir. Untuk itu diberikan inovasi baru guna merebut pasar teh
Camellia sinesis, karena gambir mempunyai keunggulan diantaranya adalah
kandungan katechin yang terdapat dalam gambir yang sangat bermanfaat untuk
kesehatan, kecantikan dan industri lainya. Minuman teh botol diolah dari daun
gambir yang diproses sebaik mungkin sesuai dengan standar SNI minuman teh
botol Camellia sinesis yaitu SNI 01-3143-92. Gula yang digunakan bukan gula
pasir, tetapi glukosa sehigga dapat dimanfaatkan oleh penderita diabetes dan
berfungsi sebagai obat dan menyegarkan.

Anda mungkin juga menyukai