DENGAN PRODUK
PENDAHULUAN
kelapa muda pada umur 8 bulan (Tabel 1), maka daging kelapa muda tersebut sesuai
untuk makanan semi padat (selai, koktil, tart kelapa) dan suplemen makanan bayi.
Tabel 1. Sifat fisikomia daging buah kelapa hibrida umur 8 bulan untuk bahan baku
makanan semi padat dan suplemen makanan bayi
Kelapa Kadar Kadar Kadar Kadar Kadar Kadar
hibrida air abu protein karbohidrat galaktomanan fosfolipida
(%) (% bk) (% bk) (% bk) (% bk) (% bk)
KHINA-1 85.26 3.81 10.88 43.51 4.40 0.18
PB-121 83.37 2.92 9.73 40.08 4.87 0.16
GKNxDTE 86.06 3.07 9.57 42.93 4.20 0.19
GKBxDTE 86.31 3.95 10.34 44.87 3.94 0.17
GKBxDMT 87.24 4.30 9.58 34.68 4.06 0.17
GRAxDMT 84.24 4.33 10.94 34.03 4.11 0.18
Sumber : Rindengan et al, (1996)
Keterangan : bk = berat kering
Daging buah kelapa dengan kadar air tinggi, menunjukkan sifat fisiknya lunak
sehingga sesuai untuk produk pangan yang menghendaki sifat lunak, seperti koktil
dan tart kelapa. Ciri khas lain yang diperlukan adalah sifat kenyal. Sifat ini ternyata
ditunjang oleh kadar galaktomanan tinggi yang terkandung dalam daging buah umur
8 bulan. Galaktomanan tergolong polisakarida yang hampir seluruhnya larut dalam
air membentuk larutan kental dan dapat membentuk gel (Ketaren, 1975).
Pada produk makanan, seperti koktil dan tart kelapa, sifat lunak dan kenyal
berperan penting terhadap penerimaan konsumen. Oleh karena itu, kandungan
galaktomanan tinggi sangat diperlukan agar diperoleh sifat organoleptik yang
disenangi konsumen, nilai gizinya cukup tinggi sebab pada umur buah 8 bulan,
daging buah kelapa memiliki kadar protein dan karbohidrat tinggi. Untuk pengolahan
selai dibutuhkan bahan yang dapat memberikan tingkat homogenitas tinggi. Kadar
protein, galaktomanan dan fosfolipida tinggi, menunjang sifat yang dibutuhkan
produk ini.
Di samping sebagai sumber gizi, ternyata protein dapat juga berfungsi sebagai
emulsifier. Galaktomanan berperan mengatur tingkat kekentalan produk, dan
fosfolipida berfungsi sebagai emulsifier. Kadar fosfolipida tinggi sangat cocok untuk
bahan baku pengolahan selai kelapa. Karbohidrat (terutama gula sederhana) dapat
berperan dalam mempercepat proses karamelisasi (pembentukan warna coklat).
Analisis pengolahan selai kelapa dalam jumlah besar telah dilaporkan Sanchez (1996),
dari pengolahan 4,368 butir dihasilkan 218.40 kg selai yang diperoleh keuntungan
sebesar US $ 252,21.
pembuatan makanan bayi. Kadar protein buah umur 8 bulan dari keenam jenis kelapa
berkisar 9.57 - 10.94% (Tabel 1) merupakan sumber protein potensial. Hal ini
disebabkan protein kelapa tidak mengikat senyawa antinutrisi (Banzon dan Velasco,
1982), seperti bahan baku makanan bayi lainnya yang berasal dari jenis kacang-
kacangan. Kadar abu berkisar 2.92 - 4.33% merupakan sumber mineral yang cukup
baik dalam daging buah kelapa (terdapat 8 mineral, yakni K, Ca, P, Mg, Fe, Zn, Mn,
dan Ca (Kemala dan Velayutham, 1978). Komposisi asam lemak esensial linoleat
(omega 6) pada daging buah kelapa muda juga tergolong tinggi sekitar 2.35%
(Rindengan, 1999), dan sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi.
Sampai saat ini belum ada industri pengolahan makanan bayi yang memanfaatkan
potensi nutrisi yang terkandung pada daging buah kelapa muda. Pengolahan
makanan bayi biasanya menggunakan peralatan seperti Drum Dryer dan Ekstruder,
yang proses pemasakannya berlangsung beberapa menit saja. Produk yang diperoleh
bersifat instan sehingga hanya dengan penambahan air panas langsung dapat
diperoleh bentuk pasta dan siap dikonsumsi. Adanya kandungan galaktomanan,
fosfolipida dan karbohidrat, menunjang diperolehnya bentuk pasta yang merupakan
salah satu sifat organoleptik penting pada makanan bayi.
3. Makanan ringan
Tabel 2. Kadar air, karbohidrat, protein dan gula reduksi daging buah
berbagai jenis kelapa umur 9 bulan
Kelapa hibrida Kadar air Kadar karbohidrat Kadar protein Kadar gula reduksi
(% bk) (% bk) (% bk) (% bk)
KHINA-1 73.60 45.60 9.55 1.13
PB-121 74.42 36.19 8.59 0.51
GKNxDTE 72.56 41.21 9.64 1.18
GKBxDTE 75.35 39.47 9.30 0.82
GKBxDMT 73.62 38.92 8.68 1.35
GRAxDMT 71.31 34.60 8.09 1.34
Sumber : Rindengan et al, (1996)
Keterangan : bk = berat kering
Kopra dan minyak kelapa merupakan produk tradisional yang diolah dari
buah kelapa matang, rata-rata berumur 10 - 12 bulan. Pada umur tersebut terjadi
peningktan bahan padatan dan kadar minyak, sebaliknya kadar air menurun. Kadar
air daging buah umur 10 bulan berkisar 62.26 - 66.24%, karbohidrat 33.61 - 43.335 dan
galaktomanan 1.85 - 3.89% (Tabel 3). Untuk diolah menjadi kopra, kadar air masih
cukup tinggi, sehingga proses pengeringan akan lebih lama. Oleh karena itu sering
dijumpai kopra yang diolah dari campuran buah berumur 10, 11, dan 12 bulan,
sebagian ada yang hampir berwarna coklat kehitaman tetapi ada juga yang masih
berwarna coklat muda (belum kering).
Daging buah dengan kadar galaktomanan tinggi, jika diolah menjadi kopra
akan menghasilkan kopra kenyal karena sifat galaktomanan yang larut dalam air
membentuk larutan kental dan juga dapat membentuk gel (Ketaren, 1975).
Selanjutnya jika dilakukan pengepresan minyak, akan mengakibatkan mesin
pengepres macet.
Dengan mempertimbangkan sifat-sifat tersebut diatas, maka buah yang dipanen
10 bulan sebaiknya diolah dengan cara basah, melalui proses pembuatan santan.
Sedangkan bila melalui proses penggorengan, kadar air telah banyak yang menguap
sehingga pembentukan larutan kental antara air dan galaktomanan dapat ditekan.
Pada umur buah 11 - 12 bulan, kadar galaktomanan pada kelapa hibrida
GRA x DMT, PB-121, dan GKB x DTE relatif tinggi, sehingga kurang sesuai dijadikan
kopra. Bila akan diolah menjadi minyak sebaiknya dengan cara basah. Sedangkan
kelapa Dalam DMT, DTA dan DTE serta kelapa Genjah GKB, GKN dan GRA pada
umur buah 12 bulan kandungan galaktomanan umumnya rendah.
Proses pengolahan kelapa parut kering sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
kopra, yaitu prinsipnya mengeringkan daging buah kelapa. Tetapi kelapa parut
kering diproses pada kondisi higienis, tanpa testa dan bentuknya bermacam-macam
dan berwarna putih. Kelapa parut kering adalah bahan baku yang banyak digunakan
dalam pengolahan berbagai macam biskuit, roti atau jenis kue tertentu sehingga
berfungsi sebagai substitusi penggunaan tepung. Dengan demikian, maka kelapa
parut kering harus memiliki sebagian dari sifat-sifat tepung, antara lain tidak lengket
(bergumpal) dan berwarna putih.
Pada umumnya kelapa parut kering yang diolah dari buah kelapa hibrida
menghasilkan sifat-sifat yang kurang sesuai, sehingga kelapa hibrida jarang
digunakan. Hal ini disebabkan kadar galaktomanan dan fosfolipida yang tinggi,
terutama pada umur buah 10 bulan (Tabel 3). Jadi yang diolah untuk kelapa parut
kering adalah kelapa Dalam karena kadar galaktomanan dan fosfolipid yang rendah,
yaitu kelapa Dalam DMT, DTA, DTE pada umur 12 bulan, umumnya kadar
galaktomanan dan fosfolipida rendah, masing-masing berkisar 0.18 - 0.20% dan 0.11-
0.13%.
Tabel 3. Sifat sifat fisikomia daging buah kelapa yang mempengaruhi pengolahan
kopra, minyak, kelapa parut kering, santan dan tepung.
Jenis Umur Kadar Kadar Kadar Kadar Kadar Kadar
kelapa buah air lemak karbohidrat galakto- serat fosfo-
manan kasar lipida
(bulan) (%) (% k) (% bk) (%bk) (%bk) (%bk)
KHINA-1 10 66.24 44.69 43.33 2.33 18.85 0.14
11 59.49 48.94 40.69 1.09 19.26 0.08
12 56.38 53.11 35.94 1.19 20.77 0.12
PB-121 10 62.26 54.51 33.61 2.28 19.59 0.10
11 59.25 52.97 33.03 2.24 22.69 0.09
12 50.31 51.52 38.64 1.91 17.71 0.09
GKNxDTE 10 63.82 53.26 34.37 1.85 19.70 0.15
11 56.30 56.01 34.86 0.96 22.47 0.10
12 50.51 56.82 33.42 1.11 21.91 0.13
GKBxDTE 10 65.22 54.37 37.03 2.88 20.43 0.15
11 59.67 56.14 33.50 1.92 23.13 0.12
12 56,13 47.81 42.54 1.24 22.65 0.12
GKBxDMT 10 65.14 51.31 37.70 3.89 21.51 0.15
11 56.19 52.36 37.60 2.07 23.16 0.05
12 55.88 43.88 42.07 1.03 23.19 0.11
GRAxDMT 10 63.75 50.08 35.33 2.85 20.43 0.17
11 57.47 55.40 33.66 1.30 21.22 0.14
12 55.09 50.15 40.60 1.35 20.13 0.14
DMT* 12 49.80 52.95 - 0.20 - 0.13
DTA* 12 51.60 69.31 - 0.19 - 0.12
DTE* 12 51.90 50.50 - 0.20 - 0.11
GKB* 12 51.60 55.31 - 0.18 - 0.11
GKN* 12 51.60 58.09 - 0.20 - 0.13
GRA* 12 51.60 57.78 - 0.18 - 0.11
Sumber : Rindengan et al,(1996), * Tenda et al, (1997)
Keterangan : bk = berat kering
(Kirchenbauer, 1960). Proses oksidasi asam lemak tidak jenuh dari fosfolipida akan
membentuk peroksida dan akan mudah terdekomposisi menjadi senyawa keton yang
berwarna kuning, aldehid dan senyawa-senyawa lainnya. Aldehid yang dihasilkan
dapat bereaksi dengan gugus amino dari protein membentuk komponen berwarna
coklat (Ketaren, 1986). Untuk menghindari sifat-sifat yang diakibatkan oleh kedua
sifat kimia tersebut, maka dalam pengolahan kelapa parut kering sebaiknya
menggunakan buah kelapa berumur 11 bulan dari KHINA-1 dan GKN x DTE, umur
12 bulan dari GKB x DMT. Sedangkan PB-121, GKB x DTE dan GRA x DMT,
sebaiknya diarahkan pada pengolahan produk yang diharapkan berwarna coklat,
seperti candy (permen dan es krim). Kadar lemak kelapa hibrida pada umur 11-12
bulan berkisar 47.81 - 56.82%, kelapa Dalam DMT umur 12 bulan 52.95%, DTA 69.31%,
DTE 50.50% sedangkan kelapa genjah GKB 55.31%, GKN 58.09% dan GRA 57.78%.
Kadar lemak kelapa parut kering dari jenis kelapa Dalam berkisar 66% (Banzon dan
Velasco, 1982). Saat ini telah dikembangkan kelapa parut kering berkadar lemak
rendah. Oleh karena itu adanya variasi kandungan lemak pada beberapa jenis kelapa,
maka pilihannya dapat dilakukan sesuai bahan baku yang tersedia.
Sejalan dengan berkembangnya berbagai industri makanan, seperti biskuit,
candy (permen), coklat dan es krim, maka permintaan produk ini semakin meningkat.
Sehingga ekspor pada tahun 2000 menjadi 31,373 ton dengan nilai US $21.952.000
(Budianto dan Allorerung, 2003).
3. Santan kelapa
4. Tepung kelapa
Hasil analisis ampas kelapa dari jenis kelapa hibrida KHINA-1 pada umur 11-12
bulan, diperoleh kadar protein 4.11%, serat kasar 30.58%, lemak 15.89%, kadar air
4.65%, kadar abu 0.66% dan karbohidrat 74.69% (Rindengan, et al, 1997). Ampas kelapa
dapat diolah lebih lanjut menjadi tepung kelapa. Tepung adalah bahan baku pada
pembuatan berbagai jenis makanan (kue), selain berfungsi sebagai sumber pati (gizi),
juga pembentuk struktur. Sifat fisik tepung yang diperhatikan adalah harus berwarna
putih dan tidak bergumpal. Dikaitkan dengan sifat kimia (Tabel 3), maka yang
berperan pada sifat tepung adalah galaktomanan dan fosfolipida. Oleh karena kadar
serat kasar yang tinggi (30.58%), tepung dari ampas kelapa sangat baik digunakan
sebagai salah satu bahan dalam membuat formula makanan, khusus bagi konsumen
yang beresiko tinggi terhadap obesitas, kardiovaskuler dan lain-lain. Untuk keenam
jenis kelapa hibrida semakin matang buahnya, serat kasar relatif semakin tinggi,
sebaliknya galaktomanan dan fosfolipida semakin rendah. Meskipun demikian,
karena tepung kelapa hanya diolah dari hasil samping pembuatan santan, maka bahan
baku yang digunakan sebaiknya mengikuti bahan baku pembuatan santan.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Direktorat gizi Depkes RI.
Bhratara, Jakarta. 57 p.
Andries, J., B. Harsono dan R.H. Akuba. 1997. Prospek pasar minyak kelapa di
Indonesia. Prosiding Temu Usaha Perkelapaan Nasional. p.41-47.
Allolerung, D, dan Z. Mahmud. 2003. Dukungan kebijakan Iptek dalam perberdayaan
komoditas kelapa. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22-24
Oktober 2002. p.70-82.
Balasubramaniam, K. 1976. Polysaccharides of the kernel of maturity and mature
coconuts. Journal of Food Science. 41(1370-1371).
Banzon, J.A. and J.R. Velasco. 1982. Coconut Production and Utilization. Metro
Manila, Philippines. 351 p.
Budianto, J. dan D. Allolerung. 2003. Kelembagaan perkelapaan di Indonesia.
Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22-24 Oktober 2002. p.1-9.
PENDAHULUAN
Produk utama dari buah kelapa yang selama ini diolah pada tingkat petani
adalah kopra. Namun dengan menurunnya harga kopra, maka pendapatan yang
diperoleh petani dengan hanya mengolah kelapa menjadi kopra sangatlah rendah.
Dalam tiga tahun terakhir ini, harga kopra tidak pernah mencapai Rp. 4000/kg, seperti
yang pernah dicapai pada tahun 1998. Pada pertengahan tahun 2000 harga kopra
turun menjadi Rp. 850/kg sehingga sangat mempengaruhi kehidupan petani kelapa.
Akhir bulan Januari 2001 kenaikannya hanya mencapai Rp. 1350/kg. Pada bulan
Oktober 2002 hanya mengalami kenaikan menjadi Rp. 1800/kg dan pertengahan
bulan Agustus 2003 turun menjadi Rp. 1700/kg.
Untuk mengatasi rendahnya harga kopra, maka perlu dilakukan diversifikasi
produk kelapa sehingga petani tidak hanya terfokus mengolah buah kelapa menjadi
kopra tetapi dapat mengolahnya menjadi produk lain yang akhirnya akan berdampak
pada perbaikan pendapatan petani. Dampak perbaikan pendapatan petani akan lebih
nyata jika usaha diversifikasi produk penanganannya dilakukan oleh petani. Salah
satu produk diversifikasi dari buah kelapa yang dapat dilakukan pada tingkat petani
adalah minyak kelapa murni.
Minyak kelapa murni adalah minyak kelapa yang diproses dari pengolahan
kelapa segar melalui pembuatan santan dengan pemanasan bertahap. Pada
prinsipnya pengolahan minyak kelapa murni hanya melakukan beberapa perbaikan
pada pengolahan cara tradisional. Dibandingkan dengan minyak kelapa yang diolah
secara tradisional dengan masa simpan kurang dari 2 bulan, maka minyak kelapa
murni memiliki keunggulan, yaitu kadar air rendah 0.02 - 0.03%, kadar asam lemak
bebas 0.02%, tidak berwarna (bening) dan berbau harum serta berdaya simpan 6 - 8
bulan. Pengembangan minyak kelapa murni dapat dilakukan oleh petani karena
pengolahannya mudah. Minyak kelapa murni dapat dimanfaatkan sebagai minyak
goreng bermutu tinggi dan bahan baku pada pengolahan produk kosmetik serta
farmasi.
Pada prinsipnya ada 2 cara untuk menghasilkan minyak kelapa yaitu cara basah
dengan bahan baku kelapa segar dan cara kering dengan bahan baku kopra. Mutu
minyak yang dihasilkan dari pengolahan cara kering, tergantung mutu kopra yang
digunakan. Pengolahan cara kering biasanya dilakukan pada skala industri menengah
dan besar. Namun minyak hasil pengepresan belum siap dikonsumsi sehingga harus
dimurnikan terlebih dahulu karena kualitas bahan baku yang tidak seragam dan
kadang-kadang mengandung senyawa berbahaya yang larut dalam minyak.
Buah kelapa yang akan diolah menjadi minyak sebaiknya menggunakan jenis
kelapa Dalam yang sudah tua, yakni umur buah 11 – 12 bulan, ditandai dengan kulit
sabut berwarna coklat. Buah kelapa tua akan menghasilkan rendemen minyak yang
tinggi.
2. Pembuatan Santan
Buah kelapa dikupas, kemudian dibelah lalu diparut secara manual atau
dikeluarkan daging buahnya dari tempurung dan selanjutnya daging buah digiling
menggunakan mesin giling kelapa. Hancuran daging buah ditambah air dengan
perbandingan 1 : 2 kemudian ekstrak dikocok-kocok lalu diperas dan disaring hingga
diperoleh santan. Untuk memarut dan memeras santan sebaiknya menggunakan alat
pemarut kelapa dan pengepres santan.
10 MINYAK KELAPA MURNI (VIRGIN COCONUT OIL) : PENGOLAHAN, PEMANFAATAN DAN PELUANG PENGEMBANGANNYA
MINYAK KELAPA MURNI (VIRGIN COCONUT OIL) : PENGOLAHAN, PEMANFAATAN DAN PELUANG PENGEMBANGANNYA
Santan yang diperoleh dituang pada wadah ember plastik transparan, lalu
didiamkan selama 3 jam. Selama didiamkan, santan akan terbagi 3 lapisan yaitu
lapisan atas adalah krim (kaya minyak), lapisan tengah adalah lapisan skim (kaya
protein) dan lapisan bawah berupa endapan. Berdasarkan hasil penelitian dari 30
butir kelapa Dalam Mapanget (DMT), diperoleh 16 kg daging buah (berat daging buah
rata-rata 500 g/butir). Setelah dibuat santan (dengan cara seperti di atas) diperoleh
sekitar 48 liter santan. Selanjutnya setelah didiamkan 3 jam, krim yang berada pada
lapisan tengah dikeluarkan dengan cara diisap menggunakan selang plastik. Krim
yang diperoleh sekitar 10 liter (Rindengan, 2000).
4. Pemanasan Bertahap
Minyak yang belum masak dipanaskan pada suhu pemanasan sama dengan
pemanasan krim. Pada tahap ini dilakukan sampai diperoleh minyak yang agak
bening dan jika masih terdapat blondo warnanya harus coklat muda. Selanjutnya
minyak didinginkan dan disaring menggunakan kertas saring. Produk akhir akan
diperoleh adalah minyak kelapa murni dan secara singkat sistematika pengolahan
minyak kelapa murni yang dapat diterapkan kepada petani dapat dilihat pada
Gambar 1.
Buah kelapa
Pengupasan Sabut
Pemisahan Tempurung
Tempurung
Pengepresan
Minyak
Skim kelapa Santan (diamkan 3 jam)
Pemanasan
Krim
Penyaringan
12 MINYAK KELAPA MURNI (VIRGIN COCONUT OIL) : PENGOLAHAN, PEMANFAATAN DAN PELUANG PENGEMBANGANNYA
MINYAK KELAPA MURNI (VIRGIN COCONUT OIL) : PENGOLAHAN, PEMANFAATAN DAN PELUANG PENGEMBANGANNYA
Minyak kelapa juga memiliki prospek yang baik dalam industri farmasi dan
kosmetika. Khusus di Filipina, saat ini penggunaan virgin coconut oil lebih difokuskan
pada persediaan (preparasi) aromaterapi, minyak pijat, pengolahan produk-produk
herbal dan produk perawatan kecantikan. Sedangkan di India minyak kelapa murni
yang diperoleh dari kopra putih digunakan untuk minyak rambut yang dikemas
dalam kemasan plastik putih dengan volume 1 ml.
Di Indonesia produk-produk kosmetika seperti shampo, umumnya meng-
gunakan minyak kelapa yang telah diproses lebih lanjut menjadi oleokimia, seperti
fatty alcohol, asam lemak dan lain-lain. Khusus asam lemak laurat merupakan bahan
dasar pembuatan detergen, seperti rinso, dino dan bahan dasar untuk shampo, seperti
sunsilk dan clinic.
Minyak kelapa murni yang diproses mengikuti prosedur dari BALITKA, pernah
dianalisis oleh salah satu perusahaan kosmetik yang ada di Indonesia dan ternyata
karakteristik minyak kelapa murni memenuhi syarat sebagai salah satu formulasi
dalam pengolahan produk kosmetik
Hasil penelitian diperoleh bahwa asam laurat yang diubah dalam tubuh
manusia menjadi monolaurin bersifat antivirus, antibakteri dan antijamur.
Monolaurin dapat merusak membran lipida (lapisan pembungkus virus) di antaranya
virus HIV, herpes, influenza dan cytomegalovirus. Bakteri patogen yang dapat
diinaktifkan oleh monolaurin yaitu Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus,
Streptoccocus agalactiae dan bakteri penyebab sakit maag Helicobacter pylori serta
protozoa seperti Giardia lamblia (Enig, 1999). Penelitian terhadap penderita HIV
menunjukkan bahwa pemberian monolaurin murni maupun minyak kelapa
memperlihatkan proses perbaikan HIV (Dayrit, 2000 dalam Arancon, 2000). Selain itu
telah dilakukan ujicoba pemberian minyak kelapa murni kepada pasien yang
menderita penyakit sindrom pernafasan akut atau Severe Acute Respiratory Syndrom
(SARS).(Komentar, 2003). Dilaporkan pula ternyata minyak kelapa murni mempunyai
khasiat untuk mencegah kanker kulit jenis Melanoma Malikna (MM) yang merupakan
penyakit yang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian (Manado Post,
2003). Minyak kelapa mempunyai manfaat yang besar untuk kesehatan yaitu:
1) mengurangi resiko aterosklerosis dan penyakit yang terkait, 2) menurunkan resiko
kanker dan penyakit degeneratif lainnya, 3) membantu mencegah infeksi virus, 4)
mensupport sistem kekebalan tubuh, 5) membantu mencegah osteoporosis, 6)
membantu mengontrol diabetes, 7) memulihkan kembali (kehilangan) berat badan, 8)
menyediakan sumber energi yang cepat, 9) menyediakan sedikit kalori
dibandingkan dengan lemak lain, 10) menyediakan nutrisi penting untuk kesehatan,
11) memperbaiki sistem pencernaan dan penyerapan nutrisi, 12) membantu kulit tetap
lembut dan halus, 13) membantu mencegah kanker kulit, 14) tidak mengandung
kolestrol, 15) tidak menaikkan kolestrol darah dan 16) tidak menyebabkan kegemukan
(Allorerung, 2000).
14 MINYAK KELAPA MURNI (VIRGIN COCONUT OIL) : PENGOLAHAN, PEMANFAATAN DAN PELUANG PENGEMBANGANNYA
MINYAK KELAPA MURNI (VIRGIN COCONUT OIL) : PENGOLAHAN, PEMANFAATAN DAN PELUANG PENGEMBANGANNYA
b. Produksi yang dihasilkan dapat dijual pada pasar lokal maupun regional yang
hasilnya merupakan cash income bagi keluarga tani dengan nilai pendapatan jauh
lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan nilai kopra sekarang.
c. Membangkitkan dan menanamkan image positif terhadap masyarakat untuk
mengkonsumsi minyak makan produksi sendiri.
d. Mengurangi supplai kopra sehingga dapat mendorong meningkatnya harga
kopra.
e. Meningkatkan pendapatan petani dan nilai tambah komoditas.
f. Penganekaragaman produk olahan kelapa dan efisiensi pemanfaatan bahan baku.
g. Pengembangan pemanfaatan minyak kelapa murni untuk bahan baku industri
farmasi dan kosmetika.
h. Menciptakan lapangan kerja baru di desa maupun di kota.
16 MINYAK KELAPA MURNI (VIRGIN COCONUT OIL) : PENGOLAHAN, PEMANFAATAN DAN PELUANG PENGEMBANGANNYA
MINYAK KELAPA MURNI (VIRGIN COCONUT OIL) : PENGOLAHAN, PEMANFAATAN DAN PELUANG PENGEMBANGANNYA
PENUTUP
Minyak kelapa murni adalah minyak kelapa bermutu tinggi dengan kadar air
0.02-0.03%, kadar asam lemak bebas 0.02 %, tidak berwarna (bening) dan berbau
harum dengan daya simpan 6 - 8 bulan, sedangkan minyak yang dihasilkan secara
tradisional daya simpannya kurang dari 2 bulan. Pengolahan minyak kelapa murni
cukup sederhana karena merupakan perbaikan pengolahan minyak kelapa cara
tradisional sehingga dapat dilakukan oleh petani. Minyak kelapa murni merupakan
produk alami yang sangat bermanfaat untuk gizi, kesehatan dan perawatan
kecantikan. Upaya yang dapat ditempuh pemerintah untuk mendorong dan
merangsang petani memulai lagi mengolah minyak kelapa yaitu menyediakan insentif
berupa perlengkapan pengolahan minyak. Nilai jual minyak kelapa setelah
dikembangkan menjadi bahan baku farmasi menjadi sekitar Rp. 108,000,- sampai
Rp. 191,000,- per liter.
DAFTAR PUSTAKA
Allorerung, D. 2000. Hidup lebih sehat dengan minyak kelapa. Balai Penelitian
Tanaman Kelapa dan Palma Lain. Manado. 7 hal.
Andries, J., B. Harsono dan R.H. Akuba. 1997. Prospek pasar minyak kelapa di
Indonesia. Prosiding Temu Usaha Perkelapaan Nasional. Hal.41-47.
Arancon, R.N. Jr. 2000. The health benefit of coconut oil. Cocoinfo International 7(2):
15-19.
Bawalan, D.D. 2002. Production, utilization and marketing of virgin coconut oil.
Cocoinfo International. 9(1):5-9.
Enig, M. 1999. Coconut : in Support of good health in the 21st century. Paper presented
on APPC’S XXXVI session and 30th Anniversarry in Pohnpei, federated States
of Micronesia, 27-28 September 1999.
Komentar. 2003. Bahan baku obat SARS dan AIDS melimpah di Sulut. Surat Kabar
Komentar. Senin 19 Mei 2003. Hlm 1-2.
Lay, A. dan B. Rindengan. 1989. Pengolahan minyak kelapa dengan pemanasan
bertahap. Terbitan Khusus No.15/VIII/1989. Balitka Manado. Hlm. 89-90.
Manado Post. 2003. Minyak kelapa berkhasiat cegah kanker kulit. Surat Kabar Manado
Post, Jumat 5 September 2003. Hlm 23.
Rindengan, B. 1993. Kontroversi isu minyak tropis. Buletin Balitka (20): 1-12.
Rindengan, B. 2000. Pengolahan minyak kelapa murni. Makalah Disampaikan pada
Pelatihan Petugas dan petani ADP II Loan OECF IP - 454 Dinas Perkebunan
Propinsi Sulawesi Utara 22-23 Nopember 2000.
Rindengan, B. dan S. Karouw. 2002. Peluang pengembangan minyak kelapa murni.
Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V, 21-25 Oktober 2002. Tembilahan, Riau.
hal.146-153.
Rindengan, B. 2003. Pengembangan minyak kelapa murni (virgin coconut oil) untuk
industri farmasi dan kosmetika. Makalah disampaikan pada Aplikasi Teknologi
Pascapanen untuk Pemanfaatan Sumber Daya Perkebunan (Kelapa Dalam) di
Sulawesi. Makassar, 2-7 September 2003. Kerajasama Deputi Sumber Daya
Pembangunan Kementerian Percepatan Pembangunan Kawasan Timur
Indonesia dengan Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. 12 hal.
Taufikkurahman, L. 2002. Market outlook : 2nd half 2002. Cocoinfo International. 9(1):
26 - 28.s
18 MINYAK KELAPA MURNI (VIRGIN COCONUT OIL) : PENGOLAHAN, PEMANFAATAN DAN PELUANG PENGEMBANGANNYA
MINYAK KELAPA MURNI (VIRGIN COCONUT OIL) : PENGOLAHAN, PEMANFAATAN DAN PELUANG PENGEMBANGANNYA
PENDAHULUAN
1. Teknologi pengolahan
Teknologi pengolahan atau teknologi proses adalah studi tentang unit operasi
yang melakukan proses secara mekanis, fisika, kimia dan biokimia dalam satu sistem
proses (Van Bergeyk dan Liedekerken, 1981). Dilaporkan Irawadi (2000), bahwa
teknologi pengolahan dapat dibagi tiga tingkatan yaitu: (1) Teknologi tradisional,
teknologi ini sudah lama dikenal masyarakat pedesaan dan perlu diperbaiki dengan
mengoptimalkan operasi dan memperbesar kapasitas olah, (2) Teknologi inovatif,
teknologi ini merupakan pengembangan teknologi yang sudah ada untuk
memenangkan persaingan, dirancang perubahan dan penyempurnaan sistem proses
sehingga biaya produksi lebih murah dan waktu proses lebih singkat, dan (3)
Teknologi maju, teknologi ini berperan untuk menghantarkan perusahaan menjadi
market leader, produk yang dihasilkan merupakan komoditas baru baik kualitas
maupun spesifikasinya dan dibutuhkan pasar, sehingga perlu dukungan riset secara
terus menerus agar posisi market leader tetap terpelihara.
1. Pengolahan tradisional
Pengolahan minyak kelapa cara basah (Wet process) adalah cara pengolahan
minyak melalui proses santan terlebih dahulu. Santan yang diperoleh difermentasi
atau dimasak, disaring, diperoleh minyak kelapa, cara ini dikenal dengan Kicthen
method (Banzon dan Velasco,1982). Pengolahan minyak cara basah di tingkat petani
kapasitas olah rendah, tidak efisien dan minyak mudah tengik, karena pemasakan
kurang sempurna.
Minyak kelapa yang diolah secara tradisional dengan cara basah dikenal
dengan nama minyak klentik. Minyak klentik umumnya berkadar air cukup tinggi
yakni 0.10 - 0.11% dan kadar asam lemak bebas 0.08 - 0.09%. Apabila minyak tersebut
disimpan dalam wadah plastik atau botol tembus cahaya, selama satu bulan, kadar air
dan asam lemak bebas masing-masing akan meningkat menjadi 0.15 – 0.16% dan 0.12 -
0.13%. Pada penyimpanan selama dua bulan minyak menjadi tengik, ditandai kadar
air 0.18 – 0.20% dan kadar asam lemak bebas 0.16 – 0.18% (Lay dan Rindengan, 1989).
Untuk itu, minyak klentik yang dihasilkan dengan cara tradisional sebaiknya tidak
disimpan lama atau segera dikonsumsi.
2. Aqueous process
Dilaporkan oleh Temu dan Mpagalile (1997) bahwa pengepres tipe tekanan
horisontal yang relatif sederhana tanpa menggunakan motor penggerak telah
dikembangkan di Negeria yang dikenal dengan nama Ram Pres. Pengepres ini, semi
mekanis berukuran kecil tanpa menggunakan tenaga motor. Pengepres ini, selain
untuk mengepres kelapa parut dan kopra giling, juga mengepres biji bunga matahari,
kacang tanah dengan hasil cukup efisien.
Ram pres telah dimodifikasi baik kontruksi alat maupun sistem proses. Hasil
pengujian Ram pres yang dimodifikasi, menunjukkan bahwa kapasitas olah 11.5 kg
daging kelapa parut/jam dan efisiensi ekstraksi 62.16%. Minyak yang dihasilkan
dengan metode ini dikenal sebagai minyak klentik. Dibanding dengan pengepresan
manual (menggunakan tangan) kapasitas olah 6.22 kg/jam dan efisiensi ekstraksi
61.67%. Penggunaan Ram press lebih efisien dibanding pengepres manual (Lay dan
Pandean, 2001).
5. Metode fermentasi
Pengolahan minyak cara kering dirintis oleh Hiller tahun 1963 (Hiller method),
dengan cara pengolahan sebagai berikut: butiran kelapa dimasak, sehingga terpisah
daging kelapa dari tempurung. Daging kelapa dicacah, dikeringkan secara vakum dan
daging kelapa kering dipres. Produk yang dihasilkan terdiri dari minyak dan tepung
kelapa putih (Grimwood, 1975).
Pengolahan minyak cara kering skala kecil yang dikembangkan di Sri Lanka
dengan metode Intermediate Moisture Content (IMC), cara kerjanya sebagai berikut:
kelapa diparut dan dikeringkan dengan sinar matahari, sampai kadar air 11 - 12%,
kemudian dipres dengan pengepres semi mekanis sistem skru. Efisiensi ektraksi
sekitar 61%, minyak tidak berwarna, aroma khas, kadar air 0.1%, kadar asam lemak
bebas 0.1%, hasil samping adalah bungkil putih. Minyak yang dihasilkan dengan
metode IMC dikategorikan minyak klentik. Kelemahan metode IMC adalah kapasitas
olah rendah 200 butir/hari. Teknologi ini, lebih sesuai pada daerah dengan upah
tenaga kerja rendah dan terdapat industri pengolahan bungkil putih (Ranasinghe,
1997).
Teknologi pengolahan cara kering yang menggunakan bahan baku kopra telah
berkembang secara luas sampai sekarang dalam industri pengolahan minyak skala
besar, yakni: (a) pengolahan minyak kelapa kasar dengan sistem pengepres mekanis
(full-press mechanical extraction plant), kapasitas 20 - 150 ton kopra/hari; (b) pengolahan
minyak kelapa kasar dengan bahan pelarut (Full-solvent extraction plant), kapasitas 150
ton kopra/hari; dan (c) pengolahan minyak makan dan tepung kelapa (Oil and flour
through edible copra proposed), kapasitas 150 ton kopra/hari (UNIDO, 1980a).
Minyak kasar dari pengepresan kopra atau Crude coconut oil yang ditandai
dengan kadar air 0.2%, kadar asam lemak bebas lebih dari 0.1%, warna minyak coklat
dan bau tengik. Minyak kopra yang telah mengalami proses pemurnian dikenal
dengan minyak makan atau Refined coconut oil, dengan karakteritik sebagai berikut:
kadar air 0.1%, kadar asam lemak bebas kurang dari 0.1% warna minyak bening
(Banzon dan Velasco, 1982).
Minyak kelapa kasar yang dihasilkan dari kopra umumnya tidak layak
dikonsumsi langsung, karena kadar asam lemak bebas tinggi, warna coklat tua dan
bau tengik. Untuk perbaikan mutu minyak kopra menjadi minyak goreng layak
konsumsi, telah dikembangkan sistem penjernihan dan deodorisasi, yang berfungsi
menghilangkan bau menyengat, merubah warna minyak menjadi kuning muda/tidak
berwarna dan menurunkan kadar asam lemak bebas. Peralatan yang digunakan dalam
proses refinasi, terdiri dari: batch neutralization, physical ripening, batch deodorization,
batch hydogenation, dan batch scap splitting (UNIDO,1980b).
3. Metode Penggorengan
Dewasa ini, telah dikembangkan unit pengolahan minyak kelapa cara kering
skala menengah dengan metode terdiri dari: Los Banos System (LBS) dari Philiphina,
Tinytech Oil Mill (TOM) dari India dan Direct Micro Expelling (DME) System dari
Australia. Metode Los Banos System menggunakan cara pengolahan minyak dengan
menggunakan bahan baku kelapa segar diolah menjadi kopra, kopra digiling, dipres,
dan minyak kasar yang dihasilkan direfinasi dengan cara penambahan NaOH 2%.
Pada metode ini, dari 2,500 butir kelapa akan dihasilkan 285 kg minyak goreng.
Metode Tinytech oil mill menggunakan bahan baku kopra, kopra digiling dan
dipanaskan sampai kadar air kopra mencapai 3%, dipres sebanyak dua kali, disaring
diperoleh minyak kelapa. Produk yang diperoleh adalah minyak kelapa kasar dan
bungkil, kapasitas 3 ton kopra per hari.
Metode DME, menggunakan cara pengolahan daging kelapa segar, diparut dan
dikeringkan dengan sistem oven dan dipres. Produk yang dihasilkan terdiri dari
minyak berkadar asam lemak bebas kurang dari 0.02% dan hasil ikutan bungkil.
Kapasitas produksi 60 - 150 kg. minyak murni untuk 24 jam operasi (Anonim, 2002).
EKONOMI PENGOLAHAN
1. Pengolahan parsial
2. Pengolahan terpadu
pengolahan (biaya tetap dan biaya variabel) Rp. 35,500,000/bulan, pendapatan bersih
Rp. 145,000,000/tahun. Produksi harian terdiri dari: 266 kg minyak kelapa, 150 kg
bungkil, 135 kg arang, 144 kg sari kelapa, 288 kg serat sabut kering dan 434 kg debu
sabut kering/hari. Analisis finansial yang didasarkan pada operasi pengolahan selama
10 tahun dengan tingkat bunga bank 16% adalah layak dan menguntungkan, yang
ditandai dengan nilai BCR (16%) 1.26; NPV (16%) Rp. 992,136,000; IRR 41.3% dan
waktu pengembalian investasi 3 tahun 2 bulan (Lay, 2000).
Pengembangan usaha pengolahan kelapa terpadu skala industri besar di India,
yang telah beroperasi selama enam tahun dengan kapasitas olah 100,000 butir kelapa
per hari. Produk yang dihasilkan antara lain minyak goreng, arang aktif, serat sabut,
tepung kelapa, madu kelapa, protein kelapa. Pendapatan total yang diperoleh lebih
dari 14 juta Rupe, atau sekitar 55% dari besarnya investasi yakni 25 juta Rupe.
Keuntungan yang diperoleh sekitar sepuluh kali lebih besar dibanding dengan
pengolahan secara tradisional (Nambiar, 1984).
1. Pendekatan pengembangan
PENUTUP
Metode Hiller, Metode Industri dengan bahan baku kopra, Metode penggorengan,
Metode IMC, LBS, TOM dan DME. Kedua kelompok teknologi pengolahan minyak
ini masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan, dan telah dikembangkan
berbagai modifikasi dengan tujuan untuk menghasil minyak bermutu dan efisiensi
pengolahan yang tinggi.
Pada pengembangan unit pengolahan minyak patut dipertimbangkan sistem
pengolahan minyak kelapa yang terpadu dengan produk lain baik dari komponen
daging buah maupun komponen lain dari buah kelapa. Secara ekonomi pengolahan
minyak kelapa secara parsial kurang efisien dibanding dengan pengolahan minyak
kelapa yang terpadu dengan produk lainnya.
Dalam upaya meningkatkan kinerja petani kelapa dalam pengolahan minyak
kelapa dan pengolahan produk lainnya, langkah yang patut dilakukan adalah
pemberdayaan petani dalam usaha pengolahan yang berorientasi teknologi inovatif
dan maju, dengan sistem pengolahan terpadu, yang diarahkan pada pengembangan
produk bernilai ekonomi, mempunyai pasaran luas dan harga memadai, yang
dilakukan secara terprogram dan massal oleh pemerintah/instansi teknis bersama
usaha swasta.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, B.E. dan R.J. Ebert. 1989. Production and operation management. Prentice-Hall
International, Inc, Englewood Cliff, New Jersey, p. 16-45.
Anonim. 1998. Virgin oil de coco-crème. Quality First International Inc, Canada.
Anonim. 2002. Oil mil performance and suitable evaluation. Friends, Philipines, Inc.
Banzon, J. A. dan J. R. Velasco. 1982. Coconut production and utilization. PCRD, Metro
Manila.
Farida, 2002. Pengolahan minyak secara fermentasi. Makalah yang disampaikan pada
Temu Usaha dan Temu Teknologi Perkelapaan di Propinsi Banten, 31 Oktober
2002.
Gonzales, O.N. 1986. Coconut food. Coconut Today. Manila Ohilippines; 1(1):35-52.
Grimwood, B.E. 1975. Coconut palm products; their processing in developing
countries. FAO. Rome, p. 261.
Hagenmaier, R. 1977. Coconut agueous processing. University of San Carlos, Cebu
Philippina, p. 313.
Ibrahim, M.A. 1989. Pola penerapan teknologi dalam peningkatan produksi dan
pemerataan pembangunan. BPP-Teknologi, Jakarta.
Irawadi, D. 2000. Kontribusi teknologi proses dalam pembangunan agroindustri
perkebunan menuju otonomi daerah. Ekspose Hasil Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Perkebunan. Jakarta , 20 November 2000.
Lay, A. dan B. Rindengan. 1989. Pengolahan minyak kelapa secara bertahap. Laporan
Balitka Manado, Tahun 1988/1989, hal. 89-90.
Lay, A. 1993. Strategi pengembangan industri kelapa terintegrasi. Tesis Pascasarjana
Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB. Bogor.
Lay.A. 2000. Alat pengolahan kelapa terpadu skala pedesaan. Laporan Tahunan Balai
Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado, Tahun 2000.
Lay, A. dan J.E. Pandean. 2001. Rekayasa teknologi alat pengepres santan semi
mekanis skala petani. Buletin Palma; (27): 32-39.
Muljodihardjo, S. 1997. Aspek kelembagaan dan organisasi pengembangan enjiniring
pertanian. Diskusi Pengembangan Pertanian Modern. Jakarta, 4 Desember 1997.
Mulyadi, D., Nurhidayat., L. Purwaningsih., H. Sony dan I. Sulmeiyan. 1989.
Penelitian industri pengolahan kelapa terpadu. Litbang Industri Departemen
Perindustrian. Jakarta
Nambiar, T.V.P. 1984. Maximizing the utility by an integrated process for large
production of protein, flour, coconut honey, oil fresh coconut kernel and shell by
products such as fibre, carbon, and chemical from husk, and shell carbon, shell
chemical, cooking gas from shell. Coconut R & D. Wiley Eastern, Ltd., New
Delhi, p. 175-182.
Ranasinghe, A.T. 1997. Intermediate moisture content (IMC). Technology Sri Lanka.
APCC-NRI-CFC International Workshop on improving the small scale
extraction of coconut oil. Bali, p. 192-202.
Rindengan, B. 2001. Pengolahan minyak kelapa murni. Balai Penelitian Tanaman
Kelapa dan Palma Lain, Manado.
Saragih, B. 2002. Peranan teknologi tepat guna dalam pengembangan sistem
agribisnis kerakyatan dan berkelanjutan. Analisis kebijaksanaan: Pendekatan
pembangunan dan kebijaksanaan pengembangan agribisnis. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Soebiarpraja, R. 1991. Kebijaksanaan dan peranan pemerintah dalam pengembangan
industri pertanian. Ditjenbun Departemen Pertanian. Jakarta.
Temu, N. dan J. Mpagalile. 1997. Aqueous processing techniques in Tanzania.
Presentation to the International Workshop on Improving the Small-Scale
Extraction of Coconut Oil. APCC. Jakarta.
Ulrich, K.T. dan S.D. Eppinger. 2001. Product design and development (Perancangan
dan pengembangan produk). Diterjemahkan N. Azmi dan I.A. Marie. Penerbit
Salemba Teknika, Jakarta.
UNIDO. 1980a. Coconut oil extraction. Coconut processing technology information
documents, Part 2 of 7. APCC.
UNIDO. 1980b. Coconut oil refining and modification. Coconut processing technology
information documents, Part 2 of 7.APCC.
Van Bergeyk, K. dan A.J. Liedekerken. 1981. Process technologie (Teknologi Proses). Jilid I.
Diterjemahkan B.S.Anwir. Penerbit Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
PENDAHULUAN
Produksi minyak kelapa Indonesia selain untuk konsumsi dalam negeri juga
diekspor dalam bentuk minyak kelapa kasar (Crude Coconut Oil, CCO). Namun
apabila minyak kelapa hanya dimanfaatkan untuk konsumsi pangan dan diekspor
dalam bentuk minyak kelapa kasar, maka harga minyak kelapa akan sangat
berfluktuatif karena harus bersaing dengan minyak sawit dan minyak nabati lainnya.
Oleh karena itu, perlu dikembangkan pengolahan minyak kelapa menjadi produk
oleokimia.
Dalam dunia perdagangan dikenal dua jenis oleokimia, yaitu : 1) oleokimia
alami (natural) yang diperoleh dari bahan baku berupa minyak nabati atau lemak
hewani dan bersifat biodegradable, 2) oleokimia buatan diperoleh dari minyak bumi
(petrokimia), seperti propilen dan etilen yang bersifat non biodegradable (Knault, 1984
dalam Anonim, 1997). Richtler dan Knault (1984), mendefinisikan oleokimia sebagai
produk yang diperoleh dari hasil pemecahan minyak atau lemak, beserta turunannya.
Asam lemak, gliserol dan metil ester diperoleh melalui reaksi hidrogenasi dari amina
asam lemak. Produk-produk ini yang disebut oleokimia dasar (basic oleochemicals)
yang dapat diturunkan menjadi oleokimia turunan melalui reaksi kimia lanjutan
(derivative oleochemicals). Peranan produk-produk oleokimia semakin luas, terutama
dalam kehidupan sehari-hari, yakni sebagai bahan baku sabun, detergen, kosmetik,
plastik, pasta gigi, bahan makanan dan obat-obatan. Hal ini merupakan salah satu
alasan, mengapa industri oleokimia menjadi sektor yang diminati oleh para investor
dan makin banyak diperbincangkan dalam dunia bisnis baik ditingkat nasional
maupun internasional. Akan tetapi industri oleokimia saat ini terutama berada di
Eropa dan Amerika, sedangkan bahan baku berada di negara-negara berkembang
penghasil minyak kelapa dan sawit. Oleh karena itu, tidak ada alternatif lain untuk
membangun industri kelapa yang kuat, selain harus mengembangkan teknologi
oleokimia sendiri. Teknologi ini akan berpeluang pada pengembangan industri
berbasis kelapa yang lebih hilir untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri
yang memanfaatkan senyawa turunan dari minyak kelapa.
Oleh karena itu, penelitian ke arah pengembangan teknologi yang mampu
memisahkan produk berupa metil ester perlu untuk dilakukan. Metil ester lebih
mudah dikonversi menjadi produk lain karena titik didihnya lebih rendah,
dibandingkan dengan asam lemaknya.
Metil ester merupakan produk oleokimia yang menduduki urutan ke empat
dalam perdagangan dunia. Pada tahun 1995, produksi metil ester dunia mencapai
544 ribu ton, dari Eropa Barat sebesar 255 ribu ton, Pasifik 160 ribu ton, Amerika
Serikat 99 ribu ton dan wilayah lain 60 ribu ton (Anonim, 1997). Di Indonesia hanya
ada satu pabrik yang memproduksi metil ester, yaitu PT Batam Mas Megah dengan
kapasitas 5.300 ton/tahun. Di wilayah Pasifik, Indonesia merupakan negara penghasil
kelapa terbesar setelah Filipina, akan tetapi jika dilihat dari data kapasitas produksi
metil ester tersebut, maka pasokan metil ester di pasaran dunia hanya 0.97% (jika
diekpor).
Indonesia dengan luas areal tanaman kelapa yang mencapai lebih dari 3.7 juta
ha dan perkiraan produksi minyak kelapa kasar (Crude Coconut Oil, CCO) pada tahun
2003 sekitar 866,836 metrik ton (Allorerung, 2003), merupakan sumber bahan baku
potensial untuk produk oleokimia. Dukungan teknologi untuk menghasilkan proses
pengolahan yang lebih efisien sangat diperlukan dan keadaan ini hanya dapat
diperoleh melalui penelitian-penelitian yang dilakukan secara berkesinambungan.
Minyak kelapa dan minyak inti sawit berdasarkan komposisi asam lemaknya,
mengandung asam laurat yang cukup tinggi, oleh karena itu minyak kelapa dan
minyak inti sawit disebut juga sebagai minyak laurat (Rindengan, 2000). Minyak
kelapa adalah trigliserida yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak. Minyak
kelapa terdiri atas sekitar 90% asam lemak jenuh dan sekitar 10% asam lemak tak
jenuh, lebih dari 50% merupakan senyawa rantai karbon pendek (6 - 12 atom C).
Asam laurat (C - 12) merupakan komponen utama yang dapat mencapai 44 – 52%,
diikuti berturut-turut oleh asam miristat (C - 14) 13 – 19%, palmitat (C - 16)
7.5 – 10.5%, asam kaprilat (C - 8) 5.5 - 9.5%, asam stearat (C - 18) 1.0-3.0%. Asam
lemak tak jenuh hanya terdiri atas asam oleat (C - 18) sebesar 5.0 - 8.0%, asam linoleat
(C-18) 1.5 - 2.5% dan asam palmitoleat (C - 16) 0 - 1.3% (Thieme, 1968 dalam Ketaren,
1986).
Asam laurat minyak kelapa selain banyak digunakan dalam industri detergen,
sabun, shampo, kosmetik juga digunakan dalam pembuatan alkyl resin, insektisida,
bahan pelembab, industri makanan dan lain-lain. Dalam pembuatan detergen produk
oleokimia dari kelapa dengan rantai C8 - C14 (khususnya laurat) memiliki keunggulan
komparatif tersendiri karena tidak dapat disaingi oleh oleokimia yang dihasilkan dari
minyak nabati lain. Garam kalium (K), natrium (Na), triethanoalamine (TEA) dan
diethanolamin (DEA) dari asam laurat memiliki kemampuan membentuk busa yang
baik (Fujino, 1984). Selain itu, minyak kelapa juga mengandung asam stearat yang
banyak digunakan dalam industri tekstil, farmasi, plastik, semen dan lain-lain.
Selain asam laurat produk oleokimia lain yang dapat dihasilkan dari minyak
kelapa yaitu metil ester. Minyak kelapa yang telah dikonversi ke dalam bentuk metil
ester mudah untuk difraksinasi, lebih stabil dan tahan terhadap perubahan warna oleh
oksidasi. Hal ini disebabkan karena titik didih metil ester lebih rendah dibandingkan
dengan asam lemaknya. Selain itu, beberapa sifat fisiknya berubah sehingga mudah
dikonversi menjadi produk lain. Konversi minyak kelapa menjadi metil ester dapat
dilakukan melalui proses metanolisis. Selain metil ester juga diperoleh hasil ikutan
berupa gliserol.
Metil ester dapat diolah dari minyak nabati lain, seperti minyak kedelai, minyak
bunga matahari dan minyak sawit (Ong et al, 1984). Namun metil ester dari minyak
kelapa memiliki perbedaan dengan metil ester dari minyak nabati lainnya, karena
minyak kelapa mengandung asam lemak rantai medium (C8 - C14) yang tinggi,
sehingga akan memberikan performan yang baik, jika digunakan sebagai bahan bakar
diesel. Metil ester dari minyak kelapa dapat langsung digunakan sebagai bahan
bakar mesin diesel (biodiesel) ataupun dicampur dengan minyak solar sesuai
perbandingan tertentu (Solly, 1984).
metanol hanya 12.50% diperoleh rendemen hasil 90.00% dan komposisi metil laurat
65.05% sedangkan pada penambahan metanol 22.50%, diperoleh rendemen hasil
97.50% dan komposisi metil laurat 51.79%. Menurut hasil studi dari PT. International
Contact Bussines System, Inc., (ICBS) rendemen metil ester asam lemak adalah 81.15%
yang diperoleh dari berbagai sumber (Anonim, 1997). Selanjutnya, hasil penelitian di
Filipina, yaitu metil ester telah diproses lanjut menjadi cocodiesel antara lain
memiliki sifat sebagai berikut: bening, angka cetane 39 – 44 (bahan bakar komersial
52 - 57), bilangan yodium 4.90–6.59 dan bilangan penyabunan 236.16 – 244.63 (Arida,
1989). Dari hasil yang diperoleh (Tabel 1) menunjukkan, bahwa hanya dengan
penambahan metanol 12.50% dan katalis NaOH 0.30% telah menghasilkan rendemen
90.0% dan angka cetane 59.704 (mendekati angka cetane bahan bakar komersial) dan
bening.
Menurut hasil studi dari PT. International Contact Business System, Inc., (ICBS)
volume ekspor produk oleokimia Indonesia, menunjukkan peningkatan dari tahun ke
tahun. Pada tahun 1996, volume dan nilai ekspor dari 4 jenis produk oleokimia dari
kelapa sawit, dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Volume dan nilai ekspor produk oleokimia Indonesia Tahun 1996
Berdasarkan Tabel 2, metil ester belum termasuk pada produk ekspor oleokimia.
Hal ini kemungkinan disebabkan pabrik yang mengolah metil ester di Indonesia
hanya satu dengan kapasitas 5300 ton/tahun, sehingga produknya hanya untuk
konsumsi dalam negeri dibandingkan dengan Filipina. Kapasitas produksi metil
ester dari minyak kelapa, telah mencapai 57.3 juta ton, masing-masing Philipinas
Kao, Inc. 35,000 MT/thn, Colgate-Palmolive Phils 6700 MT/thn, Proton Chemical 9600
MT/thn dan industri lainnya 6000 MT/thn (Arancon, 1997).
PENUTUP
Indonesia dengan luas areal tanaman kelapa yang mencapai lebih dari 3.7 juta
ha, dan perkiraan produksi minyak kelapa kasar (Crude Coconut Oil, CCO) pada tahun
2003 sekitar 866,836 metrik ton, merupakan sumber bahan baku potensial untuk
produk oleokimia. Produk oleokimia yang diproduksi dan diekspor dari Indonesia
masih terbatas pada 4 jenis, yaitu asam stearat, lemak alkohol, asam lemak dan
gliserin sedangkan metil ester belum diekspor. Oleh karena itu, dukungan teknologi
untuk menghasilkan proses pengolahan yang lebih efisien, khususnya metil ester
masih diperlukan. Keadaan ini hanya dapat diperoleh melalui penelitian-penelitian
yang dilakukan secara berkesinambungan sehingga membuka peluang
pengembangan industri oleokimia khususnya metil ester yang selanjutnya akan
membuka peluang pengembangan industri minyak kelapa.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1997. Studi Tentang Analisis Pasar dan Prospek Investasi Industri Oleokimia
(Oleochemical) Indonesia. Disusun oleh : PT. International Contact Business
System, Inc. Indonesia. 411p.
Arida, V. 1989. Fuels from coconut. Proceeding of the working group meeting on
coconut processing. Quezon City, Phillipines.
Arancon, R.N. 1997. High value cocochemicals. Cocoinfo International, Volume
4(1):10-12. APCC, Jakarta-Indonesia.
Allolerung, D. 2003. Indonesian country statement. The 39 Th APCC Session. 21-24
Januari 2003, Manado, Indonesia. 9p.
Fujino, T. 1984. Coconut oil fatty acids in soap and detergents formulaton. Coconut
Today, p:49-57.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak pangan. UI Press, Jakarta,
p.315.
Ong, A.S.H., C.H. May, Hj.A. Hitam dan G.S. Hock. 1984. Palm Oil Methyl Ester as
Diesel Substitute. Coconut Today. November 1984. 2(2): 19-33
Rindengan, B. 2000. Minyak Laurat Kelapa : Potensi, Penelitian dan
Pengembangannya. Buletin Palma. 26: 21-28. Balitka Manado.
Rindengan, B., S. Karouw., J. Pasae., D. Allorerung., P. Pasang dan A. Lay. 2003.
Pengembangan proses dan teknik pengolahan oleokimia. Laporan Penelitian
TA.2003. Balitka Manado. 10p.
Richtler, H.J. and Knaut. 1984. Challenges to a mature industry : Marketing and
economics of oleochemicals in Western Europe. February, 1984. JAOCS, 61(2).
Solly, R.K. 1984. Utilization of Coconut Oil as A Fuel for petroleum Diesel and
Kerosene Substitution. Coconut Today 27 April 1984. p. 97-109.
PENDAHULUAN
Desiccated coconut (kelapa parut kering) merupakan salah satu produk yang
menggunakan daging buah kelapa sebagai bahan baku. Dibandingkan dengan
produk-produk lain dari kelapa seperti kopra dan minyak kelapa, maka desiccated
coconut memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Sampai bulan Mei 2003 harga
desiccated coconut mencapai US $ 716/ton, sedangkan minyak kelapa dan kopra
masing-masing hanya sebesar US $ 434/ton dan US $ 270/ton (Anonim, 2003).
Desiccated coconut memiliki pasaran yang luas baik untuk pasar domestik dan
ekspor. Pasar ekspor utama adalah negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Timur
Tengah, Amerika Latin Bagian Utara dan negara-negara Afrika. Di pasar
internasional, di antara produk yang berkaitan dengan kelapa, desiccated coconut
mengalami pertumbuhan konsumsi yang paling pesat yaitu 3.36% per tahun. Volume
ekspor produk desiccated coconut Indonesia mengalami peningkatan dari 2.774 ton
pada tahun 1990 menjadi 24.150 ton pada tahun 1996 (Supriyono et al, 1997). Bahkan
pada tahun 2000 volume ekspor desiccated coconut meningkat menjadi 31.373 ton
dengan nilai ekspor sebesar US $ 21,952 juta (Budianto dan Allorerung, 2002). Ini
memberikan indikasi bahwa industri desiccated coconut di Indonesia memiliki
prospek yang cerah.
Oleh karena itu cara-cara pengolahan perlu mendapat perhatian demi menjamin
keamanan produk sehingga mampu bersaing baik di pasar domestik maupun
internasional. Upaya peningkatan daya saing dapat dicapai melalui peningkatan
stabilitas produk serta kemasan yang menarik sehingga akan menjamin daya simpan.
Apabila proses pengolahannya terkontrol produk akan terhindar dari kontaminasi
sehingga akan dihasilkan produk bermutu, selain itu faktor pengemasan dan kondisi
penyimpanan perlu diperhatikan secara serius demi menjamin mutu produk untuk
jangka waktu tertentu sehingga aman dikonsumsi oleh konsumen.
Deskripsi
Desiccated coconut berwarna putih, memiliki rasa dan bau khas kelapa.
Penamaan produk desiccated coconut berhubungan erat dengan ukuran partikel yaitu
extra fine, fine (macaroon), medium, coarse, shreds and treads dan sliced (Banzon dan
Velasco, 1982). Namun yang paling umum diperdagangkan adalah medium, macaroon
dan extra fine. Untuk lebih jelasnya spesifikasi desiccated coconut disajikan pada
Tabel 1.
Teknologi Pengolahan
Seleksi bahan baku sangat penting untuk dilakukan, karena dalam pengolahan
desiccated coconut kualitas bahan baku yang digunakan menentukan mutu produk
akhir yang akan dihasilkan. Butiran kelapa tanpa sabut yang layak dijadikan bahan
baku berdiameter antara 11.5 – 13.5 cm dengan berat rata-rata 850 g/butir (Karouw
et al, 2001). Syarat bahan baku kelapa yang digunakan yaitu kelapa Dalam umur
buah 10 bulan, segar dan tidak pecah (Banzon dan Velasco, 1982; Woodroof, 1979).
Apabila akan menggunakan kelapa Hibrida, sebaiknya buah berumur 11 – 12 bulan,
karena kalau umur buah 10 bulan kandungan galaktomanan dan fosfolipida masih
cukup tinggi sehingga akan menghasilkan produk dengan warna kecoklatan dan agak
menggumpal (Rindengan et al, 1996).
Pengeluaran tempurung dan kulit ari dapat dilakukan secara manual ataupun
mekanis yang dijalankan oleh operator. Pada industri pengolahan desiccated coconut
pengeluaran tempurung biasanya dilakukan oleh tenaga kerja pria menggunakan
pisau khusus yang disebut shelling knife ataupun mesin pengupas tempurung (shelling
machine), sedangkan pengeluaran kulit ari (paring) dilakukan oleh tenaga kerja wanita
menggunakan pisau khusus yang disebut paring knife. Pengeluaran tempurung
dilakukan oleh tenaga kerja yang trampil sehingga dapat diperoleh buah kelapa tanpa
tempurung yang utuh/tidak pecah. Selanjutnya paring yang dipisahkan dari daging
buah kelapa dapat dimanfaatkan untuk diolah menjadi minyak kelapa. Penelitian
yang dilakukan di India sekitar tahun 1950-an diperoleh minyak kelapa yang diolah
dari paring (testa) memiliki kandungan asam lemak omega 9 dan omega 6 yang lebih
tinggi dibandingkan dengan minyak dari daging buah kelapa (tanpa paring/testa).
Kedua asam lemak tersebut berperan dalam proses pembentukan otak dan
kecerdasan serta kesehatan. Asam lemak omega 9 sangat penting untuk pematangan
fungsi sel-sel syaraf otak yang sebagian besar terjadi sejak lahir hingga usia keempat.
Sedangkan omega 6 merupakan asam lemak esensial yang sangat diperlukan sejak
masa konsepsi sampai dua tahun pertama usia anak. Untuk kesehatan, asam lemak
omega 9 bermanfaat untuk menjaga kadar HDL – cholestrol (High Density Lipoprotein)
atau kolestrol baik di dalam darah (Rindengan, et al, 2003).
Pencucian dilakukan selama kurang lebih 5 menit dalam tanki yang telah diberi
klorin dengan kandungan 3 – 5 ppm khlor. Selanjutnya dilakukan stabilisasi atau
sulfurisasi. Stabilisasi dalam pengolahan desiccated coconut bertujuan untuk mencegah
proses pencoklatan, memperbaiki warna produk, cita rasa dan mencegah
pertumbuhan mikroba. Proses ini berperan untuk pemutihan produk dan mencegah
kerja enzim dalam bahan yang diproses (Baramuli dan Lay, 1997) . Stabilisasi daging
buah dapat dilakukan dengan menggunakan pengawet di antaranya sulfit dioksida
dan senyawa-senyawa sulfit seperti kalsium sulfit, natrium bisulfit, kalium bisulfit,
natrium metabisulfit dan kalium metabisulfit (Frazier dan Westhoff, 1988).
Pencucian
Stabilisasi
Penggilingan/pemarutan
Pengeringan
Pendinginan
Pengemasan
Desiccated
Coconut
PENYIMPANAN
Perubahan Mutu
coconut yaitu mempengaruhi kadar air bahan olahan sehingga terjadi peningkatan
kadar air yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap kadar asam lemak bebas,
warna menjadi berubah dan bau menjadi tengik.
Suatu penelitian yang pernah dilakukan untuk mengetahui jenis bahan
pengemas yang sesuai untuk mempertahankan mutu desiccated coconut telah
dilaporkan oleh Samarajeewa dan Illeperuma (1985). Desiccated coconut jenis macaroon
(fine) dengan kadar air awal 2.7% dikemas menggunakan 6 jenis bahan pengemas,
yaitu 1) double layer low density polyethylene tebal 60 mikron, high density polyethyle tebal
40 mikron, low density polyethylene tebal 85 mikron, double laminated
aluminium/polyethylene tebal 50 mikron, polypropylene tebal 50 mikron dan triple
laminated polyester/aluminium/polyethylene tebal 81 mikron. Kemudian disimpan
pada kondisi kelembaban yang berbeda yaitu 33%, 70%, 80%, 100% dan 73 – 83%
(tekanan atmosfer). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa desiccated coconut yang
disimpan menggunakan kemasan double laminated aluminium/polyethylene dan triple
laminated polyester/aluminium/polyethylene dapat tahan simpan sampai 3 bulan (90
hari) pada tekanan atmosfer di mana kadar air masing-masing sebesar 3.1% dan 3.4%.
Sedangkan dengan kemasan lainnya kadar air telah mencapai 4.0 – 4.3% yang berarti
melebihi titik kritis desiccated coconut yaitu sebesar 3.5%. Pada kelembaban (RH) 33%
untuk semua jenis kemasan sampai 90 hari penyimpanan mutu desiccated coconut
relatif baik dengan kadar air berkisar 1.8 – 2.6%. Pada kelembaban 80% setelah
disimpan 90 hari, kadar air desiccated coconut meningkat dari 2.7% menjadi 6.1–9.5%
kecuali yang menggunakan kemasan double laminated aluminium/polyethylene dan
triple laminated polyester/aluminium/polyethylene menjadi 3.1 – 3.5%.
Hasil penelitian yang dilaporkan Karouw et al, (2001), pengolahan desiccated
coconut menggunakan kelapa hibrida GKN x WAT dengan kadar air awal 2.25%
setelah disimpan selama 2 bulan kadar airnya meningkat menjadi 3.47% yang berarti
masih berada di bawah titik kritis kelapa parut kering yaitu 3.5%.
Kadar air yang tinggi akan memungkinkan berkembangnya mikroorganisme
seperti bakteri coliform, jamur serta kapang sehingga akan menyebabkan menurunnya
kualitas dengan terbentuknya bau tengik. Jamur merupakan mikroba potensial
penghasil aflatoxin. Aflatoxin adalah racun akut yang bersifat karsinogenik dan dapat
menyebabkan kanker hati pada manusia serta kematian mendadak pada berbagai jenis
ternak (Lay dan Rindengan 1994). Aflatoxin diproduksi oleh Aspergillus flavus, A.
parasiticus dan Penicillium sp. Samarajeewa dan Arseculeratne (1983) melaporkan
bahwa produk-produk kelapa seperti kopra giling, bungkil kopra, minyak kelapa dan
bungkil testa berpeluang terkontaminasi aflatoxin lebih tinggi dibandingkan dengan
desiccated coconut.
kondisi ruang penyimpanan yaitu menggunakan sistem ventilasi yang baik sehingga
dapat dihindari meningkatnya kelembaban udara dalam ruang penyimpanan (Lay
dan Rindengan, 1994). Kondisi ideal ruang penyimpanan yaitu pada kelembaban
(RH) 33% di mana produk desiccated coconut dapat tahan dalam jangka waktu yang
cukup lama tanpa terjadi perubahan warna, ketengikan dan tumbuhnya
mikroorganisme seperti bakteri Coliform, jamur serta kapang (Samarajeewa dan
Illeperuma, 1985).
PENUTUP
Desiccated coconut berwarna putih, rasa khas kelapa dan manis yang telah
dimanfaatkan secara luas pada industri konveksionari (candy) sebagai bahan
penambah aroma dalam pembuatan coklat batangan atau sebagai pengisi produk
berbasis kacang-kacangan, industri pengolahan kue (bakery), industri es krim (frozen
food) dan konsumsi rumah tangga (ready to cook mix). Untuk menjamin mutu produk
desiccated coconut, maka pengendalian mutu sebaiknya dimulai dari proses persiapan
bahan baku, pengolahan, pengemasan dan penyimpanan produk. Bahan pengemas
untuk desiccated coconut paling baik menggunakan jenis double laminated
aluminium/polyethylene, pada kondisi ideal ruang penyimpanan dengan kelembaban
(RH) 33 %.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1999. Desiccated coconut spesification. C.J. Petrow and Co., Johanesburg,
South Africa. 3 p.
Anonim. 2003. Prices of coconut products and selected oils. The Cocomunity XXXIII
(6):3-4.
Banzon, J.A. & J.R. Velasco. 1982. Coconut production and utilization. PCRDF, Manila.
351 p.
Budianto, J. dan D. Allorerung. 2002. Kelembagaan perkelapaan di Indonesia.
Prosiding KNK V. Tembilahan-Indragiri Hilir, 22-24 Oktober 2002.
Baramuli, A.N. dan A. Lay. 1997. Pengembangan industri kelapa parut kering PT.
Unicotin di Sulawesi Utara. Prosiding Temu Usaha Perkelapaan Nasional. Buku
II. Manado, 6-8 Januari 1997. hal. 48-56
Frazier, W.C., and D.C. Westhoff. 1988. Food microbiology fourth edition. Mc Graw
Hill Book Company, New York. 539 p.
Karouw, S., B. Rindengan dan P.M. Pasang. 2001. Penggunaan 2 kultivar kelapa
hibrida pada pengolahan kelapa parut kering (desiccated coconut). Buletin Balitka
No. 27. Balitka, manado hal 27-31.
Lay, A. dan B. Rindengan. 1994. Aflatoxin pada produk kelapa. Buletin Balitka No.
21.Balitka Manado. hal 1–7.
Rindengan, B., A. Lay, H. Novarianto, dan Z. Mahmud. 1996. Pengaruh jenis dan
umur buah terhadap sifat fisikokimia daging buah kelapa hibrida dan
pemanfaatannya. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 1(6): 263-277.
Rindengan, B., S. Karouw, dan P.M. Pasang. 2003. Kualitas minyak kelapa dari daging
buah dengan dan tanpa testa. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri 9(2):12-14.
Samarajeewa, U. & S.N. Arceluleratne. 1983. A survey of Aflatoxin contamination of
coconut products in Sri Lanka; Incidence, origin and recomendations. J. Natn.
Sci. Count. Sri Lanka, 11 (2) :225-235
Samarajeewa, U & D.K.C. Illeperuma. 1985. Moisture adsorption through packaging
materials used for desiccated coconuts. J. Natn. Sci .Coun. Sri Lanka, 13 (1) :45-
52.
Supriyono, A. W.R. Susila, B. Dradjat dan Amrizal. 1997. Pemberdayaan industri
kelapa Sulut berbasis ekonomi rakyat. Prosiding Temu Usaha Perkelapaan
Nasional. Buku II. Manado, 6-8 Januari 1997.
Woodroof, J.G. 1979. Coconut production processing product. Second edition. AVI
Publising Company, Inc. Westport, Connecticut. 307 p.
PENDAHULUAN
a. Ampas kelapa
Daging buah kelapa yang diolah menjadi minyak kelapa dari pengolahan cara
basah akan diperoleh hasil samping ampas kelapa. Sampai saat ini pemanfaatannya
masih terbatas untuk pakan ternak dan sebagian dijadikan tempe bongkrek untuk
makanan, di desa-desa Provinsi Jawa Timur (Hutasoit, 1988).
Untuk pengolahan minyak kelapa cara basah, dari 100 butir kelapa diperoleh
ampas 19.50 kg. Balasubramaniam (1976), melaporkan bahwa analisis ampas kelapa
kering (bebas lemak) mengandung 93% karbohidrat yang terdiri atas: 61%
galaktomanan, 26% manosa, dan 13% selulosa. Sedangkan Banzon dan Velasco
(1982), melaporkan bahwa tepung ampas kelapa mengandung lemak 12.2%, protein
18.2%, serat kasar 20%, abu 4.9%, dan kadar air 6.2%. Hasil analisis yang dilakukan
Rindengan et al, (1997) pada tepung ampas kelapa dari Genjah Kuning Nias dan
Dalam Tenga (GKN x DTA) adalah sebagai berikut; kadar air 4.65%, protein 4.11%,
lemak 15.89%, serat kasar 30.58%, karbohidrat 79.34% dan abu 0.66%.
Berdasarkan hasil analisis, ampas kelapa masih bernilai tinggi bila
dimanfaatkan sebagai makanan berkadar lemak rendah yang cocok dikonsumsi oleh
golongan konsumen yang kegemukan (obesitas), beresiko tinggi terhadap kolesterol
dan jantung koroner. Ampas kelapa mengandung selulosa cukup tinggi dapat
berperan dalam proses fisiologi tubuh. Selulosa merupakan serat makanan yang tidak
dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan. Namun peranannya dalam sistem
pencernaan sangat penting, sebab dapat memperpendek waktu transit sisa-sisa
makanan, sehingga mengurangi resiko kanker usus. Selain itu, serat dapat mengikat
lemak, protein, dan karbohidrat lainnya, sehingga terbentuk kompleks lemak-protein-
karbohidrat-serat. Akhirnya senyawa kompleks ini tak dapat dicerna oleh enzim-
enzim pencernaan, yang selanjutnya terbuang bersama feses (Muchtadi, 1989).
Dengan demikian konsumen dapat terhindar dari resiko kegemukan, hiperkolesterol
dan jantung koroner.
Rindengan et al, (1997) telah melakukan pengolahan makanan ringan rendah
kalori dari campuran tepung ampas kelapa , tepung beras dan jagung dalam beberapa
formulasi yang diolah dengan pemasak Ekstruder. Selanjutnya diperoleh tiga jenis
Formula yang memberikan hasil terbaik.
Hasil analisis daging kelapa muda (umur 9 bulan), dari persilangan Genjah
Kuning Nias dan Dalam Tenga (GKN x DTA) adalah sebagai berikut: kadar air
67.78%, karbohidrat 10.02%, protein 2.07%, lemak 17.91%, dan serat kasar 8.46% dan
kadar abu 2.14%. Dengan komposisi yang demikian, maka daging kelapa umur 9
bulan, merupakan tingkat kematangan yang sesuai untuk makanan ringan. Sebagai
pembanding, kentang yang biasanya digunakan sebagai makanan ringan
mengandung kadar air 77.80% (Anonim, 1981).
Untuk pengolahan keripik kelapa dari daging buah kelapa muda dilakukan
dengan mengikuti tahap-tahap sebagai berikut :
Buah kelapa umur 9 bulan dikupas, dibelah lalu daging buahnya dikeluarkan.
Selanjutnya lapisan testa yang berwarna agak kecoklatan dikeluarkan lalu daging
buah diserut dengan ketebalan 2-3 mm dan dibilas air.
Disiapkan larutan gula 30%, kemudian daging buah kelapa diserut, direndam
dalam larutan gula selama 30 meit lalu ditiriskan dan didinginkan. Selanjutnya
dikeringkan dalam oven suhu 900C selama 2 jam, kemudian suhu diturunkan 700C
dan pengeringan dilanjutkan selama 3-4 jam, agar warnanya tetap putih.
Setelah kering, keripik kelapa langsung dikemas dalam kantong plastik dengan
berat 25 gram/kantong dan disealer. Sistimatika pengolahannya dapat dilihat pada
Gambar 2. Sedangkan Gambar 3 adalah contoh produk makanan ringan dari daging
kelapa muda.
Ampas kelapa
Dikeringkan
Formulasi
Pencampuran
Pemasakan
(Ekstruder)
Makanan Ringan
Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan makanan ringan dari ampas kelapa
(Rindengan et al, 1997).
Pencucian
Penirisan/pendinginan
Keripik kelapa
KARAKTERISTIK PRODUK
Hasil analisis makanan ringan dari campuran tepung ampas kelapa, tepung
beras dan tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat fisikokimia makanan ringan dari campuran tepung ampas kelapa
Rindengan et al, (1997).
Berdasarkan Tabel 1, formula-4 mengandung serat kasar 6.06% yang lebih tinggi
dari formula-2 dan formula-3. Dihubungkan dengan kesehatan, maka formula-4 yang
merupakan campuran TAK : TBE : TJA = 4 : 3 : 3 adalah yang terbaik untuk
dikembangkan sebagai formula makanan ringan terutama bagi konsumen yang
menginginkan konsumsi serat pangan tinggi.
Mutu keripik yang dihasilkan adalah sebagai berikut : kadar air 2.00%, protein
7.96%, lemak 41.14%, serat kasar 18.06%, dan asam lemak esensial linoleat 2.02%.
(Rindengan dan Goniwala, 2000). Dengan komposisi yang demikian, keripik kelapa
dapat menjadi sumber serat pangan yang bermanfaat dalam proses fisiologi tubuh,
disamping juga sebagai sumber kalori, sekaligus sumber asam lemak rantai medium
yang telah banyak dibuktikan memiliki khasiat untuk pencegahan/penyembuhan
berbagai jenis penyakit.
KESIMPULAN
1. Daging buah kelapa umur 9 bulan dan ampas kelapa sebagai hasil samping
pengolahan minyak kelapa dapat digunakan untuk pengolahan makanan ringan.
2. Kandungan serat kasar yang ada pada ampas kelapa maupun daging buah
kelapa, dapat menjadi komponen penting untuk proses fisiologi tubuh yang
normal.
3. Pengolahan makanan ringan dari daging buah kelapa muda dapat langsung
diterapkan terutama kepada ibu rumah tangga karena prosesnya sederhana,
kecuali pada pengolahan dengan menggunakan Ekstruder akan lebih sesuai
untuk industri.
4. Untuk mempertahankan mutu produk, maka diusahakan selesai proses langsung
dikemas.
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
Santan kelapa yang diperoleh dari ekstraksi daging buah kelapa, selain
dimanfaatkan secara luas sebagai pelengkap makanan, diolah lanjut menjadi minyak
goreng, ternyata dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan utama dalam
pembuatan permen kelapa. Permen kelapa diolah menggunakan santan kelapa dan
bahan-bahan lain seperti maltosa dan gula pasir. Permen kelapa dapat dikonsumsi
oleh semua lapisan masyarakat terutama anak-anak. Selain sebagai sumber kalori,
permen kelapa juga mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi karena komponen
penyusun utama yaitu santan mengandung sejumlah asam lemak rantai medium
seperti asam laurat serta asam lemak omega 9 dan omega 6.
Pembuatan permen kelapa dapat dilakukan pada skala rumah tangga, karena
teknik pengolahannya yang sederhana, selain itu peralatan yang dibutuhkan untuk
proses pengolahan harganya tidak terlalu mahal sehingga terjangkau oleh petani.
Pengolahan kelapa menjadi permen kelapa dapat meningkatkan pendapatan petani
sekitar 3-5 kali bila dibandingkan hanya mengolah buah kelapa menjadi kopra. Di
samping itu juga dapat membuka lapangan kerja untuk kaum perempuan dan anak-
anak.
Deskripsi produk
Permen kelapa diolah menggunakan santan kelapa sebagai salah satu bahan
utama dan bahan-bahan lain, seperti maltosa dan gula pasir. Untuk penambah rasa
digunakan bahan seperti durian, kacang tanah, essence pandan, coklat bubuk, jahe
dan pisang. Permen yang dihasilkan akan memiliki rasa khas kelapa dan kombinasi
rasa lain sesuai dengan bahan tambahan yang digunakan. Menurut Nguyen (2003)
jenis-jenis permen kelapa yang dapat diolah pada skala rumah tangga adalah sebagai
berikut :
Permen ini memiliki rasa khas kelapa karena diolah menggunakan krim kelapa, gula
pasir dan maltosa tanpa menggunakan bahan tambahan lain.
Jenis permen ini hampir sama dengan permen rasa durian yaitu pada akhir proses
pemasakan ditambahkan kacang tanah. Kacang tanah yang akan digunakan
terlebih dahulu disangrai, dikeluarkan kulit arinya kemudian digiling sesuai
ukuran yang diinginkan.
4. Permen kelapa rasa durian dan kacang (Durian peanut coconut candy)
Jenis permen ini beraroma durian dengan rasa kacang tanah yang dominan.
Permen ini memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan permen kelapa
lainnya.
Permen ini diolah dengan menambahkan coklat bubuk sehingga diperoleh permen
berwarna coklat dengan warna dan rasa yang khas.
7. Permen kelapa rasa kacang dan coklat (Cacao peanut coconut candy)
Jenis permen ini merupakan kombinasi dari permen rasa kacang tanah dan rasa
coklat.
8. Permen kelapa dengan rasa khas kelapa dan rasa coklat (half cacao coconut candy)
Permen jenis ini dibuat untuk menghasilkan produk yang lebih menarik yaitu
dengan kombinasi warna dan rasa. Jenis permen ini merupakan gabungan dari
permen dengan rasa khas kelapa dan permen rasa coklat.
9. Permen kelapa dengan rasa khas kelapa dan beraroma pandan (Half pandan fragrance
coconut candy)
Jenis permen ini merupakan gabungan dari permen dengan rasa khas kelapa dan
permen beraroma pandan. Permen yang dihasilkan memiliki warna yang menarik
yaitu satu sisi berwarna hijau dan sisi lainnya berwarna putih.
Permen kelapa rasa pisang berbeda dengan permen jenis lainnya karena selain
santan kelapa dan pisang, juga digunakan bahan lain seperti kacang tanah, jahe
dan wijen.
Nilai Gizi
Prosedur Pembuatan
Proses pengolahan permen kelapa adalah sebagai berikut : daging buah kelapa
diparut, kemudian dipres untuk mendapatkan santan. Santan yang diperoleh
dicampur dengan maltosa dan dipanaskan selama lebih kurang 30 – 40 menit.
Campuran yang telah masak dibiarkan selama kira-kira 20 – 30 menit sampai
mengeras dalam cetakan yang terbuat dari kayu. Hasil yang diperoleh dipotong-
potong kemudian dikemas menggunakan 2 lapis kertas. Bagian dalam yang langsung
bersentuhan dengan produk menggunakan edible paper. Untuk lebih jelasnya tahapan
pengolahan permen kelapa menurut Nguyen, (2003) adalah sebagai berikut:
1. Persiapan bahan baku dan pembuatan santan
Buah kelapa yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan permen kelapa
adalah buah kelapa berumur buah 11 – 12 bulan yang ditandai dengan kulit sabut
berwarna coklat, utuh dan tidak pecah. Buah kelapa dikupas, dibelah kemudian
diparut secara manual atau dikeluarkan daging buahnya dari tempurung kemudian
daging buah digiling menggunakan mesin giling kelapa atau diparut. Daging buah
kelapa yang telah diparut diperas dan disaring hingga diperoleh santan. Sebaiknya
untuk memarut dan memeras santan menggunakan alat pemarut kelapa dan
pengepres santan.
3. Penambahan flavor
5. Pengemasan
Buah kelapa
Pengupasan Sabut
Pemisahan Tempurung
Tempurung
Santan
Pemasakan
Penambahan flavor
Pengemasan
PERMEN
KELAPA
Prospek Ekonomi
PENUTUP
Permen kelapa diolah menggunakan santan kelapa sebagai salah satu bahan
utama dan bahan-bahan lain, seperti maltosa dan gula pasir. Untuk penambah rasa
digunakan bahan seperti pasta durian, kacang tanah, essence pandan, coklat bubuk,
jahe dan pisang. Pembuatan permen kelapa dapat dilakukan pada skala rumah
tangga, karena teknik pengolahannya sederhana dan dapat dilakukan secara manual
maupun mekanis. Permen yang dihasilkan akan memiliki rasa khas kelapa dan
kombinasi rasa lain sesuai dengan bahan tambahan yang digunakan. Permen pada
umumnya sangat digemari oleh berbagai lapisan masyarakat khususnya anak-anak.
Permen kelapa merupakan sumber kalori, asam lemak omega 9, omega 6 dan asam
lemak rantai medium yang cukup tinggi yang sangat bermanfaat bagi anak-anak
dalam masa pertumbuhannya karena dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh
terhadap infeksi virus, bakteri dan protozoa.
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
Buah kelapa muda merupakan salah satu produk tanaman tropis yang unik
karena di samping daging buahnya dapat langsung dikonsumsi, juga air buahnya
dapat langsung diminum tanpa melalui pengolahan. Keunikan ini ditunjang oleh
sifat fisik dan komposisi kimia daging dan air kelapa, sehingga produk ini sangat
digemari konsumen baik anak-anak maupun orang dewasa.
Bagi masyarakat pedesaan mengkonsumsi buah kelapa muda dapat dilakukan
sesaat setelah panen, tetapi bagi masyarakat perkotaan untuk mengkonsumsi buah
kelapa muda diperlukan waktu untuk membeli di pasar-pasar tradisional atau di
pinggiran jalan raya tertentu yang menjual kelapa muda, sehingga seringkali
kesegarannya telah berkurang yang menyebabkan citarasa khas kelapa muda tidak
diperoleh. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengolahan untuk mempertahankan
mutunya setelah panen, sehingga citarasa khas buah kelapa muda dapat juga
dinikmati oleh konsumen yang jauh dari sentra-sentra produksi kelapa.
Buah kelapa muda selain bernilai ekonomi tinggi, daging buahnya memiliki
komposisi gizi yang cukup baik, antara lain mengandung asam lemak dan asam
amino esensial yang sangat dibutuhkan tubuh. Air kelapa disamping sebagai
minuman segar juga mengandung bermacam-macam mineral, vitamin dan gula serta
asam amino esensial. Akan tetapi bagi sebagian konsumen, mengkonsumsi buah
kelapa terutama air kelapa hanya dianggap sebagai minuman untuk menghilangkan
rasa haus, dan daging buahnya hanya sebagai pelengkap setelah minum airnya.
Dibandingkan dengan minuman ringan lainnya, air kelapa yang mengandung nutrisi
yang cukup baik dapat dikategorikan sebagai minuman bergizi tinggi, higienis, alami
dan telah banyak dibuktikan dapat menyembuhkan beberapa jenis penyakit. Menurut
Prasetyo (2002) dalam perkembangan terakhir air kelapa muda diharapkan dapat
menjadi minuman isotonik untuk para olahragawan.
Buah kelapa muda, walaupun berasal dari tanaman tahunan penanganannya
setelah panen tidak berbeda dengan buah-buahan tanaman hortikultura. Oleh karena
itu untuk mempertahankan mutunya diperlukan upaya penanganan pasca panen,
antara lain cara pengolahan, pengawetan, pengemasan dan penyimpanan. Beberapa
hasil penelitian untuk mempertahankan mutu buah kelapa muda, baik dalam bentuk
buah utuh, sebagian sabut dikupas dan pengolahan daging dan air buah kelapa
menjadi berbagai produk telah dilaporkan. Di samping tujuan utama untuk
mempertahankan mutu, diharapkan juga dengan diolah menjadi produk baru dapat
diperoleh nilai tambah untuk menunjang peningkatan pendapatan petani.
Menurut Allolerung dan Mahmud (2003) jika tanaman kelapa per hektar
diremajakan karena tua dan rusak berada pada kisaran 20%, maka dari 110 pohon
pada saat tanam, yang tersisa sekitar 88 pohon. Dari total tanaman kelapa jika
menggunakan data luas areal tahun 2001 adalah sebanyak 3,690,832 x 88 pohon =
324,793,216 pohon. Pengamatan yang dilakukan terhadap jumlah buah kelapa muda
(umur 8 bulan) dari 6 jenis kelapa hibrida, menunjukkan rata-rata jumlah buah kelapa
muda per tandan adalah 7 buah (Rindengan, 1999). Jadi total buah kelapa muda yang
tersedia adalah 324,793,216 pohon x 7 buah = 2,273,552,512 buah/bulan. Dilaporkan
oleh Ramanandan (1980) produksi kelapa di India 6,000,000,000 buah/tahun dan lebih
dari 3% dikonsumsi sebagai kelapa muda, sedangkan di West Bengal dapat mencapai
60%. Seandainya konsumsi buah kelapa muda di Indonesia sama dengan di India,
yakni 3%, maka dengan total buah kelapa muda yang tersedia 2,273,552,512 buah/
bulan, jumlah yang dikonsumsi sebanyak 68,206,575 buah/bulan.
Hasil analisis kimia komponen daging kelapa Khina-1 dapat dilihat pada
Tabel 1, kadar asam lemak oleat (omega 9) 13.24% dan asam lemak esensial linoleat
(omega 6) 4.54%. Saat ini iklan di media masa gencar mengiklankan produk-produk
yang mengandung omega 9 dan omega 6 disertai keunggulan-keunggulannya.
Dalam proses perkembangan sel-sel syaraf otak sejak masa konsepsi hingga dua
tahun usia bayi, omega 6 adalah salah satu asam lemak esensial yang sangat
dibutuhkan, sedangkan omega 9 berfungsi dalam pematangan sel-sel syaraf otak
sampai usia 4 tahun. Berdasarkan uraian di atas, ternyata buah kelapa muda dapat
menjadi salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan kedua jenis asam lemak
tersebut. Selain itu daging buah kelapa muda mengandung karbohidrat, serat kasar,
galaktomanan fosfolipida serta sejumlah makro dan mikromineral yang sangat
berperan dalam pengolahan produk.
Air kelapa muda bila diminum segar rasanya manis karena mengandung total
gula 5.6%, selain itu mengandung sejumlah makro dan mikromineral, vitamin dan
protein meskipun dalam jumlah yang kecil. Pada Tabel 2 dapat dilihat komposisi gizi
air kelapa muda. Meskipun kandungan protein air kelapa muda hanya 0.1%, tetapi
ARG, ALA, CYS, dan SER merupakan 4 jenis asam amino yang lebih tinggi
dibanding yang terkandung pada protein susu sapi. Dari 12 jenis asam amino pada air
kelapa, 7 diantaranya adalah esensial, yaitu : ARG, LEU, LYS, TYR, HIS, PHE dan
CYS. GLU adalah jenis asam amino tertinggi yang merupakan nutrisi penting untuk
otak.
Berdasarkan nilai gizi yang terkandung pada air buah kelapa muda, maka
beberapa pakar kesehatan telah menguraikan berbagai penyakit yang dapat
disembuhkan dengan minum air kelapa muda. Beberapa khasiat yang dapat
diperoleh dengan minum air kelapa muda akan diuraikan berikut ini :
1. Peredah haus
Air kelapa muda termasuk minuman alami dan higienis serta memiliki
komposisi gizi yang cukup baik. Oleh karena itu, dengan minum air kelapa muda
selain dapat memenuhi rasa haus juga dapat mengurangi rasa lapar dalam beberapa
waktu.
Air kelapa muda dikenal sebagai minuman yang banyak khasiatnya, seperti
membunuh cacing perut, minuman yang baik bagi penderita kolera, mengurangi
gatal-gatal yang disebabkan oleh penyakit cacar dan berbagai penyakit kulit lainnya.
Hal ini disebabkan secara alami, air kelapa muda mempunyai komposisi mineral dan
gula yang sempurna sehingga mempunyai kesetimbangan elektrolit yang sempurna,
sama dengan cairan tubuh manusia (Prasetyo, 2002). Pada saat Perang Dunia II, orang
Jepang yang berada di Sumatera dan orang Inggris di Sri Lanka menggunakan air
kelapa muda sebagai pengobatan alternatif pada kasus wabah kolera (Kumar, 1995).
Air kelapa muda memiliki unsur kalium (K) yang tertinggi, mencapai
7300 mg/l (Tabel 2), sehingga berperan penting dalam meningkatkan frekuensi
buang air kencing dan membantu mengeliminasi obat-obat dan antibodi-antibodi lain
yang biasanya digunakan pada kasus-kasus infeksi. Selain itu membantu
mempercepat absorpsi obat-obat dengan cara meningkatkan konsentrasinya dalam
darah dan juga sebagai penangkal penyakit-penyakit yang disebabkan oleh kecanduan
alkohol dan merokok (Kumar, 1995).
Pada kasus-kasus peradangan ginjal, Dr. Macalalag (orologist) di Filipina telah
melaporkan, bahwa selama 12 tahun melakukan penanganan terhadap 1670 kasus
penyakit ginjal, hanya 134 kasus yang penyakitnya kambuh. Perlakuan yang
diberikan adalah menggunakan air kelapa muda yang diminum langsung atau
disuntikkan melalui urat nadi, yang terbukti efektif mencegah penyakit ginjal dan
mereduksi/melarutkan semua jenis batu ginjal (Milla dan Boceta, 1989).
Hasil penelitian terbaru di Universitas Kerala India menyebutkan, bahwa orang
yang menderita penyakit jantung mungkin bisa mengurangi risiko terjadinya
komplikasi jantung dengan minum air kelapa muda secara rutin. Penelitian itu
dilakukan terhadap tikus sebagai ujicoba, karena tikus memiliki struktur jantung yang
sama dengan manusia. Penelitian menunjukkan, bahwa tikus tersebut meningkat
daya tahannya terhadap serangan penyakit jantung setelah diminumkan air kelapa
muda. Dari 24 ekor tikus yang diujicobakan, 12 ekor yang diberi air kelapa muda
ternyata terhindar dari masalah jantung. Tim peneliti yang diketuai Dr. T Rajamohan
dan Dr. P. Anurag percaya kalau air kelapa muda bisa menolong penderita jantung
karena di dalamnya mengandung Kalium (K), Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg),
Anonim (2002).
Selanjutnya dikemukakan oleh Oslon et al, (1984), dalam Karyadi dan Muhilal
(1988) bahwa mengkonsumsi K yang tinggi dapat menurunkan hipertensi. Hanya saja
di Indonesia belum ada data konsumsi K dalam sehari, sedangkan di negara maju
diperkirakan 4-11 g/org/hari (dalam bentuk KCl). Air kelapa dapat juga menjadi
minuman ideal untuk penderita diabetes.
Tabel 2. Komposisi air buah kelapa muda dari jenis kelapa Dalam
Air kelapa muda yang dicampur dengan satu sendok teh madu merupakan
campuran yang efektif yang dapat menguatkan pusat-pusat saraf seks. Selanjutnya,
mencuci muka dengan air kelapa muda setiap hari merupakan salah satu cara untuk
menghilangkan jerawat dan bintik-bintik hitam serta mencegah timbulnya keriput
(Kumar, 1995).
4. Media pertumbuhan
Air kelapa selain memiliki komposisi gizi yang baik, memiliki hormon
pertumbuhan seperti giberalin. Hasil penelitian terhadap pertumbuhan Saccharomyces
cerevisiae menunjukkan, bahwa jumlah sel yang tumbuh pada media air kelapa muda
79.75 juta sel/ml, lebih tinggi dari yang tumbuh pada air kelapa tua, hanya 69.25 juta
sel/ml (Sierra dan Velasco, 1976). Selain itu, ilmuwan Fipilina telah memanfaatkan air
kelapa sebagai media untuk memproduksi antibiotik Oxytetracycline yang secara
umum dikenal sebagai tetramycine (Kumar, 1995).
Mengingat peranan gizi daging dan air kelapa sangat beragam untuk
membantu memenuhi kebutuhan gizi dan juga memiliki banyak khasiat, maka perlu
penanganan khusus yang dapat meningkatkan daya tahan buah kelapa muda, seperti
pengawetan atau pengolahan menjadi produk baru. Apabila mutu buah kelapa muda
dapat dipertahankan, baik yang sudah diolah menjadi produk baru maupun yang
masih utuh, maka peluang untuk melakukan usaha komersialisasi kelapa muda
semakin terbuka.
Untuk penanganan pasca panen buah kelapa muda dapat dilakukan dengan 3
cara, yaitu: (1) buah kelapa muda disimpan utuh, (2) buah kelapa muda sebagian
sabutnya dikeluarkan lalu diawetkan kemudian disimpan pada suhu rendah 100C dan
(3) daging dan air kelapa muda dikeluarkan kemudian diolah menjadi produk baru.
Buah kelapa muda utuh disimpan dalam kotak kayu yang diisi pasir dengan
cara buah disusun vertikal, kemudian ditutup pasir sampai 8 cm di atas buah kelapa
muda tersebut. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa mutu buah kelapa (daging
dan air kelapa) dapat bertahan 4-5 hari (Ramanandan, 1980). Cara ini dapat diterapkan
karena pasir yang disediakan dapat digunakan terus menerus tetapi kelemahannya
diperlukan kotak yang besar untuk menyimpan buah kelapa muda dalam jumlah
banyak.
Selain itu, untuk mempertahankan mutu buah kelapa muda dapat dilakukan
sebagai berikut : sebagian sabutnya dikupas menggunakan pisau lalu dibentuk sesuai
keinginan kemudian direndam dalam larutan antioksidan (sodium metabisulfit) dan
antijamur (thiobendazole). Selanjutnya dikering-anginkan lalu dibungkus plastik dan
disimpan pada suhu 100C, dengan cara ini buah kelapa muda dapat disimpan selama 4
minggu. Pada Gambar 1 dapat dilihat buah kelapa muda utuh dan yang sudah
dikupas lalu dicelup dalam larutan antioksidan, bentuknya sangat menarik dengan
warna sabut tetap putih. Kelemahan produk ini apabila hanya disimpan pada suhu
ruang (270C) hanya bertahan selama 3-4 hari. Oleh karena produk tersebut
penampilannya menarik, maka akan lebih sesuai apabila menjadi konsumsi
perhotelan dan tempat-tempat kunjungan wisatawan atau pada acara-acara tertentu
yang memerlukan hidangan minuman ringan.
Berikut ini akan diuraikan beberapa teknologi yang sudah dihasilkan dari
pengolahan daging dan air kelapa muda.
Kelapa muda
umur 8 bulan
Pengupasan
Air kelapa muda
Pendingin
Daging Buah Pembuatan
yang dikerik sirup gula 20%
Koktil kelapa
muda
Pengemasan dalam botol
jar
Exhausting, 5 menit
Perendaman dalam
penangas air suhu 1000C,
20 menit
Gambar 2. Diagram alir proses pengolahan koktil kelapa muda (Djatmiko, 1991).
Dengan cara ini mutu produk koktil kelapa dapat dipertahankan sampai 6 minggu.
Selain itu, buah kelapa muda dapat juga diolah sebagai berikut : Air kelapa disaring
dan daging kelapa dikerik, kemudian campuran air kelapa dan daging kelapa
ditambah sirup (kadar total padatan 150 Brix) dan pH 4.5 (penambahan asam sitrat).
Selanjutnya dimasukkan dalam kantong plastik dengan ketebalan 0.07 mm lalu
dipasteurisasi, setelah dingin disimpan pada suhu 100C. Dengan cara ini mutu daging
dan air kelapa dapat dipertahankan sampai 4 minggu (Kunikawati, 1980).
Secara alami, air kelapa muda mempunyai komposisi mineral dan gula yang
sempurna (Tabel 2) sehingga mempunyai kesetimbangan elektrolit yang sempurna,
sama dengan cairan tubuh manusia. Komposisi mineral air kelapa yang unik ini
menyebabkan air kelapa bisa berperan sebagai minuman isotonik alami.
Proses pengawetan dengan teknik pemanasan Ultra High Temperature (UHT)
mampu memberikan daya awet yang diinginkan, tetapi nilai gizi, cita rasa dan aroma
khas air kelapa muda mengalami perubahan. Oleh karena itu, Badan Pertanian
PELUANG PENGEMBANGANNYA
PENUTUP
Buah kelapa muda selain bernilai ekonomi tinggi, juga bernilai gizi tinggi
karena daging kelapa mengandung asam lemak esensial dan asam amino esensial
yang sangat dibutuhkan tubuh. Air kelapa selain mengandung gula dan vitamin, juga
memiliki berbagai jenis mineral, sehingga dapat memenuhi sebagian dari kebutuhan
gizi dan dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Pemanfaatan buah kelapa muda
harus diikuti dengan penanganan setelah panen, seperti pengawetan, pengemasan
dan penyimpanan karena buah mudah rusak.
Peluang dalam pengembangannya dipengaruhi oleh ketersediaan sumber
bahan baku yang bermutu, modal, pemasaran dan SDM. Faktor-faktor tersebut sangat
menentukan dalam upaya mencapai dampak yang diharapkan seperti terciptanya
lapangan kerja, peningkatan pendapatan petani, peningkatan gizi dan kesehatan
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Rindengan, B., A. Lay, H. Novarianto. 1995. Karakteristik Daging Buah Kelapa Hibrid
untuk Bahan Baku Industri Makanan. Terbitan Khusus. Teknologi Hasil. p.22-
37.
Rindengan, B. 1999. Komponen buah kelapa hibrida pada beberapa tingkat umur
buah. Tidak dipublikasi.
Rindengan, B dan A. Allorerung. 2003. Pengembangan usaha komersialisasi kelapa
muda. Prosiding Konperensi Nasional Kelapa V. p.199-208.
Sierra, Z.N. dan J.R. Velasco. 1976. Studies on the growth factor of coconut water-
Isolation of the growth promoting activity. The Philppine Journal of coconut
Studies 1(2):11-18.
Sison, B.C. 1977. Disposal of coconut processing waste. Philippine Journal of Coconut
Studies. Didalam. Simatupang (1981) Beberapa komponen air kelapa jenis hijau
dan kuning pada tiga tingkat umur buah dan lama penyimpanan. Skripsi
Fatemeta, IPB Bogor. 55p.
Sinar Tani, 2000. Usaha Kakilima Kelapa Muda Untungnya Menyegarkan. Agriutama.
Harian Sinar Tani 6-12 Desember 2000 No. 2871 Tahun XXXI. p. 14-15.
Thampan, P.K., 1981. Handbook on Coconuy Palm. Oxford & IBH Publishing Co.
New Delhi Bombay Calcutta. 311p.
Tarigan, D dan Z. Mahmud. 1997. Diversifikasi usahatani kelapa berwawasan
agribisnis. Prosiding Temu Usaha Perkelapaan Nasional. Manado 6-8 Januari.
p.109-119.
PENDAHULUAN
Air kelapa merupakan hasil samping dari pengolahan buah kelapa untuk
memproduksi kopra, minyak, santan dan kelapa parut kering (desiccated coconut).
Berdasarkan perhitungan, volume air kelapa matang umur 11-12 bulan dapat
mencapai 300-400 ml/butir. Sampai saat ini produk dari pengolahan air kelapa yang
sudah dibuat dan berkembang di masyarakat adalah nata de coco (sari kelapa). Air
kelapa memiliki nilai gizi yang cukup baik, maka terbuka peluang untuk diformulasi
menjadi berbagai produk pangan dan tidak hanya terbatas pada nata de coco, tetapi
juga dapat diolah menjadi kecap dan minuman ringan.
Dipasaran terdapat dua jenis kecap, yaitu kecap manis dan kecap asin. Secara
fisik, kecap manis lebih kental dibanding kecap asin walaupun dari segi warna hampir
sama, yakni coklat kehitaman. Kecap manis disamping fungsi utamanya sebagai
penyedap makanan, juga memberikan warna alami pada makanan tertentu sehingga
lebih menarik. Sebagian besar rakyat Indonesia, menggunakan kecap manis sebagai
penyedap makanan. Hal ini terlihat mulai dari penjual makanan di kakilima sampai
di restoran mewah menyajikan kecap manis sebagai penyedap makanan.
Selanjutnya mengkonsumsi minuman ringan merupakan gaya hidup yang tidak
bisa dipisahkan dari golongan konsumen menengah ke atas, baik anak-anak maupun
orang dewasa. Jenis minuman ringan yang dikonsumsi umumnya berbahan baku
konsentrat yang diimpor. Coca cola, Sprite dan Fanta adalah jenis-jenis minuman
ringan yang digemari konsumen dan menguasai pasaran minuman ringan di
Indonesia. Ketiga jenis minuman ringan ini telah menjadi minuman favorit, terutama
pada acara-acara tertentu seperti jamuan makan atau pertemuan-pertemuan yang
menyajikan bahan minuman. Diharapkan minuman ringan yang diolah dari air
kelapa dapat juga menjadi minuman favorit konsumen Indonesia, seperti ketiga jenis
minuman tersebut di atas.
Air kelapa yang merupakan 25% dari komponen buah kelapa (Grimwood, 1975)
sampai saat ini pemanfaatannya masih pada pembuatan nata de coco. Khusus di
Sulawesi Utara hanya ada satu jenis merk produk nata de coco yang selalu tersedia di
pasaran, sehingga hanya sebagian kecil dari potensi air kelapa tersebut di atas yang
dimanfaatkan. Salah satu pabrik desiccated coconut di Sulut, yaitu PT. Unicotin, dapat
menyerap bahan baku kelapa berupa butiran sekitar 100,000 – 120,000 butir/hari
(Baramuli dan Lay, 1997). Dari 100,000 – 120,000 butir kelapa tersebut akan meng-
hasilkan 30 - 36 juta liter/hari yang terbuang sehingga menyebabkan pencemaran
lingkungan kalau tidak dimanfaatkan.
Pada umumnya buah kelapa matang mempunyai total padatan kurang dari
2 g/100 ml (Grimwood, 1975). Hasil analisa air kelapa matang, mengandung air
91.23%, protein 0.29%, lemak 0.15%, karbohidrat 7.27%, abu 1.06%. Komponen
karbohidrat terdiri atas : glukosa 0.18%, fruktosa 0.20%, sukrosa 3.94%, sorbitol 1.02%.
Selain itu, air kelapa mengandung vitamin C 2.2 - 3.7 mg/100 ml dan vitamin B
kompleks yang terdiri dari : asam nikotinat 0.64 ug/ml, asam pantotenat 0.52 ug/ml,
biotin 0.02 ug/ml, asam folat 0.003 ug/ml, riboflavin kurang 0.01 ug/ml (Child, 1964).
Selanjutnya kandungan mineral, terdiri dari : (mg/100ml)-kalium (K) 312, natrium
(Na) 105, calsium (Ca) 29, magnesium (Mg) 30, Ferrum (Fe) 0.10, Cuprum (Cu) 0.04,
Phosphor (P) 37, Sulphur (S) 24 dan Chlor (Cl) 183.0. Hasil analisa air kelapa DMT,
DTE dan DTA mengandung protein 0.06 - 0.11%, gula reduksi 1.86 - 2.46% dan
vitamin C 0.23 - 0.26 mg/100 ml (Tenda et al, 1997).
Berdasarkan pertimbangan kandungan gizi pada air kelapa dan ketersediaan
bahan baku yang melimpah, maka air kelapa memiliki potensi untuk dikembangkan
menjadi bahan pangan, seperti kecap manis dan minuman ringan.
Kecap merupakan produk olahan dari Cina dan sudah lama dikenal serta
dibuat oleh sebagian rakyat Indonesia. Di Indonesia dikenal dua jenis kecap yaitu
kecap manis dan kecap asin. Kecap disukai oleh banyak orang, baik golongan
menengah atas maupun golongan menengah bawah atau dengan kata lain kecap
dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Pada dasarnya kecap yang dikenal berasal dari bahan baku kedele, diperoleh
dengan cara fermentasi kedele atau dengan hidrolisa dan yang ditambahkan gula,
garam dan bumbu-bumbu serta harus mengandung protein minimal 2 persen.
Sedangkan kecap air kelapa yang bahan dasarnya dari air kelapa masih memerlukan
penambahan kedele sehingga kecap yang dihasilkan dapat memenuhi standar mutu.
Pengolahan kecap manis dari air kelapa dengan penambahan 200 g kedele memer-
lukan air kelapa 2750 ml sehingga menghasilkan kecap manis yang memenuhi
standar mutu (Rindengan, 1983).
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia, syarat mutu kecap manis adalah :
kadar air 55-65%, garam 10%, sakarosa 30%, protein 2% (untuk mutu II) dan 6%
(untuk mutu I), dengan syarat antara lain reaksi terhadap lakmus tidak boleh alkalis,
serta kandungan asam benzoat atau garamnya, zat pemanis dan pewarna buatan,
bahan berbahaya dan jamur harus negatif.
Selanjutnya minuman ringan adalah minuman yang mengandung gula
(minimum 10%), dan/atau tanpa penambahan asam serta tidak beralkohol.
Pengolahan minuman ringan dari air kelapa telah banyak dilaporkan, antara lain
Rosario dan Rubico, (1979), Gonzales (1984), Widardo et al, (1984), Kaseke dan
Simanjuntak (1988) serta Tenda (1992). Dalam pengolahan air kelapa menjadi
minuman ringan, beberapa zat yang ditambahkan adalah asam malat, asam askorbat,
dan asam sitrat, serta beberapa variasi penambahan gula dengan tujuan untuk
meningkatkan bahan padat terlarut (Rosario dan Rubico, 1979). Formulasi yang dapat
diterima ialah kandungan padatan terlarut 10 - 12%, pH 4.2 - 4.5, dan asam sitrat 0.10 -
0.15%. Selanjutnya menurut Gonzales (1984), minuman ringan air kelapa mempunyai
kandungan nutrisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan minuman ringan lainnya,
sehingga mikroba sangat mudah tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu Standar
Nasional Indonesia menetapkan syarat mutu minuman ringan sebagai berikut: gula
minimum 10%, asam benzoat 50 mg/kg (maksimum), logam berbahaya negatif,
glukosa negatif, bakteri, ragi dan jamur negatif. Dengan pengolahan yang higienis,
diharapkan minuman ringan air kelapa dapat menggantikan posisi produk minuman
ringan lainnya.
A. Kecap manis
Kedele sebanyak 2.5 kg direndam selama 12 jam dalam air pada suhu ruang.
Setelah perendaman ditiriskan/dikeringkan kemudian dihamparkan di atas nyiru dan
ditaburi kapang. Selanjutnya difermentasi selama 3 hari pada suhu ruang. Selesai
fermentasi kedele berjamur (seperti tempe) dikeringkan kemudian direndam dalam
larutan garam 20 persen selama satu minggu.
2. Persiapan Bumbu.
Bumbu yang digunakan adalah kemiri, pekak, bawang putih, daun salam, dan
gula merah. Pekak disangrai, kemiri dan bawang putih dikupas lalu digoreng
dengan sedikit minyak. Gula merah sebanyak 6 kg, dilarutkan dalam air kelapa,
sedangkan garam sebanyak 2.5 kg digunakan dalam fermentasi.
3. Pemasakan
Air kelapa sebanyak 30 liter (dari sekitar 100 butir kelapa) disaring lalu kedele
yang sudah difermentasi dalam larutan garam dicampur dengan air kelapa.
Kemudian dimasak (pemasakan I) selama 3 jam sambil diaduk-aduk. Selesai
pemasakan I disaring (penyaringan I), hasil saringan ditambah larutan gula dan
bumbu-bumbu. Kemudian pemasakan dilanjutkan (pemasakan II) selama 2 jam.
Selanjutnya disaring dan hasil akhir adalah kecap manis.
Mutu kecap manis air kelapa adalah sebagai berikut :Kadar protein 2.66%, total
gula 46.71%, sakarosa 35.30%, garam 8.50%, pH 4.63 dan logam berbahaya negatif.
(Rindengan, 1983). Kecap manis air kelapa ini memenuhi standar mutu yang
ditetapkan. Diagram alir pengolahan kecap manis air kelapa dapat dilihat pada
Gambar 1.
Air kelapa
Pengeringan
Penyaringan I
Penyaringan II
Pengemasan
Kecap manis
Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan kecap air kelapa (Rindengan, 1983)
B. Minuman ringan.
Proses pengolahan minuman ringan dari air kelapa menurut Tenda (1992)
adalah sebagai berikut (Gambar 2). Air kelapa disaring dengan menggunakan alat
saring. Kemudian tambahkan gula dan asam sitrat lalu dipanaskan sampai mendidih.
Angkat dan masukkan ke dalam botol atau kemasan plastik cup. Bila menggunakan
botol masukkan karbonat. Selanjutnya dipasteurisasi dengan suhu 700C selama 30
menit. Dinginkan sampai pada suhu 25 - 300C, lalu disimpan pada suhu ruang. Mutu
minuman ringan yang diperoleh adalah sebagai berikut: Kadar gula sekitar 15 - 21%,
pH 4.55 - 4.58, tahan penyimpanan sampai 2 bulan. Pada Gambar 3 dapat dilihat
contoh produk minuman ringan yang dikemas dalam plastik cup.
Air kelapa
Pencampuran
Pasteurisasi
Sentrifus
Pasteurisasi
Non Karbonat Karbonat
Karbonisasi
Pembotolan
Pembotolan
Pasteurisasi
Pasteurisasi
Pendinginan
Pendinginan
Penyimpanan
Penyimpanan
Gambar 2. Diagram alir pembuatan minuman ringan air kelapa karbonat dan non
karbonat (Tenda, 1992).
KESIMPULAN
Air kelapa matang merupakan hasil samping dari pengolahan kelapa butiran
menjadi kopra, minyak dan santan yang berpotensi untuk bahan baku pengolahan
berbagai produk pangan lainnya. Oleh karena masih memiliki komposisi gizi yang
cukup baik, maka air kelapa matang dapat menjadi bahan baku pengolahan kecap
dan minuman ringan. Untuk pengolahan kecap air kelapa masih perlu penambahan
kedele sehingga syarat mutu kandungan protein dapat dipenuhi. Sedangkan sebagai
bahan baku pengolahan minuman ringan masih perlu penambahan gula agar syarat
mutu minuman ringan dapat dipenuhi. Pada dasarnya teknologi pengolahan kedua
produk ini dapat diterapkan kepada industri rumah tangga, seperti halnya
pengolahan nata de coco yang saat ini sudah berkembang. Oleh karena itu
diharapkan teknologi pengolahan kecap dan minuman ringan air kelapa, dapat juga
dikembangkan dalam industri rumah tangga sehingga komoditas kelapa dapat
menghasilkan berbagai macam produk.
DAFTAR PUSTAKA
Baramuli, A.N. dan A. Lay. 1997. Pengembangan industri kelapa parut kering PT.
Unicotin Di Sulawesi Utara. Prosiding Temu Usaha Perkelapaan Nasional di
Manado. Buku II (Agroindustri). p.48-56.
Child, R. 1964. Coconuts Production and Its Production. Longmans, Green and Co.
Ltd. London.
Grimwood, B.A. 1975. Coconut Palm Product. Food Agriculture and Organization.
Agricultural Development.
Gonzales. 1984. A Process for preparing non-carbonated and carbonated coconut
water beverages. NIST J. Philippines, 1(1).
Kaseke, H.F.G. dan H. Simanjuntak. 1988. Pengaruh penambahan CMC terhadap
minuman ringan dari air kelapa. Majalah Ilmiah Balai industri Manado. p15-19.
PENDAHULUAN
Air kelapa merupakan salah satu hasil ikutan pada pengolahan buah kelapa
yang hanya memanfaatkan daging buah kelapa. Sampai saat ini hanya sebagian kecil
air kelapa yang dimanfaatkan untuk diolah menjadi nata de coco dan sisanya
terbuang sebagai limbah. Air kelapa mengandung karbohidrat, lemak, protein, serta
sejumlah vitamin dan mineral. Air kelapa selain diolah menjadi nata de coco, alkohol,
asam cuka dan minuman ringan, juga dapat dijadikan bahan baku untuk minuman
beralkohol seperti anggur kelapa.
Anggur air kelapa merupakan salah satu produk yang diolah menggunakan air
buah kelapa dalam kondisi yang higienis. Untuk mendapatkan anggur yang baik,
maka air kelapa yang akan dijadikan bahan baku adalah air kelapa yang segar,
sehingga apabila menggunakan air kelapa dari industri desiccated coconut (kelapa
parut kering) maka pengolahan anggur air kelapa akan sangat sesuai. Hal ini
disebabkan pada industri desiccated coconut, buah kelapa yang digunakan sebagai
bahan baku telah melalui proses sortasi terlebih dahulu, sehingga air kelapa tersebut
diperoleh dari buah kelapa yang terjamin kualitasnya.
Dengan pengolahan air kelapa menjadi anggur air kelapa selain akan
meningkatkan nilai tambah produk kelapa, juga dapat mengurangi tingkat
pencemaran lingkungan pada daerah sekitar industri yang hanya memanfaatkan
daging buah kelapa seperti industri desiccated coconut.
Anggur adalah hasil fermentasi alkohol oleh khamir terhadap glukosa dan
fruktosa yang terdapat dalam buah anggur atau buah-buahan lainnya. Pada dasarnya
minuman beralkohol dapat diproduksi dari sari buah-buahan , biji-bijian, madu, susu,
padi-padian atau tanaman lain yang mengandung pati. Selain buah anggur, buah-
buahan lain yang dapat diolah menjadi anggur, seperti mangga, jambu, nenas, durian,
pisang, jambu mente, markisa dan kasturi. Menurut Judoamidjojo et al, (1980) proses
pembuatan anggur dimulai dari penggilingan buah anggur, pemberian uap,
penambahan SO2 atau sulfit atau pasteurisasi, inokulasi starter, fermentasi,
pasteurisasi, penjernihan dan pematangan. Hasil penggilingan buah anggur diperoleh
juice buah anggur yang mengandung air, karbohidrat (glukosa, fruktosa, pentosa dan
pektin), protein, asam (tartarat dan malat), mineral, vitamin, enzim dan senyawa-
senyawa pembentuk aroma.
Air kelapa mengandung protein 0.5%, lemak 0.29%, karbohidrat dalam bentuk
glukosa (0.8), fruktosa (0.20), sakarosa (3.94%) dan sorbitol 1.02% (Grimwood, 1975;
Thampan, 1971). Selain itu, air kelapa mengandung sejumlah vitamin dan mineral.
Berdasarkan komposisi tersebut, maka air kelapa dapat diolah lanjut menjadi
minuman beralkohol seperti anggur. Selanjutnya vitamin dan mineral yang terdapat
pada air kelapa sangat dibutuhkan oleh khamir sebagai sumber nutrisi, sedangkan
lemak dan asam nukleat sangat berpengaruh terhadap flavor yang dihasilkan.
Dalam fermentasi anggur ada banyak faktor yang mempengaruhi, antara lain,
starter, kadar gula, suhu, kemasaman, alat yang digunakan, dan proses fermentasi.
a. Starter
b. Kadar gula
Kadar gula untuk pengolahan anggur berkisar antara 10 – 18%. Kadar gula
yang terlalu tinggi akan memperlambat aktivitas khamir. Kadar gula dalam air
kelapa hanya berkisar 4.0% (Banzon and Velasco, 1982), oleh karena itu untuk
memperoleh kadar gula yang sesuai perlu ditambahkan gula pasir. Gula pasir yang
ditambahkan sebanyak 100 g untuk setiap 1 liter air kelapa (Alamsyah, 2001).
c. Suhu
Suhu fermentasi yang sesuai untuk fermentasi khamir berkisar 21.10C hingga
32.20C.
Suhu yang sesuai pada awal fermentasi berlangsung yaitu 21.100C atau 700F,
sedangkan pada akhir fermentasi 32.20C atau 1000F. Suhu yang terlalu tinggi akan
menghambat pertumbuhan khamir dan memperbesar kemungkinan kontaminasi.
Namun suhu yang terlalu rendah juga akan memperlambat aktivitas khamir.
d. Kemasaman (pH)
e. Alat
Peralatan yang akan digunakan untuk pembuatan anggur tidak boleh terbuat
dari besi, tembaga dan kuningan. Alat-alat yang dipakai sebaiknya terbuat dari gelas,
keramik, kayu atau stainless steel. Khusus untuk wadah fermentasi sebaiknya
menggunakan wadah gelas karena gelas bersifat netral, tidak mempunyai efek bau
dan rasa serta transparan. Semua peralatan yang digunakan harus higienis. Untuk
peralatan yang tahan panas dapat disterilkan dengan cara pemanasan. Pemanasan
dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu (1) menggunakan udara panas (oven), (2) dengan
uap panas (autoklaf atau dandang) dan (3) dengan air mendidih.
Proses fermentasi dalam bahan pangan terjadi akibat aktivitas fermentatif pada
substrat yang sesuai dan mengakibatkan terjadinya perubahan kimia dalam bahan
pangan yang disebabkan oleh enzim. Enzim tersebut dapat dihasilkan oleh mikroba
atau enzim yang terdapat dalam bahan pangan tersebut (Winarno et al, 1986).
Mekanisme pembentukan alkohol selama fermentasi adalah sebagai berikut :
dengan adanya enzim invertase, sukrosa dihidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa.
Selanjutnya glukosa akan diubah menjadi alkohol dan CO2. Persamaan reaksinya
adalah sebagai berikut :
Invertase
C12H22O11 + H2O C6H12O6 + C6H12O6
Sukrosa Air Glukosa Fruktosa
Menurut Winarno dan Fardiaz (1979) pemecahan glukosa menjadi asam piruvat
dapat melalui sistem heksosa difosfat (HDP). Melalui sistem ini setiap molekul
glukosa dapat menghasilkan dua molekul triosa fosfat. Dalam reaksi tersebut
diperlukan dua molekul ATP (Adenosin Tri Phosphat). Masing-masing triosa fosfat
yang terbentuk kemudian dapat menghasilkan satu molekul asam piruvat, dua
molekul ATP dan sepasang elektron. Asam piruvat selanjutnya akan diubah menjadi
asetaldehida kemudian asetaldehida melalui reaksi reduksi menjadi alkohol. Selain
alkohol, dalam proses fermentasi juga akan diperoleh hasil ikutan seperti gliserol,
asam laktat, asam asetat, asam formiat, asam propionat dan asam butirat.
Air kelapa yang akan digunakan sebagai bahan baku pengolahan anggur adalah
air kelapa segar. Air kelapa segar yaitu air kelapa yang diperoleh dari buah kelapa
segar yang utuh, tidak pecah dan berumur 10 - 12 bulan.
2. Pembuatan Starter
Air buah kelapa disaring, lalu diatur kadar gulanya dengan menambahkan
gula pasir sebanyak 100 g untuk setiap 1 liter air kelapa. Selanjutnya dipasteurisasi
pada suhu 600C selama 30 menit. Setelah didinginkan dilakukan pengaturan pH
berkisar 4.0, kemudian dimasukkan dalam botol-botol fermentasi.
Air kelapa
Penyaringan
Pasteurisasi
suhu 600C, selama 30 menit
Pendinginan
Starter
4. Fermentasi
Penuaan dilakukan dengan tujuan untuk (a) memperbaiki aroma yang ada dan
membentuk aroma baru sebagai akibat reaksi esterifikasi dari asam-asam amino, (b)
menjernihkan anggur, karena pada waktu penuaan akan terjadi pengendapan. Waktu
yang diperlukan untuk penuaan anggur tergantung pada jenis anggur yang dibuat.
Untuk anggur buah antara 6 bulan hingga 1 tahun, anggur tape ketan diperlukan
waktu 30 hari, sedangkan anggur air kelapa dapat berlangsung selama 6 - 16 bulan
(UPLB dalam Suharto, 1998). Pematangan yang terlalu lama akan menyebabkan flavor
dan aroma akan hilang dan warna menjadi berubah (Said, 1987). Faktor yang perlu
diperhatikan pada saat penuaan yaitu suhu dan wadah. Suhu yang terlalu tinggi
akan menyebabkan oksidasi yang terlalu cepat sehingga aroma yang terbentuk kurang
baik. Wadah penuaan sebaiknya menggunakan wadah yang netral yaitu bahan dari
gelas atau keramik. Setelah proses penuaan maka dilanjutkan dengan penjernihan.
Penjernihan bertujuan untuk mengendapkan koloid-koloid yang tidak bisa
mengendap waktu dilakukan penuaan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
penjernihan anggur yaitu melalui penyaringan.
Air kelapa
Penyaringan
Pasteurisasi
suhu 600C, selama 30 menit
Pendinginan
Pengaturan pH
Fermentasi
Penuaan
Penjernihan
PENUTUP
Air kelapa berpeluang untuk diolah menjadi minuman beralkohol yaitu anggur
kelapa. Air kelapa yang akan dijadikan bahan baku yaitu air kelapa segar dari buah
kelapa utuh, tidak pecah dan berumur 10 - 12 bulan. Untuk keberhasilan pengolahan
anggur air kelapa maka faktor-faktor yang penting untuk diperhatikan yaitu starter,
suhu fermentasi, kadar gula, pH (kemasaman) dan sanitasi alat. Pengolahan minuman
anggur dari air kelapa dapat dilakukan menggunakan starter berupa biakan murni
pada media agar miring maupun dalam bentuk khamir yang diawetkan atau dried
yeast misalnya ragi komersial (ragi roti/Saccharomyces cerevisiae).
TINJAUAN PUSTAKA
Alamsyah, A. 2001. Pengaruh jumlah starter dan lama fermentasi terhadap sifat kimia
anggur buah kelapa. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian Universitas
Mataram.
Banzon, J.A. & J.R. Velasco. 1982. Coconut production and utilization. PCRDF, Manila.
351 p.
Dwidjoseputro. 1984. Dasar-dasar mikrobiologi. Djambatan, Malang.
Grimwood, B.A. 1975. Coconut palm product. Food Agiculture and Organization.
Agricultural Development.
Immanuel, E. dan T.H. Savitri. 1994. Pemanfaatan air kelapa menjadi minuman
anggur. Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri.
Bogor.
Judoamidjojo R.M., E. Gumbira dan I. Hartono. 1989. Biokonversi Pusat Antar
Universitas Bioteknologi. IPB. 315 hal.
Rindengan, B. dan S. Karouw. 2003. Pemanfaatan air kelapa untuk pembuatan nata de
coco. Materi Magang Petugas Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur. Manado
2 – 14 Juni 2003, Balitka. Manado.
Rindengan, B., S. Karouw, P. Pasang, A.Lay dan D. Torar. 2003. Pemanfaatan sabut
kelapa pada penyadapan nira aren dan pengolahan nira aren menjadi palm
wine. Laporan Penelitian T.A. 2002. Balitka, Manado. 25 hal.
Said, E.G. 1987. Bioindustri. Penerapan teknologi fermentasi. Kerjasama PAU
Bioteknologi IPB dengan PT.Mediyatama sarana Perkasa. Jakarta. 317 hal.
Suharto, J.C. 1998. Coconut champagne – A toast of the century. Cocoinfo International
1 (5) : 14 – 15.
Thampan, P.K. 1981. Handbook of coconut palm. New Delhi, India.
Winarno, F.G. dan S. fardiaz. 1979. Biofermentasi dan biosintesa protein. Penerbit
Angkasa, Bandung.
Winarno, F.G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1986. Pengantar teknologi pangan. PT.
Gramedia, Jakarta.
PENDAHULUAN
Produk utama tanaman kelapa adalah buah kelapa yang terdiri atas
4 komponen, yaitu sabut 33%, tempurung 15%, air kelapa 22% dan daging buah 30%.
Hasil konversi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa setiap pengolahan kelapa
yang menghasilkan 1 ton kopra akan diperoleh hasil samping air kelapa sebanyak
1.17 ton (Somaatmadja, 1984). Dari proyeksi produksi kelapa pada tahun 2003 sebesar
3,066,000 ton kopra, akan dihasilkan sekitar 3,587,220 ton air kelapa.
Air kelapa merupakan salah satu komponen yang masih potensial untuk
dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan minuman ringan, alkohol, asam
cuka dan nata de coco. Nata de coco dapat digolongkan sebagai produk buah-buahan
seperti kolang kaling (buah aren). Oleh sebab itu nata de coco dapat dijadikan bahan
substitusi untuk buah kaleng ataupun dapat dikonsumsi dengan buah-buahan lainnya
sebagai makanan penyegar atau pencuci mulut (food dessert) yang dapat digolongkan
pada dietary yang memberikan andil cukup berarti untuk kelangsungan fisiologi
secara normal (Anonim, 1974). Nata de coco tidak terbatas sebagai bahan makanan
saja, namun ternyata dapat dimanfaatkan sebagai membran pengeras suara atau
loudspeaker membrane. Para ilmuwan di Jepang telah melakukan penelitian pembuatan
membran pengeras suara dengan menggunakan material yang disebut bacterial
cellulose (BC). Bacterial cellulose adalah produk fermentasi yang dihasilkan akibat
aktivitas bakteri dalam media yang mengandung glukosa sebagai sumber karbon.
Nata de coco merupakan salah satu produk yang dikategorikan sebagai BC, dan
diprediksikan pada masa yang akan datang nata de coco sangat diperlukan sebagai
salah satu material untuk industri elektronik (Indrati et al, 2001).
Nata de coco hanya memiliki 1.8 kalori, jadi produk ini termasuk jenis makanan
rendah kalori atau non nutritif. Meskipun demikian kandungan serat kasar yang
berkisar 1.05% ternyata memberi andil yang cukup berarti untuk kelangsungan
fisiologi tubuh secara normal. Oleh karena itu produk nata de coco sangat digemari
oleh konsumen Jepang, karena dianggap berkasiat mencegah terjadinya kanker usus.
Pada awalnya serat makanan hanya dianggap sebagai sumber energi yang tidak
tersedia. Akan tetapi berdasarkan pengamatan para peneliti Inggris pada tahun 1970-
an menyimpulkan bahwa terdapat suatu hubungan yang erat antara konsumsi serat
makanan dan insiden timbulnya berbagai penyakit. Berdasarkan hasil pengamatan
mereka, penduduk Afrika pedalaman mempunyai sedikit insiden berbagai penyakit
karena mengkonsumsi makanan berserat lebih banyak dibandingkan dengan
penduduk di negara-negara maju. Para peneliti tersebut menyimpulkan bahwa
konsumsi makanan berserat dalam jumlah banyak akan meningkatkan ketahanan
tubuh manusia terhadap berbagai penyakit misalnya kanker usus besar (colon),
penyakit divertikular (adanya benjolan/luka pada usus), penyakit kardiovaskuler
(penimbunan kolestrol) dan obesitas (kegemukan).
Saat ini nata de coco mulai disukai konsumen, hal ini terlihat dengan semakin
banyak jenis nama dagang dengan kemasan yang lebih menarik yang ada di pasar
swalayan. Dalam proses pembuatan nata de coco diperlukan bantuan bakteri
Acetobacter xylinum untuk mensintesis kandungan gula dalam media air kelapa
menjadi selulosa. Untuk memperoleh hasil yang baik, media air kelapa harus
disesuaikan dengan syarat tumbuh bakteri tersebut.
1. Air kelapa
Alaban pada tahun 1962 telah melakukan penelitian pembuatan nata dari
berbagai bahan, ternyata nata dari bahan baku air kelapa adalah yang terbaik
(Cahyana, 1984). Hal ini disebabkan air kelapa cukup memiliki kandungan nutrisi
antara lain vitamin dan mineral. Karakteristik air kelapa secara rinci dapat dilihat
pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, ternyata air kelapa mengandung karbohidrat,
vitamin C, vitamin B kompleks dan mineral yang cukup baik, sedangkan nilai kalori
berkisar 17.4 kalori per 100 ml dan tingkat kemasaman (pH) berkisar 6.1.
2. Nata de Coco
Berdasarkan penamaan nata de coco yang disebut juga selulosa sintetik, berarti
bahwa produk nata termasuk salah satu produk yang rendah kalori. Berdasarkan
Tabel 2 dapat dilihat karakteristik nata de coco yang dibandingkan dengan kolang
kaling alami.
Nata de coco hanya memiliki kadar lemak 0.2%, tidak mengandung protein dan
kadar serat kasar 1.05%, sedangkan kolang kaling memiliki kadar serat 0.95%.
Berdasarkan karakteristik tersebut, maka nata de coco tergolong jenis makanan yang
rendah kalori, yaitu hanya 1.8 kalori dan kolang kaling 16.32 kalori.
Nata dapat dibuat dari berbagai macam bahan pangan yang berkadar air
tinggi, seperti buah nenas, buah jambu dan air kelapa. Nata dari sari buah nenas
disebut nata de pina, dari buah jambu disebut nata de cashew dan dari air kelapa
disebut nata de coco. Dengan bantuan bakteri A. xylinum kandungan gula dalam
media air kelapa akan disintesis menjadi selulosa. Namun untuk menghasilkan nata
yang berkualitas, sifat fisiko kimia air kelapa harus disesuaikan dengan syarat
tumbuh dari bakteri A. xylinum. Pembuatan nata de coco yang dilaksanakan oleh
Rindengan (2000) diperoleh rendemen sekitar 75%. Dibandingkan dengan cara
pembuatan nata de coco yang sudah umum dilakukan, Balitka telah melakukan
modifikasi sebagian, sehingga cairan starter dan gula pasir yang digunakan dapat
dihemat, masing-masing 9% dan 13% dengan waktu proses sampai panen sekitar 7 – 8
hari atau lebih singkat 50% dari waktu yang sudah lazim diterapkan. Selanjutnya dari
segi penilaian secara organoleptik, nata de coco yang dihasilkan Balitka lebih disukai
dibandingkan dengan salah satu produk nata de coco di pasaran yang berasal dari
Lampung (Rindengan, 2000).
Banyak faktor yang mempengaruhi pengolahan nata de coco. Berikut ini akan
diuraikan faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembuatan nata de coco.
a. Starter
b. Kadar gula
Kadar gula media untuk pembentukan lapisan nata merupakan faktor yang
sangat penting agar bakteri A. xylinum dapat melakukan sintesis gula menjadi nata
dengan hasil yang tinggi. Kadar gula media yang sesuai untuk pembentukan nata
adalah sekitar 5-8% gula (sakarosa). Pada Tabel 1 kadar gula air kelapa hanya sekitar
3.4%, oleh karena itu perlu penambahan gula pasir hingga mencapai kandungan gula
yang sesuai. Untuk mencapai kadar gula yang sesuai, maka dalam 1 liter air kelapa
ditambah 50 gram gula pasir.
Kemasaman (pH) dan suhu merupakan faktor-faktor yang juga sangat penting
untuk proses pembentukan nata. Air kelapa memiliki tingkat kemasaman (pH) sekitar
5 - 6, sedangkan dalam pembuatan nata de coco dibutuhkan kondisi pH sekitar 3.5.
Oleh sebab itu untuk mendapatkan pH yang sesuai perlu penambahan asam cuka
(glasial) sekitar 20 - 22 ml setiap liter air kelapa. Selanjutnya suhu yang sesuai untuk
bakteri A. xylinum dalam melakukan aktifitasnya, berkisar antara 20 - 320C.
d. Tinggi media
Wadah yang digunakan sebagai tempat pembuatan nata de coco adalah wadah
yang mempunyai permukaan yang lebar. Tinggi media (air kelapa) dalam wadah
sebaiknya berkisar 3 sentimeter. Jika menggunakan 1 liter air kelapa, sebaiknya
gunakan wadah yang mempunyai ukuran panjang, lebar dan tinggi 34 x 25 x 5 cm.
Ukuran wadah ini sangatlah penting sehubungan dengan kebutuhan udara sebab
bakteri A. xylinum termasuk aerobik yaitu membutuhkan udara.
Air kelapa
Disaring
Didihkan Gula pasir (50 g)
Dinginkan
Peram (hari)
Nata lembaran
Sirup nata
(2 bgn gula : 4.5 bgn air) Dicampur (3 bagian nata)
Didihkan
Untuk dapat membuat nata de coco secara berkelanjutan, sebaiknya juga harus
mengetahui cara memperbanyak bibit nata de coco dan cara mengaktifkan bibit nata
de coco yang sudah lemah (Internet, 2002).
Cairan starter nata de coco biasanya tersedia dalam kemasan botol-botol bekas
sirup bervolume sekitar 500 ml. Bibit nata de coco dapat diperbanyak dari bibit nata de
coco yang sudah ada menjadi 10 kali jumlah volume awal. Secara sederhana dapat
dikatakan dari 1 botol cairan bibit dapat diperbanyak menjadi 10 botol bibit nata de
coco yang baru. Untuk membuat bibit nata de coco pada tiap botol sirup (500 ml air
kelapa) diperlukan 37.5 gram gula pasir, 10 - 12 ml asam cuka biasa dan 50 ml cairan
bibit nata de coco (10% volume 1 buah botol). Untuk memperbanyak menjadi 10 botol
atau kurang dari 10 botol, maka takaran tersebut langsung dikalikan/digandakan
dengan jumlah botol yang tersedia. Untuk memperbanyak bibit nata de coco
peralatan yang diperlukan yaitu : 1) panci, 2) kain penyaring/tapisan yang rapat, 3)
pengaduk atau sendok, 4) botol-botol bekas sirup steril, 5) pisau, 6) corong plastik,
7) lampu spritus, 8) gelas ukur, 9) kompor, 10) kain lap bersih atau tissue dan 11)
kertas roti atau kertas koran bersih. Bahan yang diperlukan adalah sebagai berikut :
1) air kelapa, 2) gula pasir, 3) asam cuka pasar dan 4) cairan bibit nata de coco.
Pengaktifan bibit nata de coco diperlukan bila bibit atau hasil perbanyakan bibit
sudah lemah. Bibit yang lemah artinya bibit yang sebagian besar bakterinya mati
sehingga tidak dapat memfermentasikan air kelapa dengan maksimal. Tanda-tanda
bibit yang sudah lemah antara lain: lapisan nata de coco yang dihasilkan sangat tipis.
Tujuan pengaktifan bibit ini adalah untuk mengatasi siklus melemahnya bibit nata de
coco dan untuk menjamin tetap tersedianya bibit nata de coco yang baik selama proses
produksi. Secara sederhana pengaktifan bibit ini dapat diartikan sebagai proses seleksi
bakteri yang masih hidup dan yang mati dengan cara memindahkan bibit lemah
tersebut secara bertingkat ke dalam botol-botol jar yang menyediakan gizi/nutrisi.
Bakteri yang masih hidup akan kembali bertumbuh dan berkembang biak dan bakteri
yang mati akan terpisah. Pemindahan secara bertingkat akan menghasilkan bakteri
yang daya fermentasinya sangat baik.
Bahan yang diperlukan untuk mengaktifkan bibit nata yaitu 1) air kelapa, 2)
gula pasir, 3) asam cuka pasar dan 4) bibit nata de coco yang sudah lemah. Peralatan
yang diperlukan terdiri dari 1) panci, 2) kain penyaring/tapisan yang rapat, 3)
pengaduk atau sendok, 4) botol-botol jar (botol bekas selai/jam) steril, 5) pisau, 5)
corong plastik, 6) lampu spritus, 7) gelas ukur/matkan, 8) kompor dan 9) kain lap
bersih atau tissue. Untuk mengaktifkan 10 ml bibit lemah, diperlukan air kelapa
sebanyak 100 ml, gula pasir 7.5 gram dan asam cuka pasar 2-4 ml.
Bahan pangan dalam keadaan segar atau makanan olahan yang tidak langsung
dikonsumsi akan mengalami kerusakan apabila tidak diawetkan. Nata de coco seperti
halnya bahan makanan lainnya apabila tidak langsung dikonsumsi maka harus
diawetkan agar mutunya tetap stabil untuk jangka waktu tertentu sehingga aman
untuk dikonsumsi. Selain perlakuan pengawetan, maka proses pengemasan juga
turut mempengaruhi daya simpan makanan. Oleh karena itu, untuk mempertahankan
mutu dan daya simpan maka diperlukan perlakuan pengawetan dan pengemasan
yang tepat.
Beberapa jenis kemasan yang digunakan dalam bahan makanan adalah sebagai
berikut :
1. Kemasan gelas
2. Kemasan kaleng
3. Kemasan plastik
PENUTUP
1. Air kelapa merupakan hasil ikutan yang masih memiliki nilai gizi yang tinggi,
sehingga dapat dijadikan bahan baku dalam pengolahan produk makanan, yaitu
Nata de coco.
2. Pemanfaatan air kelapa dalam pembuatan nata de coco memerlukan bakteri
Acetobacter xylinum pada jumlah tertentu untuk menyusun gula pada air kelapa
menjadi selulosa. Selain itu kadar gula, pH, suhu dan media pembuatan nata
merupakan faktor penting yang harus diperhatikan agar diperoleh rendemen hasil
yang tinggi.
3. Nata de coco termasuk produk makanan non nutritif, namun cukup memberikan
andil dalam proses fisiologi tubuh secara normal, bahkan saat ini sangat digemari
oleh konsumen Jepang sebab dianggap mencegah terjadinya kanker usus. Selain
itu, nata de coco dapat dimanfaatkan sebagai membran pengeras suara atau
loudspeaker membrane.
4. Untuk mempertahankan mutu dan daya simpan nata de coco maka diperlukan
perlakuan pengawetan dan pengemasan yang tepat.
5. Berdasarkan analisis ekonomi usaha nata de coco dalam skala kelompok tani layak
untuk dikembangkan.
6. Proses produksi nata de coco dilakukan dalam skala rumah tangga dan disarankan
untuk kelompok masyarakat yang berada di sekitar pasar tradisional penjual
kelapa segar (butiran), daerah pabrik minyak kelapa pengolahan secara basah dan
pabrik kelapa parut kering.
7. Pemasaran nata de coco yang potensial yaitu masyarakat perkotaan melalui pasar-
pasar swalayan.
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
Sabut yang merupakan komponen terbesar dari buah kelapa, sebagian besar
hanya dimanfaatkan sebagai bahan bakar pada pengeringan kopra dan rumah tangga,
hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan dalam proses industri. Ketersediaan sabut
kelapa di Indonesia mencapai 9,6 juta ton per tahun yang bila diolah menjadi serat
sabut bisa mencapai 1,9 juta ton per tahun (Anonim, 1999). Dengan melakukan
pengolahan terhadap sabut kelapa akan mendukung meningkatnya nilai ekonomi
sabut kelapa yang selama ini hanya sebagai limbah.
Kurang berkembangnya usaha pendayagunaan sabut kelapa untuk
menghasilkan produk yang bernilai ekonomi berupa serat sabut kelapa karena
kurang tersedianya peralatan pengolahan yang dapat dijangkau dan informasi pasar
produk serat sabut dan hasil olahan lanjut sangat terbatas.
Upaya mengatasi permasalahan pendayagunaan sabut kelapa dapat dilakukan
penanganan dalam dua arah yang dilakukan secara simultan dan berkelanjutan,
yakni : (1) pihak instansi teknis; introduksi teknologi pengolahan sabut kelapa yang
praktis, baik melalui pelatihan petani, pembinaan, media massa/elektronika,
menyebarluaskan informasi pasar produk-produk serat sabut kelapa dan (2) pihak
petani; petani dengan keterbatasan modal, teknologi, keterampilan dan kemampuan
manajerial dan pengolahan sabut, sehingga sangat membutuhkan dukungan dana
berupa kredit dengan bunga lunak dan pelatihan yang terprogram.
Mengandalkan usaha pengolahan serat sabut kelapa dan produk olahannya
secara perorangan akan berlangsung lambat dan tidak efisien, untuk praktis dan
efisiennya usaha pembinaan baik teknis maupun manajemen usaha maka penyediaan
peralatan pengolahan dan modal kerja/kredit serta pengorganisasian kegiatan dalam
upaya memasarkan produk serat dan hasil olahannya perlu dilakukan dalam bentuk
kelompok, baik melalui wadah kelompok tani maupun koperasi dengan bimbingan
dan pengawasan oleh instansi terkait yang dilakukan secara terpadu dan
berkelanjutan.
Komposisi dari komponen buah kelapa adalah sabut 35%, daging 28%, air 25%
dan tempurung 12% (Grinwood, 1960). Dengan demikian sabut kelapa merupakan
komponen hasil dengan persentase terbesar. Komposisi kimia sabut kelapa dapat
dilihat pada Tabel 1.
1. Umur pohon kelapa kurang dari 25 tahun : berat buah 1.64 kg; sabut 25.1%; daging
28.1%; air 32.7%; tempurung 14.1%.
2. Umur pohon kelapa 25 - 50 tahun : berat buah 1.11 kg; sabut 30%; daging 29.4%; air
24.1%; tempurung 15.7%.
3. Umur pohon kelapa lebih dari 50 tahun : berat buah 0.70 kg; sabut 23%, daging
37.2%; air 22.2%; tempurung 17.5%.
Diketahui bahwa sabut kelapa terdiri dari empat bagian yakni : (a) kulit sabut,
(b) serat sabut, (c) serbuk/debu sabut, (d) bagian keras dari ujung sabut. Saat ini
bagian yang bernilai ekonomi adalah serat sabut dan debu sabut. Komposisi serat
sabut kelapa dapat lihat pada Tabel 2.
Air 5.25
Pektin 3.00
Hemiselulosa 0.25
Lignin
45.84
Selulosa
43.44
Cara Biologi
Cara Mekanis
1. Sabut kelapa direndam dalam air sekitar 10 detik per sabut, selanjutnya ditiriskan
dan ditumpuk dekat decorticator. Tujuan perendaman ini adalah untuk mengurangi
debu yang beterbangan selama proses penyeratan berlangsung.
2. Mesin dihidupkan, kemudian sabut dimasukkan satu per satu ke dalam
decorticator.
3. Serat yang dihasilkan umumnya masih basah sehingga perlu dikeringkan dengan
sinar matahari sekitar 4 – 5 jam. Kadar air serat setelah pengeringan 12-14%.
4. Selama pengeringan berlangsung, debu/serbuk yang masih melekat pada serat
akan terpisah dengan sendirinya.
5. Pengemasan serat dilakukan dengan mengepres menggunakan alat khusus, cara ini
dilakukan untuk mengecilkan ukuran sehingga memudahkan dalam
pengangkutan.
Penyeratan secara mekanis ternyata lebih praktis, waktu pengolahan jauh lebih
singkat, kapasitas olah lebih tinggi dan pengendalian proses produksi dan mutu hasil
olahan dapat dikendalikan, dengan demikian penyeratan mekanis merupakan pilihan
terbaik. Saat ini dipasaran telah banyak beredar alat penyerat sabut kelapa yang
umumnya menggunakan drum ganda, di mana pelumatan dan penyeratan sabut
dilakukan secara terpisah tetapi adapula yang kompak dalam satu drum. Balai
Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain (Balitka) Manado telah menghasilkan alat
penyerat sabut kelapa dengan sistem drum tunggal, digerakkan oleh mesin diesel
20 Hp, operasional sederhana. Kapasitas olah 400 sabut/jam atau 240 kg sabut/jam
menghasilkan serat kering 47.6 kg dengan persentase panjang serat 10 - 15 cm 35%,
panjang serat 16 - 27 cm 65%, alat tersebut telah terdaftar pada Kantor Paten Ditjen
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Departemen Kehakiman RI, dengan nomor
S20000219 tanggal 27 November 2000 (Lay dan Pasang, 2002). Akan tetapi kendala
yang dihadapi untuk pengadaan alat penyerat sabut di tingkat petani membutuhkan
investasi cukup besar. Maka untuk mengatasi hal tersebut, dukungan kredit bagi
petani dari lembaga keuangan baik secara perorangan maupun kelompok tani atau
koperasi akan sangat membantu petani dalam mendayagunakan potensi sabut kelapa
sehingga akan menunjang peningkatan nilai tambah komoditas kelapa dan perbaikan
pendapatan petani.
Menurut Banzon dan Velasco (1982) serat sabut kelapa dapat dibedakan
berdasarkan ukuran dan pemanfaatannya yakni :
Mat/Yarn fibre merupakan serat panjang dan halus (cocok untuk pembuatan tikar,
permadani dan tali).
Bristle fibre merupakan serat kasar (untuk pembuatan sapu dan bahan kerajinan).
Mattres merupakan serat pendek (sebagai bahan pengisi spring bed dan jok mobil).
PENUTUP
Dengan teknologi penyeratan, maka sabut kelapa yang selama ini hanya
dianggap limbah perkebunan dapat diolah menjadi produk berupa serat yang
mempunyai nilai ekonomi. Teknologi penyeratan dapat dilakukan dengan cara biologi
dan mekanis. Penyeratan mekanis merupakan pilihan terbaik karena lebih praktis,
waktu pengolahan lebih singkat dan kapasitas olah lebih tinggi, proses produksi dan
mutu hasil olahan dapat dikendalikan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1960. Coir it’s extraction properties and uses council of scientific and
industrial research. New Delhi.
Anonim, 1999. Sabut kelapa bahan barang sederhana hingga luks. Sinar tani 15-21
Desember 1999.
Lay A. 1988. Hubungan frekuensi panen dan mutu hasil kelapa. Laporan Tahunan
1987/1988 Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain Manado.
Lay A., dan Patrik M. Pasang. 2002. Alat penyerat sabut kelapa tipe Balitka.
Konperensi Nasional Kelapa V (KNK V) Tembilahan, Riau.
Banzon, J.A., and J.R. Velasco. 1982 Coconut production and utilization. PCRDF.
Manila.
Grinwood, B.E., 1960. Coconut palm products. FAO. Rome
Ravindranath Anta Das, 1991. Coir pith-potertial wealth in India, Seminar on
utilization in Agriculture. Tamilnadu Agricultural Unviersity. Coimbatro
64100.
Sutater, T., 1997. Pemanfaatan limbah kelapa sebagai media tanam tanpa tanah dalam
bentuk chip, pot dan curah. Laporan akhir RUK. Balai Penelitian Tanaman Hias,
Jakarta.
Vaz Antonal, P.C. 1996. Coconut fibre processing and marketing. Proceeding of the
XXXIII Cocotech Meeting. Kuala Lumpur, Malaysia.
PENDAHULUAN
Pada umumnya batang kelapa tua dimanfaatkan sebagai kayu bakar, bahan
bangunan dan pembuatan meubel. Penjualan dalam bentuk pohon dan gelondongan
(mot) kurang mendukung peningkatan pendapatan petani dan tidak menunjang
pelaksanaan peremajaan untuk kelestarian produksi kelapa. Pengolahan kayu kelapa
dipedesaan dilakukan secara tradisional, tidak didasarkan pada karakteristik kayu
kelapa itu sendiri, sehingga produk yang dihasilkan baik berupa papan, balok
maupun hasil olahan seperti meubel dengan harga relatif rendah dan produk olahan
mudah rusak.
Berkembangnya teknologi pengolahan kayu kelapa menjadi berbagai jenis
meubel, ukiran dan bahan bangunan yang didasarkan pada karakteristik dan kelas
mutu kayu, telah meningkatkan nilai jual kayu kelapa dan meubel karena
mempunyai daya tarik yang tinggi bagi masyarakat ekonomi kelas menengah keatas.
Usaha pengolahan kayu kelapa secara mekanis dengan teknologi canggih telah dirintis
oleh Balai Latihan Kerja (BLK) Kaaten Tomohon.
Kayu kelapa mempunyai keistimewaan yaitu letak serat yang artistik, terutama
pada bagian yang keras sehingga menarik jika kayu kelapa dijadikan perabot rumah
tangga. Kelemahannya adalah tidak mempunyai daya tahan alami seperti kayu
konvensional, karena tingkat kekerasan tidak merata. Oleh karena itu cara
penggergajian dengan tindakan pengawetan perlu mendapat perhatian (Rindengan
et al, 1990).
Pengadaan bahan baku kayu kelapa yang dilakukan industri kayu adalah
dengan membeli batang kelapa dalam bentuk tegakan pohon dari petani yang
dilakukan oleh agen industri yang bersangkutan. Pada dasarnya industri menerima
penjualan kayu kelapa dari petani dengan persyaratan dan ukuran yang ditetapkan
oleh industri yang bersangkutan. Umumnya petani enggan menjual kayu kelapa ke
industri, karena keterbatasan peralatan antara lain gergaji, sehingga petani hanya
menjual batang kelapa dalam bentuk tegakan pohon.
Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah pemanfaatan batang kelapa dan
kayu kelapa belum dimasukkan sebagai bagian integral dari peremajaan, sehingga
sulit mempertahankan kelestarian produksi kayu kelapa. Untuk itu diperlukan
program terpadu penebangan pohon kelapa tua dan peremajaan kelapa agar dapat
dipertahankan produksi kayu kelapa yang lestari. Menurut Allorerung (1990) bahwa
untuk menyiapkan dan melaksanakan program terpadu penebangan pohon kelapa
dan peremajaan kelapa diperlukan kerjasama antara petani kelapa dan industri
pengolahan kayu kelapa bersama pemerintah daerah sebagai fasilisator. Pola
kerjasama ini dalam bentuk pola kemitraan. Pola kemitraan dalam pemanfaatan
batang kelapa yang secara teknis layak dan praktis diaplikasikan serta secara ekonomi
menguntungkan semua pihak terkait.
Dalam upaya mengatasi tingkat percepatan penebangan kelapa tua, baik untuk
keperluan industri maupun untuk kebutuhan masyarakat umum dikaitkan dengan
realisasi pelaksanaan peremajaan, perlu investasi dan kajian yang lebih akurat agar
diperoleh keseimbangan antara jumlah kelapa yang ditebang dan kelapa yang
ditanam untuk mempertahankan potensi batang kelapa sebagai sumber kayu
sekaligus meningkatkan produksi kelapa dan perbaikan pendapatan petani.
Kelapa Dalam mulai berproduksi umur 7-10 tahun, dan terus berproduksi
sampai umur 80 tahun atau lebih, produksi maksimum dicapai setelah berumur 15-14
tahun (Grimwood, 1975). Tanaman kelapa akan menurun produksinya setelah
berumur 60 tahun, disebabkan antara lain karena berkurangnya fungsi akar dan
batang yang terlalu tinggi (Davis dan Sudarsip, 1978). Tingkat produksi kelapa yang
secara ekonomi menguntungkan sampai pada umur 60 tahun (Child, 1974).
Batang kelapa yang layak diolah menjadi kayu adalah pohon kelapa yang
berumur 60 tahun atau lebih. Bagian batang kelapa yang digunakan sebagai bahan
meubel dan bahan bangunan yang masuk kategori mutu-1, yakni bagian pangkal
sampai ketinggian 6 m, sedangkan yang masuk kategori mutu-2 yaitu dari ketinggian
6 - 12 m, sedangkan lebih dari 12 m hanya digunakan sebagai mot (bahan bakar batu-
bata). Untuk menghasilkan 1 m3 kayu kelapa campuran mutu-1 dan mutu-2
membutuhkan 5 pohon kelapa tua. Pengawetan kayu kelapa dapat dilakukan dengan
pengeringan secara kering udara selama 3 - 6 bulan sebelum kayu digunakan sebagai
bahan meubel dan bahan bangunan (Lay, 2000).
Dilaporkan Fink (1992) bahwa di Sulawesi Utara pohon kelapa yang berumur 60
tahun atau lebih dengan tinggi berkisar 23-30 m, dapat menghasilkan sekitar 1.05 m³
kayu kelapa, yang terdiri dari 0.45 m³ kayu kelapa dengan tingkat kerapatan tinggi
(bagian keras) dan 0.60 m³ kayu kelapa dengan tingkat kerapatan rendah (bagian
tidak keras).
Kelas kekerasan kayu kelapa dapat dibagi dalam tiga kelas, yakni : (a) kelas I
adalah kayu kelapa bagian luar dengan densitas lebih besar dari 0.72 g/cm, (b) Kelas II
bagian antara tengah dan luar dengan densitas berkisar (0.48 - 0.72 g/cm) dan (c)
Kelas III atau non kelas adalah bagian tengah batang dengan densitasnya kurang dari
0.48 g/cm (Fink, 1992).
Dilaporkan Gosal (1998) bahwa sesuai dengan pembagian kelas kayu maka
pemanfaatannya harus sesuai dengan jenis dan kekuatan kayu, yakni: (a) Kelas I:
biasanya digunakan untuk bahan meubel, pintu, jendela, bahan rumah dan lain-lain
yang memerlukan bahan dengan kayu yang kuat, (b) Kelas II: sebagai bahan
tambahan pada meubel, bahan bangunan seperti kaso/totara dan lain-lain, dan (c)
Kelas III: hampir tidak terpakai, jika kayu kelapa kelas III ada campuran dengan kelas
II dapat digunakan untuk bahan pengepakan.
Pemanfaatan batang kelapa pada skala industri, yakni dengan mengolah batang
kelapa menjadi kayu kelapa dengan pengelompokkannya berdasarkan kelas atau
mutu kayu dan diproses lanjut menjadi bahan bangunan, meubel dan ornamen.
Pemanfaatan batang kelapa pada skala industri khususnya di Sulawesi Utara, telah
dimulai tahun 1992. Industri pengolahan kayu kelapa di Sulawesi Utara terdapat di
Desa Malalayang-Manado, Kaaten-Tomohon, Tontalete-Minahasa Utara dan Lolak-
Bolaang Mongondow. Pemasaran produk kayu kelapa di samping untuk memenuhi
pasar lokal dan daerah, juga diantarpulaukan terutama ke Pulau Jawa. Untuk
memanfaatkan peluang pasar terutama pasar ekspor, diperlukan penjajakan sistem
pemasaran agar diperoleh sistem pemasaran yang lebih efisien.
Sistem pengolahan kayu kelapa pada skala industri dengan tahapan kegiatan
meliputi seleksi pohon, penebangan dan penggergajian, pengeringan kayu, seleksi
kayu kelapa dan penggunaannya dan finishing. Tahap-tahap kegiatan pada skala
industri akan diuraikan berikut ini.
Seleksi pohon
Pengeringan Kayu
Ada 3 cara pengeringan kayu yang dapat dilakukan antara lain: (a)
Pengeringan udara/alam di bawah atap, (b) Pengeringan dengan oven, dan (c)
Pengeringan dengan mesin pengering kayu (kiln dry). Masing-masing cara
pengeringan mempunyai kelebihan dan kekuarangan, dalam usaha yang lebih besar
untuk efisien dengan cara pengeringan yang menggunakan alat pengering. Dari
seluruh cara pengeringan ini, tingkat kekeringan yang diperlukan untuk bahan
perabot, daun pintu, daun jendela dan lain yang sejenisnya kadar air kayu 10-12%.
Untuk bahan bangunan rumah, kadar air sekitar 18%, dengan toleransi susut lebih
besar dari pada bahan untuk perabot, daun pintu dan daun jendela (Gozal, 1998).
Sesudah dikeringkan, khususnya untuk bahan meubel, daun pintu dan daun
jendela, kayu kelapa harus diseleksi lagi karena dalam proses pengeringan warna asli
dari kayu belum kelihatan dengan jelas. Kayu kelapa yang sudah kering harus
disusun sejajar atau searah guna mempermudah menentukan warna struktur dan
corak serat yang seragam sesuai dengan kebutuhan. Pembuatan berbagai jenis
meubel, ukiran dan ornamen dari kayu kelapa mutu I tergantung desain. Harga
berbagai peralatan rumah tangga dan ornamen dipengaruhi oleh volume kayu yang
terpakai, kesulitan desain, cara pengerjaanya dan kehalusan finishing.
Kayu kelapa yang dikategorikan mutu II digunakan untuk pembuatan bahan
bangunan atau bagian penyangga dari meubel, ukuran dan ornamen yang
menggunakan kayu mutu I. Kombinasi cara pengerjaan ini, selain menghemat
penggunaan kayu kelapa mutu I yang harganya mahal, sekaligus harga jual produk
meubel dapat ditekan, sehingga terjangkau masyarakat luas.
Finishing
sebelum divernis merupakan hal yang penting, karena finishing permukaan kayu
yang baik akan menentukan hasil akhir. Pengerjaan finishing dapat dilakukan dengan
menggunakan mesin amplas dan manual. Bahan finishing yang dipergunakan terdiri
dari dempul, melamic sending dan melamic clear. Bahan finishing di pasaran terdapat
berbagai jenis antara lain Nipon, Impra, Seiv, Pimotex, dan lain-lain.
Nilai ekonomi pada pemanfaatan kayu kelapa skala industri, tergantung pada
jenis dan tingkat kehalusan serta desain dari produk yang dihasilkan. Produk kayu
kelapa yang dihasilkan industri antara lain meubel yang meliputi meja, kursi, tempat
tidur, lemari dan berbagai ornamen.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa untuk 1 m³ kayu kelapa mutu I (bahan
setengah jadi) yang harganya sekitar Rp. 750.000, jika kayu kelapa dibuat meubel dan
berbagai ornamen berkisar Rp. 7 - 8 juta. Nilai tambah yang dihasilkan pada
pengolahan kayu skala industri cukup tinggi, namun membutuhkan investasi yang
besar untuk menyediakan peralatan pengolahan kayu kelapa dan dibutuhkan
dukungan keahlian dalam menangani proses pengolahan, desain dan pemasaran hasil.
PENUTUP
Dalam upaya mengatasi tingkat percepatan penebangan kelapa tua, baik untuk
keperluan industri maupun untuk kebutuhan masyarakat umum, sangat diperlukan
investasi dan kajian yang lebih akurat agar dapat diperoleh keseimbangan antara
jumlah kelapa yang ditebang dan yang ditanam untuk mempertahankan potensi
produksi kayu kelapa dan meningkatkan produksi kelapa serta perbaikan pendapatan
petani.
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran 1: Analisis biaya pengolahan batang kelapa skala petani di Sulawesi Utara
1. Biaya
2. Pendapatan
1. Biaya
Ukuran-ukuran : 1. 6 cm x 15 cm x 400 cm
2. 5 cm x 14 cm x 400 cm
3. 4 cm x Minimum 10 cm x 400 cm (1 m – 4 m bawah)
PENDAHULUAN
Konstruksi alat pengolahan kelapa terpadu terdiri dari empat unit proses yakni:
(1) unit pengolahan minyak kelapa, (2) pengarangan tempurung, (3) penyeratan serat
sabut dan (4) pengolahan sari kelapa. Konstruksi unit proses yang terkait dalam satu
sistem proses adalah pengolahan minyak kelapa dan pengarangan tempurung,
sedangkan penyeratan sabut dan pengolahan sari kelapa (nata de coco) terpisah satu
sama lain.
Pengolahan minyak kelapa didasarkan pada sistem pengolahan minyak cara
basah. Penyeratan serat sabut menggunakan sistem proses kering, sedangkan
pengolahan sari kelapa didasarkan pada sistem pengolahan skala pabrik yang
dimodifikasi, dengan menyederhanakan konstruksi dan sistem proses dari masing-
masing unit proses. Unit pengarangan tempurung menggunakan alat pengarangan
tempurung tipe drum rancangan Balitka. Sistem proses antar komponen peralatan
dalam satu unit berlangsung secara kontinu.
Pengolahan minyak didasarkan pada sistem pengolahan minyak dan bungkil
cara basah. Unit proses ini terdiri atas 6 unit operasi, yakni pemarut daging kelapa,
tungku pembakaran tempurung (thermopac), pengendali oli panas, pemasakan,
pengepres, dan penyaringan. Pemarut (grinder) berkapasitas 500 butir/jam.
Thermopack dilengkapi alat pengarangan tipe drum rancangan Balitka, memuat 2
drum berkapasitas 300 belahan tempurung/periode pembakaran, sedangkan tangki
pemasakan berkapasitas 400 butir kelapa/periode proses. Bagian ini dilengkapi
pengaduk mekanis berpenggerak 1 Hp. Pengendalian oli panas menggunakan pompa
dengan motor penggerak 1 Hp. Pengepresan menggunakan alat pengepres tipe H-54.
Pengolahan sari kelapa didasarkan pada sistem pengolahan skala pabrik namun
dengan konstruksi dan sistem proses yang dimodifikasi lebih ringkas. Pada unit ini
terdapat 6 unit operasi, yakni penampung air kelapa, penampung bahan penambah,
unit pencampur, wadah fermentasi, dan pemotongan sari kelapa.
Konstruksi dan sistem proses unit pengolahan kelapa terpadu skala pedesaan
tipe Balitka berdasarkan unit proses, spesifikasinya sebagai berikut.
(a) Grinder; Penghancur/pemarut daging kelapa menggunakan daya 5,5 Hp;1450 rpm
(b) Tanur pembakaran (thermopac); Olie turalith pada spiral baja dipompa dari
sumbernya dan dipanaskan dengan menggunakan bahan bakar tempurung
kelapa. Olie panas akan dialirkan dari thermopac ke heat exchanger untuk
pemasakan kelapa parut secara konveksi paksa.
(c) Pengendali olie panas; Olie turalith yang terdapat di dalam drum pada menara
dialirkan dan dipompa dengan gear pump 1 Hp ke arah thermopac, diteruskan ke
spiral pada heat exchanger. Selanjutnya olie panas yang suhunya telah menurun
pada heat exchanger akan diisap melalui gear pump, didorong dan dipanaskan
lagi pada thermopac, demikian proses ini berlangsung secara kontinu.
(d) Tangki pemasakan (heat exchanger); Pada tangki pemasakan kelapa parut
ditambahkan minyak proses yang dipompa dari tangki penampung minyak
proses dengan gear pump daya 1 Hp. Perbandingan kelapa parut dan minyak
adalah 1:2 (100 kg kelapa parut dan 200 kg minyak), pada unit ini dilengkapi
dengan komponen alat pengaduk yang digerakkan oleh dinamo 1 Hp; 1450 rpm
diperlambat dengan menggunakan speed reduser sehingga diperoleh kecepatan
putaran pengaduk 25-30 rpm. Pemasakan kelapa parut dengan suhu 80º - 124ºC
berlangsung selama 2.0-2.5 jam per periode proses.
(e) Saringan statis; Kelapa parut yang telah matang pada heat exchanger dikeluarkan
melalui lubang pengeluaran dan dialirkan ke unit saringan statis. Pada unit
penyaring, akan terpisah kelapa parut matang dan minyak proses.
(f) Minyak proses akan mengalir ke tangki minyak proses, sedangkan kelapa parut
matang diangkut ke tempat pengepresan.
(g) Pengepres; Pengepres terdiri atas dua unit yakni pengepres basah dan pengepres
kering. Pengepres basah yang mengepres kelapa parut matang yang berasal dari
saringan statis.
(h) Pada pengepresan basah, minyak yang tertinggal dalam bahan sisa pengepresan
berkisar 20%. Minyak hasil pengepresan mengalir melalui pipa dan ditampung
pada tangki penampungan minyak konsumsi. Pengepresan kering berfungsi
untuk mengepres kelapa parut sisa pengepresan. Pada pengepresan ini diperoleh
minyak dan bungkil.
(i) Penyaringan minyak konsumsi atau filter; Minyak yang terdapat dalam tangki
minyak konsumsi dipompa dengan gear pump 1 Hp ke unit filter, pada unit filter
terdapat saringan yang terdiri atas tiga tingkatan, yakni saringan kasar (diameter
lubang 2,0 mm), agak halus (50 mesh) dan halus (200 mesh). Minyak hasil
penyaringan ini akan mengalir dan ditampung pada drum penampung minyak
siap dikonsumsi.
(a) Penampung air kelapa, Air kelapa dari butiran kelapa ditampung dan disaring.
(b) Penampung bahan tambahan, Bahan tambahan terdiri atas gula putih konsentrasi
6.5%, asam cuka 25% dengan konsentrasi 3.5% dan ditambahkan starter
(Acetobacter xylinum) dengan perbandingan 1 ltr air kelapa : 0.15 l starter. Dengan
demikian dari 100 l air kelapa dibutuhkan gula putih 6.5 kg; asam cuka 25%
sebanyak 3.5 ltr dan starter 15 ltr.
(c) Wadah fermentasi, Wadah fermentasi menggunakan wadah plastik dengan
ketinggian cairan fermentasi 3 cm.
(d) Fermentasi nata, Selama proses fermentasi wadah ditutup dengan kertas untuk
menghindari kontaminasi dengan mikroba di udara dan mencegah masuknya
semut-semut ke bahan yang difermentasi. Proses fermentasi berlangsung selama
7 - 10 hari, pada proses fermentasi ini akan terbentuk lapisan nata dengan
ketebalan 1.0 - 1.2 cm.
(e) Panen nata, Pelaksanaan panen nata dilakukan dengan cara memisahkan lapisan
nata dari cairan yang tersisa, nata direndam dalam air selama 3 hari, setiap hari air
diganti, untuk menghilangkan rasa asam. Selanjutnya nata dipotong-potong
dengan ukuran 1x1 dan ketebalannya menyesuaikan dengan ketebalan nata yang
terbentuk.
(f) Pembuatan sirop nata dan pengepakan; Pembuatan jus nata dibuat sirop dengan
komposisi 1 ltr air ditambahkan gula 1 kg, kemudian dimasak sampai mendidih
dan didinginkan. Nata yang telah dipotong-potong dimasak selama 1 jam
(keadaan mendidih), pemasakan ini untuk menghilangkan sisa asam yang ada dan
membuat nata agak lembut, air rebusan ditiriskan, selanjutnya air sirop
dituangkan pada wadah dimana nata dimasak dan ditambahkan aroma (essens
Vanili).
(g) Campuran nata, sirop, dan essens vanili direndam selama 10 - 12 jam, agar sirop
dan essens meresap ke dalam nata. Hasil campuran ini dikemas atau dibotolkan
dan siap dikonsumsi. Pembotolan dapat menggunakan botol selai yang
volumenya 500 ml atau kemasan kantung plastik.
(a) Konstruksi alat penyerat sabut kelapa menggunakan single drum yang dilengkapi
dengan saringan sentrifugal.
(b) Drum penyerat dibagi menjadi dua belahan yakni belahan atas dan belahan
bawah, belahan atas dipasang sirip yang berfungsi untuk mengantar bahan olah.
Belahan bagian bawah dipasang sirip di antara lubang-lubang tempat keluarnya
debu sabut yang berfungsi untuk memperlambat gerak bahan olah dalam drum,
sirip diperlambat gerak bahan olah.
(c) Pemasangan sirip-sirip itu dilakukan agar pelumatan dan penyeratan sabut kelapa
berjalan efektif. Pada poros penyerat dipasang palu yang berfungsi melumat
sekaligus menyerat sabut kelapa. Kipas besi yang terdapat pada poros penyerat
berfungsi membantu keluarnya serat dari drum melalui corong pengeluaran.
(d) Poros drum penyeratan digerakkan oleh motor penggerak dengan daya 20 Hp
atau lebih, tenaga gerak dari motor penggerak ditransfer ke poros drum
penyeratan melalui tali kipas (v-belt) sebanyak tiga buah.
(e) Saringan sentrifugal untuk memisahkan serat sabut dan debu sabut terletak pada
ujung corong pengeluaran hasil olah. Komponen utama dari saringan sentrifugal
terdiri dari motor penggerak 0.5 Hp yang berfungsi memutar silinder, speed reduser
yang berfungsi memperlambat putaran silinder dan silinder yang dibalut dengan
kawas kasa uluran 1 x 1 cm yang digandakan dengan kawat kasa 5 x 5 cm, yang
berfungsi memisahkan debu sabut dan serat halus dengan serat berukuran
panjang.
1. Kinerja Alat
(a) Grinder, Kapasitas olah 200 kg daging kelapa atau setara dengan 500 butir kelapa
per jam.
(b) Thermopac, Kapasitas tampung untuk pembakaran dua drum, pada pemasakan
minyak membutuhkan 4 drum setiap satu periode proses.
(c) Heat exchanger, Kapasitas tampung (volume) optimal 300 kg, terdiri atas 200 kg
minyak dan 100 kg bahan olah (daging kelapa parut).
(d) Expeller, Kapasitas pengepresan 60 kg daging matang/jam, dengan frekuensi
pengepresan 2 kali.
(e) Tangki penampungan minyak konsumsi, Kapasitas tangki penampungan minyak
250 - 300 ltr. Pendiaman minyak kelapa sebelum dipompa ke tangki
penampungan minyak konsumsi sekitar 2 hari untuk mengendapkan blondo dan
ampas halus agar memudahkan di dalam penyaringan minyak kelapa.
Pengarangan tempurung:
(a) Unit proses yang digunakan pada pengolahan sari kelapa dalam bentuk lembaran
dengan 6 buah rak fermentasi dapat ditempati sebanyak 360 buah wadah
fermentasi. Setiap wadah fermentasi berkapasitas 1.0 kg.
(b) Produksi sari kelapa dalam bentuk lembaran, mengikuti ukuran wadah
fermentasi.
(c) Produksi nata yang dihasilkan berdasarkan volume larutan per wadah fermentasi
rata-rata 600 g atau rendeman 60%.
(d) Apabila pengolahan nata dilakukan secara kontinu diperlukan wadah fermentasi
sebanyak 2520 wadah dan rak fermentasi sebanyak 42 buah.
(a) Kapasitas olah 400 buah sabut kelapa/jam atau 240 kg sabut kelapa/jam. Dari
bahan baku tersebut diperoleh serat kering 47.6 kg dan debu sabut 106.1 kg.
(b) Serat sabut yang dihasilkan berwarna kuning emas, dengan ukuran beragam dan
bercampur sedikit debu sabut. Debu sabut akan terpisah pada saat pengeringan
serat sabut (tertinggal pada lantai jemur).
2. Karakteristik Produk
Produk kelapa yang dihasilkan pada unit pengolahan terpadu terdiri dari
minyak kelapa, bungkil, arang tempurung, serat sabut dan sari kelapa dengan
karakteristik sebagai berikut.
SISTEM PENGOLAHAN
Dilaporkan Lay (2002) bahwa sistem pengolahan pada unit pengolahan kelapa
terpadu sebagai berikut:
5. Air kelapa ditampung dalam ember plastik, disaring ditambahkan gula, asam
cuka dan starter Acetobacter xylinum serta difermentasi selama 7-10 hari akan
dihasilkan lapisan nata, diproses lanjut akan diperoleh sari kelapa.
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA